Anda di halaman 1dari 69

IMPLEMENTASI PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK UNTUK

MENCEGAH DEMAM BERDARAH DENGUE DI KECAMATAN


NGEMPLAK, BOYOLALI: STUDI KUALITATIF

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ROMZI HUMAM MUHAMMAD


G0013205

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan Judul: Implementasi Pemberantasan Sarang Nyamuk untuk


Mencegah Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Ngemplak, Boyolali:
Studi Kualitatif

Romzi Humam Muhammad, NIM: G0013205, Tahun: 2016

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi


Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Senin, Tanggal 26 Desember 2016

Pembimbing Utama
Nama : Dr. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes (…………………)
NIP : 195603201983121002

Pembimbing Pendamping
Nama : Endang Listyaningsih S, dr., M.Kes (…………………)
NIP : 196408101998022001

Penguji Utama
Nama : Dr. Eti Pncorini Pamungkasari, dr., M.Pd (…………………)
NIP : 197503112002122002

Surakarta, ……………………….

Ketua Tim Skripsi Dekan Fakultas Kedokteran

Kusumadewi Eka Damayanti, dr., M.Gizi Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si
NIP 198305092008012005 NIP 196507271997021001

ii
PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah
dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 20 September 2016

Romzi Humam Muhammad


NIM. G0013205

iii
ABSTRAK

Latar belakang: Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah


kesehatan di Indonesia. Kecamatan Ngemplak, Boyolali merupakan salah satu
daerah yang endemis DBD karena setiap tahun selalu ditemukan kasus. Pemerintah
menetapkan upaya penanggulangan DBD dengan menekankan pada upaya
pencegahan, diantaranya melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
dengan 3M Plus. Indikator keberhasilan kegiatan PSN di suatu wilayah dinilai
dengan angka bebas jentik. Suatu wilayah dikatakan berhasil melaksanakan PSN
bila terwujudnya ABJ lebih atau sama dengan 95%. Bila terwujudnya ABJ 95%,
diharapkan penularan DBD dapat dicegah. Aspek-aspek penting dalam pencegahan
DBD adalah karakteristik sosio-demografis, pengetahuan, dan faktor perilaku.
Perilaku ditentukan oleh berbagai determinan perilaku, diantaranya adalah dimensi
sosial dan budaya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan Ngemplak, Boyolali
Metode penelitian: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo Kecamatan Ngemplak pada
bulan Oktober hingga November 2016. Sumber data penelitia berasal dari
wawancara dengan informa dan analisis dokumen. Informan pada penelitian ini
terdiri dari 4 petugas kesehatan dan 4 warga Kecamatan Ngemplak. Dokumen yang
digunakan adalah data kejadian DBD serta Angka Bebas Jentik (ABJ) di
Kecamatan Ngemplak.
Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat
sudah mengetahui tentang 3M plus. Sebagian besar masyarakat sudah
melaksanakan 3M plus. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan 3M plus adalah
tingkat pendidikan, adanya hambatan dalam pelaksanaan, dukungan tokoh
masyarakat, kecendurungan meminta fogging, serta adanya sanksi sosial. Faktor
yang tidak berpengaruh adalah status sosial ekonomi.
Simpulan penelitian: Sebagian besar masyarakat Kecamatan Ngemplak sudah
mengetahui dan melaksanakan 3M plus. Pelaksanaan 3M plus di Kecamatan
Ngemplak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, adanya
hambatan dalam pelaksanaan, dukungan tokoh masyarakat, kecendurungan
meminta fogging, serta adanya sanksi sosial.

Kata kunci: PSN, 3M plus, DBD

iv
ABSTRACT
Background: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a health problem in Indonesia.
Kecamatan Ngemplak, Boyolali is one of endemic area, because always found case
in there every year. The government set the dengue prevention efforts with an
emphasis on prevention, including through the mosquito nest extermination
program with 3M Plus: menguras (draining), menutup (covering) and
memanfaatkan (utilizing). Larva free index is being indicator in implementation of
mosquito nest extermination program. A region is considered successfully
implement mosquito nest extermination program when the larva free index is
greater than or equal to 95%. The transmission of dengue is expected to be
prevented when the larva free index is greater than or equal to 95%. Important
aspects in the prevention of dengue fever is a socio-demographic characteristics,
knowledge, and behavioral factors. Behavior is determined by various determinants
of behavior, including the social and cultural dimensions. The study aims to
determine the factors that affect the implementation of mosquito nest extermination
program in Kecamatan Ngemplak, Boyolali.
Methods: This research using qualitative method. This research was conducted in
Ngargorejo and Kismoyoso village at Kecamatan Ngemplak during October until
November 2016. The source of data is derived from interviews with informant and
analysis of documents. Informants in this study is consisted from four medical
officers and four citizens of Kecamatan Ngemplak. Documents used is dengue
incident rate and larva free index in Kecamatan Ngemplak.
Result: The results show that most citizen already know about 3M plus. Most people
already implement 3M plus. Factors affecting implementation of the 3M plus are
level of education, obstacles in the implementation, support of community leaders,
dependency on fogging, and social sanction. Factors that doesn’t influence is
socioeconomic status.
Conslusion: Most citizen of Kecamatan Ngemplak already know and implement
3M plus. Implementation of 3M plus in District Ngemplak is influenced by several
factors: level of education, the obstacles in the implementation, support of
community leaders, dependency on fogging, and social sanctions.

Key Words: Mosquito nest extermination program, 3M plus, Dengue Hemorrhagic


Fever

v
PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-
Nya peneliti dapat menyelesaikan laporan skripsi sebagai syarat memenuhi gelar
sarjana kedokteran.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dan membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Terima kasih peneliti ucapkan
pada:
1. Dr. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes selaku pembimbing utama yang telah
memberikan bimbingan kepada peneliti,
2. Endang Listyaningsih, dr., M.Kes selaku pembimbing pendamping yang telah
memberikan bimbingan kepada peneliti,
3. Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., M.Pd selaku penguji yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan
penelitian ini,
4. Kedua orangtua peneliti yang selalu mendukung dan memberikan semangat
kepada peneliti,
5. Eko Widatik, dr. selaku Kepala Puskesmas Ngemplak beserta jajaran petugas
kesehatan yang telah bersedia memberikan keterangannya dalam penelitian ini,
6. Warga Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo yang telah bersedia menjadi
informan dalam penelitian ini,
7. Teman-teman Alacritas Pendidikan Dokter UNS 2013 yang telah berjuang
bersama-sama dalam menyelesaikan studi,
8. Pihak-pihak lain yang telah membantu peneliti, yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu.
Laporan skripsi ini tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti
mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan laporan ini. Akhir kata,
semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan civitas akademika
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, 26 Desember 2016

Peneliti

vi
DAFTAR ISI

PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................................... ii


PERNYATAAN..................................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
ABSTRACT .............................................................................................................v
PRAKATA ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................3
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................................4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................5
A. Tinjauan Pustaka ...........................................................................................5
1. Demam Berdarah Dengue .........................................................................5
2. Pemberantasan Sarang Nyamuk ..............................................................17
3. Aspek dalam Pencegahan DBD...............................................................18
B. Kerangka Penelitian ....................................................................................20
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................21
A. Jenis Penelitian ............................................................................................21
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................21
C. Subjek Penelitian.........................................................................................21
1. Kriteria Inklusi ........................................................................................21
2. Teknik Sampling .....................................................................................22
3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................22
D. Instrumen Penelitian....................................................................................22
E. Pengertian Dimensi Penelitian ....................................................................22
F. Prosedur Penelitian......................................................................................23

vii
G. Analisis Data ...............................................................................................24
BAB IV HASIL PENELITIAN .............................................................................26
A. Karakteristik informan ................................................................................26
B. Hasil Analisis Dokumen .............................................................................26
C. Hasil Wawancara Mendalam ......................................................................27
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................44
A. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................44
B. Rekomendasi Penelitian ..............................................................................49
C. Keterbatasan Penelitian ...............................................................................49
BAB VI PENUTUP ...............................................................................................50
A. Simpulan .....................................................................................................50
B. Saran ............................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................52
LAMPIRAN ...........................................................................................................58

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tingkat keparahan DBD menurut WHO .............................................. 15


Tabel 4.1 Karakteristik Informan ......................................................................... 26
Tabel 4.2 Hasil Kategorisasi Tema Pengetahuan tentang PSN ............................ 29
Tabel 4.3 Hasil Kategorisasi Tema Pelaksanaan PSN ......................................... 32
Tabel 4.4 Hasil Kategorisasi Pengaruh faktor sosial-budaya dan faktor lain dalam
pelaksanaan PSN .................................................................................. 34
Tabel 4.5 Hasil Kategorisasi Tema Hasil Implementasi PSN .............................. 42

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian ......................................................................... 20

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Bukti Kelaikan Etik

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Kesatuan Bangsa dan Politik Boyolali

Lampiran 4. Lembar Informasi Kepada Subjek Penelitian

Lampiran 5. Lembar Persetujuan

Lampiran 6. Pertanyaan Penelitian

Lampiran 7. Koding Hasil Penelitian

Lampiran 8. Transkrip Wawancara 1

Lampiran 9. Transkrip Wawancara 2

Lampiran 10. Transkrip Wawancara 3

Lampiran 11. Transkrip Wawancara 4

Lampiran 12. Transkrip Wawancara 5

Lampiran 13. Transkrip Wawancara 6

Lampiran 14. Transkrip Wawancara 7

Lampiran 14. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi dengue, yang merupakan virus dengan penyebaran paling cepat di
seluruh dunia. Virus dengue digolongkan kedalam famili Flaviridae dan genus
Flavivirus, serta memiliki 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4. Virus dengue menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi
oleh virus ini, khususnya nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini banyak terdapat
di daerah tropis dan subtropis, serta tersebar luas di seluruh dunia (Kurane,
2007; WHO, 2009).

Demam berdarah dengue masih menjadi permasalahan kesehatan di


Indonesia, sehingga perlu perhatian khusus (Sunaryo & Pramestuti, 2014).
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1501 tahun 2010, DBD dimasukan kedalam
kelompok penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah (Menkes RI,
2010). Pada tahun 2014 dilaporkan terjadi 100.347 kasus DBD dengan
incidence rate (IR) 39,83 per 100.000 penduduk dan jumlah kematian 907
orang dengan dan case fatality rate (CFR) 0,90 % (Direktorat Jendral PP PL,
2015).

Pada tahun 2014, terjadi 11.075 kasus DBD di Jawa Tengah (IR 36,24
per 100.000 penduduk), dengan jumlah kematian 159 orang (CFR 1,7%).
Jumlah ini menempati peringkat kedua nasional setelah Jawa Barat (18.116
kasus dengan angka kematian 178 orang). Jumlah penduduk yang besar serta
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi merupakan salah satu faktor risiko
penyebaran DBD di kedua provinsi tersebut. Tidak stabilnya iklim dan
tingginya curah hujan juga menjadi sarana yang baik untuk perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegipty. (Direktorat Jendral PP PL, 2015; Dinkes Provinsi Jawa
Tengah, 2014).

1
Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah, Boyolali merupakan salah
satu kabupaten dengan IR DBD di atas rata-rata IR DBD Jawa Tengah (IR
DBD Boyolali 39,78 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2013, terjadi 243
kasus DBD di Boyolali. Pada tahun 2014, terjadi peningkatan kasus menjadi
381. (BPS Jawa Tengah, 2016; Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2014).

Kacamatan Ngemplak adalah salah satu kecamatan di Boyolali yang


endemis DBD, karena selama 3 tahun terakhir selalu ditemukan kasus DBD.
Pada tahun 2013, dilaporkan 102 kasus DBD di Kecamatan Ngemplak. Jumlah
kasus tertinggi terjadi pada tahun 2014, yaitu sebanyak 157 kasus. Pada tahun
2015, ditemukan sebanyak 100 kasus. Sampai dengan bulan April 2016 telah
terjadi 59 kasus DBD di Kecamatan Ngemplak, dengan (UPTD Puskesmas
Ngemplak, 2016; Handoko, et al., 2011).

Pemerintah telah menetapkan upaya penanggulangan DBD melalui


Kepmenkes no. 581/Tahun 1992. Kepmenkes tersebut telah menetapkan
bahwa upaya pemberantasan penyakit DBD dilakukan melalui kegiatan
pencegahan, penemuan, pelaporan penderita, pengamatan penyakit dan
penyelidikan epidemiologi, penanggulangan seperlunya, penanggulangan lain
dan penyuluhan kepada masyarakat (Menkes RI, 1992).

Pada tahun 1994, dikeluarkan Kepmenkes No. 92 tentang perubahan atas


lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 581/Menkes/SK/VII/1992
tentang pemberantasan penyakit DBD, dimana penekanan pada upaya
pencegahan, diantaranya melalui gerakan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) dengan 3M Plus (Handoko, et al., 2011).

Indikator keberhasilan kegiatan PSN di suatu wilayah dinilai dengan


angka bebas jentik (ABJ). Suatu wilayah dikatakan berhasil melaksanakan
PSN bila terwujudnya ABJ lebih atau sama dengan 95%. Bila terwujudnya
ABJ 95%, diharapkan penularan DBD dapat dicegah (Handoko, et al., 2011).

Aspek-aspek penting dalam pencegahan DBD adalah karakteristik sosio-


demografis, pengetahuan, dan faktor perilaku (Chandren, et al., 2015). Perilaku

2
ditentukan oleh berbagai determinan perilaku, diantaranya adalah dimensi
sosial dan budaya (Notoatmodjo, 2007).

Dalam upaya penanggulangan DBD, Puskesmas selaku satu jenis


fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memiliki peranan penting
dalam sistem kesehatan nasional, dilengkapi dengan program wajib, yaitu
Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) (Menkes RI, 2004; Menkes
RI, 2014).

Salah satu upaya yang dilakukan P2M adalah melalui kegiatan promosi
kesehatan. Kegiatan promosi, melalui berbagai metode, diantaranya melalui
penyuluhan. Promosi kesehatan diarahkan untuk peningkatan perilaku hidup
bersih dan sehat, serta pencegahan penularan penyakit, diantaranya berupa
pemberantasan jentik nyamuk (Menkes RI, 2014)

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh penyuluhan terhadap
pengetahuan masyarakat Kecamatan Ngemplak tentang PSN DBD, perilaku
masyarakat dalam pelaksanaan 3M Plus, serta mengeksplorasi bagaimana
dimensi sosial dan budaya memengaruhi pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan
Ngemplak, Boyolali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan beberapa
masalah, yaitu:

1. Bagaimana pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan masyarakat


Kecamatan Ngemplak tentang PSN DBD?
2. Bagaimana perilaku masyarakat Kecamatan Ngemplak dalam pelaksanaan
3M Plus?
3. Bagaimana dimensi sosial dan budaya memengaruhi pelaksanaan PSN DBD
di Kecamatan Ngemplak?
4. Bagaimana hasil dari implementasi PSN DBD di Kecamatan Ngemplak?

3
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap


pengetahuan masyarakat Kecamatan Ngemplak tentang PSN DBD
2. Mengetahui bagaimana perilaku masyarakat Kecamatan Ngemplak dalam
pelaksaan 3M Plus
3. Mengetahui bagaimana dimensi sosial dan budaya memengaruhi
pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan Ngemplak
4. Mengetahui bagaimana hasil dari implementasi PSN DBD di Kecamatan
Ngemplak

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi mengenai dampak penyuluhan kesehatan
terhadap pengetahuan masyarakat Kecamatan Ngemplak tentang PSN
DBD
b. Memberikan informasi tentang bagaimana perilaku masyarakat dalam
pelaksanaan 3M Plus
c. Memberikan informasi mengenai pengaruh dimensi sosial dan budaya
dalam pelaksaan PSN DBD di Kecamatan Ngemplak
d. Memberikan informasi mengenai hasil dari implementasi PSN DBD di
Kecamatan Ngemplak
2. Manfaat Praktis
Diketahuinya informasi mengenai bagaimana dampak penyuluhan, perilaku
masyarakat Kecamatan Ngemplak terkait PSN DBD, serta hasil dari
implementasi PSN DBD dapat menjadi evaluasi bagi petugas puskesmas
untuk meningkatkan program edukasi dalam rangka pencegahan DBD.
Selain itu, pengetahuan tentang dimensi sosial dan budaya yang
mempengaruhi pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan Ngemplak penting
untuk menyesuaikan program pencegahan DBD dengan keadaan yang ada
di masyarakat.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Demam Berdarah Dengue
a. Etiologi
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh infeksi virus
dengue, yang merupakan virus RNA rantai tunggal. Virus dengue
digolongkan ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, serta
memiliki 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Kurane,
2007). Manusia merupakan host alami virus dengue (Burke & Monath,
2001).
Virus dengue menginfeksi manusia melalui vektor nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus (Higa, 2011). Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sangat tergantung pada air di wadah penyimpanan untuk
bertelur. Nyamuk betina aktif di siang hari, dan membutuhkan darah
untuk menghasilkan telur. Telur memiliki kemampuan untuk bertahan
hidup dalam jangka waktu yang lama, sehingga telur dapat dengan
mudah menyebar ke lokasi baru. Kontainer air alami atau buatan yang
berada di dalam atau dekat dengan tempat di mana manusia hidup
merupakan habitat yang ideal bagi larva nyamuk ini (CDC, 2010).
Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup yang
kompleks dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi, dan habitat.
Nyamuk betina bertelur di dinding bagian dalam kontainer air. Telur
akan menetas menjadi larva saat air menggenangi telur sebagai akibat
dari hujan atau penambahan volume air. Pada hari-hari berikutnya, larva
akan memakan mikroorganisme dan bahan partikulat organik, dan
mengelupaskan kulit mereka tiga kali untuk bisa tumbuh dari instar
pertama hingga keempat. Ketika larva telah memiliki energi dan ukuran
yang cukup dan sudah berada di fase instar keempat, maka dimulailah

5
metamorfosis, perubahan larva menjadi pupa. Pupa tidak membutuhkan
makan, dan hanya mengubah bentuk menjadi nyamuk dewasa.
Kemudian, nyamuk dewasa yang baru terbentuk muncul dari air setelah
merobek kulit pupa. Seluruh siklus hidup berlangsung 8-10 hari pada
suhu kamar (CDC, 2009).
b. Epidemiologi
Virus dengue, penyebab DBD merupakan virus dengan penyebaran
paling cepat diseluruh dunia, dan ditularkan melalui vektor nyamuk.
Pada tahun 2012, oleh WHO, dengue ditetapkan sebagai ‘most important
mosquito-borne viral disease in the world’ (WHO, 2009; WHO, 2012).
Saat ini, terdapat 125 negara yang telah menjadi endemik dengue.
Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 kasus DBD dan DSS (Dengue
Shock Syndrome), dengan lebih dari 20.000 kasus kematian di seluruh
dunia (Murray, et al., 2013).
Kedua nyamuk yang menjadi vektor virus dengue (Aedes aegypti
dan Aedes albopictus) banyak tersebar di daerah tropis dan subtropis.
Distribusi nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dipengaruhi oleh
iklim. Aedes aegypti banyak terdapat di daerah perkotaan, sedangkan
Aedes albopictus banyak terdapat di pedesaan (Higa, 2011).
Faktor-faktor yang memicu peningkatan transmisi vektor, antara
lain:
1) Perubahan cuaca
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kelangsungan
hidup vektor dewasa, replikasi virus, dan periode infektif. Kenaikan
suhu dapat menyebabkan peningkatan kelangsungan hidup vektor,
serta memungkinkan migrasi vektor ke daerah non-tropis yang
sebelumnya tidak endemik. Diperkirakan suhu global akan
meningkat. Hal ini akan menciptakan suasana yang kondusif untuk
perkembangbiakan nyamuk vektor (Murray, et al., 2013).
2) Urbanisasi

6
Saat ini banyak masyarakat pedesaan yang pindah ke daerah
perkotaan, menyebabkan daerah perkotaan menjadi padat.
Kegagalan pemerintah kota yang menjadi tujuan urbanisasi dalam
menyediakan fasilitas umum dan infrastruktur untuk
mengakomodasi masuknya pendatang baru, menghasilkan
pemukiman yang tidak terencana dengan air minum yang tidak
memadai, sanitasi yang buruk, pembuangan limbah padat, dan
infrastruktur kesehatan masyarakat yang buruk. Semua ini
menghasilkan lingkungan yang potensial untuk perkembangbiakan
dan transmisi nyamuk Aedes aegypti (WHO SEARO, 2011).
3) Peningkatan global travel
Semakin luasnya perjalanan dan peningkatan eksponensial dalam
bidang pariwisata dan perdagangan dapat memungkinan penyebaran
serotipe/genotipe virus dengue baru melalui orang yang telah
terinfeksi namun asimtomatik (WHO SEARO, 2011).
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi dengue bermula ketika nyamuk vektor yang terinfeksi virus
dengue menghisap darah dari manusia. Virus dengue yang berada dalam
saliva nyamuk diinjeksikan ke aliran darah di kulit (Halstead, 2007).
Infeksi virus menjadi lebih efektif dengan memanfaatkan sifat saliva
nyamuk yang memiliki efek anti hemostatik dan anti inflamasi
(Valenzuela, 2004). Virus dengue yang telah diinjeksikan tersebut
kemudian menginfeksi sel dendritik melalui reseptor TLR7, TLR3,
MDA5, dan RIG1 (Martina, et al., 2009; Schmid, et al., 2014).
Saat virus masuk kedalam tubuh, sel host segera mengenali PAMPs
(pathogen-associated molecular pattern) virus tersebut, dan
menginduksi respon imun bawaan. Secara umum, ketika salah satu sel
host terinfeksi virus, maka sel tersebut akan mensekresikan IFN-α/β yang
menghambat replikasi virus dengan cara menjadikan sel-sel host yang
lain resisten terhadap infeksi virus tersebut (Schmid, et al., 2014).
Namun, pada infeksi virus dengue, protein non-struktural virus, NS2B/3

7
merusak protein MITA (Mediator of IRF3 Activation) pada manusia.
Protein MITA ini memiliki peran dalam respon seluler terhadap infeksi
virus serta dalam produksi IFN-α/β (Yu, et al., 2012).
Selanjutnya, sel dendritik yang terifeksi akan berperan sebagai
antigen presenting cell (APC) dan bermigrasi ke nodi limfe untuk
mengaktifkan sel T-Helper, serta menarik monosit dan makrofag
(Martina, et al., 2009; Candra, 2010).
Sel T-Helper berperan dalam aktivasi limfosit T dan limfosit B.
Limfosit T berperan dalam melisiskan sel yang terinfeksi virus,
sedangkan limfosit B berperan dalam menghasilkan antibodi. Antibodi
yang dihasilkan oleh limfosit B melawan infeksi dengan 2 cara: memblok
patogen agar tidak masuk ke dalam sel (netralisasi), dan merekrut sel-sel
dan molekul-molekul sitotoksik untuk membunuh pathogen. Cara kedua
dilakukan melalui mekanisme opsonisasi, fiksasi komplemen, dan
antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) (Owen, et al.,
2013).
Monosit dan makrofag ikut berperan dalam patofisiolgi infeksi
dengue, dimana virus tersebut masuk dan bereplikasi di dalam sel
tersebut (Wati, et al., 2007). Akibatnya, virus dapat bermultiplikasi,
kemudian menyebar melaui aliran limfe dan masuk ke aliran darah,
sehingga menyebabkan viremia (Martina, et al., 2009). Selanjutnya virus
akan menyebar ke berbagai jaringan dan organ. Virus dengue mampu
menginfeksi dan beriplikasi di dalam endotelium, sehingga berakibat
pada gangguan permeabilitas kapiler (Dalrymple & Mackow, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Jessie, et al. (2004) pada pasien yang
terinfeksi virus dengue menunjukan adanya antigen virus dengue di
berbagai jaringan dan organ, seperti hati, limpa, paru, ginjal dan leukosit
perifer. Virus dengue juga menginfeksi sumsum tulang, yang memiliki
peran dalam hemopoesis (Noisakran, et al., 2012). Akibatnya akan
terjadi inhibisi perkembangan megakaryosit, sehingga dapat
menimbulkan trombositopenia (Sridharan, et al., 2013).

8
Autoimunitas juga ikut berperan dalam memperarah infeksi dengue.
Adanya kemiripian antara trombosit, sel-sel endotel, dan faktor-faktor
pembekuan darah dengan antigen virus, seperti protein E (envelope),
protein NS (non-structural) dan protein prM (precursor membrane)
menyebabkan reaksi silang oleh antibodi anti-NS1, anti-prM, dan anti-E
(Wan, et al., 2013).
Ketika seorang pasien mengalami viremia akut, nyamuk Aedes
betina yang kemudian mengambil darah dari pasein tersebut akan
terinfeksi pula. Selanjutnya virus akan berada dalam saliva nyamuk, dan
menginfeksi manusia lain yang digigit nyamuk tersebut (Schmid, et al.,
2014).
Proses patogenesis yang membedakan apakah seseorang akan
terkena DBD atau demam dengue (DD) pada infeksi virus dengue primer
tergantung pada faktor virulensi virus dan faktor host (Martina, et al.,
2009). Meskipun begitu, biasanya pasien akan mengalami DBD pada
infeksi sekunder oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda
(Kurane, 2007).
Bila seseorang pernah terinfeksi virus dengue serotipe tertentu, maka
akan terbentuk kekebalan terhadap virus dengue serotipe tersebut
(Candra, 2010). Namun, bila terjadi infeksi sekunder oleh virus dengue
serotipe yang lain, maka antibodi yang terbentuk pada infeksi pertama
tidak mampu menetralisasi virus tersebut (Whitehead, et al., 2007).
Selain itu, adanya antibodi non-netralisasi (akibat infeksi dengue yang
pertama) akan memperberat infeksi sekunder, suatu mekanisme yang
disebut antibody dependent enhancement (ADE) (Schieffelin, et al.,
2010). ADE pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat antibodi non-
netralisasi berikatan dengan virus dengue yang baru dan membentuk
komplek virus-antibodi. Virus yang telah berikatan dengan antibodi non-
netralisasi akan lebih mudah menginfeksi monosit, dimana monosit
memiliki peran dalam patofisiologi infeksi dengue (Martina, et al., 2009;
Schmid, et al., 2014).

9
Monosit yang terinfeksi oleh virus dengue disertai adanya ADE akan
menginduksi sekresi TNF-α dan sitokin-sitokin lain. Hal inilah yang
menjadi salah satu sebab mengapa pada pasien DBD akan terjadi
peningkatan kadar TNF-α dalam serum. Selain TNF- α, pada pasien DBD
bila dibandingkan dengan pasien DD, akan terjadi peningkatan signifikan
berbagai sitokin seperti, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, IL-13, IL-
18, IFN-γ, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), macrophage
migration inhibitory factor (MIF), dan transforming growth factor-β.
Beberapa dari sitokin-sitokin tersebut diketahui ikut berperan dalam
patofisiologi DBD (Kurane, 2007; Wan, et al., 2013).
Proses patofisiologi yang menjadi hall mark DBD pada infeksi virus
dengue adalah adanya kebocoran plasma dan gangguan pembekuan
darah (koagulopati) (Sellahewa, 2012). Berbagai mekanisme yang
menyebabkan kedua hal tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Kebocoran plasma
a) Kemampuan virus dengue untuk menginfeksi dan beriplikasi di
dalam endotelium akan berakibat pada gangguan permeabilitas
kapiler (Dalrymple & Mackow, 2012).
b) Adanya kemiripan antara antigen virus dengue dengan sel-sel
endotel, akan menyebabkan reaksi silang antibodi. Akibatnya
akan terjadi kerusakan endotel dan kebocoran plasma (Wan, et
al., 2013).
c) Tingginya kadar TNF-α berperan dalam peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, yang dapat menyebabkan
kobocoran plasma (Candra, 2010).
d) Beberapa penelitian in vitro menunjukan bahwa sitokin-sitokin
lain, seperti IL-8, MCP-1, MIF, dan metalloproteinase juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
(Wan, et al., 2013).
2) Gangguan pembekuan darah

10
a) Virus dengue mampu menginfeksi sumsum tulang dan
menimbulkan gangguan pada perkembangan megakaryosit,
sehingga menyebabkan trombositopenia (Sridharan, et al.,
2013).
b) Autoimuntas yang terjadi akibat kemiripan molekul virus
dengue dengan trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah
akan berakibat pula pada gangguan pembekuan darah (Wan, et
al., 2013).

Peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 diketahui berhubungan dengan


aktivasi koagulasi (yang akan meningkatkan konsumsi
trombosit) dan fibrinolisis (Wan, et al., 2013).
d. Tanda dan Gejala
Demam berdarah dengue ditandai dengan demam mendadak selama
2-7 hari, disertai gejala mirip demam dengue, seperti anoreksia, nyeri
kepala, muntah, nyeri otot, dan nyeri sendi. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan hepatomegali dan tes tourniquet positif (WHO SEARO,
2011).
Demam berdarah dengue dapat dibedakan dengan demam dengue,
karena adanya tanda-tanda kebocoran plasma dan manifestasi
perdarahan, seperti petechiae, lesi purpura, dan ekimosis. Tanda-tanda
peradarahan lain seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran
cerna, dan hematuria dapat terjadi, tetapi jarang (Gubler, 1998).
e. Diagnosis
Menurut WHO (2009) dan Gubler (1998), diagnosis DBD dapat
dilakukan melaui beberapa metode, antara lain:

1) Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi yang dilakukan untuk mendiagnosis DBD
adalah hitung trombosit dan nilai hematokrit. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada fase akut. Hasil hitung trombosit pada pasien

11
DBD ditemukan trombositopenia (<100.000 per μL), biasanya terjadi
antara hari ke 3-8 setelah onset penyakit.
Peningkatan hematokrit sebanyak 20% atau lebih menunjukan adanya
hemokonsentrasi. Hal ini menandakan adanya hipovolemia akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan kobocoran plasma.
2) Isolasi virus
Virus dapat diisolasi dari serum, plasma dan mononuclear cells darah
tepi, dan dari jaringan (hati, paru, nodi limfe, thymus, dan sumsum
tulang) melalui otopsi. Spesimen yang akan dilakukan isolasi virus
harus dikumpulkan pada fase awal penyakit, ketika periode viremia
(biasanya sebelum 5 hari).
Kultur sel adalah metode yang paling banyak digunakan untuk isolasi
virus dengue. Sel nyamuk strain C6/36 (kloning dari Ae. albopictus)
atau AP61 (cell line dari Ae. pseudoscutellaris) adalah sel inang
pilihan untuk isolasi rutin dari virus dengue. Karena tidak semua tipe
virus dengue menginduksi efek sitopatik di sel nyamuk, maka kultur
sel harus disaring untuk bukti spesifik adanya infeksi dengan
immunofluorescence assay untuk mendeteksi antigen menggunakan
antibodi monoklonal dari serotipe yang spesifik atau dengan dengue
complex-reactive monoclonal antibodies. Isolasi Virus dan diikuti
oleh konfirmasi immunofluorescence assay biasanya membutuhkan
waktu 1-2 minggu.
3) Deteksi asam nukleat
Asam nukleat virus dengue dapat dideteksi dengan beberapa metode:
a) Reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR)
b) Real-time RT-PCR
c) Metode amplifikasi isotermal
4) Deteksi antigen
Semua jenis Flavivirus (yang merupakan genus dari virus dengue)
menghasilkan glikoprotein non-struktural 1 (NS1). NS1
menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Perkembangan baru

12
dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke antigen
envelope/membran (E/M) dan protein non-struktural 1 (NS1).
Konsentrasi tinggi antigen-antigen tersebut dalam bentuk kompleks
imun bisa terdeteksi pada pasien dengan infeksi dengue primer dan
sekunder sampai sembilan hari setelah onset penyakit. Banyak
penelitian telah diarahkan dalam menggunakan deteksi NS1 untuk
membuat diagnosis awal infeksi virus dengue.
5) Tes serologis
Tes serologis untuk deteksi virus dengue meliputi:
a) MAC ELISA (IgM antibody-captured enzyme-linked
immunosorbent assay)
b) IgG ELISA
c) IgM/IgG ratio
d) IgA
e) Haemagglutination-inhibition test
f) Complement fixation
g) Neutralization test
Menurut WHO SEARO (2011), diagnosis DBD dapat ditegakkan
melalui kriteria klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
1) Kriteria klinis
a) Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, yang
biasanya berlangsung selama dua sampai tujuh hari.
b) Salah satu manifestasi perdarahan termasuk test tourniquet
positif (yang paling umum), petechiae, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, dan hematemesis dan melena.
c) Pembesaran hati (hepatomegali) yang biasanya dapat
diamati pada 90% - 98% pasien anak-anak. Frekuensi
bervariasi berdasarkan waktu dan pengamat.
d) Syok, dimanifestasikan oleh takikardi, perfusi jaringan
yang buruk dengan pulsasi lemah dan penyempitan tekanan

13
nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dengan disertai
kulit lembab dan dingin, serta gelisah.
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)
b) hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit ≥20% dari batas
normal pasien atau populasi pada usia yang sama.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit, cukup untuk
menetapkan diagnosis klinis DBD. Adanya pembesaran hati
tanpa disertai dua kriteria klinis pertama adalah sugestif DBD
sebelum timbulnya kebocoran plasma.
Adanya efusi pleura (pada pemeriksaan rontgen dada atau
USG) adalah bukti yang paling obyektif untuk mengetahui
kebocoran plasma, sedangkan hipoalbuminemia merupakan
bukti pendukung. Hal ini sangat berguna untuk diagnosis DBD
pada pasien dengan:
1) anemia,
2) perdarahan parah,
3) ketika batas normal hematokrit tidak diketahui,
4) kenaikan hematokrit, tatapi <20% karena terapi intravena
awal
(WHO SEARO, 2011)
Tingkat keparahan DBD dibagi menjadi 4 kriteria (Tabel 2.1)

14
Tabel 2.1 Tingkat keparahan DBD menurut WHO

Grade Tanda dan Gejala


Grade I Demam dan manifestasi perdarahan (uji
tourniquet positif), disertai adanya bukti
peradarahan
Grade II Seperti Grade I, disertai adanya
perdarahan spontan
Grade II* Seperti Grade I atau II, disertai adanya
kegagalan sirkulasi (pulsasi lemah,
penyempitan tekanan pulsasi <20 mmHg,
hipotensi, dan tampak gelisah)
Grade IV* Seperti Grade III, dengan syok yang
parah, serta nadi dan tekanan darah tidak
terukur
*
Grade III dan Grade IV disebut DSS (Dengue Shock
Syndrome) (WHO, 1997).

f. Komplikasi
Komplikasi dari DBD, biasanya terjadi akibat syok yang
berkepanjangan menyebabkan terjadinya asidosis metabolik
hiperkloremik (Noritomi, et al., 2009). Selain itu, infeksi dengue yang
parah dapat menyebabkan kerusakan berbagai organ, seperti: hati, paru,
jantung, dan lien (Póvoa, et al., 2014).
Pada pasien DBD, dapat terjadi dengue encephalophaty.
Penyebabnya antara lain karena hipoperfusi otak (akibat terjadi syok),
edema otak (akibat terjadi kebocoran plasma), perdarahan intrakranial
(akibat trombositopenia dan koagulopati), serta gangguan elektrolit
(Hendarto & Hadinegoro, 1992).
Pasien yang memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi penyakit
yang lebih parah antara lain:

15
1) anak-anak dan lansia,
2) pasien dengan obesitas,
3) wanita hamil,
4) pasien dengan ulkus peptik,
5) wanita yang sedang menstruasi atau mengalami perdarahan vagina
abnormal,
6) pasien dengan gangguan pembekuan darah,
7) pasien dengan penyakit jantung bawaan,
8) penderita penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes melitus, asma,
penyakit jantung iskemik, gagal ginjal kronik, dan sirosis hati,
9) penggunaan terapi steroid atau NSAID
(WHO SEARO, 2011).
Komplikasi sekunder dapat juga terjadi saat penatalaksanaan pasien.
Pemberian resusitasi cairan yang berlebihan saat penanganan pasien yang
mengalami syok dapat menyebabkan edema paru serta gagal jantung
(Groeneveld & Polderman, 2005).
g. Pencegahan
Pendekatan yang digunakan dalam program pencegahan dan
pengendalian DBD adalah dengan mengandalkan pengendalian vektor.
Vektor yang dimaksud disini adalah nyamuk yang dapat menularkan
keempat serotipe virus dengue kepada manusia (ADB, 2013).
Cara terbaik untuk mengendalikan nyamuk adalah dengan
menghilangkan tempat-tempat nyamuk bertelur, seperti wadah tempat
penampungan air di dalam dan sekitar rumah (CDC, 2012).
Cara lain yang dapat digunakan untuk memberantas vektor adalah
dengan penyemprotan insektisida (fogging) (WHO, 2012). Namun,
belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan fogging sebagai
metode tunggal pemberantasan nyamuk yang efektif (Esu, et al., 2010).
Selain itu, ditemukan juga adanya resistensi vektor terhadap insektisida,
serta akibat faktor lingkungan menjadikan fogging kurang efektif
(Marcombe, et al., 2012).

16
Selain dengan pengendalian vektor, saat ini juga tengah
dikembangkan vaksin untuk mencegah DBD (WHO, 2012). Tantangan
dalam perkembangan vasin dengue adalah vaksin harus mampu
menghasilkan kekebalan terhadap keempat serotipe virus agar tidak
terjadi penyakit yang lebih berat bila terjadi infesi sekunder oleh virus
dengue dengan serotipe yang berbeda. Vaksin dengue yang telah
memasuki uji klinis fase III, dibuat oleh perusahaan Sanofi Pasteur
dengan nama Dengvaxia®, dan telah terdaftar pertama kali di Meksiko
pada Desember 2015 (WHO, 2016).

2. Pemberantasan Sarang Nyamuk


Pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dengan cara 3M-Plus. 3M
yang dimaksud yaitu menguras, menutup dan memanfaatkan. ‘Menguras’
dalam hal ini adalah menguras dan membersihkan tempat-tempat
penampungan air, seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain setiap minggu.
‘Menutup’ maksudnya adalah menutup tempat penampungan air, seperti
gentong air/tempayan, dan lain-lain dengan rapat. Sedangkan
‘Memanfaatkan’ berarti memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang
bekas yang dapat menampung air hujan (Handoko, et al., 2011).

Selain itu, ditambahkan pula (plus) dengan cara pencegahan lainnya,


seperti:

a) Mencegah adanya air menggenang yang dapat menjadi tempat


bersarangnya nyamuk, seperti: mengganti air vas bunga, tempat minum
burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali,
memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusa, serta menutup
lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah,
atau yang lain)
b) Mencegah bersarangnya nyamuk di tempat penampungan air, dengan
cara menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit
dikuras atau di daerah yang sulit air, dan memelihara ikan pemakan jentik
di kolam/bak-bak penampungan air

17
c) Menjaga keadaan ruang kamar dengan menghindari kebiasaan
menggantung pakaian dalam kamar, serta mengupayakan pencahayaan
dan ventilasi ruang yang memadai
d) Mencegah gigitan nyamuk, misal: menggunakan kelambu dan memakai
obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
(Handoko, et al., 2011)

3. Aspek dalam Pencegahan DBD


Menurut Chandren, et al. (2015), ada 3 aspek penting dalam
pencegahan DBD:

a. Karakteristik Sosio-demografis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandren, et al.
(2015), karakteristik sosio-demografis yang secara statistik berperan
dalam mempengaruhi pelaksanaan pencegahan DBD di masyarakat
berupa wilayah dan frekuensi fogging.

b. Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo,
2010).

Secara garis besar, penelitian yang dilakukan Chandren, et al.


(2015) mengenai pengetahuan yang berpengaruh pada pencegahan
DBD meliputi pengetahuan tentang virus, vektor, dan cara transmisi,
pengetahuan tentang cara pencegahan, dan pengetahuan tentang
tanda, gejala, dan penangan awal.

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan masyarakat


dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pendidikan, ekonomi,
paparan media massa, hubungan sosial, dan pengalaman.

18
c. Perilaku Masyarakat
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2007) perilaku
didefiniskan sebagai respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Dalam kaitannya dengan upaya pencegahan
DBD, maka PSN termasuk dalam salah satu bentuk perilaku
kesehatan. Perilaku kesehatan sendiri didefinisikan sebagai suatu
respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sehat- sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan seperti pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan
lingkungan (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku ditentukan oleh berbagai faktor yang disebut sebagai


determinan perilaku. Berdasarkan asalnya, dibagi menjadi dua:

1) Determinan internal, yang berasal dari karakteristik individu,


seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan
sebagainya.
2) Determinan eksternal, berupa lingkungan fisik, budaya, sosial,
budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini
sering merupakan faktor yang paling mempengaruhi perilaku
seseorang
(Notoatmodjo, 2007)

19
B. Kerangka Penelitian

Penyuluhan kesehatan
oleh Puskesmas

Pengetahuan masyarakat
dalam upaya PSN DBD

Penyuluhan Masyarakat Implementasi PSN DBD


tentang PSN DBD (3M Plus)

Keadaan sosio-
demografis
Hasil implementasi PSN
DBD (3M Plus)

Dimensi sosial dan


budaya
Angka bebas jentik Angka kejadian DBD

Keterangan:

: yang diteliti : memengaruhi

: yang tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

20
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dimana hasil temuannya
adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang
menjadi informan, dan berupa perilaku yang dapat diamati (Kuswandani &
Sastroasmoro, 2014).

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana
kasus yang dipelajari berupa program, aktivitas, dan individu (Saryono &
Anggraeni, 2013).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo,
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali pada Oktober - November 2016.

C. Subjek Penelitian
Informan penelitian terdiri dari dua komponen, yaitu petugas kesehatan
dan masyarakat Kecamatan Ngemplak. Petugas kesehatan terdiri dari
Penanggungjawab program pemberantasan penyakit menular (P2M), Kepala
Puskesmas Ngemplak, dan bidan - bidan desa. Sedangkan masyarakat terdiri
dari Camat Ngemplak, Kepala Desa, dan warga Kecamatan Ngemplak yang
memenuhi kriteria inklusi.

1. Kriteria Inklusi
a. Kriteria inklusi untuk petugas kesehatan
1) Bersedia menjadi informan
b. Kriteria inklusi untuk masyarakat Kecamatan Ngemplak
1) Bersedia menjadi informan
2) Tinggal dan menetap di Kecamatan Ngemplak

21
2. Teknik Sampling
Pemilihan informan penelitian menggunakan metode purposive
sampling, dimana subjek dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
informan mampu memberikan informasi yang memadai untuk menjawab
pertanyaan penelitian (Sastroasmoro, 2014).

3. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian kualitatif ini, teknik pengambilan data primer
dilakukan melalui wawancara mendalam untuk menggali data secara
individual, serta melalui observasi partisipan. (Kuswandani &
Sastroasmoro, 2014).

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui gambar dan dokumen


yang terkait (Saryono & Anggraeni, 2013).

D. Instrumen Penelitian
1. Informed consent
Informed consent merupakan formulir kesepakatan peneliti dan informan
yang berisikan prosedur penelitian, hak dan kewajiban selama melakukan
penelitian.
2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar selama wawancara dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian.
3. Perekam suara
Peneliti menggunakan perekam suara untuk memperoleh data secara lebih
teliti karena proses wawancara dapat berlangsung cukup lama.
4. Dokumen
Dokumen yang digunakan berisi informasi mengenai angka kejadian DBD
di Kecmatan Ngemplak, angka bebas jentik di Kecamatan Ngemplak serta
dokumen lain yang terkait.
E. Pengertian Dimensi Penelitian
1. DBD (Demam Berdarah Dengue)

22
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Ditandai dengan
gejala umum infeksi dengue, ditambah adanya tanda perdarahan dan
kebocoran plasma. Diagnosis DBD ditegakkan dengan anamnesis, serta
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan hematologi, isolasi virus,
deteksi antigen, deteksi asam nukleat, pemeriksaan serologi, dan lain-lain.
2. PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) DBD
Merupakan upaya pencegahan kasus DBD dengan cara menghambat
perkembangbiakan nyamuk yang menjadi vektor penularan virus dengue.
Program PSN terdiri dari 3M (menguras, menutup, memanfaatkan) plus
upaya lain yang mendukung.
3. Pengetahuan
Hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Pengetahuan yang diteliti dalam penelitian ini adalah pengetahuan
masyarakat mengenai cara pencegahan DBD dengan PSN.
4. Perilaku
Merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Dalam penelitian ini, perilaku yang diamati merupakan peilaku
kesehatan berupa pencegahan DBD dengan PSN.
5. Hasil Implementasi PSN DBD
Merupakan hasil yang diamati setelah pelaksaan PSN DBD oleh
masyarakat. Hasil dapat dinilai melalui ABJ dan angka kejadian DBD.
6. Dimensi Sosial dan Budaya
Merupakan dimensi yang mempengaruhi pengetahuan dan perilaku
masyarakat dalam pelaksaan PSN DBD. Dalam penelitian ini, dimensi
sosial dan budaya yang diteliti adalah pendidikan, ekonomi, dan status
sosial

F. Prosedur Penelitian
1. Menyusun pedoman wawancara.
2. Menentukan informan

23
3. Meminta izin kepada informan untuk bersedia berpartisipasi dalam
penelitian (dengan informed consent).
4. Melakukan wawancara mendalam kepada informan.
5. Menuliskan hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip.
6. Melakukan analisis data.
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu bertitik
tolak dari yang khusus menjadi umum. Berawal dari fakta yang diperoleh
melalui observasi khusus kemudian dibuat pola-pola umum, serta mendalami
rincian dan kekhasan data guna menemukan kategori, dimensi, dan saling
keterkaitan (Raco, 2010; Kuswandani & Sastroasmoro, 2014).

Trustworthiness penelitian kualitatif dapat dibangun dengan empat cara:

1. Credibility
Agar hasil penelitian kualitatif memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi
sesuai dengan fakta di lapangan, peneliti melakukan upaya sebagai
berikut:
a. Membaca catatan dan mendengarkan rekaman hasil wawancara secara
berulang-ulang
b. Melakukan triangulasi metode, dimana metode pengumpulan data
didapat melalui wawancara, observasi pasrtisipan dan analisis
dokumen
c. Melakukan triangulasi sumber data, dimana sumber data berasal dari
dua kelompok, yaitu kelompok petugas kesehatan dan kelompok
masyarakat
(Saryono & Anggraeni, 2013; Bachri, 2010)
2. Transferability
Kriteria transferability merujuk pada kemampuan hasil penelitian
kualitatif yang dapat ditransfer ke ranah atau setting lain. Pada peneleitian
kualitatif, hasil penelitian hanya dapat diterapkan di tempat lain apabila
keadaannya sama atau sesuai. Oleh karena itu, untuk memastikan

24
trasferbility, strategi yang dilakukan adalah dengan memberikan
penjelasan yang detail tentang focus penelitian, kedudukan partisipan, dan
dasar penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013; Sulaeman, 2016)

3. Dependability
Memungkinkan orang lain untuk mengulangi penelitian sesuai prosedur
yang ditetapkan dengan mengaudit keseluruhan penelitian (Saryono &
Anggraeni, 2013). Untuk menguji dependability, peneliti meminta orang
lain (dalam hal ini adalah pembimbing penelitian dan rekan peneliti dari
mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS) untuk mengaudit ulang prosedur
penelitian.
4. Confirmability
Confirmability merupakan sebutan untuk objektivitas dalam penelitian
kualitatif. Sesuatu dianggap objektif tergantung pada persetujuan beberapa
orang terhadap pandangan, pendapat atau penemuan. Dalam penelitian
kualitatif, confirmability didapat bila hasil penelitian dikonfirmasikan ke
orang lain (Sulaeman, 2016; Bachri, 2010). Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, hasil penelitian akan dikonfirmasikan ke pembimbing
penelitian dan rekan peneliti dari mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS.
Menurut Saryono & Anggraeni (2013), dalam penelitian kualitatif dengan
model studi kasus, langkah-langkah analisis data berupa:

1. Mengorganisir informasi
2. Membaca keseluruhan informasi yang didapat dan memberi kode
3. Membuat uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya
4. Menetapkan kategori, dan mencari hubungan antara beberapa kategori
5. Melakukan interpretasi
6. Mengembangkan generalisasi natural untuk penerapan pada kasus lain
7. Menyajikan data

25
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik informan
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara
mendalam, observasi partisipan dan analisis dokumen. Informan yang ikut
serta dalam penelitian sebanyak 8 orang dan terdiri dari 2 kelompok,
masyarakat dan petugas kesehatan. Karakteristik informan dijelaskan pada
Tabel 4.1

Tabel 4.1 Karakteristik Informan

Informan Jenis Usia Pendidikan Keterangan


Kelamin
Ibu D P 39 tahun D3 Bidan desa Kismoyoso
Ibu A P 39 tahun D3 Bidan desa Ngargorejo
Ibu N P 57 tahun SLTP Kader jumantik Kismoyoso
Pak S L 39 tahun D3 Petugas P2M
Ibu L P 44 tahun SLTP Kader jumantik Ngargorejo
Pak G L 51 tahun SLTA Kepala dusun
Pak J L 51 tahun D2 Kepala desa
Ibu E P 49 tahun S1 Kepala puskesmas Ngemplak
(Data Primer, 2016)

Peneliti memperoleh informasi melalui wawancara mendalam kepada 8


informan yang memenuhi kriteria inklusi sampai terjadi saturasi data.
Informan terdiri dari 4 petugas kesehatan dan 4 masyarakat kecamatan
Ngemplak.

B. Hasil Analisis Dokumen


Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dokumen
mengenai angka kejadian DBD dari tahun 2013 hingga bulan September 2016,

26
dan dokumen berisi hasil pemeriksaan jentik berkala bulan Juni 2016. Kedua
dokumen tersebut didapat dari Puskesmas Ngemplak.

Pada penelitian melalui analisis dokumen, didapatkan angka bebas jentik


seluruh kecamatan Ngemplak sebesar 74,6%, dan dari 12 Desa di Kecamatan
Ngemplak belum ada yang memenuhi target ABJ 95%. Angka bebas jentik
Desa Kismoyoso sebesar 65,2%, dan angka bebas jentik desa Ngargorejo
sebesar 72,84%. Data tersebut menunjukan bahwa pelaksanaan PSN DBD di
Kecamtan Ngemplak masih belum memenuhi target.

Pada penelitian melalui analisis dokumen didapatkan peningkatan angka


kejadian DBD di Desa Kismoyoso, Desa Ngagorejo, serta seluruh Kecamatan
Ngemplak pada tahun 2016, bila dibandingkan dengan angka kejadian DBD
pada tahun 2015. Angka kejadian DBD di Desa Kismoyoso di tahun 2015
sebanyak 8 kasus, kemudian hingga bulan September tahun 2016 terjadi 13
kasus. Pada tahun 2015, terjadi 3 kasus di Desa Ngargorejo, kemudian pada
tahun 2016 terjadi 4 kasus. Angka kejadian DBD di Kecamatan Ngemplak
pada tahun 2015 sebanyak 100 kasus, sedangkan kasus DBD pada tahun 2016
sejak Januari hingga September telah mencapai 162 kasus.

C. Hasil Observasi Partisipan


Dalam penelitian, peneliti melakukan observasi dengan cara melakukan
pemeriksaan jentik ke 20 rumah warga, yang terdiri dari 8 rumah di Desa
Kismoyos dan 12 rumah di Desa Ngargorejo. Hasil pemeriksaan didapatkan 5
rumah postif jentik, dengan rincian 3 rumah di Desa Kismoyoso dan 2 rumah
di Desa Ngargorejo. Jentik dari 5 rumah tersebut seluruhnya ditemukan di
penampungan air dalam rumah berupa bak mandi. Penampungan air lain yang
berupa ember dan gentong tidak ditemukan jentik.

Pelaksanaan 3M pada poin ‘menguras’ berbeda antara Desa Kismoyoso


dan Desa Ngargorejo. Peneliti mendapati, beberapa dari warga Kismoyoso
yang rumahnya didatangi mengatakan bahwa penampungan airnya sudah

27
beberapa minggu tidak dikuras. Sedangkan warga Desa Ngargorejo yang
rumahnya didatangi, sebagian besar menyatakan bahwa penampungan airnya
rutin dikuras setiap minggu.

Pelaksanaan 3M pada poin ‘menutup’ tidak banyak dilaksankan oleh


warga di kedua desa. Pada pengamatan, peneliti hanya mendapatkan sedikit
rumah yang penampungan airnya ditutup. Penampungan air yang ditutup
biasanya berupa gentong plastik yang memang tersedia tutupnya, atau berupa
penampungan air kecil berupa ember atau gentong dari tanah liat yang ditutup
dengan asbes.

Pelaksanaan 3M pada poin ‘memanfaatkan’ sudah dilaksanakan dengan


baik oleh warga di kedua desa. Pada pengamatan, peneliti tidak mendapati
adanya barang-barang tidak terpakai di sekitar rumah yang dapat menjadi
tempat penampungan air.

D. Hasil Wawancara Mendalam


Penelitian dengan wawancara mendalam menghasilkan 4 tema, yaitu: (1)
Pengetahun tentang PSN, (2) Pelaksanaan PSN, (3) Pengaruh faktor sosial-
budaya dan faktor lain dalam pelaksanaan PSN, (4) Hasil implementasi PSN.

1. Pengetahuan tentang PSN


Pada penelitian diperoleh data mengenai Pengetahuan masyarakat
mengenai PSN di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo. Pada kategori
Pengetahuan tentang PSN diperoleh kategori penyuluhan PSN dan
pegetahuan masyarakat di masing-masing desa (Tabel 4.3).

28
Tabel 4.2 Hasil Kategorisasi Tema Pengetahuan tentang PSN

Kategori Subkategori Kode


Penyuluhan Frekuensi penyuluhan Minimal sebulan sekali
tentang PSN Penyebaran materi - Dari bidan desa kepada
penyuluhan masyarakat umum
- Dari bidan desa kepada
kader, kemudian
kepada masyarakat
Penyuluhan oleh Bersifat insidental
petugas puskesmas
Pengetahuan Sebagian besar sudah tau
masyarakat tentang PSN
tentang PSN
(Data primer, 2016)

a. Penyuluhan PSN
Hasil penelitian menunjukan bahwa penyuluhan tentang PSN
kepada masyarakat sudah sering dilakukan di Desa Kismoyoso dan
Desa Ngargorejo. Pelaksaan peyuluhan biasanya dilakukan oleh kader
kesehatan atau bidan desa, minimal 1 bulan sekali. Penyuluhan
dilaksanakan bersamaan dengan acara perkumpulan, dapat berupa
perkumpulan anggota RT atau RW, maupun perkumpulan anggota
PKK. Hal tersebut disampaikan informan sebagai berikut:
“Iya, hampir setiap bulan, di desa Ngargorejo kan setiap bulan
ada pertemuan PKK, kemudian tiap tanggal 10 dan tanggal 15 itu ada
Dawis, dasa wisma, tetapi karena sini penduduknya sedikit jadi dibuat
per RW. Kalau tanggal 10 itu RW 2, kalau tanggal 15 RW 1. Jadi
setiap kali pertemuan kader, diberangkan dengan pertemuan PKK,
kita selalu poin pertama mengadakan penyuluhan atau mengingatkan
tentang PSN dan penyakit demam berdarah” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)

29
“Penyuluhan kalau waktu itu, kadang kan pak lurah
mengumpulkan RT-RW di balai desa. Ya itu, pasti biasanya ada
penyuluhan, lebih detekankan pada PSNnya daripada fogging atau
semprot. Terus kalau biasanya saya di PKK” (Ibu D, bidan desa
Kismoyoso)

Beradasarkan informasi tersebut, penyampaian materi penyuluhan


dilakukan oleh bidan desa kepada kader jumantik dan masyarakat
umum. Selain dilakukan oleh bidan desa, penyuluhan juga dilakukan
oleh kader jumantik dari setiap RT kepada masyarakat di sekitarnya.
Hal ini disampaikan informan sebagai berikut:
“Jadi nanti kader per RT itu menyebarkan ke masyarakat
sekitarnya” (Ibu A, bidan desa Ngargorejo)
“Kader kesehatan itu setiap bulan ada pertemuan setiap tanggal
2. Ya itu sebenarnya sudah ditekankan berkali-kali, lebih baik
PSNnya ditekankan pada masyarakat, otomatis kader dari seluruh
desa, dari berbagai RT ya sudah penyuluhan ke RTnya sendiri-
sendiri” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Iya, sering, itu di setiap pertemuan RW, PKK RW dana sosial itu
saya juga sering mengadakan penyuluhan. Nanti kalau setiap satu
bulan sekali kan ada pertemuan PKK induk, sama pertemuan PKKN,
itu juga penyuluhan. Pokoknya kita kader selalu mengingatkan.
Mengingatkan masyarakat untuk melaksanakan 3M plus” (Ibu L,
kader jumantik Ngargorejo)
“Pertemuan RT, pertemuan kader, pertemuan PKK RW,
pertemuan PKK induk, selalu saya menyisipkan masalah itu (3M
plus)” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)

Sedangkan untuk penyuluhan dari petugas Puskesmas kepada


masyarakat bersifat insidental, dan atas permintaan dari masyarakat.
Hal ini disampaikan informan sebagai berikut:

30
“Khusus buat penyuluhan itu malah satu desa…
Satu desa itu didatangi dari puskesmas…
Tapi pemintaan dari desa. Kalau desa tidak minta juga tidak
datang” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)
“Jadi masyarakat itu biarlah mereka yang memilih, gitu lho. Jadi
mereka merasa nyaman, kemudian tinggal kita yang memberikan
penyuluhan, jadi masyarakat itu, sekarang itu harus kita dewasakan.
Jadi masyarakat itu biar merencanakan jadi mereka merencanakan
butuh penyuluhan. Jadi penyuluhan itu bukan kebutuhan kita, jadi itu
kebutuhan masyarakat. Ketika mereka butuh, mereka akan meminta”
(Pak S, petugas P2M)

b. Pengetahuan masyarakat
Pada penelitian, hampir semua informan menyatakan bahwa
sebagian besar masyarakat sudah mengetahui tentang 3M. Hal ini
didukung oleh pernyataan informan sebagai berikut:
“Semuanya sudah tahu mas (tentang 3M)” (Ibu L, kader jumantik
Ngargorejo)
“(Masyarakat) Sebenernya sudah (tahu tentang 3M), saya kira ya”
(Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Sebagian besar sudah tahu (tentang 3M)” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)

2. Pelaksanaan PSN
Pada penelitian diperoleh data mengenai pelaksanaan PSN oleh
masyarakat di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo (Tabel 4.3).

31
Tabel 4.3 Hasil Kategorisasi Tema Pelaksanaan PSN

Kategori Subkategori Kode


Pelaksanaan PSN Perbandingan Sebagian besar sudah
oleh masyarakat masyarakat yang melaksanakan
melakukan dengan
yang tidak melakukan
Bentuk pelaksanaan - Kerja bakti
PSN - Pelaksanaan di
rumah masing-
masing
Pemantauan Pemeriksaan jentik
pelaksanaan PSN rutin
(Data Primer, 2016)

Sebagian besar informan menyatakan bahwa sebagian besar


masyarakat di kedua desa sudah melaksanakan 3M. Hal ini didasarkan
pada pernyataan informan sebagai berikut:
“Ya tetap banyak yang melakukan PSN, cuma biasanya kalau ada
kasus demam berdarah ke desa trus kita PE, penaggulangan epdemiologi,
trus dari satu yang menderita itu, radiusnya berarti kan menghitungnya
20 rumah sekitarnya itu, biasanya dari 20 rumah kadang ada 5 yang masih
positif” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Paling ya 70, 70 persen yang sudah menjalankan, 30 persennya
yang belum” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)
“Jadi, mereka semua sudah membiasakan diri untuk setiap satu
minggu sekali menguras tempat penampungan air, itu” (Ibu L, kader
jumantik Ngargorejo)

Bentuk pelaksanaan PSN dapat berupa pelaksanaan di rumah masing-


masing maupun dalam bentuk kerja bakti. Hal ini dapat diketahui dari
pernyataan informan:

32
“3Mnya iya, biasanya Minggu bersih atau 2 minggu sekali, atau
kalau satu minggu sekali pasti tiap-tiap rumahnya. Tapi yang serentak
kadang 2 minggu sekali” (Ibu A, bidan desa Ngargorejo)
“Trus programnya biasanya kalau di wilayah atau per dusun tuh kan
sendiri-sendiri. Ada yang Minggu bersih, ada yang Jumat sore bersih,
Minggu pagi bersih, Minggu sore bersih, gitu” (Pak J, kepala desa
Kismoyoso)

Kemudian, dalam upaya untuk memantau pelaksanaan PSN oleh


masyarakat, di Desa Ngargorejo juga dilaksankan pemeriksaan jentik oleh
kader jumantik setiap 1 sampai 3 minggu sekali. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan informan sebagai berikut:
“Dan pemeriksaan jentik berkala yang dilakukan kader setiap hari
jumat” (Ibu A, bidan desa Ngargorejo)
“Lha kita terkadang 2 minggu sekali atau 3 minggu sekali, kita survei
bersama kader-kader. Survei ke warga masyarakat ternyata masih tidak
ada jentik-jentik yang bersarang di tempayan, atau di bak mandi ataupun
di dispenser dan sebagainya” (Pak G, kepala dusun Sidorejo, Ngargorejo)

3. Pengaruh faktor sosial-budaya dan faktor lain dalam pelaksanaan PSN


Pada penelitian diperoleh informasi mengenai pengaruh faktor sosial-
budaya dan faktor lain dalam pelaksanaan PSN di Desa Kismoyoso dan
Desa Ngargorejo. Tema ini dibagi menjadi beberapa kategori: tingkat
pendidikan, status sosial, adanya hambatan dalam pelaksanaan, dukungan
tokoh masyarakat, kecenderungan meminta fogging, serta adanya sanksi
sosial (Tabel 4.4).

33
Tabel 4.4 Hasil Kategorisasi Pengaruh Faktor Sosial-Budaya dan Faktor
Lain dalam Pelaksanaan PSN

Kategori Subkategori Kode


Tingkat pendidikan Berpengaruh dalam Pengetahuan PSN
pelaksanaan PSN yang lebih baik
Kurang berpengaruh Sikap yang tidak
dalam pelaksanaan mendukung
PSN
Status sosial-ekonomi Berpengaruh dalam - Lebih
pelaksanaan PSN memperhatikan
kebersihan
- Tingkat pendidikan
lebih tinggi
Tidak berpengaruh Fakta yang ditemukan
dalam pelaksanaan
PSN
Adanya hambatan Kesibukan anggota - Kurang
dalam pelaksanaan keluarga memperhatikan
lingkungan
- Lupa melaksanakan
- Tidak sempat
Usia lanjut Kurang
memperhatikan
lingkungan
Dukungan tokoh - Dukungan
mastarakat informatif
- Dukungan motivasi
Kecenderungan Masyarakat jadi
meminta fogging terlena
Adanya sanksi sosial Malu jika tidak PSN
(Data Primer, 2016)

34
a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan memberikan pengaruh dalam pelaksanaan PSN
oleh masyarakat, terutama bila dikaitkan dengan penerimaan
informasi oleh masyarakat yang berpendidikan tinggi akan lebih
mudah, sehingga pengetahuan tentang PSN akan lebih baik. Hal itu
disampaikan oleh sebagian informan sebagai berikut:
“Ya walaupun kebanyakan bisa dipastikan kalau tingkat
pendidikan tinggi lebih tau ya. Biasanya sekarang kan informasi di
share dimanapun, iya kan?” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Ya sekarang kalau yang pendidikannya rendah memang kadang
tidak lulus SD itu ‘alah, esensi PSN itu apa? Tidak usah, asalkan aku
sudah nyapu di rumah bersih lha sudah’ begitu” (Ibu N, kader
jumantik Kismoyoso)
“Tapi kalau menurut saya mestinya juga dengan semakin
tingginya pendidikan itu kan lebih gampang kita kasih tau, gitu lho”
(Ibu E, kepala puskesmas Ngemplak)

Meskipun begitu, pengaruh tingkat pendidikan dalam pelaksanaan


PSN hanya sedikit. Hal ini dikarenakan adanya beberapa orang yang
berpendidikan tinggi, akan tetapi tidak bersikap mendukung. Hal ini
disampaikan oleh sebagian informan lain sebagai berikut:
“Mereka, justru orang-orang yang berpendidikan rendah itu,
kalau kita memberi penyuluhan malah menjalankan, ikut, gitu lho,
mau ikut. Tapi kalau orang-orang yang berpendidikan tinggi ‘oh saya
itu udah pinter’ dikasihtaunya susah mas, iya malahan, dia merasa
benar, dia merasa pintar kan, jadi kita memberi penyuluhannya agak
susah, kalau orang-orang yang berpendidikan tinggi” (Ibu L, kader
jumantik Ngargorejo)
“(Pengaruh pendidikan) Tidak besar, karena apa? Sekarang itu,
pendidikan itu bukan jaminan, gitu lho. Bukan jaminan, jadi lebih

35
cenderung ke kepribadian, atau mental mereka, gitu lho.” (Pak S,
petugas P2M)
“Tapi itu kembali kepada perilaku masyarakat. Jadi bisa jadi
orang yang mungkin pendidikannya lebih tinggi tapi malas
(melaksanakan PSN) kan bisa jadi” (Ibu E, kepala puskesmas
Ngemplak)

b. Status sosial-ekonomi
Pada penelitian didapatkan bahwa sebagian informan mengatakan
bahwa semakin tinggi status ekonomi seseorang, maka pelaksanaan
PSNnya akan semakin baik. Pernyataan tersebut didasarkan pada
asumsi informan bahwa semakin tinggi status-ekonomi, maka
lingkungannya akan lebih diperhatikan, dan tingkat pendidikannya
pun akan lebih tinggi. Hal ini dinyatakan informan sebagai berikut:
“Kalau, status sosialnya tinggi, tempatnya bersih-bersih, ya semua
tidak mesti sebenernya. Tapi tetap kebanyakan iya, karena status
sosial-ekonominya lebih tinggi ya harusnya ada pembantu di rumah.
Setidaknya kan pasti kamar mandi terus kebersihan lingkungan dalam
rumah, apa-apa kan mestinnya ya lebih diperhatikan” (Ibu D, bidan
desa Kismoyoso)
“Pengaruh, karena misalkan bagi yang mampu kan anaknya juga
mesti sekolah, banyak yang sekolah. Artinya tingkat pendidikan,
namun tidak serta merta semuanya mesti tau” (Pak J, kepala desa
Kismoyoso)

Sebagian informan lain mengatakan bahwa status sosial-ekonomi


tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan PSN. Pendapat ini
didasarkan oleh informan pada kenyataan bahwa masih banyak orang
dengan status sosial-ekonomi baik, akan tetapi tidak melaksanakan
PSN. Hal ini dinyatakan informan sebagai berikut:

36
“Dulu, tapi sekarang sudah tidak mas, dulu kalau kita
mengadakan PSN, seminggu sekali mesti keliling kader-kader itu.
Dulu pernah tho, itu ada yang status ekonominya baik, yang
maksudnya orang berada lah, terus mereka tuh semuanya dua guru,
pensiunan, itu kalau kadernya yang cuman lulusan SD kesitu, itu
mesti mereka gimana ya, kadang ‘oo pokoknya tempatku sudah
bersih’, padahal setelah diteliti, ternyata banyak jentik-jentinya mas,
disitu” (Ibu L, kader jumantik Ngargorejo)
“Iya, entah alasannya apa, atau memang mereka nggak peduli
atau gimana. Tapi banyak kok ketika kita pemeriksaan jentik PSN
gitu, pemeriksaan jentik di rumah-rumah gitu, justru rumah orang
yang kaya-kaya gitu kadang jentiknya banyak, banyak itu. Kadang
mereka rumahnya orang-orang kaya punya mobil, kemudian ganti
ban, ban mobil ditaro sembarangan, kadang hujan, malah jadi
perindukan nyamuk, banyak itu. Jadi, status sosial itu bukan jaminan,
ya bukan jaminan, kalau kaitannya dengan DBD” (Pak S, petugas
P2M)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan informan tersebut, dapat


dimaknai bahwa status sosial-ekonomi tidak berpengaruh terhadap
pelaksanaan PSN.

c. Adanya hambatan dalam pelaksanaan


Adanya hambatan dalam pelaksanaan PSN berkaitan dengan dua
hal, yaitu kesibukan anggota keluarga dan usia lanjut.
Kesibukan anggota keluarga menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap keadaan dalam rumahnya, lupa menjalankan, atau tidak
sempat menjalankan. Hal ini didukung oleh pernyataan informan
sebagai berikut:
“Tapi kecuali yang menyita, dalam artian ya komplek lah
masalahnya, dalam artian dia mungkin bekerjanya seharian. Pagi

37
sampe sore, anaknya kecil, begitu kadang iya, bisa saja berpengaruh.
Maksudnya kebersihan lingkunganya, rumahnya, otomatis dia tidak
begitu memperhatikan PSN, iya bisa. Tapi tidak mesti, kalau kerja
seharian asal anaknya agak besar kan ya dia ada kesempatan untuk
memperhatikan lingkungannya” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Kalau tidak ada keluarga yang lain kan kalau misalkan keluarga
sendiri, atau cuma berdua, dan kebetulan sibuk, mestinya terlalu
sibuk kan kadang juga kelupaan, kan pasti ada” (Pak J, kepala desa
Kismoyoso)
“Kadang-kadang ada juga yang anaknya terlalu banyak, repot
katanya” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)

Usia lanjut dapat mempengaruhi pelaksanaan PSN. Keadaan ini


ditemui di Desa Kismoyoso dimana terdapat beberapa rumah yang
hanya dihuni oleh lansia. Hal ini disampaikan informan sebagai
berikut:
“Biasanya selama ini kalau yang tinggal orang-orang tua,
kemudian di kamar mandinya lembab, ternyata jentiknya banyak, itu
kadang-kadang tapi ya tidak mutlak sih” (Ibu D, bidan desa
Kismoyoso)
“Kan baknya kadang besar, kadang itu kan pakai gentong yang
dari tanah itu. Saya sendiri, biasanya bawa senter kalau keliling, buat
nyenteri itu ‘mbah, ini banyak jentiknya, nanti dikuras ya’ ‘oh ya, itu
sudah sebulan tidak saya kuras’ ya, tapi kalau ada yang mudanya itu
selalu bersih” (Ibu N, kader jumantik Kismoyoso)

Kedua pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa usia dapat


mempengaruhi pelaksanaan PSN bila dikaitkan dengan kurangnya
perhatian lansia terhadap keadaan lingkungannya. Hal ini diperkuat
dengan penyataan informan sebagai berikut:

38
“Iya, tapi seringnya begitu. Karena kalau tua kan tidak
memperdulikan kamar mandi, dikiranya sudah bersih, begitu” (Ibu D,
bidan desa Kismoyoso)

d. Dukungan tokoh masyarakat


Tokoh masyarakat memiliki peranan dalam mendukung
keberlangsungan PSN oleh masyarakat. Sebagaimana di Desa
Ngargorejo, para tokoh masyarakat juga ikut mengajak masyarakat
untuk selalu melakukan PSN, serta mengajak para kader kesehatan
agar bersemangat untuk melakukan pemeriksaan jentik nyamuk. Hal
ini didukung oleh pernyataan informan sebagai berikut:
“Itu sangat penting. Perannya sangat besar gitu lho. Jadi, kami
melihat di beberapa desa, Manggung, saya contohkan selalu
Manggung karena Manggung memang Kepala Desanya bagus ya,
bagus dalam arti dalam hal PSN itu perhatian banget. Sindon juga
bagus, Ngargorejo ini kader-kadernya bagus. Jadi karena mereka
adalah penggerak, penggerak yang ada di desa ya jadi misalnya kalau
tokoh-tokoh masyarakat, para pamong desa situ punya motivasi yang
tinggi dalam kegiatan PSN itu saya kira nanti warga itu akan lebih
mudah untuk mengikuti. Jadi biasanya kalau seperti itu memang kita
rangkul adalah para pamong dan tokoh masyarakatnya dulu, gitu.
Jadi karena memang kami mengamati ya perannya cukup besar, gitu”
(Ibu E, kepala puskesmas Ngemplak)
“Tapi kan kita tidak tidak jenuh-jenuhnya mengajak masyarakat
lewat pertemuan-pertemuan itu kita selalu, kebetulan saya selau RKD
sekaligus kadus, jadi saya setiap saat pasti saya mengingatkan itu,
kepada bapak-bapak, mengingatkan kepada ibu-ibu” (Pak G, kepala
dusun Sidorejo, Ngargorejo)
“Kalau kita yang dari bidan desa kemudian dari aparat desa ‘ayo-
ayo’ mengajak (kader jumantik) itu nanti kan semangat lagi (untuk
melakukan pemeriksaan jentik)” (Ibu A, bidan desa Ngargorejo)

39
e. Kecenderungan meminta fogging
Presepsi masyarakat tentang fogging dapat mempengaruhi
pelaksanaan PSN. Masyarakat yang terlalu bergantung pada fogging
akan cenderung enggan untuk melaksnakan PSN. Hasil penelitian
dengan membandingkan Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo,
terdapat perbedaan dalam hal ini. Masyarakat Desa Kismoyoso
cenderung langsung meminta untuk dilakukan fogging apabil terjadi
kasus DBD. Berbeda dengan masyarakat Desa Ngargorejo yang
menolak bila akan dilakukan fogging. Hal ini didukung oleh
pernyataan informan sebagai berikut:
“Tapi masyarakat memang harus diberdayakan. Jadi masyarakat
itu harus berdaya, untuk mengatasi DBD, dengan PSN, gitu lho.
Jangan membodohi masyarakat. Kalau fogging itu kan membuat
masyarakat tidak mau berdaya guna, gitu lho. Nanti sudah di fogging,
sudah. Padahal, fogging itu bukan segala-galanya. Banyak di
beberapa tempat tuh habis di fogging, muncul lagi kasus” (Pak S,
petugas P2M)
“Iya, dan apabila akan di fogging, pasti menolak duluan ‘tidak
perlu di fogging, tidak usah disemprot, pasti nanti tidak memecahkan
masalah, karena nanti masyarakat jadi terlena’ dan kebetulan
masyarakat sini juga tidak mau di fogging” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)
“Daerah sana biasannya demam berdarah kok, sebenernya
lingkungannya bagus, lingkungan ya sebenarnya agak kota, tapi
kadang ya PSNnya karena tidak dijalankan itu, disini kan biasanya
semprot semprot semprot” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)

f. Adanya sanksi sosial


Pemberian sanksi sosial akan memacu masyarakat untuk
melaksanakan PSN. Sanksi sosial bagi masyarakat yang di
penampungan airnya ditemukan jentik telah dijalankan di Desa

40
Ngargorejo, meskipun aturan mengenai sanksi ini tidak tertulis. Hal
didukung oleh pernyataan informan sebagai berikut:
“Iya, jadi perlu sanksi. Jadi, untuk menyadarkan masyarakat
tentang PSN, itu perlu sanksi sosial, katakanlah seperti itu. Anda tau,
Desa Kragilan, Mojosongo, Boyolali dulu, dulu lho, itu kan jadi
contoh nasional kaitannya dengan PSN. Karena apa? Lurahnya itu
menerbitkan Perdes, ada Perdes yang namanya Perdes Kragilan,
Desa Kragilan tahun 2005. Karena waktu itu ada kasus banyak yang
meninggal banyak, satu desa, kemudian terbit perdes kaitannya PSN
yang mengatur, kalau PSN itu, kaitannya PSN, kalau rumah warga
yang ditemukan jentik, diberi bendera warna merah. Jadi di depan
rumah dikasih bendera warna merah, ‘KAWASAN BELUM BEBAS
JENTIK DALAM PENGAWASAN’, iya memang seperti itu. Saya
punya bendera merah itu. Nanti yang sudah kita gulirkan itu di
Manggung, kita sudah menggulirkan itu di Manggung, kemudian
sedikit di Ngesrep, seperti itu” (Pak S, petugas P2M)
“Kalau misalkan minggu depannya masih postif? Nanti biasanya
dari kader bareng bu bidan sama bu lurah kita datengi rumahnya
bareng-bareng, trus nanti kita nguras tempat penampungan airnya,
gitu….
…Kalau sanksi sosial itu tadi mas. Kan rumahnya didatengi bu
bidan, bu lurah dan kader-kader yang lain, kan otomatis malu mas,
dia kalau minggu depannya ‘wah harus bersih ini’ begitu” (Ibu L,
kader jumantik Ngargorejo)

4. Hasil implementasi PSN


Pada penelitian diperoleh data mengenai hasil implementasi PSN di Desa
Kismoyoso dan Desa Ngargorejo melalui wawancara dan analisis
dokumen. Pada kategori hasil implemetasi PSN terdapat 2 kategori, yaitu
angka bebas jentik, dan angka kejadian DBD (Tabel 4.5).

41
Tabel 4.5 Hasil Kategorisasi Tema Hasil Implementasi PSN

Kategori Subkategori Kode


Angka bebas jentik Target (95%) Belum mencapai target
Keberadaan jentik Kebanyakan di luar
rumah
Angka kejadian Meningkat dibanding
DBD tahun lalu
(Data Primer, 2016)
a. Angka bebas jentik
Pada penelitian didapatkan angka bebas jentik di Desa Kismoyoso
dan Desa Ngargorejo masih belum mencapai target, yaitu 95%. Hal
ini dilihat melalui pernyataan informan sebagai berikut:
“Tetep ada banyak yang positif. Paling 75 persen (angka bebas
jentiknya)” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Di desa Ngargorejo? terakhir itu delapan puluh delapan persen
(angka bebas jentiknya)” (Ibu A, bidan desa Kismoyoso)

Selain disebabkan oleh adanya masyrakat yang tidak


melaksanakan PSN, belum tercapainya target juga terjadi karena
pelaksanaan PSN yang belum menyeluruh. Pelaksanaan PSN oleh
masyarakat banyak terfokus di lingkungan dalam rumah, sehingga
lingkungan luar rumah kurang diperhatikan. Hal ini didukung oleh
pernyataan informan sebagai berikut:
“Kadang sebenarnya kecolongan kan ya. Kamar mandi sudah,
penampungan airnya sudah tapi nyatanya masih ada ember di depan,
ya misalkan, mungkin untuk mainan anaknya terus ternyata sudah
jentiknya itu, juga ada biasanya begitu. Biasanya ya di kebun-kebun,
begitu” (Ibu D, bidan desa Kismoyoso)
“Hehehe, tetep ada yang positif jentik…
Kebanyakan di lingkungan luar…

42
Iya, yang bekas-bekas itu lho mas, aqua gelas, kemudian dari
sampah-sampah di lingkungan sekitarnya” (Ibu A, bidan desa
Ngargorejo)

b. Angka kejadian DBD


Pada penelitian, hampir semua informan manyatakan bahwa terjadi
peningkatan kasus DBD di tahun 2016 bila dibandingan dengan
kejadian DBD tahun 2015. Hal ini dinyatakan informan sebagai
berikut:
“Untuk tahun ini, 2016 ini meningkat (angka kejadian DBDnya)”
(Ibu A, bidan desa Ngargorejo)
“Ini malah meningkat og (kasus DBD tahun 2016)” (Ibu D, bidan
desa Kismoyoso)
“Oh jauh, tahun kemaren itu cuma 68, sekarang itu baru sampe
Oktober, masuk yo Oktober itu sudah 160 lebih” (Pak S, petugas
P2M)

Meskipun terjadi peningkatan kasus DBD di Desa Ngergorejo,


sebagian besar pasien yang merupakan warga Desa Ngargorejo yang
menetap di luar desa, dan terkena DBD saat sedang berada di luar
desa. Hal ini disampaikan informan sebagai berikut:
“Iya, dan kebanyakan impor, maksudnya yang kena itu tidak di
desa sini” (Ibu A, bidan desa Ngargorejo)
“Kalau sini, juga ada kasus, tapi impor mas” (Ibu L, kader
jumantik Ngargorejo)

43
BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Hasil Penelitian


Hasil penelitian menunjukan bahwa penyuluhan tentang 3M (Menguras,
Menutup, dan Mengubur) di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo sudah
banyak dilakukan oleh bidan desa, kader jumantik, maupun petugas
puskesmas. Metode yang digunakan adalah penyuluhan kelompok, dimana
penyuluhan dilakukan pada saat pertemuan desa, pertemuan PKK, pertemuan
RT dan sebagainya (Ginting, et al., 2011).

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat sudah


mengetahui 3M. Terdapat perbedaan antara definisi tentang 3M yang diketahui
masyarakat dengan yang terdapat pada tinjauan pustaka. Hampir seluruh
informan menyatakan 3M sebagai menguras, menutup, dan mengubur. Hal ini
sesuai dengan pedoman pemberantasan jentik nyamuk DBD (Demam Berdarah
Dengue) yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan tahun 2008 (Gultom, et al., 2008). Sedangkan pada tinjaun pustaka
menyatakan yang 3M sebagai menguras, menutup, dan memanfaatkan
didasarkan pada pedoman pengandalian DBD yang dikeluarkan Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2011 (Handoko, et
al., 2011).

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat sudah


melaksanakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Akan tetapi, PSN yang
terdiri dari 3M (menguras, menutup, dan memanfaatkan) belum dilaksanakan
secara menyeluruh. Hal ini berdasarkan pengamatan dimana didapati hanya
sebagian kecil masyarakat tang melaksanakan 3M pada poin ‘menutup’.
Gerakan PSN merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dalam
upaya pencegahan DBD dan pelaksanaannya sangat tergantung pada
peranserta masyarakat (Chadijah, et al., 2011; Ginting, et al., 2011). Salah satu
cara mengontrol keberjalanan PSN oleh masyarakat, di Desa Kismoyoso dan

44
Desa Ngargorejo terdapat kader jumantik yang betugas melakukan
pemeriksaan jentik di rumah-rumah warga. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan Chadijah, et al. (2011) bahwa pemberdayaan jumantik dapat
meningkatkan secara signifikan angka bebas jentik (ABJ) yang menjadi
indikator baiknya pelaksanaan PSN di masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang berpengaruh dalam


pelaksanaan PSN oleh masyarakat adalah tingkat pendidikan, adanya hambatan
dalam pelaksanaan, dukungan tokoh masyarakat, kecenderungan meminta
fogging, serta adanya sanksi sosial.

Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh


terhadap pelaksanaan PSN, karena menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang dan melaui pendidikan seseorang dapat
menerima lebih banyak informasi (Utami, 2010). Informasi yang dimaksudkan
disini salah satunya berupa materi penyuluhan yang disampaikan kepada
masyarakat.

Namun, tingkat pendidikan yang tinggi bukan merupakan jaminan


pelaksanaan PSN oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
beberapa informan bahwa dalam kenyataannya ada orang-orang yang cukup
berpendidikan akan tetapi bersikap tidak mendukung pelaksanaan PSN.
Meskipun tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan, akan tetapi
pengetahuan tidak selalu mempengaruhi sikap (Sigarlaki, 2007). Sejalan
dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan Utami (2010) menyatakan
bahwa tingkat pendidikan formal berpengaruh terhadap perilaku pencegahan
DBD, akan tetapi dalam penelitiannya masih ditemukan masyarakat dengan
tingkat pendidikan cukup tinggi, akan tetapi perilaku pencegahan DBDnya
masih buruk.

Hasil penelitian menunjukan bahwa ada masyarakat yang tidak


melaksanakan PSN karena kesibukan anggota keluarga. Monintja (2015)
menyatakan bahwa kesibukan seseorang seringkali dapat menjadikannya lupa

45
melaksanakan tindakan pencegahan DBD. Kesibukan juga dapat berpengaruh
terhadap pengetahuan, dimana kesibukan menjadikan seseorang tidak sempat
mengikuti kegiatan penyuluhan PSN, sehingga tidak mengerti akan pentingnya
PSN (Sigarlaki, 2007). Kesibukan merupakan faktor relatif yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan PSN. Seseorang mungkin memiliki kesibukan
yang tinggi, akan tetapi bila dia telah membiasakan diri untuk melakukan 3M,
maka kesibukan tidak menjadi penghalang. Selain itu, dalam pelaksanakan 3M,
dapat digantikan anggota keluarga uang lain. Sebagai contoh, apabila seorang
ayah yang menjadi kepala keluarga memiliki sibuk yang tinggi, maka
pelaksanaan 3M dapat dilakukan oleh ibu, maupun anaknya.

Hasil penelitian menunjukan usia dapat mempengaruhi pelaksanaan PSN.


Hal ini berkebalikan dengan penelitian Chandren, et al (2015) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan
perilaku pencegahan DBD. Pada lain sisi, Chanyasanha, et al. (2015)
menyatakan bahwa usia berpengaruh terhadap perilaku pencegahan DBD,
dimana didapatkan dalam penelitiannya bahwa perilaku pencegahan DBD
terbaik pada kelompok usia muda (20-35 tahun). Hal tersebut karena kelompok
usia muda memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang pencegahan DBD dan
lebih mudah dalam merubah sikap. Peneliti dalam penelitian ini
menghubungkan antara usia dengan pelaksanaan PSN dalam kaitanya dengan
kurangnya perhatian lansia terhadap keadaan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dukungan dari tokoh masyarakat


dapat mempengaruhi pelaksanaan PSN oleh masyarakat. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Akbar, et al. (2015) menyatakan bahwa dukungan tokoh
masyarakat memiliki peran dalam pelaksanaan Desa Siaga, dimana salah satu
kriterianya adalah surveilans berbasis masyarakat dengan pencapaian berupa
pemantauan jentik berkala dan terlaksananya PSN. Dukungan dari tokoh
masyarakat diantaranya dapat berupa dukungan emosional dengan
memberikan motivasi kepada masyarakat dan dukungan informatif dengan
melakukan sosialiasasi ketika ada acara masyarakat. Sejalan dengan itu,

46
pelakasanaan PSN di Desa Ngargorejo juga mendapat dukungan dari tokoh
masyarakat, diantaranya dari kepala dusun dan perangkat desa. Dukungan yang
diberikan berupa motivasi kepada kader jumantik agar bersemangat dalam
melaksanakan pemeriksaan jentik, serta penyampaian penyuluhan mengenai
PSN di setiap acara masyarakat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Desa Kismoyoso


cenderung menginginkan fogging ketika terjadi kasus DBD. Berbeda dengan
Desa Ngargorejo dimana masyarakat justru menolak bila akan dilakukan
fogging. Pemberantasan nyamuk dengan cara fogging masih belum dianggap
efektif, karena hanya membunuh nyamuk dewasa, dan dapat terjadi resistensi
nyamuk terhadap insektisida yang digunakan (Marcombe, et al., 2012; Esu, et
al., 2010). Dibandingkan fogging, PSN merupakan cara pemberantasan yang
lebih aman, murah dan sederhana, sehingga dalam pengendalian vektor DBD,
program pemerintah lebih menitikberatkan pada PSN (Chadijah, et al., 2011).
Hulukati, et al. (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa masyarakat
yang berpatokan pada fogging akan cenderung tidak mengindahkan keadaan
lingkungan sehingga tidak melaksanakan PSN. Oleh karena itu, masih
kurangnya pelaksanaan PSN di Desa Kismoyoso dapat disebabkan oleh
berpatokannya masyarakat terhadap fogging dalam upaya pemberantasan
vektor DBD.

Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya sanksi sosial dapat mendorong


masyarakat untuk melaksanakan PSN. Teori kognitif sosial menyebutkan
bahwa pengaruh normatif dapat mengatur perbuatan masyarakat melalui dua
proses kontrol, meliputi sanksi sosial dan sanksi diri (Bandura, 1998). Sanksi
sosial dapat diberikan kepada masyarakat yang tidak melaksanakan PSN dalam
berbagai bentuk.

Hasil penelitian menunukan bahwa status sosial tidak berpengaruh


terhadap pelaksanaan PSN. Hal ini sejalan dengan kesimpulan dari hasil
peneltian Furwanto, et al. (2013) yang menyatakan bahwa status sosial-

47
ekonomi tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan perilaku PHBS yang salah
satunya berupa perilaku pemberantasan jentik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa angka bebas jentik di Desa Kismoyo


dan Desa Ngargorejo belum mencapai target 95%. Pelaksanaan PSN di Desa
Ngargorejo sudah lebih baik dibandingkan Desa Kismoyoso. Hal ini
didasarkan pada penyataan informan di kedua desa mengenai angka bebas
jentik di desa masing-masing. Pada penelitian ditemukan kendala bahwa data
angka bebas jentik yang didapat dari pemeriksaan jentik tidak terdokumentasi
dengan baik, sehingga data mengenai angka bebas jentik hanya didasarkan
pada pernyataan informan. Pada penelitian juga didapati perbedaan antara
informasi yang disampaikan oleh informan dengan hasil observasi.
Berdasarkan hasil wawancara, disampaikan bahwa kebanyakan jentik
ditemukan di barang-barang tidak terpakai di luar rumah, sedangkan pada
pengamatan, peneliti mendapati jentik ditemukan di dalam kamar mandi, dan
tidak menemukan adanya barang bekas di sekitar rumah yang dapat manjadi
tempat penampungan air.

Hasil penelitian menunjukan bahwa angka kejadian DBD hingga bulan


September 2016 di Desa Kismoyoso dan Desa Ngargorejo serta di tingkat
Kecamatan Ngemplak mengalami bila dibandingkan dengan tahun 2015.
Selain dipengaruhi oleh pelaksanaan PSN, peningkatan kasus juga dipengaruhi
oleh cuaca. Pada musim penghujan, sering terjadi peningkatan kasus karena
banyak terdapat genangan-genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan
nyamuk vektor DBD. Pada penelitian didapatkan 3 dari 4 pasien di DBD dari
Desa Ngargorejo tidak tinggal di desa. 3 pasien tersebut merupakan penduduk
Desa Ngargorejo, akan tetapi tinggal di luar Desa Ngargorejo, dan pulang ke
desa saat sudah mengalami gejala DBD. Berdasarkan hal tersebut, di lain sisi
dapat dikatakan bahwa kasus DBD yang terjadi di Desa Ngargorejo hanya 1
kasus, sehingga, bila berpatokan pada fakta tersebut adapat dinyatakan bahwa
kasus DBD di Desa Ngargorejo pada tahun 2016 mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2015.

48
B. Rekomendasi Penelitian
Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan PSN DBD di Kecamatan
Ngemplak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, adanya
hambatan dalam pelaksanaan, dukungan tokoh masyarakat, kecenderungan
meminta fogging, serta adanya sanksi sosial. Oleh karena itu, peneliti
memberikan rekomendasi agap pelaksanaan penyuluhan PSN juga
memperhatikan hal-hal tersebut. Selain itu, ditemukan pula bahwa rendahnya
ABJ juga disebabkan oleh pelaksanaan PSN yang belum menyeluruh, oleh
karena peneliti merekomendasikan perlunya menyadarkan masyarakat untuk
melaksnakan PSN secara menyeluruh (di dalam rumah dan lingkungan luar
rumah)

C. Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian hanya berlangsung sebentar, sehingga kurangnya waktu


pengamatan.
2. Kurangnya pengalaman peneliti dalam penelitian kualitatif, sehingga
dalam pemaknaan informasi yang disampaikan responden belum
maksimal.
3. Penelitian hanya mengambil sampel dari 2 desa dari 12 desa yang ada di
Kecamatan Ngemplak, sehingga mungkin diperlukan sampel lebih banyak
lagi agar hasil penelitian dapat benar-benar mewakili keadaan di
Kecamatan Ngemplak
4. Analisis dokumen yang berisi data mengenai angka bebas jentik di kedua
desa buakanlah data terbaru. Hal ini dikerenakan data yang didapat saat
pemeriksaan jentik oleh kader jumantik tidak terdokumentasikan dengan
baik.

49
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:

1. Penyuluhan megenai PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) sudah banyak


dilakukan oleh bidan desa, kader jumantik, maupun petugas puskesmas.
Pelaksanaan penyuluhan oleh bidan desa adalah saat ada acara
perkumpulan dengan sasaran penyuluhan adalah kelompok masyarakat
tertentu. Sedangkan petugas puskesmas memberikan penyuluhan apabila
ada permintaan dari pihak desa dan dilakukan dengan cara mengumpulkan
warga pada malam hari dengan sasaran masyarakat desa secara umum.
Tujuan dilakukan penyuluhan pada malam hari adalah agar lebih warga
yang dapat mengikuti penyuluhan.
2. Sebagian besar masyarakat sudah mengetahui tentang 3M (Menguras,
Menutup, dan Mengubur). Hal ini merupakan salah satu hasil yang didapat
dari penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan ke masyarakat.
3. Sebagian besar masyarakat sudah melaksanakan 3M di lingkungan
rumahnya. Meskipun begitu, peran serta masyarakat masih harus
ditingkatkan agar seluruh masyarakat melaksanakan PSN. Upaya yang
dilakukan untuk memantau pelaksanaan PSN oleh masyarakat adalah
denganpemeriksaan jentik rutin yang dilakukan oleh kader jumantik.
4. Faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan PSN oleh masyarakat di
Kecamatan Ngemplak adalah tingkat pendidikan, adanya hambatan dalam
pelaksanaan, dukungan tokoh masyarakat, kecenderungan meminta
fogging, serta adanya sanksi sosial.
5. Jika melihat hasil pelakasanaan PSN berupa data mengenai angka bebas
jentik dan angka kejadian DBD (Demam Berdarah Dengue), pelaksanaan
PSN masih perlu ditingkatkan untuk mencegah transmisi virus dengue

50
B. Saran
1. Bagi petugas kesehatan di Kecamatan Ngemplak, disarankan untuk terus
meningkatkan program penyuluhan PSN dengan menyesuaikan faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya guna menggerakkan
masyarakat dalam upaya pencegahan DBD.
2. Dalam pengembilan data, sebaiknya dilakukan pula observasi kepada
masyarakat guna mengetahui keadaan yang ada di masyarakat
3. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode kuantitatif untuk
lebih mendalai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PSN oleh
masyarakat

51
DAFTAR PUSTAKA

ADB (2013). Managing regional public goods for health: community-based


dengue vector control. Mandaluyong City: Asian Development Bank.

Akbar MA, Gani HA, Istiaji E (2015). Dukungan tokoh masyarakat dalam
keberlangsungan desa siaga di desa Kenongo Kecamatan Gucialit
Kabupaten Lumajang, Jember: Unversitas Jember.

Bachri, Bachtiar S (2010). Meyakinkan validitas data melalui triangulasi pada


penelitian kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan , 10 (1): 46-62.

Bandura A (1998). Health promotion from the perspective of social cognitive


theory. Psychology and Health, Volume 13, pp. 623-649.

BPS Jawa Tengah (2016). Badan Pusat Statitik Jawa Tengah.


http://jateng.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/808 - Diakses Mei 2016.

Burke D, Monath T (2001). Flaviviruses. Dalam: Knipe D, Howley P (eds). Fields


virology. Philadelphia (USA): Lippincott Williams & Wilkins, pp: 1043-
1125.

Candra A (2010). Demam berdarah dengue: epidemiologi, patogenesis, dan faktor


risiko penularan. Aspirator , 2 (2): 110 –119.

CDC (2009). Mosquito Life-Cycle.


http://www.cdc.gov/dengue/entomologyEcology/m_lifecycle.html -
Diakses Juni 2016.

CDC (2010). Entomology & Ecology.


http://www.cdc.gov/dengue/entomologyecology/ - Diakses Juni 2016.

CDC (2012). Prevention Dengue CDC. http://www.cdc.gov/dengue/prevention/ -


Diakses Juni 2016.

Chadijah S, Rosmini, Halimuddin (2011). Peningkatan peranserta masyarakat


dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk dbd (psn-dbd) di dua
kelurahan di kota Palu, Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan, 21
(4): 183-190.

Chandren JR, Wong LP, AbuBakar S (2015). Practices of dengue fever prevention
and the associated factors among the orang asli in peninsular malaysia.
PLoS Negl Trop Dis , 9 (8).

52
Chanyasanha C, Guruge GR, Sujirarat D (2015). Factors influencing preventive
behaviors for dengue infection among housewives in Colombo, Sri Lanka.
Asia-Pacific Journal of Public Health, 27 (1): 96-104.

Dalrymple NA, Mackow ER (2012). Roles for endotheliail cell in dengue virus
infection. Advance in Virology, 2012: 1-8.

Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2014). Profil kesehatan jawa tengah tahun 2014,
Semarang: Dinas Kesahatan Provinsi Jawa Tengah.

Direktorat Jendral PP PL (2015). Profil pengendalian penyakit dan penyehatan


lingkungan , Jakarta: Kementrian Kesehatan.

Esu E, Lenhart A, Smith L, Horstick O (2010). Effectiveness of peridomestic


space spraying with insecticide on dengue transmission: systematic
review. Trop Med Int Health, 15 (5): 619-631.

Furwanto R, Zulfitri R & Hasanah O (2013). hubungan status sosial ekonomi


dengan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat tatanan rumah tangga,
Pekanbaru: Unversitas Riau.

Ginting, M. et al. (2011). Promosi kesehatan di daerah bermasalah kesehatan.


Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Groeneveld A, Polderman K (2005). Fluid resuscitation: the good, the bad and the
ugly. Crit Care & Shock, 8: 52-54.

Gubler DJ (1998). Dengue and dengue hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology


Reviews, 11 (3): 480–496.

Gultom B, Windyaningsih C, Samad I & Delianna J (Ed) (2008). Modul pelatihan


bagi pelatih pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (psn-
dbd) dengan pendekatan komunikasi perubahan perilaku (communication
for behavioral impact). Jakarta: Direktorat Jendral PP PL.

Halstead S (2007). Dengue. Lancet, 370 (9599): 1644-1652.

Handoko D, Prasetyowati EB, Hartoyo S (2011). Modul pengendalian demam


berdarah dengue. Jakarta: Direktorat Jendral PP PL Kementrian
Kesehatan.

Hendarto S, Hadinegoro S (1992). Dengue encephalopathy. Acta Pediatr Jpn, 34


(3): 350-357.

53
Higa Y (2011). Dengue vectors and their spatial distribution. Tropical Medicine
and Health, 39 (4): 17-27.

Hulukati WP, Hiola RP, Kadir S (2015). Persepsi masyarakat tentang fogging
focus pada kejadian demam berdarah di Desa Marisa Selatan Kecamatan
Marisa Kabupaten Pohuwato, Gorontalo: Universitas Negri Gorontalo.

Jessie K, et al. (2004). Localization of dengue virus in naturally infected human


tissues, by immunohistochemistry and in situ hybridization. J InfectDis,
189: 1411-8.

Kurane I (2007). Dengue hemorrhagic fever with spesial emphasis on


immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology &
Infectious Disease, 30: 329-340.

Kuswandani N, Sastroasmoro S (2014). Penelitain kualitatif. Dalam:


Sastroasmoro S & Ismael S (eds). Dasar-dasar metode penelitian klinis.
Jakarta: Sagung Seto, pp: 289-299.

Marcombe S, et al. (2012). Insecticide resistance in dengue vector aedes aegypti


from martinique: distribution, mechanism and relation with environmental
factors. Plos One, 7 (2): 1-11.

Martina BE, Koraka P, Osterhaus AD (2009). Dengue virus pathogenesis: an


integrated view. Clinical Microbiology Reviews, 22 (4): 564-581.

Menkes RI (1992). Keputusan mentri kesehatan Republik Indonesia nomor:


581/Menkes/SK/VII/1992 tentang pemberantasan penyakit demam
berdarah dengue. Jakarta: Mentri Kesehatan RI.

__________(2004). Keputusan mentri kesehatan Republik Indonesia nomor


NOMOR 128/MENKES/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat
kesehatan masyarakat. Jakarta: Mentri Kesehatan RI.

__________(2010). Peraturan mentri kesehatan Republik Indonesia nomor


1501/MENKES/PER/X/2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang
dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulagan. Jakarta: Mentri
Kesehatan RI.

__________(2014a). Peraturan mentri kesehatan Republik Indonesia nomor 75


tahun 2014 tentang pusat keehatan masyarakat. Jakarta: Mentri Kesehatan
RI.

54
__________(2014b). Peraturan mentri kesehatan Republik Indonesia nomor 82
tahun 2014 tentang penaggulangan penyakit menular. Jakarta: Mentri
Kesehatan RI.

Monintja, TCN (2015) Hubungan antara karakteristik individu, pengetahuan dan


sikap dengan tindakan psn dbd masyarakat kelurahan Malalayang I
kecamatan Malalayang kota Manado. JIKMU, 5 (2b): 503-519.
Murray NEA, Quam MB, Smith AW (2013). Epidemiology of dengue: past,
present and future prospects. Clinical Epidemiology , 5: 299–309.

Noisakran S, et al. (2012). Infection of bone marrow cells by dengue virus in vivo.
Exp Hematol, 40 (3): 250-259.

Noritomi D, et al. (2009). Metabolic acidosis in patients with severe sepsis and
septic shock: a longitudinal quantitative study. Crit Care Med, 37 (10):
2733-2739.

Notoatmodjo S (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka


Cipta.

Notoatmodjo S (2010). Promosi kesehatan: Teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka


Cipta.

Owen JA, Punt J, Stranford SA (2013). Kuby immunology. 7th ed. New York:
W.H. Freeman and Company.

Póvoa TF, et al. (2014). The pathology of severe dengue in multiple organs of
human fatal cases: histopathology, ultrastructure and virus replication.
PLOS One, 9 (4): 1-16.

Raco J, (2010). Metode penelitian kualitatif jenis, karakteristik, dan


keunggulannya. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Saryono, Anggraeni MD (2013). Metodologi penelitian kualitatif dan kuantitatif


dalam bidang kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sastroasmoro S (2014). Pemelihan subjek penelitian. Dalam: Sastroasmoro S,


Ismael S (eds). Dasar-dasar metode penelitian klinis. Jakarta: Sagung
Seto, pp: 88-101.

Schieffelin JS, et al. (2010). Neutralizing and non-neutralizing monoclonal


antibodies against dengue virus e protein derived from a naturally infected
patient. Virology Journal , 7 (28): 1-11.

55
Schmid MA, Diamond MS, Harris E (2014). Dendritic cell in dengue virus
infection: targets of virus replication and mediators of immunity. Frontiers
in Immunology, 5 (647): 55-64.

Sellahewa KH (2012). Pathogenesis of dengue haemorrhagic fever and its impact


on case management. ISRN Infectious Diseases, 2012: 1-6.

Sigarlaki HJO (2007). Karakteristik, pengetahuan, dan sikap ibu terhadap


penyakit demam berdarah dengue. Berita Kedokteran Masyarakat, 23 (3):
148-153.

Sridharan A, et al. (2013). Inhibition of megakaryocyte development in the bone


marrow underlies dengue virus-induced thrombocytopenia in humanized
mice. J. Virol., 87 (21): 11648-11658.

Sulaeman, Endang S (2016). Metode penelitian kualitatif & campuran dalam


kesehatan masyarakat. Surakarta: UNS Press

Sunaryo, Pramestuti N (2014). Surveilans aedes aegypti di daerah endemis


demam. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8 (8): 423-429.

UPTD Puskesmas Ngemplak (2016). Grafik minimum maksimum kejadian dbd di


kecamatan Ngemplak tahun 2013-2016, Boyolali: UPTD Puskesmas
Ngmeplak.

Utami KA (2010). Hubungan tingkat pendidikan formal terhadap perilaku


pencegahan demam berdarah dengue (dbd) pada masyarakat di kelurahan
Bekonang Sukoharjo, Surakarta: Unversitas Sebelas Maret.
Valenzuela J (2004). Exploring tick saliva: from biochemistry to ‘sialomes’ and
functional genomics. Parasitology, 129: 83-94.

Wan, SW, et al. (2013). Autoimmunity in dengue pathogenesis. Journal of the


Formosan Medical Association, 112: 3-11.

Wati S, Li P, Burrel C, Carr J (2007). Dengue virus (DV) replication in monocyte-


derived macrophages is not affected by tumor necrosis factor alpha (TNF-
a), and DV infection induced altered responsiveness to TNF-a stimulation.
J. Virol, 81 (18): 10161-171.

Whitehead S, Blaney J, Durbin A, Murphy B (2007). Prospects for a dengue virus


vaccine. Nat Rev Microbiol, 5 (7): 518-528.

WHO SEARO (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of


dengue and dengue haemorrhagic fever. New Delhi: WHO.

56
WHO (1997). Dengue haemorrhagic fever diagnosis, treatment, prevention, and
control 2nd ed. Geneva: WHO Press.

WHO (2009). Dengue guidlines for diagnosis, treatment, prevention, and conrol.
Geneva: WHO Press.

WHO (2012). Global strategy for dengue prevention and control, 2012–2020.
Geneva: WHO Press.

WHO (2016). WHO Dengue Vaccine Research.


http://www.who.int/immunization/research/development/dengue_vaccine
s/en/ - Diases Juni 2016.

Yu C, et al. (2012). Dengue virus targets the adaptor protein MITA to subvert host
innate immunity. PLoS Pathog, 8 (6): 1-13.

57
LAMPIRAN

58

Anda mungkin juga menyukai