BAB I
PENDAHULUAN
Pulp terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin serta zat extractive yang
diuraikan secara fisik atau kimia yang terdispersi dalam air dan dapat
dibentuk lembaran berbentuk pulp kering atau kertas.
Proses pembuatan pulp melibatkan berbagi ragam bentuk proses
mulai dari penanganan chip, pemasakan kayu, pencucian, bleaching,
pembentukan lembaran pulp dan lain sebagainya. Tapi pada dasarnya
proses utama untuk pembuatan pulp adalah pemasakan (cooking atau
pulping) dan bleaching (pemutihan pulp). Kedua proses ini memegang
peranan penting sebagai material untuk pembuatan kertas yang
mengharuskan dipenuhinya beberapa kriteria sesuai yang diinginkan oleh
customer.
a. Serat yang panjang mengakibatkan tearing tinggi, printability
dan formasi yang jelek
90 – 95 % 88 – 95 % 70 – 80 % 43 – 70 % 48 – 51 %
Yield
Penggunaan Koran, buku dan Koran, buku Kertas Wrapping Tissue , surat
majalah dan majalah Corrugatting paper, kertas kabar.
untuk kantor
chemical spesifik untuk pemutihan. Indikator pemutihan yang digunakan
adalah tinggi rendahnya brightness (derajat kecerahan) yang dihasilkan
dalam proses dengan skala dari 0 sampai 100 %. Ada dua macam
metoda yang digunakan yaitu pengukuran General Electric/GE brightness
(TAPPI standard T 452) dengan satuan % GE dan dengan Zeiss Elrepho test
(TAPPI Standard T 525, standard seluruh dunia pulp and paper, kecuali
Amerika Serikat) dengan satuan % ISO. Biasanya Elrepho test hasilnya lebih
tinggi dari GE brihtness sekitar 0.5 – 1%.
GE brightness kurang akurat karena alatnya cukup sederhana jika
dibandingkan dengan Elrepho test. Pada GE brightness cahaya diiluminasi
dipantulkan kemudian pantulan cahaya diukur 90o dari permukaan kertas.
.
pantul
Cahaya
Filter Wedge
Lensa
45o
Sumber
Cahaya Mata
Filter
Perbandingan antara GE Brightness dan Elrepho Zeiss
BAB II
ALKALINE PULPING & CALCULATION
Alkaline pulping sebenarnya sudah cukup lama digunakan di Asia
dan mencapai Eropa via Arab pada 1000 M. Secara komersil pertama
kali digunakan dengan proses soda pada tahun 1853 dari bahan baku
jerami.
Pada proses alkaline ini lignin yang terkandung dalam pulp banyak
yang bisa dihilangkan dan sebagian hemiselulosa terdegradasi selama
proses pemasakan sehingga yield yang diperoleh menjadi lebih kecil + 50
%. Pada proses ini digunakan chemical yang dimasak pada temperature
dan tekanan tertentu. Ada dua macam proses utama selain proses soda
yaitu; proses alkaline (Kraft Pulping) dan Acidic (Sulfite Proses). Hingga saat
ini Kraft Pulping memegang peranan sangat penting karena proses
recovery chemicalnya dan pulp strength yang dihasilkan, sedangkan
sulfite proses cukup dominan sebelum Kraft Pulping ditemukan, barangkali
pada suatu saat akan bangkit kembali, karena masingmasing proses
memiliki keunggulan tersendiri.
Alkaline pulping ini identik dengan bau limbahnya yang sangat tidak
enak untuk dihirup. Bau ini berasal dari sulfur yang digunakan selama
operasi. Banyak cara yang dilakukan untuk mengurangi bau ini salah
satunya dengan mengurangi penggunaan sulfur selama proses. Penelitian
yang telah dilakukan tidak berhasil secara komersial, tetapi ada satu
proyek yang disebut SodaOxygen proses yaitu proses pemasakan
menggunakan soda (NaOH) diikuti proses delignifikasi dengan
menggunakan molekul oksigen.
Proses soda sebagai awal dari chemical proses pertama kali
dipatenkan pada tahun 1854. Kemudian pada tahun 1879 C.F Dahl
seorang ahli kimia Jerman menggunakan sodium sulfate pada proses soda
dan untuk meregenerasi NaOH. Dari hasil reaksi terbentuk Na2S dan proses
delignifikasi yang terbentuk lebih cepat serta pulp yang dihasilkan lebih
kuat (Bahasa Jerman & Swedia "Kraft" = Kuat). Cooking time yang
digunakan lebih singkat sehingga degradasi karbohidrat lebih sedikit. Hal
inilah yang menyebabkan proses kraft lebih dominan pada saat ini. Pabrik
pulp proses Kraft pertama kali dibangun pada tahun 1890 di Swedia
karena Industri Jerman kurang berminat pada proses ini. Proses Kraft
berkembang dengan cepat terbukti dengan dibangunnya pabrik yang
sama pada tahun 1915 sampai 1930 terutama di daerah Amerika Utara
karena spesies pinus tidak cocok untuk proses sulfit.
Proses Kraft ini cukup sulit untuk dibleaching, yieldnya cukup banyak
hilang selama pemasakan dan sulfur yang dihasilkan selama proses
menimbulkan pencemaran udara. Untuk lebih jelasnya proses kraft dapat
dilihat pada skema di bawah ini:
Cooking liquor yang digunakan selama proses pemasakan pada
proses kraft adalah white liquor yang terdiri dari NaOH dan Na 2S, kadang
kadang dalam white liquor juga terdapat Na2CO3 dalam jumlah yang kecil
(kandungan Na2CO3 sangat penting dalam menentukan kemurnian dari
white liquor). Adapun komponen aktif yang terdapat pada cooking liquor
Pulp Chips
adalah ion hidroksil (OH) dan ion hidrosulfida (SH) yang terurai dari :
Cooking &
NaOH Na+ + OH
washing
Heat CaCO3
H2O
Prepared by Mayendri Putra/LBD-RU/758933 Page 5 QAP internal Used Only
Makeup
chemicals CaO
Application Research & Development and Raw Material Pulp Section
Gambar 1. Proses Kraft Pulping
Konsentrasi dan total muatan ion SH dan OH adalah kunci dari
terjadinya reaksi selama proses cooking. SH dan OH akan bereaksi
dengan lignin dan karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa). Total OH dan
sebagian SH dalam white liquor disebut effective alkali.
Proses Kraft menggunakan NaOH dan Na2S pada pH diatas 12,
temperatur 160180 oC (320 356 oF), menggunakan steam yang
bertekanan 800 kPa (120 psi) dan selama 0,5 3 jam dapat melarutkan
banyak lignin pada kayu. Toleransi terhadap bark cukup tinggi, energi
cukup efisien dan bisa menggunakan recovery chemical.
White Liquor yang mengandung NaOH dan Na 2S digunakan untuk
cooking liquor. Residual Black Liquor yang mengandung lignin terlarut dan
garamgaraman dipekatkan dan dibakar di RB untuk menghasilkan Smelt
yang mengandung Na2CO3 dan Na2S. Smelt dilarutkan untuk membentuk
Green liquor yang direaksikan dengan CaO untuk mengkonversikan
Reaksi White liquor dengan lignin cukup kompleks dan hingga saat
ini masih belum diketahui reaksi yang terjadi sebenarnya. Tetapi secara
umum diketahui dengan adanya ion hidrosulfide maka lignin bisa terurai
tanpa meningkatkan penguraian selulosa. Reaksi antara lignin dengan
NaOH dan Na2S secara keseluruhan akan memutuskan ikatan pada
polimer lignin yang mengakibatkan lignin menjadi molekulmolekul yang
lebih kecil. Molekul kecil ini tidak bisa lagi berfungsi sebagai pengikat
(cement) pada struktur kayu dan selanjutnya akan terlarut cooking liquor
(black liquor).
Idealnya hanya lignin yang terlarut selama proses cooking, tetapi
proses yang terjadi tidak seperti yang kita inginkan, baik selulosa maupun
hemiselulosa akan bereaksi dengan ion hidroksil selama proses cooking.
Hal ini sangat tidak kita inginkan, karena dengan terdegradasinya
karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) menjadi molekul yang lebih kecil
berarti akan memperkecil jumlah yield yang akan kita peroleh.
Lebih dari 20% selulosa dan hemiselosa hilang selama proses
pemasakan. Sebagian besar kehilangan ini terjadi pada awal proses
pemasakan. Hemiselulosa yang paling cepat terdegradasi baru kemudian
diikuti oleh selulosa. Hal ini disebabkan hemiselulosa terdiri dari molekul
yang kecil dan bercabang
Lebih dari 2/3 dari effective alkali akan berubah dan dikonsumsi oleh
karbohidrat. Satu reaksi yang berlangsung selama proses pemasakan
Peeling
REU +
REU +
REU +
Stopping
Gambar 2. Reaksi yang terjadi pada saat Cooking
Pada reaksi “Stopping” rantai karbohidrat sudah stabil, tidak ada
lagi terjadi reaksi “Peeling”. Reaksi yang berlangsung diatas 170 oC disebut
“Alkaline hydrolysis”, pada reaksi rantai selulosa terbagi kepada dua
Gambar 2. Perbandingan kandungan kayu sebelum dan sesudah cooking
Sebelum chip dicampur dengan white liquor, terlebih dahulu chip
diberikan steam (presteaming process) yang bertujuan untuk
menghilangkan udara yang terperangkap dalam chip (udara yang
terperangkap dalam chip akan menganggu proses penyerapan white
liquor oleh chip) dengan steam atau air dan untuk memanaskan chip.
Presteaming pada proses batch dilakukan pada proses ‘Chip Filling”
sedangkan pada proses continuous digunakan suatu alat khusus yang
disebut dengan “presteaming vessel” sebelum chip masuk kedalam
digester.
2.1 Variable yang Mempengaruhi Proses Cooking
Ada beberapa variable yang mempengaruhi proses cooking antara
lain :
1. Chip Quality
2. White liquor properties
3. Cooking control variable
2.1.1 Chip Quality
d. Moisture kayu
Kadar air mempunyai pengaruh pada yield, kappa number dan
kualitas pulp yang dihasilkan. Kadar yang terlalu rendah
mengakibatkan impregnasi/peresapan berjalan tidak sempurna.
Kadar air juga penting diketahui untuk menghitung jumlah berat
kering yang dimasak, sehingga bisa dihitung perbadingan wood :
Liquor.
e. Bark
Kulit kayu merupakan komponen yang tidak diinginkan selain knot
dan shives karena akan memberikan pengaruh terhadap kualitas
pulp. Kulit kayu mengandung 2040% ekstrakstif, 2030% selulosa dan
lebih banyak lignin. Serat dari kulit kayu sangat pendek. Pemasakan
kulit kayu membutuhkan aktif alkali yang lebih tinggi, yield dan
strength yang menurun serta menimbulkan problem dirt count serta
deposit pada proses.
2.1.2 White Liquor Properties
White liquor adalah alrutan yang terdiri dari NaOH dan Na 2S dengan
konsentrasi kirakira 1 molar NaOH dan 0.2 molar NaOH. PH berkisar
anatara 13.5 sampai 14. Jika dibuat di Laboratorium white liquor bisa
dijamin kemurniannya, sedangkan jika dibuat dilapangan tidak bisa
dijamin kemurniannya karena sudah terkontaminasi oleh ionion organic
Semua komponen selain NaOH dan Na2S disebut sebagai “Dead Load”.
Komponen aktif dari white liquor ion hidroksil dan hidrosulfide berasal
dari NaOH dan Na2S memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses
pulping (cooking). “Dead Load” chemical tidak berpengaruh langsung
pada proses pulping, tetapi walaubagaimanapun “dead load” ini ikut
menentukan muatan ionion dalam white liquor yang sudah tentu akan
2.1.3 Cooking Control Variable
Dari semua variable diatas, cooking control variable merupakan
satusatunya yang bisa dikontrol oleh operator selama cooking
berlangsung, sedangkan chip quality dan white liquor properties bisa
disetting sebelum masuk pada proses pemasakan (cooking). Adapun
cooking control variable yang utama adalah:
1. Waktu dan temperature (Hfactor)
2. Alkali charge
3. Liquor to wood Ratio
Sulfidity adalah variable yang tidak bisa dikontrol oleh operator
karena merupakan salah satu white liquor properties. Tapi walau
bagaimanapun sulfidity bisa dirubah dengan mengatur ratio Na dengan
sulfur sebagai make up chemical dan hal ini dipengaruhi oleh washing
eficiency, operasi pada RB dan penambahan salt cake (make up
chemical
2.1.3.1. Waktu dan Temperatur (HFactor)
kenaikan temperatur akan memiliki efek yang sangat besar terhadap
laju reaksi delignifikasi. Misalnya kenaikan 10 0C dari 160 0C ke 170 0C akan
menghasilkan laju reaksi dua kali lipat dari sebelumnya. Pada gambar 3.3
terlihat relative reaction rate sebagai fungsi dari temperatur.
1500
921.4
1000
397.8
500
165.0
1.0 3.1 9.0 24.9 65.6
0
100 110 120 130 140 150 160 170 180
Temperatur (oC)
Gambar 3. Relative reaction rate vs Cooking temperatur
Relative reaction rate disetting dari 1.0 untuk 100 0C, seperti yang terlihat
pada gambar 3.3 reaksi delignifikasi berlangsung lambat pada
temperatur rendah dan tibatiba meningkat secara cepat pada
temperatur tinggi (diatas 160 0C).
Diatas temperatur 170 0C, temperatur tidak berpengaruh apaapa
lagi kecuali proses delignifikasi. Dengan kata lain, jika temperatur cooking
yang digunakan sangat tinggi, maka akan sangat bagus untuk
mengurangi lignin tapi tidak bagi selulosa, karena selulosa akan
terdegradasi secara cepat yang akan mempengaruhi jumlah produksi
(lost in yield). Pada temperatur diatas 190 0C kehilangan yield (lost in yield)
dan strength (kekuatan) pulp akan sangat berpengaruh karena degradasi
selulosa yang berlebihan hal ini dapat dilihat pada gambar 3.4
Gambar 3.4 Pengaruh temperatur terhadap Yield
Lost in Yield
49
47
45
Total Yield (%)
43
41
39
37
140 150 160 170 180 190 200 210 220
Temperatur (oC)
Kenaikan temperatur sangat dipengaruhi oleh :
1. Kemampuan chip mengasorbsi liquor
2. Tipe produk yang dinginkan
3. Design peralatan
penting, karena reaksi delignifikasi sangat cepat pada temperatur tinggi.
Tambahan beberapa menit pada waktu proses impregnasi mungkin tidak
waktu proses cooking mungkin akan berpengaruh besar terhadap lignin
ataupun selulosa.
Banyak metoda yang dikembangkan untuk mengontrol waktu dan
terkenal dan sangat efisien adalah metoda Hfactor.
variabel untuk mengontrol cooking. Yang pertama kali mempublikasikan
rumusan Hfactor adalah Vroom pada tahun 1957. Hfactor luas area
persamaan Arrhenius untuk reaction rate:
.ln k = B – A/T
Dimana k adalah reaction rate (laju reaksi), T adalah temperatur (suhu),
memberikan nilai A = 16,113 dan B = 43,20 sehingga:
.ln k =43.20 – 16.113/T
dari persamaan ini maka bisa dikembangkan table:
Tabel 4. Temperatur vs relatif reaction rate
Dari table tersebut diatas maka bisa dibuat suatu hubungan antara
waktu cooking dan temperatur. Cara termudah untuk menghitung H
factor untuk luas daerah di bawah kurva relative reaction rate vs time
harus dihitung secara numerik, dan caranya adalah dengan membagi
waktu 15 menit
Temperatur 0C Relative Reaction Rate
90 0
105 2
120 9
135 41
150 165
165 610
180 2042
Dari tabel ini maka dibuat perhitungan untuk menjumlahkan relative
rate constant dengan beda waktu 15 menit atau 0.25 jam:
Gambar 6. Perhitungan HFactor
Jumlah 1483
digunakan bervariasi dari 1000 sampai 1500. Jika dibuat grafik waktu vs
relatif rate constant maka grafiknya lebih kurang sebagai berikut
H-factor
2500
2000
Relatif reaction rate
1500
H-factor = 1483
1000
500
0
0 0.25 0.5 0.75 1 1.25 1.5 2
Waktu (jam)
Gambar 5. Grafik HFactor
Hfactor sendiri tidak dapat digunakan untuk memprediksikan jumlah
yield yang akan dihasilkan atau property (sifatsifat) pulp yang lain. Tetapi
ditentukan dengan membuat setting kondisi cooking, sehingga dari yield
temperatur tertentu.
2.1.3.2 Alkali Charge
Efektif alkali yang normal rangenya bervariasi dari 10% sampai 16%
(as Na2O). Efektif Alkali bervariasi tergantung dari species kayu, kondisi
cooking, dan derajat delignifikasi (kappa number yang dinginkan) seperti
yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 7. Kebutuhan EA terhadap kappa number
5000
KaNo 32
4000
KaNo 34
H-Factor
3000 KaNo 37
2000
1000
0
Prepared by Mayendri
10 Putra/LBD-RU/758933
12 14 Page
16 21 18 20 QAP
22 internal24
Used Only
Effektif Alkali (%)
Application Research & Development and Raw Material Pulp Section
Gambar 6. Effectif Alkali vs HFactor
Alkali charge yang tinggi akan meningkatkan laju reaksi delinifikasi.
Dengan meningkatkan effektif alkali, pemasakan bisa dilakukan pada H
factor yang rendah untuk mencapai kappa number yang sama. Seperti
yang terilihat pada gambar 6.
55
45
35
30 50 70 90 110 130 150
Kappa Number
Gambar 7. Yield vs Kappa Number
Jumlah Hemiselulosa yang meningkat dengan meningkatnya EA charge
dan yield juga akan berkurang. Hal ini diilustrasikan pada gambar 7.
2.1.3.3 LiquortoWood Ratio
2.2 Pulping Equipment
Proses pemasakan dilakukan dengan dua cara yaitu system batch
dan system kontinyu. Pada sistem batch, digesternya diisi dengan chip
dan kemudian cairan pemasak ditambahkan sampai menutupi
permukaan chip. Batch digester terbagi kepada dua bagian yaitu
pemanasan langsung dan tidak langsung. Prinsip operasi batch digester
meliputi chip packing , steaming (penguapan), liquor filling (pengisian
liquor) dan pengontrolan temperatur, pelepasan gas, cooking pada
temperatur maximum, pelepasan tekanan dan blowing. Setiap operasi
akan mempengaruhi sifat dan kualitas pulp.
Sedangkan pada system kontinyu chip dipanaskan terlebih dahulu
sebelum dimasukkan ke dalam digester secara kontinyu (terus
menerus).Continuos digester seperti yang gunakan pada system Kamyr,
memisahkan prinsip operasi pada beberapa proses didalam satu digester
Dalam mendesign pabrik baru selain biaya, aspek lingkungan juga
harus diperhatikan. Kualitas pulp dapat ditentukan dengan menggunakan
batch atau continuous digester
2.1.1 Batch Digester
Pada system ini kayu berbentuk serpihan chip dimasukkan ke dalam
digester, kemudian cairan pemasak berupa white liquor dimasukkan
kedalam digester sampai menutupi permukaan chip. Udara dan gas
noncondesible dilepaskan melalui pressure control valve yang terletak
dibagian atas digester. Campuran chip dan WL kemudian dipanaskan,
biasanya untuk mencapai temperature maksimum dibutuhkan waktu 1 –
1,5 jam sehingga cairan pemasak bisa terlebih dahulu meresap kedalam
chip (proses impregnasi). Proses selanjutnya adalah menjaga temperature
maksimum (biasanya 160 – 175 oC) selama 1 2 jam. Setelah masak chip
kemudian diblow melalui blow tank, dan chipchip yang telah lembut
didisintegrator menjadi pulp.
Berbagai macam type yang digunakan untuk pemasakan dengan
system batch sudah digunakan bertahuntahun sebelum continuous
digester berkembang, seperti type horizontal, vertical ataupun type
rotating vertical.. Ada beberapa keuntungan menggunakan batch
digester:
Jumlah produksi bisa mudah dikontrol
Mudah pengoperasiannya
Mudah mengganti grade (Acacia, MTH, atau crassicarpa)
Mudah untuk start up atau shut down
Recovery turpentine lebih efisien
Biaya pemeliharaan murah
Dewasa ini, sebagian besar pabrik menggunakan digester
berkapasitas 6000 sampai 8000 cuft (170 225 m3). Semakin besar semakin
baik, tetapi biaya pembuatannya menjadi lebih mahal karena
dindingnya lebih tebal dari biasanya.. Digester yang besar lebih efisien
karena tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit dan konsumsi steam
juga lebih kecil.
Biasanya untuk proses kraft bahan yang digunakan adalah carbon
steel, karena cooking liquor yang sangat basa sangat korosif daripada
cooking liquor dengan metoda sulfite.
Dewasa ini standard method untuk konstruksi batch digester
berbentuk shell (tabung yang tegak vertikal) menggunakan bahan carbon
steel tebal 2 inci ( 51 mm), sedangkan bagian bawah ketabalannya 3 inci
( 76 mm). Lifetime dari batch digester model ini bisa berumur lebih kurang
20 tahun. Carbon steel tidak tahan terhadap kraft liquor, setiap tahun
dengan laju korosi 0.5 mm sampai 1mm pertahun masih dianggap normal.
Heating System (Sistem Pemanasan)
pemanasan langsung dan tidak langsung dengan forced circulation.
Steam
Application Research & Development and Raw Material Pulp Section
Gambar 8 Sistem pemanasan langsung
Sistem pemanasan langsung adalah cara yang cukup sederhana.
Dengan metode ini steam dinjeksikan melalui valve (kran) dari bawah
digester. Perbedaan temperatur antara bagian atas dengan bagian
bawah membuat cairan bersirkulasi secara konveksi, dimana cairan panas
(pada bagian bawah) naik keatas menuju bagian tengah, sementara
cairan yang lebih dingin (pada bagian atas) akan mengalir melalui
dinding menuju bagian bawah sehingga berjumpa dengan steam yang
panas yang secara automatis akan memanaskannya kembali.
Direct steam memiliki keuntungan karena peralatannya cukup
sederhana untuk membangkitkan panas pada digester, tetapi ada juga
kerugiannya. Cooking liquor menjadi tercampur dengan kondensat
sehingga memberikan beban pada evaporator yang menyebabkan
kinerja alat tidak ekonomis lagi. Pemanasan juga kurang merata dan
kadangkala menimbulkan perbedaan temperatur sekitar 10 0C pada
digester yang cukup besar. Pemanasan yang tidak merata akan
mengakibatkan uneven cooking (proses pemasakan tidak sempurna)
yang berakibat kepada rendahnya yield dan kualitas pulp yang
dihasilkan.
Untuk peralatan direct steam tidak lebih dari aliran steam dan valve,
sedangkan untuk indirect steam cukup rumit yang terdiri dari pompa, heat
exchanger (alat penukar panas) dan strainer yang dipasang pada bagian
dinding digester.
Secara umum indirect steam dirancang untuk memindahkan liquor
dari dalam digester melalui strainer yang dipasang pada bagian tengah.
Liquor kemudian dipanaskan di heat exchanger (alat penukar panas),
liquor panas yang dihasilkan kemudian didistribusikan pada bagian atas
dan bawah digester. Pompa sirkulasi mengatur aliran setiap 10 menit.
Gambar 9. Sistem pemanasan indirect
Chip dan Liquor Filling (Pengisian Chip dan Liquor)
digester. Cara yang umum dipakai adalah dengan pengisian chip dan
automatis chip akan tersusun rapi (packed well). Metoda ini menghasilkan
kerapatan chip yang cukup bagus dan sementara itu waktu pengisian
bisa menjadi lebih minimum. Walau bagaimanapun cara ini juga memiliki
kelemahan. Dengan pengisian chip dan liquor secara bersamaan maka
diluar digester.
Chip Chip
Steam
Gambar 10. Chip Packing System
Proses Heating dan Cooking (proses Pemanasan dan Pemasakan)
Pemilihan sistem pemanasan, waktu dan temperatur cooking
bervariasi antara satu mill dengan mill yang lain walaupun kadangkala
pulp yang diproduksi memiliki kesamaan. Hal ini karena setiap mill memiliki
batasanbatasan tersendiri (kebijaksanaan tersendiri) dalam memproduksi
pulp seperti setiap rumah makan memiliki resep tersendiri dalam memasak
dan menghidangkan makanannya.
Digester Relief (Pelepasan gasgas dari Digester)
Selama heating dan cooking gas terbentuk dari ekstraktif yang
terkandung dalam kayu. Udara yang terperangkap dalam chip dan
digester serta noncondensible gas seperti CO 2 yang dilepaskan selama
reaksi cooking juga akan terakumulasi. Hal ini menyebabkan tekanan
pada digester akan lebih tinggi dari tekanan steam yang akan
berpengaruh terhadap temperatur liquor. Tekanan yang cenderung
meningkat ini akan merpersulit dalam pengontrolan cooking, oleh karena
itu gasgas ini harus dikeluarkan.
Normalnya, pelepasan gas ini berlangsung selama proses
pemanasan. Jika tekanan yang diinginkan sudah tercapai maka relif valve
(kran pelepasan/pembuangan) dibuka. Setelah semua gas yang
terakumulasi keluar, maka valve kembali ditutup untuk melanjutkan
Blowing
Jika waktu cooking sudah tercapai, sebagian dari tekanan
dilepaskan melalui gas relief valve yang secara tidak langsung juga akan
melepaskan gasgas. Gasgas yang terlepas ini lebih banyak mengandung
turpentine dari pada proses pemanasan. Dan jika digester sudah
mencapai waktu tekanan blowing (Blowing pressure), maka valve pada
bagian dasar tangki dibuka, maka semua pulp hasil cookin ditumpahkan
keluar memasuki tangki (blowing tank), prosedur ini disebut “Blowing”.
Temperatur drop (Turunnya temperatur) yang terjadi secara cepat
selama proses blowing mengakibatkan liquor yang tedapat di dalam chip
mulai memanas (boiling point) dan akan menguap menjadi steam. Steam
akan memaksa chip seolaholah meledak (explode) dan serat akan
terpisah secara efektif.
Pulp slurry akan melalui blow tank secara tangential. Gerakan yang
berputar dari pulp slurry (cyclone action) akan menjamin terpisahnya
steam dari stock (pulp slurry). Blow tank biasanya memiliki baffle separator
(alat pemisah) dan large vapor spaces (ruangan untuk uap) untuk
mencapai pemisahan dan minimisasi carryover (terikutnya) liquor dengan
steam.
Selama proses blowing ini, sejumlah steam akan dihasilkan. Jika
digester di”blow” pada 825 kPa (~120 psig), sekitar 1 ton steam perton pulp
akan dihasilkan. Panas ini harus direcovery untuk minimisasi cost secara
ekonomis. Gasgas yang dihasilkan selama blowing ini juga mengandung
gasgas yang bau seperti mercaptant yang harus dihilangkan dan
dilepaskan ke udara.
Salah satu sistem recovery panas untuk blow batch digester seprti
tampak pada gambar 11. pada gambar tampak bagaimana sistem
bekerja.
Flash steam dan kondensat dipompakan dari dasar tangki
accumulator melewati condenser kontak langsung (2). Steam
terkondensasi menghasilkan air panas yang mengalir pada bagian atas
tangki accumulator (4). Dari bagian atas tangki accumulator, hot
condensate dipompakan melalui heat exchanger (7) yang akan
memanasi fresh water dari pencucian pulp. Kemudian kondensat yang
didinginkan kembali ke bagian dasar tangki accumulator. Prinsip yang
digunakan pada accumulator ini adalah karena hot water memiliki density
yang lebih rendah dari cold water maka akan selalu berada diatas.
Gambar 11. Blow heat recovery system for batch digester
pulp di”blow”, hot condensate digunakan di heat exchanger.
Cold Blowing
Condensate
Steam
Dearation Dearation
Condensate
Hot Black Liquor
Preheated W.L.
Displaced Pressurizing
Black Liquor Vapor
Wash Liquor
Prepared by Mayendri Putra/LBD-RU/758933 Page 33 QAP internal Used Only
To Blow Tank
Application Research & Development and Raw Material Pulp Section
Gambar 12. Cold Blow system
2.1.2. Continuous Digester
Chip dan Liquor Charging
Sebelum chip diumpankan ke dalam digester, maka chip harus
terbebas dari logam (paku, kawat, dll) dan bebatuan, karena hal ini akan
meruasak peralatan.
Aliran chip masuk digester dikontrol oleh chip meter. Diameter dan
speed chip meter menentukan laju alir chip ke dalam digester dan total
produksi pulp. Semua aliran di”adjust” di chip meter dengan
meng”setting” rpmnya.
Dari chipmeter, chip menuju low pressure feeder yang meneruskan
chip ke presteaming vessel (tangki presteaming). Steam dilewatkan
melalui ujung vessel (tangki), sedangkan gas noncondensible, udara dan
turpentine dilewatkan melalui ujung yang lain. Chip tinggal dalam
presteaming vessel selama 2 – 5 menit. Tekanan steam di jaga sekitar 200
kPa dan temperatur sekitar 120 0C. Tujuan presteaming ini untuk
memisahkan udara dari chip dan untuk pemanasan.
Setelah presteaming, chip melewati chip chute, dimana chip
dicampur dengan white liquor sebelum masuk kepada high pressure
feeder. High pressure feeder adalah rotary feeder (pengumpan yang
berputar) dan sebagian besar terendam dalam liquor. HP feeder memiliki
semacam kantung yang menampung chip dan liquor dari chip chute.
Dengan berputarnya HP feeder maka chip akan dialiri liquor pada aliran
HP top circulation yang memiliki suhu dan tekanan yang sama dengan
bagian atas digester. Aliran ini akan memasuki bagian atas digester yang
sudah secara sempurna terisi dengan liquor. Di sini chip dan liquor
dipisahkan oleh screw yang terdapat disekitar strainer.
Chip akan menumpuk dan bergerak perlahanlahan menuju kearah
bawah digester. Liquor yang dibutuhkan untuk top circulation diekstraksi
dari strainer pada bagian atas digester. Fresh white liquor juga
ditambahkan pada bagian atas digester.
Dibawah kondisi normal, tidak ada tambahan black liquor untuk
mengencerkan white liquor karena lamanya waktu tinggal (retention time)
liquor pada digester dua kali lebih lama dari retention time chip. Alkali
charge sama seperti di batch digester, 50 % dari cooking liquor terdiri
black liquor. Jika chip moisture sangat rendah maka black liquor juga
ditambahkan untuk memastikan digester terisi penuh.
Zona impregnasi dan Cooking
Dari atas ke bawah digester memiliki 4 zona yang berbeda;
impregnasi (penyerapan), heating (pemanasan), cooking (pemasakan)
dan washing (pencucian). Design yang lebih modern meletakkan
imprenasi zone pada alat yang terpisah. Sebagian besar digester memiliki
bagian bawah yang lebih tebal untuk memberikan waktu cuci yang lebih
lama, dengan luas area yang besar, maka semakin lama waktu tinggal
chip di zona tersebut.
Chip dan liquor pertama kali masuk ke dalam zona impregnasi
(penyerapan). Proses impregnasi berlangsung selama 45 menit dengan
suhu 105 0C – 130 0C.
Zona berikutnya adalah zona pemanasan (Heating Zone), dimana
temperatur akan naik secara cepat hingga suhu final cooking, hal ini
dilakukan dengan dua langkah oleh dua sistem sirkulasi liquor. Pada
sirkulasi pemanasan bagian atas, liquor dialirakan dari digester melewati
strainer yang terpasang pada dinding digester dan liquor dipompakan
pada heat exchanger (alat pemukar panas) yang terletak pada bagian
luar digester yang menngunakan steam sebagai pemanasnya. Pada
pemanasan sirkulasi bagian bawah, liquor ditarik menuju strainer yang
terletak pada strainer yang paling atas, kemudian dipompakan pada heat
exchanger yang kedua dan dikembalikan ke digester pada temperatur
160 – 170 0C.
Setelah pemanasan ini, chip masuk menuju zona cooking yang
berlangsung selama 1 – 2 jam. Karena reaksi pulping (pulping
reaction/cooking reaction) berlangsung secara eksotermik, maka
temperatur dinaikkan sekitar 4 5 0C diatas suhu yang ada di cooking
zone.
Pada akhir zona cooking, temperatur harus diturunkan untuk
menghentikan pulping reaction. Hal ini dilakukan dengan mengatur
sirkulasi pada strainer. Washing liquor dipompakan dari strainer yang
terpasang pada bagian atas zona washing, dan kemudian dipompakan
lagi melalui pipa yang tengah dan berakhir pada bagian bawah zona
Chip in
cooking. Washing liquor bertemperatur 130 0C dapat mendinginkan chip
dengan cepat. Cooking liquor yang sudah terpakai dibuang dari digester
melalui strainer yang terpasang pada zona cooking dan washing.
Gambar 13. Zona Cooking Kontinyu digester
Water Suhu 0C
Zona
Liquor
105
Steam
Impregnasi
155
Strainer
Heating
170
Cooking
175
Strainer
160
Washing
130
Strainer
85
Cooking liquor dikurangi pada tekanan atmosfir pada satu atau dua
flash tank. Pada sistem dua flash, flash tank yang pertama menghasilkan
steam bersuhu 120 0C untuk presteaming chip. Steam dari flash tank yang
kedua digunakan presteaming chip pada tekanan atmosfir di dalam chip
bin atau untuk produksi air panas (hot water). Setelah flashing, black liquor
kemudian dipompakan ke evaporator untuk direcovery.
Zona washing
Pada bagian bawah digester kamyr terdapat zona washing. wash
liquor (hot water atau filtrate dari external washer) dipompakan pada
bagian digester pada temperatur 80 0C. pada bagian bawah ada
jaringan resirkulasi eksternal dimana wash liquor dipanaskan sampai 130 0C
– 135 0C. wash liquor bergerak ke atas secara counter current
(berlawanan arah) dengan aliran chip. Wash liquor dibuang melalui
sirkulasi strainer dan diinjeksikan pada pulp dengan temperatur yang lebih
rendah.
Akhirnya, wash liquor dan black liquor dialirkan kebawah bersama
sama dengan chip untuk flashing dan recovery. Proses countercurrent
pada zona washing ini sama dengan proses dilution.
Retention time pada zona washing tergantung dari rancangan
digester yang bervariasi dari 1 sampai 4 jam. Pada dasarya washing pada
continuous digester merupakan proses diffusi di mana lignin dilarutkan dan
cooking liquor dari chip akan tersebar merata ke sekitar cairan pencuci.
Factor yang mempengaruhi proses diffusi ini adalah waktu, temperatur,
ketebalan chip dan jumlah cairan pencuci yang digunakan. Retention
time yang lama dan temperatur yang tinggi dapat meningkatkan kinerja
dari washing. ketebalan chip sangat penting karena chip yang tebalnya
dua kali lipat dari biasa akan mengurangi rate of diffusi (laju reaksi diffusi) 4
kali.
Continuous digester mengoperasikan tekanan di atas tekanan
steam yang berhubungan dengan temperatur cooking. Hal ini untuk
memastikan bahwa tidak ada flashing liquor yang terjadi pada inlet
pompa dan memastikan digester terisi penuh dengan liquor setiap saat.
Tekanan yang tinggi juga menjamin impregnasi berjalan sempurna pada
zona impregnasi. Tekanan yang normal digunakan adalah 1240 kPa pada
zona heating dan sekitar 1480 kPa pada bagian bawah.
Blowing
Chip yang sudah dicooking akan bergerak mencapai bagian dasar
memiliki temperatur 80 0C. Alat untuk menghentikan aliran yang chip yang
berbentuk pulp dinamakan bottom scrapper yang terdiri dari dua lengan
scrapper yang dapat berputar.
Blowing biasanya dilakukan pada saat bagian bawah digester
bertekanan tinggi. Blowing dirancang dengan menggunakan control
valve yang berhubungan dengan tangki bertekanan sehingga tekanan
dapat dikontrol dengan tiga kali pressure drop (tekanan yang turun secara
tibatiba). Untuk continuous digester tangki blowing normalnya bisa
menahan pulp dalam tangki selama 30 menit sampai 1 jam tergantung
jumlah chip yang masuk.
Perbandingan Batch dan Continuos Digester.
Batch digester lebih fleksible dari pada continuous digester. Batch
digester mudah untuk penggantian grade, sumber serat (jenis kayu) dan
jumlah produksi. Untuk penggantian grade atau mengganti jenis kayu
pada continuous digester seringkali pulp yang dihasilkan menjadi rendah
mutunya. Karena continuous digester tidak dapat dioperasikan jauh dari
kapasitas designnya, sehingga seolaholah fleksibilitasnya terbatas. Jika
2.2. Pulping Calculations
White liquor yang digunakan pada proses kraft pulping
mengandung NaOH dan Na2S yang memiliki pH antara 13.5 – 14. Pada
percobaan white liquor dibuat dengan melarutkan sejumlah caustic soda
dengan sodium sulfide dalam air. Tetapi di mill white liquor dibuat dari
recovery system yang tentunya sudah tercemari oleh ionion lain.
Diantaranya ion carbonate yang timbul akibat tidak sempurnanya proses
di caustisizing dan juga dari penyerapan CO2 dari udara. Sulphate,
sulphite, dan thiosulphate juga sering muncul dalam jumlah kecil karena
proses reduction pada sulphide tidak berjalan sempurna di recovery boiler.
Dalam larutan Na2S akan berekasi dengan air untuk membentuk
kesetimbangan reaksi :
Atau lebih tepatnya
2Na+ + S 2 + H2O Na+ + SH + Na+ + OH
Pada saat setimbang total konsentrasi NaOH dalam larutan lebih besar
daripada yang dihitung dari berat aktual NaOH yang terlarut dalam
liquor. Oleh karena itu sangat tidak mungkin untuk menentukan konsentrasi
NaOH dan Na2S dalam larutan white liquor.
Tapi sangat penting untuk standard unit dari suatu larutan
konsentrasi atau apa saja. Pada mill yang terdapat di Scandinavia
konsentrasi ditentukan dengan NaOH sementara di daerah Amerika Utara
digunakan Na2O.
Pertama kali menggunakan Na2O sebagai satuan, tampak agak
ganjil, karena Na2O berbentuk padatan anhydrous dan tidak muncul
dalam larutan pemasak (cooking liquor). Mungkin pada recovery boiler
ada terkandung Na2O, tetapi semua sudah terkonversikan menjadi NaOH
dengan penambahan air dengan reaksi
Na2O + H2O 2NaOH
Dari berat Molekul (BM), Na2O memiliki BM 62 ekuivalen dengan 80 pada
BM NaOH. Karena Na2S seperti Na2O memiliki 2 atom Na, 62 BM Na2O
ekuivalen dengan BM Na2S 78. Agak mirip dengan kasus ini, setiap larutan
garamgaram sodium (Na) juga dapat dihitung berdasarkan rumusan ini
seperti terdapat dalam tabel :
Tabel 8. Konversi chemical pada Na2O
Chemical Rumus BM Berat Factor untuk Factor untuk
chemical ekuivalen mengkornersi mengkonversikan
dengan 62 kan berat Na2O ekuivalen
bagian chemical pada berat
Na2O ekuivalen chemical
pada Na2O
A B C D E = 62/D F=D/62
Sodium Oxide Na2O 62 62 1 1
NaOH dan Na2S adalah elektrolit kuat dan didalam air akan terurai
menjadi ion Na+, OH, S2 . Ion S2 dalam air akan bereaksi untuk mencapai
kesetimbangan:
2.2.1. Chemical Concentration (konsentrasi zat Kimia)
Konsentrasi zat kimia merupakan besarnya konsentrasi pulping
chemical pada larutan (liquor), misalnya, pada proses sulfit liquor memiliki
6 % SO2 yang menunjukkan 6 gr sulfite chemical (SO2 basis) per 100 ml
liquor. Jika ratio liquortowoor 4 : 1, persentasi chemical menjadi 24 % as
SO2. Sehingga diperoleh suatu hubungan
Konsentrasi Zat Kimia pada Liquor = persentase chemical pada kayu
Liquor : Wood Ratio
2.2.2. Chemical charge (pada proses) dan Persent chemical (pada kayu
atau Pulp)
Chemical charge adalah pengukuran berat chemical yang
digunakan pada memproses (seperti pulping atau bleaching) material.
Misalnya, kraft pulping menggunakan 25% total alkali on wood (pada
kayu). Ini menunjukkan 500 pound alkali yang digunakan untuk 2000
pound dry wood (kayu kering). Chemical yang digunakan pasa proses
sulfite diekspressikan sebagai SO2. Jika bleaching mechanical pulp
dilakukan pada “0.5% sodium peroxide on Pulp” artinya 10 pounds sodium
peroxide digunakan perton dry pulp.
Chemical charge = Dry weight of chemical used X 100 %
Dry weight of material treated
2.2.3. Liquortowood ratio
Liquor to wood ratio sering diekspresikan sebagai Rasio bukannya
persen, Biasanya 3 : 1 atau 4 : 1 dalam chemical pulp. Numerator
biasanya boleh termasuk atau tidak termasuk berat air yang ada chip,
sehingga:
Liquor = Total weight of pulping liquor
Wood dry weight of wood
2.2.1. Total Chemical atau Total Alkali (TA)
Total alkali adalah jumlah semua garamgaram natrium didalam
larutan (sebagai Na2O) seperti NaOH, Na2S, Na2CO3 dan Na2SxOy (sebagai
Na2O hal 357 buku lamo). jumlah chemical ini diekspressikan sebagai g/L
atau lb/gal
TA = NaOH + Na2S + Na2CO3 + Na2SxOy (as Na2O)
2.2.2. Total Titrable alkali (TTA)
TTA adalah jumlah semua basa yang terdapat didalam white liquor
yang bisa dititrasi dengan asam kuat, biasanya hanya NaOH, Na 2S dan
Na2CO3 (as Na2O) meskipun sebagian kecil Na 2SO3 dan asamasam lain
juga tertitrasi.
TTA = NaOH + Na2S + Na2CO3 (as Na2O)
2.2.3 Active Alkali (AA)
AA adalah jumlah zat yang aktive dalam proses pulping biasanya :
AA = NaOH + Na2S (as Na2O)
2.2.4 Effective Alkali (EA)
EA adalah jumlah natrium yang menghasilkan OH selama proses
pulping. NaOH secara sempurna terionisasi dan setiap 2 atom Na dari
Na2S akan menghasilkan satu OH
EA = NaOH + ½ Na2S (as Na2O)
Seringkali AA dan EA karena suatu kebutuhan dihubunghubungkan
sehingga bisa dihasilkan suatu rumusan:
Na2S = 2 (AA – EA)
2.2.5. Sulfidity
Dalam white liquor, sulfidity adalah ratio Na2S pada active alkali
yang diekspresikan sebagai %. Meskipun sulfidity tidak bisa dikontrol oleh
operator digester, tetapi pengaruhnya cukup besar pada hasil
pemasakan. Na2S dalam cooking mempengaruhi proses delignifikasi
(nucleophilic action) sementara untuk karbohydrate (selulosa dan
hemiselulosa) kecil pengaruhnya, yang kadangkala dianggap memprotek
selulosa dari degradasi.. Ini juga berarti, sebagai contoh, pada proses
“Soda Pulping” dimana hanya menggunakan NaOH saja tanpa Na 2S,
maka proses pulping akan lebih cepat dan menghasilkan pulp yang lebih
kuat karena tingginya yield sebagai akibat rendahnya degdasi dan
terlarutnya selulosa dan hemiselulosa.
S = Na2S X 100 %
NaOH + Na2S
Efek positif yang dihasilkan oleh sulfidity tergantung beberapa factor
seperti Jenis kayu, alkali charge, temperatur cooking, dan kualitas pulp
yang diinginkan. Biasanya range yang digunakan berkisar antara 15 – 35
%. Untuk hardwood biasanya 20 % yang tentunyalebih rendah dari
softwood yang menggunakan 25%. Untuk produksi pulp yang lebih kasar
seperti linerboard (yang banyak menggunakan soft wood) sulfidity 20 %
sudak cukup efektif. Jika sulfidity yang digunakan cukup tinggi misalnya di
atas 25% maka akan timbul polusi udara, udara akan bau. Bau yang
ditimbulkan merupakan salah satu factor yang dipertimbangkan untuk
menentukan level % sulfidity yang akan digunakan di Mill.
Sulfur sering hilang, selama proses cooking (pelepasan gas),
washing, dalam evaporator dan dalam recovery boiler. Biasanya hilang
sebagai gas SO2, H2S, Methyl mercaptan dan gasgas mercaptan lainnya.
2.2.6 Causticity
Causticity adalah ratio NaOH pada active alkali yangiekspresikan
sebagai %. Sehingga Causticity + Sulfidity = 100%. Istilah “Sulfidity” lebih
sering digunakan daripada causticity dan keduaduanya memberikan arti
yang sama. Dalam rumusannya
C = NaOH X 100 %
NaOH + Na2S
2.2.7 Causticizing Efisiensi
Causticizing efisiensi adalah rasio NaOH terhadap NaOH dan
Na2CO3. Ini digunakan untuk mengkur bagaimana efisiennya caustisizing
yang menghadirkan persentase Na2CO3 dari RB yang dikonversikan lagi
pada penggunaan NaOH (pada cooking). Harga efektif untuk Mill berkisar
antara 77– 80 %.
Caustisizing Efisiensi = NaOH X 100 %
NaOH + Na2CO3
2.2.8 Reduction Efficiency
1.45 60 oF
1.4
140 oF
1.35
210 oF
Spesific Gravity
1.3
1.25
1.2
1.15
1.1
1.05
1
0 10 20 30 40 50 60 70
Total Solid (%)
Gambar 14. Hubungan spesifik gravity dengan Total Solid
2.2.9 Spesific Gravity dan Viscosity Kraft Liquor
Spesifik Gravity white liquor pada temperatur kamar dapat dihitung
sebagai berikut:
Spesific Gravity = 1.O + (% Solid/100%)
Harga Spesific gravity dan Baume Black Liquor pohon pinus dapat
dilihat pada gambar 14. Data diperoleh pada suhu 80 sampai 210 oC
dalam interval 10. Dari hasil penelitian laboratorium dengan
menggunakan black liquor DpoglasFir pada 72 OC menghasilkan spesific
grafity 1.0 untuk 51 % solid. Dari beberapa percobaan dibuat table untuk
menentukan persamaan untuk menghitung OBe (yang dapat
dikonversikan ke spesific gravity) sebagai fungsi solid content pada
beberapa variasi temperatur :
O
Be = 2/3 X (solid, %) pada 60 OF
O
Be = 2.296 + 0.6254 X (Solid, %) pada 140 OF
O
Be = 4.288 + 0.6384 X (Solid,%) pada 210 OF
Spesific Gravity = 145/(145 OBe) jika spgr > 1.0
Contoh perhitungan
1. Turunkan factor konversi 0.775 yang mengekspresikan berat NaOH pada
Basis Na2O
Penyelesaian
2NaOH Na2O + H2O
Dari reaksi dan hubungan factor gravimetri maka;
1 g NaOH X 1 mol NaOH X 1 Mol Na2O X 62 g Na2O = 0.775 g Na2O
40 g NaOH 2 mol NaOH 1 Mol Na2O
2. Diketahuii
TTA = 120 g/l, AA = 104 g/L, EA = 88 g/L dan TA = 128 g/L
Dari hargaharga tesebut tentukan sulfidity dan komposisi NaOH, Na 2S,
Na2CO3 dan Na2SO4
Penyelesaian
Dari persamaan pada Efektif Alkali diatas Na2S = 2(AA – EA) maka,
Sulfidity = Na2S X 100% = 2(AAEA) x 100% = 100X2(104 – 88) = 30.8 %
NaOH + Na2S AA 104
Komposisi zat kimia
Na2S = 2(AAEA) = 2 (10488) = 32 g/L (as Na2O)
Dari tabel 8, maka konversi Na2S ke Na2O = 1.259, maka
32 g/L Na2S X 1.259 = 40.3 g/L Na2S
NaOH = AA – Na2S = 104 32 = 72 g/L (as Na2O)
Dari tabel 8, maka konversi NaOH ke Na2O = 1.291, maka
72 g/L NaOH X 1.291 = 93 g/L NaOH
Na2CO3 = TTA – AA = 120 104 = 16 g/L (as Na2O)
Dari tabel 8, maka konversi Na2CO3 ke Na2O = 1.710, maka
16 g/L Na2CO3 X 1.710 = 27.4 g/L Na2S
Na2SO4 = TA TTA = 128 120 = 8 g/L (as Na2O)
Dari tabel 8, maka konversi Na2SO4 ke Na2O = 1.710, maka
8 g/L Na2SO4 X 2.294 = 18.3 g/L Na2S
Total Active chemical = Na2S + NaOH = 40.3 + 93 = 133.3 g/L
Total inactive chemical = Na2CO3 + Na2SO4 = 27.4 + 18.3 = 45.7 g/L
3. Diketahui ada 1 ton kayu (OD). Moisture chip 50% berdasarkan berat
basah. Active Alkali (AA) white liquor 20% berdasarkan ODT dan
sulfidity 25%. Liquortowood ratio adalah 4 : 1. Tidak termasuk air dalam
chip. Asumsi semua spesific gravity liquor = 1 walaupun kenyataanya
ada yang mendekati 1.05 g/ml. Pada soal ini yang dipertimbangkan
hanya NaOH dan Na2S, abaikan Na2CO3, Na2SO4 dan zat kimia yang
lain. Coba Hitung:
a. Na2S per ton as Na2O dan Na2S
b. NaOH per ton as Na2O dan as NaOH
c. Total White Liquor per ton (tidak termasuk air dalam chip)
d. 1). Jumlah air dalam liquor (original liquor), 2)Jumlah air dalam chip, 3)
Total Jumlah air dalam digester.
e. 1). Konsentrasi NaOH dan Na2S dalam white liquor (as Na2O), 2).dalam
diluted liquor
Penyelesaian:
Jumlah kayu X chemical charge = Jumlah chemical (aktif alkali)
1000 X 20% = 200 kg aktif alkali as Na2O, maka
a. Active Alkali X Sulfidity = Na2S
200 kg AA X 25 % = 50 kg Na2S as Na2O
50 kg Na2S X 1.259 (dari tabel 8.)= 63 kg Na2S as Na2S
b. Active Alkali – Na2S = NaOH
200 kg AA – 50 kg Na2S = 150 kg NaOH
150 kg NaOH X 1.2591 (dari tabel 8) = 193.5 kg NaOH as NaOH
c. Oven dry wood X L : W ratio = total massa liquor yang ditambahkan
1000 kg X 4(kg liquor)/(kg wood) = 4000 kg liquor
d. 1) Massa Total liquor – massa chemical = massa air dalam liquor
4000 kg – (63 kg + 193.5 kg) = 3743.6 kg air yang ditambahkan dalam
white liquor
2) MCGR = Massa air dalam chip/(massa air chip + Massa chip ODT)
0.500 = x/(x + 1000 kg dry wood)
x = massa air/1000 kg ODT chip = 1000 kg
3). Air dalam liquor + air dalam chip = total air yang dicooking
3743.6 + 1000 = 4743.6 g (atau kg) dari total air
d. Massa dry chemical/volume solution = concentration
1. 150 kg/4000 l = 37.5 g/L NaOH (as Na2O)
50 kg/4000 l = 12.5 g/l Na2S (as Na2O) sehingga AA = 50 g/L
2. 150 kg/5000 l = 30 g/l NaOH (as Na2O)
50 kg/4000 l = 10 g/l Na2S (as Na2O) sehingga AA = 40 g/L
4. Jika atasanmu mengatakan bahwa dari recovery cycle mengandung
85 g/L NaOH (as NaOH) dan 35 g/L Na 2CO3 (as Na2CO3). Dia
menanyakan ke kamu apakah semua sudah beres dan sudah masuk
dalam kualifikasi yang diinginkan?
Penyelesaian
Untuk menyelesaikan problem ini kita harus menggunakan pengertian dari
Causticity dan harus mengetahui spesifikasi yang sesuai pada quality plan
yang berlaku (setiap mill memiliki spesifikasi tertentu).
85 g/L NaOH X (62 g Na2O/80 g NaOH) = 65.9 g/L NaOH (as Na2O)
35 g/L Na2CO3 X (62 g Na2O/106 g Na2CO3) 20.5 g/L Na2CO3 (as Na2O)
Causticity = 100 % X 65.9/(65.9 + 20.5) = 76.3%
Hal ini menunjukkan bahwa hanya 76,3 % Na2CO3 yang dikonversikan
pada active komponen NaOH. Menurut spesifikasi, range yang digunakan
sebaiknya antara 77 – 80 %, sehingga untuk laporan ke atasan sebaiknya
diterangkan kalkulasi diatas dan nyatakan bahwa white liquor yang dikirim
“bermasalah” dan tidak sesuai dengan kualifikasi (spesifikasi).
Berapakah rasio Liquor:Wood?
Penyelesaian:
Jumlah total liquor = 100 X 0.50 + 80 + 70 = 200 ton
Penyelesaian
1. Jumlah Mol Na+ pada 100 g/l NaOH
1 liter mengandung 100 g NaOH.
100 g NaOH ekuivalen dengan 100 g/40 g = 2.5 mol NaOH (2.5 mol Na+)
2. Jumlah Mol Na2O yang terdapat dalam 2.5 mol Na+
Karena Na2O mengandung 2 ion Na+ dan NaOH hanya 1 ion Na +,
maka kita harus membagi dengan dua untuk menentukan jumlah mol
Na2O yang dapat dibentuk dari 2.5 mol Na+, sehingga
2.5/2 = 1.25 mol Na2O
3. Berat 1.25 mol Na2O
1.25 mol X 62 g/mol = 77.5 g
Oleh karena itu 100 h/l NaOH ekuivalen dengan 77.5 g/l Na2O
Secara umum cara penghitungannya:
100 g NaOH X 1 mol NaOH X 1 mol Na2O X 62 g Na2O = 77.5 g Na2O
40 g NaOH 2 mol NaOH 1 mol Na2O
BAB III
BLEACHING & CALCULATION
Bleaching”. Proses ini di Eropa hanya bisa dilakukan pada musim semi dan
panas saja.
Proses ini terus berkembang dan memonopoli cara bleaching
sampai Karl Wilhelm Scheele seorang ahli kimia dari Swedia menemukan
chlorine untuk bleaching. Penemuannya ini merupakan langkah besar
dalam proses industri bleaching tekstil dan kertas.
Hingga saat ini ketertarikan para industriawan pada
proses”Bleaching” semakin meningkat selama 40 tahun terakhir ini.
Pengembangan proses yang efisien, penggunaan peralatan dan material
untuk konstruksi bangunan merupakan faktor yang banyak memberikan
kontribusi dalam perkembangan bleaching.
Pemurnian dan pemutihan dilakukan dalam beberapa langkah
opreasi. Setiap langkah (step) biasanya disebut dengan “Stage”. Setiap
stage bleaching memiliki tiga langkah besar yaitu:
1. Mixing pulp dengan chemical danpanas (heat)
2. Retention (waktu tinggal) campuran dalam tangki (vessel) yang tepat.
3. Washing pulp setelah reaksi untuk memisahkan impuritis yang
dilepaskan selama proses dan sekalian untuk membuang bleaching
chemical yang tersisa.
Tabel 9. Stage yang digunakan dalam bleaching
Nama Stage Simbol Chemical yang digunakan
Chlorination C Gas atau air chlorine
Caustic Extraxtion E Larutan NaOH
Hypochlorite H Na atau Ca hypochlorite
Chlorine Dioxide D Larutan chlorine dioxide
Oxygen O Gas oksigen dan alkali
Peroxide P H2O2 (larutan 50%)
Ozone Z Gasa Ozon (2% dalam oksigen)
Mixture of Chlorine and Chlorine
C/D Campuran chlorine dan chlorine dioxide
dioxide
Untuk pemilihan jumlah stage atau sequence ditentukan oleh:
1. Jenis kayu atau serat yang akan dibleaching (softwood atau
hardwood) dan brightness yang akan dicapai
2. Proses yang dilakukan sebelum dibleaching seperti mechanical,
chemical atau kombinasi keduanya
3. Penggunaan pulp setelah dibleach
4. Pertimbangan lingkungan
Tujuan utama bleaching adalah untuk meningkatkan brightness pulp
dan membuat final product cocok untuk manufacturing printing, tissue
atau kertas lain dengan menghilangkan atau modifikasi sebagian
komponen pada unbleached pulp, termasuk lignin dan impurities sperti
resin, ionion logam, komponen nonselulosa, dan berbagai macm fleck
(penyebab timbulnya dirt count)
Bleaching mengurangi beberapa impurities dalam pulp seperti fiber
bundles (serat yang menggumpal) yang mengandung lignin berkadar
tinggi lenih dari ratarata dirt count yang dikandung pulp (shives dan bark).
Pemasaran pulp jenis ini tergantung dari kualitas dan banyaknya dirt yang
dikandung pulp.
Proses beating pulp setelah bleaching pulp akan membuat
brightness menjadi rendah, mengurangi daya absorbansi dan sebaiknya
tindakan mechanical yang dilakukan setelah bleaching harus dikurangi.
Gugus karbonil dalam selulosa dan hemiselulosa menyebabkan color
reversion (perubahan warna) selama penyimpanan, sensitive terhadap
alkali (basa) dan lainlain. Oleh karena itu sebaiknya proses bleaching
dilakukan terhadap pulp yang tidak mengadung gugus karbonil dan jika
mungkin gugus tersebut bisa dikurangi selama proses bleaching.
Bleaching juga dapat membuat kandungan resin (pitch content)
dalam pulp menjadi rendah. Pitch akan menyebabkan fleck atau pitch
deposit pada proses papermaking.
Bleaching pulp dilakukan dengan reaksi kimia bleaching agent
dengan lignin dan penyebab warna pada pulp. Ada 4 kondisi yang
mempengaruhi bleaching antara lain:
1. Temperatur : temperature yang digunakan bervariasi pada setiap
bleaching agent yang digunakan. Naiknya temperature akan
mempercepat reaksi bleaching.
2. Waktu : secara alami, semakin lama pulp bereaksi dengan chemical
maka akan semakin besar pengaruh bleaching terhadap pulp.
3. Konsentrasi : beberapa factor akan meningkatkan laju reaksi
dengan menambahkan lebih banyak chemical atau konsistensi
stock.
4. pH : Chemical dalam larutan memiliki pH dengan range 0 14,
dengan O untuk keasaman yang maksimum dan 14 untuk
maksimum basa.
Bleaching untuk pulp yang dihasilkan dengan proses kimia
menggunakan beberapa stage yang disebut dengan sequence,
penggunaan chlorine, hypochlorite, chlorine dioxide, oksigen dan
peroxide. Diantara stage ini pulp ditambahkan dengan alkali untuk
melarutkan beberapa impurities. Pada table 10. dapat dilihat kondisi
bleaching yang digunakan pada beberapa stage untuk chemical pulp.
Brightness unbleach pulp yang dihasilkan pada proses kraft pulping
yang modern memiliki brightness yang rendah berkisar antara 20 – 30 % GE
jika dibandingkan dengan proses sulfite yang berkisar antara 55 % samapi
65 % GE yang membuat pulp lebih sulit untuk dibleaching.
Tabel 10. Kondisi Bleaching untuk beberapa stage
Kondisi C E stage H stage D stage P stage O stage
stage
Chemical 3 – 8 % 2 – 3 % 2% (as Cl2) 0.4– 0.8% 1 – 2% 23% 0.40.8 Mpa
Na2O2, 60120 psi ,Mg2+
Mg2+,silicate
Konsistensi 34% 10–18% 4 –18% 10 – 12% 10% 2030% & 1012%
pulp
PH 0.5 – 1.5 11 12 8 10 3.5 6 8 10 10 – 12
Bleachability
Bleaching sequence
Proses pemutihan adalah proses pembersihan selulosa pulp dan
penghilangan lignin dan komponen penyebab warna lainnya yang
terkandung dalam pulp sebanyak mungkin untuk memurnikan selulosa
dan mengasilkan serat yang transparent dan tidak berwarna. Akumulasi
zat pewarna atau lignin menyebabkan pulp menjadi kuning atau coklat
tergantung dari berapa jumlah zat pewarna yang dikandung pulp.
Untuk mengeliminasi komponen yang tidak diinginkan pada pulp,
maka chlorine dan campuran chlorine sudah terbukti efektif untuk lignin
dan dirt. Chemical yang lain cukup bagus digunakan untuk bleaching
14. CEHDED. Cocok untuk menghasilkan pulp yang memiliki brightness 90 – 92 GE.
Sequence ini sangat menguntungkan karena chemical yang digunakan lebih
efisien.
15. CEDED. Sequence ini mirip dengan no 14 tetapi brightness yang dihasilkan berkisar
anatar 88 90. Sequence ini bisa menghasilkan pulp pada brightness dan kualitas
yang sama dengan biaya yang lebih rendah.
16. DCEDED. Pada sequence ini digunakan chlorine dioxide dan chlorine pada
chlorination stage untuk meningkatkan kemampuan bleaching no 15 dan
memperoleh keuntungan yang sama dengan fleksibiltas seperti no 14 dengan
pulp yang lebih baik.
17. C/DEDED. Sequence ini mirip dengan no 15 tetapi viscosity pulpnya lebih tinggi.
18. D/CEDED. Hampir mirip dengan no 17 lebih mudah beradaptasi pada temperatur
tinggi pada saat proses chlorination yang dihasilkan dari counter current
(berlawanan arah) washing dengan sistem “Closed Chlorination Stage”.
19. CEDEDP. Sequence ini mirip dengan no 14 dan 16 tetapi hasilnya memiliki
brightness yang cukup stabil. Menghasilkan brightness diatas 90 GE dengan
properties of pulp yang lebih baik.
20. DCOD. Sequence yang cukup singkat ini hanya digunakan di Chesapeake Mill di
USA untuk bleaching hardwood kraft pulp yang menghasilkan brightness 90 – 91
GE.
21. OC/DEDED. Sequence ini mirip dengan no 14 dan 19 dengan penghematan (cost
saving) yang cukup bagus ( cost production sekitar $4 $5 perton pulp.
Menghasilkan lebih dari 50% pengurangan BOD dan COD dan bahkan lebih dari
90 % pengurangan warna yang diperoleh.
22. OCEDED. Sebagian besar mill menggunakan oxygen bleaching sebagai salah satu
stage pada sistem washing pada brown stock. Hasilnya hampir mirip dengan no
20 kecuali adaptasi terhadap klorinasi yang bertemperatur tinggi.
23. ODED. Pada sequence ini oksigen digantikan dengan CE pada CEDED bleaching.
Sequence ini mampu mengurangi 85 % BOD dan COD dan pengurangan warna
sampai 95%. Hanya Enstra Mill di Afrika Selatan yang menggunakan sejak tahun
1970.
ClO2 ClO2
Prepared by Mayendri Putra/LBD-RU/758933 Page 61 QAP internal Used Only
UNBLEACH PULP BLEACH PULP
WASHER
Application Research & Development and Raw Material Pulp Section
Tujuan utama dari stage pertama ini adalah menghilangkan lignin
sebanyak mungkin tanpa mengurangi jumlah selulosa yang terkandung
yang kemudian dicuci di washer untuk menjamin bersihnya pulp dari
lignin dan chemical sehingga siap untuk dilanjutkan pada reaksi
berikutnya.
Biasanya kondisi chlorination berlangsung pada suhu 5 – 40 OC,
konsistensi 3 – 3.5% dan retention time dari 5 sampai 90 menit. Jumlah
klorin yang digunakan bervariasi tergantung dari jumlah pulp yang akan
dibleaching. pH normalnya pada 1.7 sampai 2 untuk softwood dan 2.53
untuk hardwood.
2. 1st Extraction (E1)
Tujuan utama dari proses alkaline extraction adalah untuk melarutkan
komponenkomponen pewarna yang bisa terlarut dalam larutan alkali
panas. Dengan melarutkan chlorinated dan oxidized ligin dan
komponen pewarna lain, maka derajat keputihan (whiteness) akan
dapat ditingkatkan.
Kondisi normal dari stage ini adalah konsistensi 10 – 12%, retention
time 60 menit, pH sekitar 11, dengan suhu 70 – 75 OC. Setelah stage
kedua ini, pulp dicuci untuk mengurangi lignin yang terlarut dalam soda
dan impurities lainnya. Effluent dari stage ini sebagian besar dialirkan
pembuangan limbah karena kandungan organiknya cukup tinggi
3. 2nd Chlorine Dioxide Stage (D1)
Pada stage ketiga digunakan chlorine dioxide (ClO2). Treatment tipe
ini merupakan reaksi oksidasi, dan chemicalnya akan bereaksi dengan
ekstraktif dan impurities yang masih tersisa dan akan dapat meningkatkan
brightness. Kondisi yang normal pada stage ini, konsistensinya 1012%, 7075
O
C serta 34 jam retention time. Semakin lama waktu yang digunakan
semakin bagus. Keasaman (acidity) pada stage ini sangat penting untuk
memaksimalkan hasil bleaching.
Konsistensi pulp tidak berpengaruh terlaru besar terhadap konsumsi
chemical. Konsistensi tinggi akan meminimalkan penggunaan steam yang
digunakan untuk pemanasan dan ukuran peralatan.
Suhu dan waktu juga tidak berpengaruh langsung pada konsumsi
chemical. Untuk pengontrolan jumlah konsumsi klorin dapat digunakan
dengan metoda test residual chlorine dioxide pada bagian akhir stage.
Pada akhir stage pulp kembali dicuci dan effluentnya tidak seperti
stage yang sebelumnya mengandung begitu banyak kontaminan,
sehingga effluent stage ini bisa digunakan kembali dalam recovery system.
4. 2nd Extraction (E2)
Untuk alasan ekonomi dan kualitas pulp, maka stage hot alkali
extraction yang kedua digunakan diantara dua stage dioxide pada
sequence CEDED atau CEHDED.
Pulp selama dibleaching pada D1, sebagian Impuritis sudah
terbuang pada stage hot alkali yang pertama (E1). Pada E2 ini kembali
impurities dihilangkan secara besarbesaran yang menghasilkan pulp yang
berkualitas baik dan brightness yang stabil. Kondisi pada stage ini pada
suhu 70 OC, konsistensi 1012%, retention time 6990 menit serta
penambahan caustic soda 0.5%. Pulp kembali dicuci, dan effluentnya
cukup aman digunakan untuk pencucian kembali
5. 2nd Chlorine Dioxide Stage (D2).
Stage yang terakhir adalah stage ke lima, pada stage proses yang
digunakan identik dengan D1 yang berguna untuk menghilangkan residu
dan impuritis yang tersisa. Pada stage ini brightness bisa diadjust sesuai
dengan final pulp yang diinginkan.
3.1. Chlorination
H H H H
Cl Cl
O O
Gambar 16. Reaksi yang terjadi pada stage chlorination
Reaksi subtitusi dan dan addisi lebih cepat daripada reaksi oksidasi
dan tidak meninggalkan Cl dalam larutan seperti halnya reaksi oksidasi.
Oksidasi terjadi terhadap lignin dan karbohidrat. Reaksi oksidasi
karbohidrat akan merusak viscosity dan menurunkan pulp strength. HClO
akan merusak karbohidrat, oleh karena itu chlorination di lakukan pada pH
diatas 0.5 (untuk menghindari hidrolisis selulosa dan dibawah pH 1.5 (untuk
menghindari degradasi selulosa oleh oksidasi). Sodium hypochlorite
digunakan dengan NaOH untuk menghindari oksidasi selulosa oleh HClO.
Pada bleaching chlorination ini lignin tidak bisa dipisahkan dalam
jumlah besar, pulp cenderung akan berwarna gelap (biasanya berwarna
agak orange). Pulp dilarutkan sampai konsistensi 1% dan dicuci untuk
menghilangkan asamasam yang akan mengkonsumsi alkali pada stage
berikutnya.
Chlorination akan menghasilkan material chlorinated organic seperti
dioxin yang merupakan turunan dari dibenzopdioxin. Sebenarnya ada
sekitar 75 jenis dioxin dengan 1 sampai 8 molekul chlorine yang berbeda
toxicity dan sifatsifatnya. Dioxin yang sangat toxic adalah 2,3,7,8
tetrachlorodibenzopdioxin (2,3,7,8,TCDD). Untuk menghindari
terbentuknya dioxin ini banyak pabrik menggantikan sampai 50% chlorine
dengan bleaching agent lain seprti ClO2 yang tidak menghasilkan
bleaching. Sehingga diperoleh produk yang “Environmentally friendly”.
Cl Cl
O
O Cl
Cl
Gambar 17. Tetrachlorodibenzopdioxin (2,3,7,8,TCDD)
karena jika lignin tidak akan hilang pada stage ini maka pada stage
Overchlorination yang terjadi pada stage ini akan menyebabkan strength
pulp akan rendah.
Karena dua chemical ini akan dihasilkan maka prosesnya sering disebut
proses Chloralkali. Produksi chlorine reaksinya adalah sebagai berikut :
2 NaCl + 2 H2O + electricity Cl2 + 2 NaOH + H2
Gambar 18. Manufacturing NaOH dan Cl2
Arus Listrik
Cl2
Cl2 (+)
G
2NaCl + 2H2O
R
Garam Air
A
Brine
P
H
Mixing (pencampuran) I
T
H2
Pada proses chlorination ini mixing sangat penting, karena pulp dan
Asbestos paper E
H2
Diaphragm
chemical harus benarbenar tercampur agar reaksinya berjalan sempurna.
Perforated
Poor mixing Iron
(pencampuran yang tidak sempurna) akan menyebabkan
Cathode Plate A
residual chlorine tinggi (klorin terbuang percuma dan biaya produksi akan
N
O
bertambah besar Karena harga klorin cukup mahal), strength pulp akan
D (-)
E Katoda Negatif
turun dan juga bisa mengakibatkan munculnya shive. Oleh karena itu
mixing yang sempurna sangat penting untuk keseragaman dan efisiensi
Pipa Kaca
konsumsi chemical.
NaOH
2 NaOH
Pengaruh dari tidak bagusnya mixing (poor mixing) berbeda pada
setiap jumlah konsumsi klorin. Pada konsumsi klorin yang cukup tinggi,
akan menyebabkan tingginya residual klorin (klorin berlebihan) dan
rendahnya viscosity pulp. Pada konsumsi klorin yang cukup rendah
pengaruh poor mixing sangat signifikan pada final pulp (brightness
rendah). Untuk bleaching sequence yang cukup singkat alternative diatas
sangat tidak diinginkan. Tetapi untuk bleaching sequence yang cukup
lama, konsumsi klorin yang rendah dapat digunakan.
Poor mixing mempengaruhi konsumsi bleaching, viscosity dan
residual klorin. Tidak mudah untuk mendeteksi poor mixing. Poor mixing
dapat dikenali dengan timbulnya bercakbercak yang tidak seragam pulp
slurry setelah beberapa waktu. Atau dengan mendeteksi tandatanda
perubahan warna dengan memasang alat antara mixer dengan tower.
Munculnya gas klorin dari mixer juga dapat diidentifikasikan sebagai poor
mixing.
Temperatur
Proses klorinasi adalah proses eksotermik. Pada proses kraft pulp jenis
pinus, pada konsistensi 3.5% proses akan menghasilkan panas 1,5 – 2 OC,
pada konsistensi 10 % naik menjadi 3 OC, dan pada 2539 % naik 10 20 OC.
Oleh karena itu pengaruh temperature akan sangat tampak pada
konsistensi tinggi, sedangkan pada konsistensi rendah seolaholah tidak
punya pengaruh apaapa.
Dengan naiknya temperature maka laju reaksi pada proses klorinasi
akan meningkat dan konsumsi klorin juga akan naik dua kali lipat setiap
kenaikan 8 OC. Lignin akan terlarut dengan naiknya temperature.
Degradasi karbohidrat juga akan meningkat dengan naiknya
temperature. Tapi secara normal kesetimbangan antara pelarutan lignin
dengan degradasi karbohidrat hanya mengalami sedikit perubahan
dengan naiknya temperature.
Time (Waktu)
Pada prinsipnya retention time ditentukan oleh rancangan
peralatan bleaching tower, kapasitas mill dan konsistensi pulp.
Pada system air terbuka (open water), peralatan dirancang untuk
memberikan retention time yang cukup pada laju produksi yang tinggi
Konsistensi
Variasi konsistensi akan mempengaruhi konsentrasi klorin dan waktu
klorinasi. Normal konsistensi yang digunakan adalah antara 34%
(konsistensi rendah), level yang memungkinkan untuk melarutkan semua
klorin
Konsistensi rendah memiliki beberapa keuntungan, diantaranya pulp
slurry mudah untuk dipompakan, degradasi karbohidrat akan berlangsung
lambat pada open water system, konsentrasi klorin biasanya cukup rendah
untuk menyebabkan korosi. Sedangkan kerugiannya, tingginya
pengenceran akan membuat effluentnya cukup dominant dalam arti total
volume bleaching tower semakin besar. Konsistensi rendah juga akan
meningkatkan waktu untuk proses klorinasi oleh karena itu control
terhadap proses akan semakin sulit dilakukan dan terlalu banyak
memakan waktu.
Untuk konsistensi tinggi, pulp yang dibleaching masih menghasilkan
brightness dan strength yang hampir sama dengan cara konvensional
(konsistensi rendah), tetapi waktu yang digunakan lebih pendek dan klorin
yang digunakan lebih sedikit.
pH
pH yang rendah akan membantu reaksi subtitusi dan juga
meningkatkan konsumsi klorin dan penguraian lignin. Oleh karena itu pH
dianggap salah satu variable yang sangat penting dalam proses klorinasi.
Pada proses kraft, pulp yang akan dibleaching biasanya alkaline
(basa), sedangkan penggunan klorin adalah dalam suasana asam. Oleh
karena itu pertamatama klorinasi berlangsung pada pH tinggi (suasana
basa). Setelah beberapa detik maka pH akan drop (turun) sehingga
terbentuk asam klorida. Reaksi yang terjadi pada pulp pada saat klorinasi
hingga saat ini masih samarsamar dan belum begitu jelas untuk diketahui.
CD Stage
CD atau CD stage adalah modifikasi C stage, dimana sebagian Cl 2
digantikan oleh ClO2. ClO2 berfungsi sebagai “Scavenger”. Subtitusi 10%
chlorine dengan chlorine dioxide berfungsi untuk mencegah over
chlorination. Subtitusi 50% atau lebih Cl 2 dengan ClO2 bertujuan untuk
mengurangi dioxin atau zat kimia organic klorinated yang lain.
3.2. Alkaline Extraction
Alkaline extraction biasanya merupakan stage yang kedua pada
proses bleaching kraft. Disebut juga stage ekstraksi atau caustic stage
yang digunakan untuk melarutkan chlorinated lignin dan impurities lain
yang terlarut dalam larutan caustic (basa). Overtreatment yangterjadi
pada stage ini akan mengakibatkan serat menggumpal atau terputus
yang berpengaruh terhadap strength pulp. Total yield juga akan
berkurang karena sebagian selulosa akan terlarut dengan adanya larutan
caustic (basa).
Komponen kimia pulp terdiri dari selulosa, pentosan, lignin, non
selulosa hexosan, polyuronide, resin, zatzat organic, dan logamlogam.
NaOH
O O O O
Alkali yang
Cl digunakan
Cl pada proses
Cl ini akan
O membuat lignin
-
terlarut dengan reaksi yang lebih sederhana :
LigninCl + NaOH LigninOH + NaCl
Lignin pada stage E1 akan menghasilkan warna gelap yang akan
mempengaruhi final product. Biasanya pada stage ini juga ditambahkan
Oksigen (0.5% pada pulp) sehingga seringkali satage ini disebut dengan
stage “Eo”.
Ekstraksi yang optimum lebih mudah dicapai daripada proses
klorinasi. Tetapi ada sedikit kendala untuk menjaga temperature dan
3.3. Oxygen Bleaching
Molekul oksigen merupakan zat oksidator yang unik. Dalam
keadaan normal electron oksigen cukup stabil, dua dari elektronya tidak
berpasangan. Hal ini sangat memungkinkan timbulnya reaksi dengan zat
zat organic, reaksi berantai yang radikal.
Oksigen bleaching secara komersial digunakan sejak akhir tahun
1960an. Oksigen tidak berbau sehingga dianggap proses yang bebas
polusi. Kunci keberhasilan O2 delignification adalah penggunaan sejumlah
kecil ion magnesium (0.05 – 0.1 % on pulp) untuk memproteksi karbohidrat
dari degradasi. Bleaching ini cukup murah dan cukup spesifik untuk
mengurangi lignin.
Bleaching dengan menggunakan oksigen disebut juga dengan
oksigen delignification atau oxygen bleaching. Beberapa mill
menmbahkan oksigen pada tahap pertama ekstraksi alkali yang disebut
proses Eo untuk menghemat bleaching chemical proses selanjutnya.
Oxygen bleaching terdiri dari dua reaksi yaitu reaksi delignifikasi dan
degradasi karbohidrat. Reaksi oksigen dengan lignin berlangsung dalam
kondisi alkaline yang melibatkan beberapa reaksi diantaranya pemutusan
ikatan ether dan pembebasan gugus fenol dari lignin. Untuk lebih jelasnya
rekasi yang berlangsung sebagai berikut (I) menghasilkan tsruktur
unsaturated quinoidal (II) Kembalinya terbentuk struktur phenolic (III)
terbentuknya struktur quinone (IV) quinone dioksidasi oleh oksigen (V)
gugus yang terbentuk dioksidasi membentuk asam organic yang
kompleks.
Gambar 20. Reaksi yang berlangsung selama bleaching Oksigen
Degradasi selulosa dan polisakarida lain selama oksigen bleaching
biasanya diikuti dengan berkurangnya yield dan viscosity. Reaksi peeling
karbohidrat merupakan penyebab utama yang menyebabkan
berkurangnya yield.
Tekanan oksigen (oxygen pressure) tidak begitu nyata pengaruhnya
terhadap bleaching pada tekanan 0.2 – 1.5 MPa (2 – 15 atm), dan
konsistensi pulp juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Tetapi
konsentrasi alkali pada fase liquid mempunyai hubungan dengan
konsistensi pada constant charge (muatan yang konstan) dan
berpengaruh terhadap laju reaksi. Normalnya pressure yang digunakan 0.6
– 1.2 MPa dan konsistensi 16 – 30 %.
Ada dua methoda konsistensi yang sering digunakan pada oksigen
bleaching ini yaitu medium dan high consistency. High consistency
digunakan pada konsistensi 30 % sedangkan medium pada 10 – 15 %
konsistensi. Penelitian menunjukkan bahwa temperatur bleaching
dianjurkan adalah pada 100 oC.
Effluent dari oksigen bleaching dapat digunakan untuk brownstock
washer atau untuk penggunaan lain seperti dikirim ke RB karena oksigen
bleaching tidak menghasilkan ion chloride yang berpotensi menyebabkan
scale dan korosi pada peralatan.
3.4. Peroxide Bleaching
Proses peroxide bleaching pertama kali digunakan pada tahun
1940 untuk proses mechanical pulp. Tetapi setelah tahun 1960 semakin
berkembang dan sudah banyak digunakan untuk proses lain seperti proses
kraft, sulfite dan cold soda.
Keuntungan dari peroxide ini terletak pada penanganan dan
aplikasinya, seba guna dan tidak terlalu beracun. H 2O2 mudah dikapalkan
dan disimpan dalam larutan sampai konsentrasi 70%, tidak terlalu volatile
dan jika terurai dalam bentuk air dan oksigen (tidak membahayakan
lingkungan).
Peroxide bleaching menggunakan beberapa chemical dalam
proses bleaching. Pemilihan bahan akan menentukan hasil dari brightness
yang ditargetkan. Biasanya chemical yang digunakan H 2O2, Na2O2, H2O2
dan Na2O2, Sodium silicate (SiO2 dan Na2O), Caustic soda, Magnesium
sulfate (MgSO4.7H2O), Sodium tripolyphosphate, tetra sodium
pyrophosphate, dll.
Dalam larutan, hydrogen peroxide adalah asam lemah yang terurai
menurut persamaan berikut ini:
H2O2 + H2O H3O+ + O2H
3.5 Chlorine Dioxide Bleaching
Chlorine dioxide sebagai chemical untuk bleaching ditemukan
oleh Eric Schmidt seorang ahli kimia organik Jerman yang menggunakan
larutan chlorine dioxide untuk melarutkan ligin dari kayu sehingga hanya
tersisa “Skelettsubstanz”, yang banyak mengandung komponen
karbohidrat dan hasil diperoleh dapat memutihkan serat pulp. Secara
tidak sadar Schmidt telah menemukan cara baru untuk proses bleaching.
Schmidt langsung mempatenkan penemuannya.
Penemuan Schmidt ini tidak langsung digunakan dalam proses
industri karena sifat ClO2 yang mudah meledak dan toksiknya. Baru pada
bulan juni 1946 bleaching ClO2 ini digunakan oleh RapsonWayman di
Temiscaming, Quebec, Canada pada Canadian International Paper
Company.
ClO2 adalah senyawa kimia yang memiliki 19 elektron valensi (6
disetiap atom oksigen dan 7 disetiap atom klorin). Karena memiliki elektron
yang tidak berpasangan maka ClO2 cukup reaktif (Free Radical). ClO2
tidak stabil dan dapat meledak pada konsentrasi rendah menimbulkan
kerusakan yang relatif kecil jika dipanaskan., diberi cahaya (exposed to
the light) atau jika diberi percikan listrik (Electric spark). ClO 2 cukup stabil
jika dalam bentuk cairan dan sangat beracun.
ClO2 dapat meledak di atas konsentrasi diatas 10 kPa (1.5 psi atau
0.1 atm) oleh karena itu ClO2 tidak bisa dikirim melalui fasilitas transportasi
seperti truk, kapal, dll, sehingga ClO2 harus dibuat berdekatan dengan
tempat bleaching. Kelarutannya 6 g/L pada 25 OC dengan tekanan 70 mm
Hg.
Karena reaktifitas ClO2 cukup tinggi maka sering digunakan
sebagai oxidizing agent untuk beberapa senyawa organik yang ada
pada kayu seperti lignin dan asam lemak tak jenuh. Keuntungan
menggunakan ClO2 ini karena kemampuannya mengoksidasi lignin tanpa
merusak selulosa dan meningkatkan brightness dan meminimisasi “Color
reversion” atau yellowing. D stage atau Chlorine dioxide ini sangat efektif
untuk mrngurangi shive contents.
Reaksi antara ClO2 dengan pulp tidak bisa begitu diterangkan
karena struktur dari lignin tidak begitu jelas, produk oksidasi yang tidak
stabil dan agak sulit dikarateristik. Secara umum reaksi selama bleaching
antara ClO2 dengan lignin.
CH2OH CH2OH
HC - R HC - R
CHOH CHOH
ClO2
OCH3 COOCH3
COOH
O-
Gambar 21. Reaksi antara lignin dengan ClO2
Dalam larutan asam reduksi ClO2 menghasilkan 5 reaksi oksidasi
sebagai berikut:
Hypochlorous acid dan chlorine dioxide juga dapat terbentu reaksi:
8 HClO2 6 ClO2 + HClO + HCl + H2O … 5
Variabel yang mempengaruhi Chlorine Dioxide Bleaching
Chlorine dioxide adalah bleaching agent yang cukup bagus dan
dikontrol pemakaiannya. Adapun beberapa variabel tersebut adalah :
1. Waktu
cepat dan lambat laun akan berlangsung secara lambat.
90 280
88 240
86 200
Brightness (% GE)
Waktu (menit)
84 160
82 120
80 80
78 40
76 0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.8 1 1.2
% ClO2 Consumption
ClO2 vs Brightness ClO2 vs Waktu
Gambar 22. Hubungan antara ClO2 consumption, waktu dan Brightness
2. Temperatur
Tabel 10 Memperlihatkan hubungan antara pengaruh waktu,
temperatur dan pH.
Jika konsistensi, waktu dan pH bisa disetting tetap, maka semakin
tinggi temperatur yang digunakan maka semakin tinggi brightness yang
diperoleh selama ClO2 semuanya tidak dikonsumsi. Jika hal terjadi,
maka semakin tinggi temperatur dan semakin lama waktu akan
menyebabkan brightness drop, karena terjadinya color reversion pada
temperatur tinggi tanpa adanya oxidizing agent. Oleh karena itu 70 OC
direkomendasikan sebagai temperatur optimum untuk bleaching
menggunakan chlorine dioxide dan hampir sebagian mill
menggunakan temperatur ini sebagai acuan.
Tabel 10. Hubungan antara Suhu, waktu dan pH
Temp Time Brightness (% GE)
,pH 4.2 ,pH 6.2 , pH 8
(OC) (hr)
40 3 83.4 85.9 84.2
40 4 84.1 85.5 83.8
40 5 83.9 86 84.2
60 3 86.9 87.3 85.1
60 4 86.9 87.4 83.8
60 5 86.1 87.9 84.6
80 3 87 87.9 84.6
80 4 86 88.1 84.3
80 5 85.9 88 84.3
3. Konsistensi
Chlorine dioxide bleaching membutuhkan waktu dan temperatur yang
sama pada konsistensi yang berbeda. Oleh karena itu konsistensi yang
digunakan harus setinggi mungkin untuk menjaga panas. Biasanya yang
digunakan 1112 %.
4. Efek pH
Seperti semua bleaching agent, pH larutan sangat menentukan hasil
yang ingin diperoleh dengan bleaching ClO2. Di dalam air Chlorine
dioxide bereaksi dengan ion hidroksil untuk membentuk ion chlorate dan
chlorite:
2ClO2 + 2OH ClO3 + ClO2 + H2O
Reaksi ini lebih cepat jika berlangsung pada pH yang lebih tinggi tetapi
relatif agak lambat jika dibandingkan dengan reaksi ClO2 dengan pulp.
Pada pH 4 laju reaksi dengan air berlangsung sangat lambat karena
loss of chlorine dioxide kurang 10% dalam 3 jam, sementara pada pH 7
pada waktu dan temperatur yang sama 90 % chlorine dioxide
dikonversikan menjadi chlorate dan chlorite.
Dengan adanya pulp maka reaksi diatas juga akan terjadi, seprti
digambarkan sebagai berikut:
ClO2 + Pulp HClO2 + Oxidized pulp
Dengan meningkatnya pH, maka reaksi ini menjadi semakin cepat, dan
pada pH tinggi, selulosa seperti halnya lignin dan resin akan
terdegradasi. Hal diindikasikan dengan rendahnya viscosity dan
besarnya kelarutan bleached pulp dalam hot alkali begitu pH naik di
atas 7.
HClO2 akan terbentuk sangat cepat untuk mencapai
kesetimbangan dengan menguraikan beberapa produk ion chlorate
dan hidrogen. Posisi kesetimbangan tergantung pada pH larutan :
HClO2 ClO2 + H+
HClO + Cl Cl2 + H2O
J ika ion chloride tidak ada, maka HClO akan bereaksi dengan HClO2
untuk membentuk ClO2 dan HCl
HOCl + 2 HClO2 2ClO2 + H2O + H+ + Cl
2HClO2 H+ + HOCl + ClO3
HOCl pada reaksi ini akan membentuk ClO 2 yang kemudian akan
berekasi dengan lignin yang akan menghasilkan chlorous acid. Oleh
karena itu konversi ClO2 untuk membentuk Chlorate, chlorite dan
chloride semuanya terhantung pada pH dan konsentrasi lignin
Campuran Chlorine dan Chlorine dioxide pada chlorination stage
Jika ClO2 digunakan sebagai stage terakhir pada operasi bleaching
seperti sequence CEDED maka “Strength Loss” hanya akan terjadi pada
stage Chlorination jika temperatur yang digunakan terlalu tinggi atau
waktu yang digunakan terlalu lama. Campuran ClO2 terhadap chlorine
terbagi dua
1. Jika jumlah kecil ClO2 yang dicampurkan
Menurut penelitian jika sejumlah kecil ClO2 dicampurkan dengan Cl2
sangat efektif untuk “Viscosity Loss”. Hasil ini akan lebih menguntungkan
lagi jika chlorination dilakukan pada temperatur tinggi dengan recycle
effluent washer chlorination. Pulp strength akan meningkat jika sejumlah
kecil ClO2 ditambahkan pada Cl2 secara cepat pada pulp sebelum
“mixing”.
2. Jika jumlah yang dicampurkan cukup banyak.
Pada tahun 1962 di University of Toronto, dibuat penelitian efek subtitusi
ClO2 terhadap penggunaan Cl2 pada stage Chorination dari 0% 100%,
ternyata hasil yang diperoleh brightness yang diperoleh semakin tinggi.
Tidak hanya itu, pulp properties lain juga meningkat seprti viscosity lebih
tinggi dan strength yang diperoleh lebih tinggi. Stabilitas warna juga
lebih stabil. Yield pulp juga meningkat jika digunakan sedikit ClO 2 tetapi
jika lebih banyak akan lebih bagus hasilnya karena degradasi
karbohidrat akan berkurang.
3.6 Color Reversion
Tujuan utama bleaching adalah untuk meningkatkan brightness,
tetapi semua pulp akan turun brightnessnya selama masa penyimpanan.
Biasanya pulp akan menguning. Berkurangnya brightness dengan waktu
akan bervariasi. Sebagian pulp cukup stabil dan butuh beberapa tahun
untuk menjadi kuning, sebagian lagi butuh beberapa bulan bahkan
hanya dalam beberapa hari saja sudah menguning. Fenomena ini disebut
“Color Reversion”. oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui apa
penyebab “Color Reversion” dan kondisi bleaching yang menyebabkan
color reversion.
Color reversion biasanya disebabkan oleh kandungan atau
chemical yang terdapat dalam pulp dan paper. Lignin, hemiselulosa,
resin, ionion logam, zat additif pada paper rosin, alum, glue dan starch
semuanya akan menyebabkan material akan menguning selama
penyimpanan. Selama beberapa tahun ini, dengan berkembangnya
teknologi juga diketahui beberapa penyebab “Color Reversion”. Adapun
secara umum penyebab color reversion:
1. Heat (panas)
Melalui “Heat Aging Test” pulp dimasukkan dalam oven 105 OC selama
1 sampai 18 jam. Mudah ditebak, kita semua akan berpikir bahwa pulp
dengan cepat akan mengering yang dipengaruhi lamanya
pengeringan yang akan mempercepat penguningan. Walau
bagaimanapun relatif humidity dalam oven juga sangat besar
pengaruhnya terhadap color reversion.
Dengan percobaan lain, selulosa kapas yang dioksidasi dengan
periodate dan kemudian dipanaskan dengan variasi temperatur,
humidity dan waktu. Dialdehid pada C2 dan C3 tidak berpengaruh
terhadap menguningnya pulp pada pemanasan 70 OC dan sedikit
terpengaruh pada suhu 105 OC. Tetapi dengan relative humidity,
brightness akan drop secara drastis bahkan pada suhu 70 OC selama 18
jam.
2. Light (Cahaya)
Ada beberapa kesulitan untuk menetapkan standar untuk test yang
akibatkan oleh cahaya. Cahaya akan menyebabkan chemical akan
berubah substansinya, pertamatama cahaya akan diserap, kedua
karena tingginya energi radiasi maka akan bisa merubah struktur
chemical. Perubahan chemical akibat cahaya juga akan
mempengaruhi terbentuknya zat pewarna (colored material) oleh heat
dan moisture. Oleh karena itu turunnya brightness yang disebabkan
cahaya juga tergantung pada intensitas cahaya, distribusi energi dari
sumber cahaya, temperatur dan humidity selama proses radiasi.
Sudah banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh
cahaya matahari terhadap perubahan warna pada pulp atau kertas.
Beberapa penelitian menunjukkan cahaya matahari langsung akan
mengakibatkan kertas menjadi kuning karena alphaselulosa
terdegradasi. Fenomena ini tidak terjadi jika panjang gelombang yang
3. Pengaruh beberapa gugus selulosa terhadap color reversion
gugus aldehid pada atom karbon 2 dan 3 unit anhydroglucose
menyebabkan perubahan brightness yang lebih besar pada
humidity yang lebih tinggi pada temperatur yang sama
Gugus karboksil pada atom karbon 2 dan 3 pada unit
anhydroglukosa bisa menyebabkan perubahan warna. Dalam
bentuk asam dan temperatur penyimpanan 105 oC, gugus karboksil
akan memberikan kontribusi yang jauh lebih kecil (1/10) pada
perubahan warna daripada gugus karbonil pada keadaan yang
sama.
Secara umum gugus hidroksil pada atom karbon 2 atau 3 pada unit
anhydrousglucose tidak menyebabkan perubahan warna,
walaupun dihidrolisa dengan menggunakan asam
Aldehydic atau ujung gugus hemiacetal (C1) pada rantai selulosa
tidak menyebabkan perubahan warna (color reversion)
Derajat polimerisasi tidak mempunyai efek langsung pada
perubahan warna.
Gugus Keto pada karbon atom 2 dan/atau 3 pada unit
anhydroglukosa bisa menyebabkan perubahan warna.
Color reversion lebih mudah terjadi jika gugus keto dan aldehid
secara bersamaan ada pada gugus karboksil pada selulosa
daripada jika hanya berdiri sendiri saja.
4. Hemiselulosa
Sebelum ditemukannya gugus karbonil dan karboksil sebagai salah
satu penyebab terjadinya perubahan warna pada pulp dan kertas,
hemiselulosa selalu dianggap sebagai penyebab timbulnya
perubahan warna. Konsep ini muncul karena fakta menunjukkan jika
suatu pulp atau kertas yang sama sekali murni dari hemiselulosa, maka
brightness akan lebih stabil selama penyimpanan.
Seperti halnya selulosa, penyebab berubahnya warna pada pulp yang
100% murni hemiselulosa adalah gugus karbonil dan karboksill juga.
Pemakaian sodium borohydride sebagai salah satu bleaching agent
akan mengurangi gugus karbonil atau karboksil pada selulosa dan
hemiselulosa yang merupakan suatu keuntungan dalam mengurangi
color reversion.
Untuk menjelaskan kenapa pulp yang banyak mengandung
hemiselulosa lebih mudah terjadi “Color reversion” disebabkan oleh
proses oksidasi yang terjadi pada pulp. Hemiselulosa sangat sensitive
terhadap proses oksidasi dan jika pada suatu pulp terjadi proses
oksidasi maka yang akan teroksidasi pertama kali adalah hemiselulosa.
Proses oksidasi akan menyebabkan color reversion, oleh karena itu
selama proses bleaching harus dihindari bleaching agent atau kondisi
yang bisa mengakibatkan pulp teroksidasi.
5. Lignin
Kandungan lignin dalam pulp sangat mempengaruhi color reversion.
Semakin tinggi kandungan lignin dalam pulp maka semakin tinggi
potensinya untuk menyebabkan perubahan warna pada pulp.
Penghilangan lignin pada proses klorinasi merupakan factor yang
sangat penting bagi proses selanjutnya khususnya terhadap
pengurangan terjadinya color reversion.
6. Resin
Pengaruh resin (ekstraktif) sebagai penyebab color reversion masih
‘Kabur” dan tidak jelas. Bukti menunjukkan bahwa pada pulp yang
memiliki brightness tinggi kadangkala masih memiliki resin yang
potensinya pada color reversion cukup tinggi. Sebenarnya tidak semua
resin bisa menyebabkan color reversion. Tetapi walau bagaimanapun
kandungan resin dalam pulp harus dikurangi karena selain
menyebabkan color reversion, resin juga bisa mengganggu proses dan
mengurangi kualitas final product.
7. Logam garamgaraman.
Czepiel pernah meneliti pengaruh logamlogam seperti Fe, Cu dan Mn
dengan kandungan sekitar 1 microgram atom per gram pulp
mempengaruhi color reversion dengan dua cara. Selama
penyimpanan pulp yang mengandung logamlogam tersebut akan
menguning karena terbentuknya garamgaraman organic yang
berwarna akibat proses hidrolisis. Hal ini dibuktikan dengan
kemampuan selulosa kembali ke warnanya semula setelah dipanaskan
selama 2 jam pada suhu 105 oC dengan mengekstrak logamlogam
yang terhidrolisis dengan larutan asam. Selain efek di atas, logam
logam dapat meningkatkan laju oksidasi selulosa dengan bantuan
bleaching agent.
8. pH
pH pada saat sheet dibuat sangat besar pengaruhnya terhadap color
reversion. Dengan menggunakan buffers phosphate Rapson dan
Anderson membuat sheet dari pulp sulfite yang dibleaching pada pH
yang bervariasi antara 3 dan 11. Brightness hanya terpengaruh sedikit
saja, tetapi brightness akan turun dengan pemanasan 105 oC selama
18 jam, dan akan semakin turun secara cepat pada diatas 6. Diantara
pH 8 – 9 cenderung stabil dan kemudian drop lagi pada pH diatas 9
yang umumnya ditemukan pada berbagai tipe pulp yang digunakan.
94
92
% GE Brightness
90
88
86
84
82
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pH Pulp
Gambar 23. Hubungan pH dengan Brightness pulp
9. Chlorination
Selama treatment unbleached pulp dengan Chlorine, lignin dan resin
mengabsorsi chlorine secara cepat pada reaksi bertemperatur rendah
selama waktu yang singkat. Selama chlorination oksidasi selulosa tidak
terlalu besar, tetapi cukup besar untuk merendahkan nilai viscosity dan
menurunkan strength pulp. Chlorination efeknya terhadap Color
reversion sangat kecil karena tingginya kandungan lignin sehingga
gugus karbonil dan karboksil tidak banyak teroksidasi.
10. Caustic Extraction
Hot alkali extraction sangat penting dalam stability color pada hasil
bleaching. Pada proses ini lignin, resin dan hemiselulosa dipisahkan,
walaupun diletakkan pada bagian akhir sequence caustic extraction
masih memegang peranan yang cukup penting dalam menstabilkan
warna (color reversion).
Selama caustic extraction gugus karbonil yang terdapat pada
hemiselulosa dan selulosa akan hilang sehingga membuat color
reversion cukup stabil. Semakin tinggi ratio konsumsi alkali terhadap
pulp, semakin tinggi temperatur, semakin lama waktu, maka semakin
besar pengaruhnya terhadap kestabilan color reversion.
11. Hypochlorite
Bleaching menggunakan hypochlorite berpotensi untuk mennurunkan
kestabilan warna pada pulp efeknya semakin besar dengan semakin
besarnya ratio hypochlorite terhadap pulp, tingginya temperatur dan
lamanya waktu reaksi. Jika kondisi ini bisa distabilkan maka kestabilan
warna hanya tergantung dari pH yang digunakan pada bleaching
hypochlorite. Di luar pH 7 – 11 maka kemungkinan terjadinya color
reversion semaki kecil.
Sebagian besar color reversion yang diakibatkan oksidasi hypochlorite
pada selulosa pada pH antara 7 dan 8.5, terutama pada gugus keto
hal yang sama juga terjadi pada gugus aldehid dan karboksil. Color
reversion akan lebih besar terjadi pada pH yang rendah, karena pada
pH tinggi lebih banyak gugus karboksil dan lebih sedikit gugus karbonill
yang terbentuk dan gugus aldehid yang sudah ada akan teroksidasi
pada gugus karboksil. Color reversion minimum pada bleaching
hypochlorite ada sekitar pH 10.
Pada pH yang lebih tinggi misalnya antara pH 10 dan 11, hypochlorite
mengurangi terjadinya color reversion jika pulp sudah memiliki gugus
aldehid dan keto, karena hypo akan mengoksidasi gugus aldehid
menjadi gugus karboksil dan pH yang tinggi seperti halnya alkali
12. Chlorine Dioxide
Bleaching chlorine dioxide akan menghilangkan lignin dan resin
dengan oksidasi dan akan meningkatkan brightness. Pada selulosa
atau hemiselulosa yang murni, chlorine dioxide tidak mengoksidasi
gugus gugus aldehid atau keton oleh karena itu color reversion tidak
terjadi kecuali pada ph tinggi (pH 8). Karena chlorine dioxide
normalnya digunakan di bawah pH 7, kadangkala secara tidak
langsung gugus aldehid akan teroksidasi menjadi gugus karboksil oleh
chlorite yang terbentuk dari chlorine dioxide pada pH antara 5 –7 jika
pH yang digunakan dibawah pH 4. Bleaching dengan chlorine dioxide
yang berlebihan pada temperatur tinggi dan optimum pH dalam
waktu yang cukup lama akan meningkatkan brightness dan
mengurangi color reversion.
Setelah hot alkali extraction stage yang akan menurunkan brightness
dan menstabilkan warna, maka chlorine dioxide akan kembali
menaikkan brightness dan mempertahankan kestabilan warna.
Kombinasi kedua stage ini akan mengurangi penguningan pada pulp
selama penyimpanan.
13. Peroxide
Bleaching dengan sodium atau hydrogen peroxide pada pH 10.5
meningkatkan kestabilan warna baik digunakan secara tersendiri
maupun menjadi salah satu stage dalam salah satu sequence dengan
bleaching agent yang lain.
3.7. Bleaching calculation
3.7.1. Dilution Water Calculation
Ratio air per ton pulp (V) diperoleh dari konsistensi (‘c) dimana
V = (100c)/c
Contoh :
Setelah brown stock washer, konsistensi unbleach pulp adal 11.2%. Hitung
jumlah volume air (dalam m3/t OD pulp) yang dibutuhkan untuk
melarutkan slurry samapi konsistensi 3% untuk proses klorinasi
Penyelesaian
Konsistensi 11 % = 89 ton air/11 ton pulp = 8.09 t air/t pulp.
Konsisntensi 3% = 97 ton air/3 ton pulp = 32.33 t air/ton pulp.
Sehingga:
32.33 – 8.09 = 24.24 ton air/ton pulp yang harus ditambahkan
Karena 1 ton = 1000 kg = 1 m3 air, maka 24,24 m4 air yang
ditambahkan permetrik ton pulp.
3.7.2. Chemical Analysis Bleaching Liquor dan Chlorine Equivalency
Untuk menentukan bleaching agents yang aktif dengan titrasi iodometri.
Larutan bleaching ditambahkan pada larutan yang mengandung KI.
Kemudian KI akan mengoksidasi iodine semetara bleaching agent akan
berkurang. Jumlah iodine yang terbebaskan diukur dengan titrasi
thiosulfate menggunakan indicator starch (SS) untuk mengobservasi final
dissapearence iodine. Reaksinya adalah sebagai berikut :
Cl2 + 2I 2 Cl + I2
I2 + 2 Na2S2O3 2 NaI + Na2S4O6
Bleaching chemical biasanya disebut dengan “available chlorine”. Pada
table berikut digambarkan konversi beberapa bleaching agent
Tabel 11. Konversi Bleaching agent
Gravimetric
Equivalent Wieght
Bleaching factor
As G/equiv To Fro
Chemical Equation Eo, V
formula Cl2 m
Agent
weight Cl2
-
Chlorine Cl2 + 2e 2 Cl FW/2 35.5 1.000 1.000 1.36
Hypochlorite NaOCl + H2O + 2e NaCl + 2OH- FW/2 37.25 0.953 1.049 0.89
Hypochlorous Acid HOCl + H+ + e ½ Cl2 + H2O FW/2 26.25 1.352 0.739 1.631 1.36
Chlorine Dioxide ClO2 + 4H+ + 5e Cl- + 2H2O FW/5 13.5 2.630 0.380 1.27
Contoh perhitungan:
1. Jika suatu chemical mengandung 2% NaClO pada pulp (as Chlorine).
Berapa jumlah actual NaClO yang harus digunakan?
Penyelesaian
2% as Cl2 X (37.25 g NaClO)/35.5 g Cl2) = 2.1 % NaClO as NaClO
2. Coba lengkapi datadata pada table berikut ini:
Stage C E H D
Chemical input on pulp, % as Cl2 6 3 3 2
Chemical input on pulp, % true ? ? ? ?
Yield per stage 99 96 97 98
Cumulative Yied ? ? ? ?
Pulp input 1000 ? ? ?
Pulp output ? ? ? ?
Chemical input ? ? ? ?
Penyelesaian:
Chlorine dan caustic diekspresikan “as is”, karena itu chlorine input harus
6% dari pulp dan caustic input harus 3% dari pulp. Hypochlorite and
chlorine dioxide harus dikonversikan:
Hypochlorite : 3% (as Cl2) X 1.049 = 3.15% (as NaClO) based on pulp
ClO2 : 2% (as Cl2) X 0.380 = 0.76% (as ClO2) based on pulp
cumulative yield (untuk proses akhir bleaching) adalah ratio final output
terhadap input dari dari stage pertama bleaching. Sehingga
Cummulative yield stage C : 100% X 0.99 = 99%
Cummulative yield stage E : 100% X 0.99 X 0.96 = 95.0%
Cummulative yield stage H : 100% X 0.99 X 0.96 X 0.97 = 92.2%
Cummulative yield stage D : 100% X 0.99 X 0.96 X 0.97 X 0.98 = 90.3%
Stage C input 1000 kg, maka outputnya = 1000 X 0.99 = 990 kg
Stage E input 990 kg, maka outputnya = 990 X 0.96 = 950 kg
Stage D input 950 kg, maka outputnya = 950 X 0.97 = 922 kg
Stage P input 922 kg, maka outpunya = 922 X 0.98 = 903 kg
Untuk chemical input perstage caranya dengan meng”Kali”kan pulp input
dengan chemical charge (percentage true) setiap stage
C stage : 1000 kg X 6 % = 60 kg Cl2 as Cl2
E stage : 990 kg X 3 % = 29.7 kg NaOH as NaOH
H stage : 950 X 3.15 % = 29.9 kg NaClO as NaClO
D stage : 922 X 0.76% = 7 kg ClO2
Final Pulp yield = 1000 X 0.99 X 0.96 X 0.97 X 0.98 = 903 kg bleached pulp
Maka table bisa diisi dengan lengkap
Stage C E H D
Chemical input on pulp, % as Cl2 6 3 3 2
Chemical input on pulp, % true 6 3 3.15 0.76
Yield per stage 99 96 97 98
Cumulative Yied 99 95 92.2 90.3
Pulp input 1000 990 950 922
Pulp output 990 950 922 903
Chemical input 60 29.7 29.9 7.0
3. Contoh perhitungan untuk bleaching skala laboratorium
Bleaching yang digunakan untuk skala laboratorium menggunakan 4
stage yaitu : C/D, E, D1 dan D2
Untuk stage 1 (C/D)
Missal KaNo = 22.2
Consistency pulp = 23.97 % (OD pulp = 300 gr)
AD pulp = 1251.6 gr
Cl2 Consumption = (0.25 X 22.2 X 0.5)% = 2.775%
ClO2 consumption = (0.25 X 22.2)% 2.775% = 2.775 % as available Cl2
Cl2 = 10 gr/l
ClO2 = 21.04 g/l as available Cl2
Cl2 = 300 X 2.775% = (8.325 X 1000)/10 = 832.5 ml
ClO2 = 300 X 2.775% = (8.325/21.04)X1000 = 395.7 ml
Consistency = (300/X) = 10%, X = (300/0.1) = 3000 ml
Air yang ditambah = 3000 – 1251.6 – 832.5 – 395.7 = 520.2 ml
Untuk Stage 2 (E)
Chemical = NaOH, AD pulp = 1427.85 gr
Temperatur = 70 oC
Chemical yang digunakan = 3.3 %
NaOH = 100.4 gr/l
NaOH consumption = [(3.3% X 300)/100.4] X 1000 ml = 98.6 ml
Air = 300/(1427.85 + 98.6 + X) = 10/100
Maka X = (30.000 – 14278.5 – 98.6)/10 = 1473.6 ml
Untuk Stage 3 (D1)
ClO2 = 21.04 g/l
1% NaOH = 10 gr/l
AD = 1357.46 gr, OD pulp = 300 gr
ClO2 = (2.0% X 300 X 1000)/21.04 = 285.2 ml
1% NaOH = [(0.5% X 300)/10] X 1000 = 150 ml
Air = 300 / (1357.46 + 285.2 + 150 + X) = 10/100
Maka X = (30.000 – 13574.6 – 2852 – 1500)/10 = 1207.34
Untuk stage 4 (D2)
ClO2 = 21.04 gr/l
1% NaOH = 10 gr/l
AD = 1337.6 g, OD pulp = 300 gr
ClO2 = (1.0% X 300 X 1000)/21.04 = 142.58 ml
1% NaOH = [(0.25% X 300)/10] X 1000 = 75 ml
Air = 300/(1337.6 + 142.58 + 75 + X) = 10/100
X = (30.000 –13376 – 1425.8 – 750)/10 = 1444.82 ml
BAB IV
PULP PROPERTIES & CALCULATION
4.1 Disintegrasi pulp
Pulp didisintegrasi bertujuan untuk memisahkan fiber dari gumpalan
fiber yang berbentuk pulp kering atau slurry dengan cara mechanical
treatment. Sebelum disintegrasi, pulp yang kering harus terlebih dahulu
dikoyakkoyak berukuran kecil dan direndam dalam air tergantung dari
keringnya pulp. Pulp yang sangat kering lebih membutuhkan perendaman
yang cukup lama, waktu disintegrasi yang dibutuhkan juga cukup lama
Gambar 24. Disintegrator yang biasa digunakan dalam skala laboratory
4.2. Laboratory Beating.
Laboratory beating adalah simulasi proses refining secara industri
untuk memprediksikan karakteristik pulp yang akan digunakan sebagai
1. Saringan menggunakan batu kerikil
material pembuatan kertas. Beating akan merubah properties dari serat.
Sumber
Klasifikasi air
dari pengaruh perubahab struktur serat meliputi internal
Air Cock
fibrilation, external fibrilation, fines formation, fiber cutting dan straightening
Lid Lever
Karakteristik
Sumber dari pulp slurry meliputi drainage resistance. Metoda
air
Funnel
yang sering digunakan adalah Canadian Standard Freeness (CSF) dan
Side Orifice
SchopperRiegler (SR). Kedua metoda mengukur drainability dari pulp
Air dituangkan
suspensi. Measuring Cylinder
dalam 1 menit
belum penuh
hanya berupa 1 00 0 ml C SF 1 00 0 ml C SF
tetesan
Gambar 25. “Sand and Rock Phenomena” dan alat CSF tester
CSF dilakukan dengan cara menyaring pulp slurry yang sudah
dilarutkan dalam 1 liter air dengan konsistensi 3 g/l (3 %) melalui screen
plate seperti yang terlihat pada gambar 25. CSF diukur dari jumlah air yang
tertampung pada side orifice dari tester. Untuk SR, prinsip yang sama
digunakan, bedanya terletak pada konsistensi yang digunakan adalah 2
g/l (3%).
Untuk mengerti bagaimana hubungan antara ukuran serat dengan,
bisa dijelaskan dengan fenomena pasir dan kerikil yang dialiri oleh air
(Sand and Rock Phenomena). Air yang melewati kerikil begitu mudah,
karena ukurannya besarbesar dan masih banyak terdapat rongga
rongga udara yang sangat mudah dilewati air, sedangkan untuk melewati
Tabel 12. Perbandingan nilai CSF dan SR terhadap ukuran serat
Dari tabel 12 tampak perbedaan antara nilai CSF dan SR sebelum
dan sesudah beating (beating menyebabkan ukuran serat berubah). Nilai
CSF dan SR dalam industri digunakan untuk selain untuk melihat
performance dari refiner dan hasil refining juga berguna untuk
memprediksikan kualitas kertas yang ingin dicapai.
4.4 Fiber Properties
Dalam skala laboratorium, fiber properties yang sering digunakan
adalah fiber length distribution, fiber length and coarseness . Untuk
mengukur distribusi fiber dalam pulp digunakan suatu alat yang disebut
fiber claasification BauerMcnett yang menggunakan berbagai ukuran
screen untuk mengetahui distribusi fiber dalam pulp. Jumlah pulp yang
tertahan pada wire merupakan ukuran persentase ukuran fiber yang
terkandung dalam pulp. Biasanya screen yang digunakan berukuran 30,
50, 100 dan 200 mesh. Fiber yang melewati screen 200 mesh digolongkan
sebagai fines dan yang tertahan pada screen 30 mesh disebut long fiber.
Perbandingan antara fiber distribution LBKP dan NBKP dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 13. Perbandingan fiber distribution pada LBKP dan NBKP
Jenis Pulp %Retain on (% yang tertahan)
+30 mesh 50 mesh 100 mesh 200 mesh 200 mesh
LBKP
42.43 33.39 12.88 2.83 8.47
Acacia MC#3 (22122003)
LBKP
37.75 33.91 14.63 7.43 6.28
MTH MC#10 (22122003)
NBKP
86.01 5.22 3.09 1.85 3.83
HarmacR –Canada (25022003)
Sedangkan untuk menentukan ukuran dan distribusi fiber digunakan
alat Kaajani FS200 yang merupakan pengukuran fiber properties dengan
metoda optical. Pada gambar 26 dapat dilihat skema analisa fiber
menggunakan Kaajani FS200:
Sampling
Penimbangan Penimbangan
(B) (B)
Analisa
Gambar 26. Skema Analisa Fiber Length menggunakan Kaajani FS200
A. Menentukan Moisture dan konsistensi
Penentuan moisture dan consistensy tergantung pada temperatur dan
humidity, karena setiap fiber memiliki kemampuan yang berbeda
dalam mengabsorsi air.
B. Penimbangan sample
Tujuan penimbangan sample adalah untuk memperoleh ratarata 40 –
60 fiber/secong. Jumlah fiber yang ditimbang tergantung pada jenis
spesies dan derajat refining. Untuk NBKP dianjurkan 0.3 – 1.3 g dan
untuk LBKP dianjurkan 0.3 – 0.5 g OD.
Untuk coarseness ketelitian penimbangan sample harus + 0.1 mg.
Adapun berat yang dibutuhkan untuk penimbangan coarseness
Berat = Berat OD .
1 – Moisture Content
Sedangkan untuk analisa coarseness harus diketahui berat fiber yang
dihitung dengan:
M = (m/d) X V
M = Berat sample fiber (mg/50 ml)
‘m = OD fiber (1moisture X total berat)
d = Volume sample (5000 ml)
V = Volume sample yang dipipete (50 ml)
C.Defibering dry sampel
Sebelum dianalisa sample kring harus terlebih dahulu didefiberisasi
(disintegrasi) tanpa memotong dan merusak sample dengan
menggunakan manual disintegrator. Dengan alat ini sampel
dimasukkan dan diisi dengan 150 ml air, lalu digerakkan piston ke atas
dan ke bawah dan pastikan semua fiber terpisahkan dan tidak ada
gumpalan fiber.
Piston
Gambar 27. Manual Disintegrator
D. Diluting (Pelarutan) sample
Sample kering dilarutakn dalam 5000 ml air untuk keakuratan test
coarseness maka diukur + 4 ml. Untuk sample basah dengan memakai
rumus
Jumlah Sample = Konsistensi sample X 5000 ml
Konsistensi proses
E. Sample Dosaging
Sampel dimasukkan kedalam measuring glass kaajani FS200 dan
sebelum dimasukkan, sampel terlebih dahulu diaduk dengan arah
yang berbeda dan jangan mengaduk dengan arah berputar.
Length distribution Length %
2.59 4.04 2.23
< 0.2 mm Weighted
4.5 Viscosity
Pulp viscosity adalah pengukuran ratarata panjang rantai (degree
of polymerization) selulosa. Caranya dengan melarutkan dengan solvent
tertentu seperti CED (cupriethylene diamine). Tingginya viscosity
menunjukkan tingginya DP selulosa yang berarti pulp atau kertasnya
cukup kuat dan sebaliknya.
4.6 Ekstraktif
Kandungan ekstraktif suatu pulp juga bervariasi tergantung jenis
species, pulping dan bleaching yang digunakan. Walaupun suatu jenis
kayu memiliki kandungan ekstraktif yang tinggi, tapi dengan pemilihan
proses yang tepat maka kandungan ekstraktif dalam pulp dapat
dikurangi. Ekstraktif dalam kayu selain bisa merusak peralatan (scale dan
deposit) juga mempengaruhi final produk yang spesifikasi gradenya
ditentukan oleh dirt count yang dikandung oeh pulp dan kertas.
Pulp yang memiliki ekstrakstif yang rendah biasanya memiliki grade
yang tinggi, selain itu brightness dari pulp atau kertas juga sangat
menentukan grade suatu final produk. Secara umum kandungan ekstraktif
dan viscosity NBKP dan LBKP sebagai berikut :
Tabel 15. Perbandingan beberapa pulp properties LBKP dan NBKP
LBKP LBKP NBKP
Item test Unit Acacia MC#3 MTH MC#10 HarmacR –Canada
(22122003) (22122003) (25022003)
Viscosity Cm3/g 574 585 803
DCM Ekstraktif % 0.713 0.276 0.159
Ash content ‘% 0.334 0.270 0.173
4.7 Physical properties.
Kertas yang dibuat dalam skala laboratorium dari pulp (handsheet)
merupakan simulasi dari proses sebenarnya, mulai dari beating, pressing,
Tabel 16. Perbandingan physical properties LBKP dan NBKP
LBKP LBKP NBKP
Acacia MC#3 MTH MC#10 (2212 HarmacR –
Item test Unit
(22122003) 2003) Canada (2502
2003)
SR o
SR 17 35 13 35 0 35
PFI beating Rev. 0 3466 0 3833 0 7199
Basis weight Gsm 60.5 60.3 60.2
Thickness ‘um 121 144 125
Bulk Cm3/g 2.00 1.58 2.39 1.71 2.08 1.39
Porosity Sec/100 ml 2.0 26.4 0.8 24.1 0.5 65.3
Tear index m.N.m2/g 3.1 8.7 2.2 8.5 14.7 11.9
Tensile index Nm/g 18.5 57.7 12.8 53.3 18.5 91.1
Strectch 5 1.3 3.2 1.4 3.2 1.7 3.6
Burst index Kpam2/g 0.8 3.4 0.8 3.4 1.0 8.6
Folding Times 4 59 1 36 4 4597
Opacity % 81.7 75.5 78.9 72.8 64.2 55.4
Light Scaterring ‘m2/kg 53.2 37.3 47.8 33.8 23.4 15.7
Brightness %ISO 89.0 86.1 90.09 88.46 87.4 84.1
Physical Strength 4.5 14.3 3.4 13.7 8.3 32.3
Physical properties pada handsheet hampir sama dengan proses
yang dilakukan pada kertas meliputi basis weight, Moisture, Bulk, Porosity,
tear index, tensile index Breaking length, strecth, burst index, folding,
opacity, light scatering, dan brightness yang perbandingannya dapat
dilihat pada tabel berikut ini dimana ditest pada unbeating dan SR 35.