Anda di halaman 1dari 95

LA PO RA N P E N DA H ULU A N

EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

BAB II
PENDEKATAN DAN METODELOGI
2.1. TANGAPAN TERHADAP KAK
Setelah melalui proses pemahaman dan penelaahan terhadap Kerangka Acuan Kerja
(KAK) EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KWS.
SARBAGITA), yang dikeluarkan maka berikut ini akan disampaikan beberapa hal mengenai
tanggapan terhadap Kerangka Acuan Kerja oleh PT. LINTAS DAYA MANUNGGAL dengan
maksud untuk menyamakan persepsi untuk kesempurnaan dan menjadikan preseden baik
atau nilai tambah bagi Konsultan.

2.1.1. TANGGAPAN UMUM


Secara garis besar Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk pekerjaan tersebut yang ada
sudah memenuhi alur kerja yang sistematis dan pada hakikatnya merupakan patokan dasar
dalam pelaksanaan pekerjaan yang di dalamnya telah dijelaskan secara rinci. Oleh karena itu,
pihak Konsultan akan mengikuti semua ketentuan yang tercantum dalam KAK dan syarat–
syarat tersebut mulai dari tahapan mengikuti seleksi umum ini sampai dengan tahapan
pelaksanaan pekerjaan apabila pihak kami mendapat kepercayaan untuk memenangkan seleksi
ini.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal diperlukan kejelasan/ kesepahaman dari setiap
aspek yang tertuang dalam KAK tersebut diantara kedua belah pihak, dalam hal ini pihak
Pemberi Kerja dan Konsultan, sehingga diharapkan tidak ada lagi pertanyaan–pertanyaan yang
menyebabkan hambatan pada pelaksanaan pekerjaan.
Disamping itu dengan maksud untuk dapat memberikan masukan atau pertimbangan
bagi pihak Panitia/Direksi sehingga akan lebih menyempurnakan Kerangka Acuan Kerja yang
ada, diperlukan beberapa tanggapan terhadap Kerangka Acuan Kerja

2.1.2. TANGGAPAN KHUSUS


1. Tanggapan Terhadap Latar Belakang
Setelah Konsultan mempelajari dengan seksama bagian pendahuluan dan latar belakang
yang terdapat pada Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk pekerjaan tersebut, pada
prinsipnya kerangka acuan untuk pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan sudah
jelas dan dapat memberikan gambaran mengenai bentuk pelaksanaan pekerjaan yang
akan dilaksanakan.
2. Tanggapan Terhadap Kegiatan Yang Dilakukan dan Cara Pelaksanaan
Kegiatan
Konsultan menyadari bahwa keberhasilan pelaksanaan pekerjaan tersebut akan
tercapai jika memahami dengan seksama terhadap apa yang dimaksud di dalam
Kerangka Acuan Kerja. Dengan demikian keseluruhan lingkup pekerjaan yang masuk
didalamnya bisa terlaksana sepenuhnya dengan baik, dan sasaran dari pekerjaan yang
diharapkan bisa tercapai dengan tepat waktu. Dan Konsultan cukup memahami apa

BAB II - 1
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

yang disajikan dalam KAK, maupun penjelasan-penjelasan yang disampaikan dalam


rapat penjelasan yang telah dilakukan.
Lingkup kegiatan seperti yang termuat di dalam kerangka acuan kerja yang harus
dilaksanakan oleh Konsultan mencakup beberapa bagian pekerjaan yang sudah dirinci
tahapan pelaksanaannya, dan setelah dipelajari dan diamati dengan sebaik-baiknya,
maka Konsultan berpendapat bahwa lingkup pekerjaan sudah sangat jelas dan mudah
dipahami oleh Konsultan. Hal yang perlu dipertanyakan hanya bersifat teknis
pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
3. Tanggapan Terhadap Maksud dan Tujuan
Konsultan berpendapat bahwa maksud, tujuan, dan sasaran dari pekerjaan sudah
cukup jelas dan Konsultan berkeyakinan dapat menyelesaikannya dengan sebaik-
baiknya.
4. Tanggapan Terhadap Keluaran
Secara jelas keluaran yang harus diperoleh adalah tersedianya laporan-laporan yang
disyaratkan dalam KAK, yang harus diserahkan dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut,
sudah dapat mengadopsi semua kebutuhan dalam penyusunan laporan.
5. Tanggapan Terhadap Tempat Pelaksanaan Kegiatan
Konsultan menyadari pelaksanaan kegiatan pekerjaan tersebut ini akan dapat berjalan
dengan baik pada tempat atau Kabupaten/Kota yang direncanakan, sebab semua
perencanaan dan kegiatan yang akan dilakukan selalu berdasarkan atas ketersediaan
sumber daya yang terdapat dilokasi pekerjaan. Dengan adanya sumber daya yang
memadai maka kegiatan akan dapat berjalan dengan baik.
6. Tanggapan Terhadap Personil
Personil yang disyaratkan dalam Kerangka Acuan Kerja untuk pekerjaan tersebut
dirasa sudah mencukupi dari segi kuantitas maupun kualitas apabila sesuai dengan
kriteria yang sudah ditetapkan.
Jadi semua tenaga ahli yang disyaratkan dalam Kerangka Acuan Kerja ini telah sesuai
dengan lingkup pekerjaan yang harus dilaksanakan seperti yang tercantum dalam
Kerangka Acuan Kerja.
7. Tanggapan Terhadap Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Konsultan berpendapat bahwa jangka waktu pelaksanaan pekerjaan yang disediakan
selama 6 (enam) bulan atau 180 (Seratus delapan puluh) hari kalender, mencukupi
untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan sebaik- baiknya. Konsultan sanggup
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan tersebut
dengan bantuan dari Pemerintah Kabupaten dan Instansi terkait lainnya.
Untuk mengantisipasi padatnya kegiatan yang harus dilakukan oleh konsultan, maka
dalam penyusunan Bagan Alir dan Jadwal Pelaksanaan, Jadwal Personil dan Jadwal
Penggunaan Alat harus sangat hati-hati dan harus konsekuen dengan Jadwal masing-
masing, agar tidak terdapat kegiatan yang mundur. Apabila ada kegiatan yang mundur
maka semua kegiatan yang telah disusun tidak akan berjalan sesuai dengan kehendak.

BAB II - 2
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

2.2. PENDEKATAN TEKNIS


Tahapan penyusunan Evaluasi Sarana Prasarana Terbangun Bidang PLP (Kawasan
SARBAGITA) ini dimulai dari pengumpulan data dan informasi, review studi terdahulu,
pengumpulan data skunder dan primer (survey primer), pengkajian standar aturan yang
berlaku, analisa cakupan pelayanan, analisa kondisi eksiting pengelolaan, analisa operasional
dan pemeliharaan sarana prasarana terbangun PLP. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan metode deskriptif analitis untuk menjelaskan masalah-masalah aktual secara
sistematis, faktual dan akurat melalui diskripsi kondisi pengelolaan sarana prasarana PLP dan
menyampaikan hasil evaluasi, review, Lesson Learned maupun kesimpulan dan rekomendasi
tersebut kepada Satker Pengembangan Sistem PLP terkait.

2.3. KONSEP PENDEKATAN PELAKSANAAN PEKERJAN


Diagram alir pola pikir penyusunan Evaluasi Sarana Prasarana Terbangun Bidang PLP
(Kawasan SARBAGITA) sesuai dengan kerangka acuan kerja dapat dilihat pada gambar 2.1.
sedangkan tahapan pelaksanaan kegiatan dapat dilihat pada gambar 2.2.
Evaluasi Sarana Prasarana Terbangun
Data Sekunder
Bidang PLP (Kawasan SARBAGITA)
Dat Primer

Cakupan Kondisi Eksisting Sarana Operasional dan


Pelayanan Prasarna dan Pengelolaan Pemeliharaannya

Evaluasi Kualitas Pembangunan Evaluasi Pelaksanaan


dan Tingkat Kebermanfaatan Pengelolaan
Infrastruktur Sanitasi Infrastruktur Sanitasi

Analisa Kualitas Pembangunan dan Analisa Infrastruktur Sanitasi


Tingkat Kebermanfaatan Serta dari Segi Teknis, Sosial dan
Analisa Permasalahan Pengelolaan Kelembagaan

 Standar Nasional Indoneasi


Lesson Learned Maupun
 Kebijakan Pemerintah
Provinsi Bali Kesimpulan Dan Rekomendasi

Gambar 2.1. Diagram Alir Pikir Evaluasi Prasarana Terbangun Bidang PLP

BAB II - 3
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.2. Bagan Alir Tahapan Pelaksanaan Pekerjaan

BAB II - 4
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Penjelasan tahapan kegiatan Evaluasi Sarana Prasarana Terbangun Bidang PLP (Kws.
SARBAGITA) ini dibagai menjadi 5 (lima) tahapan kegiatan dimulai dari persiapan survey,
evaluasi kualitas pembangunan dan tingkat kebermanfaatan infrastruktur sanitasi, evaluasi
pelaksanaan pengelolaan infrastruktur dan tahapan sosialisasi hasil evaluasi. Tahapan
pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut :
A. Tahapan persiapan
a. Mengumpulkan data, informasi dan studi pustaka untuk pemahaman serta dokumen
perencanaan teknis rinci (DED) dan as built drawing paket fisik sarana prasarana
bidang PLP yang sudah terbangun di Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Gianyar
dan Kab. Tabanan yang dibiayai dari dana APBN,
b. Menyusun pola pikir dan rencana kerja,
c. Penyedia jasa perlu menyiapkan dan menentukan kriteria disain, studi literatur dan
standar-standar yang diperlukan untuk membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini.
B. Tahapan Survey
Melakukan survey primer dan sekunder yang dilengkapi dengan dokumentasi, meliputi
antara lain :
a. Survey lapangan lokasi/letak sarana dan prasarana terbangun bidang PLP di kawasan
SARBAGITA.
b. Survey kondisi tiap unit sarana dan prasarana terbangun bidang PLP di kawasan
SARBAGITA.
c. Survey data lapangan seperti jumlah dan cakupan pelayanan, kondisi eksisting
pengelolaan, operasional dan pemeliharaannya
d. Melaksanakan kegiatan kunjungan lapangan untuk mengetahui kualitas
pembangunan dan kebermanfaatannya
C. Tahapan evaluasi kualitas pembangunan dan tingkat kebermanfaatan infrastruktur
sanitasi
 Membuat daftar lokasi kegiatan infrastruktur bidang PLP terbangun yang dibiayai
APBN
 Mengidentifikasi lokasi kegiatan infrastruktur bidang PLP terbangun yang akan
dievaluasi berdasarkan indikator yang ditetapkan bersama
 Melakukan analisis terhadap hasil kunjungan yang telah dilaksanakan dari segi teknis,
sosial dan kelembagaan
D. Tahapan evaluasi pelaksanaan pengelolaan infrastruktur sanitasi
 Merekapitulasi hasil evaluasi kualitas pembangunan dan tingkat kebermanfaatan
infrastruktur sanitasi
 Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi pada saat pengelolaan infrastruktur
 Melakukan analisis permasalahan yang dihadapi pada saat pengelolaan serta analisis
solusi terhadap permasalahan yang dihadapi
 Melakukan review terhadap tahapan pelaksanaan kegiatan
E. Tahapan sosialisasi hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan infrastruktur
 Merekapitulasi hasil evaluasi dan review terhadap tahapan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur sanitasi
 Menyusun Lesson Learned dari pelaksanaan kegiatan pengelolaan infrastruktur
sanitasi

BAB II - 5
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Menyusun kesimpulan dan rekomendasi untuk mendukung keberlanjutan dan


keberfungsian dari infrastruktur sanitasi terbangun
 Menyampaikan hasil evaluasi, review, Lesson Learned maupun kesimpulan dan
rekomendasi tersebut kepada Satker Pengembangan Sistem PLP terkait.

2.4. LANDASAN TEORI METODELOGI ANALISA


2.4.1. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
Pengolahan limbah adalah usaha untuk mengurangi atau menyetabilkan zat-zat
pencemar sehingga saat dibuang tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan. Tujuan
utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi kandungan bahan pencemar terutama
senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba pathogen, dan senyawa organik yang tidak
dapat diuraikan oleh mikroorganisme alami.
Pengolahan limbah bertujuan mempercepat proses alami pada suatu unit pengolah
limbah sehingga kondisi dapat terkontrol. Proses ini berfungsi untuk mengurangi atau
menghilangkan bahan-bahan polutan dalam limbah. Sesuai dengan karakteristiknya,
pengolahan limbah dapat diklasifikasikan sebagai pengolahan secara fisik, kimia dan biologi,
sedangkan unit pengolahannya juga dikelompokan sebagai unit pengolahan fisika, kimia dan
biologi. Pada umumnya limbah mempunyai karakteristik yang merupakan gabungan antara
ketiga karakteristik tersebut, sehingga pengolahannya juga melibatkan gabungan antara cara-
cara pengolahan fisika, kimia dan biologi. Penerapan masing – masing jenis pengolahan limbah,
tergantung pada kualitas air baku dan kondisi fasilitas yang tersedia. Berikut ini adalah
kontaminan yang umum ditemukan dalam air limbah serta sistem pengolahan yang sesuai
untuk menghilangkanya.
Tabel 2.1. Sistem Pengolahan Limbah Cair Berdasarkan Kontaminan
Pencemaran
Kontamninan Sistem Pengolahan Klasifikasi
Padatan Tersuspensi Screning dan Communition Fisika
Sedimentasi Fisika
Flotasi Fisika
Filtrasi Fisika
Kuagulasi/Sedimentasi Kimia/Fisika
Land Treatmen Fisika
Biodegradale organiks Lumpur Aktif Biologi
Trickling Filters Biologi
Rotating Bilogical Contractors Biologi
Aerated Lagoon (Kolam Aerasi) Biologi
Saringan Pasir Fisik/Biologi
Land Treatmen Biologi/Kimia/Fisika
Pathogens Klorinasi Kimia
Ozonisasi Kimia
Land Treatmen Fisika
Nitrogen Suspended Growth Nitrification Biologi
and Denitrification
Fixed-film Nitrification and Biologi

BAB II - 6
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Kontamninan Sistem Pengolahan Klasifikasi


Denitrification
Ammonia Stripping Kimia/Fisika
Ion Exchange Kimia
Breakpoint Khlorinasi Kimia
Land Treatmen Biologi/Kimia/Fisika
Phosphor Koagulasi garam logam Kimia/Fisika
/sedimentasi
Kogaulasi Kapur / Sedimentasi Kimia/Fisika
Biological/chemical phosphorus Biologi/Kimia
removal
Land Treatmen Kimia/Fisika
(sumber : Metcalf & Eddy Inc, 1997)

2.4.2. SISTEM JARINGAN PENYALURAN AIR LIMBAH DOMESTIK


Jaringan penyaluran air buangan dimaksud sebagai sarana untuk menyalurkan air
buangan yang selanjutnya akan diolah dalam suatu bangunan pengolahan sebelum dibuang
kedalam air penerima. (Metcalf and Edy,1981)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan atau yang perlu dipenuhi dalam perencanaan
jaringan air buangan antara lain :
1. Jaringan induk harus dapat melayani seluruh daerah pelayanan.
2. Pengaliran air buangan cepat dan kontinyu dalam waktu yang relatif singkat.
3. Keamanan saluran harus terjamin, dengan tingkat kebocoran seminimum mungkin
sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan.
4. Jaringan penyaluran di rencanakan berdasarkan jumlah air buangan dengan
memperhitungkan segi ekonomis.
Dalam hal penanganan air buangan, air ditinjau dari sistem yang berhubungan dengan
pengolahannya, maka terbagi menjadi :
1. System On Site
Adalah penyaluran air buangan yang pengolahannya dilakukan setempat, tidak
memerlukan pengorganisasian terpusat dalam pengoperasiannya dan pemeliharaannya
menjadi lebih sederhana karena pengolahan air buangan dilakukan setempat, contohnya
penggunaan tangki septic dan peresapannya.
2. System Of Site
Adalah sistem jaringan penyaluran yang pengolahannya memerlukan pengoperasian
terpusat baik dalam pengolahan maupun dalam pemeliharaannya. Sistem ini merupakan
alternatif apabila suatu sistem tidak dapat diterapkan karena suatu keterbatasan tempat
dan tingginya muka air tanah. Sistem ini juga cocok untuk darah yang mempunyai
kepadatan penduduk tinggi dan kemampuan ekonomi penduduk cukup memenuhi. Pada
sistem ini, dalam pengalirannya menuju bangunan dibedakan menjadi (dua) yaitu :
a. Full Sewerage
Pada sistem ini air buangan langsung dialirkan tanpa proses pengendapan terlebih
dahulu. Saluran Full Sewerage bisa digunakan pada pemakaian air yang besar guna
mengurangi efek pengendapan dalam pipa. Sehingga diameter yang harus digunakan

BAB II - 7
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

cukup besar dan bahan pipa harus tahan terhadap kemungkinan terjadinya
penggerusan oleh air buangan. Sistem ini memerlukan biaya yang cukup mahal, tetapi
kelebihan sistem ini tidak perlu membangun tangki septic pada setiap rumah.

b. Small Bower Sewer


Pada sistem ini air buangan sebelum masuk ke jaringan penyaringan air buangan
terlebih dahulu mangalami proses pengendapan di tangki septic dan sistem ini lebih
murah dibanding dengan system Full Sewerage, karena lebih sedikit jumlah manhole
yang dibutuhkan serta diameter pipa yang digunakan juga tidak terlalu besar.
Kemiringan jalur pipa dapat lebih kecil karena kecepatan penggerusan tidak perlu
dipertimbangkan dalam pengaliran air buangan yang sudah tidak mengandung solid.
Sebagai akibatnya pipa tidak perlu ditanam terlalu dalam.
Pembagian System Of Site berdasarkan sistem pengaliran dalam hal ini penyaluran
dapat dibagi menjadi :
1) Sistem Terpisah
Suatu sistem penyaluran air buangan dimana air hujan dan air buangan disalurkan
secara terpisah melalui dua saluran yang berbeda air hujan dapat disalurkan pada
saluran terbuka atau tertutup.
 Dasar pemilihan system ini pertimbangannya adalah :
a) Periode musim hujan dengan kemarau cukup lama dan fluktuasi curah hujan
yang cukup tinggi.
b) Kuantitas air buangan dengan hujan jauh berbeda.
c) Air buangan diolah terlebih dahulu, sedangkan air hujan secepatnya dibuang
kesungai.
 Keuntungan dari sistem terpisah ini adalah :
a) Sistem saluran mempunyai dimensi kecil.
b) Mngurangi bahaya kesehatan.
c) Instalasi pengolahan air buangan tidak ada tambahan beban kapasitas, karena
penambahan air hujan.
 Kerugian dari sistem terpisah ini adalah :
Harus ada dua sistem saluran.
2) Sistem Tercampur
Merupakan sistem penyaluran air buangan yang dipergunakan untuk mengalirkan air
limbah, baik yang berasal dari rumah tangga maupun yang berasal dari daerah industri,
air hujan dan air permukaan.
 Dasar pertimbangan pemilihan dari sistem ini adalah :
a) Debit air buangan antara musim hujan dengan musim kemarau relatif kecil.
b) Kuantitas air buangan dengan air hujan berbeda.
c) Kemiringan daerah yang cukup, penempatan saluran tidak terlalu dalam dan
tidak perlu pemompaan.
 Keuntungan dari sistem tercampur adalah :
a) Beban instalasi pengolahan tidak terlalu besar.
b) Air hujan sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai penggelontor.
 Kerugian dari sistem tercampur adalah :

BAB II - 8
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Diperlukan adanya perubahan konstruksi yang akan menambah biaya pembuatan.


3) Sistem Kombinasi
Sistem ini merupakan penyaluran air buangan pada musim hujan dilakukan secara
terpisah, sedangkan pada awal musim kemarau dilakukan secara tercampur.
 Keuntungan dari sistem ini adalah :
a) Beban instalasi pengolahan tidak terlalu besar
b) Air hujan dapat digunakan sebagai penggelontor
 Kerugian dari sistem ini adalah :
Diperlukan biaya konstruksi yang khusus dan yang pasti akan menambah biaya
pembuatan dan perawatan.
Sedangkan sistem pengaliran berdasarkan arah geraknya, air buangan dapat
dibedakan menjadi :
a. Sistem Pengaliran Gravitasi
Sistem ini digunakan bila elevasi badan pengolahan air buangan jauh berada di bawah
elevasi daerah pelayanan dan sistem ini dapat memberikan energi potensial yang
cukup tinggi pada daerah pelayanan terjauh, sistem ini dalam pengoperasiannya cukup
mudah.
b. Sistem Pemompaan
Sistem ini akan dipakai bila elevasi badan air berada diatas elevasi daerah pelayanan
sehingga air buangan dari daerah pelayanan perlu diberikan tekanan yang cukup agar
dapat sampai ke bangunan pengolahan air buangan.
c. Sistem Kombinasi
Sistem ini merupakan system pengaliran dimana air buangan dari daerah pelayanan di
alirkan ke bangunan pengolahan air buangan dengan menggunakan pompa reservoir
yang dioperasikan secara bersama-sama. Sistem ini sering digunakan pada daerah yang
memiliki ketinggian rendah atau cenderung mendatar.

2.4.2.1. SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK TERPUSAT (OFF


SITE)
Proses pengolahan air limbah sistem terpusat umumnya dibagi menjadi empat
tahapan, yaitu :
1. Pengolahan awal (pre treatment)
2. Pengolahan tahap pertama (primary treatment)
3. Pengolahan tahap kedua (secondary treatment)
4. Pengolahan tahap akhir (tertiary treatment)
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau Wastewater Treatment Plant (WWTP)
adalah sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air
sehingga memungkinkan air tersebut untuk dapat digunakan kembali pada aktivitas yang lain.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di
dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa
organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. Untuk
mengolah air yang mengandung senyawa organik, umumnya menggunakan teknologi
pengolahan air limbah secara biologis atau gabungan antara proses kimia-fisika.
Proses secara biologis tersebut dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara),
kondisi anaerobik (tanpa udara) atau dengan kombinasi keduanya. Proses aerobic biasanya

BAB II - 9
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

digunakan untuk pengolahan limbah dengan beban BOD tidak terlalu besar, sedangkan proses
anaerobic digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi. Pada
penelitian ini, uraian dititik beratkan pada pengolahan limbah secara aerobic.
Menurut Wahyu Hidayat dan Nusa Idaman Said dalam jurnal Rancang Bangun IPAL,
pengolahan air limbah secara aerobic secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yakni :
1. Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah system pengolahan dengan
menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan yang
ada didalam air. Contoh proses ini antara lain proses lumpur aktif
standar/konvensional, step aeration, contact stabilization, dan lainnya.
2. Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan air limbah dimana
mikroorganisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh
teknologi pengolahan air dengan system ini antara lain trickling filter atau biofilter,
rotating biological contractor (RBC), dan lain-lain.
3. Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah
dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang
cukup lama, sehingga aktifitas mikroorganisme yang tumbuh secara alami dan
senyawa polutan yang ada didalam air limbah akan terurai.
Pemilihan proses pengolahan air limbah domestic yang digunakan didasarkan atas
beberapa kriteria yang diinginkan antara lain :
1. Efisiensi pengolahan dapat mencapai standar baku mutu air limbah domestik yang
disyaratkan.
2. Pengelolaannya harus mudah.
3. Lahan yang diperluakan tidak terlalu besar.
4. Konsumsi energi sedapat mungkin rendah.
5. Biaya operasinya rendah.
6. Lumpur yang dihasilkan sedapat mungkin kecil.
7. Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar.
8. Dapat menghilangkan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.
9. Dapat menghilangkan amoniak sampai mencapai standar baku mutu yang berlaku.
10. Perawatannya mudah dan sederhana.

Teknologi pengolahan air limbah terpusat khususnya di Provinsi Bali menggunakan


proses secara biologis yaitu dengan sistem Aerated Lagoon dan Sedimentation Pond.
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah dengan
menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama
sehingga dengan aktifitas mikro-organisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang
ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau
memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukan proses aerasi. Salah satu contoh proses
pengolahan air limbah dengan cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization
pond).

BAB II - 10
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.2. Sisistem Pengolahan Air Limbah DSDP

Pond atau kolam air limbah sering juga disebut kolam stabilasai (stabilization pond)
atau kolam oksidasi (oxidation pond). Lagoon untuk air limbah biasanya terdiri dari kolam
dari tanah yang luas, dangkal atau tidak terlalu dalam dimana air limbah dimasukkan kedalam
kolam tersebut dengan waktu tinggal yang cukup lama agar terjadi pemurnian secara biologis
alami sesuai dengan derajad pengolahan yang ditentukan.
Di dalam sistem pond atau lagoon paling tidak sebagian dari sistem biologis
dipertahankan dalam kondisi aerobik agar didapatkan hasil pengolahan sesuai yang
diharapkan. Mesikipun suplai oksigen sebagian didapatkan dari proses difusi dengan udara
luar, tetapi sebagian besar didapatkan dari hasil proses fotosintesis. Lagoon dapat dibedakan
dengan pond (kolam) dimana untuk lagoon suplai oksigen didapatkan dengan cara aerasi
buatan sedangkan untuk pond (kolam) suplai oksigen dilakukan secara alami. Ada beberapa
jenis kolam dan lagon mempunyai suatu keunikan tertentu yang cocok digunakan untuk
penggunaan yang tertentu antara lain yakni :
1. Kolam Dangkal (Shallow Pond)
Di dalam sistem kolam dangkal oksigen terlarut (disolved oxygen) terdapat pada setiap
kedalamam air sehingga air limbah berada pada kondisi aerobik. Oleh karena itu kolam
dangkal sering juga disebut kolam aerobik (Aerobic Pond). Cara ini sering digunakan untuk
pengolahan tambahan atau sering juga digunakan sebagai kolam tersier.
2. Kolam Dalam (Deep Pond)
Di dalam sistem kolam dalam (deep pond) air limbah berada pada kondisi anaerobik
kecuali pada bagian lapisan permukaan yang relatif tipis. Sstem ini sering disebut sebagai
kolam anaerobik (anaerobic pond). Kolam anaerobik sering digunakan untuk pengolahan
awal atau pengolahan sebagian (partial teratment) dari air limbah organik yang kuat atau

BAB II - 11
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

limbah organik dengan konsentrasi yang tinggi, tetapi harus diikuti dengan proses aerobik
untuk mendapatkan hasil akhir pengolahan yang dapat diterima.
3. Kolam Fakultatip (Facultative Pond)
Di dalam sistem kolam fakultatif, air limbah berada pada kondisi aerobi dan anaerobik
pada waktu yang bersamaan. Zona aerobik terdapat pada lapisan atas atau permukaan
sedangkan zona anaerobik berada pada lapisan bawah atau dasar kolam. Sistem ini sering
digunakan untuk pengolahan air limbah rumah tangga atau air limbah domestik.
4. Lagoon
Lagoon dapat dibedakan berdasarkan derajad pencampuran mekanik yang dilakukan. Jika
energi yang diberikan cukup untuk mendapatkan derajad pencampuran dan aerasi
terhadap seluruh air limbah termasuk padatan tersunspensi, reaktor disebut Lagoon
Areobik (Aerobic Lagoon). Efluen dari lagoon aerobik memerlukan unit peralatan untuk
pemisahan padatan (solid) agar didapatkan hasil olahan sesuai dengan standar yang
dibolehkan.
Jika energi yang diberikan hanya cukup untuk pencampuran dan aerasi sebagia dari air
limbah yang ada di dalam lagoon, sedangkan padatan yang ada di dalam air limbah
mengendap di dasar lagoon atau di daerah yang mempunyai gradient kecepatan yang
rendah serta mengasilkan proses peruraian secara anaerobik disebut Lagoon Fakultatif
(Facultative Lagoon), dan proses tersebut dapat dibedakan dengan kolam fakultatif hanya
pada metoda pemberian oksigen atau cara aerasinya. Umumnya sebagian besar dari
kolam dan lagoon yang digunakan untuk pengolahan air limbah adalah tipe fakultatif.
Lagoon atau kolam fakultatif dapat juga dianggap sebagai reaktor dengan pencampuran
sempurna (completely mixed reactor) tanpa sirkulasi biomasa. Air limbah dialirkan
kedalam lagoon atau kolam dan dikelurakan dekat dasar kolam atau lagoon. Padatan yang
ada di dalam air limbah akan mengendap di daerah dekat bagian pemasukan (inlet) dan
partikel biologis (biological solids) serta koloid akan menggumpal membentuk awan atau
selimut lumpur (sludge blanket) tipis yang tinggal di atas dasar kolam.Bagian pengeluran
(outlet zone) diletakkan pada bagiab yang kemungkinan terjadi aliran singkat (short
circuiting) paling kecil.
5. Sistem Biologi Lagoon Atau Pond
Diagram sistem biologi yang terdapat pada kolam fakultatif secara umum digambarkan
seperti pada Gambar 9.1. Kondisi aerobik terdapat pada bagian atas dari kolam atau
lagon. Oksigen yang terlarut didapatkan dari proses foto sintesis dari alga serta sebagian
didapatkan dari difusi oksigen dari udara atau atmosfer. Kondisi stagnant di dalam lumpur
di daerah sekitar dasar kolam menyebabkan terhambatnya transfer oksigen ke daerah
tersebut, sehingga menyebabkan kondisi anaerob. Batas antara zona aerobik dan
anaerobik tidak tetap, dipengaruhi oleh adanya pengandukan (mixing) oleh angin serta
penetrasi sinar matahari. Jika angin tidak terlalu terasa dan sinar matahari lemah maka
lapisan anaerobik bergerak ke arah permukaan air. Perubahan siang dan malam juga
dapat menyebabkan fluktuasi terhadap batas antara lapiasan aerobik dan lapisan
anaerobik. Daerah dimana oksigen terlarut terjadi fluktuasi disebut daerah fakultatif
(facultative zone), karena mikro-organisme yang terdapat pada zona tersebut harus
mampu menyesuaikan proses metabolismenya terhadap perubahan kondisi okasigen
terlarut.

BAB II - 12
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Interaksi yang sangat komplek juga terjadi pada daerah di antara zona tersebut. Asam
organik dan gas yang dihasilkan oleh proses penguraian senyawa organik pada zona
anaerobik akan diubah menjadi makanan bagi mikro-organisme yang ada pada zona
aerobik. Massa organisme yang yang terjadi akibat proses metabolisme pada zona
aerobik karena gaya gravitasi akan mengendap ke dasar kolam dan akan mati, serta
menjadi makanan bagi organisme yang terdapat pada zona anaerobik.
Hubungan khusus yang terjadi antara bakteria dan alga di dalam zona aerobik adalah
bakteria mengkonsumsi oksigen sebagai electron acceptor untuk mengoksidasi senyawa
organik yang ada di dalam air limbah menjadi senyawa produk yang stabil misalnya CO2 ,
NO3 -, dan PO4 . Alga menggunakan produk-produk tersebut sebagai bahan baku
dengan sinar matahari sebagai sumber energi untuk proses metabolisme dan
menghasilkan oksigen serta produk akhir lainnya. Oksigen yang terjadi akan digunakan
oleh bakteria dan seterusnya. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan tersebut
dinamakan sybiotic relationship.
Proses ini sama juga dengan proses yang terjadi pada lagoon fakultatif, tetapi pada lagoon
fakultatif oksigen pertama disuplai dengan aerasi buatan, dan pengaruh alga lebih kecil
dibandingan dengan yang terdapat pada pond (kolam) serta dapat diabaikan. Zona antara
aerobik dan aerobik pada lagoon lebih stabil. Iklim memegang peranan yang penting
terhadap sistem biologi yang terdapat pada pond (kolam ) atau lagoon. Dengan adanya
perubahan temperatur secara alami, terjadi perubahan reaksi biologis secara kasar dua
kali lebih besar untuk setiap perubahan temperatur 10 0C. Jika temperatur air turun
sampai mendekati titik beku, maka aktifitas biologi akan terhenti. Apabila suhu air turun
sampai di bawah titik beku lapisan permukaan akan tertutup es dan menyebabkan sinar
matahari menjadi terhambat yang mana sinar matahari tersebut merupakan elemen yang
penting terhadap operasional pond atau lagoon.

Gambar 2.3. Diagram Umum Sistem Biologi Yang Terdapat Pada Polam Fakultatif

BAB II - 13
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

6. Perencanan Pond Dan Lagoon


Beberapa pendekatan untuk merencanakan pond dan lagoon telah dilakukan, yakni
dengan menganggap sebagai reaktor biologi dengan pengadukan sempurna (completely
mixed reactor) tanpa sirkulasi lumpur. Di dalam sistem fakultatif pengadukan sempurna
hanya terjadi pada bagian liquid atau cairannya saja. Padatan yang ada di dalam air limbah
serta padatan biologis akan mengendap di dasar kolam sehingga dianggap tidak
tersuspensi seperti pada proses lumpur akatif.
Oleh karena itu laju pengendapan solid sulit ditentukan sehingga neraca masa dari
padatan tidak dapat dituliskan. Neraca masa untuk senyawa organik terlarut misalnya
BOD dan COD dapat dituliskan karena dianggap terdistribusi secara merata di dalam
reaktor karena adannya proses pengadukan. Jika laju konversi senyawa organik terlarut
(BOD, COD dll) dianggap sesuai dengan reaksi orde 1 maka neraca masa dapat
dituliskan sebagai berikut :
BOD masuk = BOD keluar + BOD yang dikonsumsi

Dimana :
S/So = Fraksi dari BOD terlarut
k = koefisien kecepatan rekasi (hari –1)
θ = Waktu tinggal hidrolik (Hydraulic Detention
Time (hari)
V = Volume reaktor (m3)
Q = Debit air limbah (m3/hari)
Jika beberapa reaktor dipasang secara seri, efluen dari pond pertama menjadi influen
pond ke dua dan seterusnya maka untuk sejumlah n reaktor perasamaan 3 dapat ditulis
sebagai berikut :

Jika kolam fakultatif digunakan untuk pengolahan air limbah rumah tangga atau air limbah
perkotaan (municipal waste water), biasanya menggunakan paling sedikit tiga unit kolam
untuk menghindari terjadinya aliran pendek (short circuiting).
Marais dan Mara telah medemontrasikan model pond yang menyatakan bahwa efisiensi
maksimum akan terjadi apabila pond atau kolam dipasang seri dengan ukuran yang
hampir sama. Di dalam kolam yang dipasang seri, kolam pertama dinamakan kolam
primair (primary pond). Kolam primair akan menerima sebagian besar beban organik
serta limbah yang berupa padatan, oleh karena itu perlu dilengkapi dengan aerator untuk
menghindari terjadinya kondisi anaerobik total yang dapat menyebabkan masalah bau.
Pada umumnya satu unit lagoon fakultatif diikuti dengan dua unit atau lebih fakultatif

BAB II - 14
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

pond. Walaupun model di atas berguna untuk menggambarkan proses pond dan lagoon
tetapi kurang sesuai untuk reaktor yang diharapkan terjadi pengadukan segera terhadap
air limbah yang masuk pond terutama untuk reaktor dengan volume yang besar. Pada
prakteknya terjadi dispersi atau penyebaran dengan selang yang lebar disebabkan karena
ukuran dan bentuk reaktor, proses pengadukan oleh angin atau proses aerasi dan juga
dikarenakan peralatan influen dan efluen.
Thirumurthi mengembangkan metoda grafis yang menyatakan hubungan antara
penguraian atau penghilangan makanan (BOD,COD) dengan harga kθ untuk faktor
dispersi dengan selang harga tertentu untuk proses pengadukan sempurna (completely
mixed) sampai harga nol untuk reaktor plug flow. Hubungan tersebut ditunjukkan seperti
pada Gambar 9.2. Cara ini dapat digunakan untuk perencanaan pond atau lagoon dengan
harga k yang ditentukan berdasarkan asumsi atau harga k yang telah diketahui. Pada
beberapa literatur harga k ditemui dengan selang yang lebar.
Mesikipun beberapa variabel misalnya bentuk reaktor dan juga karakteristik air limbah
mempengaruhi harga k, temperatur air limbah mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Persamaan yang memberikan hubungan antara harga k dengan temperatur yang sering
dipakai ditunjukkan oleh persamaan berikut :

Harga k20 yang sering dipakai antara 0,2 – 1,0, sedangkan koefisien temperatur
1,03 sampai dengan 1,12. Harga tersebut sering kali ditentukan berdasarkan percobaan
untuk sistem kolam tertentu. Oleh karena evaluasi dan penentuan harga k yang akurat
sangat komplek, maka untuk merencanakan pond atau lagoon sering kali didasarkan pada
faktor beban (loading factor) dan parameter empiris lainnya.
Meskipun reaksi fotosintesis pasti terjadi di dalam sistem lagoon fakultatif, kebutuhan
oksigen dianggap hanya didapatkan dari proses aerasi. Untuk menurunkan kandungan
setiap 1 kg BOD5 di dalam air limbah yang masuk, diperlukan suplai oksigen minimal 2 kg
agar kebutuhan oksigen mencukupi untuk proses penghilangan senyawa organik di dalam
air limbah. Laju transfer oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain fungsi
temperatur air, defisit oksigen, serta tipe dan karakteristik aeratornya.
Kriteria perencanaan pond atau kolam dan lagoon secara tipikal dapat dilihat pada Tabel
9.1.

Gambar 2.4. Hubungan Antara Penguraian Atau Penghilangan Makanan


(BOD,COD) Dengan Harga kθ

BAB II - 15
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Tabel 2.2. Parameter disain untuk pond dan lagoon fakultatif.

Catatan :
(1) Tergantung pada kondisi iklim atau cuaca.
(2) Termasuk alga, mikroorganisme, dan SS di dalam influent. Harga didasarkan pada
BOD di dalam influen 200 mg/l dan konsentrasi SS di dalam influen 200 mg/l.

2.4.2.2. SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK KOMUNAL


(SANIMAS)
Pengolahan air limbah domestik komunal digunakan berdasarkan beberapa
pertimbangan diantaranya adalah hasil dari pemetaan masyarakat yang dapat menggambarkan
bagaimana kondisi sumber air dan akses terhadap sarana sanitasi yang tersedia. Pemetaan
masyarakat ini juga dapat memberikan gambaran bagaimana klasifikasi kesejahteraan
masyarakat terkait dengan calon pengguna sarana sanitasi yang akan direncanakan.
Pertimbangan lainnya dalam pemilihan teknologi sanitasi yang akan digunakan seperti
kondisi/karakter permukiman, kebiasaan/perilaku, kelayakan teknis di lapangan, prediksi
perkembangan lingkungan permukiman dan prediksi peningkatan sosial ekonomi masyarakat
untuk 5 (lima) tahun ke depan serta jumlah calon penerima manfaat (Borda, 2011).
Teknologi pengolahan air limbah domestik komunal merupakan sistem pengolahan
air limbah yang digunakan tidak hanya untuk 1 (satu) rumah tangga tetapi digunakan secara
bersama.
Pada sistem komunal (seperti pada Gambar di atas), air limbah yang diolah adalah
air limbah domestik yang tercampur antara air limbah dari kegiatan dapur, cuci dan masak
dengan lumpur tinja dari kakus. Sementara itu, sistem komunal untuk pengolahan air limbah
terpisah hanya dari lumpur tinja dapat menggunakan sistem pengolahan yang dikenal dengan
MCK++. Gambaran sistem MCK++ ini dapat dilihat pada gambar berikut.

BAB II - 16
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Pembuangan Ke
Badan Air

Gambar 2.5. Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal

Pembuangan Ke
Badan Air

Gambar 2.6. Pengolahan Air Limbah Domestik Sistem Komunal (Bio-Digester)

BAB II - 17
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

a. Pengertian Sanimas
Air tanah di daerah padat penduduk dan kumuh umumnya sudah banyak tercemar
bakteri. Ditambah lagi pembuangan air limbah rumah tangga secara langsung atau
tanpa pengolahan terlebih dahulu akan membahayakan kesehatan manusia dan
merusak lingkungan. Maka diperlukan sistem pembuangan air limbah yang
menyangkut pembuangan air kotor dari rumah tangga, dimana fasilitas tersebut
dapat menjamin agar lingkungan rumah selalu bersih dan sehat. Tentunya ditunjang
dengan ketersediaan penyediaan air bersih dan sarana pembuangan air kotor yang
lancar.
Sanimas atau Sanitasi oleh masyarakat adalah suatu konsep penyelenggaraan sanitasi
air limbah rumah tangga atau domestik yang dibuat berdasarkan kebutuhan
masyarakat itu sendiri melalui perencanaan, pemilihan teknologi, pembangunan,
pengoperasian dan pemeliharaan oleh masyarakat dengan pendampingan dari
fasilitator.
Adapun tujuan Sanimas adalah sebagai berikut
1. Memperbaiki sarana sanitasi masyarakat yang tinggal di perkampungan padat,
kumuh, miskin di perkotaan dengan pendekatan sanitasi berbasis masyarakat.
2. Menjadikan sarana sanitasi berbasis masyarakat sebagai alternatif pilihan
teknologi sanitasi oleh pemerintah kota/kabupaten.
Sanimas menyediakan beberapa komponen pilihan sistem sanitasi yang dapat
digunakan antara lain :
1. Sanimas sistem komunal perpipaan. Adalah sistem Sanimas yang menyediakan
fasilitas pengolahan limbah komunal dengan jaringan pipa beserta media
pengolahnya yaitu tangki septik bersusun (baffle reactor) dan anaerobic filter.
2. Sanimas sistem MCK plus. Adalah sistem Sanimas yang menggunakan fasilitas
MCK untuk umum beserta pengolahannya yang dilengkapi dengan bio-digester
sebagai penghasil biogas.
3. Sanimas sistem mix (gabung) antara komunal perpipaan dan MCK plus. Yaitu
sistem Sanimas yang menggabungkan pengolahan limbah domestik komunal
dengan MCK dan dilengkapi dengan bio-digester.

b. Komponen teknologi sanitasi pada Sanimas


Pada Sanimas juga diterapkan beberapa teknologi sanitasi agar kualitas air buangan
aman dan tidak merusak badan air penerima. Teknologi yang dipakai antara lain :
1. Biodigester
Adalah tempat berlangsungnya dekomposisi anarob dan berfungsi sebagai unit
sedimentasi dan penghasil biogas. Berbentuk setengah bola (fixed dome) dan
mempunyai 3 ruang yaitu :
 Bak inlet
Tempat masuknya limbah sebelum diproses dalam digester.
 Digester
Tempat berlangsungnya proses dekomposisi anaerob yang menghasilkan
biogas. Digester ditempatkan tertimbun dalam tanah agar bakteri anaerob
tidak terkena sinar matahari langsung sehingga memaksimalkan produksi
biogas.

BAB II - 18
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Bak outlet
Tempat keluarnya sisa proses anaerob secara gravitasi untuk proses
selanjutnya.

Gambar 2.7. Biodigister


2. Anaerobik Baffled Reactor ( tangki septik bersusun )
Adalah sistem pengolahan limbah secara anaerob yang terdiri dari beberapa
tangki dan dipisahkan oleh sekat-sekat vertkal. Limbah diendapkan pada masing-
masing tangki dan mengalir secara up-flow.

Gambar 2.8. Anaerobic Baffeld Reactor


3. Anaerobic filter
Adalah tempat berkembangnya bakteri anaerob dengan material batu vulkanik
sebagai medianya.

Gambar 2.9. Anaerobic Filter

BAB II - 19
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

2.4.2.3. SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH TERPUSAT (ONSITE)


Pengoperasian instalasi pengolahaan air lumpur tinja (IPLT) mengacu pada Petunjuk
Teknis No. CT/AL/Op-TC/003/98 tentang Tata Cara Pengoperasian IPLT Sistem Kolam.
Ruang lingkup dalam petunjuk teknis ini memuat ketentuan teknis dan cara persiapan
pengoperasian,pelaksanaan pengoperasian, pelaksanaan pemeliharaan dan pelaksanaan
pengendalian IPLT.
Ketentuan umum yang harus dipenuhi untuk pengoperasian dan pemeliharaan IPLT
adalah sebagai berikut:
a. Di instalasi dilengkapi dengan gambar bangunan
b. Setiap peralatan harus dilengkapi katalog dan daftar operasi dan pemeliharaan
c. Air limbah yang diolah adalah lumpur tinja
d. Tersedia influen air limbah
e. Tersedia fasilitas penyediaan air bersih yang memadai
f. Telah diuji coba terhadap pengaliran air (profil hiodrolis)dan kebocoran
g. Ada penanggung jawab pengolah air limbah yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang
h. Tersedia biaya pengolahan yang dialokasikan pada institusi pengelola
i. Kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan IPLT harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundangan pengolahan air limbah dan ketentuan kesehatan dan
keselamatan kerja
j. Masyarakat sudah diberi informasi

A. PERSAYARATAN TEKNIS UNTUK UNIT- UNIT DALAM IPLT


Persyaratan teknis dalam operasional IPLT memuat ketentuan tentang kriteria dan
persayaratan yang harus diikuti untuk mendapatkan efisiensi pengolahan sesuai dengan
yang telah direncanakan. Persyaratan teknis ini meliputi kualitas dan kuantitas influent
lumpur tinja (air limbah) yang akan masuk ke tiap unit pengolahan di dalam IPLT, waktu
retensi (waktu tinggal) lumpur tinja di dalam tiap unit, serta kriteria desain lainnya.
Persyaratan teknis untuk kualitas lumpur tinja yang masuk ke dalam IPLT harus
memenuhi Petunjuk Teknis sesuai No. CT/AL/Op-TC/003/98 tentang Tata Cara
Pengoperasian IPLT Sistem Kolam :
 Laju/kapasitas lumpur tinja (cairan dan endapan)sebesar 0,5 L/org/hari
 KOB (BOD5)=5.000 mg/L
 TS = 40.000 mg/L
 TVS = 2.500 mg/L
 TSS = 15.000 mg/L
Bila parameter-parameter influent lumpur tinja yang masuk IPLT melebihi
konsentrasi tersebut, maka diperlukan pengenceran dengan persyaratan:
 Bahan yang digunakan sebagai pengencer tinja dapat menggunakan air sungai atau air
pengencer lain dengan konsentrasi KOB (BOD5) maksimal 10 mg/L
 Unit pengolahan yang memerlukan pengenceran adalah influent pada kolam
stabilisasi fakultatif dengan KOB yang melebihi 400 mg/L
Pengolahan lumpur tinja yang digunakan pada IPLT menggunakan pengolahan secara
biologis dan memanfaatkan mikroba untuk menguraikan material organik yang berada

BAB II - 20
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

didalamnnya. Mikroba sebagai makhluk hidup menggunakan lumpur tinja sebagai sumber
nutrient untuk hidup dan berkembang biak. Oleh karena sifatnya sebagai makhluk hidup,
maka pengolahan limbah dengan mikroba memerlukan kehati-hatian terkait dengan
kualitas influent yang masuk karena akan mempengaruhi kinerja mikroba. Persyaratan
teknis pengoperasian IPLT sesuai No. CT/AL/Op-TC/003/98 tentang Tata Cara
Pengoperasian IPLT Sistem Kolam dan Lampiran Permen PU No 04/PRT/M/2017 tentang
Penyelenggaraan Sistem Pengolahan Air Limbah adalah sebagai berikut:
Persyaratan teknis untuk pengoperasian Kolam SSC
 Waktu pengeringan cake 5 – 12 hari
 Waktu pengambilan cake matang 1 hari
 Ketebalan cake 10 – 30 cm
 Tebal lapisan kerikil 20 – 30 cm
 Tebal lapisan pasir 20 – 30 cm
 Kadar air 20%
 Kadar solid 80%
Persyaratan teknis untuk pengoperasian kolam stabilisasi anaerobik
 Permukaan kolam harus tertutup buih
 Beban KOB volumetric berkisar antara (60-100)g KOB/m3.hari
 Efisiensi pemisah KOB ≥ 50%
 pH influen (8-9)
 Lumpur harus dikuras secara berkala dengan pompa
Persyaratan teknis untuk pengoperasian kolam stabilisasi fakultatif
 Permukaan air harus berwarna hijau yang menandakan adanya algae
 Beban KOB volumetric (60-100) g KOB/m3.hari
 KOB influen ≤ 400 mg/l
 Efisiensi pemisah KOB ≥ 70%
 pH anatara 7-8
Persyaratan teknis untuk pengoperasian kolam stabilisasi maturasi
 Beban BOD volumetric (400-600)g KOB/m3.hari
 Efisiensi pemisah KOB 70%
 Efisiensi pemisah E coli sebesar 95% ( berdasarkan penurunan konsentrasi E.Coli dari
kolam-kolam sebelumnya
Persyaratan teknis untuk pengoperasian bak pengering lumpur
 Kadar air lumpur kering optimal (70-80)%
 Tebal lumpur kering di atas pasir (20-30) cm
 Tebal lumpur basah di atas pasir (30-45) cm
 Media pasir yang harus diganti secara berkala dan dipasang pada lapisan teratas
mempunyai kriteria seperti berikut:
o Ukuran egfektif =(0,30 – 0,50) mm
o Koefisien keseragaman 5
o Tebal pasir (15-22,5) cm
o Kandungan kotoran ≤ 1 % terhadap volume pasir
 Waktu pengeringan lumpur (7-10) hari

BAB II - 21
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Selain unit pengolahan IPLT dengan sistem konvensional diatas, beberapa alternative
sistem yang digunakan dalam pengolahan limbah pada IPLT di Provinsi Bali khususnya
IPLT Suwung adalah sebagai berikut :
Unit Pemetakan (Thickening)
Pemekatan lumpurdapat dibedakan menjadi empat jenis metode, yaitu: pengentalan
secara gravitasi (gravity thickening), pengentalan secara sentrifugal (centrifugal
thickening), secara pengapungan (floatation thickening) atau dengan menggunakan filter
bertekanan (belt filter press thickening). Jika konsentrasi solid dalam lumpur semula
sebesar 2% maka setelah proses pemekatan, konsentrasi padatan dalam lumpur akan
bertambah menjadi 5%, sehingga terjadi pengurangan volume lumpur sebesar 100 % -
(200/5) % = 60%.
IPLT Suwung menggunakan unit gravity thickener, dalam pengoperasian unit gravity
thickener dilaksanakan dengan persyaratan teknis dan kriteria desain berikut ini:
 unit gravity thickener berbentuk lingkaran dengan influen dari pusat lingkaran tangki;
 unit gravity thickener memiliki efisiensi yang lebih baik bila digunakan pengaduk
lambat, terutama untuk lumpur yang mengandung gas;
 berbentuk silinder dengan kedalaman ±3 meter dengan dasar berbentuk kerucut
 untuk memudahkan pengurasan lumpur dengan waktu retensi selama 1 hari.

Unit Belt Filter Press


Belt filter pressmemiliki fungsi sebagai alat pengolahan lumpur, penekanan lumpurnya
dilakukan oleh sepasang lembar plastik elastis berpori (filter belt), sehingga air dapat
dipaksa keluar dari dalam lumpur. Pelaksanaan perencanaan belt filter press dilaksanakan
berdasarkan kriteria desain yang tertera pada tabel berikut.
Tabel 2.3. Kriteria Desain Belt Filter Press

Sumber : Lampiran Permen PU No 04/PRT/M/2017 tentang Penyelenggaraan Sistem


Pengolahan Air Limbah

Unit Biofilter Aerobik


Biofilter aerobik dioperasikan dengan tambahan pasokan oksigen melalui injeksi udara
menggunakan unit kompresor atau blower dari bagian bawah medifilter dengan tekanan
tertentu lewat media porous (unit diffuser) atau pipa berlobang (perforated pipe).
Perencanaan biofilter aerobik dapat menggunakan kriteria desain sebagai berikut:

BAB II - 22
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Tabel 2.4. Kriteria Desain Biofilter aerob

Sumber : Lampiran Permen PU No 04/PRT/M/2017 tentang Penyelenggaraan Sistem


Pengolahan Air Limbah

2. OPERASI DAN PEMELIHARAAN UNIT – UNIT IPLT


a. Operasi dan Pemeliharaan Truk Tinja
Truk penguras Lumpur tinja ini umumnya terdiri dari tangki tertutup dengan dari
bahan baja dengan kapasitas antara 4-6 m3 yang dilengkapi atau dihubungkan dengan
satu unit pompa penguras baik berupa vakum ataupun pompa sentrifugal. Secara
umum model truk penguras tinja ini mirip dengan truk pembawa air bersih, namun
untuk membedakannya maka truk penguras Lumpur tinja harus diberi warna yang
berbeda,untuk truk tijna tangki maupun truk umumnya dicat dengan warna kuning.
Pengoperasian Truk Tinja
Untuk mengoperasikan vakum truk yang tepat dan benar adalah penting untuk
memperoleh hasil kerja keras secara efektif dan efisien. Operasi dan pemeliharaan
truk tinja mengacu pada Petunjuk Teknis Tata Cara Operasi Dan pemeliharaan Truk
Tinja. Operator (pengemudi dan mekanik) harus benar-benar mengerti dan
memahami petunjuk yang diberikan sebelum memulai operasi.
Hal –hal yang harus dipersiapkan dalam pengoperasian truk tangki antara lain:
a) Hentikan kendaraan pada tempat yang rata dan keras
b) Hidupkan mesin kendaraan pada putaran yang rendah/idle
c) Hidupkan pompa vakum
Pada saat penyedotan langkah prinsip yang dilakukan terdiri dari:
a. Lakukan langkah 1,2 dan 3 dalam Persiapan untuk Operasi
b. Siapkan lubang manhole tangki septic yang akan disedot
c. Masukan selang penyedot/penghisap kedalam tangki septik
d. Tutuplah katup (valve) penyedot dan pembuangan/discharge. Buatlah pompa
dalam keadaan vacum dengan bantuan pompa
e. Pastikan hubungan antar tangki dan pompa vacum dalam kondisi normal
f. Tunggu sesaat,apabila manometer (pressure gauge) menunjukan angka vacum (0
bar), atau minus (-40psi s/d 0 psi), maka buka valve penyedot /suction valve.
g. Perhatikan tanda masuk lumpur ke tangki melalui sight glass, apabila ketinggian
sudah mencapai maksimum tutup kembali valve penyedot kemudian matikan
pompa vakum

BAB II - 23
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

h. Periksa kelengkapan kendaraan untuk persiapan dalam perjalanan dan gulung


selang penyedot pada posisinya semula,untuk kemudian kendaraan dapat
dijalankan.
Pada saat pembuangan,sistem sirkulasi pada peralatan vakum dapat dikemukakan
sebagai berikut:
 Lakukan langkah persiapan untuk operasi seperti diterangkan diatas
 Siapkan selang pembuangan ke dalam unit pengumpul
 Normalkan tekanan dalam tangki sesuai dengan tekanan sekitar 1 bar
 Pastikan hubungan antar pompa vakum dan tangki dalam keadaan normal.
 Buka valve pembuangan,pastikan tekanan pada pressure gauge tidak lebih dari 20
psi di atas nol pada saat pembuangan
 Apabila langkah pembuangan sudah selesai, maka tutup kembali valve pembuangan
 Matikan pompa vakum
 Periksa kelngkapan kendaraan untuk persiapan dalam perjalanan dan gulung selang
pembuangan pada posisi untuk kemudian kendaraan dapat dijalankan
 Dalam proses penyedotan maka diperlukan waktu cukup untuk dapat ke kondisi
vakum. Sedangkan pada proses pembuangan aliran akan terjadi gravitasi
Pemeliharaan Truk Tinja
Setelah pengoperasian bila diperlukan untuk peralatan dan bagian-bagian kendaraan
serta ujung dari selang yang kotor, maka dapat menggunakan air pada tangki air
bersih yang dapat diisi melalui lubang pengisian dengan bersih.
Beberapa petunjuk teknis mengatasi kemungkinan adanya gangguan saat operasi dan
cara penanggulangannya.
a. Pompa Vakum Tidak Berputar
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kondisi ini antara lain:
 Buka drain dan bersihkan dengan semprot air
 Posisi switch belum on sehingga pompa vakum belum bekerja
 Kabel mesin vakum putus dan tidak bekerja
 Sirkulasi ole pelumas pompa tidak bekerja. Oli habis tidak ada sama sekali, juga
kemungkinan oli sudah kotor dan perlu penggantian dengan membuka plug.
 Pompa vakum terlalu panas,karena terlalu lama beroperasi
b. Sirkulasi sistem penyedot dan pembuangan tidak bekerja
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam kondisi ini antara lain:
 Pompa vakum terlalu panas, karena terlalu lama beroperasi.
 Pompa vakum tidak berputar (penyebabnya seperti item 1 diatas).
 Jumlah aliran oli pelumas terlalu banyak, atur penyetel valve pompa
 Ada kebocoran pada sistem pipa,flens atau klem selang, diatasi dengan
mengencangkan pada baut-bautnya.
 Terdapat jebakan air pada mesin vakum, diatasi dengan membuang air rembesan
tersebut melalui plug
c. Suction filter kotor, diatasi dengan membuka flens penutup untuk
membersihkannya.
d. Ujung selang pada saat menyedot dalam tangki septik mampat oleh kotoran

BAB II - 24
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

e. Penggantian Suku Cadang hal ini dilakukan jika terjadi kerusakan bagian-bagian
tertentu dari truk tinja dan tidak dapat diperbaiki lagi, maka perlu dilakukan
penggantian suku cadang. Pada saat kita membeli truk tinja untuk investasi, maka
perlu dipertimbangkan kemudahan memperoleh suku cadang truk tersebut dan di
mana saja suku cadang tersebut dapat diperoleh. Ada baiknya memiliki persediaan
beberapa suku cadang truk tinja yang diketahui mudah rusak untuk mengantisipasi
berhentinya pengoperasian truk tinja. Selain suku cadang tinja perlu pula diadakan
persediaan suku cadang pompa yang digunakan untuk menghisap lumpur tinja.
b. Operasi dan Pemeliharaan Bak Pengumpul
Operasional pemasukan lumpur tinja dari truk ke dalam bak pengumpul
Bak pengumpul atau tangki ekualisasi berupa bak penampung sementara yang
langsung menerima influent lumpur tinja, berbentuk persegi panjang dengan
kedalaman 2-3 meter.

c. Operasi dan Pemeliharaan SSC


Persiapan pengoperasian (start up)
 Pintu air di setting ketinggiannya sehingga 80% volume bak
Asumsi :
Lebar bak : 3 m
Panjang bak : 8 m
Ketinggian total : 2.5 m
Ketinggian untuk mencapai 22 m 3 : 1.0 m
 Dengan debit ≤ 27 m 3 /hari, pengisian dilakukan selama 4 hari Selama 2 hari
setelah pengisian, proses pengendapan, penyaringan dan dekantasi dimulai,
pengaturan (pintu air diturunkan ke bawah) ketinggian, sehingga yang melimpah
ke gutter hanya air saja.
 Selanjutnya, 8 hari kemudian dipergunakan untuk proses pengeringan lumpur yang
tertinggal di dalam bak SSC.
 Bila air sudah habis proses pengaturan dihentikan (ketinggian lumpur di dasar
gutter).
 2 Hari berikutnya digunakan untuk pengambilan lumpur. Lumpur dikeruk secara
manual dan dibawa ke Drying area, untuk dikeringkan.
 Dengan waktu pengisian lumpur tinja ke dalam sebuah bak SSC selama 4 hari,
dilanjutkan dengan waktu pengedapan, penirisan, dekantasi dan pengeringan
lumpur di dalam bak SSC selama 10 hari dan waktu pengurasan/pengambilan cake
dari dalam bak SSC ke dalam Drying Area selama 2 hari yang dilakukan secara
berkesinambungan, maka waktu tunggu dari sebuah bak SSC untuk dapat
dilakukan pengisian oleh lumpur tinja kembali adalah selama 16 hari.
 Dengan waktu tunggu selama 16 hari tersebut, maka dibutuhkan total bak SSC
adalah sebanyak 4 bak SSC.
 Jadi pada hari ke-17 bak SSC tersebut dapat digunakan untuk pengisian kembali
oleh lumpur tinja.

BAB II - 25
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Pembongkaran Muatan Limbah Tinja


Limbah tinja dibongkar dari truk tinja. Yang perlu diperhatikan pada saat proses
pembongkaran adalah :
 Pemasangan Selang pada pipa keluar tangki tinja, agar lumpur tinja tidak tercecer
di luar inlet bak SSC
 Pada waktu pembongkaran kotoran yang menyumbat Screen secepatnya diangkat
dengan cangkul garpu yang disediakan dan selanjutnya di kumpulkan di bak
penampung sampah yang disediakan.
 Pasir, tanah, plastik dan lainnya yang mengendap di lantai miring bak, secara rutin
harus dikeruk dengan sekop, cangkul dan dikumpulkan di bak penampung sampah.
 Secara rutin 2 hari sekali sampah ini harus dibuang di TPA.
Operasional Pengerukan Lumpur
Pengerukan lumpur kering hasil dari SSC dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan
peralatan manual seperti cangkul, sekop dan gerobak dorong. Pemindahan lumpur
pada kolam SSC menuju Drying Area.

d. Operasi dan Pemeliharaan Kolam-kolam stabilisasi


Sebuah IPLT pada umumnya akan terdiri dari beberapa kolam yaitu:
1. Kolam /bak Pengumpul
2. Kolam Anaerobik/kolam fakultatif
3. Kolam Maturasi
4. Kolam Pengeringan Lumpur
Operasional Kolam/bak pengumpul
Bak pengumpul telah dijelaskan pada bagian sehingga tidak akan diuraikan lagi.
Namun perlu diingat agar pengaliran effluent dari bak pengumpul ke dalam kolam
anaerobic jangan sampai merusak lapisan kerak buih yang berfungsi untuk mencegah
keluarnya bau ke lingkungan di sekitar kolam.
Operasional Anaerobik/kolam Fakultatif
Kolam anaerobic dapat diletakkan setelah bak pengumpul, atau juga dapat berfungsi
sebagai penerima apabila bak pengumpul tidak ditemukan. Hal yang harus
diperhatikan pada kola mini adala:
 Kolam ini beroperasi tanpa adanya oksigen terlarut DO (dissolved oxygen)
 Pembersihan terhadap screen harus dilakukan secara regular agar tidak
menggangu pengisian kolam
 Apabila pengoperasian bar screen secara otomatis maka perlu diberikan
oli/pelumas pada alat-alat mekanik.
 Tanaman disekitar tanggul kolam diusahakn pendek (tanaman perdu) dan jangan
sampai meluas ke dalam kolam
 Buih (scum) dan alga dari kolam fakultatif dikurangi dan dibersihkan
 Inlet dan outlet dari kolam untuk pengeliran air harus bebas dari akumulasi
lumpur
 Pemeriksaan rutin terhadap kerusakan tanggul akibat gangguan binatang dan
apabila perlu ditambah dengan racun atau perangkap binatang
 Pemagaran untuk menghindari hal-hal yang mungkin terjatuh ke dalam kolam

BAB II - 26
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Operasional Kolam/bak Maturasi


Penempatannya adalah setelah kolam Fakultatif dengan proses aerobic penuh
sehingga kolam ini relative dangkal (< 1m) dan mempunyai waktu tinggal (retention
time) selam 5-7 hari. Operasi dan pemeliharaannya adalah sebagai berikut:
a. Inlet dan outlet harus dijaga kelancaran pengolahannya,dimana inlet harus bebas
dari lumpur
b. Alga yang terbentuk tidak boleh tinggal dan harus dibuang dari permukaan karena
berpotensi menimbulkan bau
c. Tidak boleh adanya tumbuhan/tanaman keras disekitar tanggul kolam, namun
rumput boelh asalkan disekeliling tanggul
d. Pencatatan debit,kualitas efluen,inlet dan outlet dilakukan agar proses dapat
dikontrol dari segi kualitas (efluen,beban aliran hidrolik dan organik) maupun
kuantitas (kebocoran,dsb)
e. Pemeriksaan rutin terhadap kerusakan tanggul akibat gangguan binatang dan
apabila perlu ditambah dengan racun atau perangkap binatang
f. Pemagaran untuk menghindari hal-hal yang mungkin terjatuh ke dalam kolam

Pada saat pengoperasian beberapa masalah dapat dihindari dengan adanya


perencanaan yang baik dan waktu istirahat yang memadai. Masalah yang mungkin
terjadi beserta penanggulangannya adalah sebagai berikut:
Operasional Aerator dan Tanki Aerasi
 Proses aerasi/penguraian zat organic harus berfungsi secara baik sehingga
menghasilkan efluen yang dapat diendapkan dengan baik pada unit clarifer
 Sistem mekanis aerator harus berfungsi dengan baik serta pengamatan terus-
menerus terhadap zat/bahan pengganggu proses biologis yang ada pada influent
air limbah domestik
 Pengukuran Biomasa
 Untuk mengetahui beban lumpur yang mengendap digunakan pengukuran secara
menaual dengan melihat ketinggian yang ada. Konsentrasi lumpur sebaiknya
diukur di laboratorium sebagai MLVSS ( Mixed Liquor Suspended Solid),tingkat
keterdepanan lumpur sebaiknya diukur sebagai SVI ( Sludge Volume Index)
 Pengolahan lumpur
- Lumpur berlebihan yang dihasilakn setiap hari harus dibuang untuk menjaga
F/M ratio ( rasio makanan dengan jumlah mikroba ) atau waktu tinggal sel yang
sudah ditetapkan.
- Kelebihan lumpur dialirkan ke tangki primer/tangki pengentalan
- Kelebihan lumpur juga dapat dikeluarkan dengan cara membuang mixed liquor
langsung dari pipa effluent ke tangki aerasi.
Tabel 2.5. Permasalahan dalam Pengoperasian Kolam Maturasi
No Masalah / gangguan Penanggulangan / solusi
1. Bau pada kolam Biasanya terjadi apabila akumulasi busa (scum) dan peningkatan
fakultatif alga biru karena proses anaerobic mendominasi proses pada
sistem. Agar segera dibersihkan scum dari permukaan
air/pinggiran kolam. Bila pH < 7 maka ditambahkan kapur pada
inletnya

BAB II - 27
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

No Masalah / gangguan Penanggulangan / solusi


2. Rembesan tinggi pada Kondisi ini sering terjadi pada dasar kolam yang nantinya akan
kolam tertutup dengan sendirinya. Kolam memerlukan bahan
proteksi air misalnya plastic, semen dsb. Alternative lain adalah
memakai penutup/sealing secara menyeluruh dengan tanah liat.
Semua jenis tanaman harus dijauhkan dari dasar kolam
sebelum kolam diisi
3. Tanaman yang tumbuh Semprotkan air dengan tekanan tinggi secara teliti pada
permukaan atau tambahkan CuSO4 dengan konsntrasi 1
mg/liter
4. Lapisan alga tumbuh Pemotongan dilakukan secara periodic untuk menjaga agar
pada kolam fakultatif tanaman tersebut dikendali dan tidak tumbuh liar
dan maturasi
5. Ketinggian tanaman di Kedalaman kolam ditambah atau ditingkatkan beban untuk
kolam menutup cahaya dari dasar kolam.
6. Tumbuhan berkembang Rumput liar harus dihilangkan secara hati-hati dari dasar kolam
sampai permukaan dengan alat (perahu) agar lapisan kedap air tidak rusak
kolam
7. Lubang hewan dan Lubang yang harus ditutup hindarkan keberadaan makanan
serangga pada tanggul hewan yang mungkin tumbuh di sekitar fasilitas pengolahan air
kolam limbah. Perangkap atau racun bila diperlukan.
8. Gangguan hewan Usahakan agar bagian pinggir kolam dalam keadaan bersih dari
terbang tumbuhan liar
9. Konsentrasi alga yang Hentikan aliran dari bawah ke permukaan dimana populasi alga
tinggi pada efluen aliran rendah,pakai aliran horizontal dengan filter dari batu kerikil
penerima
10. Terjadinya aliran Perbaikan sistem aliran (sirkulasi) dengan menambahkan inlet
pendek yang atau outlet dengan penyekat (baffle), perbaiki sistem sirkulasi
mengakibatkan efisiensi arah air bila mungkin dan bersihkan lumpur serta daur ulang
treatment rendah
Sumber : Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000

3. Operasi dan Pemeliharaan Kolam Pengeringan Lumpur


Operasional Pengolahan Lumpur
a) Stabilisasi lumpur
b) Pengkondisian
c) Pengeringan
Bertujuan untuk menurunkan kadar air yang terkandung dalam lumpur. Hal yang harus
dipertimbangkan dalam tahap pengeringan antara lain:
 Biaya yang diperlukan untuk mengangkut lumpur kering akan lebih murah apabila telah
dikeringkan
 Penguraian kadar air dilakukan untuk mencegah bau pembusukan
 Lahan yang tersedia
Pengeringan dapat dilakukan pada bak pengeringan lumpur, dimana keuntungannya antara
lain biaya operasi yang murah,tidak dibutuhkan operator yang banyak,tidak dibutuhkan
keahlian khusus untuk mengoperasikannya,keperluan energy yang kecil,serta tidak terlalu
sensitive terhadap variasi perubahan lumpur. Lumpur dapat diperoleh dari dua sumber,
yaitu dari unit pengolahan awal (preliminary treatment) dan dari unit pengolahan

BAB II - 28
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

sekunder (kolam fakultatif dan kolam maturasi). Lama waktu yang diperlukan untuk
mengeringkan lumpur adalah sekitar (1-2) minggu (tergantung pada ketebalan lumpur
yang ditampung).
Hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian dan pemeliharaan bak pengering
lumpur adalah:
 Ketebalan lumpur di dalam setiap sel bak pengering harus selalu dijaga setebal 0,1 –
0,3 m
 Pengisian bak pengering lumpur dilakukan secara bertahap (satu per satu atau sel demi
sel)
 Pengembilan lumpur kering dari setiap sel kolam pengeringan dilakukan setelah
lumpur menetap selama 10 hari setelah waktu pengisiannya
 Apabila setelah hujan lebat, diatas permukaan pasir yang masih kosong biasanya akan
terdapat kotoran-kotoran yang menggumpal dan akan menggangu proses perembasan
sehingga perlu dibersihkan atau dikeruk
 Pada saat pengerukan, perhatikan apakah ada lapisan pasir yang terangkat. Apabila ada
maka perlu penambahan pasir agar ketebalan media di dalam bak pengering lumpur
tetap terjaga.
Hasil buangan endapan lumpur dari tangki Imhoff akan mengalami pengeringan dengan
panas matahari yang berlangsung selama 14 hari (saat kemarau). Tanah /hasil dari proses
pengeringan dapat dibuang ke TPA atau digunakan sebagai pupuk alam.

2.4.3. SISTEM PENGELOLAAN PERSAMPAHAN


Sistem pengelolaan sampah meliputi beberapa tahapan, yaitu pewadahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir ke Lahan TPA.
1. Pewadahan sampah adalah cara penampungan sampah sementara di sumbernya.
2. Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara
pengumpulan dari masing-masing sumber sampah untuk diangkut ke tempat
pembuangan sementara atau langsung ke tempat pembuangan akhir tanpa melalui
proses pemindahan.
3. Pemindahan sampah adalah tahap memindahkan sampah hasil pengumpulan ke
dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir.
4. Pengangkutan sampah adalah membawa sampah dari lokasi pemindahan atau
langsung dari sumber sampah menuju tempat pembuangan akhir.
5. Pengolahan sampah adalah upaya mengurangi volume atau merubah bentuk
sampah menjadi lebih bermanfaat, antara lain dengan cara pembakaran dalam
incinerator, pengomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan, dan pendaur
ulangan.

Satuan Kerja Sistem Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Provinsi Bali


dalam mendukung upaya pengelolaan persampahan telah membangunan sarana prasrana
persampahan yaitu TPS 3R dan TPA. Landasan teori dalam evaluasi sarana prasarana PLP
bidang persampahan adalah sebagai berikut :

BAB II - 29
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

2.4.3.1. TEMPAT PEMROSESAN SEMENTARA (TPS) 3R


Konsep 3R adalah paradigma baru dalam pola konsumsi dan produksi disemua
tingkatan dengan memberikan prioritas tertinggi pada pengelolaan limbah yang berorientasi
pada pencegahan timbulan sampah, minimisasi limbah dengan mendorong barang yang dapat
digunakan lagi dan barang yang dapat didekomposisi secara biologi (biodegradable) dan
penerapan pembuangan limbah yang ramah lingkungan. Pelaksanaan 3R tidak hanya
menyangkut masalah sosial dalam rangka mendorong perubahan sikap dan pola pikir menuju
terwujudnya masyarakat yang ramah lingkungan dan berkelanjutan tetapi juga menyangkut
pengaturan (manajemen) yang tepat dalam pelaksanaannya.
Prinsip pertama Reduce adalah segala aktifitas yang mampu mengurangi dan mencegah
timbulan sampah. Prinsip kedua Reuse adalah kegiatan penggunaan kembali sampah yang layak
pakai untuk fungsi yang sama atau yang lain. Prinsip ketiga Recyle adalah kegiatan mengelola
sampah untuk dijadikan produk baru. Untuk mewujudkan konsep 3R salah satu cara
penerapannya adalah melalui pengelolaan sampah terpadu 3R berbasis masyarakat, yang
diarahkan kepada daur ulang sampah (recycle). Hal ini dipertimbangkan sebagai upaya
mengurangi sampah sejak dari sumbernya, karena adanya potensi pemanfaatan sampah
organik sebagai bahan baku kompos dan komponen non organik sebagai bahan sekunder
kegiatan industri seperti plastik, kertas, logam, gelas,dan lain-lain.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor
03/PRT/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, diperlukan
suatu perubahan paradigma yang lebih mengedepankan proses pengelolaan sampah yang
ramah lingkungan, yaitu dengan melakukan upaya pengurangan dan pemanfaatan sampah
sebelum akhirnya sampah dibuang ke TPA (target 20% pada tahun 2014).

Gambar 2.10. Konsep Operasional Penanganan Sampah 3R

BAB II - 30
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

A. Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Permukiman


Secara garis besar teknis operasional pengelolaan sampah dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Pola Operasional Pengelolaan Sampah
Menurut Revisi SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di
Permukiman, faktor penentu dalam memilih teknik operasional yang akan diterapkan
adalah kondisi topografi dan lingkungan, kondisi sosial, ekonomi, partisipasi masyarakat,
jumlah dan jenis timbulan sampah.
Uraian lebih rinci tentang pola operasional adalah sebagi berikut :
a. Pewadahan terdiri dari :pewadahan individual dan atau ;pewadahan komunal
b. Jumlah wadah sampah minimal 2 buah per rumah untuk pemilahan jenis sampah
mulai di sumber yaitu (1) wadah sampah organik untuk mewadahi sampah sisa
sayuran, sisa makanan, kulit buah-buahan, dan daun-daunan menggunakan wadah
dengan warna gelap ; (2) wadah sampah anorganik untuk mewadahi sampah jenis
kertas, kardus, botol, kaca, plastik, dan lain-lain menggunakan wadah warna terang.
c. Pengumpulan terdiri dari :
1) pola individual tidak langsung dari rumah ke rumah;

2) pola individual langsung dengan truk untuk jalan dan fasum;

3) pola komunal langsung untuk pasar dan daerah komersial ;

BAB II - 31
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

4) pola komunal tidak langsung untuk permukiman padat.

d. Pemanfaatan dan daur ulang sampai di sumber dan di TPS


e. Pemindahan sampah dilakukan di TPS atau TPS Terpadu dan di lokasi wadah sampah
komunal
f. Pengangkutan dari TPS atau TPS Terpadu atau wadah komunal ke TPA frekuensinya
dilakukan sesuai dengan jumlah sampah yang ada.
Dari uraian tersebut dapat diketahui, yang terpenting dalam operasional adalah tentang
pewadahan, pengumpulan, pemanfaatan, pemindahan dan pengangkutan.

2. Pola Pengelolaan di Sumber Sampah Permukiman


Dalam masalah sampah, sumber sampah adalah pihak yang menghasilkan sampah, seperti
rumah tangga, restoran, toko, sekolah, perkantoran dan lainnya.
Pengelolaan sampah di tingkat sumber dilakukan sebagai berikut :
a. Sediakan wadah sampah minimal 2 buah per rumah untuk wadah sampah organik
dan anorganik
b. Tempatkan wadah sampah anorganik di halaman bangunan
c. Pilah sampah sesuai jenis sampah. Sampah organik dan anorganik masukan langsung
ke masing-masing wadahnya ;
d. Pasang minimal 2 buah alat pengomposan rumah tangga pada setiap bangunan yang
lahannya mencukupi ;
e. Masukkan sampah organik dapur ke dalam alat pengomposan rumah tangga
individual atau komunal ;
f. Tempatkan wadah sampah organik dan anorganik di halaman bangunan bagi sistem
pengomposan skala kingkungan.

3. Pengumpulan Sampah
Pengumpulan sampah dari sumber sampah dilakukan sebagai berikut:
a. Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak atau motor dengan bak terbuka
atau mobil bak terbuka bersekat dikerjakan sebagai berikut :
- Kumpulkan sampah dari sumbernya minimal 2 (dua) hari sekali
- Masukkan sampah organik dan anorganik ke masing-masing bak di dalam alat
pengumpul
- Pindahkan sampah sesuai dengan jenisnya ke TPS atau TPS Terpadu
b. Pengumpulan sampah dengan gerobak atau motor dengan bak terbuka atau mobil
bak terbuka tanpa sekat dikerjakan sebai berikut :

BAB II - 32
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

- Kumpulkan sampah organik dari sumbernya minimal 2(dua) hari sekali dan angkut
ke TPS atau TPS Terpadu
- Kumpulkan sampah anorganik sesuai jadwal yang telah ditetapkan dapat dilakukan
lebih dari 3 hari sekali oleh petugas RT atau RW atau oleh pihak swasta

4. Pengelolaan di TPS/TPS Terbuka


Pengelolaan sampah di TPS / TPS Terbuka dilakukan sebagai berikut:
a. Pilah sampah organik dan anorganik
b. Lakukan pengomposan sampah organik skala lingkungan
c. Pilah sampah anorganik sesuai jenisnya yaitu :
- sampah anorganik yang dapat didaur ulang, misalnya membuat barang kerajinan
dari sampah, membuat kertas daur ulang, membuat pellet plastic dari sampah
kantong plastik keresek
- sampah lapak yang dapat dijual seperti kertas, kardus, plastik, gelas / kaca, logam
dan lainnya dikemas sesuai jenisnya
- sampah B3 rumah tangga
- residu sampah
d. jual sampah bernilai ekonomis ke bandar yang telah disepakati
e. kelola sampah B3 sesuai dengan ketentuan yang berlaku
f. kumpulkan residu sampah ke dalam container untuk diangkut ke TPA sampah.

5. Pembiayaan dan Retribusi


a. Program dan Pengembangan Pembiayaan
Menurut Revisi SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di
Permukiman, program dan pengembangan pembiayaan yang dapat dilakukan antara
lain :
- Peningkatan kapasitas pembiayaan
- Pengelolaan keuangan
- Penentuan tarif iuran sampah
- Melaksanakan kesepakatan masyarakat dan pengelola serta konsultasi masalah
prioritas pendanaan persampahan untuk mendapatkan dukungan komitmen
Bupati/Walikota
Sedangkan sumber biaya berasal dari :
- Pembiayaan pengelolaan sampah dari sumber sampah di permukiman sampai
dengan TPS bersumber dari iuran warga
- Pembiayaan pengelolaan dari TPS ke TPA bersumber dari retribusi / jasa
pelayanan berdasarkan Peraturan daerah / Keputusan Kepala daerah Untuk
kegiatan yang dapat dibiayai meliputi kegiatan investasi dan kegiatan operasional
dan pemeliharaan sampah, yang meliputi depresiasi + biaya operasional dan
pemeliharaan.

b. Iuran dan Retribusi


Untuk iuran dan retribusi diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

BAB II - 33
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

- Iuran dihitung dengan prinsip subsidi silang dari daerah komersil ke daerah non
komersil dan dari permukiman golongan berpendapatan tinggi ke permukiman
golongan berpendapatan rendah ;
- Besarnya iuran diatur berdasarkan kesepakatan musyawarah warga ;
- Iuran untuk membiayai reinvestasi, operasi dan pemeliharaan
- Retribusi diatur berdasarkan peraturan daerah yang berlaku.
c. Peran Serta Masyarakat dan Pemberdayaan Masyarakat
Program untuk peran serta masyarakat dan peningkatan kemitraan :
- Melaksanakan kampanye gerakan reduksi dan daur ulang sampah
- Memfasilitasi forum lingkungan dan organisasi wanita sebagai mitra
- Menerapkan pola tarif iuran sampah
- Menelusuri pedoman investasi dan kemitraan untuk meningkatkan minat swasta.
Pemberdayaan masyarakat :
Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan pada saat: perencanaan, mulai dari
survey kampung sendiri sampai dengan merencanakan sistem pengelolaan,
kebutuhan peralatan, dan kebutuhan dana; pembangunan, bagaimana masyarakat
melakukan pembangunan atau pengawasan pembangunan; pengelolaan, untuk
menentukan pembentukan kelembagaan pengelola dan personil.

B. Persyaratan Teknis Penyediaan TPS 3R


Berdasarkan Permen PU No 03 Tahun 2013 tentang penyelenggaran persampahan
dalam penanganan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga persyaratan teknis
penyediaan TPS 3R adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan TPS 3R :
a. Luas TPS 3R, lebih besar dari 200 m2
b. Jenis pembangunan penampung residu/sisa pengolahan sampah di TPS 3R bukan
merupakan wadah permanen
c. Penempatan lokasi TPS 3R sedekat ,mungkin dengan daerah pelayanan dalam radius
tidak lebih dari 1 km
d. TPS 3R dilengkapi dengan ruang pemilah, pengomposan sampah organik, gudang,
zona penyangga (buffer zone) dan tidak mengganggu estetika serta lalu lintas
e. Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengurangi dan memilah sampah
2. Area kerja pengelolaan sampah terpadu skala kawasan (TPS3R) yang meliputi area
pembongkaran muatan gerobak, pemilahan, perajangan sampah, pengomposan,
tempat/kontainer sampah residu, penyimpanan barang lapak atau barang hasil pemilahan,
dan pencucian.
3. Kegiatan pengelolaan sampah di TPS3R meliputi pemilahan sampah, pembuatan kompos,
pengepakan bahan daur ulang, dll.
4. Pemisahan sampah di TPS3R dilakukan untuk beberapa jenis sampah seperti sampah B3
rumah tangga (selanjutnya akan dikelola sesuai dengan ketentuan), sampah kertas, plastik,
logam/kaca (akan digunakan sebagai bahan daur ulang) dan sampah organik (akan
digunakan sebagai bahan baku kompos).

BAB II - 34
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

5. Pembuatan kompos di TPS3R dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain Open
Windrow dan Caspary. Sedangkan pembuatan kompos cair di TPS 3R dapat dilakukan
dengan Sistem Komunal Instalasi Pengolahan Anaerobik Sampah (SIKIPAS).

C. Pengolahan Sampah TPS 3R


Pengomposan skala kawasan dilakukan terpusat pada skala kapasitas antara 1–2 ton
sampah per hari. Kawasan yang dimaksud dapat berupa kawasan permukiman, pasar,
komersial dan sebagainya. Jika pada permukiman, maka pengomposan skala kawasan
diperuntukkan untuk mengelola sampah organik dari sekitar 100 rumah.
Tahapan pengomposan sampah adalah sebagai berikut:
1. Pengiriman dan penerimaan sampah.
Sampah dari setiap rumah/toko/pasar dan lain-lain dikumpulkan dan dibawa ke TPS 3R.
Sampah tidak langsung diproses pada area pengomposan, akan tetapi dibongkar di area
penerimaan
2. Sortasi (Pemilahan) dan pencacahan sampahorganik.
Setelah sampah dibongkar diarea penerimaan, kemudian dibawa ke area pemilahan.
Sortasi (pemilahan) dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan sampah-sampah organik
yang merupakan bahan baku dalam proses pengomposan, dari sampah anorganik dan
bahan - bahan lain yang tidak dapat dikomposkan. Sampah yang datang di lokasi
pengomposan langsung dibawa ke pelataran sortir untuk pemisahan secara manual.
Sortasi dilakukan sesegera mungkin agar tidak terjadi penumpukan sampah yang
menimbulkan bau.
a. Sampah organik yang berukuran besar dan berbentuk memanjang seperti ranting dan
batang pohon, terlebih dahulu dipotong-potong hingga mencapai ukuran lebih dari 5
cm sehingga mudah dikomposkan
b. Sampah kebun atau pertanian, seperti cabang pohon dan ranting dipisahkan dari
daundaunnya. Sedangkan sampah organik (bertekstur lunak) yang berukuran besar
dengan panjang dan lebar lebih dari 4 cm, perlu dilakukan pencacah dengan mesin
pencacah
c. Sampah anorganik dikumpulkan dan dikemas untuk dijual kepengumpul barang bekas,
sedangkan sampah residu dikumpulkan dan dibawa ke TPS untuk diangkut ke TPA
oleh Dinas Kebersihan.

Gambar 2.11. Diagram Alir Proses Sortasi (Pemilahan)

BAB II - 35
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.12. Diagram Alir Kegiatan Pengomposan Sampah

1. Pengomposan dengan Metode Lajur Terbuka (Open Windrow)


Pengomposan skala kawasan dengan metoda lajur terbuka (open windrow) merupakan
proses pengomposan yang terbukti paling mudah dilakukan dan dikendalikan. Metoda
open windrows yang telah dikembangkan oleh BPPT dan UDPK bahkan tidak
menggunakan pencacahan secara mekanik dan tidak juga menggunakan aktivator.
Pengendalian udara didalam tumpukan windrows dilakukan dengan memindahkan
tumpukan ke tempat lain (sebelah) sehingga disebut juga dengan open windrow bergulir.
Proses pengomposan memerlukan waktu selama 6 minggu.

Ketentuan Kapasitas Pengomposan


Menentukan kapasitas pengomposan perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Metoda UDPK menentukan bahwa ukuran tumpukan sampah yang ideal adalah tinggi
(T) maksimum : 1.5 m, lebar (L) maksimum : 1.75 m dan panjang (P) maksimum : 2
m (tergantung luas lahan yang tersedia)
2. Jumlah sampah yang dapat dikomposkan adalah 60-70% sampah organik
3. Volume setiap tumpukan sampah adalah V m3 (V = P x L x T)
4. Jumlah volume seluruh tumpukan = A m3
A = n x V, dimana n = jumlah tumpukan. Tetapi dalam menentukan jumlah
maksimum tumpukan, harus ada jarak minimal 1.5 m antara tumpukan memanjang.
Jarak antara tumpukan tersebut memungkinkan para pekerja memonitor suhu dan
memudahkan pembalikan sampah
5. Kebutuhan minimum pasokan sampah selama 60 hari proses

BAB II - 36
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

6. Pasokan sampah perhari = P/60


7. Perhitungan hasil produksi
Mengingat penyusutan bahan organik yang terjadi selama proses pengomposan
adalah 75% (berat), maka jumlah hasil akhir kompos adalah 25% dari jumlah
tumpukan awal.

Langkah-Langkah Pengerjaan Pengomposan Secara Open Windrow meliputi :


a. Pemilahan Sampah
1. Dilakukan pemilahan pada sampah yang masuk dengan membagi sampah menjadi
:
- Sampah organik yang dapat dikomposkan
- Sampah yang tidak dapat dikomposkan
- Barang berbahaya
- Residu
- Barang Lapak
2. Jual barang lapak ke pemulung atau bandar lapak
3. Jika ada insinerator di sebelah area pengomposan, bakarlah residu. Buang sisa
pembakaran dan barang berbahaya yang dibungkus dalam wadah tersendiri
4. Jika tidak ada insinerator, bungkus barang berbahaya dalam kantong tersendiri
kemudian dibuang bersama residu ke TPA
b. Penumpukan Bahan Kompos
1. Lakukan penumpukan sampah organik (hasil pemilahan) yang dapat
dikomposkan di atas aerator bambu dengan ukuran yang sesuai
2. Lakukan penyiraman setiap mencapai ketebalan 30 cm, agar kelembaban merata

c. Pengukuran Suhu dan Kelembaban


1. Lakukan pengukuran suhu dengan termometer alkohol pertama kali setelah
penumpukan berumur 2-4 hari untuk mendapatkan suhu tumpukan > 65 °C
2. Setelah itu, setiap 2-4 hari lakukan pengukuran suhu tumpukan pada sekitar 5
lubang dengan suhu rata-rata yang diinginkan selama proses sesuai ketentuan.
Cara mengukur suhu adalah lubang/tusuk sisi-sisi tumpukan (sekitar 5 lubang)
dengan kedalaman alat bantu berupa sebatang besi atau kayu keras. Kedalaman
lubang adalah 2/3 tinggi dari tebal tumpukan. Masukkan termometer tersebut,
lalu lubang ditutup kembali, sehingga yang terlihat tali pengikat termometer.
Setelah 1-2 menit termometer dicabut dengan menarik talinya, lalu secepatnya
dibaca suhunya pada termometer, agar tidak dipengaruhi suhu lingkungan.

BAB II - 37
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

3. Lakukan pengukuran kelembaban tumpukan pada saat yang sama dengan


pengukuran suhu. Kelembaban tumpukan yang diinginkan sekitar 50 %. Cara
mengukur kelembaban bahan tumpukan adalah dari bagian dalam, kemudian
remas dengan kepalan tangan.
- Jika air remasan mengalir cukup banyak dari sela-sela jari, berarti tumpukan
tersebut ter lalu lembab atau di atas > 50%.

- Jika air remasan tidak keluar dari sela jari, berar ti tumpukan tersebut terlalu
kering atau kelembaban di bawah < 50 %.

- Jika air remasan menetes dari sela-sela jari, berarti tumpukan tersebut
mempunyai kelembaban sesuai yang dibutuhkan

4. Perlakukan Pada Proses Pelapukan


Berikan perlakukan berikut sesuai hasil pengukuran suhu dan ketembaban yaitu:
a. Jika suhu dan kelembaban tumpukan selama proses sesuai dengan ketentuan
yaitu sekitar 45°C–60 °C dan kelembaban 50 % maka pembalikan dapat
dilakukan seminggu sekali bersamaan dengan perlakuan penyiraman. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

BAB II - 38
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

b. Jika suhu tumpukan < 45ºC atau 60 ºC, maka lakukan pembalikan. Cara
melakukan pembalikan :
- Pembalikan ganda : bongkar tumpukan di sekeliling terowongan bambu,
lalu susun kembali ketempatnya semula menjadi tumpukan.

- Pembalikan tunggal : bongkar tumpukan dengan langsung


memindahkannya ke tempat baru di sebelahnya.

c. Jika kelembaban tumpukan di atas yaitu > 50 % (basah), maka lakukan


pembalikan pada tumpukan tanpa penyiraman
d. Jika kelembaban tumpukan kurang, lakukan penyiraman, baik pada saat
pembalikan atau secara langsung di atas tumpukan.

Prasarana dan Sarana Pengomposan Dengan Lajur Terbuka (Open


Windrows) Peralatan yang dibutuhkan
Jenis peralatan yang dibutuhkan untuk pengomposan lajur terbuka adalah :
1. Alat pengomposan manual.
a. Garu, alat untuk membentuk dan membalik tumpukan sampah
b. Sekop, untuk proses pengayakan dan pengemasan
c. Pompa air dan perpipaan untuk penyiraman
d. Gerobak dorong untuk mengangkut sampah dan kompos
e. Timbangan
f. Termomoter kompos
g. Pakaian kerja
h. Alat Pencacah(Bila diperlukan)

BAB II - 39
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

i. Alat pengemas kompos


j. Alat pengayak kompos, manual atau mekanis.
2. Gerobak sampah untuk mengambil sampah dari sumbernya
3. Instalasi penampung lindi
4. Instalasi listrik
5. Kontainer residu sampah

Area yang dibutuhkan


Jenis prasarana ruangan yang dibutuhkan untuk pengomposan lajur terbuka adalah :
Ruang beratap tanpa dinding atau dinding setengah :
1. Ruang Pemilahan
2. Ruang Pengomposan
3. Ruang Pematangan
Ruang beratap tertutup dengan dinding :
1. Ruang Gudang
2. Ruang Peralatan
3. Ruang kantor dan toilet

Bangunan TPS 3R Sistem Lajur Terbuka (Open windrow)


Estimasi area yang lebih tepat dapat dihitung lebih rinci. Area yang terpenting pada
proses pengomposan lajur terbuka adalah area pengomposan. Area ini harus dapat
menampung dan memproses sampah untuk jangka waktu 6 minggu.

Gambar 2.13. Desain Peletakan Pengomposan Open Windrow

BAB II - 40
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.14. Tampak Depan dan Tampak Samping Design

2. Pengomposan Skala Kawasan Dengan Metoda Cetakan (Caspary)


Proses pengomposan skala kawasan dengan metoda cetakan merupakan proses
pengomposan dengan menggunakan alat cetak untuk membantuk sampah dalam bentuk
kubus. Proses pengomposan sampah dengan sistem cetakan ini digunakan jika lahan yang
ada tidak terlalu luas. Proses pengomposan dengan sistem cetak lebih agak rumit
dibandingkan dengan metoda jalur terbuka karena membutuhkan alat cetak. Sifat
tumpukan sampah juga lebih padat dibandingkan lajur terbuka sehingga udara yang
terperangkap pada tumpukan sampah menjadi lebih sedikit.

Gambar 2.15. Pengomposan Dengan Metoda Cetakan Metoda Cetak

Pembentukan Tumpukan
Alur proses pengomposan dengan sistem cetak tidak terlalu berbeda dengan sistem open
windrows. Hal yang secara prinsip berbeda adalah pada saat membentuk tumpukan
sampah untuk proses pengomposan selanjutnya.
Sampah organik yang sudah terpilah dibawa kearea pengomposan. Pada area
pengomposan disiapkan alat pencetak yang terbuat dari papan. Ukuran baku untuk alat
pencetak memang belum ditentukan, akan tetapi sebagai dasar perhitungan dapat
digunakan dimensi alat cetak lebar 1 meter, panjang 2 meter dan tinggi 0,5 meter
(gambar 2.9).

BAB II - 41
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.16. Desain Teknis Cetakan Kompos

Pencetakan sampah dilakukan dengan memasukkan sampah organik kedalam kotak


cetakan. Secara manual sampah dalam cetakan dipadatkan, setelah itu kotak cetakan
diangkat maka terbentuklah tumpukan sampah yang sudah tercetak. Tumpukan yang
sudah terbentuk diberi tanda atau label yang berisi informasi mengenai waktu
pembentukan tumpukan.
Pencetakan sampah dilakukan dengan memasukkan sampah organik kedalam kotak
cetakan. Secara manual sampah dalam cetakan dipadatkan, setelah itu kotak cetakan
diangkat maka terbentuklah tumpukan sampah yang sudah tercetak. Tumpukan yang
sudah terbentuk diberi tanda atau label yang berisi informasi mengenai waktu
pembentukan tumpukan.

Gambar 2.17. Pencetakan Sampah Secara Manual

Secara berkala, tumpukan sampah dibalik 1 atau 2 kali seminggu secara manual.
Pembalikan tumpukan dapat dilakukan dengan memindahkan tumpukan yang sudah
tercetak kedalam kotak cetakkan berikutnya dan demikian seterusnya. Waktu

BAB II - 42
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

pembalikan dicatat dan tumpukan yang sudah dilakukan pembalikan diberi tanda tanggal
pembalikan. Proses pembalikan memang agak rumit dibandingkan sistem lajur terbuka.

Prasarana dan Sarana Pengomposan Dengan Sistem Cetak


Jenis peralatan yang dibutuhkan untuk pengomposan sistem cetak adalah:
1. Alat pengomposan manual
a. Garu, alat untuk membentuk dan membalik tumpukan sampah
b. Kotak cetakan sampah
c. Skop, untuk proses pengayakan
d. Pompa air dan pemipaan untuk penyiraman
e. Gerobak dorong untuk mengangkut sampah dan kompos
f. Timbangan
g. Termomoter kompos
h. Pakaian kerja
i. Alat pengemas kompos
j. Alat pengayak kompos,manual atau mekanis
2. Gerobak sampah untuk mengambil sampah dari sumbernya
3. Instalasi penampung air lindi
4. Instalasi listrik
5. Kontainer residu sampah

Area yang dibutuhkan


Jenis prasarana ruangan yang dibutuhkan untuk pengomposan sistem cetak hampir sama
dengan instalasi pengolahan sampah lajur terbuka (open windrow), yang berbeda hanya
pada luasan area pengomposan.
Estimasi area yang lebih tepat dapat dihitung lebih rinci. Area yang terpenting pada
proses pengomposan cetakan adalah area pengomposan. Area ini harus dapat
menampung dan memroses sampah untuk jangka waktu 6 minggu. Untuk modul 200
kepala keluarga dengan asumsi 5 jiwa per kepala keluarga.

D. Fasilitas TPS 3R
Fasilitas TPS 3R meliputi wadah komunal, areal pemilahan, areal composting (kompos
dan kompos cair), dan dilengkapi dengan fasilitas penunjang lain seperti saluran drainase, air
bersih, listrik, barier (pagar tanaman hidup) dan gudang penyimpan bahan daur ulang maupun
produk kompos serta biodigester (opsional).
1. Perlatan Pewadahan
Pewadahan sampah merupakan cara penampungan sampah sementara di sumbernya baik
secara individual maupun komunal.Kegiatan pewadahan sampah mempunyai tujuan antara
lain :
a. untuk mengisolasi sampah dalam suatu wadah yang ditentukan agar tidak berserakan
b. untuk mempermudah proses penanganan selanjutnya yaitu pengumpulan
Alternatif berbagai jenis sarana pewadahan individual dan komunal dengan kriteria
ditampilkan pada tabel 2.2, sedangkan berbagai bentuk kreasi sarana pewadahan sampah
disajikan pada gambar 2.11.

BAB II - 43
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Untuk pelaksanaan pewadahan individual menjadi tanggung jawab masing-masing sumber,


sementara pelaksanaan pewadahan komunal menjadi tanggung jawab bersama dari
beberapa sumber yang menggunakannnya.
Sumber : Panduan Pembangunan Persampahan Di Kawasan Permukiman Baru, Direwktorat
Pengembangan Lingkungan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya.

Tabel 2.6. Berbagai Jenis Sarana Pewadahan Sampah Individual dan Komunal
No Sarana Pewadahan Kriteria

Nama : Kantong Plastik


Jenis : indoor / outdoor, individual
1.
Ukuran : 50 – 120 liter
Bahan : PE

Nama : Bin Plastik Kecil


Jenis : indoor, individual
2.
Ukuran : 10 – 30 liter
Bahan : PVC, PE

Nama : Bin Plastik Sedang


Jenis : indoor/outdoor, individual
3.
Ukuran : 50 – 70 liter
Bahan : PVC, PE

Nama : Bin plastik


Jenis : Indoor/outdoor, individual,
4. untuk sumber sampah besar
Ukuran : 120 liter
Bahan : PE, PP

Nama : Bin Plastik


Jenis : Indoor/outdoor, komunal
5.
Ukuran : 120 liter
Bahan : PE, PP, dilengkapi roda

BAB II - 44
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

No Sarana Pewadahan Kriteria

Nama : Tong Kayu


Jenis : outdoor, individual
6.
Ukuran : 50 - 70 liter
Bahan : kayu

Gambar 2.18. Contoh Kreasi Wadah Sampah

2. Peralatan Pengumpulan Sampah


Pengumpulan sampah dilakukan untuk memindahkan sampah dari sumber ke TPS 3R.
Ketidakcocokan pemilihan alat-alat pengumpul sampah, kurang baiknya pemeliharaan dan
kurang terlatihnya operator dalam mengoperasikan alat dapat menimbulkan terjadinya
kerusakan-kerusakan pada alat sehingga kesediaan alat pengumpul yang beroperasi
menjadi sangat rendah dan menimbulkan biaya-biaya untuk perbaikan. Oleh karena itu,
penting untuk mengetahui pemilihan dan cara pengoperasian yang benar untuk alat-alat
pengumpulan sampah.
Faktor-faktor yang menentukan pemilihan alat pengumpulan antara lain sebagai berikut :
a. Banyaknya timbulan sampah yang akan ditangani dalam satuan ton timbulan sampah
per hari
b. Jenis sampah yang akan ditangani
c. Dana yang tersedia, termasuk dana untuk operasional dan pemeliharaan
d. Kondisi daerah pelayanan, seperti : kondisi jalan, jangkauan pelayanan dan sebagainya
Berikut adalah berbagai alternatif alat pengumpulan sampah TPS 3R yang cocok untuk
daerah dengan kondisi jalan datar dan jangkauan pelayanan yang tidak terlalu jauh :

BAB II - 45
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.19. Gerobak Sampah dan Becak Sampah menggunakan bin dan sekat)

Gambar 2.20. Gerobak Sampah dan Becak Sampah (Tanpa Bin dan Sekat)

Gambar 2.21. Motor Sampah Tertutup dengan Bin dan Sekat

BAB II - 46
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.22. Motor Sampah Terbuka (tanpa bin dan sekat)

Gambar 2.23. Motor Sampah Terbuka (menggunakan bin dan sekat)

3. Peralatan Pengumpulan Sampah


Alat pencacah dan pengayak kompos merupakan dua jenis sarana yang dibutuhkan ketika
melakukan proses pengomposan. Alat pencacah adalah alat yang digunakan untuk
mencacah bahan pupuk organik yang berasal dari biomasa seperti rumput, jerami, padi,
batang jagung dan pucuk tebu (SNI 7580 : 2010). Sedangkan alat pengayak kompos adalah
alat yang digunakan untuk memisahkan partikel kompos atau menyortir kompos setelah
proses penggilingan atau penghancuran.
A. Alat Pencacah Organik (Choper)
Berikut adalah desain alat pencacah sampah organik sesuai dengan ketentuan SNI
(Gambar 2.17).

Gambar 2.24. Mesin Pencacah Sampah Organik


Sumber : SNI 7580:2010 - Mesin Pencacah Sampah Organik (Chopper) Bahan Pupuk Organik Syarat Mutu Dan Dimensi Uji

BAB II - 47
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Keterangan :
1. Bagian pengeluaran
2. Pengatur ukuran potongan bahan organik
3. Bagian pencacah
4. Motor penggerak
5. Rangka
6. Bagian pengumpan bahan
7. Pisau pencacah

Berikut adalah spesifikasi teknis alat pencacah organik berdasarkan kelasnya.


Tabel 2.7. Spesifikasi Teknis Mesin Pencacah

Sumber : SNI 7580:2010 Mesin Pencacah Organik (Chopper) Bahan Pupuk Organik Syarat
Mutu dan Dimensi Uji

Klasifikasi
Berdasarkan kapasitasnya, mesin pencacahan bahan organik di bagi menjadi 3 (tiga)
kelas, yaitu :
1. Kelas A adalah mesin pencacah yang mempunyai kapasitas lebih kecil dari 600
kg/jam
2. Kelas B adalah mesin pencacah yang mempunyai kapasitas 600-1.500 kg/jam
3. Kelas C adalah mesin pencacah yang mempunyai kapasitas lebih besar dari 1.500
kg/jam
Berikut adalah contoh alat pencacah yang saat ini tersedia di pasaran. Harga alat ini
berkisar antara Rp 11.000.000 hingga Rp 16.000.000 (Gambar 2.18).

BAB II - 48
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.25. Beberapa Contoh Alat Pencacah Sampah

B. Alat Pengayak Kompos


Terdapat dua jenis alat pengayak kompos, antara lain :
1. Manual (tanpa mesin)
2. Mekanis (menggunakan mesin). Cocok digunakan untuk produksi kompos > 100
kg/hari
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan alat pengayak kompos mekanis akan
menambah biaya operasional.
1. Alat Pengayak Kompos Manual

Gambar 2.26. Pengayak Kompos Manual

2. Alat Pengayak Kompos Mekanis

Gambar 2.27. Pengayak Kompos Mekanis

BAB II - 49
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Tabel 2.8. Spesifikasi Alat Pengayak Kompos

2.4.3.2. TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA)


Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang paling
sering dijumpai dalam pengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan
pengurugan atau penimbunan dikenal sebagai landfilling, yang diterapkan mula-mula pada
sampah kota. Cara ini dikenal sejak awal tahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai
sanitary landfill, karena aplikasinya memperhatikan aspek sanitasi lingkungan.
Definisi yang sederhana tentang sanitary landfill adalah:
Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-
perlapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan
dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup
dengan tanah penutup.
Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah
yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang
sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan. Metode sanitary landfill
kemudian berkembang dengan memperhatikan juga aspek pencemaran lingkungan
lainnya, serta percepatan degradasi dan sebagainya, sehingga terminologi sanitary landfill
sebetulnya sudah kurang relevan untuk digunakan.
Landfilling dibutuhkan karena:
 Pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat
menyingkirkan limbah semuanya;
 Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut;
 Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk
dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia
Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota.
Beberapa hal yang perlu dicatat adalah:
 Banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena murah, mudah dan luwes;
 Digunakan pula untuk menyingkirkan limbah industri, seperti sludge (lumpur) dari
pengolahan limbah cair, termasuk limbah berbahaya;
 Bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan pencemaran
lingkungan, terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air tanah;

BAB II - 50
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan
prasarana yang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan
pengoperasian yang baik pula.
Lahan yang tersedia di sebuah TPA tidak semua dapat digunakan untuk pengurugan atau
penimbunan sampah. Prasarana lain perlu dipertimbangkan seperti : area pengolah lindi,
jalan akses dan operasi, jalur hijau/area penyangga, dan sebagainya. Diperkirakan sekitar
20 - 30% dari luas lahan yang ada akan terpakai untuk kebutuhan tersebut, di luar
kebutuhan untuk pengurugan dan penimbunan.
Pengupasan dinding dan dasar lahan jelas akan menambah kapasitasnya di samping akan
diperoleh tanah penutup. Namun pengupasan tanah dasar memerlukan kehati-hatian.
Beberapa pertimbangan yang membutuhkan observasi lapangan terlebih dahulu guna
menentukan seberapa dalam dasar sebuah TPA boleh dikupas, adalah muka air tanah,
struktur geologi, dan kemampuan pengelola untuk melaksanakan.
Jarak yang dipersyaratkan antara dasar landfill dengan muka air tanah adalah 3,0 meter
atau lebih, sehingga memungkinkan adanya zone penyangga dari tanah tersebut andaikata
lindi dari sampah di atasnya merembes ke bawah. Lapisan tersebut harus mempunyai
kelulusan minimum sebesar 10-6 cm/detik, sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama
bagi lindi tersebut untuk mencapai air tanah.
Struktur geologi (litologi) perlu mendapat perhatian. Pengupasan yang tidak disertai data
lapangan akan mengakibatkan masalah misalnya:
 Terdapatnya lapisan yang sulit untuk dikupas;
 Terdapatnya lapisan yang tidak diinginkan.
Di atas kertas memang tidak ada masalah untuk mengupas lahan rencana sampai
kedalaman berapapun, namun kenyataan di lapangan mungkin akan berbeda terutama bila
pengelola TPA tidak disiapkan untuk itu, misalnya tidak tersedianya alat berat untuk
melaksanakannya. Keuntungan lain yang diperoleh dengan pengupasan dasar adalah
tersedianya slope dasar dengan besar dan arah kemiringan yang diinginkan, sehingga
memudahkan pengelolaan lindi. Konsekuensinya, pengupasan yang kurang sistematis akan
mengubah rancangan dari dasar landfill sehingga dapat menimbulkan masalah dalam
mengalirkan lindi.
Ketinggian maksimum timbunan sampah akan menentukan lanskap akhir dari landfill
tersebut kelak. Tentunya diinginkan sebuah landfill yang bila telah ditutup akan menyatu
dengan lingkungannya serta sesuai dengan fungsinya. Di samping itu. ketinggian
maksimurn juga hendaknya mempertimbangkan kemampuan operasi penimbunan sampah
serta kestabilan dari timbunan tersebut.
Grading final dari sebuah landfill tidak ditentukan secara sembarang, namun hendaknya
dirancang dari awal disesuaikan dengan kondisi lanskap sekitarnya atau kegunaan lahan
tersebut setelah pasca operasi.
Oleh karena pengukuran timbulan sampah yang diterapkan di Indonesia adalah dengan
satuan volume (basah), maka pengukuran ini membutuhkan dibedakannya kepadatan (bulk
density) sampah dalam berbagai keadaan. Kepadatan sampah pada bak sampah di rumah
adalah tidak sama dengan kepadatan sampah di gerobak (yang kadangkala diperpadat
dengan penginjakan oleh petugas). Selanjutnya, kepadatan pada alat transportasi akan
ditentukan oleh jenis truk dan mekanisme pemadatannya.

BAB II - 51
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Demikian pula kepadatan di urugan akan ditentukan oleh aplikasi alat berat serta
jenisnya. Secara teoritis, kepadatan sampah di suatu tempat akan tergantung pada
ketinggian sampah tersebut. Dengan demikian estimasi kebutuhan site landfilling yang
langsung dihitung dari timbulan di sumber akan menghasilkan prakiraan yang berlebihan
bila landfill tersebut dioperasikan secara lapis per lapis dan dipadatkan dengan alat berat.
Secara praktis kepadatan di urugan dapat dihitung berdasarkan angka 0,60-0,65 ton/m3.
Sedang kepadatan sampah di truk pengangkut sekitar 0,30-0,35 ton/m3.
Ketersediaan tanah penutup memegang peranan sangat penting agar landfilling tersebut
dapat beroperasi secara baik. Biasanya sebuah landfill yang dirancang secara baik akhimya
menjadi open dumping akibat masalah tanah penutup yang tidak diterapkan karena
berbagai alasan.
Penanganan sampah yang baik di area penimbunan akan meningkatkan masa layan lahan.
Pembagian lahan menjadi beberapa area kerja akan memudahkan dalam pengelolaan lahan
secara keseluruhan, di sarnping dapat mendata jumlah dan jenis sampah yang masuk ke
dalam area kerja tersebut. Peranan pengurugan, penyebaran, dan pemadatan sampah
secara lapis per lapis akan menambah kepadatan sampah dibandingkan bila dilakukan
sekaligus sampai ketinggian tertentu. Di samping itu, aplikasi timbunan sampah semacam
itu akan memungkinkan berlangsungnya fase aerobik yang lebih lama, sehingga akan
mempercepat stabilitas sampah.
Penelitian pada timbunan sampah setinggi 2,0 meter yang ditutup tanah penutup setebal
20 cm terungkap bahwa timbunan tersebut akan tetap memungkinkan fase aerobik yang
ditandai dengan panas timbunan di sekitar 50oC. Konsep timbunan aerobik tersebut
sebetulnya dapat pula dikembangkan lebih jauh misalnya dengan mengatur agar suatu
timbunan sampah dibiarkan sampai sekitar 10-15 hari sebelum di atasnya ditimbun
sampah baru.
Adanya penurunan permukaan (settlement) timbunan sampah, baik secara mekanis
maupun biologis, akan menambah kapasitas lahan sehingga memperlama masa layan.
Namun sebaiknya asumsi settlement karena proses biologis tidak diperhitungkan dalam
perancangan, karena:
 Degradasi yang terjadi belum tentu diikuti oleh settlement.
 Andaikata terjadi akan mernbutuhkan waktu yang sulit diukur, penelitlan skala pilot
menunjukkan bahwa settlement mekanis maksimum adalah sebesar 15-25% dari tinggi
awal, yang terjadi pada minggu pertama. Penurunan ini terjadi akibat konsolidasi
sampah. Setelah itu tinggi permukaan landfill relatif stabil.
 Pemadatan sampah di timbunan dengan mengandalkan alat berat dozer atau loader
yang biasa digunakan di TPA Indonesia akan menghasilkan kepadatan timbunan sampai
0,70 ton/m3.
 Masalah ketersediaan liner dan tanah penutup merupakan kendala yang berkaitan
dengan biaya OM.
Tanah penutup antara lain efektif untuk mencegah adanya lalat. Penelitian yang
dilaksanakan di Bogor menunjukkan bahwa populasi lalat akan turun dengan sendirinya di
timbunan yang telah berumur lebih dari 7 hari. Oleh karena itu, bila dalam sebuah lahan-
urug belum dapat mensyaratkan aplikasi tanah penutup harian, maka paling tidak aplikasi
tanah penutup dilaksanakan setidak-tidaknya sebelum 5 hari.

BAB II - 52
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Berbeda halnya dengan liner, maka tanah penutup disarankan untuk tidak terlalu kedap
agar proses penguraian sampah secara aerobik masih bisa berlangsung dengan baik pada
sel timbunan teratas. Nilai kelulusan antara 10-4 sampal 10-5 cm/det cukup baik untuk itu.
Di samping itu agar tanah penutup tidak retak pada saat panas, maka Indeks Plastisitas
(IP) tanah yang baik adalah lebih kecil dari 40%. Bila tidak, maka sebaiknya tanah tersebut
dicampur dengan tanah tertentu (seperti pasir) agar memperkecil IP tersebut.

A. Operasional Dan Pemeliharaan TPA


Hal hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan operasional dan pemeliharaan TPA adalah
sebagai berikut : (mengacu pada NPSM)
1. Pembagian Area Efektif Pengurugan
a). Lahan efektif untuk pengurugan sampah dibagi menjadi beberapa area atau zone,
yang merupakan penahapan pemanfaatan lahan, dibatasi dengan jalan operasi
atau penanda operasional lain, tanggul pembatas, atau sistem pengumpul lindi.
Zone operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk jangka
waktu panjang misal 1 – 3 tahun.
b). Lahan efektif selanjutnya dapat dibagi dalam sub-area, atau sub-zone, atau blok
operasi dengan lebar masing-masing sekitar 25 m. Setiap bagian tersebut dibagi
menjadi beberapa strip. Pengurugan sampah harian dilakukan pada strip yang
ditentukan, yang disebut working face. Setiap working face mempunyai lebar
maksimum 25 m, yang merupakan lebar sel sampah.
c). Blok operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk
penimbunan sampah selama periode operasi menengah misalnya 1 atau 2 bulan.
Luas blok operasi sama dengan luas sel dikalikan perbandingan periode operasi
menengah dan pendek.
d). Pengurugan sampah pada :
 Sanitary landfill : sampah disebar dan dipadatkan lapis per-lapis sampai
ketebalan sekitar 1,50 m yang terdiri dari lapisan-lapisan sampah setebal
sekitar 0,5 m yang digilas dengan steel wheel compactor atau dozer paling tidak
sebanyak 4 sampai 6 gilasan, dan setiap hari ditutup oleh tanah penutup
setebal minimum 15 cm, sehingga menjadi sel-sel sampah. Setelah terbentuk
3 (tiga) lapisan, timbunan tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup
antara setebal minimum 30 cm. Tinggi tinggi lapisan setinggi sekitar 5 m
disebut sebagi 1 lift, dengan kemiringan talud sel maksimum 1 : 3.
 Controlled landfill : sampah disebar dan dipadatkan lapis per-lapis sampai
ketebalan sekitar 4,50 m yang terdiri dari lapisan-lapisan sampah setebal
sekitar 0,5 m yang digilas dengan steel wheel compactor atau dozer paling tidak
sebanyak 3 sampai 5 gilasan, sehingga menjadi sel-sel sampah. Setelah
terbentuk ketinggian tersebut, timbunan kemudian ditutup dengan tanah
penutup antara setebal minimum 20 cm. Tinggi tinggi lapisan setinggi sekitar 5
m disebut sebagi 1 lift.
 Di atas timbunan sampah dalam bentuk lift tersebut kemudian diurug sampah
baru, membentuk ketinggian seperti dijelaskan di muka. Bila pengurugan

BAB II - 53
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

sampah dilakukan dengan metode area, maka untuk memperkuat kestabilan


timbunan, maka batas antara 2 lift tersebut dibuat terasering selebar 3 – 5 m.
e). Lebar sel berkisar antara 1,5 – 3 lebar blade alat berat agar manuver alat berat
dapat lebih efisien. Panjang sel dihitung berdasarkan volume sampah yang akan
diurug pada hari itu (untuk sanitary landfill) dibagi dengan lebar dan tebal sel.
Batas sel harus dibuat jelas dengan pemasangan patok-patok dan tali agar
operasi penimbunan sampah dapat berjalan dengan lancar.
f). Guna memudahkan masuknya truk pengangkut sampah ke titik penuangan, maka
dibuat jalan semi-permanen antar lift, dengan maksimum kemiringan jalan 5%.
g). Elevasi dan batas sub-zone maupun sel-sel urugan sampah tersebut harus dibuat
jelas dengan pemasangan patok-patok atau cara lain agar operasi pengurugan
dan penimbunan sampah dapat berjalan dengan lancar.
h). Untuk mencegah terjadinya erosi air permukaan, maka dibuat drainase
pelindung penggerusan menuju titik di bawahnya.
i). Pelapisan lahan diprioritaskan dimulai dari lembah (lajur utama pipa lindi).
Pelapisan berikutnya adalah di bagian kemiringan dinding sesuai dengan naiknya
lift timbunan sampah.
j). Kegiatan pengurugan sampah tersebut di atas harus didahului dengan
konstruksi berjalan, yang secara garis besar terdiri dari :
 Pembuatan sistem pelapisan dasar
 Pemasangan sistem penangkap dan pengumpulan leachate
 Pemasangan sistem pengumpul dan penyalur gas.

Denah TPA Area efektif pengurugan


Gambar 2.28. Pembagian Area Efektif Pengurugan

2. Konstruksi Sistem Pelapis Dasar (Liner)


a). Teliti kembali kedalaman muka air tanah pada musim hujan terhadap lapisan
dasar TPA yaitu minimum 3 meter sebelum tanah dasar dikupas dan dipadatkan.
b). Padatkan tanah dasar dengan alat berat, dan arahkan kemiringan dasar menuju
sistem pengumpul leachate. Pelapis dasar hendaknya :
 Tidak tergerus selama menunggu penggunaan, seperti terpapar hujan dan
panas
 Tidak tergerus akibat operasi rutin, khususnya akibat truk pengangkut
sampah dan operasi alat berat yang lalu di atasnya

BAB II - 54
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Sampah halus tidak ikut terbawa ke dalam sistem pengumpul lindi, dan
memungkinkan lindi mengalir dan terarah ke bawahnya.
c). Bila menggunakan tanah liat, lakukan pemadatan lapis-perlapis minimum 2
lapisan dengan ketebalan masing-masing minimal 250 mm, sampai mencapai
kepadatan proctor 95%. Kelulusan minimal dari campuran tanah tersebut
mempunyai kelulusan maksimum 1 x 10-7 cm/det.
d). Lakukan pengukuran kemiringan lapisan dasar TPA yaitu dengan kemiringan
yang disyaratkan 1-2 % ke arah tempat pengumpulan/pengolahan leachate.
 Sanitary landfill, yang terdiri dari :
o Lapisan tanah pelindung setebal minimum 30 cm
o Di bawah lapisan tersebut terdapat lapisan penghalang dari geotekstil atau
anyaman bambu, yang menghalangi tanah pelindung dengan media
penangkap lindi
o Media karpet kerikil penangkap lindi setebal minimum 15 cm, menyatu
dengan saluran pengumpul lindi berupa media kerikil berdiameter 30 – 50
mm, tebal minimum 20 cm yang mengelilingi pipa perforasi 8 mm dari
PVC, berdiameter minimal 150 mm. Jarak antar lubang (prforasi) adalah 5
cm. Di atas media kerikil.
e). Bila menurut desain perlu digunakan geosintetis seperti geomembran, geotekstil,
non-woven, geonet, dan sebagainya, pemasangan bahan ini hendaknya
disesuaikan spesifikasi teknis yang telah direncanakan, dan dilaksanakan oleh
kontraktor yang berpengalaman dalam bidang ini.

Tanah Biasa, 30 cm

Sampah

Gravel
Geotekstil
Kerikil, 15 cm

Tanah Asli Dipadatkan, 15 cm, k = 10-7cm/det

Tanah Liat, 25 cm

Tanah Liat, 25 cm

Tanah Asli Dipadatkan, k = 10-5cm/det

Gambar 2.29. Lapisan Dasar TPA

BAB II - 55
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Pengupasan area pengurugan Pemasangan geomembran


Gambar 2.30. Konstruksi Sistem Pelapis Dasar (Liner)

3. Konstruksi Under-Drain Pengumpul Lindi (Leachate)


a). Teliti kembali pola pemasangan sistem under-drain tersebut sesuai dengan
dengan perencanaan, yaitu dapat berupa pola tulang ikan atau pola lurus.
b). Teliti kembali dan kalau perlu revisi desain jaringan under-drain penangkap dan
pengumpulan leachate agar fungsinya tercapai.
c). Kemiringan saluran pengumpul lindi antara 1 - 2 % dengan pengaliran secara
gravitasi menuju instalasi pengolah lindi (IPL)
d). Sistem penangkap lindi diarahkan menuju pipa berdiamter minimum 150 mm,
atau saluran pengumpul lindi. Pada sanitary landfill, pertemuan antar pipa
penangkap atau antara pipa penangkap dengan pipa pengumpul dibuat bak
kontrol (juction-box), yang dihubungkan sistem ventilisasi vertikal penangkap atau
pengumpul gas.

4. Pemasangan Sistem Penanganan Gas


a). Gas yang ditimbulkan dari proses degradasi di TPA harus dikontrol di tempat
agar tidak mengganggu kesehatan pegawai, orang yang menggunakan fasilitas
TPA, serta penduduk sekitarnya.
b). Gas hasil biodegradasi tersebut dicegah mengalir secara literal dari lokasi
pengurugan menuju daerah sekitarnya.
c). Setiap 1 tahun sekali dilakukan pengambilan sampel gas-bio pada 2 titik yang
berbeda, dan dianalisa terhadap kandungan CO2 dabn CH4.
d). Pada sistem sanitary landfill, gasbio harus dialirkan ke udara terbuka melalui
ventilasi sistem penangkap gas, lalu dibakar pada gas-flare. Sangat dianjurkan
menangkap gasbio tersebut untuk dimanfaatkan.
e). Pada sistem controlled landfill, gasbio harus dialirkan ke udara terbuka melalui
ventilasi sistem penangkap gas, sedemikian sehingga tidak berakumulasi yang
dapat menimbulkan ledakan atau bahaya toksik lainnya.
f). Pemasangan penangkap gas sebaiknya dimulai dari saat lahan-urug tersebut
dioperasikan, dengan demikian metode penangkapannya dapat disesuaikan
antara dua cara tersebut.

BAB II - 56
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

g). Metode untuk membatasi dan menangkap pergerakan gas adalah :


 Menempatkan materi impermeabel pada atau di luar perbatasan landfill untuk
menghalangi aliran gas
 Menempatkan materi granular pada atau di luar perbatasan landfill
(perimeter) untuk penyaluran dan atau pengumpulan gas
 Pembuatan sistem ventilasi penagkap gas di dalam lokasi ex-TPA.
j). Sistem penangkap gas dapat berupa :
 Ventilasi horizontal : yang bertujuan untuk menangkap aliran gas dalam dari
satu sel atau lapisan sampah
 Vantilasi vertikal : merupakan ventilasi yang mengarahkan dan
mengalirkan gas yang terbentuk ke atas
 Ventilasi akhir : merupakan ventilasi yang dibangun pada saat
timbunan akhir sudah terbentuk, yang dapat
dihubungkan pada pembakar gas (gas-flare) atau
dihubungkan dengan sarana pengumpul gas untuk
dimanfaatkan lebih lanjut. Perlu difahami bahwa
potensi gas pada ex-TPA ini sudah mengecil sehingga
mungkin tidak mampu untuk digunakan dalam operasi
rutin.
k). Timbulan gas harus dimonitor dan dikontrol sesuai dengan perkiraan umurnya.
l). Beberapa kriteria desain perpipaan vertikal pipa biogas :
 Pipa gas dengan casing PVC atau PE : 100 - 150 mm
 Lubang bor berisi kerikil : 50 - 100 cm
 Perforasi : 8 - 12 mm
 Kedalaman : 80 %
 Jarak atara ventilasi vertikal : 25 – 50 m.

Penangkap gas pada lahan urug Pipa gas pada lahan urug

BAB II - 57
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gas flare pada lahan urug Pembangkit listrik gasbio


Gambar 2.31. Sistem Penanganan Gas

5. Penanganan Sampah yang Masuk


a). Kegiatan operasi pengurugan dan penimbunan pada area pengurugan sampah
secara berurutan meliputi :
 Penerimaan sampah di pos pengendalian, dimana sampah diperiksa, dicatat
dan diarahkan menuju area lokasi penuangan
 Pengangkutan sampah dari pos penerimaan ke lokasi sel yang dioperasikan
dilakukan sesuai rute yang diperintahkan
 Pembongkaran sampah dilakukan di titik bongkar yang telah ditentukan
dengan manuver kendaraan sesuai petunjuk pengawas
 Perataan sampah oleh alat berat yang dilakukan lapis-per-lapis agar tercapai
kepadatan optimum yang diinginkan
 Pemadatan sampah oleh alat berat untuk mendapatkan timbunan sampah
yang cukup padat sehingga stabilitas permukaannya dapat menyangga lapisan
berikutnya
 Penutupan sampah dengan tanah untuk mendapatkan kondisi operasi sanitary
atau controlled landfill.
b). Setiap truk pengangkut sampah yang masuk ke TPA membawa sampah harus
melalui petugas registrasi guna dicatat jumlah, jenis dan sumbernya serta tanggal
waktu pemasukan. Petugas berkewajiban menolak sampah yang dibawa dan akan
diproses di TPA bila tidak sesuai ketentuan.
c). Mencatat secara rutin jumlah sampah yang masuk dalam satuan volume (m3)
dalam satuan berat (ton) per hari. Pencatatan dilakukan secara praktis di
jembatan timbang/pos jaga dengan mengurangi berat truk masuk (isi) dengan
berat truk keluar TPA (kosong).
d). Pemrosesan sampah masuk di TPA dapat terdiri dari :
 Menuju area pengurugan untuk diurug, atau
 Menuju area pemerosesan lain selain pengurugan, atau
 Menuju area transit untuk diangkut ke luar TPA.
e). Pemulung ataupun kegiatan peternakan di lokasi TPA dan sekitarnya tidak
dilarang, tetapi sebaiknya dikendalikan oleh suatu peraturan untuk ketertiban
kegiatan tersebut.

BAB II - 58
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Penimbangan kendaraan Daur ulang sampah di TPA

Pengomposan sampah di TPA Penuangan sampah


Gambar 2.32. Penanganan Sampah yang Masuk TPA

6. Pengurugan Sampah pada Bidang Kerja


a). Sampah yang akan diproses dengan pengurugan atau penimbunan setelah didata
akan dibawa menuju tempat pengurugan yang telah ditentukan. Dilarang
menuang sampah di mana saja kecuali di tempat yang telah ditentukan oleh
pengawas lapangan. Letak titik pembongkaran harus diatur dan diinformasikan
secara jelas kepada pengemudi truk agar mereka membuang pada titik yang
benar sehingga proses berikutnya dapat dilaksanakan dengan efisien.
b). Titik bongkar umumnya diletakkan di tepi sel yang sedang dioperasikan dan
berdekatan dengan jalan kerja sehingga kendaraan truk dapat dengan mudah
mencapainya. Titik bongkar yang baik kadang sulit dicapai pada saat hari hujan
akibat licinnya jalan kerja. Hal ini perlu diantisipasi oleh penanggung jawab lokasi
agar tidak terjadi.
c). Jumlah titik bongkar pada setiap sel ditentukan oleh beberapa faktor :
 Lebar sel
 Waktu bongkar rata-rata
 Frekuensi kedatangan truk pada jam puncak.
d). Harus diupayakan agar setiap kendaraan yang datang dapat segera mencapai titik
bongkar dan melakukan pembongkaran sampah agar efisiensi kendaran dapat
dicapai.

BAB II - 59
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

e). Sampah yang dibawa ke area pengurugan kemudian dituangkan secara teratur
sesuai arahan petugas lapangan di area kerja aktif (working face area) yang
tersedia.
f). Pekerjaan perataan dan pemadatan sampah dilakukan dengan memperhatikan
efisiensi operasi alat berat. Perataan dan pemadatan sampah dimaksudkan untuk
mendapatkan kondisi pemanfaatan lahan yang efisien dan stabilitas permukaan
TPA yang baik.
g). Pada TPA dengan intensitas kedatangan truk yang tinggi, perataan dan
pemadatan perlu segera dilakukan setelah sampah menggunung sehingga
pekerjaan perataannya akan kurang efisien dilakukan.
h). Pada TPA dengan frekuensi kedatangan truk yang rendah maka perataan dan
pemadatan sampah dapat dilakukan secara periodik, misalnya pagi dan siang.
i). Setelah sebuah truk melaksanakan tugasnya, maka alat angkut tersebut dicuci,
paling tidak dengan membersihkan bak dan roda truk agar sampah yang melekat
tidak terbawa ke luar lokasi operasi. Bilasan pencucian ini dialirkan menuju
pengolah lindi, atau dikembalikan ke urugan sampah.

Pemadatan sampah dengan Pengurugan, pemadatan, dan perataan


Compactor sampah
Gambar 2.33. Pengurugan Sampah pada Bidang Kerja

7. Aplikasi Tanah Penutup


a). Padatkan tanah penutup reguler dengan alat berat, dan arahkan kemiringan
dasar menuju pengumpul aliran drainase. Upayakan agar air run-off ini tidak
bercampur dengan saluran penampung lindi yang keluar secara lateral.
b). Penutupan sampah dengan tanah serta proses pemadatannya dilakukan secara
bertahap sel demi sel, sehingga setelah sel lapisan pertama selesai maka dapat
dilanjutkan dengan membuat lapisan selanjutnya di atasnya.
c). Lapisan tanah penutup hendaknya :
 Tidak tergerus selama menunggu penggunaan, seperti tergerus hujan,
tergerus akibat operasi rutin, khususnya akibat truk pengangkut sampah dan
operasi alat berat yang lalu di atasnya
 Mempunyai kemiringan menuju titik pengumpulan.
e). Sistem penutup akhir pada sanitary landfill terdiri atas beberapa lapis, yaitu
berturut-turut dari bawah ke atas :

BAB II - 60
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Di atas timbunan sampah : lapisan tanah penutup reguler (harian atau antara).
Bila sel harian tidak akan dilanjutkan untuk jangka waktu lebih dari 1 bulan,
maka dibutuhkan penutup antara setebal 30 cm dengan pemadatan
 Lapisan karpet kerikil berdiameter 30 – 50 mm sebagai penangkap gas
horizontal setebal 20 cm, yang berhubungan dengan perpipaan penangkap gas
vertikal
 Lapisan tanah liat setabal 20 cm dengan permeabilitas maksimum sebesar 1 x
10-7 cm/det
 Lapisan karpet kerikil under-drain penangkap air infiltrasi terdiri dari media
kerikil berdiameter 30 – 50 mm setebal 20 cm, menuju sistem drainase.
Bilamana diperlukan di atasnya dipasang lapisan geotekstil untuk mencegah
masuknya tanah di atasnya
 Lapisan tanah humus setebal minimum 60 cm.
f). Sistem penutup akhir pada controlled landfill terdiri atas beberapa lapis, yaitu
berturut-turut dari bawah ke atas :
 Di atas timbunan sampah : lapisan tanah penutup reguler (harian atau antara)
 Lapisan tanah liat setabal 20 cm dengan permeabilitas maksimum sebesar 1 x
10-7 cm/det
 Lapisan tanah humus setebal minimum 60 cm
e). Bila menurut desain perlu digunakan geotekstil dan sebagainya, pemasangan
bahan ini hendaknya disesuaikan spesifikasi teknis yang telah direncanakan, dan
dilaksanakan oleh kontraktor yang berpengalaman dalam bidang ini.
g). Kemiringan tanah penutup akhir hendaknya mempunyai grading dengan
kemiringan maksimum 1 : 3 untuk menghindari terjadinya erosi.
h). Kemiringan dan kondisi tanah penutup harus dikontrol setiap hari untuk
menjamin peran dan fungsinya, bilamana perlu dilakukan penambahan dan
perbaikan pada lapisan ini.
i). Dalam kondisi sulit mendapatkan tanah penutup, dapat digunakan reruntuhan
bangunan, sampah lama atau kompos, debu sapuan jalan, hasil pembersihan
saluran sebagai pengganti tanah penutup.
j). Penutup akhir diaplikasikan pada setiap area pengurugan yang tidak akan
digunakan lagi lebih dari 1 tahun. Ketebalan tanah penutup final ini paling tidak
60 cm.
k). Pada area yang telah dilaksanakan penutupan final diharuskan ditanami pohon
yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.

BAB II - 61
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Penutup (Cover) Controlled Landfill Penutup (Cover) Sanitary Landfill


Gambar 2.34. Sistem Penutup pada Controlled Landfill dan Sanitary Landfill

Penutupan tanah harian Penutupan tanah akhir


Gambar 2.35. Penutupan Tanah

8. Pengoperasian Unit Pengolahan Lindi (Leachate)


a). Lakukan evaluasi rutin terhadap as-built drawing, spesifikasi teknik jaringan under-
drain pengumpul leachate, sistem pengumpul leachate, bak kontrol dan bak
penampung, pipa inlet ke instalasi, dan instalasi pengolah lindi (IPL) agar sistem
yang ada sesuai dengan perkembangan sampah yang masuk.
b). Pada pengolahan secara biologi, lakukan seeding dan aklimatisasi terlebih dahulu
sesuai SOP IPL, sebelum dilakukan proses pengolahan leachate sesungguhnya.
Langkah ini kemungkinan besar akan terus dibutuhkan, bila terjadi perubahan
kualitas dan beban seperti akibat hujan atau akibat perubahan sampah yang
masuk, atau akibat tidak berfungsinya sistem IPL biologis ini, sehingga merusak
mikrorganisme semula.
d). Dianjurkan agar pada saat tidak hujan, sebagian lindi (leachate) yang ditampung
dikembalikan ke timbunan sampah sebagai resirkulasi lindi. Lakukan pengecekan

BAB II - 62
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

secara rutin pompa dan perpipaan resirkulasi leachate untuk menjamin sistem
resirkulasi tersebut.
e). Lakukan secara rutin dan periodik updating data curah hujan, temperatur dan
kelembaban udara, debit leachate, kualitas influen dan efluen hasil IPL, untuk
selanjutnya masuk ke informasi recording/pencatatan.
f). Kolam penampung dan pengolah leachate seringkali mengalami pendangkalan
akibat endapan suspensi. Hal ini akan menyebabkan semakin kecilnya volume
efektif kolam yang berarti semakin berkurangnya waktu tinggal, yang akan
berakibat pada rendahnya efisiensi pengolahan yang berlangsung. Untuk itu,
perlu diperhatikan agar kedalaman efektif kolam tetap terjaga.
g). Lumpur endapan yang mulai tinggi melampaui dasar efektif kolam harus segera
dikeluarkan. Gunakan excavator dalam pengeluaran lumpur ini. Dalam beberapa
hal dimana ukuran kolam tidak terlalu besar, dapat digunakan truk tinja untuk
menyedot lumpur yang terkumpul yang selanjutnya dapat dibiarkan mengering
dan dimanfaatkan sebagai tanah penutup sampah.
h). Resirkulasi lindi sangat dianjurkan untuk mempercepat proses stabilitas urugan
sampah. Resirkulasi dilakukan pada saat tidak turun hujan, dengan melakukan
pemompaan dari penampungan lindi menuju pipa gas vertikal, atau menuju
langsung pada timbunan sampah.
i). Lateral drainage aliran lindi perlu disiapkan, khususnya bila timbunan sampah
berada di atas tanah (above ground) agar lindi yang muncul dari sisi timbunan
sampah tidak bercampur dengan air permukaan (air run-off). Drainase yang
terkumpul melalui drainase khusus ini dialirkan menuju pengolah lindi.

9. Penggunaan dan Pemeliharaan Alat-Alat Berat TPA


Penggunaan dan Pemeliharaan Alat Berat
a). Kebutuhan alat berat untuk sebuah TPA akan bervariasi sesuai dengan
perhitungan desain dari sarana landfill ini.
b). Alat berat yang digunakan untuk operasi pengurugan sampah hendaknya selalu
siap untuk dioperasikan setiap hari. Katalog dan tata-cara pemeliharaan harus
tersedia di lapangan dan diketahui secara baik oleh petugas yang diberi tugas.
c). Lakukan inventarisasi dan teliti kembali spesifikasi teknis dan fungsi alat-alat
berat yang tersedia :
o Loader atau bulldozer (120 – 300 HP) atau landfill compactor (200 – 400 HP)
berfungsi untuk mendorong, menyebarkan, menggilas/memadatkan lapisan
sampah. Gunakan blade sesuai spesifikasi pabrik guna memenuhi kebutuhan
kapasitas aktivitas
o Excavator untuk penggalian dan peletakan tanah penutup ataupun
memindahkan sampah dengan spesifikasi yang disyaratkan dengan bucket 0,5
- 1,5 m3
o Dump truck untuk mengangkut tanah penutup (bila diperlukan) dengan
volume 8 – 12 m3.
d). Penggunaan dan pemeliharaan alat-alat berat harus sesuai dengan spesifikasi
teknis dan rekomendasi fabrik. Karena alat-alat berat tersebut pada dasarnya
digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan teknik sipil, maka penggunaan pada

BAB II - 63
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

sampah akan mengakibatkan terjadinya korosi yang berlebihan atau


bantalan/sepatu wheel atau bulldozer macet karena terselip potongan jenis
sampah tertentu yang diurug. Untuk mengurangi resiko tersebut, beberapa hal
yang perlu diperhatikan antara lain adalah :
o Kedisiplinan pemanfaatan jalur track (traficability) pada lahan dan bidang kerja
TPA yang telah disiapkan, jalan operasional dan tanah penutup
o Instruksi yang jelas dan training bagi operator untuk menggunakan dan
memelihara alat-alat berat
o Peningkatan management after-sales service system dengan alokasi dana yang
memadai untuk melakukan pemeliharaan secara rutin dan periodik :
 Penyediaan garasi/bengkel beratap dan peralatan yang diperlukan
 Pembersihan dan pemeliharaan alat-alat berat harian
 Servis alat-alat berat bulanan
 Penyediaan minyak pelumas/oli
 Pembelian dan pemasangan spare-part (alokasi budget tahunan)
 Hubungan on-line dengan supplier/dealer alat-alat berat dan pelatihan
diusahakan untuk operator/mechanic untuk pemahaman lebih lanjut
mengenai spesifikasi teknis, penggunaan dan pelaksanaan perawatan
kendaraan secara rutin dan berkala
 Penyiapan record konsumsi bahan bakar, penggunaan minyak pelumas, dan
data-data terkait dengan pemeliharaan rutin dan berkala.

Pemeliharaan Jalan, Drainase, dan Jembatan timbang


a). Jalan merupakan sarana TPA yang harus selalu ada dalam desain dan pekerjaan
konstruksi. Sarana jalan di TPA umumnya adalah :
 Jalan masuk/akses, yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah
tersedia
 Jalan penghubung, yang menghubungkan antara satu zone dengan zone lain
dalam wilayah TPA
 Jalan operasi/kerja, yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik
pembongkaran sampah
 Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas, biasanya
jalan-jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan
kerja/operasi.
b). Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat
seperti dengan konstruksi hotmix, beton, aspal, perkerasan sirtu, kayu.
c). Pemeliharaan jalan di TPA umumnya dibutuhkan pada ruas jalan masuk dimana
kondisi jalan bergelombang maupun berlubang yang disebabkan oleh beratnya
beban truk sampah yang melintasinya. Jalan yang berlubang/bergelombang
menyebabkan kendaraan tidak dapat melintasinya dengan lancar sehingga terjadi
penurunan kecepatan yang berarti menurunnya efisiensi pengangkutan, di
samping lebih cepat ausnya beberapa komponen seperti kopling, rem, dan lain-
lain.

BAB II - 64
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

d). Bagian jalan lain yang juga sering mengalami kerusakan dan kesulitan adalah jalan
kerja dimana kondisi jalan temporer tersebut memiliki faktor kestabilan yang
rendah, khususnya bila dibangun di atas sel sampah. Kondisi jalan yang tidak baik
dapat menimbulkan kerusakan batang hidrolis pendorong bak pada dump truck,
terutama bila pengemudi memaksa membongkar sampah pada saat posisi
kendaraan tidak rata/horizontal.
e). Jalan kerja dapat memiliki faktor kesulitan lebih tinggi pada saat hari hujan. Jalan
yang licin menyebabkan truk sampah sulit bergerak dan harus dibantu oleh alat
berat, sehinggga menyebabkan waktu operasi pengangkutan di TPA menjadi
lebih panjang dan pemanfaatan alat berat untuk hal yang tidak efisien.
f). Lakukan pengawasan harian terhadap jalan akses/masuk dari kemungkinan
terjadinya blokade jalan truk. Jalan masuk disyaratkan 2 arah, yaitu tipe jalan
kelas 3, dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam. Pemeliharaan rutin dan
rehabilitasi jalan masuk termasuk saluran drainase TPA harus dilakukan tahunan.
g). Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan
tujuan memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Semakin kecil
rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah, akan semakin kecil pula
debit leachate yang dihasilkan
h). Drainase utama dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Drainase
dapat berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas
timbunan sampah tersebut. Permukaan tanah penutup harus dijaga
kemiringannya mengarah pada saluran drainase.
i). Lakukan pemeriksaan rutin setiap minggu khususnya pada musim hujan, untuk
menjaga tidak terjadi kerusakan saluran yang serius.
j). Saluran drainase dipelihara dari tanaman rumput atau semak yang mudah sekali
tumbuh akibat tertinggalnya endapan tanah hasil erosi tanah penutup. TPA di
daerah bertopografi perbukitan akan sering mengalami erosi akibat aliran air
yang deras.
k). Lapisan drainase dari pasangan semen yang retak atau pecah perlu segera
diperbaiki agar tidak mudah lepas oleh erosi air, sementara saluran tanah yang
berubah profilnya akibat erosi perlu segera dikembalikan ke dimensi semula agar
dapat berfungsi mengalirkan air dengan baik.

Pemeliharaan Tanah Penutup


a). Lakukan pemeliharaan secara rutin terhadap tanah penutup, terutama dengan
terbentuknya genangan (ponding) agar fungsi tanah penutup tetap seperti yang
diharapkan. Lapisan penutup TPA perlu dijaga kondisinya agar tetap berfungsi
dengan baik. Perubahan temperatur dan kelembaban udara dapat menyebabkan
timbulnya retakan permukaan tanah yang memungkinkan terjadinya aliran gas
keluar dari TPA ataupun mempercepat rembesan air pada saat hari hujan.
Retakan yang terjadi perlu segera ditutup dengan tanah sejenis.
b). Proses penurunan permukaan tanah juga sering tidak berlangsung seragam
sehingga ada bagian yang menonjol maupun melengkung ke bawah.
Ketidakteraturan permukaan ini perlu diratakan dengan memperhatikan

BAB II - 65
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

kemiringan ke arah saluran drainase. Penanaman rumput dalam hal ini dianjurkan
untuk mengurangi efek retakan tanah melalui jaringan akar yang dimiliki.
c). Pemeriksaan kondisi permukaan TPA perlu dilakukan minimal sebulan sekali
atau beeberapa hari setelah terjadi hujan lebat untuk memastikan tidak
terjadinya perubahan drastis pada permukaan tanah penutup akibat erosi air
hujan.
d). Deposit (cadangan) tanah penutup harus tersedia untuk cadangan 1 minggu.
Deposit ini dapat berasal dari tanah galian area pengurugan, tanah dari luar
(borrowed materails) atau dari penyaringan sampah yang sudah diurug lebih dari
3 tahun.

Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Lain


a). Fasilitas penerimaan sampah dan jembatan timbang dimaksudkan sebagai tempat
pemeriksaan sampah yang datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan
truk sampah. Pada TPA besar yang melampaui 50 ton/hari, dianjurkan
penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan pendataan. Lakukan
pembersihan rutin dan kalibrasi secara periodik jembatan timbang pada pos jalan
masuk (beban 5 ton).
b). Lakukan pembersihan harian dan pemeliharaan secara periodik bangunan
kantor, gudang, pos jaga, bengkel/garasi, termasuk instalasi listrik dan
penerangan, pompa/jaringan pipa air bersih dan sarana sanitasi.
c). Peralatan bermesin lain seperti pompa air, aerator IPL sangat vital bagi operasi
TPA sehingga kehandalan dan unjuk kerjanya harus dipelihara secara rutin.
Pengoperasian dan pemeliharaannya harus selalu dijalankan dengan benar agar
peralatan tersebut terhindar dari kerusakan.
d). Kegiatan perawatan seperti penggantian minyak pelumas baik mesin maupun
transmisi harus diperhatikan sesuai ketentuan pemeliharaannya. Demikian pula
dengan pemeliharaan komponen seperti baterai, filter-filter, dan lain-lain tidak
boleh dilalaikan ataupun dihemat seperti banyak dilakukan.

10. Pemantauan Operasional


a). Pemantauan dan pencatatan rutin hendaknya dilakukan secara baik, untuk
mencatat :
 Permasalahan operasional lapangan yang penting, pengaduan dari masyarakat
atau kesulitan yang dijumpai selama operasi harian
 Sumber, jumlah, karakteristik dan komposisi sampah yang ditangani
 Secara rutin dilakukan pengukuran topografi ulang di atas timbunan sampah
untuk mengevaluasi sisa kapasitas lahan yang tersediaa
 Setelah area pengurugan ditutup karena penuh, suatu laporan rinci perlu
dibuat, yang berisi catatan dan data yang penting, yang terkait dengan
monitoring jangka panjang.
b). Setiap awal operasi di pagi hari, pengawas lapangan melakukan peninjauan pada
rencana lokasi penuangan sampah hari itu untuk mengevaluasi :

BAB II - 66
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Kondisi sekitar lahan operasi, khususnya erosi timbunan, settlement, fungsi


instalasi pengolah lindi dan pengendali biogas
 Kondisi drainase permukaan
 Kondisi jalan operasi
 Stok tanah penutup.
c). Pada musim hujan, lakukan pengamatan rutin terhadap kemiringan tanah
penutup harian, untuk menjamin pengaliran run-off dari atas lapisan penutup
mengalir secara lancar menuju ke saluran drainase.
d). Bila terdapat aktivitas recovery sampah dalam bentuk pemulungan sebelum
pengurugan sampah, maka aktivitas ini hendaknya dimasukkan ke dalam tata-
cara operasional rutin sehingga kegiatan-kegiatan tersebut berjalan secara
sinergis dan saling menguntungkan.
e). Timbunan sampah dalam landfill yang telah matang, sekitar 3-5 tahun, dapat
digali kembali untuk dimanfaatkan sebagai kompos atau tanah penutup. Setelah
landfill site ditata kembali, maka residu yang tidak dapat dimanfaatkan diurug
kembali ke dalam tanah.
f). Selama pengoperasian, permasalahan lingkungan yang biasanya muncul,
hendaknya dipantau dan dikelola secara baik dan profesional. Persoalan utama
yang perlu mendapat perhatian adalah :
 Evaluasi secara kualitatif dan kuantitatif terhadap dampak lingkungan,
khususnya yang terkait dengan pengendalian lindi, gas, dan bau
 Upaya pengendalian bau dan kebakaran
 Upaya-upaya pengendalian binatang pengerat (vektor)
 Upaya-upaya pengendalian debu dan sampah ringan.

11. Kontrol Pencemaran Air


a). Setiap TPA harus menyiapkan rencana pemantauan dan pengontrolan kualitas
air. Rencana kontrol kualitas air harus memuat :
 Kondisi badan air dan prediksi daerah yang berpotensi tercemar oleh lindi
 Elevasi dan arah aliran air tanah
 Lokasi dan tinggi muka air permukaan yang berdekatan
 Potensi hubungan antara lokasi pengurugan, akuifer setempat, dan air
permukaan yang didasarkan atas catatan historis serta informasi lain
 Kualitas air dari zone yang berpotensi terkena dampak sebelum pengurugan
dilakukan
 Rencana penempatan sumur pemantau, stasiun sampling, serta program
sampling
 Informasi tentang karakteristik tanah dan hidrogeologi di bawah lokasi lahan-
urug (landfill) pada kedalaman yang cukup untuk memungkinkan dilakukannya
evaluasi peran tanah tersebut dalam melindungi air tanah
 Rencana kontrol run-off untuk mengurangi infiltrasi air ke dalam urugan, serta
kontrol erosi urugan dan persediaan bahan penutup
 Potensi timbulan lindi dan dan rencana sistem penanggulangannya untuk
melindungi air tanah dan air permukaan.

BAB II - 67
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

b). Lakukan pengecekan dan pemeriksaan secara rutin dan berkala terhadap kualitas
air tanah di sumur-sumur monitoring, sumur penduduk di sekitar TPA dengan
parameter utama pH, daya hantar listrik, khlorida, BOD, COD.
c). Sampah dan lindi tidak boleh berkontak langsung dengan air tanah atau badan air
yang digunakan sebagai sumber air minum. Sampling dan analisa air tanah yang
digunakan sebagai sumber air minum dilakukan secara berkala, mengikuti
standar kualitas air minum yang berlaku.
d). Sampling dan analisa air sungai yang berjarak kurang dari 200 m dari batas
terluar TPA dilakukan secara berkala sesuai peraturan yang berlaku, yaitu setiap
6 bulan selama TPA tersebut dioperasikan. Pemantauan setelah penutupan
dilakukan setiap 2 tahun.

12. Kontrol terhadap Kebakaran, Gas, dan Bau


a). Pembakaran sampah tidak terkontrol (open burning) dilarang dilakukan di lokasi
TPA.
b). Sekeliling lokasi TPA hendaknya dikelilingi zone penyangga dari tanaman yang
dapat menjadi penghalang dari adanya sampah beterbangan dan adanya
penampakan yang dapat mengganggu estetika. Dianjurkan adanya sarana
penghalang sampah terbang yang dapat dipindah pindah sesuai kebutuhan.
c). Kontrol terhadap timbulnya bau dan debu harus diadakan untuk melindungi
kesehatan serta keselamatan personel, penduduk sekitar, serta orang yang
menggunakan fasilitas TPA ini.
d). Tingkat kebauan yang keluar dari TPA digolongkan pada bau yang berasal dari
bau campuran, dinyatakan sebagai ambang bau yang dapat dideteksi secara
sensorik oleh lebih dari 50% anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan)
orang.
e). Kontrol bau dapat juga dilakukan dengan menggunakan fly-index dengan
menggunakan standar kepadatan lalat yang biasa digunakan.
f). Kontrol kebakaran yang muncul akibat pembakaran liar di lokasi, atau karena
terbakarnya bagian sampah yang mudah terbakar, serta tersedianya bahan bakar
gasbio pada timbunan, dapat dihindari dengan menerapkan peraturan yang ketat
(a) agar tidak membuang puntung rokok pada area timbunan sampah, dan (b)
agar tidak membakar sampah pada timbunan sampah. Kebakaran yang terjadi
pada area penimbunan sampah hanya dapat dipadamkan dengan aplikasi tanah
penutup secara merata agar udara tidak masuk ke dalam timbunan sampah.

13. Kontrol Stabilitas Lereng


a). Lahan TPA, khususnya area pengurugan, hendaknya selalu dikontrol terhadap
kemungkinan terjadinya kelongsoran akibat terjadinya ketidakstabilan terhadap
keruntuhan geser, atau terganggunya kestabilan lereng
b). Batasan nilai yang biasa digunakan agar material dalam timbunan tidak runtuh
dikenal dengan sebagai faktor keamanan (safety factor atau SF). Syarat kriteria
nilai SF minimum 1,3 untuk kemiringan timbunan sementara dan 1,5 untuk
kemiringan yang permanen.
c). Pada timbunan di landfill kestabilan akan ditentukan antara lain oleh :

BAB II - 68
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

- Karakteristik dan kestabilan tanah dasar


- Karakteristik dan berat sampah : tambah banyak plastik cenderung tambah
tidak stabil, tambah tinggi timbunan cenderung akan tambah berat, dan akan
tambah tidak stabil. Sifat ini terkait erat dengan kuat geser sampah dalam
timbunan, yang akan tergantung pada sudut geser (Φ) dan daya lekat antar
partikel (nilai kohesi c)
- Kandungan air dalam sampah dan dalam timbunan : tambah lembab sampah
akan tambah tidak stabil, tambah banyak air di dasar timbunan, akan tambah
tidak stabil timbunan tersebut
- Kemiringan lereng : tambah kecil sudut kemiringan akan tambah stabil.
Kemiringan yang baik bagi timbunan sampah adalah antara 20 – 30o
- Penggunaan terassering pada ketinggian tertentu. Sebaiknya digunakan
terasering selebar minimum 5 m untuk setiap ketinggian 5 m
- Kepadatan sampah : tambah padat sampah, maka akan tambah mampu
mendukung timbunan sampah di atasnya. Kepadatan yang baik dengan
penggunaan alat berat dozer akan dicapai bila dilakukan secara lapis-per-lapis
- Jenis dan integrasi tanah penutup harian dan penutup antara : setiap jenis
tanah akan mempunyai sifat kestabilan tertentu, yang membutuhkan informasi
yang akurat sebelum digunakan, seperti nilai Φ dan nilai c.

14. Kontrol Kualitas Lingkungan Lain


a). Penggunaan upaya rekayasa, seperti penahan aliran untuk memperlama run-off
digunakan bilamana perlu untuk mencegah adanya erosi akibat kecepatan run-off
yang berlebihan.
b). Kondisi pengurugan sampah harus dipertahankan agar tidak menarik minat
binatang, khususnya binatang pengerat yang tergolong penyebar penyakit,
seperti tikus, untuk mencari makan dan berkembang biak.
c). Kontrol terhadap stabilitas lereng dan reruntuhan sampah ke saluran drainase
perlu dilakukan secara rutin dengan menatur dan membenahi kembali
kemiringan talud timbunan, dan memperbaiki tanah penutup reguler yang telah
mengalami erosi dan telah mengalamim penurunan.
d). Operasi pemulungan bila tidak dapat dihindari hendaknya memperhatikan
masalah estetika.
e). Manual tentang tata-cara dan prosedur terhadap penyelamatan kecelakaan harus
tersedia di lapangan untuk digunakan oleh pekerja.
f). Setiap pekerja harus diinformasikan tentang cara-cara penyelenggaraan
keselamatan kerja.
g). Peralatan keselamatan kerja seperti sarung tangan, topi lapangan, kacamata
pelindung, sepatu kerja harus disiapkan di lapangan.
h). Tanda-tanda peringatan yang terkait dengan pencegahan kecelakaan, seperti
pemadam kebakaran, dilarang merokok, dsb harus jelas terlihat dari kejauhan.
i). Perkembangan lalat dapat terjadi dengan cepat yang umumnya disebabkan oleh
terlambatnya penutupan dampah dengan tanah sehingga tersedia cukup waktu
bagi telur lalat untuk berkembang menjadi larva dan lalat dewasa. Karenanya
perlu diperhatikan dengan seksama batasan waktu paling lama untuk penutupan

BAB II - 69
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

tanah. Semakin pendek periode penutupan tanah akan semakin kecil pula
kemungkinan perkembangan lalat.
j). Pemantauan sanitasi lingkungan dengan indikator jumlah lalat. Apabila nilai
pengamatan terakhir lebih besar dari sebelumnya, terdapat indikasi penurunan
kualitas lingkungan. Apabila di TPA terdapat tingkat kepadatan lalat lebih dari 20
ekor per grill, maka perlu dilakukan pengendalian.
k). Dalam hal lalat telah berkembang banyak, dapat dilakukan penyemprotan
insektisida dengan menggunakan mistblower. Tersedianya pepohonan dalam hai
ini sangat membantu pencegahan penyebaran lalat ke lingkungan luar TPA.
l). Kebakaran/asap terjadi karena gas metan terlepas tanpa kendali dan bertemu
dengan sumber api. Terlepasnya gas metan seperti telah dibahas sebelumnya
sangat ditentukan oleh kondisi dan kualitas tanah penutup. Sampah yang tidak
tertutup tanah sangat rawan terhadap bahaya kebakaran karena gas tersebar di
seluruh permukaan TPA. Untuk mencegah kasus ini perlu diperhatikan
pemeliharaan lapisan tanah penutup TPA.
m). Pencegahan pencemaran air di sekitar TPA perlu dilakukan dengan menjaga agar
leachate yang dihasilkan dari TPA dapat :
 Terbentuk sesedikit mungkin, dengan mencegah rembesan air hujan melalui
konstruksi drainase dan tanah penutup yang baik
 Terkumpul pada kolam pengumpul dengan lancar
 Diolah dengan baik pada kolam pengolahan yang kualitasnya secara periodik
diperiksa.
15. Kegiatan Pasca Operasi
a). Pemanfaatan lahan TPA pasca operasi sangat dipengaruhi oleh metode pelapisan
tanah penutup akhir. Agar lahan TPA pasca operasi dapat dimanfaatkan dengan
baik, maka tanah penutup harus memenuhi persyaratan sebagai tanah penutup
akhir. Pola penutupan juga direncanakan sesuai dengan lansekap akhir.
b). Pada pasca operasi, pemantauan terhadap kualitas air tanah harus terus
dilakukan secara rutin dan berkala mengingat masih ada potensi pencemaran
dari sampah yang telah diurug. Pada pemantauan pasca operasi, mensyaratkan
bahwa minimum harus ada 2 sumur pantau (1 di hulu dan 1 di hilir sesuai arah
aliran air tanah), dan dipasang sampai dengan zone jenuh.
c). Bekas lahan TPA pasca operasi dapat digunakan antara lain untuk kegunaan :
 Rekreasi aktif area contoh golf course atau atletik, dan rekreasi pasif
 Lahan penghijauan
 Taman
 Cagar alam
 Taman botani
 Lahan pertanian, tanaman jenis palawija
 Penggunaan sebagai lahan perumahan sederhana dapat dilakukan setelah
kestabilan tercapai.
d). Kegiatan pasca operasi TPA antara lain meliputi kegiatan :
 Inspeksi rutin
 Kegiatan revegetasi dan pemeliharaan lapisan penutup

BAB II - 70
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

 Penanaman dan pemeliharaan tanaman di TPA


 Pemeliharaan dan kontrol leachate dan gas
 Pembersihan dan pemeliharaan saluran-saluran drainase
 Pemantauan penurunan lapisan dan stabilitas lereng
 Pemantauan kualitas Lingkungan.
Uraian lengkap tentang teknis pengelolaan pasca operasi TPA terdapat pada NSPM
Tata-Cara Rehabilitasi dan Monitoring TPA.

2.4.4. SISTEM PENGELOLAAN DRAINASE


A. Pengertian Dan Kegunaan
Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna
memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan
wilayah (perencanaan infrastruktur khususnya). Berikut beberapa pengertian drainase :
 Menurut Suripin,2004; drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau
mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air
yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan
atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga diartikan
sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.

B. Jenis drainase
1. Menurut sejarah terbentuknya, Hasmar, 2002:
a. Drainase Alamiah (Natural drainage)
penunjang seperti bangunan pelimpah, pasangan batu/beton, gorong-gorong, dan
lain-lain. Terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena gravitasi yang lambat
laun membentuk jalan air yang permanen seperti sungai.

Gambar 2.36. Pola jaringan drainase. (Hasmar, 2002)

BAB II - 71
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

b. Drainase Buatan (Artificial Drainage)


Drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga memerlukan
bangunan-bangunan khusus seperti selokan pasangan batu/beton, gorong-
gorong, pipa-pipa, dsb.

Gambar 2.37. Pola jaringan drainase. (Hasmar, 2002)

2. Menurut letak saluran


a. Drainase Muka Tanah (surface drainage)
Saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah yang berfungsi
mengalirkan air limpasan permukaan. Analisis alirannya merupakan analisis open
channel flow (aliran saluran terbuka).
b. Drainase bawah muka tanah (sub surface drainage)
Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan melalui
media di bawah tanah (pipa-pipa) karena alasan : tuntutan artistik, tuntutan
fungsi permukaan tanah yang tidak membolehkan adanya saluran di permukaan
tanah seperti lapangan sepak bola, lapangan terbang, taman, dan lain-lain.
3. Menurut fungsi drainase
a. Single purpose
Saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan, misalnya air hujan saja
atau jenis air buangan yang lain seperti limbah domestik, air limbah industri, dan
lain-lain.
b. Multy purpose
Saluran berfungsi mengalirkan beberapa jenis buangan, baik secara
bercampur maupun bergantian.
4. Menurut konstruksi
a. Saluran terbuka
Saluran untuk air hujan yang yang terletak di area yang cukup luas. Juga untuk
saluran air non hujan yang tidak menggangu kesehatan lingkungan.
b. Saluran tertutup
Saluran untuk air kotor yang menggangu kesehatan lingkungan. Juga untuk
saluran dalam kota.

BAB II - 72
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

C. Pola Jaringan Drainase


a. Siku

b. Paralel

c. Grid Iron

d. Alamiah

e. Radial

f. Jaring-jaring

Gambar 2.38. Pola jaringan drainase. (Hasmar, 2002)

BAB II - 73
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

D. Bentuk Saluran
Dalam memilih bentuk saluran, perlu diperhatikan kelebihan dan kekurangan dari
bentuk saluran yang akan digunakan dalam perencanaan saluran air limbah. Bentuk
penampang dan kemiringan dari slauran harus ditentukan secara seksama untuk menghindari
terjadinya luapan, banjir, erosi dan pengendapan. Dalam hubungannya dengan saluran di
bawah permukaan, saluran terbuka diasumsikan sebagai aliran seragam dan persamaan
manning dapat diterapkan pada saluran ini.
Pada aliran seragam, keseimbangan yang ada didapatkan dari kehilangan energi akibat
gesekan diimbangi dengan peningkatan energi akibat kemiringan saluran. Bentuk saluran juga
harus memberikan kemudahan dalam pemeliharaan serta pertimbangan hal-hal yang lain
misalnya kondisi tanah, kondisi daerah dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk saluran drainase yang sering dijumpai di lapangan terdiri dari:
1. Bentuk trapesium
Saluran drainase berbentuk tapesium membutuhkan energi yang cukup dan berfungsi
untuk pengaliran air hujan, air rumah tangga maupun air irigasi.
w
b=Lebar dasar saluran (m)
h= Kedalaman air didalam saluran (m)
i h i = intensitas hujan

m
b
Gambar 2.39. Penampang saluran berbentuk trapesium. (Marsono, 1987)

Kapasitas saluran drainase bebentuk tapesium dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut, (Marsono, 1987) :
- Luas penampang basah saluran tapesium
A  b  m.h h
- Keliling penampang basah saluran tapesium
P  b  2h 1  m 2
- Jai-jari hidrolis
A
R
P
- Kecepatan aliran
1
V  R 2 / 3 S 1/ 2
n
- Debit yang megalir pada saluran
Q  VA
Dimana :
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Kelilinga penampang basah saluran (m)
R = Jari-jari hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluan (m)
V = Kecepatan aliran air dalam saluran (m/dt)

BAB II - 74
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

2. Bentuk segi empat


Saluran dainase berbentuk segi empat tidak banyak membutuhkan ruang. Sebagai
konsekuensi saluran ini harus dari beton. Bentuk saluran tersebut berfungsi untuk
pengaliran air hujan, air rumah tangga maupun irigasi.

b
Gambar 2.40. Penampang saluran berbentuk segi empat. (Marsono, 1987).

Kapasitas saluran drainase berbentuk segi empat dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut, Marsono, 1987 :
- Luas penampang basah segi empat
A  bh  w
- Keliling penampang basah saluran segi empat
P  b  2h
- Jari-jari hidrolis
A
R
P
- Kecepatan aliran
1
V  R 2 / 3 S 1/ 2
n
- Debit yang mengali pada saluran
Q  V .A
3. Bentuk lingkaan
Saluran dainase bentuk lingkaran biasanya terbuat dari pipa beton walaupun dibeberap
tempat menggunakan pasangan. Dengan bentuk dasa saluan yang bulat memudahkan
pengangkutan bahan endapan/limbah. Bentuk saluran demikian berfungsi sebagai saluan
air hujan, air buangan maupun air irigasi.

b
Gambar 2.41. Penampang saluran berbentuk lingkaran. (Marsono, 1987)

BAB II - 75
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Kapasitas saluran dainase berbentuk lingkaran dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut, Marsono, 1987 :
- Luas penampang basah sauran bebentuk lingkaan
1
A   d2
4
- Keliling penampang basah saluan berbentuk lingkaan
P  d
- Jari-jari hidrolis
d
R
4
- Kecepatan aliran
V  0,397 / n x d 2 / 3 x S 1 / 2
- Debit yang mengalir pada saluran
Q  V .A
Dimana :
b = Lebar dasar saluan (m)
h = Kedalaman ai didalam saluran (m)
m = Kemiringan dinding saluran (m)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Kelilinga penampang basah saluran (m)
R = Jari-jari hidrolis (m)
d = Diameter saluan (m)
n = Koefisien Kekasaran Manning
S = Kemiringan dasar saluan (m)
V = Kecepatan aliran air dalam saluran (m/dt)
Q = Debit drainase (m3/dt)

Harga koefisien kekasaran manning (n) ditentukan berdasarkan bahan yang membentuk
saluran dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.9. Kekasaran manning untuk berbagai material
Harga n
No Tipe saluran dan jenis bahan Minimum Normal Maksimum
1 Beton
- Gorong-gorong lurus dan bebas dari kotoran 0,010 0,011 0,013
- Gorong-gorong dengan lengkungan dan sedikit 0,011 0,013 0,014
kotoran
- Beton dipoles 0,011 0,012 0,014
- Saluran pembuangan dengan bak kntrol 0,013 0,015 0,017
2 Tanah lurus dan seragam
- Bersih baru 0,016 0,018 0,020
- Bersih telah melapuk 0,018 0,022 0,025
- Berkerikil 0,022 0,025 0,030
- Berumput pendek, sedikit tanaman pengganggu 0,022 0,027 0,030
3 Saluan alam
- Bersih lurus 0,025 0,030 0,033
- Bersih berbelok-belok 0,033 0,040 0,045

BAB II - 76
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Harga n
No Tipe saluran dan jenis bahan Minimum Normal Maksimum
- Banyak tanaman pengganggu 0,050 0,070 0,080
- Dataan banjir berumput pendek-tinggi 0,025 0,030 0,035
- Saluran belukar 0,035 0,050 0,070
Sumber : Suripin, 2004

E. Hidraulika Perencanaan Drainase. (Marsono, 1987)


 Bentuk PUH ( periode ulang hujan) yang berbeda :

tc(n) = * +
Ket : tc : waktu konsentrasi
I : intensitas hujan
Untuk pertemuan saluran dengan tc yang berbeda :
- Perbedaan yang besar memakai tc yang lebih besar
- Perbedaan kecil dengan rumus :


 Intensitas Hujan :
Talbot
Sherman
Ishiguro
Rumus belt :

2 < T < 100 tahun


5 < t < 120 menit
= di cari dengan tabel Tanimoto :
Misal :

 Bangunan Terjun :
 Lebar bukaan efektif :

 Tinggi ambang hilir :

 Panjang olakan : L = Ci . z . dc + 0,25


( )
hi = tinggi muka air di hulu (m)
H = tinggi garis energi di hulu (m)
Vi = kecepatan aliran di hulu (m/dt)
dc = kedalaman kritis (m)
z = tinggi terjun

BAB II - 77
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

L = panjang kolam olakan (m)


 Bangunan Gorong-gorong :
 Gorong-gorong bulat terisi penuh :
z = h1 – h2

Kehilangan tekanan :
( ) …………pipa persegi

…………pipa bulat

( ) …………pipa persegi
( ) …………pipa bulat
Kb = keliling basah
F = luas penampang basah
D = diameter gorong-gorong
R = jari-jari hidrolis
 Gorong-gorong tidak terisis penuh :
- hf > 2/3 h

b = Lebar gorong-gorong
h = kedalaman air di depan gorong-gorong
f
h = kedalaman air di dalam gorong-gorong
z = kehilangan tekanan
Bangunan Siphone :
- Q=A.V

* ∑
+ bulat

* ∑
+ persegi

- Kehilanagan tekanan
 Karena gesekan : ( )

( )…….bulat
( )…….persegi

 Di Inlet :

BAB II - 78
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

dimana

 Di screen :
β = koefesien batang saringan (persegi =2,42 dan bulat 1,79)
θ = sudut kemiringan batang
t = tebal batang
V = kecepatan di hulu saringan

 Di belokan :

Tabel 2.10. fb tergantung pada besarnya sudut belokan


a: 5 10 15 20 25 30 35 40 45
fb : 0,013 0,03 0,048 0,067 0.088 0,155 0,148 0,184 0,234
(Marsono, 1987.)
- Transisi :
 Saluran ke siphon :
fc = 0,15 – 0,20
V1 = kecepatan di saluran
V2 = kecepatan di siphon
hf + hi + hs + hb + hc + hd < 90 % H

 Street inlet :
d

S = kemiringan (%)
W = lebar jalan
d = kedalaman air pada permukaan jalan (m)
D = jarak antara street inlet (m) (D < 50 meter)
I = intensitas hujan (mm/jam)
(Marsono, 1987).

BAB II - 79
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Gambar 2.42. Langkah – Langkah Perhitungan Dimensi Saluran Drainase.


(Marsono, 1987)

F. Prosedur Perancangan Tata Letak Sistem Jaringan Drainase


Untuk menjamin berfungsinya suatu sistem jaringan drainase perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut, Hasmar, 2002 :
1. Pola arah aliran
Dengan melihat peta topografi kita dapat menentukan arah aliran yang merupakan
natural drainage system yang terbentuk secara alamiah, dan dapat mengetahui
toleransi lamanya genangan dari daerah rencana
2. Situasi dan kondisi fisik kota
Informmasi situasi dan kondisi fisik kota baik yang ada (eksisting) maupun yang sedang
direncanakan perlu diketahui, antara lain :
a. Sistem jaringan yang ada (drainase, irigasi, air minum, telephone, listrik, dsb)
b. Bottle neck yang mungkin ada
c. Batas-batas daerah pemilik

BAB II - 80
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

d. Letak dan jumlah prasarana yang ada


e. Tingkat kebutuhan drainase yang diperlukan
f. Gambaran prioritas daerah secara garis besar
Semua hal tersebut di atas dimaksudkan agar dalam penyusunan tata letak sistem
jaringan drainase tidak terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest).

2.5. METODELOGI EVALUASI SARANA PRASARANA BIDANG PLP


Pelaksanaan evaluasi Sarana Prasarana Bidang PLP menggunakan beberpa panduan
dalam penilain kualitas dan kebermanfaatan pembangunan sarana prasarana infrastruktur
sanitasi. Beberapa panduanyang digunakan dalam evaluasi sarana dan prasrana bidang PLP
adalah sebagai berikut :

2.5.1. PANDUAN KUALITAS VISUAL INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA


Panduan kaulitas visual infrastruktur cipta karya untuk sector sanitasi ini disusun oleh
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Direktorat Jendaral Cipta Karya tahun 2015
yang bertujuan sebagai pedoman bersama para pelaksana kegiatan di lingkungan Ditjen Cipta
Karya dalam melaksanakan pembangunan. Sehingga infrastruktur sanitasi yang dibangun
memiliki kualitas yang andal dan bermanfaat buat masyarakat, terutama dalam perwujudan
lingkungan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan.
Buku ini merupakan rekaman pekerjaan di bidang sanitasi, yang dilaksanakan oleh
pemerintah maupun swasta, untuk memberikan contoh kualitas visual infrastruktur yang baik
dan kurang baik.

BAB II - 81
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Tabel 2.11. Panduan Kualitas Visual Infrastruktur Cipta Karya Sektor Sanitasi
Jenis dan Komponen
No Baik Kurang Baik
Sarana
1 IPAL Terpusat
- Sambungan Rumah
(Bak Kontrol)

Konstruksi bak kontrol terlihat rapi dan dasar bak kontrol memiliki - Konstruksi bak kontrol tidak rapi dan dasar bak kontrol terlihat rata tanpa
plesteran yang rata dan dibuat dengan kemiringan tertentu sehingga air kemiringan yang memadai.
limbah dapat mengalir ke dalam saluran. - Belokan saluran pada bak kontrol memiliki siku yang tajam, sehingga dapat
menghambat aliran air limbah.
- Terdapat banyak pipa yang masuk ke dalam bak kontrol, sehingga beban dalam
satu bak kontrol menjadi berat.
- Jaringan Perpipaan

Penutupan galian jaringan perpipaan yang terletak di bawah jalan dilakukan Penutupan galian jaringan perpipaan yang terletak di bawah jalan masih belum
dengan kepadatan yang cukup dan kualitas perkerasan yang sama dengan rapi, dikerjakan dengan kepadatan dan kualitas perkerasan yang berbeda dengan
perkerasan eksisting sehingga bekas galian perpipaan tidak terlihat jalan eksisting. Penutupan galian jaringan perpipaan tidak rata dengan jalan
eksisting, sehingga berpotensi mengganggu pengguna jalan

BAB II - 82
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Sambungan Rumah
(manhole)

Manhole yang terletak di jalan raya dibuat kuat, mampu menahan beban kendaraan Pemasang manhole kurang rapi, masih terdapat retakan di sekitar manhole dan tidak rata
yang lewat di atasnya serta dipasang rata dengan ketinggian jalan dengan jalan, sehingga dikhawatirkan akan berpotensi mengganggu pengguna jalan.
- Unit Pompa

Bangunan instalasi pompa air limbah dengan kedalaman/ketinggian curam dilengkapi Bangunan instalasi pompa air limbah atau fasilitas kurang mempertimbangkan aspek
dengan railing/pagar untuk pertimbangan keamanan. Pemasangan railing/pagar juga keamanan, terlihat dari bangunan yang memiliki kedalaman/ketinggian curam ini tidak
memudahkan kegiatan operasi dan pemeliharaan. dilengkapi dengan railing/pagar. Kondisi ini juga menyulitkan dalam kegiatan operasi dan
pemeliharaan
- Panel Listrik

Peralatan mekanikal dan elektrikal ditempatkan di ruangan tertutup dan dilindungi Peralatan mekanikal dan elektrikal ditempatkan di ruangan terbuka, tidak dilengkapi dengan
atap yang dilengkapi dengan ventilasi yang baik sehingga terhindar dari cuaca atap. Berpotensi terpapar cuaca ekstrim yang dapat menyebabkan kerusakan serta
ekstrim dan memiliki sirkulasi udara yang baik berbahaya apabila terjadi hubungan arus pendek.

BAB II - 83
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Unit Pengeringan
Lumpur

Unit pengering lumpur (Sludge Drying Bed) dibuat dari material yang baik Unit pengering lumpur (Sludge Drying Bed) dibuat dari material kayu yang kurang
dan kuat serta sesuai dengan kapasitas lumpur yang diolah. Bangunan juga kuat serta tidak sesuai dengan kapasitas lumpur yang diolah. Bangunan juga tidak
dilengkapi dengan pipa resirkulasi air lumpur untuk mengoptimalkan dilengkapi dengan pipa resirkulasi air lumpur
proses pengeringan lumpur.
- Kolam Aerasi

Aerator diikat dengan material yang kuat agar terpasang stabil dan Aerator diikat dengan material yang kurang kuat serta ditambatkan pada bidang
ditambatkan pada bidang yang kuat sehingga tidak mudah terlepas. yang kurang kokoh. Kondisi ini dapat menyebabkan posisi aerator tidak stabil dan
rawan terlepas dari ikatan sehingga berpotensi mengganggu proses pengolahan.
- Bak Pengumpul

Bak pengumpul dilengkapi dengan tangga untuk mempermudah kegiatan Bak pengumpul dilengkapi dengan tangga yang terbuat dari material yang kurang
operasi dan pemeliharaan. Tangga dibuat dari material yang kuat dan tahan kuat dan mudah berkarat. Kondisi ini dapat menyebabkan tangga mengalami
karat sehingga aman saat melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan. kerusakan sehingga mengganggu kegiatan operasi dan pemeliharaan.

BAB II - 84
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
2 IPLT
- Kolam Pengolahan

Unit – unit pengolahan dibangun dengan konstruksi beton bertulang yang kuat, rapi Pemasangan geomembran pada unit pengolahan memiliki potensi rusak pada saat dilakukan
dan kedap air. Unit pengolahan dibuat dengan memperhatikan beda ketinggian kegiatan operasi dan pemeliharaan. Hal ini berpotensi menyebabkan pencemaran
untuk memastikan terjadinya aliran dari unit proses yang satu ke unit selanjutnya lingkungan akibat lumpur tinja. Beda ketinggian antar unit pengolahan masih kurang
memadai sehingga aliran lumpur dari unit proses yang satu ke unit selanjutnya tidak lancar
- Bak Pengumpul

Bak pengumpul dibuat tertutup sehingga tidak terjadi kontaminasi dengan udara Bak pengumpul dibuat terbuka, kemungkinan besar terjadi kontaminasi dengan udara luar.
luar. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyebaran vektor penyakit dan Berpotensi mengeluarkan bau, mengganggu estetika dan terkesan tidak bersih
mengurangi penyebaran bau ke lingkungan sekitar
3. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA)
- Jalan Operasi TPA

Konstruksi jalan operasi bersifat permanen, dapat berupa jalan beton, aspal atau Konstruksi jalan operasi tidak permanen, dan dibuat dengan perkerasan yang kurang
perkerasan jalan. Jalan operasi dibuat dengan kapasitas dan daya dukung yang memadai. Jalan operasi dibuat dengan kapasitas dan daya dukung yang kurang memadai
memadai untuk dilewati kendaraan angkut sampah maupun alat berat untuk dilewati kendaraan angkut sampah maupun alat berat sehingga dapat menyebabkan
terganggunya kegiatan operasional TPA

BAB II - 85
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Jalan Operasi
Pemindahan Sampah

Konstruksi TPA dilengkapi dengan jalan operasi penimbunan sampah yang Konstruksi TPA tidak dilengkapi dengan jalan operasi penimbunan sampah yang
cukup untuk manuver kendaraan angkut dan mempermudah kegiatan memadai sehingga menyulitkan operasional alat berat dan kendaraan angkut ke
penimbunan sampah. Jalan dibuat dengan kemiringan yang memadai untuk dalam TPA. Kondisi ini juga menyebabkan sampah dibuang dari pinggir tanggul
memudahkan alat berat dan kendaraan angkut untuk masuk ke sel. sehingga penyebaran sampah menjadi tidak merata.
- Lapisan Geomembran

Lapisan geomembran pada sel TPA terpasang rapi, tidak bergelombang, Lapisan geomembran terpasang tidak rapi, bergelombang, terdapat lubang di
dan tidak terdapat celah pada sambungan. Sambungan antar lembaran lapisan terpasang, serta sambungan geomembran yang tidak terlekat dengan baik.
geomembran maupun tambalan direkatkan dengan rapi.

Bagian ujung lapisan geomembran dipasang dengan perkuatan pada tanggul Bagian ujung lapisan geomembran dipasang tanpa perkuatan dan dibiarkan
sel TPA sehingga tidak mudah lepas atau sobek. terbuka. Hal ini menyebabkan lapisan geomembran berpotensi lepas dan rusak.

BAB II - 86
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Instalasi Pengolahan
Lindi (Pemasangan
Pipa)

Pemasangan pipa lindi antar unit proses berada di bawah tanah. Hal ini Pipa lindi dipasang di permukaan tanah dan dibiarkan terbuka tanpa
dapat mengurangi potensi kerusakan pipa lindi akibat cuaca ekstrim perlindungan. Keadaan ini berpotensi menyebabkan
maupun gangguan luar lainnya kerusakan pipa yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan
- Instalasi Pengolahan
Lindi (Bangunan
Pengolahan)

Bangunan pengolahan air lindi terbuat dari beton yang kedap air untuk Bangunan pengolahan air lindi terbuat dari beton yang dilapisi dengan geomembran. Pada
mencegah infiltrasi lindi ke dalam tanah. Unit pengolahan dibuat dengan pemasangan geomembran tidak dilakukan perkuatan yang baik sehingga menyebabkan
memperhatikan beda ketinggian setiap unit proses untuk memastikan lapisan geomembran bergelombang dan mengganggu aliran air lindi. Terdapat retakan pada
tepian sambungan kolam yang dapat menyebabkan infiltrasi air lindi ke dalam tanah. yang
terjadinya aliran air lindi dari unit proses yang satu ke unit selanjutnya.
berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan.

4 TPS 3R
- Area Penerimaan

TPS 3R memiliki area penerimaan yang cukup luas sehingga memudahkan TPS 3R memiliki area penerimaan yang tidak terlalu luas yang dapat menyulitkan
dalam operasional TPS 3R. dalam operasional TPS 3R.

BAB II - 87
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Area Pemilahan

Area pemilahan memiliki tempat untuk sampah terpilah dan lokasi yang cukup luas Area pemilahan ditempatkan di luar bangunan TPS 3R, kondisi ini menyulitkan petugas
untuk operasional TPS 3R. Area pemilahan yang memadai dapat memudahkan untuk melakukan kegiatan pemilahan sampah. Hal ini berakibat pada tidak dilakukannya
petugas TPS 3R dalam melakukan kegiatan pemilahan sampah. kegiatan pemilahan sehingga sampah menumpuk dan tersebar di sembarang tempat.
- Area Pencacahan

Area pencacahan ditempatkan secara khusus dan dilengkapi dengan alat pencacah Area pencacahan tercampur dengan area penerimaan dan area lainnya sehingga hasil
yang sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan TPS 3R. Selain itu area pencacahan kegiatan pencacahan dapat tercampur kembali dengan sampah. Hasil pencacahan yang
juga memiliki area yang luas dan memadai untuk perasional kegiatan pencacahan. tersebar di sekitar mesin pencacah berpotensi merusak mesin.
- Area Komposting

Area komposting merupakan bangunan terbuka yang dilengkapi atap sebagai Area komposting tidak cukup luas untuk melakukan kegiatan pengomposan. Kondisi ini
pelindung. Sisi-sisi yang terbuka menyebabkan sirkulasi udara lancar sehingga menyebabkan tumpukan kompos dapat bercampur kembali dengan sampah dan
nyaman bagi para pekerja untuk beraktifitas serta membantu proses pematangan mengganggu proses pengomposan. Apabila volume sampah sedang tinggi dikhawatirkan
kompos. Bangunan juga dilengkapi dengan saluran lindi untuk menampung sisa air area sudah tidak memadai.
lindi dari kompos untuk disalurkan kembali ke sel TPA. Tidak terdapat saluran lindi untuk menampung air lindi akibat proses komposting.

BAB II - 88
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Gudang

TPS 3R memiliki bangunan gudang khusus. Gudang sebaiknya dibuat dengan desain TPS 3R sudah dilengkapi dengan gudang. Gudang TPS 3R dibuat dengan desain terbuka dan
tertutup untuk menjaga agar sampah hasil pemilahan dan kompos tidak rusak serta tidak dilengkapi dengan sistem
dilengkapi dengan sistem keamanan yang baik untuk menghindari pencurian. keamanan yang baik.
- Tempat Residu

TPS 3R memiliki tempat residu khusus untuk menampung sisa kegiatan. TPS 3R ini TPS 3R ini memiliki tempat residu yang luasnya kurang memadai. Apabila volume sampah
memiliki tempat residu yang memadai untuk menampung residu sampah sebelum sedang tinggi dikhawatirkan tempat residu sudah tidak cukup menampung residu sampah
diangkut ke TPA. yang dihasilkan. Hal ini seringkali berakibat pada dibakarnya residu sampah untuk
mengurangi volume residu sampah.
- Sarana Air Bersih dan
Sanitasi

TPS 3R dilengkapi dengan sarana air bersih dan sanitasi yang memadai untuk TPS 3R sudah dilengkapi dengan sarana air bersih dan sanitasi. Akan tetapi, sarana sanitasi
mendukung kegiatan operasional TPS 3R. Sarana air bersih dan sanitasi terawat dan air bersih di TPS 3R ini tidak terawat dan tidak dapat dimanfaatkan sesuai dengan
dengan baik peruntukkannya.

BAB II - 89
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Motor Sampah

TPS 3R minimal memiliki 1 motor sampah dengan kapasitas 1m3. Motor sampah TPS 3R tidak memiliki motor sampah dengan kapasitas 1m3 sesuai dengan spesifikasi. Bak
dilengkapi bak yang memiliki sisi pelindung yang cukup tinggi untuk menambah daya sampah tidak sesuai standar, terbuat dari anyaman rotan yang dapat menyebabkan
tampung dan juga mencegah sampah terjatuh saat proses pengangkutan. terjatuhnya sampah saat melakukan proses pengangkutan.
- Kantor

TPS 3R memiliki kantor pengelola. Kantor terawat dan dimanfaatkan oleh TPS3R sudah dilengkapi dengan kantor. Akan tetapi bangunan kantor tidak terawat dan
pengelola untuk kegiatan yang menunjang TPS 3R seperti administrasi dan tidak dimanfaatkan oleh pengelola untuk kegiatan yang menunjang TPS 3R seperti
keuangan. administrasi dan keuangan.
5 Drainase Kota
- Saluran (Pasangan
Pracetak)

Pasangan pracetak terpasang dengan rapi dan presisi, sehingga tidak tercipta celah Pemasangan pracetak tidak rapi dan presisi, sehingga menimbulkan celah antar pasangan.
antar pasangan dan stabilitas dinding menjadi baik. Selain itu tidak terdapat retakan Hal ini akan menyebabkan kinerja drainase tidak optimal dan terjadi rembesan air dari
dan lubang yang dapat mengganggu fungsi drainase untuk bekerja optimal. saluran yang dapat mencemari lingkungan.

BAB II - 90
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
- Saluran (Pasangan
Batu Kali)

Pasangan batu kali terpasang dengan rapi dan isian adukan semen antar pasangan Pasangan batu tidak tersusun dengan rapi dan tidak semua pasangan batu dilakukan
batu kali terlihat padat dan rapat sehingga daya ikat antar batu sangat kuat. penguatan dengan semen sesuai standar sehingga dapat mengurangi stabilitas dinding
Kekuatan dan stabilitas dinding saluran menjadi baik dan saluran dapat bekerja saluran dan tidak baik secara estetika. Selain itu mortar semen yang tidak terpasang secara
dengan optimal. rapi pada pasangan batu dapat menimbulkan rongga antar pasangan batu yang dapat
mengurangi daya ikat antar batu dan mengurangi kekuatan konstruksi saluran.
- Saluran (Pasangan
Beton Bertulang)

Konstruksi saluran dikerjakan dengan rapi yang menyebabkan tidak adanya celah Terdapat dua tiang penyangga yang salah satunya berposisi rendah pada tiap segmen
yang dapat membuat air merembes sehingga mengurangi kekuatan struktur saluran sehingga dapat menghambat aliran saat debit air tinggi, selain itu tiang penyangga
saluran. Saluran dapat bekerja dengan optimal karena kondisi saluran tidak dalam juga menandakan konstruksi dinding saluran tidak kuat sehingga membutuhkan penyangga
kondisi retak, patah, dan/atau berlubang. untuk menjaga stabilitas dinding saluran. Desain konstruksi seperti ini membutuhkan biaya
yang lebih banyak. Desain saluran memiliki tikungan tajam yang dapat menimbulkan gerusan
pada saat debit air tinggi.
- Pintu Air

BAB II - 91
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Jenis dan Komponen


No Baik Kurang Baik
Sarana
Konstruksi pintu air baik dan rapi, selain itu pintu air juga dilengkapi dengan atap Pintu air tidak memiliki atap yang berfungsi sebagai pelindung dan memudahkan operator
yang berfungsi sebagai pelindung dan memudahkan operator untuk engoperasikan menjalankan pintu air saat dalam keadaan cuaca ekstrim.
disaat terjadi cuaca ekstrim. Pintu air terlihat dalam kondisi baik, sehingga pintur Pintu air yang kurang terawat dapat mengganggu operasional pintu sehingga menimbulkan
air dapat bekerja secara optimal dan tidak menimbulkan celah. celah pada pintu air yang menyebabkan merembesnya air.
- Gorong-Gorong

Penyelesaian akhir gorong-gorong baik dan rapi, sehingga tidak mengganggu Terdapat beberapa bagian gorong-gorong yang sudah mulai rusak, yang dapat berpengaruh
aktifitas masyarakat. Konstruksi yang rapi dan presisi memperkokoh stabilitas terhadap stabilitas dinding.
saluran dan tidak tercipta celah diantara gorong-gorong yang dapat menyebabkan Saluran pada gorong-gorong banyak terdapat sampah, tanaman air dan sedimen yang dapat
rembesan air dari dalam saluran mencemari lingkungan. menghambat aliran.
- Bangunan Saringan
Sampah

Saringan sampah dipasang di depan/dekat dengan pompa, untuk menyaring sampah Lokasi bangunan saringan sampah yang berada di tengah saluran akan menghambat aliran
yang dapat menghambat dan merusak sistem pompa. air. Bangunan saringan sampah berada dalam kondisi tidak baik dan berkarat sehingga tidak
Dengan adanya operasi dan pemeliharaan yang baik, tidak terdapat sampah yang dapat bekerja dengan optimal.
dapat menghambat operasional pompa. Kondisi bangunan yang tidak baik dan banyaknya sampah pada lokasi menandakan kegiatan
operasi dan pemeliharaan tidak berjalan dengan baik.

BAB II - 92
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

2.5.2. PENILAIAN DAN EVALUASI TPS 3R


Identifikasi dan analisa dilakukan dalam setiap tahap kegiatan pengelolaan TPS 3R
dengan penjelasan terhadap faktor – faktor penyebab permasalahan maupun kendala-kendala
yang ada pada pelaksanaan pengelolaan TPS 3R yang sedang/akan dilaksanakan. Selanjutnya
secara rinci beberapa hal yang perlu dianalisa adalah sebagai berikut :
1. Analisa kualitas kompos yang dihasilkan oleh TPS 3R
2. Analisis dan perhitungan sistem pengelolan persampahan pada TPS 3R, baik aspek aspek
teknik kondisi bangunan dan sarana pengolahan sampah, aspek operasional pengelolaan
TPS 3R serta menganalisis beberapa alternatif sistem yang mungkin dapat dikembangkan.
3. Analisis terhadap kelembagaan dan fungsi kelembagaan, kecukupan tenaga kerja, tata
laksana
4. Analisa aspek pembiayaan meliputi analisis sumber pendanaan, struktur pembiayaan,
meliputi dana operasional dan pemeliharaan, dana investasi/pembangunan dan penyediaan
sarana pengolahan yang memadai, kemampuan masyarakat dalam pembiayaan pengolahan
sampah
5. Analisa bentuk partisipasi masyarakat, materi dan metode pembinaan masyarakat di
bidang kebersihan/ penyuluhan, Pelaksanaan program penyuluhan, Evaluasi serta
pemeliharaan kondisi.

Untuk penilaian dan evaluasi TPS 3R, digunakan sistem analisa dengan skoring sesuai
dengan pentunjuk buku pedoman Tata Cara Monitoring Dan Evaluasi Tempat Pengolahan
Sampah (TPS) 3R (Buku 5) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Dirjen
Cipta Karya, adapun beberapa indikator yang dilakukan skoring adalah sebagai berikut :

Tabel 2.12. Skoring Indikator Evaluasi


No Item Evaluasi Indikator Skor Maksimal
1. Letak Lokasi a. Letak Lokasi 4
b. Status lahan 5
c. Luas Lahan 1
2. Fisik a. Topografi 3
b. Hidrologi 3
c. Sumber Air 3
d. Penggunaan Lahan Sebelumnya 5
3. Sarana Dan Prasarana a. Pewadahan
- Pola Pewadahan 2
- Penempatan (Letak, Bahan, Metode, Ukuran) 4
b. Pengolahan Skala Rumah Tangga
- Komposter (Jenis, Jumlah, Volume) 4
c. Pengolahan Skala Kawasan
- Jenis Alat Pengumpulan 3
- Pola Pengumpulan 3
- Teknologi Daur Ulang 10
- Teknologi Pengomposan 3
- Peralatan 3
- Kapasitas TPS 3R 3
- Cakupan Layanan 4

BAB II - 93
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

No Item Evaluasi Indikator Skor Maksimal


- Hasil Kompos (Warna, Bau, Bentuk) 3
- Produk Daur Ulang 10
4. Kelembagaan Dan a. Bentuk Lembaga 5
Investasi b. Struktur Organisasi 55
c. Legalitas Pembentukan 5
d. Biaya Investasi
- Pewadahan 5
- Bangunan 3
- Kendaraan Angkut 6
e. Biaya Operasional
- Honor Petugas 4
- Operasional TPS 3R 8
- Pemeliharaan 4
f. Pelaporan Keuangan 6
5. Peran Serta a. Keterlibatan Warga 5
Masyarakat b. Kelompok Aktif Masyarakat yang Terlibat 25
c. Frekuensi Pertemuan Warga tentang TPS 3R 5
6. Pengaturan a. Surat Keputusan (Pembentukan KSM, Retribusi) 5
b. Ketersediaan SOP 5
7. Operasional a. Keterangan (Berfungsi, Kurang, Tidak dan Belum) 5
b. Indikator Operasional (Pemilahan dari sumber, 40
Pengurangan Sampah Ke TPA, Kontribusi Warga,
Produksi Kompos, Pemasaran Kompos, Pemanfaatan
Kompos, Pengelolaan Sampah Anorganik, Kegiatan
Daur Ulang)

Perhitungan hasil akhir monitoring dan evaluasi berikut :


Dimana Nilai akhir evaluasi akan menunjukkan kategori/peringkat berdasarkan klasifikasi
dibawah ini :
- BERFUNGSI, jika nilai akhir = 225 - 311
- KURANG BERFUNGSI, Jika nilai akhir = 139 - 224
- TIDAK BERFUNGSI, jika nilai akhir = 51 - 138
Dari hasil akhir penilaian monev, Rencana Tindak Lanjut yang dapat dilakukan adalah antara
lain adalah sebagai berikut :
Tabel 2.13. Rencana Tindak Lanjut
Kategori Rencana Tindak Lanjut
Keberfungsian
Berfungsi 1. KSM harus terus dibina dan dioptimalkan oleh Pemda
setempat melalui kegiatan monitoring dan
pendampingan sehingga program keberlanjutan dan
partisipasi masyarakat dapat terus ditingkatkan.
2. KSM harus lebih aktif mengembangkan diri untuk
mendapatkan nilai ekonomis dari kegiatan 3R ini.
3. Pengembangan TPST selain mengolah kompos organic
juga mengolah sampah plastik menjadi pellet dimana ada
kebutuhan investasi dan perhitungan ekonomi.
Kurang Berfungsi 1. Dukungan Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait
sangat diperlukan untuk mengaktifkan kegiatan KSM

BAB II - 94
LA PO RA N P E N DA H ULU A N
EVALUASI SARANA PRASARANA TERBANGUN BIDANG PLP (KAWASAN SABAGITA)

Kategori Rencana Tindak Lanjut


Keberfungsian
dalam hal ini perlu bantuan dana operasional seperti
subsidi gaji karyawan dan pembelian bahan bakar.
Pemda juga sebaiknya berperan dalam pemasaran
produk kompos. Pemda dalam hal ini Dinas Kebersihan/
Dinas Pekerjaan Umum bisa bekerja sama dengan
fasilitator pemberdayaan untuk memotivasi KSM dalam
menyusun kembali Rencana Kerja Kegiatan 3R bersama
dengan aparat pemerintahan desa maupun Kecamatan.
2. Dukungan dari masyarakat perlu ditingkatkan melalui
kegiatan sosialisasi kegiatan 3R yang dapat dilakukan
oleh KSM bekerja sama dengan Pemda setempat.
Tidak Berfungsi 1. Revisi proses alur Perencanaan dimana tahapan
pemilihan dan penetapan fasilitator pemberdayaan
masyarakat harus ditempatkan dalam waktu yang sama
dengan pemilihan lokasi. Sehingga proses pendampingan
pada masyarakat sudah mulai dini dilakukan sehingga
KSM dapat terbentuk sebelum pembangunan fisik
dirampungkan.
2. Pada awal perencanaan, komitmen Pemda dan
masyarakat dalam hal ini KSM sudah mulai dibicarakan
dan ditetapkan dalam Agenda Kesepakatan Kerja
(MOU) sehingga diharapkan kegiatan 3R dari awal
sudah didukung oleh Pemda/Instansi terkait seperti
Dinas Kebersihan.
3. Perlu dana awal bantuan operasional dari Pemda
sebagai stimulan kegiatan.

BAB II - 95

Anda mungkin juga menyukai