i
KATA PENGANTAR
iii
TIM PENYUSUN
Pelindung
dr. H.M. Subuh, MPPM
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Pengarah
dr. Andi Muhadir, MPH
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
Kontributor
1. Drh. Endang Burni Prasetyowati, M.Kes
2. Dr. GertrudisTandy, MKM
3. DR. Suwito, SKM, M.Kes
4. Rohani Simanjuntak, SKM, MKM
5. Dr. Galuh Budhi Leksono Adhi
6. Erliana Setiani, SKM, MPH
7. Subahagio, SKM
8. Dr. Sri Hartoyo
9. Dr. Dauries Ariyanti Muslikhah
10. Rita Ariyati, SKM
11. Shelvia Nova, SKM
12. Suratno
13. Dr. dr. Triyunis Miko, M.Kes (FKM-UI)
14. Dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A. (Dept. IKA FKUI/RSCM)
15. Drh. Sri Sugiharti, M.Kes (PPSDM-Kemenkes)
16. Drh. Sugiharto, M.Si (Subdit PV)
17. Dra. Fitri Riyanti, M.Si (Subdit PV)
Editor
1. Dr. Endang Burni Prasetyowati, M.Kes
2. Dr. Galuh Budhi Leksono Adhi
v
DAFTAR SINGKATAN
vii
SDM : Sumber Daya Manusia
SKD : Sistem Kewaspadaan Dini
SOP : Standar Operasional Prosedur
SP : Species
SPM : Standar Pelayanan Minimal
SSD : Syndrome Syok Dengue
STP : Sistem Terpadu Penyakit
T : Teori
TPA : Tempat Penampungan Air
TPK : Tujuan Pembelajaran Khusus
TP-LKMD : Tim Pembina Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
TPU : Tujuan Pembelajaran Umum
TTU : Tempat-Tempat Umum
UKS : Usaha Kesehatan Sekolah
ULV : Ultra Low Volume
UPK : Unit Pelayanan Kesehatan
UPT : Unit Pelayanan Teknis
UPTD : Unit Pelaksana Teknis Daerah
USG : Unit Sonografi
WI : Widya Iswara
viii
DAFTAR ISI
ix
V. BAHAN BELAJAR ................................................................................................... 8
VI. ALAT BANTU BELAJAR ......................................................................................... 8
VII. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN ............................................................... 8
A. Langkah 1 ........................................................................................................... 8
B. Langkah 2 ........................................................................................................... 8
VIII. URAIAN MATERI .................................................................................................... 8
A. Situasi DBD dan Permasalahan DBD di Indonesi .............................................. 8
B. Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD .............................................................. 10
IX. KEPUSTAKAAN ..................................................................................................... 16
x
MATERI INTI 3 SURBEILANS DAN PENGENDALIAN VEKTOR DBD ........................... 51
I. DESKRIPSI SINGKAT ............................................................................................. 51
II. TUJUAN PEMBELAJARAN ..................................................................................... 52
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) .................................................................... 52
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) ................................................................... 52
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN ................................................. 52
IV. METODE ................................................................................................................. 53
V. BAHAN BELAJAR ................................................................................................. 53
VI. ALAT BANTU .......................................................................................................... 53
VII. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN (DISESUAIKAN) 53
VIII. URAIN MATERI ....................................................................................................... 54
A. METODE SURVEILANS VEKTOR DBD ............................................................ 54
B. MORFOLOGI, IDENTIFIKASI DAN BIOEKOLOGI VEKTOR DBD .. 62
C. METODE PENGENALAN VEKTOR ................................................................... 67
D. KEGIATAN PENGENDALIAN VEKTOR DBD ................................................... 70
E. PELAPORAN DAN EVALUASI HASIL PENGENDALIAN VEKTOR . 72
IX. KEPUSTAKAAN . 73
xi
VIII. URAIN MATERI ....................................................................................................... 94
A. KONSEP PENANGGULANGAN EPIDEMIOLOGI (PE) DAN
PENANGGULANGAN FOKUS (PF) ................................................................... 94
B. PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA ............................................... 99
xii
VI. ALAT BANTU BELAJAR ......................................................................................... 132
VII. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN ............................................................... 132
VIII. URAIN MATERI ...................................................................................................... 133
A. STRATEGI DASAR PROMOSIKESEHATAN .................................................... 133
B. KEMITRAAN MELALUI POKJANAL DBD .......................................................... 137
C. PENYULUHAN KESEHATAN ............................................................................ 142
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Grafik Pertambahan Jumlah kasus DBD sejak tahun 1968 - 2011
Gambar 2 : Grafik Insidens Rate DBD per 100.00 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR)
Gambar 3 : Grafik Insidens Rate (IR) DBD per Provinsi di Indonesia tahun 2010
Gambar 4 : Virus Dengue
Gambar 5 : Grafik Distribusi Kasus Dengue di Negara-negara Asia Tahun 2000-2009
Gambar 6 : Distribusi IR DBD di Indonesia Tahun 2010
Gambar 7 : Nyamuk Aedes Aegypti
Gambar 8 : Siklus penularan penyakit DBD
Gambar 9 : Grafik Pola Indek Curah Hujan (ICH) dan IR DBD di Provinsi NTT Tahun 2005
- 2009
Gambar 10 : Grafik Pola Indek Curah Hujan (ICH) dan IR DBD di Provinsi Kalimantan
Timur tahun 2005-2009
Gambar 11 : Grafik Pola Indek Curah Hujan (ICH) dan IR DBD di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2005-2009
Gambar 12 : Peta Stratifikasi desa/kelurahan DBD di Puskesmas X
Gambar 13 : Grafik rata-rata jumlah penderita DBD di Puskesmas X tahun 2006-2010
Gambar 14 : Contoh Ovitrap
Gambar 15 : Contoh Aspirator
Gambar 16 : Ovarium Aedes sp
Gambar 17 : Dilatasi pada saluran telur (Pedikulus) Aedes sp
Gambar 18 : Telur Aedes aegypti
Gambar 19 : Larva Aedes aegypti
Gambar 20 : Pupa
Gambar 21 : Aedes sp
Gambar 22 : Siklus Hidup nyamuk Aedes aegypti
Gambar 23 : Cara menghitung hasil Uji Torniquet
Gambar 24 : Bintik-bintik perdarahan di bawah kulit
Gambar 25 : Tanda Penyembuhan DBD
Gambar 26 : Contoh Mesin Hot Fogger
Gambar 27 : Contoh Mesin Ultra Low Volume (ULV)
xix
BAB I
KURIKULUM
PELATIHAN MANAJEMEN PENGENDALIAN
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit menular yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirosis group
A dan B yang bermasalah di Indonesia adalah Demam Berdarah Dengue (DBD),
Chikungunya dan Japanese Encephalitis (JE). Ketiga penyakit tersebut sama-sama
ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk tetapi mempunyai beberapa perbedaan antara
lain jenis/spesies nyamuk penularnya, pola penyebaran, gejala penyakit, tata laksana
pengobatan maupun upaya pencegahannya.
Penyakit DBD mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1968 di Surabaya dan
Jakarta, dan setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah seiring dengan semakin
meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit ini tidak hanya sering menimbulkan KLB
tetapi juga menimbulkan dampak buruk sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial
yang terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian
anggota keluarga, dan berkurangnya usia harapan penduduk.
Situasi ini perlu diatasi dengan segera agar indikator kinerja/target
pengendalian DBD yang tertuang dalam dokumen RPJMN yaitu IR DBD pada tahun
2014 adalah 51/100.000 penduduk, serta ABJ sebesar 95%.
Grafik 1 : Tren Angka Kesakitan (IR) & Angka Kematian (CFR) DBD
Tahun 1968-2014
80.00 45
70.00 40
IR (Cases PER 100.000 inhabitants)
35
60.00
30
50.00
25
CFR (%)
40.00
20
30.00
15
20.00
10
10.00 5
0.00 0
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
YEAR IR
CFR
B. Filosofi
Pelatihan manajemen pengendalian DBD menggunakan nilai-nilai dan
keyakinan yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas pada sistem
pelatihan sebagai berikut :
1
1. Pelatihan menerapkan prinsip pembelajaran orang dewasa dengan karakteristik :
a. Pembelajaran pada orang dewasa adalah belajar pada waktu, tempat dan
kecepatan yang sesuai untuk dirinya.
b. Setiap orang dewasa memiliki cara dan gaya belajar tersendiri dalam upaya
belajar secara efektif.
c. Kebutuhan orang untuk belajar adalah karena adanya tuntutan untuk
mengembangkan diri secara profesional.
d. Proses pembelajaran melalui pelatihan diarahkan kepada upaya perubahan
perilaku dalam diri manusia sebagai diri pribadi dan anggota masyarakat.
e. Proses pembelajaran orang dewasa melalui pelatihan perlu memperhatikan
penggunaan metode dan teknik yang dapat menciptakan suasana partisipatif.
2. Proses pelatihan memanfaatkan pengalaman peserta dalam melakukan
pengendalian DBD dan digunakan pada setiap tahap proses pembelajaran.
3. Proses pembelajaran lebih banyak memberi pengalaman melakukan sendiri
secara aktif pengendalian DBD atau menggunakan metode learning by doing.
B. Fungsi
Setelah selesai pelatihan peserta mampu :
1. Memahami epidemiologi DBD
2. Melakukan surveilans kasus DBD
3. Melakukan surveilans dan pengendalian vektor DBD
4. Memahami penatalaksanaan kasus DBD
5. Melakukan penyelidikan epidemiologi, penanggulangan fokus dan KLB DBD
6. Mengoperasikan alat dan bahan pengendalian vektor DBD
7. Melakukan perencanaan dan supervisi pengendalian DBD
8. Melakukan promosi kesehatan dalam program pengendalian DBD
III. KOMPETENSI
Peserta memiliki kompetensi dalam :
1. Memahami epidemiologi (melakukan kegiatan epidemiologi)
2. Melakukan surveilans kasus
3. Melakukan surveilans dan pengendalian vektor
4. Memahami penatalaksanaan kasus DBD
5. Melakukan penyelidikan epidemiologi, penanggulangan fokus dan KLB
6. Mengoperasikan alat dan bahan pengendalian vektor,
7. Melakukan perencanaan dan supervisi pengendalian DBD
8. Melakukan promosi kesehatan dalam program pengendalian DBD
2
IV. TUJUAN PELATIHAN
A. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta mampu mengelola program pengendalian
DBD.
B. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta dapat :
1. Menjelaskan epidemiologi
2. Melakukan surveilans kasus
3. Melakukan surveilans dan pengendalian vektor
4. Memahami penatalaksanaan kasus DBD
5. Melakukan penyelidikan epidemiologi, penanggulangan fokus dan KLB
6. Mengoperasikan alat dan bahan pengendalian vektor
7. Melakukan perencanaan dan supervisi pengendalian DBD
8. Melakukan promosi kesehatan dalam program pengendalian DBD
V. STRUKTUR PROGRAM
Tabel 1. Materi Pelatihan
No Materi T P PL JML
A Materi Dasar
Kebijakan pengendalian DBD 2 2
B Materi Inti
1. Epidemiologi DBD 2 2
2. Surveilans Kasus DBD 2 2 4
3. Surveilans dan pengendalian vektor DBD 2 3 5
4. Tatalaksana kasus DBD 1 2 3
5. Penyelidikan Epidemiologi, 1 2 3
Penanggulangan Fokus dan
Penanggulangan KLB DBD
6. Pengoperasian alat dan bahan 2 4 6
pengendalian Vektor DBD.
7. Perencanaan dan supervisi pengendalian 2 2 4
Pengendalian Penyakit DBD
8. Promosi Kesehatan dalam Pengendalian 2 2 4
DBD
C Materi Penunjang
1. Membangun komitmen belajar 2 2
2. Rencana tindak lanjut & Pembulatan 2 2
Total 16 17 4 37
Keterangan tabel :
T : Teori
P : Penugasan
PL : Praktek Lapangan
1JPL : 45 menit
3
VI. PESERTA, PELATIH DAN PENYELENGGARA
A. Peserta
1. Peserta latih adalah:
Pengelola program DBD di tingkat Pusat, UPT, Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Puskesmas.
B. Fasilitator / Narasumber
1. Fasilitator adalah :
a. Subdit Arbovirosis
b. Subdit Pengendalian Vektor
c. Pusat Promosi Kesehatan
d. Subdit Bina Upaya RS Khusus dan Rujukan
e. Dinkes Provinsi
f. Widya Iswara (WI)
g. Tim Pakar
C. Penyelenggara
Penyelenggara pelatihan ini dilakukan oleh :
1. Pusat (Ditjen PP dan PL)
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
3. UPT/UPTD terkait DBD
4
VII. ALUR PROSES DAN METODE PEMBELAJARAN
Pembukaan
Penutupan
B. Kelengkapan Pelatihan
Untuk menunjang proses pembelajaran perlu adanya kelengkapan berupa :
1. Referensi yang berasal dari fasilitator
2. Formulir-formulir yang dibutuhkan selama proses pembelajaran
5
3. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan : Mikroskop compound dan stereo, hot
fogger/ (mesin pengasap), ULV(Ultra Low Volume), PSN kit, spesimen jentik
dan nyamuk, insektisida, bahan bakar,
4. Alat bantu belajar : LCD, Notebook, Whiteboard, Flipchart, Compact Disk
B. Evaluasi
1. Evaluasi terhadap peserta dilakukan dengan pre-test dan post-test
2. Evaluasi terhadap fasilitator :
a. Untuk mengetahui kemampuan fasilitator/narasumber dalam menyampaikan
materi pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran.
b. Materi pembelajaran yang disampaikan dapat dipahami/diserap oleh peserta
3. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pelatihan
XI. SERTIFIKASI
Sertifikat akan diberikan kepada peserta yang telah mengikuti pelatihan dengan
memenuhi ketentuan yang berlaku :
1. Mengikuti pelatihan/kehadiran sekurang-kurangnya 90% dari alokasi waktu pelatihan.
2. Mendapatkan 1 (satu) angka kredit
6
BAB II
MATERI DASAR
KEBIJAKAN PENGENDALIAN DBD
(Waktu : T 2 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Dewasa ini, pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada masalah
dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan
perubahan lingkungan strategis, baik secara nasional maupun global. Penerapan
desentralisasi di bidang kesehatan dan pencapaian sasaran Millenium Development
Goals (MDGs) merupakan contoh masalah dan tantangan yang perlu menjadi perhatian
seluruh stakeholder bidang kesehatan, khususnya para pengelola program, dalam
menyusun kebijakan dan strategi agar pelaksanaannya menjadi lebih efisien dan efektif.
Program pencegahan dan pengendalian penyakit menular telah mengalami
peningkatan capaian walaupun penyakit infeksi menular masih tetap menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang menonjol terutama TB, Malaria, HIV-AIDS, DBD dan Diare.
Angka kesakitan DBD masih tinggi, yaitu sebesar 65,57 per 100.000 penduduk pada
tahun 2010, sedangkan angka kematian dapat ditekan di bawah 1 persen, yaitu 0,87
persen.
Target pengendalian DBD tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian
Kesehatan 2010-2014 dan KEPMENKES 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan
Minimal yang menguatkan pentingnya upaya pengendalian penyakit DBD di Indonesia
hingga ke tingkat Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa. Melalui pelaksanaan
program pengendalian penyakit DBD diharapkan dapat berkontribusi menurunkan angka
kesakitan, dan kematian akibat penyakit menular di Indonesia
7
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
A. Pokok Bahasan 1 : Situasi DBD dan Permasalahan Pengendalian DBD
Sub Pokok Bahasan :
1. Situasi DBD di Indonesia
2. Permasalahan pengendalian DBD
IV. METODE
Ceramah
Diskusi & tanya jawab
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Copy materi
Grafik 2 : Insiden Rate dan Case Fatality Rate (CFR) DBD di Indonesia
tahun 2005 - 2010
9
2. Permasalahan DBD
Peningkatan kasus dan KLB DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu:
a. Belum ada obat anti virus untuk mengatasi infeksi virus Dengue, maka
memutus rantai penularan, pengendalian vektor DBD dianggap yang
terpenting saat ini.
b. Kurangnya peran serta masyarakat dalam pengendalian DBD, terutama pada
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) meskipun pada umumnya
pengetahuan tentang DBD dan cara-cara pencegahannya sudah cukup tinggi.
c. Kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di setiap jenjang
administrasi
d. Kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan lintas sektor dalam
pengendalian DBD,
e. Sistem pelaporan dan penanggulangan DBD yang terlambat dan tidak sesuai
dengan standard operasional prosedur (SOP),
f. Banyak faktor yang berhubungan dengan peningkatan kejadian DBD dan KLB
yang sulit atau tidak dapat dikendalikan seperti, kepadatan penduduk/
pemukiman, urbanisasi yang tidak terkendali, lancarnya transportasi (darat ,
laut dan udara), serta keganasan (virulensi) virus Dengue.
g. Perubahan iklim (climate change) yang cenderung menambah jumlah habitat
vektor DBD menambah risiko penularan.
h. Infrastruktur penyediaan air bersih yang tidak memadai
i. Letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan
vektor dan pertumbuhan virus.
10
d. Efektif untuk mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah
ditetapkan dan bersifat efisien.
e. Bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), transparan dan
akuntabel.
Adapun sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan 2009-2014
antara lain adalah :
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani
dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan
berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif-
preventif.
c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan terutama untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional.
d. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan SDM kesehatan yang
merata dan bermutu.
e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan alat
kesehatan serta menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu
sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan.
f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan,
berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan
yang bertanggung jawab.
12
4) Desentralisasi
Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelolaan kegiatan
pengendalian DBD kepada pemerintah kabupaten/kota, melalui SPM
bidang kesehatan.
5) Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan
Meningkatkan mutu lingkungan hidup yang dapat mengurangi risiko
penularan DBD kepada manusia, sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan akibat infeksi Dengue/DBD.
c. Sasaran
Berdasarkan strategi yang telah dirumuskan, maka sasaran
pengendalian DBD adalah :
1) Individu, keluarga dan masyarakat di tujuh tatanan dalam PSN yaitu
tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat-tempat
umum, tempat penjual makanan, fasilitas olah raga dan fasilitas
kesehatan yang secara keseluruhan di daerah terjangkit DBD mampu
mengatasi masalah termasuk melindungi diri dari penularan DBD di dalam
wadah organisasi kemasyarakatan yang ada dan mengakar di
masyarakat.
2) Lintas program dan lintas sektor terkait termasuk swasta/dunia usaha,
LSM dan organisasi kemasyarakatan mempunyai komitmen dalam
penanggulangan penyakit DBD.
3) Penanggungjawab program Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan dan Desa/Kelurahan mampu membuat dan menetapkan
kebijakan operasional dan menyusun prioritas dalam pengendalian DBD.
4) SDM bidang kesehatan di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan dan Desa/Kelurahan
5) Kepala wilayah/pemerintah daerah, pimpinan sektor terkait termasuk
dunia usaha, LSM dan masyarakat.
13
c. Pengendalian vektor
Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan
jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara
pengasapan untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang
terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan
kegiatan 3M Plus :
1) Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang
bekas
2) Secara kimiawi dengan larvasidasi
3) Secara biologis dengan pemberian ikan
4) Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu,
memasang kawat kasa dll)
Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara :
1) Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan
dimonitor olah petugas Puskesmas.
2) Melaksanakan bulan bakti Gerakan 3M pada saat sebelum musim
penularan.
3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakan
oleh petugas Puskesmas.
4) Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada
pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut
hasil pemeriksaan Angka Bebas Jentik (ABJ).
d. Peningkatan peran serta masyarakat
Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan
organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan
pelatihan guru, tatanan institusi (kantor, tempat-tempat umum dan tempat
ibadah). Berbagai upaya secara politis telah dilaksanakan seperti instruksi
Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran Mendagri, Mendiknas, serta terakhir
pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu komitmen bersama pimpinan daerah
Gubernur dan Bupati/Walikota untuk pengenadalian DBD.
e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB
Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB
dan apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan
tepat. Upaya dilapangan yaitu dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan
epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus,
penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.
Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD,
baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis
dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan
anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu.
f. Penyuluhan
Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan leaflet
atau poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku dalam pemberantasan
14
sarang nyamuk sesuai dengan kondisi setempat. Metode ini antara lain
dengan COMBI, PLA dsb.
g. Kemitraan/jejaring kerja
Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor
kesehatan saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat
besar. Wadah kemitraan telah terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992
dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan nama Kelompok Kerja Operasional
(POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring
kemitraan dalam pengendalian DBD.
h. Capacity building
Peningkatan kapasitas dari Sumber Daya baik manusia maupun sarana dan
prasarana sangat mendukung tercapainya target dan indikator dalam
pengendalian DBD. Sehingga secara rutin perlu diadakan
sosialisasi/penyegaran/pelatihan kepada petugas dari tingkat kader,
Puskesmas sampai dengan pusat.
i. Penelitian dan survei
Penelitian dan upaya pengembangan kegiatan pengendalian tetap terus
dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit,
Litbang, LSM dll. Penelitian ini menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik
vektor, penanganan kasus, laboratorium, perilaku, obat herbal dan saat ini
sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD.
j. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat
kelurahan/desa sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan
pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome yang
dicapai pada setiap tahun.
Angka kesakitan 55 54 53 52 51
penderita DBD per
100.000 penduduk
15
IX. KEPUSTAKAAN
1. Rencana Strategis 2005-2009 Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue. 2005. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kemenkes RI.
2. Laporan Analisis Situasi DBD di Indonesia tahun 2008 dan Rencana Program
Pengendalian tahun 2009-2010. 2009. Direktorat PPBB, Kemenkes RI
3. Pedoman Pengawasan Program Bidang Kesehatan Pengendalian Demam Berdarah
Dengue (DBD). 2009. Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.
4. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.2010. Kemenkes RI.
5. Kumpulan Peraturan Perundangan-Undangan yang terkait dengan Program
Pengendalian DBD.
16
BAB III
MATERI INTI 1
EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE
(Waktu: T 2 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Diagnosis Infeksi Dengue meliputi Demam Dengue (DD), Demam Berdarah
Dengue (DBD), Sindrom Syok Dengue (SSD) dan Expanded Dengue Syndrome (EDS).
Penerapan epidemiologi diperlukan sebagai metode pendekatan dalam pelaksanaan
kegiatan pengendalian penyakit Dengue.
Materi Epidemiologi penyakit Dengue membahas tentang pengertian
epidemiologi, gambaran epidemiologi (identifikasi penyakit Dengue, penyebab penyakit,
distribusi penyakit, reservoir virus dengue, cara penularan, masa inkubasi, masa
penularan, kekebalan dan kerentanan) dan ukuran epidemiologi sederhana yang
berhubungan dengan penyakit dengue.
IV. METODE
Ceramah,
Tanya jawab.
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Handout (copy materi)
17
VI. ALAT BANTU
LCD
Laptop atau desktop
Flipchart
Whiteboard
Spidol
B. Langkah 2
1. Menjelaskan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran
2. Diberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan atau
mengklarifikasi tujuan tersebut.
C. Langkah 3
1. Pengajar memberikan paparan tentang epidemiologi DBD.
2. Tanya jawab materi
b. Sejarah
KLB Dengue pertama kali terjadi tahun 1653 di Frech West Indies
(Kepulauan Karibia), meskipun penyakitnya sendiri sudah telah dilaporkan di
Cina pada permulaan tahun 992 SM. Di Australia serangan penyakit DBD
pertama kali dilaporkan pada tahun 1897, serta di Italia dan Taiwan pada tahun
1931. KLB di Filipina terjadi pada tahun 1953-1954, sejak saat itu serangan
18
penyakit DBD disertai tingkat kematian yang tinggi melanda beberapa negara
di wilayah Asia Tenggara termasuk India, Indonesia, Kepulauan Maladewa,
Myanmar, Srilangka, Thailand, Singapura, Kamboja, Malaysia, New Caledonia,
Filipina, Tahiti dan Vietnam.
Selama dua puluh tahun kemudian, terjadi peningkatan kasus dan
wilayah penyebaran DBD yang luar biasa hebatnya, dan saat ini KLB muncul
setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara.
2. Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit Dengue adalah Arthrophod borne virus, famili
Flaviviridae, genus flavivirus. Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single
standard RNA. Virion-nya terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris
dan terbungkus dalam amplop lipoprotein.Genome (rangkaian kromosom) virus
Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 dan terbentuk dari tiga gen protein
struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C), membrane-associated protein
(M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein non struktural (NS).
Terdapat empat serotipe virus yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4. Ke empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia.
Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan
dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya
disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue -4.
Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan
menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang
bersangkutan. Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya
antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang
meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari mereka.
3. Distribusi Penyakit
a. Situasi Global
Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa negara tropis. Di
Asia, virus Dengue endemis di China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja,
19
Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan
Singapura. Negara dengan endemisitas rendah di Papua New Guinea,
Bangladesh, Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara Pasifik. Virus Dengue
sejak tahun 1981 ditemukan di Quesland, Australia Utara. Serotipe Dengue 1,2,3,
dan 4 endemis di Afrika. Di pantai Timur Afrika terdapat mulai dari Mozambik
sampai ke Etiopia dan di kepulauan lepas pantai seperti Seychelles dan Komoro.
Saudi Arabia pernah melaporkan kasus yang diduga DBD.
Di Amerika, ke-4 serotipe virus dengue menyebar di Karibia, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan hingga Texas (1977-1997). Tahun 1990 terjadi KLB
di Meksiko, Karibia, Amerika Tengah, Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru,
Venezuela, Guyana, Suriname, Brazil, Paraguai dan Argentina.
b. Situasi di Indonesia
Penyakit Dengue pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan
Surabaya. Pada tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar di 33 provinsi, 440
Kab./Kota. Sejak ditemukan pertama kali kasus DBD meningkat terus bahkan
sejak tahun 2004 kasus meningkat sangat tajam.
Kenaikan kasus DBD berbanding terbalik dengan angka kematian (CFR)
akibat DBD, dimana pada awal ditemukan di Surabaya dan Jakarta CFR sekitar
40% kemudian terus menurun dan pada tahun 2010 telah mencapai 0,87%.
Kasus DBD terbanyak dilaporkan di daerah-daerah dengan tingkat
kepadatan yang tinggi, seperti provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Bali dan
Sumatera. Insidens Rate (IR) tahun 2010 telah mencapai 65,62/100.000
penduduk dengan Case Fatality rate 0,87 %.
20
Grafik 5 : IR DBD per Provinsi di Indonesia Tahun 2010
Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal penyakit
tampak dan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Saat-saat tersebut
penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam
siklus penularan, jika penderita tidak terlindung terhadap kemungkinan digigit
nyamuk. Hal tersebut merupakan bukti pola penularan virus secara vertikal dari
nyamuk-nyamuk betina yang terinfeksi ke generasi berikutnya.
c. Masa inkubasi
Nyamuk dengan kelenjar ludah yang terinfeksi menularkan dengan
menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh
orang lain. Infeksi Dengue ditubuh manusia mempunyai masa inkubasi selama 2
sampai 14 hari (biasanya rata-rata selama 4 sampai 7 hari.
d. Host
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari primata
rendah. Tubuh manusia adalah reservoir utama bagi virus tersebut, meskipun
studi yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa monyet dapat
terinfeksi oleh virus dengue sehingga dapat berfungsi sebagai host reservoir.
Grafik 6 : Pola Index Curah Hujan (ICH) dan IR DBD di Provinsi NTT tahun 2005 - 2009
Grafik 7 : Pola Index Curah Hujan (ICH) dan IR DBD di Provinsi Kalimantan Timur
Tahun 2005 - 2009
23
Grafik 8 : Pola Index Curah Hujan (ICH) dan IR DBD di Provinsi DKI Jakarta
2005 2009
6. Ukuran Epidemiologi
Ukuran (parameter) frekuensi penyakit yang paling sederhana adalah ukuran
yang sekedar menghitung jumlah individu yang sakit pada suatu populasi, ukuran
frekuensi tersebut bermanfaat bagi petugas kesehatan di daerah dalam
mengalokasikan dana atau kegiatan.
Ukuran-ukuran epidemiologi yang sering digunakan dalam kegiatan
pengendalian DBD adalah Insidence Rate (IR), Case Fatality Rate (CFR), Attack
Rate (AR).
a. Angka Kesakitan/Insidence Rate (IR)
IR adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan kejadian (baru) penyakit
populasi. IR merupakan proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit
dan jumlah orang dalam risiko x konstanta.
1. WHO. 1997, Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemoragic Fever,
WHO.
2. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI. 2005,
Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah di Indonesia, Departemen
Kesehatan RI.
3. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI. 2006.
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan RI.
4. WHO.2009. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
WHO.
5. WHO. 2010. Comprehensive Guidelines for Perevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. WHO.
6. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011, Modul
Pelatihan Demam Berdarah Dengue, Kementerian Kesehatan RI.
25
26
MATERI INTI 2
SURVEILANS KASUS DBD
(Waktu: T2 JPL, P 2 JPL)
I. Deskripsi Singkat
Surveilans kasus DBD meliputi proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data kasus serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara
program, instansi dan pihak terkait secara sistematis dan terus menerus. Materi ini
menjelaskan tentang surveilans kasus DBD dari tingkat Puskesmas sampai dengan
tingkat Provinsi.
27
IV. METODE
Ceramah
Tanya Jawab.
Penugasan di kelas
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Copy materi
Lembar kasus dan kunci jawaban
B. Langkah 2
Pelatih menjelaskan tujuan pembelajaran.
C. Langkah 3
1. Fasilitator memberikan materi modul dan memfasilitasi diskusi interaktif (selama
2 JPL).
2. Fasilitator membagi peserta menjadi 5 kelompok untuk praktek di kelas (setiap
kelompok terdiri dari lebih kurang 6 peserta).
3. Kelompok membahas study kasus yang diberikan fasilitator
2. Pengertian
a. Menurut WHO, Surveillans adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis, dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke
penyelenggara program, instansi pihak terkait secara sistematis dan terus
menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan
untuk dapat mengambil tindakan
b. Berdasarkan KEPMENKES nomor 1116 tahun 2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan,
Surveillans adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efisien dan efektif melalui proses pengumpulan
data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
c. Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data, serta
penyebarluasan informasi ke penyelenggara program, instansi dan pihak
terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi DBD dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan pengendalian secara
efisien dan efektif.
3. Definisi Operasional
1) Kasus suspek infeksi dengue adalah penderita demam tinggi mendadak
tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari disertai manifestasi
perdarahan sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif.
2) Kasus infeksi dengue adalah penderita DD, DBD, SSD atau EDS
a. Demam Dengue (DD) ialah demam disertai 2 atau lebih gejala
penyerta seperti sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri
sendi (athralgia), ruam (rash). Adanya manifestasi perdarahan,
leucopenia ( lekosit 5000 /mm ), jumlah trombosit 150.000/mm
dan peningkatan hematokrit 5 10 %.
b. Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah demam 2 7 hari disertai
manifestasi perdarahan, jumlah trombosit 100.000 /mm, adanya
tanda tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 % dari
nilai baseline, dan atau efusi pleura, dan atau ascites, dan atau
hypoproteinemia/ albuminemia)
29
c. Sindrom Syok Dengue (SSD) ialah kasus DBD yang masuk dalam
derajat III dan IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai
dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan
nadi ( 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan
lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi syok/ renjatan
berat (tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).
d. Expanded Dengue Syndrome (EDS) adalah demam dengue yang
disertai manifestasi klinis yang tidak biasa (unusual manifestation)
yang ditandai dengan kegagalan organ berat seperti hati, ginjal, otak
dan jantung.
3) Kasus adalah penderita DD, DBD, SSD atau EDS.
4) Kewaspadaan dini DBD ialah suatu kewaspadaan terhadap peningkatan
kasus dan atau faktor resiko DBD, seperti: adanya peningkatan populasi
nyamuk, penurunan ABJ <95%, adanya perubahan cuaca, dan
peningkatan tempat-tempat perindukan.
30
Data tersebut diatas dapat diperoleh dari :
a. Laporan rutin DBD, mingguan, bulanan ( puskesmas, kabupaten/kota, dan
provinsi )
b. Laporan KLB/wabah /W1 (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi)
c. Laporan laboratorium dari Fasyankes (puskesmas, RS, Labkes, dll)
d. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan (puskesmas, dinkes
kabupaten/kota)
e. Laporan penyelidikan KLB/wabah (puskesmas, dinkes kabupaten/kota)
f. Survei khusus (pusat, provinsi, dinkes kabupaten/kota)
g. Laporan data demografi (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi)
h. Laporan data vektor (puskesmas, dinkes kabupaten/kota, dinkes provinsi)
i. Laporan dari Badan Meteorologi & Geofisika provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan tentang curah hujan dan hari hujan
31
3) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
a) Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dan metode
surveilans kasus DBD
b) Melakukan penelitian/ kajian lebih lanjut terhadap temuan dan atau
rekomendasi surveilans kasus DBD
b. Tingkat Provinsi
1) Unit Pelaksana Teknis Tingkat Provinsi
a) Melaksanakan surveilans kasus DBD di wilayah provinsi termasuk
SKD-KLB
b) Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan provinsi
c) Membuat pedoman teknis operasional surveilans kasus DBD sesuai
dengan pedoman yang berlaku.
d) Menyelenggarakan pelatihan surveilans kasus DBD
e) Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten/kota
f) Monitoring dan evaluasi
g) Mengembangkan dan melaksanakan surveilans kasus DBD dan
masalah penyakit DBD lokal spesifik.
h) Melakukan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data
serta diseminasi informasi secara terus menerus dan
berkesinambungan.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
1) Unit Teknis Kabupaten/Kota
a) Pelaksana Surveilans kasus DBD di wilayah kabupaten/kota
b) Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus DBD termasuk SKD
KLB
c) Melakukan penyelidikan dan Penanggulangan KLB DBD di Wilayah
Kabupaten/ kota yang bersangkutan.
d) Supervisi dan asistensi teknis ke puskesmas dan rumah sakit dan
komponen surveilans DBD diwilayahkan.
e) Melaksanakan pelatihan surveilans kasus DBD.
f) Monitoring dan evaluasi kasus DBD
g) Melaksanakan surveilans epidemiologi kasus DBD secara spesifik
lokal.
h) Menjadi unit pengendali bila terjadi KLB di wilayah kabupaten/kota.
32
2) Rumah Sakit Kabupaten/Kota.
a) Melaksanakan surveilans kasus DBD.
b) Identifikasi dan rujukan kasus DBD sebagai sumber data surveilans
kasus DBD kabupaten/kota , provinsi dan pusat.
c) Melakukan kajian epidemiologi kasus DBD dan masalah DBD lainnya
di rumah sakit.
d. Tingkat Kecamatan
1) Puskesmas
a) Pelaksana surveilans kasus DBD di wilayah puskesmas.
b) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan penyakit dan masalah
kasus DBD.
c) Melakukan koordinasi surveilans kasus DBD dengan praktek dokter,
bidan, swasta dan unit pelayanan kesehatan yang berada diwilayah
kerjanya .
d) Melakukan koordinasi surveilans kasus DBD antar puskesmas yang
berbatasan .
e) Melakukan SKD-KLB dan penyelidikan KLB DBD di wilayah
puskesmas
f) Melaksanakan surveilans epidemiologi kasus DBD dan masalah
kesehatan spesifik lokal.
33
b. Pelaksanaan Surveilans DBD
1) Pengumpulan data
Pengumpulan data kasus dilaksanakan secara berjenjang mulai dari
Pukesmas dan jejaringnya (community based), sampai Rumah Sakit
(hospital based), laboratorium kabupaten/kota dan propvinsi dengan
menggunakan form pelaporan demam berdarah yang dikoordinasi oleh
dinas kesehatan kab/kota di tingkat kab/kota atau di dinas kesehatan
provinsi di tingkat provinsi, Kemkes RI untuk masing-masing tingkatan
dijelaskan melalui pokok bahasan selanjutnya
2) Pengolahan dan penyimpanan data
Dilaksanakan disetiap tingkat unit pelaksanakan surveilans
3) Analisis data
Analisis deskriptif dan analitik dilakukan disetiap unit pelaksana
surveilans sesuai dengan kemampuan masing-masing
4) Penyebarluasan informasi
Dilaksakanakan disetiap unit pelaksana surveilans kepada pihak yang
membutuhkan data tersebut
34
c. Sistim Pelaporan Kasus DBD
1. Alur Pelaporan DBD
Ditjen
PP & PL
-W2-DBD
-K-DBD
Umpan balik
-W1
Dinas Kesehatan
Provinsi
-DP-DBD
Umpan balik -W2-DBD
-K-DBD
-W1
Puskesmas
KD/RS-DBD ( tembusan)
35
2. Mekanisme pelaporan
a. Pelaporan dari Puskesmas
1) Setiap puskesmas melaporkan kasus suspek infeksi Dengue ke dinas
kesehatan kabupaten/kota. Puskesmas juga wajib melaporkan kasus
infeksi dengue (DD, DBD, SSD, EDS) yang dapat didiagnosis di
puskesmas dalam waktu 24 jam.
2) Puskesmas dapat merujuk kasus infeksi dengue yang tidak dapat
ditangani di puskesmas.
3) Laporan di bawah ini juga digunakan di puskesmas :
- Formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (Lampiran 3)
- Rekapan W2 sebagai rekapan mingguan (Lampiran 4)
- Formulir W1 bila terjadi KLB (Lampiran 5)
- Laporan Sistim Terpadu Penyakit (STP)
b. Pelaporan dari RS :
1) Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan kasus infeksi dengue
(DD, DBD, SSD) wajib segera melaporkan ke dinas kesehatan
kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya dalam 24 jam dengan
tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita (KD-RS).
Laporan tersebut merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan
penanggulangannya.
2) Pelaporan kasus mingguan dan bulanan merupakan laporan rekapitulasi
kasus (suspek infeksi dengue DD, DBD dan SSD) yang dilaporkan setiap
minggunya atau bulannya dari puskesmas dan rumah sakit dengan
menggunakan form W2.
36
b. Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota:
1) Pelaporan kasus DBD harian
2) Menggunakan formulir W1
3) Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB
4) Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan
c. Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke dinas kesehatan provinsi:
1) Pelaporan kasus DBD harian
2) Menggunakan formulir W1
3) Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB
4) Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan
d. Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP dan PL:
1) Pelaporan kasus DBD harian
2) Menggunakan formulir W1
3) Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan
Tabel 3. Jumlah penderita DD, DBD, SSD dan EDS menurut desa/kelurahan per
minggu di puskesmas X, tahun .........
Jumlah
* Mengikuti kalender epidemiologi
P=Penderita, M=Meninggal
DD=Demam Dengue, DBD=Demam Berdarah Dengue, SSD=Sindrom Syok Dengue
(DBD stadium III/ IV), EDS=Expandd Dengue Syndrome
c) Bila terjadi KLB DBD maka lakukan tindakan sesuai dengan pedoman pe-
nanggulangan KLB DBD dan laporkan segera ke dinas kesehatan
kabupaten/ kota menggunakan formulir W1 (Lampiran 5).
38
2) Penyampaian laporan DD, DBD, SSD dan EDS selambat-lambatnya dalam 24
jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan formulir KD-PKM (Lampiran
6).
3) Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan
formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan (Lampiran 7).
4) Rekapan mingguan (W2-DBD) (Lampiran 4)
a) Jumlahkan penderita DBD dan SSD setiap minggu menurut
desa/kelurahan
b) Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota dengan formulir W2-DBD
5) Laporan bulanan
a) Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD, SSD termasuk data beberapa
kegiatan pokok pemberantasan/penanggulangannya setiap bulan
b) Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota dengan formulir K-DBD
(Lampiran 3)
39
c) Beradasarkan contoh tabel di atas sajikan stratifikasi desa/kelurahan
tersebut seperti pada gambar peta di bawah ini:
MEGAH
SUKASARI
Puskesmas : .
Tahun : ....
40
Tabel 6. Jumlah penderita DBD per bulan di Puskesmas X, tahun 2006-2010
Rata-rata
Tahun
jumlah
2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah
penderita
Bulan
per tahun
1. Januari 8 10 9 8 5 40 8
2. Februari 9 10 14 6 7 46 9
3. Maret 4 6 7 5 4 26 5
4. April 10 9 5 7 4 35 7
5. Mei 6 8 4 8 5 31 6
6. Juni 4 8 3 4 2 21 4
7. Juli 3 6 2 3 2 16 3
8. Agustus 1 5 1 1 2 10 2
9. September 1 2 0 0 1 4 1
10. Oktober 1 4 3 3 2 15 3
11. November 4 5 2 4 5 20 4
12. Desember 2 7 4 8 3 24 5
Total 55 80 54 57 55 288 57
Jumlah
10
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
41
b) Buat grafik garis dengan sumbu mendatar adalah tahun dan sumbu tegak
adalah jumlah penderita DBD
c) Buat garis trend melalui grafik garis sedemikian sehingga siklus yang
terdapat di atas dan di bawah garis trend tersebut lebih kurang sama.
42
Tabel 7. Jumlah penderita DD, DBD, SSD dan EDS
menurut kecamatan per minggu di
Kabupaten/Kota X, tahun .........
Jumlah
43
b) Tentukan stratifikasi masing-masing kecamatan
Contoh penentuan strata dapat dilihat pada Tabel 4
c) Berdasarkan tabel di atas sajikan stratifikasi kecamatan tersebut seperti
pada contoh (Gambar 6).
6) Mengetahui distribusi penderita DBD per kecamatan atau wilayah kerja
puskesmas
Distribusi penderita DBD per desa/kelurahan dibuat setiap tahun. Cara
membuat distribusi, yaitu dengan menjumlahkan penderita DBD dan SSD
menurut desa/kelurahan seperti contoh dibawah ini
Tabel 8. Distribusi penderita DBD per Kecamatan atau wilayah kerja puskesmas
Kab/kota : .
Tahun : .
Kecamatan/
Jumlah penderita Jumlah meninggal
Wilayah kerja Jumlah penduduk
(IR) (CFR)
puskesmas
44
9) Mengetahui jumlah penderita DD, DBD, SSD dan EDS per tahun
Jumlah
10) Mengetahui distribusi penderita dan kematian DBD menurut tahun, kelompok
umur dan jenis kelamin. Jumlahkan penderita DD, DBD, SSD dan EDS,
sajikan seperti pada contoh tabel di bawah ini:
Tabel 10. Jumlah penderita dan kematian DBD menurut tahun dan kelompok umur di
kabupaten/kota X, tahun ..
Jumlah
P= Penderita, M=Meninggal
45
c. Indikator Kinerja Kabupaten/Kota:
Kinerja kabupaten/kota dinilai baik jika memenuhi indikator berikut ini :
1. Persentasi kelengkapan pengiriman laporan puskesmas ( K-DBD, DP-DBD,
W2 DBD) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 80 %.
2. Persentasi ketepatan laporan puskesmas ( K-DBD, DP-DBD, W2 DBD) ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 80 %.
3. Persentasi laporan KD-RS yang diterima tidak lebih dari 24 jam sejak
diagnosis pertama ditegakkan adalah 100%.
4. Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per kecamatan (tabel, grafik,
mapping).
5. Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di kabupaten/kota
berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
6. Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di kabupaten/kota berdasarkan
analisis data yang tersedia.
7. Tersedianya data demografi dan geografi kabupaten/kota (dari BPS dan
BMG).
Jumlah
46
*) Mengikuti kalender epidemiologi; P = Penderita, M = Meninggal
DD = Demam Dengue, DBD = Demam Berdarah Dengue, SSD = Sindrom
Syok Dengue (DBD stadium III/ IV)
Jumlah Jumlah
No. Kabupaten/Kota Kecamatan
penderita meninggal
47
f) Penentuan musim penularan
(1) Jumlahkan penderita DD, DBD, SSD dan EDS per bulan menurut
kabupaten/kota
(2) Kumpulkan data penderita DD, DBD, SSD dan EDS per bulan selama
5 tahun terakhir dan buatlah tabel seperti contoh pada Tabel 6
(3) Buat grafik seperti contoh pada Grafik 9
g) Mengetahui kecenderungan situasi DBD
Mengetahui kecenderungan situasi penyakit dimaksud untuk mengetahui
apakah situasi penyakit DBD di wilayah provinsi, naik atau turun.
Caranya yaitu dengan membuat garis trend sebagai berikut:
(1) Buat tabel jumlah penderita DBD dan SSD per tahun sejak kasus
ditemukan
(2) Buat grafik garis dengan sumbu mendatar adalah tahun dan sumbu
tegak adalah jumlah penderita DBD
(3) Buat garis trend melalui grafik garis sedemikian sehingga siklus yang
terdapat di atas dan di bawah garis trend tersebut lebih kurang sama.
h) Mengetahui jumlah penderita DD, DBD, SSD dan EDS per tahun
Tabel 13. Jumlah penderita DD, DBD, SSD dan EDS di Provinsi X
Tahun .......
Januari
Februari
Maret
Dst..
Jumlah
` Jumlahkan penderita DBD dan SSD, sajikan seperti pada contoh tabel di
bawah ini:
48
Tabel 14. Jumlah penderita dan kematian DBD menurut tahun dan kelompok umur dan
jenis kelamin di Provinsi X, tahun ..
Jumlah
49
50
MATERI INTI 3
SURVEILANS DAN PENGENDALIAN VEKTOR DBD
(Waktu: T 2 JPL, P 3 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Surveilans Vektor DBD meliputi proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data vektor serta penyebarluasan informasi kepada pihak lintas
program dan instansi terkait secara sistematis dan terus-menerus. Dasar untuk
melakukan surveilans vektor terlebih dahulu harus memahami tentang pengertian dan
tujuan surveilans vektor DBD, metode surveilans vektor DBD (penentuan lokasi
surveilans, waktu pengamatan, cara pengamatan/ pengukuran vektor DBD dan
peralatan surveilans), Morfologi, Identifikasi dan Bio-ekologi vektor DBD (perilaku,
distribusi dan hubungannya dengan iklim, sosial budaya dan bersifat lokal spesifik, yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit DBD.
Pengendalian DBD akan optimal dengan pemutusan rantai penularan yaitu
dengan pengendalian vektornya, karena vaksin dan obat masih dalam proses
penelitian. Vektor DBD sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan iklim global, kemajuan teknologi transportasi,
mobilitas penduduk, urbanisasi, dan infrastruktur penyediaan air bersih yang kondusif
untuk perkembangbiakan vektor DBD, serta perilaku masyarakat yang belum
mendukung upaya pengendalian.
DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, oleh karena itu
pengendalian vektornya tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa melibatkan peran
serta masyarakat termasuk lintas sektor, lintas program, LSM, tokoh masyarakat dan
penyandang dana. Pengendalian vektor DBD harus berdasarkan pada data dan
informasi tentang bioekologi vektor, situasi daerah termasuk sosial budayanya.
Beberapa metode pengendalian vektor antara lain dengan: a) Kimiawi dengan
insektisida dan larvasida, b) Biologi dengan menggunakan musuh alami seperti
predator, bakteri dll, c) Managemen lingkungan seperti mengelola atau meniadakan
habitat perkembangbiakan nyamuk yang terkenal dengan 3 M plus atau gerakan PSN
(pengendalian sarang nyamuk), d) penerapan peraturan perundangan, e) meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengendalian vektor.
Pengendalian vektor terpadu atau dikenal sebagai Integrated Vector Management
(IVM) adalah pengendalian vektor yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi
beberapa metode pengendalian vektor, berdasarkan pertimbangan keamanan,
rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya serta kesinambungannya.
Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) adalah (a) dapat meningkatkan
efektifitas serta efisiensi berbagai metode/cara pengendalian, (b) dapat meningkatkan
program pengendalian terhadap lebih dari satu penyakit tular vektor, (c) melalui
kerjasama lintas sektor hasil yang dicapai lebih optimal dan saling menguntungkan.
Pedoman PVT diharapkan menjadi kerangka kerja dan pedoman bagi penentu
kebijakan serta pengelola program pengendalian penyakit tular vektor di Indonesia.
51
Pedoman ini disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan PVT bagi para pengambil
keputusan tingkat Pusat ,Propinsi, Kabupaten/kota dan sektor terkait.
Surveilans vektor diperlukan dalam pengambilan keputusan/kebijakan dan
menentukan tindak lanjut dari data yang diperoleh dalam rangka menentukan tindakan
pengendalian vektor secara efisien dan efektif.
IV. METODE
Penyajian/presentasi
Tanya jawab
Penugasan : identifikasi larva/jentik Aedes sp. dan nyamuk dewasa
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Bahan belajar (buku-buku terkait dengan materi ini)
Spesimen nyamuk (dewasa dan larva)
Lembar kerja/penugasan : formulir, check list
B. Langkah 2
1. Fasilitator menjelaskan tujuan pembelajaran
2. Fasilitator menjelaskan hasil yang ingin dicapai dari pembelajaran.
C. Langkah 3
1. Fasilitator memberikan paparan tentang sub-pokok bahasan
2. Fasilitator memandu diskusi/tanya jawab.
3. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok untuk melaksanakan
penugasan (setiap kelompok 6 peserta).
53
D. Langkah 4
1. Kelompok mempersiapkan alat dan bahan tugas.
2. Kelompok melaksanakan tugas yang diberikan fasilitator.
3. Fasilitator menilai hasil penugasan.
E. Langkah 5
1. Pembulatan
Dalam metode Surveilans Vektor DBD yang ingin kita peroleh antara lain
adalah data-data kepadatan vektor. Untuk memperoleh data-data tersebut tentulah
diperlukan kegiatan survei, ada beberapa metode survei yang kita ketahui, meliputi
metode survei terhadap nyamuk, jentik dan survei perangkap telur (ovitrap). Sebelum
melakukan survei vektor DBD diperlukan penentuan lokasi surveilans/ pengamatan,
waktu pengamatan, cara pengamatan/ pengukuran vektor DBD, persiapan peralatan
dan bahan surveilans vektor DBD, pengumpulan, pencatatan dan analisa data hasil
surveilans/pengamatan.
54
2. Pelaksanaan Pengamatan
Pengamatan kepadatan populasi vektor DBD dilakukan mulai dari tingkat
Puskesmas sampai Pusat, sebagai berikut :
a. Kader / PKK / Jumantik
Melakukan pemeriksaan jentik minimal 1 minggu sekali disetiap rumah pada
wilayah kerja jumantik. Sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
pelaksaanaan PSN.
b. Petugas puskesmas
1) Monitoring secara berkala minimal 3 bulan sekali pada wilayah kerja
Puskesmas (PJB) dan dilakukan evaluasi pelaksaanaan PSN.
2) Pemeriksaan jentik berkala (PJB) juga dilakukan oleh masing-masing
puskesmas terutama di desa/kelurahan endemis (cross check) pada
tempat-tempat perkembang-biakan nyamuk Aedes aegypti di 100 sampel
rumah/bangunan yang dipilih secara acak serta diulang untuk setiap
siklus pemeriksaan.
3) Contoh cara memilih sampel 100 rumah/bangunan sebagai berikut:
a) Dibuat daftar RW dan RT untuk tiap desa/kelurahan
b) Setiap RT diberi nomor urut
c) Dipilih sebanyak 10 RT sampel secara acak (misalnya dengan cara
systematic random sampling) dari seluruh RT yang ada di wilayah
desa/kelurahan
d) Dibuat daftar nama kepala keluarga (KK) atau nama TTU dari masing-
masing RT sampel atau yang telah terpilih.
e) Tiap KK/rumah/TTU diberi nomor urut, kemudian dipilih 10
KK/rumah/TTU yang ada di tiap RT sampel secara acak (misalnya
dengan cara systematic random sampling).
c. Pengelola Program DBD di Dinkes Kab/Kota
Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh kader jumantik dan
Puskesmas secara berkala minimal 6 bulan sekali
d. Pengelola Program DBD di Dinkes Propinsi
Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh Dinkes Kab/Kota
secara berkala minimal 6 bulan sekali
3. Teknis Pengamatan
Beberapa teknis pengamatan terhadap telur, jentik, dan nyamuk melalui
beberapa metode survei sebagai berikut :
a. Survei telur
Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap)
yang dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya.
Ovitrap berbentuk tabung yang dapat dibuat dari potongan bambu, kaleng
dan gelas platik/kaca. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah atau
tempat yang gelap dan lembab. Cara kerja ovitrap adalah padel (berupa
potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna gelap)
yang dimasukkan kedalam tabung tersebut berfungsi sebagai tempat
55
meletakkan telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada atau
tidaknya telur nyamuk di padel, kemudian dihitung ovitrap index.
Jumlah telur
= telur per ovitrap
Jumlah ovitrap yang digunakan
56
b. Survei jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi
habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di dalam dan di luar rumah
untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
2) Jika pada penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira -1
menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada jentik.
3) Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air keruh.
c. Survei nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara menangkap nyamuk menggunakan
umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per
rumah serta penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah.
Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
57
Gambar 8. Contoh aspirator.
1) Landing rate :
Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap
umpan orang
Bila hasil survei entomologi suatu wilayah, parity ratenya rendah berarti
populasi nyamuk-nyamuk di wilayah tersebut sebagian besar masih muda.
Sedangkan bila parity ratenya tinggi menunjukkan bahwa keadaan dari populasi
nyamuk di wilayah itu sebagian besar sudah tua.
Untuk menghitung rata-rata umur suatu populasi nyamuk secara lebih tepat
dilakukan pembedahan ovarium dari nyamuk-nyamuk parous, untuk menghitung
jumlah dilatasi pada saluran telur (pedikulus).
Umur populasi nyamuk = rata-rata jumlah dilatasi x satu siklus gonotropik
Contoh:
Bila jumlah dilatasi nyamuk rata-rata 3 dan siklus gonotropiknya 4 hari, maka
umur rata-rata nyamuk tersebut adalah: 3x4=12 hari. Semakin tua rata-rata umur
nyamuk semakin besar potensi terjadinya penularan di suatu wilayah.
59
Gambar 10. Dilatasi pada saluran telur (pedikulus) Aedes sp.
60
- Susceptibility test kit untuk mengukur tingkat kerentanan nyamuk
terhadap insektisida
- Bio Assay test kit, untuk mengukur tingkat efikasi insektisida
b. Bahan survei
1) Bahan survei umum
- Objek glass (slide glass), untuk pemeriksaan jentik dan pembedahan
ovarium
- Kaca penutup (cover glass), untuk menutup persediaan
- Kertas label, untuk pemberian etiket
- Formulir-formulir entomologi DBD, untuk pencatatan hasil survei
- Alat-alat tulis untuk menulis hasil survei
- Kertas tissu untuk membersihkan kaca benda
2) Bahan survei telur
- Kantong plastik, untuk tempat padel
- Kantong plastik besar, untuk membawa padel
3) Bahan survei nyamuk
- Paper cup, untuk wadah nyamuk
- Kain kasa, untuk menutup paper cup
- Karet gelang, untuk mengikat kain kasa di paper cup
- Kapas untuk menutup lobang di kain kasa dan pemaakaian kloroform
- Kloroform, untuk mematikan nyamuk
- Jarum serangga no. 3, untuk pinning nyamuk
- Jarum seksi untuk membedah abdomen nyamuk.
61
c. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Laporan PJB yang dilakukan oleh Puskesmas kemudian dilakukan
rekapitulasi oleh Pengelola Program DBD di Dinkes Kab/Kota menggunakan
FORMULIR PJB-2 dan dilaporkan kepada Dinkes Provinsi
1. Morfologi
Morfologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut:
a. Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran 0,80 mm, berbentuk oval yang
mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel
pada dinding tempat penampung air. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan
di tempat kering.
62
b. Jentik (larva)
Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan larva
tersebut, yaitu:
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2) Instar II : 2,5-3,8 mm
3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih
ramping dibanding larva (jentik)nya. Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil
jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-
rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih
pada bagian badan dan kaki.
63
Gambar 14. Aedes sp.
2. Identifikasi
a. Peralatan dan bahan terdiri dari :
Stereo mikroskop, loupe, spesimen dan kunci identifikasi.
b. Cara Identifikasi :
Menggunakan kunci identifikasi nyamuk (kunci identifikasi bergambar dan
buku kunci dengan bentuk dikotomi).
Mencocokkan ciri-ciri morfologi spesimen nyamuk dibawah mikroskop.
3. Bioekologi
a. Siklus Hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami
metamorfosis sempurna, yaitu: telur jentik (larva) pupa - nyamuk. Stadium
telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas
menjadi jentik/larva dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium
jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (Pupa)
berlangsung antara 24 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa
selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.
64
Gambar 15. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
b. Habitat Perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat
menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat
umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti:
drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti:
tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol
pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barang-
barang bekas (contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu,
pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu
dan tempurung coklat/karet, dll.
65
darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk
pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah
sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu
tersebut disebut dengan siklus gonotropik (Gambar 16).
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes aegypti biasanya mulai pagi dan
petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 -
17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali
dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah.
Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang
gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat
perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses
pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk
betina akan meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur
menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu 2 hari.
Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak 100
butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan 6 bulan, jika
tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi
maka telur dapat menetas lebih cepat.
Gambar 16.
d. Penyebaran
Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40 meter, namun
secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah
lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di
Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat umum.
Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian
daerah 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas 1.000 m dpl, suhu udara
terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.
66
e. Variasi Musiman
Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena telur-telur
yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat
perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai
terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Dengue.
1. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida
merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat
dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium
dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka
penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan
organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis
insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk
dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang
berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga
sasaran.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah :
Sasaran dewasa (nyamuk) adalah : Organophospat (Malathion, methyl
pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine,
Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang
diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan
dingin/ULV
Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).
67
2. Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti
predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa
vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang,
tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites,
Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode
yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.
Jenis pengendalian vektor biologi :
Parasit : Romanomermes iyengeri
Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis
3. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan
air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat
perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang
berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan
lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau
dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan
memanfaatkan/mendaur ulang, dan plus: menyemprot, memelihara ikan
predator, menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan vektor (menjaga
kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan
lembab di lingkungan rumah dll)
68
4. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN-DBD
Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan
memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di
masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus dilakukan
secara luas/serempak dan terus menerus/berkesinambungan. Tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat
suksesnya gerakan ini. Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/ individu untuk
melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat
untuk mau secara terus menerus menggerakkan masyarakat harus dilakukan
melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward
bagi yang berhasil melaksanakannya.
a. Tujuan
Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD
dapat dicegah atau dikurangi.
b. Sasaran
Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :
Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari
Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA)
Tempat penampungan air alamiah
c. Ukuran keberhasilan
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
d. Cara PSN DBD
PSN DBD dilakukan dengan cara 3M-Plus, 3M yang dimaksud yaitu:
Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2)
Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
69
Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
Memasang kawat kasa
Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
Menggunakan kelambu
Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
e. Pelaksanaan
1) Di rumah
Dilaksanakan oleh anggota keluarga.
2) Tempat tempat umum
Dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan atau pengelola
tempat tempat umum.
71
c. Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas
puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/ kota
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempat-tempat
umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi
pemakaian insektisida instruksi Dirjen PP dan PL (terlampir
surat intruksi)
Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB (petunjuk
larvasidasi terlampir).
72
- Dosis, dengan mengukur luas area atau jumlah rumah dengan dosis atau
jumlah insektisida yang digunakan.
c. Langkah langkah Pengendalian Vektor
1) Perencanaan Pengendalian Vektor
- Analisis data kasus
- Penentuan daerah sasaran intervensi
- Pemilihan metoda PV disesuaikan dengan permasalahan dan kondisi
setempat
- Perencanaan ketersediaan bahan, peralatan, SDM, dan biaya.
2) Operasional Pengendalian Vektor
- Koordinasi dengan daerah sasaran
- Penyuluhan PV termasuk penggerakan Peran serta masyarakat
- Pengorganisian intervensi, termasuk pembagian tugas.
- Implementasi Praktek kerja Lapangan
IX. KEPUSTAKAAN
1. Kemenkes. 2010. Permenkes nomor : 374/Menkes/Per/III/2010 tentang
Pengendalian Vektor. Jakarta
2. Depkes RI. 2005. Buku Pencegahan Dan Pemberantasan DBD; Subdit Arbovirosis,
Dit PPBB, Ditjen PP&PL. Jakarta.
3. Depkes RI. 2007. Buku Pedoman Jumantik, Subdit. Arbovirosis. Jakarta.
4. Depkes RI. 2004. Buku Modul Entomologi, Subdit. Pengendalian Vektor. Jakarta.
5. Depkes RI. 2007. Buku Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue,Dit
PPBB, Ditjen PP & PL. Jakarta.
6. Depkes RI. 2003. Buku Pencegahan Dan Penanggulangan Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue (Terjemahan WHO Regional Publication SEARO No.29).
Jakarta.
73
74
MATERI INTI 4
TATALAKSANA KASUS DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE
(Waktu : T 1 JPL, P 2 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini menjelaskan tata laksana kasus Demam Dengue (DD) dan Demam
Berdarah Dengue (DBD) di puskesmas dan rumah sakit, serta pertolongan pertama
terhadap penderita.
75
4. Tatalaksana DD dan DBD
5. Pelaporan Kasus
IV. METODE
Ceramah
Tanya Jawab
Penugasan: Studi kasus
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Handout
Lembar kasus
B. Langkah 2
Menjelaskan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran
Diberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan atau
mengklarifikasi tujuan tersebut.
C. Langkah 3
Pelatih memberikan paparan tentang Tatalaksana Kasus DD dan DBD
Pelatih mendemonstrasikan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis DD dan DBD
1) Klinis
a) Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari.
b) Terdapat manifestasi/ tanda-tanda perdarahan ditandai dengan:
- Uji Bendung (Tourniquet Test) positif
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan/ atau melena
c) Pembesaran hati ( di jelaskan cara pemeriksaan pembesaran hati )
d) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
( 20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan
pasien tampak gelisah
2) Laboratorium
a) Trombositopenia (100.000/mm atau kurang)
b) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas
kapiler, yang ditandai adanya:
Hemokonsentrasi/ Peningkatan hematokrit > 20% atau adanya
efusi pleura, asites atau hipoproteinemia (hipoalbuminemia).
78
Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan antara lain
perdarahan kulit (petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau
perdarahan lain.
Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi
tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Catatan DBD Derajat III & IV adalah Sindrom Syok Dengue
Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) yang ditandai dengan
hemokonsentrasi membedakan DBD dari DD. Pembagian derajat penyakit
dapat juga dipergunakan untuk kasus dewasa.
79
Uji Bendung (Tourniquet Test) sebagai tanda perdarahan ringan,
dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras).
Pada hari ke-2 demam, uji Tourniquet memiliki sensitivitas 90,6% dan
spesifisitas 77,8%,dan pada hari ke-3 demam nilai sensitivitas 98,7%
dan spesifisitas 74,2%.
Uji Tourniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie
pada area 1 inci persegi (2,8 cm x 2,8 cm) di lengan bawah bagian
depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti).
80
tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan di
hipokondrium kanan disebabkan oleh karena peregangan kapsul
hati. Nyeri perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak
kecil.
4) Syok
Tanda-tanda syok (renjatan):
Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari
tangan dan kaki
Penderita menjadi gelisah
Sianosis di sekitar mulut
Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba
Perbedaan tekanan nadi sistolik dan diastolik menurun < 20 mmHg
2) Radiologi
Pada foto toraks posisi Right Lateral Decubitus Dapat
mendeteksi adanya efusi pleura minimal pada aaru kanan. Asites,
penebalan dinding kandung empedu dan efusi pleura dapat dideteksi
dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG) dan menunjang terjadinya
kebocoran plasma.
3) Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi
pada penderita terinfeksi virus Dengue.
a) Uji Serologi Hemaglutinasi inhibisi (Haemaglutination Inhibition
Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas
(gold standard). Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel
darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada fase akut dan
fase konvalensen (penyembuhan), sehinggga tidak dapat
memberikan hasil yang cepat.
b) ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau
sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM
terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG, uji
tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu
sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat
didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue
Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.
83
Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas,
maka pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut:
a. Tirah baring selama demam
b. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15 mg/kgBB/kali
untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan karena
dapat menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau perdarahan.
c. Kompres hangat
d. Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori diperbolehkan kecuali
cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat, sirup merah).
e. Bila terjadi kejang (jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan pakaian, tidak
memberikan apapun lewat mulut selama kejang)
Jika dalam 2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai
timbulnya gejala dan tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti bekas
gigitan nyamuk), muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan segera dibawa
berobat/ periksakan ke dokter atau ke unit pelayanan kesehatan untuk segera
mendapat pemeriksaan dan pertolongan.
84
nama kepala keluarga, alamat, tanggal mulai masuk dan keluar sarana
pelayanan kesehatan ( Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit) dan pengobatan
yang telah diberikan, disampaikan kepada RS rujukan.
Persiapan rujukan
Sebelum merujuk pasien DBD perlu memperhatikan :
a. Tanda vital pasien harus stabil
b. Disertakan formulir dengan hasil parameter klinis dan laboratorium serta
terapi penting yang sudah diberikan.
a. Tatalaksana DD
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase
demam pasien dianjurkan:
1) Tirah baring, selama masih demam.
2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39C, dianjurkan pemberian
parase-tamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh
karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
4) Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop,
susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2
hari.
5) Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase
konvalesens.
85
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi
terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun.
Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara
DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas
saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan
pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi
perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena
itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang
air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa
segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi
setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
a) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
86
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.
b) Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat
terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan
derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif.
Untuk puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb Sahli dengan
estimasi nilai Ht=3x kadar Hb
87
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9%
atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7
ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan
hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-
24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak
nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis
cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali
pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital
tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan
akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.
b.3) Jenis Cairan
- Kristaloid : Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat
(RA), Larutan garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan
ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali
(D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL
atau RA tiak boleh larutan yang mengandung dekstosa)
- Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch
6%, gelafundin
c) Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul
pada daerah esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan
ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat
itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra,
edema paru dan distres pernafasan.
88
2). Tatalaksana SSD
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama, berguna untuk memperbaiki kekurangan
volume plasma. Pasien anak cepat mengalami syok dan sembuh
kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan
segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit ( 20 mmHg) atau hipotensi, dan peningkatan
mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat
terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Pada penderita
SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi 20 mm Hg segera
berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam
89
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih
pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan
rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat
reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah
normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya
fase reabsorbsi.
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan
pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan
(prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan
manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi
40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah
segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembeku trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien
dengan KID (Koagulasi Intravascular Disseminata) dan perdarahan
masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
90
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang
harus diperhatikan pada monitoring adalah :
(1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap
15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
(2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai
keadaan klinis pasien stabil.
(3) setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai
jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah
cairan yang diberikan sudah mencukupi.
(4) Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan
baik. Apabila diuresis belum cukup 1ml/kgBB/jam, sedang jumlah
cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload
antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya
furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien sudah stabil, maka
bisa dirujuk ke RS rujukan.
91
5. Pelaporan Kasus
Laporan kasus/tersangka infeksi dengue dari Puskesmas dan Rumah
Sakit Perawatan menggunakan formulir KD-DBD dikirimkan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan tembusan kepada Puskesmas sesuai
dengan domisili (tempat tinggal) pasien yang bersangkutan. Pelaporan
dilakukan 24 jam setelah diagnosis kerja ditegakkan. Pelaporan hasil
pemeriksaan laboratorium DBD dilakukan oleh Balai Laboratorium
Kesehatan/Bagian Mikrobiologi/ bag. laboratorium RS setempat.
IX. KEPUSTAKAAN
1. Departemen Kesehatan, 2006, Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia
2. Departemen Kesehatan, 2005, Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue di Indonesia
3. Departemen Kesehatan, 2003, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue
4. WHO SEARO, 1999, Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue
Haemorrhagic Fever in Small Hospitals.
5. WHO, 1997, Dengue Haemorrhagic Fever, Diagnosis treatment, prevention and
control, second edition, World Health Organization,Geneva 1997.
6. Buku Ajar Infeksi Tropik, 2009
7. WHO SEARO, 2010, Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever
92
MATERI INTI 5
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI, PENANGGULANGAN FOKUS, DAN
PENANGGULANGAN KLB
(Waktu : L T 1 JPL, P 2 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi akut dan
menular yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes
aegypti dan sering menimbulkan wabah/kejadian luar biasa (KLB). Nyamuk Aedes
aegypti tersebar luas di Indonesia, sehingga penularan DBD dapat terjadi di semua
tempat/wilayah yang terdapat nyamuk penular penyakit tersebut.
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindak lanjuti dengan kegiatan
Penyelidikan Epidemiologi (PE) dan Penanggulangan Fokus (PF), sehingga
penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah.
Dalam melaksanakan kegiatan pengendalian DBD sangat diperlukan peran serta
masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pengendalian
maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya.
93
IV. METODE
Ceramah
Tanya jawab
Penugasan : studi kasus
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Lembar Kasus berikut kunci jawaban
Format/ ceklist
B. Langkah 2
1. Fasilitator menjelaskan tujuan pembelajaran
2. Fasilitator menjelaskan hasil yang ingin dicapai dari pembelajaran
C. Langkah 3
1. Fasilitator memberikan paparan tentang sub-pokok bahasan
2. Fasilitator memandu tanya jawab.
3. Fasilitator membagi peserta menjadi 6 kelompok untuk melakukan studi kasus
tentang 3 kasus yang sudah disediakan (selama 30 menit)
D. Langkah 4
1. Masing-masing kelompok mendiskusikan tugas yang diberikan
2. Masing-masing kelompok diminta untuk presentasi dan pembahasan di pandu
oleh fasilitator.
3. Fasilitator melakukan pembulatan materi
4. Fasilitator menutup sesi dan mengucapkan salam
2) Tujuan khusus:
a) Mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya
b) Mengetahui ada/tidaknya jentik nyamuk penular DBD
c) Menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan
dilakukan
95
f) Hasil pemeriksaan adanya penderita DBD lainnya dan hasil
pemeriksaan terhadap penderita demam (tersangka DBD) dan
pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PE ( lampiran 9)
g) Hasil PE segera dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, untuk tindak lanjut lapangan dikoordinasikan
dengan Kades/Lurah ( lampiran 10)
h) Bila hasil PE positif (Ditemukan 1 atau lebih penderita DBD lainnya
dan/atau 3 orang tersangka DBD, dan ditemukan jentik (5%),
dilakukan penanggulangan fokus (Fogging, Penyuluhan, PSN dan
Larvasidasi selektif), sedangkan bila negatif dilakukan
Penyuluhan, PSN dan Larvasidasi selektif.
c. Kriteria PF :
1) Bila ditemukan penderita DBD lainnya (1 atau lebih) atau ditemukan 3
atau lebih tersangka DBD dan ditemukan jentik 5 % dari
rumah/bangunan yang diperiksa, maka dilakukan penggerakan
masyarakat dalam PSN DBD, larvasidasi, penyuluhan dan
pengasapan dengan insektisida di rumah penderita DBD dan
rumah/bangunan sekitarnya radius 200 meter sebanyak 2 siklus
dengan interval 1 minggu
2) Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas, tetapi
ditemukan jentik, maka dilakukan penggerakan masyarakat dalam
PSN DBD, larvasidasi dan penyuluhan
3) Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas dan
tidak ditemukan jentik, maka dilakukan penyuluhan kepada
masyarakat.
96
d. Langkah- Langkah Pelaksanaan Kegiatan:
1) Setelah kades/lurah menerima laporan hasil PE dari Puskesmas dan
rencana koordinasi penanggulangan fokus, meminta ketua RW/RT
agar warga membantu kelancaran pelaksanaan penanggulangan
fokus
2) Ketua RW/RT menyampaikan jadwal kegiatan yang diterima dari
petugas puskesmas setempat dan mengajak warga untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan fokus.
3) Kegiatan penanggulangan fokus sesuai hasil PE:
a) Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan larvasidasi
(1) Ketua RW/RT, Toma (tokoh masyarakat) dan kader
memberikan pengarahan langsung kepada warga pada
waktu pelaksanaan PSN DBD
(2) Penyuluhan dan penggerakkan masyarakat PSN DBD dan
larvasidasi dilaksanakan sebelum dilakukan pengabutan
dengan insektisida. (teknis pemberian larvasida agar
dicantumkan)
b) Penyuluhan
Penyuluhan dilaksanakan oleh petugas kesehatan/kader atau
kelompok kerja (Pokja) DBD Desa/Kelurahan berkoordinasi
dengan petugas puskesmas, dengan materi antara lain:
(1) Situasi DBD di wilayahnya
(2) Cara-cara pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan oleh
individu, keluarga dan masyarakat disesuaikan dengan
kondisi setempat.
c) Pengabutan dengan insektisida
(1) Dilakukan oleh petugas puskesmas atau bekerjasama
dengan dinas kesehatan kabupaten/kota. Petugas
penyemprot adalah petugas puskesmas atau petugas harian
lepas terlatih.
(2) Ketua RT, Toma atau kader mendampingi petugas dalam
kegiatan pengabutan. (di lapangan tidak hanya
mendampingi tapi juga melakukan penyuluhan)
97
Gambar 19. Bagan Penyelidikan Epidemiologi
Penderita
Demam Dengue*
Positif Negatif :
Bila ditemukan 1 atau lebih penderita DBD dan/atau Jika tidak memenuhi
3 orang suspek infeksi Dengue lainnya dan 2 kriteria positif
ditemukan jentik (5%)
Keterangan:
1. Penderita DBD :Penderita positif DBD (hidup/meninggal) yang dinyatakan oleh dokter
rumah sakit melalui test laboratorium dengan hasil haemoglobin dan hematokrit
meningkat > 20% dan penurunan trombosit kurang dari 100.000/ mm3 atau
cenderung turun.
2. Suspek Infeksi Dengue : Ditemukan gejala panas yang tidak diketahui penyebabnya
saat dilaksanakan PE.
98
B. PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA
1. Definisi KLB
Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya
penanggulangan yang meliputi: pengobatan/perawatan penderita,
pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan
evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang
terjadi KLB.
Sesuai Permenkes Nomor 1501 tahun 2010 disebutkan 7 kriteria KLB,
tetapi untuk pengendalian DBD hanya ada 3 kriteria yang digunakan yaitu :
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu (DBD) yang sebelumnya tidak
ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Jumlah penderita baru (kasus DBD) dalam periode waktu (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
c. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
b. Pemberantasan Vektor
1) Penyemprotan insektisida (pengasapan / pengabutan)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota,
puskesmas, dan tenaga lain yang telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
99
Alat : hot fogger/mesin pengabut atau ULV
Cara : Fogging/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval
satu minggu (petunjuk fogging terlampir)
c. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama
Puskesmas.
100
3. Evaluasi Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
a. Evaluasi pelaksanaan penanggulangan KLB
Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase
(coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan.
Penilaian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah secara acak
dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengabutan, larvasidasi dan
penyuluhan. Pada kunjungan tersebut dilakukan wawancara apakah rumah
sudah dilakukan pengabutan, larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta
penyuluhan.
101
102
MATERI INTI 6
PENGOPERASIAN ALAT DAN BAHAN PENGENDALIAN VEKTOR
(Waktu : T 2 JPL, PL 4 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pengendalian vektor berdasarkan Permenkes Nomor : 374/Menkes/Per/III/2010
tentang Pengendalian Vektor, memuat pedoman pengendalian vektor terpadu (PVT),
peralatan dan bahan surveilans vektor serta peralatan dan bahan pengendalian vektor.
Peralatan dan bahan surveilans vektor adalah semua alat dan bahan yang
digunakan dalam kegiatan surveilans vektor dalam rangka mengumpulkan data dan
informasi tentang vektor yang digunakan sebagai dasar dalam tindakan pengendalian
vektor. Peralatan dan bahan pengendalian vektor digunakan dalam rangka menekan
atau menurunkan populasi vektor, sehingga tidak berisiko untuk terjadinya penularan
penyakit tular vektor di suatu wilayah.
Setiap peralatan yang dipakai dalam upaya pengendalian vektor harus memenuhi
persyaratan yang dibuktikan dengan sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) atau
sertifikat kesesuaian yang dikeluarkan oleh lembaga pengujian independen yang
terakreditasi dan ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan RI atau lembaga pengujian di
negara lain yang ditunjuk, dengan mengacu pada ketentuan spesifikasi WHO;
(WHO/CDS/NTD /WHOPES /GCDPP/2006.5).
Peralatan yang digunakan dalam pengendalian vektor DBD adalah mesin
pengkabut panas (Hot Fogger), mesin pengkabut dingin (Aerosol / ULV) yang
dioperasikan di atas kendaraan pengangkut. Modul ini membahas cara pengoperasian,
perawatan dan perbaikan alat pengendalian vektor tersebut. Bahan yang digunakan
dalam upaya pengendalian vektor DBD berupa insektisida, baik sasaran terhadap
nyamuk vektor dewasa maupun terhadap larva/jentik nyamuk.
103
2. Petunjuk teknis perbaikan hot fogger
3. Petunjuk Teknis perawatan mesin hot fogger
IV. METODE
Ceramah,
Diskusi dan tanya jawab.
Praktek lapangan
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Panduan praktek lapangan
Insektisida dan bahan bakar
B. Langkah 2
1. Fasilitator menjelaskan tujuan pembelajaran
2. Fasilitator menjelaskan hasil yang ingin dicapai dari pembelajaran.
104
C. Langkah 3
1. Fasilitator memberikan paparan tentang sub-pokok bahasan
2. Fasilitator melakukan tanya jawab.
3. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok untuk melaksanakan
penugasan (setiap kelompok 6 peserta).
D. Langkah 4
1. Kelompok mempersiapkan alat dan bahan paktek lapangan.
2. Kelompok mempraktekan cara pengioperasian mesin hot fogger dan ULV.
3. Kelompok mempraktekan cara perbaikan mesin hot fogger dan ULV.
4. Kelompok mempraktekan cara perawatan mesin hot fogger dan ULV.
5. Kelompok mempraktekan cara aplikasi insektisida.
6. Fasilitator membimbing kelompok dalam pelaksanaan praktek lapangan.
7. Fasilitator menilai hasil praktek lapangan.
E. Langkah 5
Pembulatan
105
b. Cara Menghidupkan Mesin hot fogger
Periksa apakah bensin/Premium sudah terisi penuh.
Periksa letak pemasangan batu batebre.
Isi tangki larutan isektisida sampai penuh.
Kencangkan tutup tangki bensin dan tangki larutan insektisida
Pastikan bagian bagian mesin seperti pipa larutan, air intake, tabung
pengasap, soket pengasap sudah terpasang dgn benar, kencangkan
semua mur dan baut.
Buka buka stop booton/kran bensin secukupnya, kemudian pompa
perlahan-lahan sambil menekam tombol start, apabila mesin dalam
keadaan baik akan segera hidup.
Tunggu beberapa saat, sampai mesin hidup dengan sempurna.
Mesin siap dipergunakan.
c. Cara Pengoperasian Mesin hot fogger
Biarkan mesin hidup selama 2 menit dengan maksud untuk
mencapai temperatur yang cukup untuk mengubah larutan menjadi
asap secara penuh.
Buka solution tap (kran larutan), maka larutan akan mengalir dan
segera tersembur dalam bentuk asap.
Pengasapn dimulai dari rumah bagian belakang lalu depan.
Untuk rumah bertingkat mulai dari lantai atas
Selanjutnya di luar rumah jangan melawan arah angin
Penyemprotan dilakukan 2 siklus interval 5-7 hari.
d. Cara Mematikan Mesin hot fogger
Tutup solution tap/kran larutan insektisida dan biarkan beberapa saat
hingga asap benar-benar habis.
Tutup stop botton/kran bensin dengan memutar tombolnya ke arah
stop, maka mesin akan segera mati.
Buang tekanan dalam tangki larutan insektisida dengan membuka
tutup tangki insektisida kemudian kencangkan kembali.
Demikian pula untuk tangki bahan bakar.
Biarkan mesin dingin kembali.
106
b. Mesin hidup tapi sering mati mendadak, kemungkinan :
Ujung resonator kotor tersumbat oleh kerak, solusinya adalah dengan
dibersihkan. Diafragma kotor, terlipat atau sobek, maka bersihkan kalau
perlu ganti. Bila ruang pembakaran kotor, maka dibersihkan.
c. Mesin hidup tapi tidak keluar asap, kemungkinan :
Tidak ada tekanan di dalam tangki larutan, maka periksa tutup tangki,
kalau kurang kencang kencangkan atau gasketnya rusak, maka diganti.
Bila kran larutan tersumbat, maka dibersihkan,bila nozzle tersumbat,
maka dibersihkan.
107
Bersihkan air intake, kalau diafragmanya rusak perlu diganti.
Keringkan tangki larutan kalau perlu bilas dengan solar
Bersihkan seluruh bagian mesin fogg dan keringkan.
108
b. Cara menghidupkan mesin ULV :
Hidupkan mesin dengan urutan sebagai berikut :
Geser switch kontak ke posisi on.
Tekan kontak starter (bila mesin keadaan baik mesin akan langsung
hidup)
c. Cara Pengoperasian Mesin ULV
Atur tekanan udara dengan cara menggeser tuas gas sampai 3-4,5
(dapat dibaca di Barometer Panel pengontrol). Kemudian geser switch
fog ke posisi on.
Putar tuas flow meter ke kiri sampai bola flow meter bergerak ke posisi
paling atas. Racun serangga dalam pipa larutan akan mengalir dan
asap pada head nozzle akan keluar.
Baca temperatur di panel pengontrol dan tentukan posisi penunjuk
(bola) pada flow meter.
Geser tuas flow control ke kanan (searah jarum jam) sehingga posisi
bola turun pada angka yang ditentukan.
Setelah semuanya siap operator duduk di samping pengemudi untuk
mengendalikan jalannya mesin ULV
Selama operasi operator harus memperhatikan, skala flow meter harus
sesuai dengan tabel flow meter.
Jalankan kendaraan pengangkut ULV dengan kecepatan 5-8 km/jam.
d. Cara Mematikan Mesin
Putar tuas flow control ke kanan sampai maksimal
Geser switch fog ke off (tunggu sampai insektisida benar-benar habis)
Geser switch machine ke off mesin akan langsung mati
1. Jenis Insektisida
Jenis-jenis insektisida untuk pengendalian vektor DBD meliputi :
a. Organofosfat
Insektisida ini bekerja dengan menghambat enzim kholinesterase.
OP banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian vektor, baik untuk
space spraying, IRS, maupun larvasidasi. Contoh : malation, fenitrotion,
temefos, metil-pirimifos, dan lain lain.
b. Karbamat.
Cara kerja insektisida ini identik dengan OP, namun bersifat
reversible (pulih kembali) sehingga relatif lebih aman dibandingkan OP.
Contoh: bendiocarb, propoksur, dan lain lain.
c. Piretroid (SP).
Insektisida ini lebih dikenal sebagai synthetic pyretroid (SP) yang
bekerja mengganggu sistem syaraf. Golongan SP banyak digunakan dalam
pengendalian vector untuk serangga dewasa (space spraying dan IRS),
kelambu celup atau Insecticide Treated Net (ITN), Long Lasting Insecticidal
Net (LLIN), dan berbagai formulasi Pestisida rumah tangga. Contoh:
metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin, permetrin, sipermetrin,
deltametrin, etofenproks, dan lain-lain.
d. Insect Growth Regulator (IGR).
Kelompok senyawa yang dapat mengganggu proses perkembangan
dan pertumbuhan serangga. IGR terbagi dalam dua klas yaitu :
110
1) Juvenoid atau sering juga dikenal dengan Juvenile Hormone Analog
(JHA). Pemberian juvenoid pada serangga berakibat pada
perpanjangan stadium larva dan kegagalan menjadi pupa. Contoh JHA
adalah fenoksikarb, metopren, piriproksifen dan lain-lain.
2) Penghambat Sintesis Khitin atau Chitin Synthesis Inhibitor (CSI)
mengganggu proses ganti kulit dengan cara menghambat pembentukan
kitin. Contoh CSI: diflubensuron, heksaflumuron dan lain-lain.
e. Mikroba
Kelompok Pestisida ini berasal dari mikroorganisme yang berperan
sebagai pestisida. Contoh: Bacillus thuringiensis var israelensis (BTI),
Bacillus sphaericus (BS), abamektin, spinosad, dan lain-lain.
a. Pengendalian Larva
Dalam program pengendalian vektor, kegiatan pengendalian larva
dengan insektisida disebut sebagai larvasidasi. Larvasidasi merupakan
kegiatan pemberian insektisida yang ditujukan untuk membunuh stadium
larva. Larvasiding dimaksudkan untuk menekan kepadatan populasi vektor
untuk jangka waktu yang relatif lama (3 bulan), sehingga transmisi virus
dengue selama waktu itu dapat diturunkan atau dicegah (longterm
preventive measure).
Spesies nyamuk perlu diketahui dan diidentifikasi atau dilakukan
pemetaan tempat perkembangbiakan nyamuk di tiap-tiap musim. Larvaciding
akan efektif bila tempat perkembangbiakan mudah dicapai, tempat
perkembangbiakan di area yang kecil, dan efek larvaciding hanya bertahan
tidak lebih dari 2 bulan. Larvaciding tidak menimbulkan dampak residu,
namun kontrolnya perlu diadakan setiap 2 bulan sehingga keputusan untuk
melakukan intervensi ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam
kenyataan, larvaciding ini sulit dilakukan secara optimal, karena tempat
perkembangbiakan biasanya tersebar dimana-mana dan sulit untuk
menentukan waktu yang tepat. Untuk melakukan larvaciding, dibutuhkan
pengetahuan tentang area tempat perkembangbiakan vektor dan
hubungannya dengan curah hujan. Untuk memperoleh hasil yang baik dan
bersinambungan, pemberantasan sarang nyamuk harus dilakukan secara
rutin dan berkesinambungan.
Terdapat tiga jenis pestisida untuk mengendalikan larva Aedes yaitu
butiran temephos, pengatur pertumbuhan serangga (Insect grouth
regulator/IGR) dan Bacillus thuringiensis (Bt H-14)
112
Sesuai dengan perkembangan teknologi dibidang pembuatan
insektisida kimia dan mesin sprayer, untuk ULV cold spraying digunakan
pestisida golongan organophosphate, carbamat atau syntetic pyrethroid
dalam formulasi konsentrasi yang lebih tinggi dibanding untuk
pemakaian pada thermal fogging. Sasaran fogging adalah serangga
yang sedang terbang, sehingga fogging harus meliputi seluruh target
area yang terdiri dari indoor dan outdoor. Fogging dilakukan dari
luar/pinggir jalan semua pintu dan jendela rumah/bangunan harus
dibuka lebar.
Waktu operasi pada pagi atau sore hari dalam keadaan udara
tidak terlalu panas/kurang dari 28oC dan angin cukup tenang, maximum
kecepatan angin 20km/jam. Kecepatan jalan kendaraan pengangkut
ULV sprayer adalah 5-8 km/jam. Beberapa test menunjukkan bahwa
jarak sembur yang paling baik adalah 80-100 meter dangan kecepatan
angin 10-15 km/jam. Pada kecepatan angin lebih dari 20 km/jam fogging
supaya dihentikan saja. Jumlah petugas yang melayani 1 unti ULV
ground sprayer mounted adalah 3 orang, terdiri dari 1 petugas penunjuk
arah, 1 petugas operasional dan 1 orang pengemudi. Dengan out put
area 10-15 ha/jam, apabila fogging berjalan selama 3 jam (pk 07.00 s/d
10.00) maka dapat mencakup daerah seluas 30-40 ha. Hal ini jauh lebih
efisien disbanding dengan menggunakan portable thermal machine
yang hanya mampu menyelesaikan daerah seluas 1 ha per petugas.
Dosis maksimum 500ml malathion 96% atau penitrition 95% per
ha, kabut ULV cold aerosols dalam udara bebas selama 15-30 menit
tidak berbahaya bagi manusia, mamalia lain dan burung, kecuali pada
ikan yang berumur muda (benih ikan). Beberapa keuntungan ULV
ground spraying application dibanding thermal fogging yaitu:
- Polusi udara lebih kecil. Untuk target area dan efektifitas yang sama
penggunaan pestisida (dosis) dapat lebih kecil dibanding operasional
thermal foging (dapat sampai 50%nya).
- Mengurangi bahaya terhadap organisme bukan target.
- Tidak ada bahaya kebakaran, karena ULV tidak memerlukan
dorongan gas yang panas
- Tidak memberi dampak gangguan pada kesibukan kota dan
keramaian lalu lintas, karena fog ULV tidak mengganggu
pengelihatan bila dibanding dengan thermal fog
- Biaya operasional dan penggunaan bahan-bahan lebih sedikit
(efisien), namun memberi dampak bila langsung mengenai cat
minyak pada kayu dan cat mobil pada jarak <3meter.
Berikut merupakan contoh formulasi atau cara pencampuran
insektisida dengan pelarutnya :
113
Tabel 15. Contoh formulasi atau pencampuran insektisida
PERBANDINGAN
JENIS INSEKTISIDA SOLAR/
INSEKTISIDA
MINYAK TANAH
MALATHION 95% 1L 19,0 L
LAMDA SYHALOTHRINE 25 EC 150 ml 19,85 L
PERMETHRINE 97,5 G/L + S- 150 ml 19,85 L
BIOALETHRINE 15 G/L
SYFLUTHRINE 50 EC 150 ml 19,85 L
CYPERMETHRINE 25 ULV 800 ml 19,20 L
114
MATERI INTI 7
I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini menjelaskan tentang perencanaan, dan supervisi program pengendalian
penyakit Demam Berdarah Dengue. Materi ini diberikan agar pengelola program dapat
melaksanakan kegiatan pengendalian DBD sesuai dengan yang direncanakan. Dalam
perencanaan akan disampaikan tentang penentuan besarnya masalah, penentuan kegiatan
program, penentuan target kegiatan, kajian sumber daya, dan Pembuatan Rencana
Operasional (POA). Sedangkan supervisi program pengendalian DBD akan disampaikan
tentang pelaksanaan supervisi dan penilaian.
V. BAHAN BELAJAR
1. Modul
2. Lembar kasus
3. Ceklist
4. Hardcopy materi
B. Langkah 2
Pelatih menjelaskan tujuan pembelajaran
C. Langkah 3
1. Fasilitator memberikan paparan tentang sub-pokok bahasan dan memfasilitasi
tanya jawab (selama 2 JPL).
2. Fasilitator membagi peserta menjadi 6 kelompok untuk melakukan studi kasus
tentang 3 kasus yang sudah disediakan (selama 30 menit)
3. Selesai diskusi masing-masing kelompok diminta untuk presentasi dan
pembahasan di pandu oleh fasilitator (selama 30 menit).
4. Fasilitator melakukan pembulatan materi (20 menit)
5. Fasilitator menutup sesi dan mengucapkan salam (10 menit)
116
2. Pengaruh politis dalam proses perencanaan terlalu besar sehingga pertimbangan-
pertimbangan teknis seringkali diabaikan.
3. Output kegiatan sering tidak tercapai karena penyusunan rencana masih belum
sinergi dan tidak terfokus.
4. Proses perencanaan antara pusat dan daerah belum sinkron.
5. Kapasitas tenaga perencana masih terbatas.
6. Kurang optimalnya supervise karena hanya dilakukan pada akhir kegiatan.
Untuk menjamin proses perencanaan dan supervisi berjalan efektif, efisien dan
tepat sasaran diperlukan integrasi berdasarkan pada pendekatan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
117
3) Pendekatan partisipatif
Pendekatan perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Keterlibatan
mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dalam menciptakan rasa
memiliki.
4) Pendekatan Atas-Bawah
Pendekatan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil
proses atas bawah diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan
baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
5) Pendekatan Bawah-Atas
Pendekatan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil
proses bawah atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan
baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
b. Data vektor
1) Jenis vektor
2) Tempat perindukan vektor
3) Angka bebas jentik (ABJ) per desa/kelurahan (data kegiatan Jumantik/kader)
c. Keadaan geografis
1) Daerah kota
2) Daerah desa dengan transportasi cukup lancar
3) Daerah tidak tertata/kumuh
118
Tabel 16. Kajian daerah masalah DBD
Puskesmas : ..................
Kabupaten/Kota : ..................
Nama Jumlah Jumlah Pernah KLB Vektor ABJ Stratifikasi
Desa penduduk Rumah IR CFR Ya/Tdk Ada/Tdk Desa/
Kelurahan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Keterangan:
(1) Di isi nama Desa/Kelurahan
(2) Jumlah penduduk pada tahun terakhir
(3) Jumlah rumah pada tahun terakhir
(4) IR tertinggi pada 3 tahun terakhir
(5) CFR tertinggi pada 3 tahun terakhir
(6) Pernah ada/ditemukan KLB pada 5 tahun terakhir
(7) Ada/tidaknya vektor penular
(8) Data ABJ terakhir
(9) Stratifikasi : Endemis, Sporadis, Potensial, Bebas (terdapat pada materi Surveilans)
120
Besarnya masalah dari tabel 3 diatas sebagai berikut:
Urutan 1: Kelurahan C
Urutan 2: Kelurahan B
Urutan 3: Kelurahan D
Urutan 4: Kelurahan A
Jika terdapat desa/kelurahan dengan skor yang sama, maka untuk menentukan
desa/ kelurahan yang paling bermasalah ditentukan oleh tingginya skor variabel
dibawah ini:
(1) Situasi kasus
(2) Kematian karena DBD
(3) Tempat perindukan
(4) ABJ
(5) pernah KLB
(6) Mobilitas penduduk
Urutan besarnya masalah penyakit DBD ini digunakan untuk menentukan pemilihan
prioritas wilayah dan alternatif intervensi kegiatan yang akan dilakukan.
1. Penemuan penderita
a. Penemuan penderita secara aktif dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi
(PE) dengan mencari penderita DBD lainnya.
b. Penemuan penderita secara pasif dilakukan oleh puskesmas atau unit
pelayanan kesehatan lainnya.
2. Pengendalian vektor
Pengendalian vektor DBD dilaksanakan berdasarkan REESA, dengan pengertian:
Rasional: wilayah kegiatan pengendalian vektor yang diusulkan memang
terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi kriteria yang
ditetapkan, yaitu wilayah endemis dengan IR sesuai target nasional dan CFR >1%.
Efektif: dipilih salah satu metode/jenis kegiatan pengendalian vektor atau
kombinasi dua metode yang saling menunjang, dan metode tersebut dianggap
paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan. Pemilihan metode yang
efektif perlu didukung data epidemiologi, entomologi dan pengetahuan sikap
perilaku (PSP) masyarakat.
121
Efisien: diantara beberapa metode kegiatan pengendalian vektor yang efektif
harus dipilih metode yang biayanya paling murah.
Sustainable: kegiatan pengendalian vektor yang dipilih harus dilaksanakan secara
berkesinambungan sampai mencapai tingkat yang diharapkan, dan hasil yang
sudah dicapai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya
lebih murah.
Acceptable: kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh
masyarakat setempat.
2) Larvasidasi.
Penaburan bubuk larvasida atau pembunuh jentik guna memberantas jentik di
tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, sehingga populasi
nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya.
a) Sasaran lokasi:
- Rumah/bangunan, sekolah dan fasilitas kesehatan di desa/kelurahan
endemis dan sporadis
- Dilaksanakan 4 siklus (3 bulan sekali) dengan menaburkan larvasida pada
TPA yang ditemukan jentik.
b) Pembagian tugas
Petugas provinsi
- Evaluasi kegiatan
Petugas kabupaten/kota dan puskesmas
- Pengusulan kegiatan
- Pelaksanaan kegiatan
- Pengawasan pelaksanaan
3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Kegiatan PJB dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3M baik di pemukiman maupun di
tempat-tempat umum/industri (TTU/I).
a) Sasaran lokasi:
- Rumah/bangunan, sekolah dan fasilitas kesehatan di desa/kelurahan
endemis dan sporadis pada tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti di 100 sampel yang dipilih secara acak
- Dilaksanakan 4 siklus (3 bulan sekali)
b) Pembagian tugas :
Petugas provinsi
- Evaluasi kegiatan
Petugas kabupaten/kota dan puskesmas
- Pengusulan kegiatan
- Pelaksanaan kegiatan
- Pengawasan pelaksanaan
4) Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) atau Bulan Bakti Gerakan 3M
Pembagian tugas :
Petugas provinsi
- Penentuan kegiatan
- Evaluasi kegiatan
Petugas kabupaten/kota dan puskesmas
- Pengusulan kegiatan
- Pelaksanaan kegiatan
- Pengawasan pelaksanaan
123
c. Evaluasi PSN
Evaluasi PSN dilakukan dengan Survai yang bertujuan untuk mengetahui
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan efektifitas
pengendalian vektor (fogging, larvasidasi, dan PSN) yang akan dilakukan di wilayah
tersebut atau melalui kegiatan PJB.
Petugas provinsi :
- Penentuan kegiatan
- Evaluasi kegiatan
Petugas kabupaten/kota dan puskesmas :
- Pengusulan kegiatan
- Pelaksanaan kegiatan
- Pengawasan pelaksanaan
124
2) Pelatihan dokter anak/dokter penyakit dalam dan paramedis Rumah Sakit
kabupaten/kota dalam penatalaksanaan kasus DBD
Pelaksana: dinas kesehatan provinsi
3) Pelatihan dokter dan paramedis puskesmas dalam tatalaksana kasus DBD
Dilaksanakan oleh kabupaten/kota
4) Ceramah klinik bagi dokter dan paramedis Rumah Sakit dan Puskesmas
Pelaksana: kabupaten/kota
5) Orientasi/pengembangan sistem survailans DBD bagi petugas kabupaten/kota
Tujuan: Membangun jaringan surveilens DBD yang cepat dan tepat dalam
rangka sistem kewaspadaan dini dan estimasi kejadian luar biasa (KLB).
Pelaksana: Provinsi
125
Tabel 18. contoh penggunaan bagan Gantt pada program
Kegiatan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1. Pelatihan Jumantik di 5
puskesmas
2. Surveilans kasus/
PE terhadap Penderita/
tersangka DBD
3. Supervisi ke 5
Puskesmas
4. Penyuluhan pence-
gahan DBD di 2
Puskesmas
b. Tujuan
1) Bimbingan teknis bertujuan untuk mengarahkan, membimbing serta
memecahkan masalah yang dihadapi pelaksana agar dapat menghasilkan
kinerja sesuai yang direncanakan
2) Menilai pelaksanaan Program Pengendalian DBD
126
c. Ruang Lingkup
1) Seluruh kegiatan meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan
pelaksanaan dan evaluasi mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota sampai
Puskesmas.
2) Kegiatan pengendalian DBD meliputi: surveillans kasus, penanggulangan
kasus, penatalaksanaan penderita, surveillans vektor, penanggulangan dan
penyelidikan KLB, pemberdayaan masyarakat, promosi kesehatan,
peningkatan profesionalisme sumber daya.
3) Kerjasama lintas program dan lintas sektor yang dilakukan meliputi:
a) Kewaspadaan dini DBD
b) Penanggulangan Kasus
c) Pengendalian Vektor
d) Penanggulangan dan Penyelidikan KLB
e) Peningkatan Profesionalsme SDM
f) Pemberdayaan masyarakat dan kemitraan
b. Pelaksanaan
1) Perkenalan diri dan penyampaian informasi tujuan supervisi dan bimbingan
teknis
2) Pengumpulan data dan informasi tentang kinerja pelaksana dengan
menggunakan format atau cheklist
3) Pencocokan data dan informasi pada sarana pelayanan (dengan
mengunjungi sampel sarana di lapangan)
4) Diskusi bersama pelaksana melakukan analisis (membandingkan kinerja
sesuai arsip data dengan standar kinerja sesuai program) dan membuat
kesimpulan sementara
5) Diskusi bersama pelaksana mencari pemecahan masalah dan
menjadwalkan kegiatannya
6) Diskusi bersama pimpinan pelaksana menyepakati Rencana Tindak Lanjut
untuk pemecahan masalah
7) Memberi motivasi dan ketrampilan tertentu secara lisan dan tertulis kepada
pelaksana sesuai kebutuhan untuk meningkatkan Kinerja Program
127
c. Alat
Alat utama adalah format atau cheklist berisi tentang:
1) Daftar indikator penilaian kinerja program yang terdiri dari: indikator input,
indikator proses dan indikator output
2) Kesimpulan Kinerja: penilaian kualitatif (memuaskan, baik, sedang, kurang)
dan Permasalahan
3) Rencana Tindak Lanjut: Daftar kegiatan perbaikan kinerja dan peran
berbagai pihak dan penjadualan serta pembiayaan dalam rencana tindak
lanjut
VIII. KEPUSTAKAAN
1. UU No. 25 Tahun 2004. tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
2. UU No. 17 Tahun 2003 (Pasal 14) tentang Sistem Penganggaran Yang Baru
Bagi Kementerian Negara/Lembaga.
3. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPKMN) Tahun 2004-2009.
4. Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2006 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun
2007.
5. Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005-2009, Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 331/Menkes/SK/V/2006, Departemen
Kesehatan RI, Mei 2006.
6. Rencana Strategi/Master Plan PP-PL Tahun 2007-2009.
7. Indikator Program PP-PL Bersumber RPJMN, Rentra Depkes (IS-2010), KW-SPM
dan MGDS-2015.
128
8. Rencana Strategis 2005-2009 Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Demam Berdarah Dengue, Ditjen PP-PL, Depkes 2005.
9. Petunjuk Perencanaan Program P2DBD 1989, Subdit Arbovorosis, Ditjen PPM-
PLP, Depkes 1989.
10. Petunjuk Pelaksanaan Program P2DBD 1989, Subdit Arbovorosis, Ditjen PPM-
PLP, Depkes 1989.
11. Modul Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Bagi Koordinator (Paramedis) Di
Puskesmas, Ditjen PP-PL, Depkes, 1997.
12. Modul Manajemen Pemberantasan Penyakit Malaria (Modul 6), Ditjen PPM & PL,
Depkes, 1999.
13. Aplikasi Penyusunan Rencana dan Anggaran Terpadu Program PP-PL,
Departemen Kesehatan, Modul 08, 2006.
14. Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL 2007, Direktorat Jenderal
Anggaran dan Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, 2006
15. Pedoman Penyusunan Rencana dan Anggaran Kementerian Kesehatan,
Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1454/MENKES/SK/X/2010. Kemenkes RI
16. Buku Pedoman Pembinaan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
17. Standar Pengawasan Program Bidang Kesehatan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue, tahun 2003
18. Pedoman Supervisi Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Demam
Berdarah Dengue menggunakan cheklist, 1992
129
130
MATERI INTI 8
PROMOSI KESEHATAN
DALAM PROGRAM PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE
(Waktu : T 2 JPL, P 2 JPL)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Promosi kesehatan merupakan proses penyampaian informasi agar masyarakat
tahu, mau dan mampu merubah perilaku untuk mencapai derajat kesehatan yang tinggi,
dengan cara advokasi, bina suasana, gerakan masyarakat dan Kemitraan.
Untuk mendukung dan menanggulangi masalah kesehatan diperlukan kemitraan
dengan melibatkan berbagai sektor yaitu lembaga pemerintah, dunia usaha, media
massa dan organisasi masyarakat lainnya dalam upaya menanggulangi masalah
kesehatan khususnya Demam Berdarah Dengue ( DBD ).
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD,
karena virus penyebab dan nyamuk penularnya tersebar luas diseluruh propinsi dan
kabupaten/ kota. Oleh karena itu untuk mengendalikan penyakit ini diperlukan gerakan
untuk memberdayakan masyarakat dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (
PSN ) DBD.
Guna membina Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN) DBD agar lebih
efektif maka kegiatannya perlu dikoordinasikan dalam Kelompok Kerja Operasional
(POKJANAL). Pengendalian penyakit DBD ini merupakan forum kerjasama lintas sektor
di tiap jenjang administrasi pemerintahan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi penyakit DBD adalah
dengan pendekatan metode Communication for behavioral impact (COMBI), yang
merupakan suatu proses intervensi perubahan perilaku untuk mencapai tujuan dengan
memperhatikan aspek sosial budaya setempat yang spesifik, untuk merubah masyarakat
dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu
untuk menanggulangi penyakit DBD.
131
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
A. Pokok Bahasan 1: Strategi dasar promosi kesehatan
Sub Pokok Bahasan:
1. Strategi advokasi
2. Strategi bina suasana
3. Strategi gerakan pemberdayaan
IV. METODE
Ceramah
Tanya jawab
Bermain peran
V. BAHAN BELAJAR
Modul
Buku Panduan
handout (copy materi)
Skenario
B. Langkah 2
1. Pelatih menjelaskan tujuan umum dan khusus pembelajaran.
2. Diberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan atau
mengklarifikasikan tujuan tersebut.
132
C. Langkah 3
1. Fasilitator memberikan paparan tentang materi
2. Fasilitator membagi peserta sesuai dengan skenario
1. Strategi Advokasi
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk
mempengaruhi pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan
penyandang dana dan pimpinan media massa agar proaktif dan mendukung
berbagai kegiatan promosi penanggulangan Penanggulangan DBD sesuai
dengan bidang dan keahlian masing-masing. Sementara itu ada pendapat
133
populer bahwa advokasi adalah melakukan kampanye pada media massa
atau melakukan upaya komunikasi, informasi dan edukasi.
Tujuan advokasi untuk mempengaruhi pimpinan/pengambil
keputusan dan penyandang dana dalam penyelengaraan program
Pengendalian DBD, sedangkan sasaran advokasi adalah:
- Pimpinan legislative (Komisi DPRD)
- Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda)
- Penyandang dana
- Pimpinan media massa
- Pimpinan institusi lintas sektoral
- Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi
a. Metode Advokasi:
- Lobby
- Pendekatan Informal
- Penggunaan media massa
b. Materi Pesan
- Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya
- Program cara pencegahan dan pengendalian DBD
- Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga kesehatan,
dan lintas sektor lain untuk melaksanakan program bebas DBD.
b. Materi pesan
- Waspada Nyamuk Demam Berdarah
- Gejala demam berdarah
- Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan bebas jentik nyamuk di
rumah
- 3 M Plus
a. Metode
- Promosi Individu
- Promosi Kelompok
- Promosi Massa
b. Materi Pesan
- Tanda dan gejala DBD
- Cara pencegahan dan pengendalian DBD
- 3 M Plus
136
Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan
menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga
dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau
diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh
masyarakat sebagai panutan
Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu
melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal
ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang
seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses
pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan
masyarakat (community development). Untuk itu, sejumlah individu yang telah
mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan
kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga
memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari
dermawan). Hal-hal yang akan diberikan kepada masyarakat oleh program
kesehatan sebagai bantuan, hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan
sebelumnya. Bantuan itu hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan
masyarakat.
137
a. Tujuan Kemitraan dan Hasil yang Diharapkan
138
b. Pelaku Kemitraan :
139
4) Organisasi Profesi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia ( IAKMI), PPPKMI (Perkumpulan
Promosi dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia), PPNI
(Persatuan Perawat Nasional Indonesia)
5) Dunia usaha
- Perusahaan Obat anti nyamuk,(PT. Unilever brand Domestos Nomos)
Produsen Insektisida, Produsen Larvasida,
- Perusahaan Obat (PT. Kalbe Farma Brand Minuman Fatigon dan
Proris)
- Perusahaan Perminyakan
2. POKJANAL DBD
Gerakan PSN DBD adalah keseluruhan kegiatan masyarakat dan
pemerintah untuk mencegah penyakit DBD, yang disertai pemantauan secara
terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari
keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD.
Pendekatan penggerakan Peran Serta Masyarakat pada dasarnya tidak
dapat dilakukan secara parsial agar lebih optimal, peran serta masyarakat
harus dibina dan di organisasikan karena peran serta masyrakat itu
melibatkan banyak pihak namun perlu satu sistem melalui POKJANAL.
a. Dasar Pembentukan:
1) Acuan Dasar pembentukan POKJANAL Demam Berdarah Dengue :
KEPMENKES 581/VII/1992 : Tentang Pemberantasan Penyakit DBD
2) Disain Pengorganisasiannya : Dibawah dan bertanggung jawab kepada
Tim Pembina LKMD di setiap tingkatan.
3) Saat masih ada TP. LKMD ketua TP.LKMD Tingkat Pusat adalah
Mendagri, demikian seterusnya di daerah, sehingga ada rentang kendali
Pusat Daerah yang jelas.
140
4) Disain pengorganisasian berdasarkan UU Nomor : 32 tahun 2004 dibawah
dan bertanggung jawab kepada Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan
POKJA DBD Desa/Kel Kepada kepala Desa/Lurah.
5) Peran DEPDAGRI dan Pemda:
a) Pasal 217 UU 32/2004 : PEMBINAAN
(1) Koordinasi pemerintahan antar susunan
(2) Pemberian pedoman dan standar
(3) Pemberian bimbingan dan supervisi
(4) Diklat
(5) Manajemen pemerintahan
b) Pasal 218 UU 32/2004 : PENGAWASAN
Atas penyelenggaraan Pemerintah daerah.
c) Pasal 222 UU 32/2004 :
(1) Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah nasional di koordinasikan Mendagri
(2) Pembinaan & Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah
Kab/Kota oleh Gubernur
d) PERPRES No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009.
e) Bab 28 Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
141
Tabel 19. IKHTISAR KEGIATAN PSN
C. PENYULUHAN KESEHATAN
Tujuan akhir penyuluhan kesehatan masyarakat adalah terjadinya
perubahan perilaku sasaran. Perubahan perilaku tersebut dapat berupa
pengetahuan, sikap maupun tindakan atau kombinasi dari ketiga komponen
tersebut. Agar kegiatan penyuluhan dapat mencapai hasil maksimal, maka metode
dan teknik penyuluhan perlu mendapat perhatian yang besar pula.
142
Lampiran 1. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN
143
MATERI INTI 2 : Surveilans Kasus DBD
WAKTU : T 2 JPL, P 2 JPL
Tujuan Pembelajaran Umum :
Peserta mampu melaksanakan surveilans kasus DBD di wilayah kerjanya.
Tujuan Pembelajaran Pokok Bahasan/ Media &
No Metode
Khusus Sub Pokok Bahasan Alat Bantu
1 Dapat menjelaskan Pokok Bahasan Tujuan dan Ceramah, LCD,
pengertian dan tujuan pengertian surveilans DBD: tanya jawab komputer
surveilans DBD 1. Tujuan surveilans & praktek & bahan
2. Pengertian ajar
3. Definisi Operasional
2 Dapat menjelaskan Pokok Bahasan :Sistem Ceramah, LCD,
sistem pelaksanaan PelaksanaanSurveilans dalam tanya jawab komputer
surveilans dalam pengendalian DBD: & praktek & bahan
pengendalian DBD 1. Jenis Sumber data ajar
2. Peran Unit Pelaksana
3. Strategi dan pelaksanaan
surveilans pengendalian DBD
3 Dapat menjelaskan Pokok Bahasan :Kegiatan Ceramah, LCD,
sistem pelaporan dan surveilans DBD di berbagai tanya jawab komputer
kegiatan surveilans tingkat administrasi: & praktek & bahan
kasus DBD 1. Tingkat Puskesmas ajar
2. Tingkat Kabupaten/kota
3. Tingkat provinsi
144
4. Pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) DBD
5. Pengendalian vektor terpadu
4 Dapat Melaksanakan Pokok Bahasan : Kegiatan Ceramah, LCD,
kegiatan pengendalian pengendalian vektor DBD : tanya jawab komputer
vektor DBD 1. Kegiatan pengendalian & praktek & bahan
vektor di tingkat administrasi ajar
2. Operasional pengendalian
vektor
3. Kegiatan pengendalian
vektor pada KLB DBD
5 Dapat Melaksanakan Pokok Bahasan : Pelaporan Ceramah, LCD,
pelaporan dan dan Evaluasi hasil pengendalian tanya jawab komputer
evaluasi hasil vektor : & praktek & bahan
pengendalian vektor 1. Pelaporan hasil ajar
DBD pengendalian vektor
2. Evaluasi hasil pengendalian
vektor
145
MATERI INTI 5 : Penyelidikan Epidemiologi, Penanggulangan Fokus dan
Penanggulangan KLB
WAKTU : T 1 JPL, P 2 JPL
Tujuan Pembelajaran Umum :
Peserta mampu melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi, penanggulangan fokus
dan penanggulangan KLB DBD.
Tujuan Pembelajaran Pokok Bahasan/ Media &
No Metode
Khusus Sub Pokok Bahasan Alat Bantu
1 Dapat menjelaskan POKOK BAHASAN: KONSEP Ceramah, LCD,
konsep PE, PF, dan PENYELIDIKAN tanya jawab komputer
KLB dan Dapat EPIDEMIOLOGI (PE) : & praktek & bahan
melaksanakan PE dan 1. Konsep PE ajar
PF 2. Konsep PF
2 Dapatmelaksanakan POKOK BAHASAN : Ceramah, LCD,
penanggulangan KLB PENANGGULANGAN tanya jawab komputer
KEJADIAN LUAR BIASA : & praktek & bahan
1. Konsep KLB ajar
2. Langkah-langkah
pelaksanaan
penanggulangan KLB
3. Evaluasi Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa (KLB)
MATERI INTI 6 : Pengoperasian Alat dan Bahan Pengendalian Vektor
WAKTU : T 2 JPL, PL4 JPL
Tujuan Pembelajaran Umum :
Peserta mampu melakukan pengoperasian alat dan menjelaskan bahan pengendalian vektor
DBD.
Tujuan Pembelajaran Pokok Bahasan/ Media &
No Metode
Khusus Sub Pokok Bahasan Alat Bantu
1 Melakukan Pokok Bahasan : Mesin hot Ceramah, LCD,
pengoperasian mesin fogger (pengkabut panas) : tanya jawa, komputer
hot fogger 1. Petunjuk Teknis diskusi & & bahan
Pengoperasian Mesin hot praktek ajar
fogger
2. Petunjuk teknis perbaikan hot
fogger
3. Petunjuk Teknis perawatan
mesin hot fogger
147
MATERI
148
PENUNJANG
1 Building Learning Setelah mengikuti Setelah mengikuti sesi ini : 1. Pengertian BLC - Ceramah - LCD 3 JP 1. Desain Pembelajaran,
Comittmen (BLC) sesi ini: Peserta latih mampu : 2. Pencairan kelas - Tanya jawab - Laptop Robinson, dkk, Univ.
Peserta latih mampu Terbuka, Jakarta, 2004
1. Menampilkan suasana 3. Mengenal diri sendiri - Penugasan/ - Sound
menampilkan norma kelas yang yang rilek dan orang lain permain an
kelas dalam proses dan cair. 2. BLC, Pedoman Lak
4. Norma / nilai-nilai system
pembelajaran. Diklat WI, LAN RI,
2. Mengenal dirinya dan harapan - Flip
dan orang lain Jakarta, 2005
5. Komitmen nilai kelas chart
3. Menyadari dan memilih 6. Kontrol kolektif - kertas
nilai yang baik dalam 3. Kumpulan instrumen
7. Pemilihan pengurus kerja
pembelajaran yang diklat (pegangan
kelas
efektif fasilitator), Pusdiklat,
4. Berpegang teguh pada BPP-SDM, Kes, Jakarta,
norma kelas dalam 2002
proses pembelajaran.
5. Menyatakan setuju 4. Pedoman Penyusunan
dengan kontrol kolektif Kurimod berorientasi
6. Menyepakati pengurus pembelajaran, Pusdiklat,
kelas. Jakarta, 2004
5. Pedoman
Penyelenggaraan Diklat
2 Rencana Tindak Setelah mengikuti Setelah mengikuti sesi ini : 1. Pengertian RTL - Ceramah - LCD 2 JP Kewidyaiswaraan
Lanjut sesi ini mampu Peserta latih mampu : 2. Ciri-ciri RTL - Tanya jawab - Laptop berjenjang, 2005
menyusun rencana
1. Menjelaskan pengertian 3. Tujuan penyusunan - Penugasan/ - Sound
tindak lanjut
RTL RTL permain an
2. Menjelaskan ciri-ciri RTL 4. Ruang lingkup RTL system
3. Menjelaskan tujuan 5. Cara penyusunan - Flip
penyusunan RTL RTL chart
4. Menjelaskan ruang
lingkup RTL
5. Menyusun RTL
Lampiran BAB II Kebijakan
Lampiran 1
149
13. PERMENKES No. 949 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (KLB). (Lampiran latar belakang penyakit yang sering
menimbulkan KLB)
14. PERMENKES No. 1575 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan (Bab VI Ps. 380 s/d 390, Ps.458 s/d 460, 466-468)
15. KEPMENKES R.I No.829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Kesehatan Perumahan
(Lampiran C persyaratan kesehatan Lingkungan no.6)
16. KEPMENKES No. 261 Tahun 1998 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja (BAB II Persyaratan H. Tentang vektor penyakit ) .
17. KEPMENKES No. 829 Tahun 1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan
18. KEPMENKES No. 1116 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Kesehatan (III. Penyelenggaran sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan No. D.1.d)
19. KEPMENKES No. 1457 Tahun 2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota. (P. Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD)
20. KEPMENKES No. 1479 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
(lampiran Jenis-jenis penyakit no.5. bersumber RS. No.21)
21. KEPMENKES No. 131 Tahun 2004 Tentang Sistem Kesehatan Nasional
22. KEPMENKES No. 1091 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. (Lampiran keputusan no urut P.
Pencegahan dan pemberantasan Penyakit Demam Berdarah)
23. KEPMENKES No. 1204 Tahun 2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit ( Lampiran , Tatalaksana RS, no.5.b.10; VI.C.1.a)
24. KEPMENKES No. 331 Tahun 2005 Tentang Rencana Strategis Departemen
Kesehatan 2005 2009
25. KEPMENKES RI No.1350/MENKES/SK/XII/2001 Tentang Pestisida, DEPKES RI ,
Jakarta Tahun 2004. (Bab 1. Ketentuan Umum Ps.1, Bab III P, BAB II, Ps 2,3, Bab III
Ps 4 s/d7, Bab IV Ps.9 s/d 13, Bab V Ps14 s/d 19, BAb VI Ps. 20, BAB VII Ps 21)
26. PERDA (Peraturan Daerah)
CONTOH :
a. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2044 Tahun 2004 Tentang Satuan
Biaya Untuk Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE), Pengasapan
(Fogging), Operasional ULV, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dan
Pemantauan Jentik Berkala (PJB) Di Provinsi Daerah Ibukota Jakarta
b. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 447 Tahun 2005 Tentang
Penanggulangan Waspada Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Demam
Berdarah Dengue di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
c. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 11 Tahun 2003
Tentang Kewaspadaan Dini Terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue di
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
d. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 39 Tahun 2004
Tentang Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Lingkungan Kelurahan Provinsi DKI Jakarta
150
e. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 115 Tahun 2005
Tentang Antisipasi Perkembangan Situasi Musim Hujan di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
f. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta No. 5681 Tahun 2005 Tentang Penetapan Penggunaan Anggaran
Swadana Puskesmas Untuk Kegiatan Penanggulangan Demam Berdarah
Dengue di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
g. Surat Edaran Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 46/SE/2004
Tentang Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue
(PSN-DBD) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
h. Surat Ketua Umum Tim Penggerak PKK Pusat Tanggal No.
500/SKR/PKK.PST/IX/94 Kepada Ibu Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Dati I di
Seluruh Indonesia Perihal Penyuluhan dan Motivasi tentang Gerakan PSN-DBD
i. KEPMENKES No. 331 Tahun 2005 Tentang Rencana Strategis Departemen
Kesehatan 2005 - 2009
151
Lampiran 2
152
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 27 Juli 1992
153
LAMPIRAN KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN R.I.
NOMOR:581/MENKES/SK/VII/1992.
TANGGAL : 27 JULI 1992
BAB I
PENDAHULUAN
1. Penyakit Demam Berdarah Dengue disebabkan virus dan ditularkan lewat nyamuk
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, yang cenderung
semakin luas penyebarannya sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk.
2. Seluruh wilayah Indonesia, mempunyai risiko untuk kejangkitan penyakit Demam
Berdarah Dengue karena virus penyebab dan nyamuk penularnya (Aedes aegypti)
tersebar luas, baik di rumah-rumah maupun di Tempat Umum, kecuali yang
ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.
3. Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang:
a. Terutama menyerang anak
b. Ditandai dengan panas tinggi, perdarahan dan dapat menimbulkan renjatan dan
kematian
c. Termasuk salah satu penyakit yang dapat menimbulkan wabah.
4. Pemberantasan penyakit demam berdarah dengue pada dasarnya dilakukan sesuai
dengan pemberantasan penyakit menular pada umumnya, namun mengingat vaksin
untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum ditemukan, maka
pemberantasan penyakit demam berdarah dengue dilaksanakan terutama dengan
memberantas nyamuk penularnya.
5. Untuk memberantas penyakit demam berdarah dengue diperlukan pembinaan peran
serta masyarakat guna mencegah dan membatasi penyebaran penyakit.
6. Pembinaan peran serta masyarakat dilaksanakan dengan penyuluhan dan motivasi
kepadamasyarakat. Oleh karena itu pemberantasan penyakit demam berdarah dengue
dilaksanakan melalui kerjasama lintas program dan sektoral yang dikoordinasikan oleh
kepala Wilayah/Daerah.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan Tujuan Keputusan ini adalah memberikan pedoman bagi masyarakat, tokoh
masyarakat, petugas kesehatan dan sektor-sektor terkait dalam upaya bersama mencegah
dan membatasi penyebaran penyakit demam berdarah dengue sehingga terjadinya kejadian
luar biasa/wabah dapat dicegah dan angka kesakitan dan kematian dapat diturunkan
serendah-rendahnya.
BAB III
DASAR HUKUM
154
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, tambahan Lembaran Negara Nomor 3037).
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ( Lembaran Negara,
Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153).
4. Undang-undang No.4 tahun 1984 tentang wabah Penyakit Menular ( Lembaran Negara
Tahun 1984 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan sebagian Urusan
Pemerintahan dalam Bidang Kesehatan kepada Daerah (Lembaran Negara Tahun 1987
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3347)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi
Vertikal daerah.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3447)
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan
dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa Menjadi Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang jenis Penyakit
Tertentu yang dapat menimbulkan wabah, Tata Cara Penyampaian Laporannya dan
Tata cara Penanggulangan Seperlunya.
BAB IV
PENGERTIAN
1. Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam
mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah,
nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae,
lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah
darah, kesadaran menurun atau renjatan (Shock).
2. Penderita/tersangka adalah orang sakit dengan tanda-tanda seperti pada butir 1 atau
sekurang-kurangnya panas tanpa sebab jelas dan petichiae atau tanda perdarahan
lainnya.
3. Pengamatan penyakit adalah kegiatan mencatat jumlah penderita/tersangka penyakit
demam berdarah dengue menurut waktu dan tempat (wilayah) kejadian, yang
dilaksanakan secara teratur.
4. Pemusnahan penyebab penyakit adalah penyemprotan insektisida untuk membasmi
nyamuk pembawa virus dengue.
5. Pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue adalah semua upaya untuk
mencegah dan menangani kejadian Demam Berdarah Dengue termasuk tindakan untuk
membatasi penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue.
6. Penyelidikan epidemiologi adalah kegiatan pelacakan penderita/tersangka lainnya dan
pemeriksaan jentik nyamuk penular penyakit demam berdarah dengue di rumah
penderita/tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius sekurang-kuranya 100
meter, serta tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penyebaran penyakit lebih
lanjut.
155
7. Penanggulangan seperlunya adalah penyemprotan insektisida dan /atau
pemberantasan sarang nyamuk yang dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan
epidemiologi.
8. Kejadian luar biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian
penyakit demam berdarah dengue yang bermakna secara epidemiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu.
9. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) adalah pemeriksaan tempat penampungan air dan
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk mengetahui adanya jentik
nyamuk, yang dilakukan di rumah dan tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya
tiap 3 bulan untuk mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk penular penyakit demam
berdarah dengue.
10. Abatisasi adalah penaburan insektisida pembasmi jentik pada tempat penampungan air.
11. Rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal termasuk bangunan yang digunakan
untuk usaha kecil seperti warung, toko,industri-rumahan, dan mushola.
12. Tempat umum ialah bangunan untuk pelayanan umum seperti sekolah, hotel/losmen,
asrama, rumah makan, tempat rekreasi, tempat industri/pabrik, kantor, terminal/stasiun,
stasiun pompa bensin, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, dimana
kemungkinan terjadinya penularan tinggi.
13. Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah persentase rumah dan/atau Tempat Umum yang tidak
ditemukan jentik, pada pemeriksaan jentik berkala.
14. Desa/kelurahan rawan adalah desa/kelurahan yang dalam 3 tahun yang terakhir
kejangkitan penyakit demam berdarah dengue, atau yang karena keadaan
lingkungannya (antara lain karena penduduknya padat, mempunyai hubungan
transportasi yang ramai dengan wilayah lain), sehingga mempunyai risiko untuk kejadian
luar biasa.
BAB V
TANDA-TANDA DAN PENYEBARAN
PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
Upaya pemberantasan penyakit demam berdarah dengue dilaksanakan dengan cara tepat
guna oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat yang meliputi : (1) pencegahan, (2)
penemuan, pertolongan dan pelaporan, (3) penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit demam berdarah dengue, (4) penanggulangan seperlunya, (5) penanggulangan
lain dan (6) penyuluhan.
1. PENCEGAHAN
Pencegahan dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan Tempat umum dengan
melakukan Pemberantasan sarang Nyamuk (PSN) yang meliputi:
a. menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali, atau
menutupnya rapat-rapat.
b. Mengubur barang bekas yang dapat menampung air
c. Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi)
d. Memelihara ikan
e. Cara-cara lain membasmi jentik.
158
b. Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan oleh petugas kesehatan dibantu oleh
masyarakat, untuk mengetahui luasnya penyebaran penyakit dan langkah-langkah
untuk membatasi penyebaran penyakit sebagai berikut:
1) Petugas Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi.
2) Keluarga penderita dan keluarga lain disekitarnya membantu kelancaran
pelaksanaan penyelidikan.
3) Kader, Ketua RT/RW, Ketua lingkungan, Kepala Dusun, LKMD, membantu
petugas kesehatan dengan menunjukkan rumah penderita/tersangka dan
mendampingi petugas kesehatan dalam pelaksanaan penyelidikan epidemiologi.
c. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan adanya kejadian
luar biasa kepada Camat dan Dinas Kesehatan Dati II, disertai rencana
penanggulangan seperlunya.
4. PENANGGULANGAN SEPERLUNYA
a. Penanggulangan seperlunya dilakukan oleh petugas kesehatan dibantu oleh
masyarakat untuk membatasi penyebaran penyakit.
b. Jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan hasil penyelidikan epidemiologi
sebagai berikut:
1) Bila:
- ditemukan penderita/tersangka demam berdarah dengue lainnya
atau
- ditemukan 3 atau lebih penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukan
jentik dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus interval 1 minggu) disertai
penyuluhan di rumah penderita/tersangka dan sekitarnya dalam radius 200
meter dan sekolah yang bersangkutan bila penderita/tersangka adalah anak
sekolah.
2) Bila terjadi Kejadian Luar Biasa atau wabah, dilakukan penyemprotan insektisida
(2 siklus dengan interval 1 minggu) dan penyuluhan di seluruh wilayah yang
terjangkit.
3) Bila tidak ditemukan keadaan seperti di atas, dilakukan penyuluhan di
4) RW/Dusun yang bersangkutan.
c. Langkah Kegiatan
1) Pertemuan untuk musyawarah masyarakat desa dan RW/Lingkungan/ Dusun
2) Penyediaan tenaga untuk pemeriksa jentik dan penyuluhan untuk dilatih
3) Pemantauan hasil pelaksanaan di tiap RW/lingkungan/Dusun.
BAB VIII
PEMBINAAN PELAKSANAAN
159
a. POKJANAL DBd tingkat Kecamatan, tingkat dati II dan tingkat Dati I, masing-masing
dibentuk oleh Camat, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk II, Gubernur Kepala
daerah TK I, dan merupakan forum koordinasi dalam wadah Tim Pembina LKMD.
Anggotanya terdiri dari unsur instansi dan lembaga terkait dalam pembinaan
pelaksanaan pemberantasan penyakit demam berdarah dengue termasuk Tim
Penggerak PKK Pusat, tingkat 1, tingkat II dan PKK Tingkat Kecamatan.
b. POKJANAL DBD Tingkat Pusat dibentuk oleh menteri Kesehatan, Departemen
Dalam Negeri, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Departemen Penerangan,
Departemen Agama, Departemen Keuangan, Bappenas, Departemen Sosial, Tim
Penggerak PKK Pusat dan instansi lain terkait.
160
e. Mekanisme kerja POKJANAL DBD dilaksanakan melalui pendekatan fungsional yaitu
dengan memperhatikan tugas pokok, fungsi, kewenangan dan tanggung jawab
masing-masing instansi dalam semangat kebersamaan dan keterpaduan.
f. Hubungan kerja POKJANAL DBD dengan POKJANAL lain yang ada pada tingkat
pemerintahan yang sama, berdasarkan koordinasi dan konsultasi.
5. Langkah Kegiatan
a. Analisa situasi penyakit demam berdarah dengue termasuk keadaan nyamuk (jentik)
penular demam berdarah dengue.
b. Stratifikasi desa rawan berdasarkan besarnya masalah penyakit demam berdarah
dengue
c. Penentuan desa rawan yang diprioritaskan sebagai sasaran program.
d. Menyusun rencana kegiatan pemberantasan yang ditetapkan dan disetujui oleh
Kepala Wilayah/Daerah.
e. Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tanggung jawab masing-masing tingkatan
pemerintahan
f. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan
g. Pembinaan dan tindak lanjut.
BAB IX
PEMBIAYAAN
BAB X
PENGHARGAAN
161
Lampiran 3
MATERI 1
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NO.4 TAHUN 1984
TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor II/MPR/1983
tentang Garis-Garis Besar haluan Negara;
3. Undang-undang nomor 9 Tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan
(lembaran negara tahun 1960 nomor 131, Tambahan lembaran negara
nomor 2068)
4. Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 no.38.
Tambahan lembaran Negara Nomor 3037).
5. Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa
(lembaran Negara tahun 1979 nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
nomor 3135);
6. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pengelolaan lingkungan hidup (lembaran Negara Tahun 1982
nomor 12, tambahan lembaran negara nomor 3215)
Dengan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
MEMUTUSKAN
Dengan mencabut undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah (lembaran negara
tahun 1962 nomor 12. tambahan lembaran negara nomor 2390) dan Undang-undang nomor
7 tahun 1968 tentang perubahan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1962 tentang
Wabah ( lembaran negara Tahun 1968 Nomor 38. tambahan lembaran negara nomor 2855).
Menetapkan : Undang-undang tentang wabah penyakit menular
162
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Maksud dan tujuan Undang-Undang ini adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka
yang ditimbulkan wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat.
BAB III
JENIS PENYAKIT YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH
Pasal 3
Menteri menetapkan jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah termasuk
Demam Berdarah Dengue
BAB IV
DAERAH WABAH
Pasal 4
(1) Menteri menetapkan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang yang terjangkit
wabah sebagai daerah wabah
(2) Menteri mencabut penetapan daerah wabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.
BAB V
UPAYA PENANGGULANGAN
Pasal 5
(1) Upaya penanggulangan wabah meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologis:
163
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan
karatina:
c. Pencegahan dan pengebalan
d. Pemusnahan penyebab penyakit
e. Penanganan jenasah akibat wabah
f. Penyuluhan kepada masyarakat
g. Upaya penanggulangan lainnya
(2) Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan ketentuan ayat (10 dan ayat (2) diatur dengan Peraturan pemerintahan.
Pasal 6
(1) Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1)
dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif
(2) Tata cara dan syarat-syarat perans serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 7
Pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan
wabah diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 8
(1) Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya
penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dapat diberikan
ganti rugi
(2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 9
(1) Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko
yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.
(2) Pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 10
Pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabahn
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1)
Pasal 11
(1) Barang siapa yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang
mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit sebagaimana
164
dimaksud dalam pasal 3. wajib melaporkan kepada kepala desa atau lurah dan atau
kepala unit kesehatan tedekat dalam waktu secepatnya.
(2) Kepala unit Kesehatan dan/atau Kepala desa atau lurah setempat sebagaimana
dimasuk dalam ayat (1) masing-masing segera melaporkan kepada atasan langsung
dan instansi lain yang bersangkutan.
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
serta tata cara penyampaian laporan adanya penyakit yang dapat menimbulkan wabah
bagi nakoda kendaraan air dan udara, diatur dengan dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 12
(1) Kepala wilayah/daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah di
wilayahnya atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan
wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan penanggulangan seperlunya.
(2) Tata cara penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
peraturan perundangan-undangan.
Pasal 13
Barang siapa mengelola bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat
menimbulkan wabah. Wajib mematuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 7.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
(1) Barang siapa yang sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah
sebagaima diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-
lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1000.000,- (satu juta
rupiah)
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengelola secara tidak benar bahan-bahan
bagaimana di atur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-
lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya
(3) Tindak Pidana sebagai dimaksud dalam dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan
tindak pidana sebagaima dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Pasal 15
(1) Barang siapa dengan sengaja mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana
diatur dalan undang-undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan
pidana penjara selama-lamanya 10 ( sepuluh) tahun dan /atau denda stinggi-tinginya
Rp. 10.000.000 ( sepuluh juta rupiah)
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengelola secara tidak benar bahan-bahan
bagaimana diatur dalam undang-undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah,
diancam dan/ atau denda setingi-tingginya Rp.10.000.000 ( sepuluh juta rupiah)
165
Lampiran Materi Inti 3 : Surveilans dan Pengendalian Vektor
PANDUAN PENUGASAN
SURVEILAN DAN PENGENDALIAN VEKTOR DBD
Penugasan :
1. Sebagai tenaga program DBD di Propinsi, Kab/Kota dan Puskesmas, anda diminta
mengkoordinasikan dan melaksanakan kegiatan survei vektor
2. Fasilitator membagi peserta menjadi 6 kelompok, tiap-tiap kelompok terdiri dari 5
orang.
3. Fasilitator membagikan alat dan bahan penugasan kepada masing-masing kelompok.
4. Tiap kelompok menyusun rencana kegiatan surveilan DBD (sampel ditentukan
secara acak/sistematic random sampling).
5. Kemudian tiap kelompok mempresentasikan hasil kegiatan tersebut.
B. Praktik Laboratorium/Kelas
166
KARTU JENTIK RUMAH / BANGUNAN*
(.......................................................)
167
FORMULIR JPJ-1
(.......................................................)
168
FORMULIR PJB-1
* ABJ (Angka Bebas Jentik): Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan (bebas) jentik
dibagi jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa, dikalikan 100%.
Kepala Puskesmas,
(.........................................)
169
FORMULIR PJB-2
KABUPATEN/KOTA : .................................................................................
HI, CI,
Tanggal Kecamatan & Jumlah Jumlah BI, ABJ*
No pemeriksaan Kelurahan yang rumah/bangunan rumah/bangunan desa/
jentik diperiksa yang diperiksa yang positif jentik kel.
(%)
* ABJ (Angka Bebas Jentik): Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan (bebas) jentik
dibagi jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa, dikalikan 100%.
Kepala ...........................
(.......................................................)
170
FORMULIR PJB 3
PROPINSI : ..........................................................................................
* ABJ (Angka Bebas Jentik): Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan (bebas) jentik
dibagi jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa, dikalikan 100%.
* HI
* CI
* BI
Kepala ......
(.......................................................)
171
Lampiran Materi 4. Tata Laksana
Lampiran 1
Form-So
FORMULIR RUJUKAN PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Kepada yth,
Kepala RS./ Puskesmas Rawat Inap......................................................
di-
........................................................
DIAGNOSIS KLINIS:
****)
-DD/DBD/SSD/EDS
.........................................., 20...........
( ............................................. )
172
Lampiran 2
Form KD/RS-DBD
PEMBERITAHUAN PENDERITA INFEKSI DENGUE
(Dikirimkan dalam 24 jam setelah diagnosis awal ditegakkan)
RS/PUSKESMAS*) :
Kepada Yth
Dinas Kesehatan Kab/Kota ........
di ..............................................
Bersama ini kami beritahukan bahwa kami telah memeriksa/merawat seorang pasien.
No. Rekam Medik : ................................................................................
Nama : ......
Umur : tahun
Jenis Kelamin : L/P*)
Nama orang tua/KK : .......
Alamat rumah : Jl..No.telp/HP:..
RTRW/RK................
Kelurahan/Desa :.Kecamatan :..
Tanggal mulai sakit : ..20............
Tanggal mulai dirawat/diagnosis dibuat : ..20............
(______________________________)
Tembusan :
Kepada Yth : Kepala Puskesmas ________________________
*) : Lingkari yang dipilih
**) : Bubuhkan tanda check ( ) pada box
**) : Bubuhkan tanda Check () pada box.
Studi Kasus 1
Studi Kasus 2
Sepasang suami istri membawa seorang anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun ke ruang
UGD RSUD di Kota A pada tanggal 18 Oktober 2011 pukul 20.00 WIB, setelah diperiksa
oleh dokter diperoleh data berikut:
Anamnesa
- Seorang anak laki-laki, umur 6 tahun, berat badan 16 kg, datang dengan keluhan badan
panas sejak 3 hari sebelum masuk RS.
- Badan panas tinggi mendadak, terus menerus, tidak menggigil, tidak ada keringat malam
dan tidak kejang, dan kepala terasa nyeri.
- Pasien juga mengeluh perut terasa sakit menyeluruh, tanpa disertai mual dan muntah,
nafsu makan menurun dan badan terasa lemas disertai dengan terlihatnya bintik bintik
merah pada kulit tangan dan kaki pasien.
Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 100 / 70 mmHg
- Nadi : 130 x / menit, reguler, teraba kuat dan cepat
- Suhu : 38,10 C
- Respirasi : 38 x / menit
- Konjungtiva : Hiperemis
- Mulut : Bibir kering, sianosis (-), lidah kotor tidak hiperemis,
perdarahan gusi (-)
- Abdomen : Nyeri tekan epigastrium dan hipogastrium
Hepar teraba 2/4 x 1/4, konsistensi lunak, permukaan rata, tepi sulit dinilai Nyeri ketok (+)
- Ekstremitas : * Superior : Akral teraba hangat, Uji tourniket/ rumple leed (+)
* Inferior : Akral teraba hangat, refleks patologik (-)
175
Pertanyaan:
Studi Kasus 3
1. Pelatih meminta peserta memperagakan cara melakukan uji bendung (uji tourniket)
2. Pelatih dapat merancang studi kasus tambahan lainya sesuai kebutuhan pelatihan dan
target peserta latih pada saat pelatihan!
176
Lampiran Materi Inti 5 : Penyelidikan Epidemiologi, PF, Dan Penanggulangan KLB
Lampiran 1
(Formulir PE)
Jumlah
Kesimpulan:
- Perlu pengasapan (fogging)
Ya ** Tidak
(..............................................) (..............................................)
177
Lampiran 2
PUSKESMAS .
DINAS KESEHATAN KEBAPATEN/KOTA*) ..
., ..20..
Nomor : .
Lapiran : Hasil Penyelidikan Epidemiologis DBD
Kepada
Yth : Lurah/Kades ...............................
di-
Tempat
Dengan hormat,
Bersama ini kami beritahukan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan kami di lokasi
penderita dan bangunan di sekitar tempat tinggal penderita DBD:
Nama Penderita: .
Umur : .....
Nama KK : .
Alamat : .
RT : . RW : . Kel/Desa : .......
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, mohon kepada warga masyarakat setempat
diminta untuk berperan serta dan membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut.
Atas perhatian dan bantuan nya kami ucapkan terimakasih.
PUSKESMAS .
DINAS KESEHATAN KABUPATEN /KOTA*)
..,.. 20
Nomor :
Lampiran : Hasil Pelaksanaan Penanggulangan DBD
BERITA ACARA
Dengan hormat,
Mengetahui,
Kepala Desa ....... Kepala Puskesmas .......
(......................................) ( .)
NIP.
179
Lampiran 4
(Form: P-DBD)
Puskesmas : ........................................
Kab/Kota : .........................................
Propinsi : .........................................
Triwulan : .........................................
Kab/Kota Fogging Larvasidasi
PJB Angka Bebas Jentik
Kecamatan/ Massal Selektif
Puskesmas/
No Kel/ Kel/ Kel/ RS/ TTU**)
Kelurahan/ Rumah Rumah Rumah Rumah Sekolah
Desa Desa Desa Pusk. Lain
Desa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
JUMLAH
(.................................................)
NIP.
180
Lampiran Materi Inti 6 : Pengoperasian Alat Dan Bahan Pengendalian Vektor
PANDUAN PRAKTIKUM
PENGOPERASIAN ALAT DAN BAHAN PENGENDALIAN VEKTOR
b) Persiapan
1) Buat peta/sketsa wilayah yang akan di fogging yang memuat batas wilayah dan
jumlah rumah.
2) Buat surat pemberitahuan dan permintaan bantuan tenaga pengantar kepada RT,
RW atau Lurah tentang akan dilakukannya fogging diwilayahnya.
3) Siapkan tenaga pelaksana berdasarkan jumlah rumah atau areal yang akan di
fogging, yang terdiri dari Supervisor, Kepala Regu, dan Petugas Fogging .
4) Siapkan alat bantu operasional seperti kendaraan, jerigen dll.
5) Siapkan perlengkapan petugas seperti pakaian lapangan, masker dll.
6) Siapkan insektisida, bahan pelarut (solar) dan bahan bakar.
c) Pelaksanaan
1) Supervisor mengkoordinir seluruh kegiatan fogging.
2) Kepala Regu memimpin pelaksanaan fogging agar tercapai target yang
direncanakan.
3) Petugas fogging melakukan fogging sesuai dengan petunjuk dari kepala regu.
Fogging dilakukan diseluruh area yang direncanakan, dimulai dari ujung arah
angin.
Fogging dimulai dari dalam rumah yang paling belakang, keluar melalui pintu
depan kemudian luar rumah dimulai dari ujung arah angin.
Untuk rumah tingkat dimulai dari lantai atas terus kebawah.
181
b) Persiapan
1) Buat peta/sketsa wilayah yang akan di fogging yang memuat batas wilayah dan
jalan yang dapat dilalui mobil pengangkut ULV.
2) Buat surat pemberitahuan dan permintaan bantuan tenaga pengantar kepada
RW atau Lurah tentang akan dilakukannya penyemprotan diwilayahnya.
3) Siapkan tenaga pelaksana berdasarkan jumlah mesin ULV dan areal yang akan
disemprot, yang terdiri dari Supervisor, Kepala Regu, Pengemudi, Operator dan
Teknisi.
4) Siapkan alat bantu operasional seperti kendaraan pengangkut ULV, sepeda motor,
jerigen dll.
5) Siapkan perlengkapan petugas seperti pakaian lapangan, masker dll.
6) Siapkan insektisida dan bahan bakar.
c) Pelaksanaan
1) Supervisor mengkoordinir seluruh kegiatan penyemprotan.
2) Kepala Regu memimpin pelaksanaan penyemprotan agar tercapai target yang
direncanakan.
3) Pengemudi menjalankan kendaraan pengangkut ULV sesuai dengan petunjuk
kepala regu dengan kecepatan 5 Km per jam.
4) Operator mengoperasikan mesin ULV dari atas kendaraan.
5) Teknisi membantu operator dan mengatasi gangguan/kerusakan mesin di
lapangan.
Penyemprotan dilakukan diseluruh area yang direncanakan, dimulai dari ujung arah
angin.
Penyemprotan dilakukan pada pagi dan sore hari pada keadaan suhu dan kecepatan
angin rendah.
182
Lampiran
Perhitungan
Kebutuhan tenaga & bahan insektisida dalam pengendalian vektor P2DBD
1. Kebutuhan tenaga yang diperlukan, berdasarkan luas wilayah (jumlah rumah/ bangunan
yang akan diliput) dan jumlah alat semprot yang tersedia.
a. Supervisor : 1 orang
b. Regu fogging fokus : 11 orang per 5 mesin fog, yaitu:
- 1 orang kepala regu
- 5 orang penyemprot dan
- 5 orang pembantu penyemprot
c. Tim ULV : 4 orang per 1 mesin ULV, yaitu:
- 1 orang ketua tim
- 1 orang operator
- 1 orang teknisi
- 1 orang pengemudi
183
Bahan pelarut/bahan bakar mesin dan kendaraan:
Solar (pelarut insektisida) : 20 liter per Ha 2 siklus
Premium mesin fog : 6 liter per Ha 2 siklus
Premium mesin ULV : 10 liter per mesin per hari
Premium kendaraan roda 4 : 20 liter per kendaraan per hari
Premium kendaraan roda 2 : 2 liter per kendaraan per hari
Mesin Fog dan ULV
Kebutuhan mesin fog:
Tiap Puskemas : 4 unit
Tiap Kab/Kota :10 unit
Mesin ULV (insektisida digunakan tanpa bahan pelarut/solar):
Tiap Kab/Kota :1 unit
Kebutuhan larvasidasi
Temephos 1% : 40 gram per rumah (1 siklus)
Metoprene 1,3% : 10 gram per rumah (1 siklus)
Piriproksifen 0,5% : 2 gram per rumah (1 siklus)
5 Ha
50 Ha
*) Unit cost (satuan harga) gaji upah setiap petugas disesuaikan dengan standar
masing-masing daerah.
184
Lampiran Materi 7 : Perencanaan dan Supervisi
Lampiran 1
1) Fogging fokus
Satuan biaya fogging fokus dihitung sebagai berikut:
Jumlah
Satuan
Uraian Volume Satuan Biaya
Harga (Rp)
(Rp)
Gaji Upah:
a. Upah penyemprot (15 OH x 2 Ki) 30 OH Rp. .. Rp. .
b. Kepala Regu (3 OH x 2 Ki) 6 OH Rp. .. Rp. .
c. Pengemudi (3 OH x 2 Ki) 6 OH Rp. .. Rp. .
Bahan
a. Bahan pembantu operasional
a1. Solar : 0,5 lt x 628 rmh x 2 ki 628 Lt Rp. .. Rp. .
a2. Premium :
a2.1. Ms.fog :0,075 lt x 628 rmh x 2 ki 94 Lt Rp. .. Rp. .
a2.2. Kendaraan pengangkut :
20 lt x 2 ki 40 Lt Rp. .. Rp. .
b. Penyelidikan Epidemiologi 1 Pt Rp. .. Rp. .
Perjalanan
a. Penyelidikan Epidemiologi &Penyuluhan
(2 Or x 1 OH) 2 OH Rp. .. Rp. .
b. Pengawasan Teknis Operasional
b1. Petugas Puskesmas 2 OH Rp. .. Rp. .
b1. Petugas Kabupaten/Kota 2 OH Rp. .. Rp. .
TOTAL Rp.
185
2) Fogging massal
Satuan biaya fogging massal dihitung sebagai berikut:
Satuan Jumlah
Uraian Volume Satuan Harga Biaya
(Rp) (Rp)
Gaji Upah:
a. Upah penyemprot (50 OH x 2 Ki) 50 OH Rp. .. Rp. .
b. Kepala Regu (10 OH x 2 Ki) 20 OH Rp. .. Rp. .
c. Pengemudi (10 OH x 2 Ki)
Bahan
a. Bahan pembantu operasional
a1. Solar : 10 lt x 50 Ha x 2 ki 1.000 Lt Rp. .. Rp. .
a2. Premium :
a2.1. Ms.fog :1,5 lt x 50 Ha x 2 ki 150 Lt Rp. .. Rp. .
a2.2. Kendaraan pengangkut :
2 Lt x 50 Ha x 2 ki 200 Lt Rp. .. Rp. .
Perjalanan
a. Pengawasan Teknis Operasional
a1. Petugas Puskesmas 10 OH Rp. .. Rp. .
b1. Petugas Kabupaten/Kota 5 OH Rp. .. Rp. .
TOTAL Rp.
Satuan Jumlah
Uraian Volume Satuan Harga Biaya
(Rp) (Rp)
1. Gaji Upah:
- Upah Tim Penyemprot (4 OH x 2 Ki) 8 OH Rp. .. Rp. .
2. Bahan
Premium kendaraan pengangkut ULV
(2 x 20 Lt ) 40 Lt Rp. .. Rp. .
3. Perjalanan
a. Pengawasan Teknis Operasional
a1. Petugas Puskesmas 2 OH Rp. .. Rp. .
b1. Petugas Kabupaten/Kota 1 OH Rp. .. Rp. .
TOTAL Rp.
186
3) Larvasidasi rumah
Satuan biaya larvasidasi rumah dihitung sebagai berikut:
Kegiatan: Larvasidasi rumah
(per desa/kelurahan)
Satuan Jumlah
Uraian Volume Satuan Harga Biaya
(Rp.) (Rp)
Gaji Upah
a Larvasidasi
a1. Petugas : (3000/50 rm x 4 Ki) 240 OH Rp. .. Rp. .
a2. Kepala Regu : (3000/250 rm x 4 Ki) 48 OH Rp. .. Rp. .
b. Penyuluhan/Penggerakan PSN
(2 OH x 4 Ki) 8 OH Rp. .. Rp. .
Bahan
a. Bahan pembantu operasional
(3000/50 Rmh x 1 Pt) 60 PT Rp. .. Rp. .
Perjalanan :
a. Pengawasan Teknis Ops.
a1. Petugas Puskesmas 2 OH Rp. .. Rp. .
a2. Petugas Kabupaten 2 OH Rp. .. Rp. .
Lain-lain
a. Pengangkutan larvasida 25 Kg Rp. .. Rp. .
b. Pelatihan Petugas Larvasidasi
(50 Or x 1 Hr) 50 OH Rp. .. Rp. .
c. Penyelenggaraan PSN 1 PT Rp. .. Rp. .
Jumlah Desa Rp.
4) Larvasidasi sekolah
Satuan biaya larvasidasi sekolah dihitung sebagai berikut:
Kegiatan: Larvasidasi sekolah
(per 15 sekolah)
Satuan Jumlah
Uraian Harga Biaya
Volume Satuan (Rp)
(Rp)
Transport petugas pelaksana (Pusk.) 12 OH Rp. .. Rp. .
(15/5 sek x 4 ki)
Bahan
a. Perlengkapan Larvasidasi 1 PT Rp. . Rp. .
187
5) Pemeriksaan jentik berkala (PJB)
Satuan biaya PJB dihitung sebagai berikut:
Kegiatan: PJB
Satuan Jumlah
Uraian Volume Satuan Harga Biaya
(Rp) (Rp)
Gaji Upah
a. Petugas : 100/20 rmh x 4 kl 20 OH Rp. .. Rp. .
b. Kepala Regu : 100/100 rmh x 4 kl 4 OH Rp. .. Rp. .
Bahan
a. Bahan pembantu operasional 1 PT Rp. .. Rp. .
Perj. Pengawasan teknis Ops.Kab
a. Petugas Puskesmas : 1 or x 1 kl 1 OH Rp. .. Rp. .
b. Petugas Kabupaten : 1 or x 1 kl 1 OH Rp. .. Rp. .
Jumlah 1 Desa Rp. .. Rp. .
(per Desa/Kelurahan)
Satuan Jumlah
Uraian Volume Satuan Harga Biaya
(Rp) (Rp)
Jumlah
188
7) Pemantauan jentik oleh Kader/Jumantik
Satuan biaya pemantauan jentik dihitung sebagai berikut:
189
Lampiran 3
1. Latihan 1
Propinsi A memiliki satu kabupaten endemis yang mempunyai wilayah kerja 15
kecamatan dengan jumlah puskesmas sebanyak 20 puskesmas, 10 kecamatan
diantaranya merupakan daerah endemis DBD, 2 kecamatan sporadis dan 3 kecamatan
bebas/potensial DBD. Dari 10 kecamatan endemis tersebut, 25 Desa diantaranya
merupakan wilayah yang tinggi kasus DBDnya (>5 penderita per desa). Kader/Jumantik
yang telah dilatih di desa yang ada kasus DBDnya sebanyak 100 orang, Pokja DBD
telah terbentuk di setiap desa/kelurahan endemis. Berdasarkan data kasus DBD di
kabupaten :
2. Latihan 2
Kabupaten Saudara mendapat alokasi dana untuk kegiatan pengendalian DBD sebagai
berikut:
190
Lampiran Materi 8
Lampiran 1
INPUT
Apakah buku-buku berikut tersedia?
1 Buku Program Pengendalian DBD Y T
2 Buku Tatalaksana DBD Y T
3 Buku Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jumantik Y T
4 Leaflet DBD, flipchart DBD dan Poster DBD Y T
PROSES
SURVEILLANS KASUS
Apakah data berikut tersedia ?
1 Trend: Grafik kasus/insidens, CFR, jumlah Kab./Kota terjangkit per tahun, Y T
sejak mulai ada DBD.
2 Musim Penularan: Grafik (rata-rata) jumlah kasus per bulan di Provinsi selama 5 Y T
tahun terakhir
3 Grafik maksimum-minimum bulanan kasus, disertai grafik jumlah kasus Y T
tahun ini dan tahun yang lalu untuk Provinsi
4 Grafik maksimum-minimum bulanan kasus, disertai grafik jumlah kasus Y T
tahun ini dan tahun yang lalu untuk Kab./Kota
5 Peta lokasi Kab/Kota endemis (tinggi, sedang, rendah) dan yang Y T
ditanggulangi tahun ini
6 Tabel daftar nama: Kab/Kota endemis, Kecamatan endemis dan jumlah Y T
Puskesmas, non endemis: seluruhnya dan yang ditanggulangi tahun ini
7 Apakah ada buku catatan kasus DBD per Kab./Kota? Y T
8 Apakah ada laporan kasus dari Kab./Kota lebih cepat melalui jalur lain Y T
di luar laporan K-DBD?
9 Apakah ada pemberitahuan kasus dari Provinsi lain ?(cross notification) Y T
10 Berapa lama waktu (time laps) rata-rata antara dirawat sampai ..
dilaksanakan PE & Fogging Fokus
PENANGGULANGAN KASUS
Apakah data di bawah ini tersedia?
1 Daftar rencana kegiatan Provinsi & jadual waktunya (dan realisasinya) Y T
2 Catatan tentang dana untuk penanggulangan kasus (PE, FF, Larvasidasi Y T
dan Penyuluhan) di Provinsi (stok dana)
3 Daftar rencana pengiriman (alokasi) sarana: dana, bahan dan alat Y T
bagi Kab./Kotauntuk penanggulangan kasus (dan realisasinya)
4 Pengadaan insektisida, larvasida dan alat (mesin fog) Y T
5 Daftar inventaris dan stok bahan dan alat di Provinsi & Kab/Kota Y T
mesin fog, ULV, kendaraan dan bahan penyuluhan
191
SURVEILLANS VEKTOR
1 Berapa Kab./Kota yang melakukan PJB
2 Berapa yang sudah masukkan laporan (Form PJB-R dan PJB-TU) Y T
3 Apakah Kab./Kota menyampaikan hasil PJB (Form PJB-R dan PJB-TU) Y T
secara teratur/tersedia? Y T
4 Apakah hasil PJB sudah dianalisa? (Form Khusus: tabel dan diagram) Y T
5 Apakah sudah disusun rencana alokasi Kab./Kota yang akan Y T
melaksanakan survey? Y T
6 Apakah seluruh laporan hasilnya sudah diterima? Y T
7 Vektor: Hasil- hasil survey jentik/PSP Y T
192
CHEKLIST SUPERVISI P2 DBD
TINGKAT KAB./KOTA
INPUT
Apakah buku-buku berikut tersedia?
1 Buku Program Pengendalian DBD Y T
2 Buku Tatalaksana DBD Y T
3 Buku Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jumantik Y T
4 Leaflet DBD, flipchart DBD dan Poster DBD Y T
PROSES
SURVEILLANS KASUS
Apakah data berikut tersedia ?
1 Trend: Grafik kasus/insidens, CFR, jumlah Kelurahan/Desa terjangkit Y T
per tahun, sejak mulai ada DBD.
2 Musim Penularan: Grafik (rata-rata) jumlah kasus perbulan selama 5 tahun Y T
yang terakhir untuk Kelurahan/Desa
3 Grafik maksimum-minimum bulanan kasus, disertai grafik jumlah kasus Y T
tahun ini dan tahun yang lalu untuk Kab./Kota
4 Grafik maksimum-minimum bulanan kasus, disertai grafik jumlah kasus Y T
tahun ini dan tahun yang lalu untuk masing-masing Kecamatan
5 Peta lokasi Kelurahan/Desa rawan DBD ( endemis sporadis, potensial Y T
maupun bebas) dan yang ditanggulangi tahun ini
6 Tabel daftar nama: Kecamatan endemis, dan jumlah Puskesmas,Kelurahan Y T
endemis,sporadis, potensial dan bebas yang ditanggulangi tahun ini
7 Apakah ada buku catatan (rekapitulasi) kasus DBD per Kecamatan? Y T
8 Apakah ada laporan kasus lebih cepat melalui jalur lain di luar lap. KDRS? Y T
9 Apakah dilakukan pengambilan data kasus di RS oleh petugas Dinas Y T
Kesehatan Kab./Kota tiap 1 minggu sekali?
10 Apakah ada pemberitahuan kasus dari Kab./Kota lain ?(cross notification) Y T
11 Berapa lama waktu (time laps) rata-rata antara dirawat sampai ..
dilaksanakan PE & Fogging Fokus
PENANGGULANGAN KASUS
Apakah data di bawah ini tersedia?
1 Daftar rencana kegiatan Kab./Kota & jadual waktunya (dan realisasinya) Y T
2 Catatan tentang dana untuk penanggulangan kasus (PE, FF, Larvasidasi Y T
dan Penyuluhan) di Kab./Kota
3 Laporan pelaksanaan PE, FF, Larvasidasi dan Penyuluhan Y T
4 Pengadaan insektisida, larvasida dan alat (mesin fog) Y T
5 Daftar inventaris dan stok bahan dan alat di Kab/Kota mesin fog, ULV, Y T
kendaraan dan bahan penyuluhan
SURVEILLANS VEKTOR
1 Berapa Puskesmas/Kelurahan yang melakukan PJB sampel
2 Berapa yang sudah masukkan laporan (Form PJB-R dan PJB-TU ..%
atau P-DBD)?
193
3 Apakah Puskesmas menyampaikan hasil PJB (Form PJB-R dan PJB-TU Y T
atau P-DBD) secara teratur/tersedia?
4 Formulir PJB-R (hasil PJB rumah) untuk masing-masing Kecamatan Y T
digabung dalam 1 lembar
5 Formulir PJB-TU (hasil PJB Sekolah/TTU-I) untuk masing-masing Y T
Kecamatan
6 Vektor: Hasil- hasil survey jentik/PSP Y T
INPUT
Apakah buku-buku berikut tersedia?
1 Buku Program Pengendalian DBD Y T
2 Buku Tatalaksana DBD Y T
3 Buku Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jumantik Y T
4 Leaflet DBD, flipchart DBD dan Poster DBD Y T
5 Formulir So, K-DBD, W1, W2 Y T
194
6 Apakah tersedia bagan penatalaksanaan penderita DBD? Y T
7 Apakah tersedia alat-alat berikut:
a. Manset anak Y T
b. Mikroskop Y T
c. Hemometer Sahli Y T
d. Pipet Hb Y T
e. Pipet eritrosit Y T
f. Pipet leukosit Y T
g. Kamar hitung Trombosit Y T
h. Hemositometer Y T
PROSES
SURVEILLANS KASUS
Apakah data berikut tersedia ?
1 Trend: Grafik kasus/insidens, CFR, jumlah Kelurahan/Desa terjangkit per Y T
tahun,sejak mulai ada DBD.
2 Musim Penularan: Grafik (rata-rata) jumlah kasus perbulan selama 5 tahun Y T
yang terakhir untuk Kelurahan/Desa
3 Grafik maksimum-minimum bulanan kasus 5 tahun, disertai grafik jumlah Y T
kasus tahun ini dan tahun yang lalu?
4 Data pemantauan kasus harian (buku catatan harian) dan pemantauan Y T
kasus mingguan
5 Peta lokasi Kelurahan/Desa rawan DBD ( endemis sporadis, potensial Y T
maupun bebas) dan yang ditanggulangi tahun ini
6 Tabel daftar nama: Kelurahan endemis, Kelurahan sporadis, potensial Y T
dan bebas yang ditanggulangi tahun ini
7 Apakah ada pemberitahuan kasus dari RS melalui keluarga penderita Y T
(form KD-DBD)
8 Apakah ada umpan balik kasus DBD dari Kab./Kota? Y T
9 Apakah ada pemberitahuan kasus dari Puskesmas lain ? Y T
10 Berapa lama waktu (time laps) rata-rata sejak diagnosis ditegakkan .. Hari
sampai dilaksanakan PE
11 Berapa lama waktu (time laps) rata-rata sejak PE sampai dilaksanakan
Fogging Fokus .. Hari
PENANGGULANGAN KASUS
Apakah data di bawah ini tersedia?
SURVEILLANS VEKTOR
1 Usulan rencana kegiatan surveillans vektor (pemberantasan vektor dan Y T
Bulan Bakti gerakan 3M) dan telah dikirimkan ke Kab./Kota?
195
2 Apakah seluruh kelurahan dilakukan PJB? Y T
3 Siapa yang melaksanakan PJB? Y T
Petugas Puskesmas/Jumantik/Kader
4 Apakah form PJB/AS-1 masih digunakan oleh petugas? Y T
5 Apakah petugas PJB sudah dilatih? Y T
6 Bulan apa dilaksanakannya
Siklus I:
Siklus II:
Siklus III:
Siklus IV:
7 Formulir PJB-R (hasil PJB rumah untuk masing-masing Kelurahan) Y T
8 Formulir PJB-TU (hasil PJB Sekolah/TTU-I) Y T
1 Data Dokter Puskesmas yang sudah dilatih tatalaksana kasus DBD .. Org
2 Data Petugas pengelola program yang sudah dilatih atau mengikuti Org
Pertemuan
3 Petugas laboratorium telah melakukan pemeriksaan trombosit Y T
dan hematokrit
4 Laporan pelatihan kader PSN (Jumantik) Y T
orang/RT
196
CHEKLIST SUPERVISI P2 DBD
DI KKP
INPUT
Apakah buku-buku berikut tersedia?
1 Buku Program (pedoman) Pengendalian DBD Y T
2 Buku Tatalaksana DBD Y T
3 Buku Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jumantik Y T
4 Leaflet DBD, flipchart DBD dan Poster DBD Y T
5 Formulir So, K-DBD, W1, W2 Y T
6 Apakah tersedia bagan penatalaksanaan penderita DBD? Y T
7 Apakah tersedia alat-alat berikut:
a. Manset anak Y T
b. Mikroskop
c. Blood Analyzer Y T
d. Hemometer Sahli Y T
e. Pipet Hb Y T
f. Pipet eritrosit Y T
g. Pipet leukosit Y T
h. Kamar hitung Trombosit Y T
i. Hemositometer Y T
PROSES
SURVEILLANS KASUS
Apakah data berikut tersedia ?
197
PENANGGULANGAN KASUS
Apakah data di bawah ini tersedia?
SURVEILLANS VEKTOR
INPUT
Apakah buku-buku berikut tersedia?
1 Buku Program (pedoman) Pengendalian DBD Y T
2 Buku Tatalaksana DBD Y T
3 Buku Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jumantik Y T
4 Leaflet DBD, flipchart DBD dan Poster DBD Y T
5 Apakah tersedia bagan penatalaksanaan penderita DBD? Y T
6 Apakah tersedia alat-alat berikut:
a. Mikroskop
b. Blood Analyzer Y T
c. Hemometer Sahli Y T
d. Pipet Hb Y T
e. Pipet eritrosit Y T
f. Pipet leukosit Y T
g. Kamar hitung Trombosit Y T
h. Hemositometer Y T
i. PCR Y T
PROSES
SURVEILLANS KASUS
Apakah data berikut tersedia ?
1 Trend: Grafik kasus/insidens, CFR, jumlah wilayah kerja terjangkit Y T
per tahun,sejak mulai ada DBD.
Musim Penularan: Grafik (rata-rata) jumlah kasus perbulan selama 5 tahun
2 yang Y T
terakhir untuk wilayah kerja
3 Grafik maksimum-minimum bulanan kasus 5 tahun, disertai grafik jumlah Y T
kasus tahun ini dan tahun yang lalu?
4 Data pemantauan kasus harian (buku catatan harian) dan pemantauan Y T
kasus mingguan
5 Peta lokasi wilayah kerja rawan DBD ( endemis sporadis, potensial maupun
Y T
bebas) dan yang ditanggulangi tahun ini
199
6 Tabel daftar nama: wilayah kerja endemis, wilker sporadis, wilker potensial Y T
dan bebas yang ditanggulangi tahun ini
7 Apakah ada kajian tentang DBD (kasus,virus,jentik,nyamuk aedes aegypty)? Y T
8 Apakah ada kajian tentang resistensi insektida di wilayah kerja? Y T
9 Apakah ada buku catatan kasus DBD per wilayah kerja? Y T
10 Apakah ada pemberitahuan kasus dari Puskesmas/dinas kesehatan di wilyah Y T
kerja ?
11 Apakah ada kontak person dengan Dinas Kesehatan terkait? Y T
12 Berapa lama waktu (time laps) rata-rata sejak diagnosis ditegakkan .. Hari
sampai dilaksanakan PE
13 Berapa lama waktu (time laps) rata-rata sejak PE .. Hari
sampai dilaksanakan Fogging Fokus
PENANGGULANGAN KASUS
Apakah data di bawah ini tersedia?
1 Daftar rencana kegiatan BTKL & jadwal waktunya (dan realisasinya) Y T
2 Catatan tentang dana untuk penanggulangan kasus (PE, FF, Larvasidasi Y T
dan Penyuluhan) di BTKL (stok dana) Y T
3 Daftar rencana pengiriman (alokasi) sarana: dana, bahan dan alat Y T
bagi wilker untuk penanggulangan kasus (dan realisasinya) Y T
4 Pengadaan insektisida, larvasida dan alat (mesin fog) Y T
5 Daftar inventaris dan stok bahan dan alat di BTKL dan Wilkernya Y T
mesin fog, ULV, kendaraan dan bahan penyuluhan Y T
SURVEILLANS VEKTOR
200
3 Bagaimana bentuk kegiatan penggerakan PSN oleh Tim Penggerak Y T
PSN Kecamatan?
4 Berapa kali diselenggarakan pertemuan LS? Adakah dokumennya? Y T
5 Apakah pertemuan LS biasanya dipimpin oleh Camat? Y T
6 Apakah ada kegiatan penyuluhan DBD di Posyandu? Y T
7 Laporan hasil penyuluhan Y T
8 Apakah hasil PJB disampaikan dalam pertemuan POKJA DBD? Y T
/Pertemuan lainnya (terutama kepada Camat dan Kepala Sekolah)
201