SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
PENGESAHAN SKRIPSI
Pembimbing Utama
Nama : Dr. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes (…………………)
NIP : 195603201983121002
Pembimbing Pendamping
Nama : Endang Listyaningsih S, dr., M.Kes (…………………)
NIP : 196408101998022001
Penguji Utama
Nama : Dr. Eti Pncorini Pamungkasari, dr., M.Pd (…………………)
NIP : 197503112002122002
Surakarta, ……………………….
Kusumadewi Eka Damayanti, dr., M.Gizi Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si
NIP 198305092008012005 NIP 196507271997021001
ii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
iii
ABSTRAK
iv
ABSTRACT
Background: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a health problem in Indonesia.
Kecamatan Ngemplak, Boyolali is one of endemic area, because always found case
in there every year. The government set the dengue prevention efforts with an
emphasis on prevention, including through the mosquito nest extermination
program with 3M Plus: menguras (draining), menutup (covering) and
memanfaatkan (utilizing). Larva free index is being indicator in implementation of
mosquito nest extermination program. A region is considered successfully
implement mosquito nest extermination program when the larva free index is
greater than or equal to 95%. The transmission of dengue is expected to be
prevented when the larva free index is greater than or equal to 95%. Important
aspects in the prevention of dengue fever is a socio-demographic characteristics,
knowledge, and behavioral factors. Behavior is determined by various determinants
of behavior, including the social and cultural dimensions. The study aims to
determine the factors that affect the implementation of mosquito nest extermination
program in Kecamatan Ngemplak, Boyolali.
Methods: This research using qualitative method. This research was conducted in
Ngargorejo and Kismoyoso village at Kecamatan Ngemplak during October until
November 2016. The source of data is derived from interviews with informant and
analysis of documents. Informants in this study is consisted from four medical
officers and four citizens of Kecamatan Ngemplak. Documents used is dengue
incident rate and larva free index in Kecamatan Ngemplak.
Result: The results show that most citizen already know about 3M plus. Most people
already implement 3M plus. Factors affecting implementation of the 3M plus are
level of education, obstacles in the implementation, support of community leaders,
dependency on fogging, and social sanction. Factors that doesn’t influence is
socioeconomic status.
Conslusion: Most citizen of Kecamatan Ngemplak already know and implement
3M plus. Implementation of 3M plus in District Ngemplak is influenced by several
factors: level of education, the obstacles in the implementation, support of
community leaders, dependency on fogging, and social sanctions.
v
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-
Nya peneliti dapat menyelesaikan laporan skripsi sebagai syarat memenuhi gelar
sarjana kedokteran.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dan membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Terima kasih peneliti ucapkan
pada:
1. Dr. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes selaku pembimbing utama yang telah
memberikan bimbingan kepada peneliti,
2. Endang Listyaningsih, dr., M.Kes selaku pembimbing pendamping yang telah
memberikan bimbingan kepada peneliti,
3. Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., M.Pd selaku penguji yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan
penelitian ini,
4. Kedua orangtua peneliti yang selalu mendukung dan memberikan semangat
kepada peneliti,
5. Eko Widatik, dr. selaku Kepala Puskesmas Ngemplak beserta jajaran petugas
kesehatan yang telah bersedia memberikan keterangannya dalam penelitian ini,
6. Warga Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo yang telah bersedia menjadi
informan dalam penelitian ini,
7. Teman-teman Alacritas Pendidikan Dokter UNS 2013 yang telah berjuang
bersama-sama dalam menyelesaikan studi,
8. Pihak-pihak lain yang telah membantu peneliti, yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu.
Laporan skripsi ini tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti
mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan laporan ini. Akhir kata,
semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan civitas akademika
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
vii
G. Analisis Data ...............................................................................................24
BAB IV HASIL PENELITIAN .............................................................................26
A. Karakteristik informan ................................................................................26
B. Hasil Analisis Dokumen .............................................................................26
C. Hasil Wawancara Mendalam ......................................................................27
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................44
A. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................44
B. Rekomendasi Penelitian ..............................................................................49
C. Keterbatasan Penelitian ...............................................................................49
BAB VI PENUTUP ...............................................................................................50
A. Simpulan .....................................................................................................50
B. Saran ............................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................52
LAMPIRAN ...........................................................................................................58
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi dengue, yang merupakan virus dengan penyebaran paling cepat di
seluruh dunia. Virus dengue digolongkan kedalam famili Flaviridae dan genus
Flavivirus, serta memiliki 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4. Virus dengue menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi
oleh virus ini, khususnya nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini banyak terdapat
di daerah tropis dan subtropis, serta tersebar luas di seluruh dunia (Kurane,
2007; WHO, 2009).
Pada tahun 2014, terjadi 11.075 kasus DBD di Jawa Tengah (IR 36,24
per 100.000 penduduk), dengan jumlah kematian 159 orang (CFR 1,7%).
Jumlah ini menempati peringkat kedua nasional setelah Jawa Barat (18.116
kasus dengan angka kematian 178 orang). Jumlah penduduk yang besar serta
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi merupakan salah satu faktor risiko
penyebaran DBD di kedua provinsi tersebut. Tidak stabilnya iklim dan
tingginya curah hujan juga menjadi sarana yang baik untuk perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegipty. (Direktorat Jendral PP PL, 2015; Dinkes Provinsi Jawa
Tengah, 2014).
1
Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah, Boyolali merupakan salah
satu kabupaten dengan IR DBD di atas rata-rata IR DBD Jawa Tengah (IR
DBD Boyolali 39,78 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2013, terjadi 243
kasus DBD di Boyolali. Pada tahun 2014, terjadi peningkatan kasus menjadi
381. (BPS Jawa Tengah, 2016; Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2014).
2
ditentukan oleh berbagai determinan perilaku, diantaranya adalah dimensi
sosial dan budaya (Notoatmodjo, 2007).
Salah satu upaya yang dilakukan P2M adalah melalui kegiatan promosi
kesehatan. Kegiatan promosi, melalui berbagai metode, diantaranya melalui
penyuluhan. Promosi kesehatan diarahkan untuk peningkatan perilaku hidup
bersih dan sehat, serta pencegahan penularan penyakit, diantaranya berupa
pemberantasan jentik nyamuk (Menkes RI, 2014)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan beberapa
masalah, yaitu:
3
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi mengenai dampak penyuluhan kesehatan
terhadap pengetahuan masyarakat Kecamatan Ngemplak tentang PSN
DBD
b. Memberikan informasi tentang bagaimana perilaku masyarakat dalam
pelaksanaan 3M Plus
c. Memberikan informasi mengenai pengaruh dimensi sosial dan budaya
dalam pelaksaan PSN DBD di Kecamatan Ngemplak
d. Memberikan informasi mengenai hasil dari implementasi PSN DBD di
Kecamatan Ngemplak
2. Manfaat Praktis
Diketahuinya informasi mengenai bagaimana dampak penyuluhan, perilaku
masyarakat Kecamatan Ngemplak terkait PSN DBD, serta hasil dari
implementasi PSN DBD dapat menjadi evaluasi bagi petugas puskesmas
untuk meningkatkan program edukasi dalam rangka pencegahan DBD.
Selain itu, pengetahuan tentang dimensi sosial dan budaya yang
mempengaruhi pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan Ngemplak penting
untuk menyesuaikan program pencegahan DBD dengan keadaan yang ada
di masyarakat.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Demam Berdarah Dengue
a. Etiologi
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh infeksi virus
dengue, yang merupakan virus RNA rantai tunggal. Virus dengue
digolongkan ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, serta
memiliki 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Kurane,
2007). Manusia merupakan host alami virus dengue (Burke & Monath,
2001).
Virus dengue menginfeksi manusia melalui vektor nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus (Higa, 2011). Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sangat tergantung pada air di wadah penyimpanan untuk
bertelur. Nyamuk betina aktif di siang hari, dan membutuhkan darah
untuk menghasilkan telur. Telur memiliki kemampuan untuk bertahan
hidup dalam jangka waktu yang lama, sehingga telur dapat dengan
mudah menyebar ke lokasi baru. Kontainer air alami atau buatan yang
berada di dalam atau dekat dengan tempat di mana manusia hidup
merupakan habitat yang ideal bagi larva nyamuk ini (CDC, 2010).
Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup yang
kompleks dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi, dan habitat.
Nyamuk betina bertelur di dinding bagian dalam kontainer air. Telur
akan menetas menjadi larva saat air menggenangi telur sebagai akibat
dari hujan atau penambahan volume air. Pada hari-hari berikutnya, larva
akan memakan mikroorganisme dan bahan partikulat organik, dan
mengelupaskan kulit mereka tiga kali untuk bisa tumbuh dari instar
pertama hingga keempat. Ketika larva telah memiliki energi dan ukuran
yang cukup dan sudah berada di fase instar keempat, maka dimulailah
5
metamorfosis, perubahan larva menjadi pupa. Pupa tidak membutuhkan
makan, dan hanya mengubah bentuk menjadi nyamuk dewasa.
Kemudian, nyamuk dewasa yang baru terbentuk muncul dari air setelah
merobek kulit pupa. Seluruh siklus hidup berlangsung 8-10 hari pada
suhu kamar (CDC, 2009).
b. Epidemiologi
Virus dengue, penyebab DBD merupakan virus dengan penyebaran
paling cepat diseluruh dunia, dan ditularkan melalui vektor nyamuk.
Pada tahun 2012, oleh WHO, dengue ditetapkan sebagai ‘most important
mosquito-borne viral disease in the world’ (WHO, 2009; WHO, 2012).
Saat ini, terdapat 125 negara yang telah menjadi endemik dengue.
Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 kasus DBD dan DSS (Dengue
Shock Syndrome), dengan lebih dari 20.000 kasus kematian di seluruh
dunia (Murray, et al., 2013).
Kedua nyamuk yang menjadi vektor virus dengue (Aedes aegypti
dan Aedes albopictus) banyak tersebar di daerah tropis dan subtropis.
Distribusi nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dipengaruhi oleh
iklim. Aedes aegypti banyak terdapat di daerah perkotaan, sedangkan
Aedes albopictus banyak terdapat di pedesaan (Higa, 2011).
Faktor-faktor yang memicu peningkatan transmisi vektor, antara
lain:
1) Perubahan cuaca
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kelangsungan
hidup vektor dewasa, replikasi virus, dan periode infektif. Kenaikan
suhu dapat menyebabkan peningkatan kelangsungan hidup vektor,
serta memungkinkan migrasi vektor ke daerah non-tropis yang
sebelumnya tidak endemik. Diperkirakan suhu global akan
meningkat. Hal ini akan menciptakan suasana yang kondusif untuk
perkembangbiakan nyamuk vektor (Murray, et al., 2013).
2) Urbanisasi
6
Saat ini banyak masyarakat pedesaan yang pindah ke daerah
perkotaan, menyebabkan daerah perkotaan menjadi padat.
Kegagalan pemerintah kota yang menjadi tujuan urbanisasi dalam
menyediakan fasilitas umum dan infrastruktur untuk
mengakomodasi masuknya pendatang baru, menghasilkan
pemukiman yang tidak terencana dengan air minum yang tidak
memadai, sanitasi yang buruk, pembuangan limbah padat, dan
infrastruktur kesehatan masyarakat yang buruk. Semua ini
menghasilkan lingkungan yang potensial untuk perkembangbiakan
dan transmisi nyamuk Aedes aegypti (WHO SEARO, 2011).
3) Peningkatan global travel
Semakin luasnya perjalanan dan peningkatan eksponensial dalam
bidang pariwisata dan perdagangan dapat memungkinan penyebaran
serotipe/genotipe virus dengue baru melalui orang yang telah
terinfeksi namun asimtomatik (WHO SEARO, 2011).
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi dengue bermula ketika nyamuk vektor yang terinfeksi virus
dengue menghisap darah dari manusia. Virus dengue yang berada dalam
saliva nyamuk diinjeksikan ke aliran darah di kulit (Halstead, 2007).
Infeksi virus menjadi lebih efektif dengan memanfaatkan sifat saliva
nyamuk yang memiliki efek anti hemostatik dan anti inflamasi
(Valenzuela, 2004). Virus dengue yang telah diinjeksikan tersebut
kemudian menginfeksi sel dendritik melalui reseptor TLR7, TLR3,
MDA5, dan RIG1 (Martina, et al., 2009; Schmid, et al., 2014).
Saat virus masuk kedalam tubuh, sel host segera mengenali PAMPs
(pathogen-associated molecular pattern) virus tersebut, dan
menginduksi respon imun bawaan. Secara umum, ketika salah satu sel
host terinfeksi virus, maka sel tersebut akan mensekresikan IFN-α/β yang
menghambat replikasi virus dengan cara menjadikan sel-sel host yang
lain resisten terhadap infeksi virus tersebut (Schmid, et al., 2014).
Namun, pada infeksi virus dengue, protein non-struktural virus, NS2B/3
7
merusak protein MITA (Mediator of IRF3 Activation) pada manusia.
Protein MITA ini memiliki peran dalam respon seluler terhadap infeksi
virus serta dalam produksi IFN-α/β (Yu, et al., 2012).
Selanjutnya, sel dendritik yang terifeksi akan berperan sebagai
antigen presenting cell (APC) dan bermigrasi ke nodi limfe untuk
mengaktifkan sel T-Helper, serta menarik monosit dan makrofag
(Martina, et al., 2009; Candra, 2010).
Sel T-Helper berperan dalam aktivasi limfosit T dan limfosit B.
Limfosit T berperan dalam melisiskan sel yang terinfeksi virus,
sedangkan limfosit B berperan dalam menghasilkan antibodi. Antibodi
yang dihasilkan oleh limfosit B melawan infeksi dengan 2 cara: memblok
patogen agar tidak masuk ke dalam sel (netralisasi), dan merekrut sel-sel
dan molekul-molekul sitotoksik untuk membunuh pathogen. Cara kedua
dilakukan melalui mekanisme opsonisasi, fiksasi komplemen, dan
antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) (Owen, et al.,
2013).
Monosit dan makrofag ikut berperan dalam patofisiolgi infeksi
dengue, dimana virus tersebut masuk dan bereplikasi di dalam sel
tersebut (Wati, et al., 2007). Akibatnya, virus dapat bermultiplikasi,
kemudian menyebar melaui aliran limfe dan masuk ke aliran darah,
sehingga menyebabkan viremia (Martina, et al., 2009). Selanjutnya virus
akan menyebar ke berbagai jaringan dan organ. Virus dengue mampu
menginfeksi dan beriplikasi di dalam endotelium, sehingga berakibat
pada gangguan permeabilitas kapiler (Dalrymple & Mackow, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Jessie, et al. (2004) pada pasien yang
terinfeksi virus dengue menunjukan adanya antigen virus dengue di
berbagai jaringan dan organ, seperti hati, limpa, paru, ginjal dan leukosit
perifer. Virus dengue juga menginfeksi sumsum tulang, yang memiliki
peran dalam hemopoesis (Noisakran, et al., 2012). Akibatnya akan
terjadi inhibisi perkembangan megakaryosit, sehingga dapat
menimbulkan trombositopenia (Sridharan, et al., 2013).
8
Autoimunitas juga ikut berperan dalam memperarah infeksi dengue.
Adanya kemiripian antara trombosit, sel-sel endotel, dan faktor-faktor
pembekuan darah dengan antigen virus, seperti protein E (envelope),
protein NS (non-structural) dan protein prM (precursor membrane)
menyebabkan reaksi silang oleh antibodi anti-NS1, anti-prM, dan anti-E
(Wan, et al., 2013).
Ketika seorang pasien mengalami viremia akut, nyamuk Aedes
betina yang kemudian mengambil darah dari pasein tersebut akan
terinfeksi pula. Selanjutnya virus akan berada dalam saliva nyamuk, dan
menginfeksi manusia lain yang digigit nyamuk tersebut (Schmid, et al.,
2014).
Proses patogenesis yang membedakan apakah seseorang akan
terkena DBD atau demam dengue (DD) pada infeksi virus dengue primer
tergantung pada faktor virulensi virus dan faktor host (Martina, et al.,
2009). Meskipun begitu, biasanya pasien akan mengalami DBD pada
infeksi sekunder oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda
(Kurane, 2007).
Bila seseorang pernah terinfeksi virus dengue serotipe tertentu, maka
akan terbentuk kekebalan terhadap virus dengue serotipe tersebut
(Candra, 2010). Namun, bila terjadi infeksi sekunder oleh virus dengue
serotipe yang lain, maka antibodi yang terbentuk pada infeksi pertama
tidak mampu menetralisasi virus tersebut (Whitehead, et al., 2007).
Selain itu, adanya antibodi non-netralisasi (akibat infeksi dengue yang
pertama) akan memperberat infeksi sekunder, suatu mekanisme yang
disebut antibody dependent enhancement (ADE) (Schieffelin, et al.,
2010). ADE pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat antibodi non-
netralisasi berikatan dengan virus dengue yang baru dan membentuk
komplek virus-antibodi. Virus yang telah berikatan dengan antibodi non-
netralisasi akan lebih mudah menginfeksi monosit, dimana monosit
memiliki peran dalam patofisiologi infeksi dengue (Martina, et al., 2009;
Schmid, et al., 2014).
9
Monosit yang terinfeksi oleh virus dengue disertai adanya ADE akan
menginduksi sekresi TNF-α dan sitokin-sitokin lain. Hal inilah yang
menjadi salah satu sebab mengapa pada pasien DBD akan terjadi
peningkatan kadar TNF-α dalam serum. Selain TNF- α, pada pasien DBD
bila dibandingkan dengan pasien DD, akan terjadi peningkatan signifikan
berbagai sitokin seperti, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, IL-13, IL-
18, IFN-γ, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), macrophage
migration inhibitory factor (MIF), dan transforming growth factor-β.
Beberapa dari sitokin-sitokin tersebut diketahui ikut berperan dalam
patofisiologi DBD (Kurane, 2007; Wan, et al., 2013).
Proses patofisiologi yang menjadi hall mark DBD pada infeksi virus
dengue adalah adanya kebocoran plasma dan gangguan pembekuan
darah (koagulopati) (Sellahewa, 2012). Berbagai mekanisme yang
menyebabkan kedua hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
1) Kebocoran plasma
a) Kemampuan virus dengue untuk menginfeksi dan beriplikasi di
dalam endotelium akan berakibat pada gangguan permeabilitas
kapiler (Dalrymple & Mackow, 2012).
b) Adanya kemiripan antara antigen virus dengue dengan sel-sel
endotel, akan menyebabkan reaksi silang antibodi. Akibatnya
akan terjadi kerusakan endotel dan kebocoran plasma (Wan, et
al., 2013).
c) Tingginya kadar TNF-α berperan dalam peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, yang dapat menyebabkan
kobocoran plasma (Candra, 2010).
d) Beberapa penelitian in vitro menunjukan bahwa sitokin-sitokin
lain, seperti IL-8, MCP-1, MIF, dan metalloproteinase juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
(Wan, et al., 2013).
2) Gangguan pembekuan darah
10
a) Virus dengue mampu menginfeksi sumsum tulang dan
menimbulkan gangguan pada perkembangan megakaryosit,
sehingga menyebabkan trombositopenia (Sridharan, et al.,
2013).
b) Autoimuntas yang terjadi akibat kemiripan molekul virus
dengue dengan trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah
akan berakibat pula pada gangguan pembekuan darah (Wan, et
al., 2013).
1) Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi yang dilakukan untuk mendiagnosis DBD
adalah hitung trombosit dan nilai hematokrit. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada fase akut. Hasil hitung trombosit pada pasien
11
DBD ditemukan trombositopenia (<100.000 per μL), biasanya terjadi
antara hari ke 3-8 setelah onset penyakit.
Peningkatan hematokrit sebanyak 20% atau lebih menunjukan adanya
hemokonsentrasi. Hal ini menandakan adanya hipovolemia akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan kobocoran plasma.
2) Isolasi virus
Virus dapat diisolasi dari serum, plasma dan mononuclear cells darah
tepi, dan dari jaringan (hati, paru, nodi limfe, thymus, dan sumsum
tulang) melalui otopsi. Spesimen yang akan dilakukan isolasi virus
harus dikumpulkan pada fase awal penyakit, ketika periode viremia
(biasanya sebelum 5 hari).
Kultur sel adalah metode yang paling banyak digunakan untuk isolasi
virus dengue. Sel nyamuk strain C6/36 (kloning dari Ae. albopictus)
atau AP61 (cell line dari Ae. pseudoscutellaris) adalah sel inang
pilihan untuk isolasi rutin dari virus dengue. Karena tidak semua tipe
virus dengue menginduksi efek sitopatik di sel nyamuk, maka kultur
sel harus disaring untuk bukti spesifik adanya infeksi dengan
immunofluorescence assay untuk mendeteksi antigen menggunakan
antibodi monoklonal dari serotipe yang spesifik atau dengan dengue
complex-reactive monoclonal antibodies. Isolasi Virus dan diikuti
oleh konfirmasi immunofluorescence assay biasanya membutuhkan
waktu 1-2 minggu.
3) Deteksi asam nukleat
Asam nukleat virus dengue dapat dideteksi dengan beberapa metode:
a) Reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR)
b) Real-time RT-PCR
c) Metode amplifikasi isotermal
4) Deteksi antigen
Semua jenis Flavivirus (yang merupakan genus dari virus dengue)
menghasilkan glikoprotein non-struktural 1 (NS1). NS1
menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Perkembangan baru
12
dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke antigen
envelope/membran (E/M) dan protein non-struktural 1 (NS1).
Konsentrasi tinggi antigen-antigen tersebut dalam bentuk kompleks
imun bisa terdeteksi pada pasien dengan infeksi dengue primer dan
sekunder sampai sembilan hari setelah onset penyakit. Banyak
penelitian telah diarahkan dalam menggunakan deteksi NS1 untuk
membuat diagnosis awal infeksi virus dengue.
5) Tes serologis
Tes serologis untuk deteksi virus dengue meliputi:
a) MAC ELISA (IgM antibody-captured enzyme-linked
immunosorbent assay)
b) IgG ELISA
c) IgM/IgG ratio
d) IgA
e) Haemagglutination-inhibition test
f) Complement fixation
g) Neutralization test
Menurut WHO SEARO (2011), diagnosis DBD dapat ditegakkan
melalui kriteria klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
1) Kriteria klinis
a) Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, yang
biasanya berlangsung selama dua sampai tujuh hari.
b) Salah satu manifestasi perdarahan termasuk test tourniquet
positif (yang paling umum), petechiae, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, dan hematemesis dan melena.
c) Pembesaran hati (hepatomegali) yang biasanya dapat
diamati pada 90% - 98% pasien anak-anak. Frekuensi
bervariasi berdasarkan waktu dan pengamat.
d) Syok, dimanifestasikan oleh takikardi, perfusi jaringan
yang buruk dengan pulsasi lemah dan penyempitan tekanan
13
nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dengan disertai
kulit lembab dan dingin, serta gelisah.
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)
b) hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit ≥20% dari batas
normal pasien atau populasi pada usia yang sama.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit, cukup untuk
menetapkan diagnosis klinis DBD. Adanya pembesaran hati
tanpa disertai dua kriteria klinis pertama adalah sugestif DBD
sebelum timbulnya kebocoran plasma.
Adanya efusi pleura (pada pemeriksaan rontgen dada atau
USG) adalah bukti yang paling obyektif untuk mengetahui
kebocoran plasma, sedangkan hipoalbuminemia merupakan
bukti pendukung. Hal ini sangat berguna untuk diagnosis DBD
pada pasien dengan:
1) anemia,
2) perdarahan parah,
3) ketika batas normal hematokrit tidak diketahui,
4) kenaikan hematokrit, tatapi <20% karena terapi intravena
awal
(WHO SEARO, 2011)
Tingkat keparahan DBD dibagi menjadi 4 kriteria (Tabel 2.1)
14
Tabel 2.1 Tingkat keparahan DBD menurut WHO
f. Komplikasi
Komplikasi dari DBD, biasanya terjadi akibat syok yang
berkepanjangan menyebabkan terjadinya asidosis metabolik
hiperkloremik (Noritomi, et al., 2009). Selain itu, infeksi dengue yang
parah dapat menyebabkan kerusakan berbagai organ, seperti: hati, paru,
jantung, dan lien (Póvoa, et al., 2014).
Pada pasien DBD, dapat terjadi dengue encephalophaty.
Penyebabnya antara lain karena hipoperfusi otak (akibat terjadi syok),
edema otak (akibat terjadi kebocoran plasma), perdarahan intrakranial
(akibat trombositopenia dan koagulopati), serta gangguan elektrolit
(Hendarto & Hadinegoro, 1992).
Pasien yang memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi penyakit
yang lebih parah antara lain:
15
1) anak-anak dan lansia,
2) pasien dengan obesitas,
3) wanita hamil,
4) pasien dengan ulkus peptik,
5) wanita yang sedang menstruasi atau mengalami perdarahan vagina
abnormal,
6) pasien dengan gangguan pembekuan darah,
7) pasien dengan penyakit jantung bawaan,
8) penderita penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes melitus, asma,
penyakit jantung iskemik, gagal ginjal kronik, dan sirosis hati,
9) penggunaan terapi steroid atau NSAID
(WHO SEARO, 2011).
Komplikasi sekunder dapat juga terjadi saat penatalaksanaan pasien.
Pemberian resusitasi cairan yang berlebihan saat penanganan pasien yang
mengalami syok dapat menyebabkan edema paru serta gagal jantung
(Groeneveld & Polderman, 2005).
g. Pencegahan
Pendekatan yang digunakan dalam program pencegahan dan
pengendalian DBD adalah dengan mengandalkan pengendalian vektor.
Vektor yang dimaksud disini adalah nyamuk yang dapat menularkan
keempat serotipe virus dengue kepada manusia (ADB, 2013).
Cara terbaik untuk mengendalikan nyamuk adalah dengan
menghilangkan tempat-tempat nyamuk bertelur, seperti wadah tempat
penampungan air di dalam dan sekitar rumah (CDC, 2012).
Cara lain yang dapat digunakan untuk memberantas vektor adalah
dengan penyemprotan insektisida (fogging) (WHO, 2012). Namun,
belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan fogging sebagai
metode tunggal pemberantasan nyamuk yang efektif (Esu, et al., 2010).
Selain itu, ditemukan juga adanya resistensi vektor terhadap insektisida,
serta akibat faktor lingkungan menjadikan fogging kurang efektif
(Marcombe, et al., 2012).
16
Selain dengan pengendalian vektor, saat ini juga tengah
dikembangkan vaksin untuk mencegah DBD (WHO, 2012). Tantangan
dalam perkembangan vasin dengue adalah vaksin harus mampu
menghasilkan kekebalan terhadap keempat serotipe virus agar tidak
terjadi penyakit yang lebih berat bila terjadi infesi sekunder oleh virus
dengue dengan serotipe yang berbeda. Vaksin dengue yang telah
memasuki uji klinis fase III, dibuat oleh perusahaan Sanofi Pasteur
dengan nama Dengvaxia®, dan telah terdaftar pertama kali di Meksiko
pada Desember 2015 (WHO, 2016).
17
c) Menjaga keadaan ruang kamar dengan menghindari kebiasaan
menggantung pakaian dalam kamar, serta mengupayakan pencahayaan
dan ventilasi ruang yang memadai
d) Mencegah gigitan nyamuk, misal: menggunakan kelambu dan memakai
obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
(Handoko, et al., 2011)
a. Karakteristik Sosio-demografis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandren, et al.
(2015), karakteristik sosio-demografis yang secara statistik berperan
dalam mempengaruhi pelaksanaan pencegahan DBD di masyarakat
berupa wilayah dan frekuensi fogging.
b. Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo,
2010).
18
c. Perilaku Masyarakat
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) perilaku
didefiniskan sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Dalam kaitannya dengan upaya pencegahan
DBD, maka PSN termasuk dalam salah satu bentuk perilaku
kesehatan. Perilaku kesehatan sendiri didefinisikan sebagai suatu
respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sehat- sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan seperti pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan
lingkungan (Notoatmodjo, 2010).
19
B. Kerangka Penelitian
Penyuluhan kesehatan
oleh Puskesmas
Pengetahuan masyarakat
dalam upaya PSN DBD
Keadaan sosio-
demografis
Hasil implementasi PSN
DBD (3M Plus)
Keterangan:
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dimana hasil temuannya
adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang
menjadi informan, dan berupa perilaku yang dapat diamati (Kuswandani &
Sastroasmoro, 2014).
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana
kasus yang dipelajari berupa program, aktivitas, dan individu (Saryono &
Anggraeni, 2013).
C. Subjek Penelitian
Informan penelitian terdiri dari dua komponen, yaitu petugas kesehatan
dan masyarakat Kecamatan Ngemplak. Petugas kesehatan terdiri dari
Penanggungjawab program pemberantasan penyakit menular (P2M), Kepala
Puskesmas Ngemplak, dan bidan - bidan desa. Sedangkan masyarakat terdiri
dari Camat Ngemplak, Kepala Desa, dan warga Kecamatan Ngemplak yang
memenuhi kriteria inklusi.
1. Kriteria Inklusi
a. Kriteria inklusi untuk petugas kesehatan
1) Bersedia menjadi informan
b. Kriteria inklusi untuk masyarakat Kecamatan Ngemplak
1) Bersedia menjadi informan
2) Tinggal dan menetap di Kecamatan Ngemplak
21
2. Teknik Sampling
Pemilihan informan penelitian menggunakan metode purposive
sampling, dimana subjek dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
informan mampu memberikan informasi yang memadai untuk menjawab
pertanyaan penelitian (Sastroasmoro, 2014).
D. Instrumen Penelitian
1. Informed consent
Informed consent merupakan formulir kesepakatan peneliti dan informan
yang berisikan prosedur penelitian, hak dan kewajiban selama melakukan
penelitian.
2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar selama wawancara dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian.
3. Perekam suara
Peneliti menggunakan perekam suara untuk memperoleh data secara lebih
teliti karena proses wawancara dapat berlangsung cukup lama.
4. Dokumen
Dokumen yang digunakan berisi informasi mengenai angka kejadian DBD
di Kecmatan Ngemplak, angka bebas jentik di Kecamatan Ngemplak serta
dokumen lain yang terkait.
E. Pengertian Dimensi Penelitian
1. DBD (Demam Berdarah Dengue)
22
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Ditandai dengan
gejala umum infeksi dengue, ditambah adanya tanda perdarahan dan
kebocoran plasma. Diagnosis DBD ditegakkan dengan anamnesis, serta
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan hematologi, isolasi virus,
deteksi antigen, deteksi asam nukleat, pemeriksaan serologi, dan lain-lain.
2. PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) DBD
Merupakan upaya pencegahan kasus DBD dengan cara menghambat
perkembangbiakan nyamuk yang menjadi vektor penularan virus dengue.
Program PSN terdiri dari 3M (menguras, menutup, memanfaatkan) plus
upaya lain yang mendukung.
3. Pengetahuan
Hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Pengetahuan yang diteliti dalam penelitian ini adalah pengetahuan
masyarakat mengenai cara pencegahan DBD dengan PSN.
4. Perilaku
Merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Dalam penelitian ini, perilaku yang diamati merupakan peilaku
kesehatan berupa pencegahan DBD dengan PSN.
5. Hasil Implementasi PSN DBD
Merupakan hasil yang diamati setelah pelaksaan PSN DBD oleh
masyarakat. Hasil dapat dinilai melalui ABJ dan angka kejadian DBD.
6. Dimensi Sosial dan Budaya
Merupakan dimensi yang mempengaruhi pengetahuan dan perilaku
masyarakat dalam pelaksaan PSN DBD. Dalam penelitian ini, dimensi
sosial dan budaya yang diteliti adalah pendidikan, ekonomi, dan status
sosial
F. Prosedur Penelitian
1. Menyusun pedoman wawancara.
2. Menentukan informan
23
3. Meminta izin kepada informan untuk bersedia berpartisipasi dalam
penelitian (dengan informed consent).
4. Melakukan wawancara mendalam kepada informan.
5. Menuliskan hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip.
6. Melakukan analisis data.
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu bertitik
tolak dari yang khusus menjadi umum. Berawal dari fakta yang diperoleh
melalui observasi khusus kemudian dibuat pola-pola umum, serta mendalami
rincian dan kekhasan data guna menemukan kategori, dimensi, dan saling
keterkaitan (Raco, 2010; Kuswandani & Sastroasmoro, 2014).
1. Credibility
Agar hasil penelitian kualitatif memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi
sesuai dengan fakta di lapangan, peneliti melakukan upaya sebagai
berikut:
a. Membaca catatan dan mendengarkan rekaman hasil wawancara secara
berulang-ulang
b. Melakukan triangulasi metode, dimana metode pengumpulan data
didapat melalui wawancara, observasi pasrtisipan dan analisis
dokumen
c. Melakukan triangulasi sumber data, dimana sumber data berasal dari
dua kelompok, yaitu kelompok petugas kesehatan dan kelompok
masyarakat
(Saryono & Anggraeni, 2013; Bachri, 2010)
2. Transferability
Kriteria transferability merujuk pada kemampuan hasil penelitian
kualitatif yang dapat ditransfer ke ranah atau setting lain. Pada peneleitian
kualitatif, hasil penelitian hanya dapat diterapkan di tempat lain apabila
keadaannya sama atau sesuai. Oleh karena itu, untuk memastikan
24
trasferbility, strategi yang dilakukan adalah dengan memberikan
penjelasan yang detail tentang focus penelitian, kedudukan partisipan, dan
dasar penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013; Sulaeman, 2016)
3. Dependability
Memungkinkan orang lain untuk mengulangi penelitian sesuai prosedur
yang ditetapkan dengan mengaudit keseluruhan penelitian (Saryono &
Anggraeni, 2013). Untuk menguji dependability, peneliti meminta orang
lain (dalam hal ini adalah pembimbing penelitian dan rekan peneliti dari
mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS) untuk mengaudit ulang prosedur
penelitian.
4. Confirmability
Confirmability merupakan sebutan untuk objektivitas dalam penelitian
kualitatif. Sesuatu dianggap objektif tergantung pada persetujuan beberapa
orang terhadap pandangan, pendapat atau penemuan. Dalam penelitian
kualitatif, confirmability didapat bila hasil penelitian dikonfirmasikan ke
orang lain (Sulaeman, 2016; Bachri, 2010). Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, hasil penelitian akan dikonfirmasikan ke pembimbing
penelitian dan rekan peneliti dari mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS.
Menurut Saryono & Anggraeni (2013), dalam penelitian kualitatif dengan
model studi kasus, langkah-langkah analisis data berupa:
1. Mengorganisir informasi
2. Membaca keseluruhan informasi yang didapat dan memberi kode
3. Membuat uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya
4. Menetapkan kategori, dan mencari hubungan antara beberapa kategori
5. Melakukan interpretasi
6. Mengembangkan generalisasi natural untuk penerapan pada kasus lain
7. Menyajikan data
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik informan
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara
mendalam, observasi partisipan dan analisis dokumen. Informan yang ikut
serta dalam penelitian sebanyak 8 orang dan terdiri dari 2 kelompok,
masyarakat dan petugas kesehatan. Karakteristik informan dijelaskan pada
Tabel 4.1
26
dan dokumen berisi hasil pemeriksaan jentik berkala bulan Juni 2016. Kedua
dokumen tersebut didapat dari Puskesmas Ngemplak.
27
beberapa minggu tidak dikuras. Sedangkan warga Desa Ngargorejo yang
rumahnya didatangi, sebagian besar menyatakan bahwa penampungan airnya
rutin dikuras setiap minggu.
28
Tabel 4.2 Hasil Kategorisasi Tema Pengetahuan tentang PSN
a. Penyuluhan PSN
Hasil penelitian menunjukan bahwa penyuluhan tentang PSN
kepada masyarakat sudah sering dilakukan di Desa Kismoyoso dan
Desa Ngargorejo. Pelaksaan peyuluhan biasanya dilakukan oleh kader
kesehatan atau bidan desa, minimal 1 bulan sekali. Penyuluhan
dilaksanakan bersamaan dengan acara perkumpulan, dapat berupa
perkumpulan anggota RT atau RW, maupun perkumpulan anggota
PKK. Hal tersebut disampaikan informan sebagai berikut:
“Iya, hampir setiap bulan, di desa Ngargorejo kan setiap bulan
ada pertemuan PKK, kemudian tiap tanggal 10 dan tanggal 15 itu ada
Dawis, dasa wisma, tetapi karena sini penduduknya sedikit jadi dibuat
per RW. Kalau tanggal 10 itu RW 2, kalau tanggal 15 RW 1. Jadi
setiap kali pertemuan kader, diberangkan dengan pertemuan PKK,
kita selalu poin pertama mengadakan penyuluhan atau mengingatkan
tentang PSN dan penyakit demam berdarah” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)
29
“Penyuluhan kalau waktu itu, kadang kan pak lurah
mengumpulkan RT-RW di balai desa. Ya itu, pasti biasanya ada
penyuluhan, lebih detekankan pada PSNnya daripada fogging atau
semprot. Terus kalau biasanya saya di PKK” (Ibu D, bidan desa
Kismoyoso)
30
“Khusus buat penyuluhan itu malah satu desa…
Satu desa itu didatangi dari puskesmas…
Tapi pemintaan dari desa. Kalau desa tidak minta juga tidak
datang” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)
“Jadi masyarakat itu biarlah mereka yang memilih, gitu lho. Jadi
mereka merasa nyaman, kemudian tinggal kita yang memberikan
penyuluhan, jadi masyarakat itu, sekarang itu harus kita dewasakan.
Jadi masyarakat itu biar merencanakan jadi mereka merencanakan
butuh penyuluhan. Jadi penyuluhan itu bukan kebutuhan kita, jadi itu
kebutuhan masyarakat. Ketika mereka butuh, mereka akan meminta”
(Pak S, petugas P2M)
b. Pengetahuan masyarakat
Pada penelitian, hampir semua informan menyatakan bahwa
sebagian besar masyarakat sudah mengetahui tentang 3M. Hal ini
didukung oleh pernyataan informan sebagai berikut:
“Semuanya sudah tahu mas (tentang 3M)” (Ibu L, kader jumantik
Ngargorejo)
“(Masyarakat) Sebenernya sudah (tahu tentang 3M), saya kira ya”
(Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Sebagian besar sudah tahu (tentang 3M)” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)
2. Pelaksanaan PSN
Pada penelitian diperoleh data mengenai pelaksanaan PSN oleh
masyarakat di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo (Tabel 4.3).
31
Tabel 4.3 Hasil Kategorisasi Tema Pelaksanaan PSN
32
“3Mnya iya, biasanya Minggu bersih atau 2 minggu sekali, atau
kalau satu minggu sekali pasti tiap-tiap rumahnya. Tapi yang serentak
kadang 2 minggu sekali” (Ibu A, bidan desa Ngargorejo)
“Trus programnya biasanya kalau di wilayah atau per dusun tuh kan
sendiri-sendiri. Ada yang Minggu bersih, ada yang Jumat sore bersih,
Minggu pagi bersih, Minggu sore bersih, gitu” (Pak J, kepala desa
Kismoyoso)
33
Tabel 4.4 Hasil Kategorisasi Pengaruh Faktor Sosial-Budaya dan Faktor
Lain dalam Pelaksanaan PSN
34
a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan memberikan pengaruh dalam pelaksanaan PSN
oleh masyarakat, terutama bila dikaitkan dengan penerimaan
informasi oleh masyarakat yang berpendidikan tinggi akan lebih
mudah, sehingga pengetahuan tentang PSN akan lebih baik. Hal itu
disampaikan oleh sebagian informan sebagai berikut:
“Ya walaupun kebanyakan bisa dipastikan kalau tingkat
pendidikan tinggi lebih tau ya. Biasanya sekarang kan informasi di
share dimanapun, iya kan?” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Ya sekarang kalau yang pendidikannya rendah memang kadang
tidak lulus SD itu ‘alah, esensi PSN itu apa? Tidak usah, asalkan aku
sudah nyapu di rumah bersih lha sudah’ begitu” (Ibu N, kader
jumantik Kismoyoso)
“Tapi kalau menurut saya mestinya juga dengan semakin
tingginya pendidikan itu kan lebih gampang kita kasih tau, gitu lho”
(Ibu E, kepala puskesmas Ngemplak)
35
cenderung ke kepribadian, atau mental mereka, gitu lho.” (Pak S,
petugas P2M)
“Tapi itu kembali kepada perilaku masyarakat. Jadi bisa jadi
orang yang mungkin pendidikannya lebih tinggi tapi malas
(melaksanakan PSN) kan bisa jadi” (Ibu E, kepala puskesmas
Ngemplak)
b. Status sosial-ekonomi
Pada penelitian didapatkan bahwa sebagian informan mengatakan
bahwa semakin tinggi status ekonomi seseorang, maka pelaksanaan
PSNnya akan semakin baik. Pernyataan tersebut didasarkan pada
asumsi informan bahwa semakin tinggi status-ekonomi, maka
lingkungannya akan lebih diperhatikan, dan tingkat pendidikannya
pun akan lebih tinggi. Hal ini dinyatakan informan sebagai berikut:
“Kalau, status sosialnya tinggi, tempatnya bersih-bersih, ya semua
tidak mesti sebenernya. Tapi tetap kebanyakan iya, karena status
sosial-ekonominya lebih tinggi ya harusnya ada pembantu di rumah.
Setidaknya kan pasti kamar mandi terus kebersihan lingkungan dalam
rumah, apa-apa kan mestinnya ya lebih diperhatikan” (Ibu D, bidan
desa Kismoyoso)
“Pengaruh, karena misalkan bagi yang mampu kan anaknya juga
mesti sekolah, banyak yang sekolah. Artinya tingkat pendidikan,
namun tidak serta merta semuanya mesti tau” (Pak J, kepala desa
Kismoyoso)
36
“Dulu, tapi sekarang sudah tidak mas, dulu kalau kita
mengadakan PSN, seminggu sekali mesti keliling kader-kader itu.
Dulu pernah tho, itu ada yang status ekonominya baik, yang
maksudnya orang berada lah, terus mereka tuh semuanya dua guru,
pensiunan, itu kalau kadernya yang cuman lulusan SD kesitu, itu
mesti mereka gimana ya, kadang ‘oo pokoknya tempatku sudah
bersih’, padahal setelah diteliti, ternyata banyak jentik-jentinya mas,
disitu” (Ibu L, kader jumantik Ngargorejo)
“Iya, entah alasannya apa, atau memang mereka nggak peduli
atau gimana. Tapi banyak kok ketika kita pemeriksaan jentik PSN
gitu, pemeriksaan jentik di rumah-rumah gitu, justru rumah orang
yang kaya-kaya gitu kadang jentiknya banyak, banyak itu. Kadang
mereka rumahnya orang-orang kaya punya mobil, kemudian ganti
ban, ban mobil ditaro sembarangan, kadang hujan, malah jadi
perindukan nyamuk, banyak itu. Jadi, status sosial itu bukan jaminan,
ya bukan jaminan, kalau kaitannya dengan DBD” (Pak S, petugas
P2M)
37
sampe sore, anaknya kecil, begitu kadang iya, bisa saja berpengaruh.
Maksudnya kebersihan lingkunganya, rumahnya, otomatis dia tidak
begitu memperhatikan PSN, iya bisa. Tapi tidak mesti, kalau kerja
seharian asal anaknya agak besar kan ya dia ada kesempatan untuk
memperhatikan lingkungannya” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Kalau tidak ada keluarga yang lain kan kalau misalkan keluarga
sendiri, atau cuma berdua, dan kebetulan sibuk, mestinya terlalu
sibuk kan kadang juga kelupaan, kan pasti ada” (Pak J, kepala desa
Kismoyoso)
“Kadang-kadang ada juga yang anaknya terlalu banyak, repot
katanya” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)
38
“Iya, tapi seringnya begitu. Karena kalau tua kan tidak
memperdulikan kamar mandi, dikiranya sudah bersih, begitu” (Ibu D,
bidan desa Kismoyoso)
39
e. Kecenderungan meminta fogging
Presepsi masyarakat tentang fogging dapat mempengaruhi
pelaksanaan PSN. Masyarakat yang terlalu bergantung pada fogging
akan cenderung enggan untuk melaksnakan PSN. Hasil penelitian
dengan membandingkan Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo,
terdapat perbedaan dalam hal ini. Masyarakat Desa Kismoyoso
cenderung langsung meminta untuk dilakukan fogging apabil terjadi
kasus DBD. Berbeda dengan masyarakat Desa Ngargorejo yang
menolak bila akan dilakukan fogging. Hal ini didukung oleh
pernyataan informan sebagai berikut:
“Tapi masyarakat memang harus diberdayakan. Jadi masyarakat
itu harus berdaya, untuk mengatasi DBD, dengan PSN, gitu lho.
Jangan membodohi masyarakat. Kalau fogging itu kan membuat
masyarakat tidak mau berdaya guna, gitu lho. Nanti sudah di fogging,
sudah. Padahal, fogging itu bukan segala-galanya. Banyak di
beberapa tempat tuh habis di fogging, muncul lagi kasus” (Pak S,
petugas P2M)
“Iya, dan apabila akan di fogging, pasti menolak duluan ‘tidak
perlu di fogging, tidak usah disemprot, pasti nanti tidak memecahkan
masalah, karena nanti masyarakat jadi terlena’ dan kebetulan
masyarakat sini juga tidak mau di fogging” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)
“Daerah sana biasannya demam berdarah kok, sebenernya
lingkungannya bagus, lingkungan ya sebenarnya agak kota, tapi
kadang ya PSNnya karena tidak dijalankan itu, disini kan biasanya
semprot semprot semprot” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
40
Ngargorejo, meskipun aturan mengenai sanksi ini tidak tertulis. Hal
didukung oleh pernyataan informan sebagai berikut:
“Iya, jadi perlu sanksi. Jadi, untuk menyadarkan masyarakat
tentang PSN, itu perlu sanksi sosial, katakanlah seperti itu. Anda tau,
Desa Kragilan, Mojosongo, Boyolali dulu, dulu lho, itu kan jadi
contoh nasional kaitannya dengan PSN. Karena apa? Lurahnya itu
menerbitkan Perdes, ada Perdes yang namanya Perdes Kragilan,
Desa Kragilan tahun 2005. Karena waktu itu ada kasus banyak yang
meninggal banyak, satu desa, kemudian terbit perdes kaitannya PSN
yang mengatur, kalau PSN itu, kaitannya PSN, kalau rumah warga
yang ditemukan jentik, diberi bendera warna merah. Jadi di depan
rumah dikasih bendera warna merah, ‘KAWASAN BELUM BEBAS
JENTIK DALAM PENGAWASAN’, iya memang seperti itu. Saya
punya bendera merah itu. Nanti yang sudah kita gulirkan itu di
Manggung, kita sudah menggulirkan itu di Manggung, kemudian
sedikit di Ngesrep, seperti itu” (Pak S, petugas P2M)
“Kalau misalkan minggu depannya masih postif? Nanti biasanya
dari kader bareng bu bidan sama bu lurah kita datengi rumahnya
bareng-bareng, trus nanti kita nguras tempat penampungan airnya,
gitu….
…Kalau sanksi sosial itu tadi mas. Kan rumahnya didatengi bu
bidan, bu lurah dan kader-kader yang lain, kan otomatis malu mas,
dia kalau minggu depannya ‘wah harus bersih ini’ begitu” (Ibu L,
kader jumantik Ngargorejo)
41
Tabel 4.5 Hasil Kategorisasi Tema Hasil Implementasi PSN
42
Iya, yang bekas-bekas itu lho mas, aqua gelas, kemudian dari
sampah-sampah di lingkungan sekitarnya” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)
43
BAB V
PEMBAHASAN
44
Desa Ngargorejo terdapat kader jumantik yang betugas melakukan
pemeriksaan jentik di rumah-rumah warga. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan Chadijah, et al. (2011) bahwa pemberdayaan jumantik dapat
meningkatkan secara signifikan angka bebas jentik (ABJ) yang menjadi
indikator baiknya pelaksanaan PSN di masyarakat.
45
melaksanakan tindakan pencegahan DBD. Kesibukan juga dapat berpengaruh
terhadap pengetahuan, dimana kesibukan menjadikan seseorang tidak sempat
mengikuti kegiatan penyuluhan PSN, sehingga tidak mengerti akan pentingnya
PSN (Sigarlaki, 2007). Kesibukan merupakan faktor relatif yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan PSN. Seseorang mungkin memiliki kesibukan
yang tinggi, akan tetapi bila dia telah membiasakan diri untuk melakukan 3M,
maka kesibukan tidak menjadi penghalang. Selain itu, dalam pelaksanakan 3M,
dapat digantikan anggota keluarga uang lain. Sebagai contoh, apabila seorang
ayah yang menjadi kepala keluarga memiliki sibuk yang tinggi, maka
pelaksanaan 3M dapat dilakukan oleh ibu, maupun anaknya.
46
pelakasanaan PSN di Desa Ngargorejo juga mendapat dukungan dari tokoh
masyarakat, diantaranya dari kepala dusun dan perangkat desa. Dukungan yang
diberikan berupa motivasi kepada kader jumantik agar bersemangat dalam
melaksanakan pemeriksaan jentik, serta penyampaian penyuluhan mengenai
PSN di setiap acara masyarakat.
47
ekonomi tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan perilaku PHBS yang salah
satunya berupa perilaku pemberantasan jentik.
48
B. Rekomendasi Penelitian
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan
Ngemplak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, adanya
hambatan dalam pelaksanaan, dukungan tokoh masyarakat, kecenderungan
meminta fogging, serta adanya sanksi sosial. Oleh karena itu, peneliti
memberikan rekomendasi agap pelaksanaan penyuluhan PSN juga
memperhatikan hal-hal tersebut. Selain itu, ditemukan pula bahwa rendahnya
ABJ juga disebabkan oleh pelaksanaan PSN yang belum menyeluruh, oleh
karena peneliti merekomendasikan perlunya menyadarkan masyarakat untuk
melaksnakan PSN secara menyeluruh (di dalam rumah dan lingkungan luar
rumah)
C. Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:
49
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
50
B. Saran
1. Bagi petugas kesehatan di Kecamatan Ngemplak, disarankan untuk terus
meningkatkan program penyuluhan PSN dengan menyesuaikan faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya guna menggerakkan
masyarakat dalam upaya pencegahan DBD.
2. Dalam pengembilan data, sebaiknya dilakukan pula observasi kepada
masyarakat guna mengetahui keadaan yang ada di masyarakat
3. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode kuantitatif untuk
lebih mendalai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PSN oleh
masyarakat
51
DAFTAR PUSTAKA
Akbar MA, Gani HA, Istiaji E (2015). Dukungan tokoh masyarakat dalam
keberlangsungan desa siaga di desa Kenongo Kecamatan Gucialit
Kabupaten Lumajang, Jember: Unversitas Jember.
Chandren JR, Wong LP, AbuBakar S (2015). Practices of dengue fever prevention
and the associated factors among the orang asli in peninsular malaysia.
PLoS Negl Trop Dis , 9 (8).
52
Chanyasanha C, Guruge GR, Sujirarat D (2015). Factors influencing preventive
behaviors for dengue infection among housewives in Colombo, Sri Lanka.
Asia-Pacific Journal of Public Health, 27 (1): 96-104.
Dalrymple NA, Mackow ER (2012). Roles for endotheliail cell in dengue virus
infection. Advance in Virology, 2012: 1-8.
Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2014). Profil kesehatan jawa tengah tahun 2014,
Semarang: Dinas Kesahatan Provinsi Jawa Tengah.
Groeneveld A, Polderman K (2005). Fluid resuscitation: the good, the bad and the
ugly. Crit Care & Shock, 8: 52-54.
53
Higa Y (2011). Dengue vectors and their spatial distribution. Tropical Medicine
and Health, 39 (4): 17-27.
Hulukati WP, Hiola RP, Kadir S (2015). Persepsi masyarakat tentang fogging
focus pada kejadian demam berdarah di Desa Marisa Selatan Kecamatan
Marisa Kabupaten Pohuwato, Gorontalo: Universitas Negri Gorontalo.
54
__________(2014b). Peraturan mentri kesehatan Republik Indonesia nomor 82
tahun 2014 tentang penaggulangan penyakit menular. Jakarta: Mentri
Kesehatan RI.
Noisakran S, et al. (2012). Infection of bone marrow cells by dengue virus in vivo.
Exp Hematol, 40 (3): 250-259.
Noritomi D, et al. (2009). Metabolic acidosis in patients with severe sepsis and
septic shock: a longitudinal quantitative study. Crit Care Med, 37 (10):
2733-2739.
Owen JA, Punt J, Stranford SA (2013). Kuby immunology. 7th ed. New York:
W.H. Freeman and Company.
Póvoa TF, et al. (2014). The pathology of severe dengue in multiple organs of
human fatal cases: histopathology, ultrastructure and virus replication.
PLOS One, 9 (4): 1-16.
55
Schmid MA, Diamond MS, Harris E (2014). Dendritic cell in dengue virus
infection: targets of virus replication and mediators of immunity. Frontiers
in Immunology, 5 (647): 55-64.
56
WHO (1997). Dengue haemorrhagic fever diagnosis, treatment, prevention, and
control 2nd ed. Geneva: WHO Press.
WHO (2009). Dengue guidlines for diagnosis, treatment, prevention, and conrol.
Geneva: WHO Press.
WHO (2012). Global strategy for dengue prevention and control, 2012–2020.
Geneva: WHO Press.
Yu C, et al. (2012). Dengue virus targets the adaptor protein MITA to subvert host
innate immunity. PLoS Pathog, 8 (6): 1-13.
57
LAMPIRAN
58