Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL

BLOK PSIKIATRI
SKENARIO 2
“Depresi”

Kelompok A2 :

Aisah Kusumaning A. (G0011009)


Aulia Muhammad Fikri (G0011045)
Egtheastraqita C. (G0011081)
Fitri Febrianti R. (G0011 095)
Nisa’u Luhtfi Nur A. (G0011151)
Sausan Hana Maharani (G0011193)
Arga Scorpianus (G0011035)
Chendy Endriansa (G0011059)
Itqan Ghozali (G0011119)
Septian Sugiarto (G0011195)

Tutor :Dwi Rahayu, dr.


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skenario
Depresi

Ny. S, usia 28 tahun, ibu rumah tangga, datang ke puskesmas bersama suaminya dengan
keluhan kurang lebih 1 bulan tidak bisa tidur, tidak ada nafsu makan, sering menyendiri di
kamar. Bila diajak bicara, pasien menjawab dengan suara pelan. Dari alloanamnesis diketahui
bahwa pasien pernah mengalami gangguan serupa kurang lebih 1 tahun yang lalu dan sembuh
sendiri setelah 9 bulan.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan hipoaktif, remming, mood depresi, afek
menyempit, dan insight (tilikan diri) derajat 5.

B. Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa mengetahui macam-macam gangguan arus pikiran.


2. Mahasiswa mengetahui macam-macam gangguan mood, afek dan mekanisme
gangguan mood dari segi neurokimiawi.
3. Mahasiswa mengetahui hubungan keluhan satu tahun yang lalu dengan keluhan yang
dialami sekarangoleh pasien pada skenario.
4. Mahasiswa mengetahui fisiologi, faktor pencetus gangguan tidur yang terkait
gangguan psikiatri, dan patofisiologi gangguan tidur.
5. Mahasiswa mengetahui tentang overview manik dan bipolar.
6. Mahasiswa mengetahui etiologi depresi.
7. Mahasiswa mengetahui epidemiologi depresi.
8. Mahasiswa mengetahui patofisiologi depresi yang terkait dengan skenario.
9. Mahasiswa mengetahui gejala, episode, dan tipe depresi.

1
10. Mahasiswa mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan status mental pada skenario.
11. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan mental dan pemeriksaan penunjang yang terkait
dengan skenario.
12. Mahasiswa mengetahuipenatalaksanaan depresi.
13. Mahasiswa mengetahui pencegahan depresi.
14. Mahasiswa mengetahui apakah kepribadian dapat diubah dan cara yang dilakukan
bila dapat diubah pada kasus depresi.

2
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump
1. Langkah I:Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
Dalam skenario ini istilah yang kami klarifikasi antara lain :
a. Hipoaktif: suatu keadaan menurunnya aktivitas motorik dan kognitif seperti pada
retardasi psikomotorik; proses pikir yang jelas lambat, pembicaraan dan gerakan.
b. Remming: suatu keadaan di mana arus hubungan yang terjadi menjadi lambat sebagai
akibat dari adanya kesedihan seperti yang terjadi dalam keadaan depresi. Terjadi
hambatan dalam pengucapan kata-kata dalam kalimat.
c. Mood depresi: perasaan sedih yang bersifat psikopatologis. Keadaan mood yang
berkisar antara susah atau tidak gembira tahap rendah sampai ke kemurungan yang
nyata dan keputusasaan; pada tingkat yang ekstrim biasanya disertai pesimisme yang
mencolok dan kurangnya harapan masa depan.
d. Afek menyempit: : menggambarkannuansaekspresiemosi yang terbatas. Intensitas dan
keluasandariekspresiemosinyaberkurang, yang dapatdilihatdariekspresiwajah dan
bahasatubuh yang kurangbervariasi (Nuhriawangsa, 2011).
e. Insight (tilikan diri) derajat 5: menerima bahwa pasien sakit dan disebabkan oleh
perasaan irasional atau gangguan tertentu pada diri pasien sendiri tanpa menerapkan
pengetahuan tersebut untuk pengalaman masa depan (Susilohati dkk., 2013).

2. Langkah II: Menetapkan/mendefinisikan permasalahan


Permasalahan yang kami tetapkan di skenario ini adalah sebagai berikut :
a. Apa saja macam-macam gangguan arus pikiran?
b. Apa saja macam-macam gangguan mood, afek, dan mekanisme gangguan mood dari
segi neurokimiawi?
c. Bagaimanahubungan keluhan satu tahun yang lalu dengan keluhan yang dialami
sekarangoleh pasien pada skenario?
d. Bagaimana fisiologi, faktor pencetus gangguan tidur yang terkait gangguan psikiatri,
dan patofisiologi gangguan tidur?

3
e. Bagaimana overview manik dan bipolar?
f. Apa saja etiologi depresi?
g. Bagaimana epidemiologi depresi?
h. Bagaimanapatofisiologi depresi yang terkait dengan skenario?
i. Apa saja gejala, episode, dan tipe depresi?
j. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan status mental pada skenario?
k. Apa saja pemeriksaan mental dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan terkait
dengan skenario?
l. Bagaimana penatalaksanaan depresi?
m. Bagaimana pencegahan depresi?
n. Apakah kepribadian dapat diubah dan cara yang dilakukan bila dapat diubah pada
kasus depresi?

3. Langkah III : Analisis Masalah


Pada langkah ini kami membuat pernyataan sementara pada beberapa
permasalahan yang kami temukan pada langkah sebelumnya.

1. Macam-macam Gangguan Proses Berpikir


Gangguan proses berpikir itu meliputi proses pertimbangan (judgement),
pemahaman (comprehension), dan ingatan serta penalaran (reasoning). Proses berpikir
yang normal mengandung arus idea, simbol dan asosiasi yang terarah kepada tujuan dan
yang dibangkitkan oleh suatu masalah atau tugas dan yang menghantarkan kepada suatu
penyelesaian yang berorientasi kepada kenyataan.
Berbagai macam faktor mempengaruhi proses berpikir itu, umpamanya faktor
somatik (gangguan otak, kelelahan), faktor psikologik (gangguan emosi, psikosis),dan
faktor sosial (kegaduhan dan keadaan sosial yang lain) yang sangat mempengaruhi
perhatian atau konsentrasi si individu.
Kita dapat membedakan tiga aspek proses berpikir, yaitu: bentuk pikiran, arus
pikiran, dan isi pikiran, ditambah dengan pertimbangan.
Gangguan bentuk pikiran, dalam kategori ini termasuk semua penyimpangan dari
pemikiran rasional, logis, dan terarah kepada tujuan.

4
1. Dereisme atau pikiran dereistik titik berat pada tidak adanya sangkut paut terjadi
antara proses mental individu dan pengalamannya yang sedang berjalan. Proses
mentalnya tidak sesuai dengan atau tidak mengikuti kenyataan, logika atau
pengalaman. Umpamanya seorang kepala kantor pemerintah pernah mengatakan:
“Seorang pegawai negeri dan warga negara yang baik harus kebal korupsi, biarpun
gajinya tidak cukup, biarpun keluarganya menderita; bila tidak tahan, silahkan
keluar…” atau seorang lain lagi : “ Kita harus memberantas perjudian dan pelacuran,
karena hal-hal itu merupakan “exploitation de I’homme par I’homme” adalah “homo
homini lupus” adalah “machiavellisme”, karena itu kita harus mengikis habis segala
bentuknya, tanpa kecuali….”
2. Pikiran otistik : menandakan bahwa penyebab distorsi arus asosiasi ialah dari dalam
pasien itu sendiri dalam bentuk lamunan, fantasi, waham atau halusinasi. Cara berpikir
seperti ini hanya akan memuaskan keinginannya yang tak terpenuhi tanpa
memperdulikan keadaan sekitarnya; hidup dalam alam pikirannya sendiri. Kadang-
kadang istilah ini dipakai juga untuk pikiran dereistik.
3. Bentuk pikiran yang non-realistik: bentuk pikiran yang sama sekali tidak berdasarkan
kenyataan, umpamanya: menyelidiki sesuatu yang spektakuler/ revaolusioner bila
ditemui; mengambil kesimpulan yang aneh serta tidak masuk akal. (Merupakan gejala
yang menonjol pada skizofermia hebefrenik di samping tingkah-laku kekanak-
kanakan). Dibedakan dari pikiran dereistik dan otistik, tetapi kadang-kadang ketiga
gangguan bentuk pikiran ini dijadikan satu dengan salah satu istilah itu.
Gangguan arus pikiran, yaitu tentang cara dan lajunya proses asosiasi dalam
pemikiran, yang timbul dalam berbagai jenis:
1. Perseverasi : berulang-ulang menceritakan suatu idea, pikiran atau tema secara
berlebihan. Penulis pernah mendengar seorang pasien berkata: “Nanti besok saya
pulang, ya saya sudah kangen rumah, besok saya sudah berada di rumah sudah
makan enak di rumah sendiri, ya pak dokter, satu hari lagi saya nanti sudah bisa
tidur di rumah, besok ayah akan datang mengambil saya pulang…..”
2. Asosiasi longgar : mengatakan hal-hal yang tidak ada hubungannya satu sama lain
umpamanya “Saya mau makan. Semua orang dapat berjalan”. Bila extrim, maka
akan terjadi inkoherensi.

5
Asosiasi yang sangat longgar dapat dilihat dari ucapan seorang penderita seperti
berikut ini: “…. Saya yang menjalankan mobil kita harus membikin tenaga nuklir
dan harus minum es krim…”
3. Inkoherensi : gangguan dalam bentuk bicara, sehingga satu kalimatpun sudah
sukar ditangkap atau diikuti maksudnya. Suatu waham yang aneh mungkin
diterangkan secara incoherent. Inkoherensi itu boleh dikatakan merupakan
asosiasi yang longgar secara extrim. Penulis pernah menerima surat yang isinya
antara lain sebagai berikut: “saya minta di janji, tidur, lahir dengan pakaian
lengkap untuk anak saya satu atau lebih menurut pengadilan Allah dengan suami
jodohnya yang menyinggung segala percobaan…”
4. Kecepatan bicara : untuk mengutarakan pikiran mungkin lambat sekali atau
sangat cepat.
5. Benturan (blocking): jalan pikiran tiba-tiba berhenti atau berhenti di tengah
sebuah kalimat. Pasien tidak dapat menerangkan kenapa ia berhenti.
6. Logorea: banyak bicara, kata-kata dikeluarkan bertubi-tubi tanpa kontrol,
mungkin coherent ataupun incoherent.
7. Pikiran melayang (flight of ideas): perubahan yang mendadak lagi cepat dalam
pembicaraan sehingga suatu idea yang belum selesai diceritakan sudah disusul
lagi oleh ide yang lain. Umpamanya seorang pasien pernah bercerita sebagai
berikut: “Waktu saya datang ke rumah sakit Kakak saya baru mendapat rebewes,
lalu untuk saya pakai kemeja biru, hingga pak dokter menanyakan bila sudah
makan… “
8. Asosiasi bunyi (clang association): mengucapkan perkataan yang mempunyai
persamaan bunyi, umpamanya pernah didengar: “Saya mau makan di Tarakan,
seakan-akan berantakan”.
9. Neologisme : membentuk kata-kata baru yang tidak dipahami oleh umum,
misalnya: “saya radiltu, semua partimun”.
10. Irelevansi: isi pikiran atau ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan
atau dengan hal yang sedang dibicarakan.

6
11. Pikiran berputar-putar (circumstantiality): menuju secara tidak langsung kepada
ide pokok dengan menambahkan banyak hal yang remeh-remeh yang
menjemukan dan yang tidak relevan.
12. Main-main dengan kata-kata: menyajak (membuat sajak) secara tidak wajar.
Umpamanya pernah penulis menerima sajak yang antara lain berbunyi:
Wahai jagoku yang tersembunyi
Meskipun kau jago
Tanpa kau hatiku sunyi
Tanpa kau hatiku mewangi.
13. Afasia: mungkin sensorik (tidak atau sukar mengerti bicara orang lain) atau
motorik (tidak dapat atau sukar berbicara), sering kedua-duanya sekaligus dan
terjadi karena kerusakan otak.

Gangguan isi pikiran dapat terjadi baik pada isi pikiran non-verbal, maupun pada isi
pikiran yang diceriterakan, misalnya:
1. Kegembiraan yang luar biasa atau ekstasi (ecstasy) dapat timbul secara
mengambang pada orang yang normal selama fase permulaan narkosa (anestesia
umum). Boleh juga disebabkan oleh Narkotika (feeling high atau fligh sebagai
logat para narkotik) atau kadang-kadang timbul sepintas lalu pada skizofrenia.
Semua mengatakan bahwa isi pikiran mereka itu tidak dapat diceriterakan.
2. Fantasi : ialah isi pikiran tentang suatu keadaan atau kejadian yang diharapkan
atau diinginkan, tetapi dikenal sebagai tidak nyata. Fantasi yang kreatif
menyiapkan si individu untuk bertindak sesudahnya; fantasi dalam lamunan
merupakan pelarian bagi keinginan yang tidak dapat dipenuhi. Pada psedologia
fantastika (pseudologia fantastica) orang itu percaya akan kebenaran fantasinya
secara intermittent dan selama jangka waktu yang cukup lama untuk bertindak
sesuai dengan itu.
3. Fobi : rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak
dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu
irasional adanya. Fobi itu dapat mengakibatkan kompulsi, umpamanya fobi kotor
atau fobi kuman menimbulkan kompulsi cuci-cuci tangan. Ini perlu dibedakan

7
dari kecemasan yang mengambang (free-floating anxiety) atau kecemasan
terhadap keadaan umum, misalnya takut akan jatuh sakit, takut gagal dalam
usahanya. Adapun fobi itu bermacam-macam, diantaranya
1) Agorafobi : terhadap ruang yang luas
2) Ailurofobi : terhadap kucing
3) Akrofobi : terhadap tempat yang tinggi
4) Algofobi : terhadap perasaan nyeri
5) Astrafobi : terhadap badai, Guntur, kilat
6) Bakteriofobi : terhadap kuman
7) Eritrofobi : terhadap mukanya akan menjadi merah
8) Hematofobi : terhadap darah
9) Kankerofobi : terhadap penyakit kanker (cancerophobia)
10) Klaustrofobi : terhadap ruangan yang tertutup
11) Misofobi : terhadap kotoran dan kuman
12) Monofobi : terhadap keadaan sendirian
13) Niktofobi : terhadap kegelapan
14) Okholofobi : terhadap keadaan ramai dengan banyak orang
15) Panfobi : terhadap segala sesuatu
16) Patofobi : terhadap penyakit
17) Pirofobi : terhadap api
18) Sifilofobi : terhadap penyakit sifilis
19) Xenofobi : terhadap o rang asing
20) Zoofobi : terhadap binatang
4. Obsesi : isi pikiran yang kukuh (persistent) timbul, biarpun tidak dikehendakinya,
dan diketahuinya bahwa hal itu tidak wajar atau tidak mungkin, umpamanya:
bahwa anaknya sedang sakit keras atau bahwa seorang wanita menjadi hamil
karena perbuatannya. Obsesi itu dapat mengakibatkan kompulsi, umpamanya
obsesi barangnya hilang menyebabkan kompulsi membuka-buka lemari untuk
melihat kalau berangnya masih ada di dalamnya.
5. Preokupasi: pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya
berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional yang kuat. Ini belum

8
merupakan, tetapi dapat menjadi obsesi. Umpamanya preokupasi dengan ujian,
anak yang sakit, atau perjalanan yang akan dilakukan.
6. Pikiran yang tak memadai (inadequate) : pikiran yang eksentrik, tidak cocok
dengan banyak hal, terutama dalam pergaulan dan pekerjaan seseorang.
7. Pikiran bunuh diri (suicidal thoughts/ideation): mulai dari kadang-kadang
memikirkan hal bunuh diri sampai terus menerus memikir akan cara bagaimana ia
dapat membunuh dirinya.
8. Pikiran bubungan (ideas of reference): pembicaraan orang lain, benda-benda atau
sesuatu kejadian dihubungkannya dengan dirinya, umpamanya burung bersiul
dianggapnya sebagai sebuah berita baginya, atau temannya memakai kemeja yang
berwarna merah diartikannya bahwa teman itu sedang marah kepadanya. (pasien
mungkin sadar, bahwa pikirannya itu tidak masuk akal).
9. Rasa terasing (alienasi): perasaanbahwa dirinya sudah menjadi lain, berbeda,
asing, umpamanya heran siapakah dia itu sebenarnya; rasanya ia berbeda sekali
dari orang lain; heran kenapa orang lain sudah berbeda, menjadi asing, aneh. Ini
dibedakan dari pikiran isolasi sosial dan dari amnesia.
10. Pikiran isolasi sosial (social isolation): rasa terisolasi, tersekat, terkunci, terpencil
dari masyarakat; rasa ditolak, tidak disukai oleh orang lain; rasa tidak enak bila
berkumpul dengan orang lain; lebih suka menyendiri. Ini dibedakan dari “menarik
diri” yang menunjukkan tingkah laku dan dari “isolasi” sebagai mekanisme
pembelaan psikologik.
11. Pikiran rendah diri: merendahkan, menghinakan dirinya sendiri, menyalahkan
dirinya tentang suatu hal yang pernah atau tidak pernah dilakukannya
12. Merasa dirugikan oleh orang lain: mengira ataumenyangka ada orang lain yang
telah merugikannya, sedang mengambil keuntungan dari dirinya atau sedang
mencelakakannya
13. Merasa dingin dalam bidang sexual: acuh-tak-acuh tentang hal sexual; kegairahan
sexual berkurang secara umum (hiposexualitas). Ini dibedakan dari gangguan
potensi sexual dan dari impotensia dan frigiditas
14. Rasa salah: sering mengatakan bahwa ia telah bersalah. Ini bukanlah waham
dosa.

9
15. Pesimisme: mempunyai pandangan yang suram mengenai banyak hal dalam
hidupnya.
16. Sering curiga: mengutarakan ketidakpercayaannya kepada orang lain. Ini bukan
waham curiga.
17. Waham: keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya atau tidak scocok dengan intelegensi dan latar belakang
kebudayaannya, biarpun dibuktikan kemustahilan hal itu. Waham itu banyak
jenisnya, diantaraya:
1) Waham kejaran: umpamanya pasien yakin bahwa ada orang atau komplotan
yang sedang mengganggunya atau bahwa ia sedang ditipu, dimatai-matai atau
kejelekannya sedang dibicarakan orang banyak.
2) Waham somatik atau hipokhondrik: keyakinan tentang (sebagian) tubuhnya
yang tidak mungkin benar, umpamanya bahwa ususnya sudah busuk, otaknya
sudah cair, ada seekor kuda di dalam perutnya.
3) Waham kebesaran: yakni bahwa ia mempunyai kekuatan, pendidikan,
kepandaian atau kekayaan yang luar biasa, umpamanya bahwa dialah Ratu
Adil, dapat membaca pikiran orang lain, mempunyai puluhan atau mobil.
4) Waham keagamaan: waham dengan tema keagamaan
5) Waham dosa: keyakinan bahwa ia telah berbuat dosa atau kesalahan yang
besar, yang tidak dapat diampuni atau bahwa ia bertanggung jawab atas suatu
kejadian yang tidak baik, misalnya kecelakaan keluarga, karena pikirannya
yang tidak baik.
6) Waham pengaruh: yakin bahwa pikirannya, emosi atau perbuatannya diawasi
atau dipengaruhi oleh orang lain atau suatu kekuasaan yang aneh.
7) Waham nihilistic: yakin bahwa dunia ini sudah hancur atau bahwa ia sendiri
dan/atau orang lain sudah mati.
8) Tingkah laku yang dipengaruhi oleh waham: karena waham, maka ia berbuat
atau bertingkah laku demikian.
(Ada juga waham kelompok, seperti pada “folie a deux”, yaitu kelompok 2
orang berwaham yang sama; “folie a trios”, 3 orang dan sebagainya).

10
18. Kekhawatiran yang tidak wajar tentang kesehatan fisiknya: takut kalau-kalau
kesehatan fisiknya tidak sesuai lagi dengan keadaan badannya yang sebenarnya.
Termasuk baik prihatin tentang sebuah organ, maupun tentang beberapa organ
tubuhnya (seperti pada nerosa hipokhondrik).

Gangguan pertimbangan ada hubungannya dengan keadaan mental yang


menghindari kenyataan yang menyakitkan. Pertimbangan ialah kemampuan
mengevaluasi keadaan serta langkah yang dapat diambil, alternatif yang dapat dipilih,
atau kemampuan menarik kesimpulan yang wajar berdasarkan pengalaman.
Bila langkah atau kesimpulan yang diambil itu sesuai dengan kenyataan seperti
yang dinilai dengan ukuran orang dewasa yang matang, maka pertimbangan itu utuh, baik
atau bermoral adanya. Sebaliknya jika langkah atau kesimpulan itu tidak cocok dengan
kenyataan, maka pertimbangan itu terganggu, kurang baik atau abnormal adanya. Dalam
pemilihan alternatif mungkin juga orang itu sering keliru, bimbang atau tidak puas
dengan pilihannya.
Gangguan ini dapat timbul dalam keadaan sebagai berikut:
1. Dalam hubungan keluarga; dalam keluarga inti atau keluarga luas, umpamanya
tidak insaf bahwa tingkah-lakunya mengganggu keluarganya
2. Dalam hubungan sosial lain: umpamanya merasa dirinya dirugikan atau dialang-
alangi secara terus menerus.
3. Dalam pekerjaan: misalnya harapan yang tidak realistic mengenai pekerjaannya.
4. Dalam rancangan untuk hari kemudiannnya: pasien tidak mempunyai rancangan
apapun (atau bagaimanakah pertimbangannya tentang rancangan yang ada
padanya) (Maramis, 2009).

11
2. Fisiologi, Faktor Pencetus Gangguan Tidur yang Terkait Gangguan Psikiatri,
dan Patofisiologi serta Macam-macam Gangguan Tidur
a. Fisiologi Tidur
Tidur merupakan salah satu cara melepaskan kelelahan jasmani dan mental.
Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan kembali mendapatkan
tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Semua
makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu
dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sikardian. Pusat kontrol irama sikardian terdapat pada ventral hipothalamus.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada
substansia ventrikulo retikularis medula oblongata yang disebut sebagai pusat tidur.
Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi (desinkronisasi)
terdapat pada rostral medula oblongata, disebut sebagai pusat penggugah atau
aurosal state.
Tidur dibagi dua tipe, yaitu tipe Rapid Eye Movement (REM) dan tipe Non
Rapid Eye Movement. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiria tas
empat stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4 – 7 kali siklus semalam. Bayi
baru lahir total tidur 16 – 20 jam/hari, anak-anak 10 – 12 jam/hari, ekmudian
menurun 9 – 10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7 – 7,5 jam/hari
pada orang dewasa.

Tipe NREM dibagi menjadi empat stadium, yaitu:


1. Tidur stadium satu
Fase ini merupakan fase antara terjaga dan awal tidur. Fase ini didapatkan
kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke
kanan dan ke kiri. Fase ini berlangsung 3 – 5 menit dan mudah sekali
dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari campuran α, β, dan kadang
gelombang θ dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya
gelombang sleep spindle dan kompleks K.
2. Tidur stadium dua

12
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergetak, tonus otot masih berkurang,
tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang θ
simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan
kompleks K.
3. Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih
banyak gelombang Δ simetris antara 25 – 50% serta tampak gelombang sleep
spindle.
4. Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam dan sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi
oleh gelombang Δ sampai 50%, tampak gelombang sleep spindle.
Fase tidur NREM ini berlangsung antara 70 – 100 menit, setelah itu akan masuk
fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan
menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM
ditangai dengan adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah,
apabila dibangunkan hampir semua orang akan dapat menceritakan mimpinya, denyut
nadi bertambah dan pada laki – laki terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan
relaksasi yang dalam.
Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode
neonatal mencapai 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEGnya
masuk fase REM tanpa melewati fase NREM stadium 1 – 4. Pada usia 4 bulan pola
berubah sehingga presentasi total tidur REM berkurang sampai 40%. Hal ini sesuai
dengan kematangan sel-sel otak. Kemudian akan masuk ke fase awal tidur yang
didahului fase NREM. Fase REM pada dewasa muda terdistribusi sebagai berikut:
NREM (75%) yaitu stadium 1 (5%), stadium 2 (45%), stadium 3 (12%), stadium 4
(13%) dan REM (25%).
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh
neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik.

13
a. Sistem serotoninergik
Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino
tryptophan. Dengan bertambahnya jumlah tryptophan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat dan akan menyebabkan keadaan mengantuk. Bila
pembentukan serotonin terhambat maka orang tersebut terjaga. Menurut beberapa
peneliti lokasi sistem serotoninergik terbanyak terletak di nukleus raphe dorsalis
batang otak. Sehingga terdapat hubungan antara aktifitas nukleus raphe dorsalis
dengan fase REM.
b. Sistem adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di nukleus
cereleus batang otak. Kerusakan neuron pada nukleus cereleus sangat
mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur.
c. Sistem kolinergik
Stimulasi jalur kolinergik memberikan gambaran EEG seperti orang terjaga.
Gangguan aktifitas kolinergik menyebabkan pemendekan fase REM.
d. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
e. Sistem hormon

Pengaruh hormon dalam siklus tidur adalah dengan mempengaruhi sekresi


neurotransmitter norepinefrin, dopamin dan serotonin yang mengatur mekanisme
tidur/bangun. Hormon yang berpengaruh adalah ACTH, GH, TSH dan LH (Japardi,
2010).

b. Faktor Pencetus Gangguan Tidur Terkait Gangguan Psikiatrik


Menurut Japardi (2010) dalam Handbook of Psychiatry, gangguan tidur yang
berhubungan dengan gangguan psikiatri, yaitu gangguan mental psikosis, anxietas,
gangguan afektif, panik (nyeri hebat), dan alkohol. Sedangkan menurut Harvard
Health Mental Letter (2009), gangguan psikiatrik yang mencetuskan gangguan
tidur, antara lain:
a. Depresi: Penelitian yang menggunakan metode dan populasi yang berbeda
memperkirakan bahwa 65 % sampai 90 % dari pasien dewasa dengan depresi berat,

14
dan sekitar 90 % dari anak-anak dengan gangguan ini, mengalami beberapa jenis
masalah tidur. Kebanyakan pasien dengan depresi mengalami insomnia, tetapi
sekitar satu dari lima orang menderita obstructive sleep apnea. Masalah tidur
mempengaruhi hasil pengobatan bagi pasien dengan depresi. Penelitian melaporkan
bahwa pasien dengan depresi yang terus mengalami insomnia cenderung kurang
merespon pengobatan dibandingkan mereka yang tanpa masalah tidur. Bahkan
pasien yang suasana hatinya membaik dengan terapi antidepresan pun lebih
berisiko mengalami kekambuhan depresi di kemudian hari.
b. Gangguan bipolar : Penelitian pada populasi yang berbeda melaporkan
bahwa 69 % sampai 99 % dari pasien mengalami insomnia atau melaporkan
kurangnya kebutuhan tidur selama episode manik dari gangguan bipolar.Sedangkan
dalam penelitian lain pada depresi bipolar melaporkan bahwa 23 % sampai 78 %
dari pasien mengalami tidur berlebihan (hipersomnia) , sementara yang lain
mungkin mengalami insomnia atau susah tidur.
c. Gangguan kecemasan: Masalah tidur mempengaruhi lebih dari 50 % dari
pasien dewasa dengan gangguan kecemasan umum (Generalized Anxiety Disorder
[GAD]), yang umumnya terjadi pada pasien dengan gangguan stres pasca -trauma (
Post Traumatic Stress Disorder [PTSD]), dan dapat terjadi pada gangguan panik ,
gangguan obsesif-kompulsif , dan fobia. Gangguan ini juga sering terjadi pada anak
dan remaja. Suatu penelitian tidur di laboratorium menemukan bahwa anak-anak
dengan gangguan kecemasan membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur, dan
tidur kurang nyenyak dibandingkan dengan kelompok kontrol anak-anak yang
sehat.
d. Attention Deficit Hyperactivity Disorders (ADHD): Berbagai masalah
tidur mempengaruhi 25 % sampai 50 % anak dengan ADHD. Masalah umum yang
terjadi termasuk sulit tidur, durasi tidur yang lebih pendek, dan tidur gelisah.
Gejala-gejala ADHD dan kesulitan tidur tumpang tindih begitu banyak sehingga
sulit untuk menguraikannya secara terpisah.

c. Patofisiologi Gangguan Tidur

15
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS
(Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang
tersebut dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam
keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter
seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila
serotonin dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak
bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem
serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana
terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di
badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus
cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan
yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergik akan
menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan
jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra
vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini,
mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan
aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat
pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari
lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
• Sistem hormon

16
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon
seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi
secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem
ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter norepinefrin,
dopamin, serotonin yang bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun
(Japardi, 2010).
d. Macam-macam gangguan tidur
1. Insomnia
Insomnia, yaitu kurangnya atau menurunnya kemampuan untuk tidur, yang terdiri
dari insomnia awal (initial insomnia), yaitu sulit jatuh tidur, insomnia pertengahan
(middle insomnia) kesulitam tidur sepanjang malam dan kalau bisa tidur, terbangun
sulit untuk tidur lagi, insomnia akhir (terminal late) dan bangun terlalu awal (pagi).
2. Parasomnia
Parasomnia adalah suatu kelainan yang disebabkan kejadia perilaku atau psikologis
abnormal yang muncul di kala tidur, tahapan tertentu, atau transisi fase tidur-
terjaga. Parasomnia lebih umum terjadi pada anak-anak dan tidak selalu
menandakan adanya masalah psikologis atau psikiatris yang signifikan.
Jenis-jenis parasomnia :
- Tidur jalan
- Makan sambil tidur
- Terror tidur
- Gangguan soal tidur
3. Tidur Apnea
Tidur apnea adalah suatu kondisi dimana terjadinya penghetian napas disaat tidur.
Tidur apnea sangat umum terjadi, layaknya diabetes yang lazim menimpa orang
dewasa.
4. Narkolepsi
Kelainan tidur ini secara umum ditandai munculnya keinginan tidur di sinag hari
secara tak terkendali. Penderita sering kali jatuh tertidur di sembarang waktu dan
tempat, juga terjadi berulang kali dalam sehari. Narkolepsi adalah kelainan

17
neourologis (yang menyerang otak dan syaraf) kronis yang melibatkan system saraf
pusat tubuh.
Gejala-gejala narkolepsi antara lain :
- Katalepsi, yaitu mengalami serangan tiba-tiba, hilangnya kelenturan otot temporal
pada tubuh.
5. Paralisis tidur
Paralisis tidur adalah fungsi alamiah tubuh yang menyebabkan penderitanya
mengalami kelumpuhan di kala tidur. Dulunya dikenal dengan nama The Old Hag
Syndrome. Mereka yang mengalami fenomena ini kadang merasa ketakutan karena
mengira sedang diserang oleh setan. Zaman dulu, ada kepercayaan kalau fenomena
ini diakibatkan oleh "Old Hag" atau "Penyihir" yang sedang menduduki dada
korban.

3. Macam-macam Gangguan Mood dan Afek


Mood didefinisikansebagai “alamperasaan” atau “suasanaperasaan” yang
bersifat internal.Ekspresieksternaldari mood disebutafek, atau eksternal
display.Sejak lama dalamliteraturpsikiatri mood yang
terganggudisebutgangguanafektif.Tetapi, kuranglebihdalam 5 tahunterakhir,
gangguanafektifinidiubahnamanyadengangangguan mood.Yang paling
utamadalamgangguanmoodiniadalah mood yang menurunatautertekan yang
disebutdepresi, dan mood yang meningkat atauekspansif yang disebut mania
(manik).Baik mood yang menurunatauterdepresidan mood yang
meningkatbersifatgradual,suatu kontinuitas darikeadaan normal ke bentuk yang
jelas-jelaspatologik.Padabeberapaindividugejala-
gejalanyabisadisertaidenganciripsikotik.

a. TandadanGejalaDepresi
Depresiadalahkeadaanemosional yang ditandaikesedihan yang
sangat,perasaanbersalah, tidakberharga, menarikdiridari orang lain,
kehilanganminatuntuktidur dan seks sertahal-halmenyenangkanlainnya.Orang
yang depresimungkin:

18
-Sulitkonsentrasi, bicaranyapelan, kata-kata monoton, suarapelan
-Memilihuntuksendiriandanberdiamdiri; ataujustrutidakbisadiam
-Sulitmenemukansolusipermasalahan
Tandadangejaladepresimungkinbervariasibergantungusia, anak-anak yang
depresiseringkalimenunjukkankeluhansomatis,
sepertisakitperutatausakitkepala, sedangkan orang dewasa yang
depresiseringkalimudahlupadanmudahterdistruksi.
Gejala-gejalaringandapatberupapeningkatandarikesedihanatau relasi normal
sedanggejala-gejalaberatdikaitkandengansindromgangguan mood yang
terlihatberbedasecarakualitatifdariproses normal
danmembutuhkanterapispesifik.
Gangguandepresiseringdijumpai.Prevalensiselamakehidupanpadawanita 10%-
25% danpadalaki-laki 5%-12%.Walaupundepresilebihseringpadawanita,
bunuhdirilebihseringpadalaki-lakiterutamausiamudadantua.

b. Klasifikasi Mood
Gangguan mood berbedadalamhalmanifestasiklinik, perjalananpenyakit,
genetik, danresponspengobatan.Kondisiinidibedakansatusama lain berdasarkan:
(1) adatidaknya mania (bipolar atau unipolar); (b) beratringannyapenyakit
(mayor atau minor); (c) kondisimedikataupsikiatrik lain
sebagaipenyebabgangguan. Maka, diklasifikasikan sebagaiberikut:
(I) Gangguan mood mayor : depresi mayor dan/ atautanda-
tandagejalamanik.Gangguan Bipolar I(manik-depresi) – mania
padamasalaluatausaatini ( denganatautanpaadanyadepresiatauriwayatdepresi).
Gangguan Bipolar II – hipomaniadandepresi mayor
mestiadasaatiniataupernahada. GangguanDepresi Mayor-
hanyadepresiberatsaja.
(II) Gangguan mood spesifiklainnya. Depresi minor dan/ataugejala-
gejaladantanda-tandamanik.Gangguandistimia –
depresisaja.Gangguansiklotimia –depresidanhipomaniksaatataubarusajaberlalu
(secaraterusmenerusselama 2 tahun).

19
(III) Gangguan mood akibatkondisimedikumumdangangguan mood akibatzat.
(IV) Gangguanpenyesuaiandengan mood depresi:depresi yang disebabkanoleh
stresor.

c. Diagnostik Formal Gangguan Mood Menurut DSM IV-TR


Depresimerupakansuatusindrom yang ditandaidengansejumlahgejalaklinik
yang manifestasinyabisaberbedapadamasing-masingindividu.Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV)
merupakansalahsatuinstrumen yang dipakaiuntukmenegakkan diagnosis
depresi, selain PPDGJ-III (ICD-X) yang digunakan di seluruh RSJ
Indonesia.Bilamanifestasigejaladepresimunculdalambentuk keluhan yang
berkaitandengan mood (sepertimurung, sedih, putusasa), diagnosis
depresidenganmudahdapatditegakkan.Tetapi,
bilagejaladepresimunculdalamkeluhanpsikomotoratausomatiksepertimalasbeke
rja, lamban, lesu, nyeriuluhati, sakitkepalaterusmenerus, adanyagejaladepresi
yang melatarbelakangiseringtidakterdiagtnosis.Ada masalah yang
jugadapatmenutupi diagnosis depresi, misalnyaindividupenyalahgunaan
alkoholatau NAPZA untukmengatasidepresi,
ataudepresimunculdalambentukgangguanperilaku.

d. Diagnosis Depresi (Depresi Mayor/ Unipolar)


- Minimal 2 minggukehilanganminatdankesenangan serta mood depresif.
- Minimal muncul 4 diantarasimptom additional berikutini, yaitu:
gangguantidurdannafsumakan, hilangenergi, worthlessness, suicidal thought,
dansulit konsentrasi.
- Subclinical depression: individu yang simtomnyakurangdari 5,
memilikikesulitandalamfungsipsikologis
- Depresi 2-3 kali lebihseringpadawanitadaripadapria;
lebihseringterjadipadagolonganekonomibawah dan dewasamuda
- Depresicenderungmunculberulang pada 80 % penderitamengalami episode
lain

20
e. Diagnosis Gangguan Bipolar
- Gangguan Bipolar I: episode mania/ campuran, terdapatsimtom mania
dandepresi. Episode mania disini minimal muncul 3 simtom additional (4
simtomjika mood hanyairritable).
-Gangguan bipolar lebihjarangmunculdaripadadepresi mayor
- Rata-rata onset: umur 20an, seimbangantarapriadanwanita.

f. GangguanMoodKronik

Jangkapanjang, minimal 2 tahun,


belumcukupmengganggufungsisosialdanpekerjaan.
Ada 2 jenis:
a. Gangguan cyclothymic
b. Periodedepresidanhipomaniaberulang. Selamadepresipasienmerasainadekuat,
selamahipomaniaself-esteemmeningkat. Menarikdiri,
tidurterlaluseringatauterlalusebentar, sulitkonsentrasi, danjarangberbicara.

g. Gangguan Mood danDepresi

- Individu yang
depresilebihsedikitmenunjukkanekspresiwajahpositifdanmengalamiemosimeny
enangkan.
- Gangguankecemasanbiasanyamunculbersamaandengandepresi.

h. Teori Psikoanalisis tentang Depresi

Teoripsikodinamikaklasikmengenaidepresidari Freud
danparapengikutnyameyakinibahwadepresimewakilikemarahan yang
diarahkankedalamdirisendiridanbukanterhadap orang-orang yang dikasihi.Rasa
marahdapatdiarahkankepada diri setelahmengalamikehilangan yang
sebenarnyaatauancamankehilangandari orang-orang yang dianggappentingini
(Neviddkk., 2005).

21
Menurutpandanganini, gangguan bipolar mewakilidominansi yang
berubah-ubahdarikepribadianindividuantara ego dan
superego.Dalamfasedepresi, superego adalahdominan, memproduksikesadaran
yang berlebihanataskesalahan-
kesalahandanmembanjiriindividudenganperasaanbersalahdanketidakberhargaan
(Neviddkk., 2005).
Model psikodinamikaterbaru lebihterfokuspadaisu-isu yang
berhubungandenganperasaan individual akan self-worth atau self-esteem. Suatu
model, yang disebut model self-focusing,
mempertimbangkanbagaimanamengalokasikan proses
atensimerekasetelahsuatukehilangan (kematian orang yang dicintai, kegagalan
personal, dll). Menurut model ini, orang yang
mudahterkenadepresimengalamisuatuperiode self-examination (self-focusing)
yang intenssetelahterjadinyasuatukehilanganataukekecewaan yang
besar.Merekamenjaditerpakupadapikiran-
pikiranmengenaiobjekatautujuanpenting yang
hilangdantetaptidakdapatmerelakanharapanakanentahbagaimanacaramendapatk
annyakembali (Neviddkk, 2005).

i. Macam-macammood

• Mood eutimia: adalah suasana perasaan dalam rentang normal, yakni


individu mempunyai penghayatan perasaan yang luas dan serasi dengan
irama hidupnya

• Mood hipotimia: adalah suasana perasaan yang secara pervasif diwarnai


dengan kesedihan dan kemurungan. Individu secara subyektif
mengeluhkan tentang kesedihan dan kehilangan semangat. Secara obyektif
tampak dari sikap murung dan perilakunya yang lamban

• Mood disforia: menggambarkan suasana perasaan yang tidak


menyenangkan. Seringkali diungkapkan sebagai perasaan jenuh, jengkel,
atau bosan.

22
• Mood hipertimia: suasana perasaan yang secara perfasif memperlihatkan
semangat dan kegairahan yang berlebihan terhadap berbagai aktivitas
kehidupan. Perilakunya menjadi hiperaktif dan tampak enerjik secara
berlebihan.

• Mood eforia: suasana perasaan gembira dan sejahtera secara berlebihan.

• Mood ekstasia: suasana perasaan yang diwarnai dengan kegairahan yang


meluap luap. Sering terjadi pada orang yang menggunakan zat
psikostimulansia

• Aleksitimia: adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk


menghayati suasana perasaannya. Seringkali diungkapkan sebagai
kedangkalan kehidupan emosi. Seseorang dengan aleksitimia sangat sulit
untuk mengungkapkan perasaannya .

• Anhedonia: adalah suatu suasana perasaan yang diwarnai dengan


kehilangan minat dan kesenangan terhadap berbagai aktivitas kehidupan.

• Mood kosong: adalah kehidupan emosi yang sangat dangkal,tidak atau


sangat sedikit memiliki penghayatan suasana perasaan. Individu dengan
mood kosong nyaris kehilangan keterlibatan emosinya dengan kehidupan
disekitarnya. Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien skizofrenia kronis.

• Mood labil:suasana perasaan yang berubah ubah dari waktu ke waktu.


Pergantianperasaandarisedih, cemas, marah, eforia, munculbergantian, dan
takterduga. Dapatditemukan pada gangguanpsikosisakut.

• Moodiritabel: suasanaperasaan yang sensitif, mudahtersinggung,


mudahmarah dan seringkalibereaksiberlebihanterhadapsituasi yang
tidakdisenanginya.

j. Macam-macam afek

Afekadalahemosiatauperasaan yang
ditunjukkanolehpasiendandapatdiamatioleh orang lain, jadimerupakangejala

23
yang objektif yang dapatdilihatpadasaatpemeriksaanpsikiatrik. Berbedadengan
mood yang merupakanpengalamansubjektif yang
dilaporkanolehpasien.Macam-macamafek,antara lain:
a). Afekserasi

Afek yang normal dimanasuasanaemosionalserasidengangagasan,


pikiranataupembicaraan.Individudenganafekserasimemilikitingkahlakudaneksp
resi yang sesuaidengansuasanaemosionalnya.
b). Afektidakserasi

Afek yang tidaksesuaiantarasuasanaemosionaldengangagasan,


pikiranataupembicaraan yang
menyertainya.Individudenganafekinitingkahlakudanekspresinyatidaksesuaiden
gansuasanaemosionalsepertitertawadisaatsedih.
c). Afektumpul

Suatugangguanafek yang manifestasinyadalampengurangan yang


beratdariintensitassuasanaperasaan yang
ditampilkan.Individudenganafekiniekspresiperasaannyasangatkurang.
d). Afekterbatas

Penguranganintensitassuasanaperasaan yang
tidakbegituberatdibandingkandenganafektumpul, tetapijelaspengurangannya.
e). Afekdatar

Afek yang tidakadaatauhampirtidakadanyasetiaptandapernyataanafektif,


suaratidakberubah (monoton), wajahtidakbergerak, responafektifbenar-
benartidakada,biasanyaterdapatpadaskizofrenia.
f). Afeklabil

Perubahansuasanaperasaanemosional yang cepatdanmendadak yang


tidakadahubungannyadenganrangsangandariluar.Afekberubahdengancepatantar
aberbagaikeadaanemosionalumpamanyadarimengangis-tertawa-marah
(Nuhriawangsa, 2011).

24
k. Mekanisme gangguan mood dari segi neurokimiawi

Terdapat peran neurotransmitter serotonin pada gangguan mood.


Serotonin disintesa dari asam amino esensial tryptophan dalam 2 tahap
enzimatis. Plasma tryptophan masuk blood brain barier secara aktif dengan
melalui large neutral amino acid trasporter protein.perubahan fungsi
serotonergik otak menunjukkan perubahan fungsi tubuh dan perilaku yang
merupakan gejala klinis utama dari depresi, sepert nafsu akan, tidur, fungsi
seksual, sensitivitas nyeri, temperatur tubuh, dan irama sirkadian. Pelepasan
serotonin hampir konstan sepanjang hari dan mereda selama tidur REM (Rapid
Eye Movement). Pelepasan serotonin neuron elatif konstan namun responsif
terhadap stres (Maramis, 2009).

Penemuan penelitian yang paling konsisten adalah korelasi antara


penurunan 5-HIAA (5-Hydroxy-Indole Acetic Acid), metabolit
serotonindengan impulsivitas, agresi dan suiside dengan kekerasan. Studi post-
mortem menemukan pengurangan jumlah SERT (Serotonin Transporter) di
kortex frontalis orban bunuh diri dan di hipokampus dan kortex occipital pasien
depresi. Studi lain melaporkan adanya 5-HT1A di dorsal raphe dan median
raphe pada korban bunuh diri. Penelitian lain menemukan peningkatan reseptor
5-HT2 platelet darah pada pasien depresi atau bunuh diri (Maramis, 2009).

Berdasarkan banyak data dapat disimpulkan bahwa kelainan


patologis utama pada gangguan mood mungkin berada dalam saraf dari sirkuit
otak yang membawahi emosi. Neuron ini tidak dapat mentolerasi peurnan
serotonin dan modulasi noreepinefrin serta dopamin (Maramis, 2009).

4. Langkah IV : Menginventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang didapatkan


pada langkah III
Dari hasil langkah II kami menyimpulkan bahwa keluhan pada pasien berupa depresi
berulang dengan episode kini berat non psikotikdi mana pasien pernah mengalami
gangguan serupa kurang lebih 1 tahun yang lalu.

25
5. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
LO yang belum terjawab antara lain :
a. Bagaimana hubungan keluhan satu tahun yang lalu dengan keluhan yang dialami
sekarang oleh pasien pada skenario?
b. Bagaimana overview manik dan bipolar?
c. Apa saja etiologi depresi?
d. Bagaimana epidemiologi depresi?
e. Bagaimana patofisiologi depresi yang terkait dengan skenario?
f. Apa saja gejala, episode, dan tipe depresi?
g. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan status mental pada skenario?
h. Apa saja pemeriksaan mental dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan terkait
dengan skenario?
i. Bagaimana penatalaksanaan depresi?
j. Bagaimana pencegahan depresi?
k. Apakah kepribadian dapat diubah dan cara yang dilakukan bila dapat diubah pada
kasus depresi?

6. Langkah VI : Belajar mandiri


Langkah ini kami lakukan untuk mencari LO yang belum terjawab dan
mempersiapkan diskusi pada pertemuan kedua tutorial

7. Langkah VII : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang diperoleh

1. Hubungan Keluhan Satu Tahun yang Lalu dengan Keluhan yang Dialami Sekarang
oleh Pasien pada Skenario
a. Gangguan Tidur dan Nafsu Makan
Gangguan tidur merupakan salah satu gejala depresi. Pengukuran polisomnografi
tidur menunjukan peningkatan sleep-onset latency, peningkatan aktivitas fase REM,
peningkatan aktivitas EEG frekuensi cepat, dan penurunan aktivitas EEG slow-wave
pada tahap non-REM (Germain, 2004).

26
Menggunakan fluorodeoxyglucose (FDG) positron emission tomography (PET),
dilakukan pengukuran metabolisme otak dengan mengukur metabolisme glukosa otak.
Orang depresi memiliki metabolisme glukosa otak total yang lebih tinggi daripada
orang sehat pada tahap non-REM. Ini mendukung hipotesis overarousal pada orang
depresi. Hipofrontalitas yang terjadi pada saat sadar mungkin mencegah reduksi
aktivitas otak dari sesaat sebelum tidur hingga tahap non-REM. Pada orang normal, ada
reduksi yang signifikan pada aktivitas otak di daerah kortikal selama tahap non-REM.
Penurunan aktivitas kortikal tahap sebelum tidur sampai non-REM pada orang normal
dikatakan sebagai penyebab restorasi fungsi kognitif selama tidur. Sedangkan pada
orang depresi, kegagalan untuk menurunkan aktivitas kortikal terutama di daerah frontal
dikatakan sebagai penyebab kelainan tidur dan tidur yang nonrestoratif (tidak segar)
(Germain, 2004).
Gangguan tidur pada orang depresi dapat berasal dari fungsi abnormal region
yang berperan untuk memulai dan mempertahankan tahap non-REM. Selama transisi
antara sadar sampai tahap non-REM, aktivitas neuronal diturunkan pada area yang
menyebabkan arousal seperti locus coeruleus, raphe nuclei, dan tuberomammilary
nucleus. Selama tahap itu juga neuron thalamocortical mengalami hiperpolarisasi. Area
yang menyebabkan tidur terlokalisasi di preoptic hypothalamus menunjukkan
peningkatan aktivitas selama tahap itu. Pada orang sehat, tahap non-REM ditandai
dengan penurunan aktivitas metabolik dan aliran darah ke mesencephalic brainstem,
thalamus, dan basal forebrain. Pada orang depresi gangguan tidur dikarenakan aktivitas
abnormal pada struktur itu (Germain, 2004).
Percobaan yang dilakukan oleh Germain et al menunjukkan hasil bahwa orang
depresi menunjukkan penurunan yang kecil metabolisme glukosa regional di region
frontal, parietal dan temporal, dan dorsomedial thalamus. Penemuan ini menunjukkan
bahwa depresi dikarakteristikkan dengan deaktivasi kortikal dan thalamus yang kecil.
Tetapi pada metabolisme seluruh bagian otak tidak menunjukkan peningkatan
metabolisme dibandingkan orang sehat. Namun dengan kegagalan untuk menunjukkan
penurunan aktivitas di daerah thalamus dan anterior forebrain serta aktivitas metabolic
yang tetap di dorsomedial thalamus dan area yang berkaitan baik dengan prefrontal dan
parietal cortices dapat menjadi penyebab tetapnya aktivitas metabolik frontal dan

27
parietal tahap non-REM pasien depresi. Deaktivasi frontal dan thalamus umumnya
menyebabkan insomnia (Germain, 2004).
Studi yang dilakukan oleh Bixler et al, mencari hubungan antara excessive
daytime sleepness (EDS) dengan sleep apnea. Menggunakan metode cohort dilakukan
pengukuran terhadap keluhan EDS. Subjek diambil acak (N=16.583) dengan rentang
umur 20-100 tahun. Selanjutnya subjek (N=1.741) secara acak dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut di laboratorium tidur selama satu malam. Kemudian dilakukan evaluasi
simultan terhadap faktor risiko yang luas terhadap terjadinya EDS di populasi umum.
Hasilnya adalah pengobatan terhadap depresi yang sedang dilakukan memiliki
hubungan yang paling kuat. Hal ini tidak berubah saat dilakukan kontrol dengan
penggunaan obat antidepresan. Jadi hasilnya mendukung peranan depresi sebagai faktor
risiko mayor di populasi umum. Perhitungan menunjukkan depresi sebagai faktor risiko
yang paling signifikan untuk terjadinya EDS, diikuti oleh faktor risiko lain yaitu indeks
massa tubuh, durasi tidur, diabetes, merokok, dan terakhir adalah sleep apnea. Keeratan
hubungan depresi dengan EDS berkurang seiring dengan peningkatan umur. EDS
sangat sering pada umur muda (<30 tahun) dan umur sangat tua (>75 tahun)
(Bixler,2005).
Review yang dilakukan oleh Chorney et al, menunjukkan banyak sumber yang
menyebutkan hubungan yang erat antara depresi dengan gangguan tidur. Literatur dan
sumber diambil dari database komputer dan bibliografi artikel yang relevan. Tujuan
review adalah mengumpulkan dan mengevaluasi hubungan antara tidur, kecemasan, dan
depresi pada anak dan menyediakan rekomendasi untuk penelitan di kemudian hari.
Hasilnya banyak penelitian tentang hubungan gangguan tidur dengan kecemasan dan
depresi, gejala penyakitnya banyak yang saling tumpang tindih antara depresi,
kecemasan, dan tidur. Hubungan antara tidur dengan depresi lebih kuat daripada dengan
kecemasan. Hubungan yang kuat ini ditemukan pada anak-anak, remaja, dan dewasa.
Hasil penelitian dari beberapa literatur antara lain: (1). Anak dan remaja yang
mengalami depresi mayor menunjukkan gejala insomnia yang signifikan. (2). Anak
yang depresi mengalami masalah dengan sleep onset, bangun secara tiba-tiba, dan
hipersomnia. (3). Remaja yang mengalami depresi menunjukkan gangguan tidur yang
tinggi. (4). Hubungan yang kuat antara gangguan tidur dan depresi umum terjadi pada

28
orang dewasa. (5). Hubungan menjadi lebih kuat ketika anak berkembang menjadi
remaja dan dewasa. (6) (Chorney, 2008).
b. Fisiologi Tidur Normal
Tidur normal memiliki empat tahapan mulai dari sesaat sebelum tidur
sampai bermimpi, tiap tahap memiliki gelombang berbeda. Gelombang ini diukur
dengan alat encephalogram (EEG). Pada saat orang akan bersiap tidur, gelombang alfa
8-12 Hz akan menyela gelombang tinggi-frekuensi rendah-voltase yang menandai
active wakefulness (keadaan bangun aktif). Setelah itu, ketika orang tertidur, ada
transisi yang tiba-tiba ke periode EEG tidur tahap 1. EEG tidur tahap 1 adalah sinyal
tinggi-frekuensi rendah-voltase yang mirip tetapi lebih lamban dibanding yang tampak
pada keadaan bangun aktif (Pinel, 2009).
Ada peningkatan gradual pada voltase EEG dan penurunan pada frekuensi
EEG ketika orang itu beranjak dari tidur tahap 1 ke tahap 2,3,4. Oleh sebab itu, EEG
tidur tahap 2 memiliki amplitudo yang sedikit lebih tinggi dan frekuensi yang lebih
rendah dibandingkan EEG tahap 1. EEG tidur tahap 3 didefinisikan oleh keberadaan
gelombang delta, gelombang EEG paling lamban dengan frekuensi 1-12 Hz yang
muncul sekali-sekali, sementara EEG tidur tahap 4 didefinisikan sebagai predominasi
gelombang delta. Begitu subjek mencapai tidur tahap 4, mereka bertahan di tahap itu
selama waktu tertentu, dan kemudian mundur kembali melalui tahap-tahap tidur
sampai ke tahap 1. akan tetapi, ketika mereka kembali ke tahap 1, segala sesuatunya
tidak persis sama dengan yang pertama. Periode pertama EEG tahap 1 selama sebuah
tidur malam (initial stage 1 EEG) tidak ditandai oleh perubahan elektromiogradik atau
elektrookulografik yang tajam sementara peride EEG tahap 1 berikutnya (emergent
stage 1 EEG) disertai Rapid Eye Movement (REM) dan oleh hilangnya ketegangan
otot batang tubuh. Ini merupakan tahap terjadinya mimpi (Pinel, 2009).
Setelah siklus EEG tidur yang pertama (dari tahap 1-4 mundur lagi ke
emergent stage), sepanjang malam dihabiskan maju mundur melalui tahap itu. Tiap
siklus cenderung berlangsung 90 menit. Ketika malam semakin larut, semakin banyak
waktu yang dihabiskan di emergent stage, dan semakin kurang waktu di tahap lain
khususnya tahap 4. Aksi fisiologis lainnya seperti aktivitas serebral (konsumsi
oksigen, penembakan neural) meningkat ke tingkat bangun, peningkatan aktivitas saraf

29
otonom: tensi, denyut nadi, respiration rate. Otot anggota badan bergerak terkejat-
kejat, ereksi klitoral dan penis pada tingkat tertentu (Pinel, 2009).

c. Gangguan Tidur
Tidur adalah proses yang dibutuhkan otak untuk berfungsi secara tepat.
Keseriusan dari gangguan tidur tidak diketahui oleh masyarakat umum karena mereka
menganggap hal ini tidak berbahaya. International Classification of Sleep
Disorders(ICSD) merupakan klasifikasi paling lengkap untuk gangguan tidur dan sering
digunakan. DSM-IV memasukkan banyak klasifikasi dari ICSD (Stores, 2003).
Pasien dengan depresi mayor, 95% memiliki gangguan tidur menurut kriteria
EEG. Perubahan tidur yang berhubungan dengan depresi termasuk gangguan secara
umum dan arsitektural. Perubahan secara umum terdiri dari peningkatan latensi tidur,
sering terbangun, dan terbangun terlalu awal di pagi hari diikuti kesulitan untuk
melanjutkan tidur. Perubahan makroarsitektural termasuk pergeseran pusat slow-
wavesleep (SWS) dari NREM-REM pertama ke siklus selanjutnya, latensi REM biasanya
juga memendek. Analisis mikroarsitektural menunjukkan peningkatan densitas gerakan
mata, terutama awal periode tidur (Stores,2003).

d. Penyebab Gangguan Tidur (Depresi)


Gangguan tidur dapat disebabkan oleh banyak hal atau bersifat holistik. Hal yang
mempengaruhi adalah biopsikososial yaitu dari faktor genetik, psikologis, dan
lingkungan. Sehingga bisa dikatakan penyebabnya sangat kompleks dan memerlukan
investigasi yang cermat. Namun pada tulisan ini hanya akan dibahas salah satu penyebab
gangguan tidur yaitu depresi.
Etiologi depresi yang dapat dihubungkan dengan gangguan tidur
adalahterganggunya neurotransmiter serotonin. Serotonin berperan dalam pengontrolan
afek, agresivitas, tidur, dan nafsu makan. Neuron serotoninergik berproyeksi dari nucleus
rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri, hipotalamus, ganglia basalis, septum, dan
hipokampus. Proyeksinya ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya pada gangguan
psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, namun satu transmiter saja dapat
memberikan efek ke seluruh otak. Percobaan yang dilakukan pada tikus menunjukkan

30
gangguan pada 5-ht7 dapat mengurangi perilaku depresif dan penurunan durasi REM
(Amir, 2004).
Gangguan regulasi hormon dapat menyebabkan depresi yaitu Cortical-
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Cortical Axis (CHPA). Mekanisme normalnya adalah
adanya pengalaman buruk sehari-hari akan dicatat dalam korteks serebri dan sistem
limbik sebagai stresor. Bagian otak ini akan mengirim pesan ke tubuh untuk
mempersiapkan diri mengatasi stresor tersebut. Target organnya adalah kelenjar adrenal.
Kelenjar ini akan mensekresikan kortisol untuk mempertahankan hidup. Kortisol
berfungsi dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, sistem imun, dan semua
faktor penting dalam kehidupan. Kadar kortisol turun pada saat malam sebelum tidur,
sedangkan pada saat bangun pagi akan meningkat sehingga kita bisa bangun dengan
segar. Peningkatan kortisol akan menyebabkan mekanisme umpan balik ke hipotalamus
untuk mengurangi sekresi Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dan ke kelenjar
hipofisis anterior untuk mengurangi sekresi Adenocorticotrophin Hormone(ACTH).
Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stresor yang dialami
seseorang pada awal kehidupannya. Stresor yang berulang akan menyebabkan
peningkatan sekresi CRH dan penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis.
Sehingga pada akhirnya sekresi kortisol juga terganggu. Stresor pada awal kehidupan ini
dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik atau dapat
membuat jejak pada sistem saraf yang berfungsi merespon stresor tersebut. Akibatnya
seseorang akan rentan terhadap stresor dan risiko penyakit yang berkaitan dengan stresor
menjadi meningkat. Salah satunya depresi pada saat dewasa (Amir, 2004).

e. Gangguan Tidur sebagai Penyebab Depresi


Review yang dilakukan oleh Chorney et al, pada banyak sumber menunjukkan
hasil yang sama yaitu peningkatan risiko depresi. Hubungan antara tidur dengan depresi
lebih kuat daripada gangguan mood lainnya. Hubungan yang kuat ditemukan pada hampir
seluruh kategori umur. Hasil penelitian dari beberapa literatur antara lain: (1) Remaja
yang kurang tidur menunjukkan tingkat depresi yang tinggi (2). Orang dewasa dengan
gangguan tidur hampir memiliki risiko dua kali menjadi depresi (3). Salah satu studi
menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan tidur memiliki peningkatan risiko

31
mengalami depresi atau kecemasan. Hasil itu juga mendukung studi selanjutnya yang
menyatakan bahwa 73% anak depresi diawali dengan insomnia atau hipersomnia
(Chorney, 2008).

f. Hubungan Gangguan Tidur dan Nafsu Makan dengan Faktor Biologi Depresi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada
pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah
serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada
pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran
mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan,
2010). Norepinefrin memiliki fungsi mengatur fungsi pernafasan, pikiran, persepsi, daya
penggerak, fungsi kardiovaskuler, tidur dan bangun. Serotonin berfungsi mengatur tidur,
bangun, libido, nafsu makan, perasaan, agresi persepsi nyeri, koordinasi dan penilaian.
Abnormalitas pada kedua neurotransmitter tersebut dapat menyebabkan gangguan tidur
dan nafsu makan. Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut
tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan
penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala
depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).

g. Depresi berulang
Dari skenario pasien mengalami depresi berulang. Berdasarkan PPDGJ III, gejala-
gejala depresi sebagai berikut:
• Gejala utama
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
• Gejala lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang

32
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan berkurang
Pasien yang mengalami sekurangnya dua episode depresi diklasifikasikan dalam
DSM IV sebagai menderita gangguan depresi berat berulang. Masalah utama dalam
mendiagnosis episode rekuren gangguan depresif adalah memutuskan kriteria apa yang
digunakan untuk menandakan resolusi masing-masing periode. Dua variabel adalah
derajat resolusi gejala dan lamanya resolusi. Tiap episode depresi yang jelas dipisahkan
oleh sekurangnya periode dua bulan, di mana selama periode itu pasien tidak memiliki
gejala depresi yang bermakna.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Depresif Berulang menurut DSM-IV:
• Adanya episode depresif tunggal
• Episode depresif tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif, dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan delusional,
atau gangguan psikotik yang tidak ditentukan.
• Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik.
Jika semua kriteria memenuhi diagnosis suatu episode depresi, tentukan status
klinis:
- Ringan, sedang, atau berat, dengan atau tanpa gejala psikotik
- Kronis
- Dengan ciri katatonik
- Dengan ciri melankolik
- Dengan ciri atipikal
- Dengan onset pasca persalinan
Jika tidak semua kriteria memenuhi diagnosis suatu episode depresi berat,
tentukan status klinis:
- Remisi sebagian, remisi penuh
- Kronik

33
- Dengan ciri katatonik
- Dengan ciri melankolik
- Dengan ciri atipikal
- Dengan onset pasca persalinan
Sebutkan:
- Penentu perjalanan longitudinal (dengan atau tanpa pemulihan interepisode)
- Dengan pola musiman
Sedangkan, pedoman diagnostik untuk Gangguan Depresif Berulang (F33)
menurut PPDGJ III:
• Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari:
- Episode depresi ringan (F32.0)
- Episode depresi sedang (F32.1)
- Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi frekuensinya lebih
jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
• Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dengan peninggian afek dan hiperaktivitas
yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2).
Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode singkat dari
peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria hipomania (F30.0)
segera sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh
tindakan pengobatan depresi).
• Pemulihan keadaan biasanya sempurna di antara episode, namun sebagian kecil pasien
mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk
keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan).
• Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh
peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma mental lain (adanya stress tidak
esensial untuk penegakan diagnosis).
Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan (F33.0):
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif sedang (F32.1); dan

34
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima: F33.00 Tanpa gejala somatik
F33.01 Dengan gejala somatik
Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang (F33.1): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif ringan (F32.0); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing selama minimal 2 minggu
dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima: F33.10 Tanpa gejala somatik
F33.11 Dengan gejala somatik
Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa Gejala
Psikotik (F33.2): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik
(F32.2); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat dengan Gejala
Psikotik (F33.2): 3
• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik
(F32.3); dan
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.

Pedoman diagnostik Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi (F33.4): 3


• Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus pernah dipenuhi di masa
lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi kriteria untuk episode
depresif dengan derajat keparahan apapun atau gagguan lain apapun dalam F30-F39; dan

35
• Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna

2. Overview Manik dan Bipolar


a. Manik
Manik adalah peningkatan suasana perasaan yang ditunjukkan dengan sikap yang
meluap-luap, flight of ideas, peninggian harga diri, dan gagasan kebesaran.
Diagnosis episode manik:
a). Periode mood yang meninggi, ekspansif atau mudah tersinggung secara persisten,
selama minimal 1 minggu
b). Tiga atau lebih gejala berikut yang menetap: harga diri yang melambung/kebesaran,
penurunan kebutuhan tidur, lebih banyak bicara, flight of ideas, perhatian mudah beralih,
peningkatan aktivitas atau agitasi psikomotor, terlibat dalam aktivitas menyenangkan
tetapi mempunyai kemungkinan tinggi yang menyakitkan/membahayakan.

b. Bipolar
Ada dua tipe:
1. Bipolar I : episode manik/hipomanik dengan riwayat
manik/hipomanik/depresi/campuran
2. Bipolar II: episode depresi dengan riwayat manik/hipomanik

Etiologi:
1. Faktor biologis: ketidakseimbangan antara amin biogenik (norepinefrin dan serotonin)
2. Faktor genetik: kembar monozigot (33 – 90%), kembar dizigot (25%), ±50% pasien
bipolar mempunyai orang tua dengan gangguan mood
3. Faktor psikososial

Patogenesis:

36
- Gangguan bipolar I biasanya didahului dengan gangguan depresi (75% pada wanita dan
67% pada laki-laki)
- Rekuren dengan interval antar episode 6 – 9 bulan
- Episode manik yang tidak diobati berlangsung 3 bulan

3. Etiologi depresi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada
pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah
serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien
bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran
mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010).
Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada
pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana
konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion,
menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input
neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan
adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik
sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis
hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld et
al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada

37
pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan
balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada
sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di
PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004). Pada orang lanjut
usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan
methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase
(Unutzer dkk, 2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami
kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua. Walaupun ada
kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi
neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus,
substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti menunjukkan
bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik,
serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun
menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane
dkk, 1999).
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)
diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan
sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot (Davies, 1999). Oleh
Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya
disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi
stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap
penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial

38
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang
diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya
berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan
sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan,
peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan,
2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri,
kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian,
perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor
lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan
dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan
mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang
paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan
(Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang
dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama,
kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi
(Hardywinoto, 1999).
Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti
kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang
memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah (Kaplan,
2010). Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa
kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya
untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan
suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan
yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek
yang hilang.

39
Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego
untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas
dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam
hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang
berkabung tidak demikian. Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang
dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya
menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar
bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan
ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010).
Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran
menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan
keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan,
2010).

4. Epidemiologi Depresi
Insidensi dari gangguan depresi mayor di Amerika mencapai 20% pada laki – laki
dan 12% pada perempuan. Berdasarkan laporan dari Klerman dan Gershon menyatakan
bahwa terjadi peningkatan yang progresif pada insidensi depresi mayor dalam 70 tahun
terakhir (Klerman, 1988; Gershon et al, 1987). Pada tahun 2010 berdasarkan laporan dari
Centers of Disease Control and prevention (CDC) dari 235.067 orang diadapatkan 9%
mempunyai kriteria depresi, dan sekitar 3,4% memiliki gejala depresi mayor (CDC, 2010).
Wanita memiliki faktor resiko yang lebih tinggi dalam kejadian depresi, 14,8% wanita
menderita depresi sedangkan pada pria hanya sekitar 9,8%. Berdasarkan penelitian
colaborative dari World Health Organization (WHO) ditemukan kesamaan gejala di berbagai
negara didunia yang berbeda kebudayaan seperti Canada, Iran, Jepang, dan Swiss (CDC,
2010). Berikut adalah data epidemiologi Depresi berdasarkan faktor-faktor resiko :
Insiden dan prevalensi. Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan
prevalensi seumur hidup sekitar 15%. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% di
perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi
sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan
depresif berat (Elvira, 2010).

40
Jenis kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih besar daripada laki-laki. Diduga
adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stressor psikososial antara laki-
laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Elvira,
2010). Menurut TheNational Institute of Mental Health (NIMH) depresi biasanya lebih
banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut terjadi karena
dipengaruhi oleh hormon. Biasanya depresi juga terjadi pada rata-rata umur 32 tahun.
Depresi tidak dipengaruhi oleh asal suku.
Usia. Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% awitan diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa kanak atau lanjut usia. Data terkini
menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan
dengan meningkatnya pengguan alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia
tersebut (Elvira, 2010).
Status perkawinan. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai
hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita yang
tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita depresi dibandingkan
dengan yang menikah namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki (Elvira, 2010).
Faktor sosioekonomi dan budaya. Tidak ditemukan korelasi antara status
sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan
dibanding daerah perkotaan (Elvira, 2010).

5. Patofisiologi Depresi yang Terkait dengan Skenario


Teori patofisiologi depresi:
1. The Biogenic Amine Hypothesis (Hipotesis Amina Biogenik)
Teori Amina Biogenik menyatakan bahwa depresi disebabkan karena kekurangan
(defisiensi) senyawa monoamin, terutama : noradrenalin dan serotonin. Karena itu,
menurut teori ini depresi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan
ketersediaan serotonin dan noradrenalin, misalnya MAO inhibitor atau antidepresan
trisiklik. Namun, teori ini tidak dapat menjelaskan fakta mengapa onset obat-obat
antidepresan umumnya lama (6-8 minggu), padahal obat-obat tadi bisa meningkatkan
ketersediaan neutrotransmiter secara cepat. Muncullah hipotesis sensitivitas reseptor.

41
2. Hipotesis Sensitivitas Reseptor
Teori : depresi merupakan hasil perubahan patologis pada reseptor, yang
diakibatkan oleh terlalu kecilnya stimulasi oleh monoamin. Saraf post-sinaptik akan ber-
respon sebagai kompensasi terhadap besar-kecilnya stimulasi oleh neurotransmiter. Jika
stimulasi terlalu kecil saraf akan menjadi lebih sensitif (supersensitivity) atau jumlah
reseptor meningkat (up-regulasi). Jika stimulasi berlebihan saraf akan mengalami
desensitisasi atau down-regulasi. Obat-obat antidepresan umumnya bekerja meningkatkan
neurotransmiter , meningkatkan stimulasi saraf dan menormalkan kembali saraf yang
supersensitif. Proses ini membutuhkan waktu dan menjelaskan mengapa aksi obat
antidepresan tidak terjadi secara segera dan cepat.
3. Hipotesis permisif
Menurut teori ini: kontrol emosi diperoleh dari keseimbangan antara serotonin
dan noradrenalin. Serotonin memiliki fungsi regulasi terhadap noradrenalin yaitu
menentukan kondisi emosi depresi atau manik. Teori ini mempostulatkan : kadar
serotonin yang rendah dapat menyebabkan(permit) kadar noradrenalin menjadi tidak
normal yang dapat menyebabkan gangguan mood. Jika kadar serotonin rendah dan
noradrenalin rendah akan mengakibatkan depresi . Jika kadar serotonin rendah,
noradrenalin tinggi maka akan muncul gejala manik. Menurut hipotesis ini,
meningkatkan kadar 5-HT akan memperbaiki kondisi sehingga tidak muncul “bakat”
gangguan mood.
4. Dysregulation hypothesis
Gangguan depresi dan psikiatrik disebabkan oleh ketidateraturan neurotransmiter,
antara lain :
- Gangguan regulasi mekanisme homeostasis
- Gangguan pada ritmik sirkadian
- Gangguan pada sistem regulasi sehingga terjadi penundaan level neurotransmiter
untuk kembali ke baselin (Maramis, 2009).

6. Gejala, Episode, dan Tipe Depresi


a. Gejala depresi
 Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang dan berat) :

42
1. Afek depresi
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
 Gejala lainnya :
a. Konsentrasi dan perhatian kurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan, sedang dan berat hanya digunakan untuk
episode untuk episode tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya harus
diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (PPDGJ III,
2001).
b. Episode depresi
• Depresi ringan: terdapat minimal 2 dari 3 gejala utama + minimal 2 gejala lain
• Depresi sedang: terdapat minimal 2 dari 3 gejala utama+ minimal 3 (sebaiknya 4)
gejala lain
• Depresi berat: terdapat 3 gejala utama + minimal 4 gejala lain, dengan / tanpa gejala
psikotik (PPDGJ III,2001).
c. Tipe depresi
Tipe Depresi Definisi
1. Episode depresi Depresi yang baru pertama kali muncul
2. Depresi berulang Depresi yang muncul kemudian dan
sebelumnya memiliki riwayat berulang

43
3. Gangguan afektif bipolar Depresi yang didapat sekarang, sebelumnya
ada riwayat manik.
4. Skizoafektif tipe depresif Depresi yang bersama-sama dengan gejala
(Skizodepresif) psikotik yang nyata
5. Depresi yang menyertai - Gangguan mental organik
- Gangguan medik umum

7. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Status Mental pada Skenario


• Hipoaktif (hipokinesis)
Hipoaktif merupakan suatu keadaan menurunnya aktivitas motorik dan kognitif
seperti pada retardasi pikomotorik. Proses pikir, pembicaraan, dan gerakan juga menjadi
lambat. Hipoaktif dapat dijumpai pad pasien yang sedang mengalami depresi
(Nuhriawangsa, 2011).
• Remming
Remming merupakan suatu keadaan dimana arus hubungan yang terjadi menjadi
lambat sebagai akibat dari adanya kesedihan seperti yang terjadi dalam keadaan depresi.
Terjadi hambatan pengucapan kata-kata dalam kalimat yang dibicarakan pasien. Remming
juga dapat disebabkanoleh pengaruh dari annxietas dan preokupasi atau berbagai gangguan
otak termasuk sindroma prefrontal dan paska kontusio serta delirium (Nuhriawangsa, 2011).
• Mood Depresi
Mood adalah keadaaan suasana hati yang menetap dan subjektif yang dilaporkan
oleh pasien, bersifat lebih menetap dan lebih fleksibel dalam jangka waktu tertentu. Mood
dapat diartikan juga sebagai suatu suasana hati yang dialami seseorang dalam dirinya, tidak
termasuk ekpresi keluar dari suasana hati yang ada dalam diri orang tersebut. Ciri khas
mood adalah bentuk emosi yang digambarkan dalam ekspresi sedih, susah, senang, gembira,
marah, cemas, dan lain-lain (Nuhriawangsa, 2011).
Mood depresi (dalam arti sempit) merupakan perasaan sedih yang bersifat
psikopatologis. Keadaan mood yang berkisar antara susah atau tidak gembira tahap rendah
sampai ke kemurungan yang nyata dan keputusasaan. Pada tingkat yang ekstrim biasanya

44
disertai pesimisme yang mencolok dan kurangnya harapan masa depan. Keadaan mental
atau emosi pasien berada di bawah normal, tipe melankolik yang sedang, berperangai
murung dan muram (Nuhriawangsa, 2011).
• Afek Menyempit
Afek adalah suasana perasaan emosional yang terkait pada objek, gagasan, atau
pikiran, termasuk yang dirasakan dalam hati dan manifestasi keluarnya. Emosi atau perasaan
yang ditunjukkan oleh pasien dapat diamati oleh orang lain sehingga merupakan gejala yang
objektif (tanda) yang dapat dilihat pada saat pemeriksaan psikiatrik (Nuhriawangsa, 2011).
Pada afek menyempit (constricted), terdapat pengurangan intensitas suasana
perasaan yang tidak begitu berat dibandingkan dengan afek tumpul, tetapi pengurangan yang
terjadi cukup jelas (Nuhriawangsa, 2011).
• Insight (Tilikan Diri) derajat 5
Tilikan adalah kemampuan seseorang untuk memahami sebab sesungguhnya dan
arti dari suatu situasi (termasuk di dalamnya dari gejala itu sendiri) (Nuhriawangsa, 2011).
Dalam arti luas, tilikan sering disebut sebagai wawasan diri, yaitu pemahaman seseorang
terhadap kondisi dan situasi dirinya dalam konteks realitas sekitarnya. Dalam arti sempit
merupakan pemahaman pasien terhadap penyakitnya. Tilikan terganggu artinya kehilangan
kemampuan untuk memahami kenyataan obyektif akan kondisi dan situasi dirinya. Tilikan
diri derajat 5 menandakan pasien menyadari penyakitnya dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya.

8. Pemeriksaan Status Mental dan Pemeriksaan Penunjang yang Terkait dengan


Skenario
a. Pemeriksaan Status Mental
Episode Depresif :
 Deskripsi umum : Retardasi psikomotor menyeluruh merupakan gejala yang paling
umum, walaupun agitasi psikomotor juga sering ditemukan khususnya pada pasien lansia.
Secara klasik, seorang pasien depresi memiliki postur yang membungkuk tidak terdapat
pergerakan spontan, pandangan mata yang putus asa dan memalingkan pandangan.
 Mood, afek dan perasaan : Pasien tersebut sering kali dibawa oleh anggota keluarganya
atau teman kerjanya karena penarikan sosial dan penurunan aktifitas secara menyeluruh.

45
 Bicara : Banyak pasien terdepresi menunjukkan suatu kecepatan dan volume bicara yang
menurun, berespon terhadap pertanyaan dengan kata tunggal dan menunjukkan yang
lambat terhadap suatu pertanyaan.
 Gangguan Persepsi : Pasien terdepresi dengan waham atau halusinasi dikatakan
menderita episode depresi berat dengan ciri psikotik. Waham sesuai mood pada pasien
terdepresi adalah waham bersalah, memalukan, tidak berguna, kemiskinan, kegagalan,
kejar, dan penyakit somatik terminal.
 Pikiran : Pasien terdepresi biasanya memiliki pandangan negatif tentang dunia dan
dirinya sendiri. Isi pikiran mereka sering kali melibatkan perenungan tentang kehilangan,
bersalah, bunuh diri, dan kematian. Kira – kira 10% memiliki gejala jelas gangguan
berpikir, biasanya penghambatan pikiran dan kemiskinan isi pikiran.
 Sensorium dan Kognisi : Daya ingat, kira – kira 50 – 70% dari semua pasien terdepresi
memiliki suatu gangguan kognitif yang sering kali dinamakan pseudodemensia depresif,
dengan keluhan gangguan konsentrasi dan mudah lupa.
 Pengendalian Impuls : Kira – kira 10 – 15% pasien terdepresi melakukan bunuh diri dan
kira – kira dua pertiga memiliki gagasan bunuh diri. Resiko meninggi untuk melakukan
bunuh diri saat mereka mulai membaik dan mendapatkan kembali energi yang diperlukan
untuk merencanakan dan melakukan suatu bunuh diri (bunuh diri paradoksikal /
paradoxical suicide).
 Reliabilitas : Semua informasi dari pasien terlalu menonjolkan hal yang buruk dan
menekankan yang baik.
Episode Manik :
 Deskriksi Umum : Pasien manik adalah tereksitasi, banyak bicara, kadang – kadang
mengelikan dan sering hiperaktif. Suatu waktu mereka jelas psikotik dan terdisorganisasi,
memerlukan pengikatan fisik dan penyuntikan intra muskular obat sedatif.
 Mood, afek dan perasaan : Pasien manik biasanya euforik dan lekas marah. Mereka
memiliki toleransi frustasi yang rendah, yang dapat menyebabkan perasaan kemarahan
dan permusuhan. Secara emosional adalah labil, beralih dari tertawa menjadi lekas marah
menjadi depresi dalam beberapa menit atau jam.
 Bicara : Pasien manik tidak dapat disela saat mereka bicara dan sering kali rewel dan
penganggu bagi orang – orang disekitarnya. Saat keadaan teraktifitas meningkat

46
pembicaraan penuh gurauan, kelucuan, sajak, permainan kata – kata dan hal – hal yang
tidak relefan. Saat tingkat aktifitas meningkat lagi, asosiasi menjadi longgar, kemampuan
konsentrasi menghilang, menyebabkan gagasan yang meloncat – loncat (flight of idea),
gado – gado kata dan neologisme. Pada kegembiraan manik akut pembicaraan mungkin
sama sekali inkoheren dan tidak dapat membedakan dari pembicaraan skizofrenik.
 Gangguan Persepsi : Waham ditemukan pada 75% dari semua pasien manik. Waham
sesuai mood seringkali melibatkan kesehatan, kemampuan atau kekuatan yang luar biasa.
Dapat juga ditemukan waham dalam halusinasi aneh yang tidak sesuai mood.
 Pikiran : Isi pikirannya termasuk tema kepercayaan dan kebesaran diri, sering kali
perhatiannya mudah dialihkan. Fungsi kognitif ditandai oleh aliran gagasan yang tidak
terkendali cepat.
 Sensorium dan Kognisi : Secara kasar orientasi dan daya ingat adalah intak walaupun
beberapa pasien manik mungkin sangat euforik sehingga mereka menjawab secara tidak
tepat. Gejala tersebut disebut “mania delirium” (delirious mania) oleh Emil Kraepelin.
 Pengendalian Impuls : Kira – kira 75% pasien manik adalah senang menyerang atau
mengancam.
 Perimbangan dan Tilikan : Gangguan pertimbangan merupakan tanda dari pasien manik.
Mereka mungkin melanggar peraturan dengan kartu kredit, aktifitas seksual dari
finansial, kadang melibatkan keluarganya dalam kejatuhan finasial.
 Reliabilitas : Pasien manik terkenal tidak dapat dipercaya dalam informasinya.
b. Pemeriksaan penunjang
1) Tes skrining
The US Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan orang
dewasa menjalani tes skrining untuk depresi dalam praktik klinis yang dapat menjamin
pengelolaan yang tepat, USPSTF menemukan bukti yang cukup untuk
merekomendasikan terhadap skrining rutin anak-anak atau remaja untuk depresi. Hal ini
penting untuk memahami bahwa hasil yang diperoleh dari penggunaan setiap skala
rating depresi tidak sempurna dalam berbagai populasi, terutama populasi geriatri.
Tes skrining paling sederhana adalah satu pertanyaan: Apakah anda depresi?
Sebuah analisis dikumpulkan menemukan bahwa skrining pertanyaan tunggal memiliki
spesifisitas 97% tetapi, sensitivitas secara keseluruhan dari 32% dan, dengan demikian,

47
akan mengidentifikasi hanya 3 dari setiap 10 pasien dengan depresi dalam perawatan
primer.
Berikut test 2-pertanyaan alamat perasaan depresi dan anhedonia:
• Selama sebulan terakhir, anda telah terganggu oleh merasa sedih, tertekan, atau
putus asa?
• Selama sebulan terakhir, anda telah terganggu oleh sedikit minat atau kesenangan
dalam melakukan sesuatu?
Dalam sebuah studi cross-sectional, 2 pertanyaan skrining ini menunjukkan sensitivitas
97% dan spesifisitas 67%.
Instrumen skrining laporan diri lebih lanjut untuk depresi adalah sebagai berikut:

- PHQ-9 - Skala depresi 9-item dari Patient Health Questionnaire, setiap item
mencetak 0 sampai 3, menyediakan 0-27 keparahan skor
- Beck Depression Inventory (BDI) - Sebuah skala gejala-rating 21-pertanyaan
- BDI untuk perawatan primer - Skala 7-pertanyaan diadaptasi dari BDI
- Zung Self-Penilaian Skala Depresi - Sebuah survei 20 item
- Skala Pusat Studi Epidemiologi Depresi (CES-D) - Sebuah instrumen 20-item
yang memungkinkan pasien untuk mengevaluasi perasaan mereka, perilaku,
dan pandangan dari minggu sebelumnya
Berbeda dengan skala laporan diri di atas, Hamilton Depression Rating Scale
(HDRs) dilakukan oleh seorang profesional, bukan pasien dilatih. The HDRs memiliki
17 atau 21 item, mencetak skor 0-2 atau 0-4, total skor 0-7 dianggap normal, sedangkan
skor 20 atau lebih tinggi mengindikasikan depresi cukup parah.
Geriatric Depression Scale (GDS), meskipun dikembangkan untuk orang dewasa
yang lebih tua, juga telah divalidasi pada orang dewasa yang lebih muda. The GDS
terdiri dari 30 item, sebuah bentuk singkat GDS memiliki 15 item.
Mengingat bahwa presentasi atipikal umum depresi pada populasi lanjut usia
dapat menantang bahkan dokter paling berpengalaman, skala penilaian pada orang tua
harus digunakan dan ditafsirkan hanya dalam konteks pemeriksaan yang lebih teliti
untuk depresi. Pasien dengan gangguan depresi mayor sering mengeluh memori

48
buruk atau konsentrasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh depresi itu sendiri atau ke
demensia yang mendasari.
Pada pasien yang lebih tua dengan demensia, Skala Cornell untuk Depresi pada
Demensia dapat digunakan untuk menentukan kategori dan tingkat keparahan depresi.
Dokter melengkapi skala berdasarkan observasi sebelumnya dan wawancara dengan
pasien dan pengasuh pasien.
2) Pemeriksaan Laboratorium untuk Menyingkirkan Penyebab Organik
Depresi adalah diagnosis klinis, berdasarkan riwayat dan temuan fisik. Tidak ada
tes laboratorium diagnostik yang tersedia untuk mendiagnosis penyakit depresi, namun
pemeriksaan laboratorium terfokus mungkin berguna untuk mengecualikan potensi
penyakit medis yang mungkin hadir sebagai gangguan depresi mayor. Pemeriksaan
laboratorium dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Sel darah lengkap (CBC) count
2. Thyroid-stimulating hormone (TSH)
3. Vitamin B-12
4. Rapid plasma reagin (RPR)
5. Tes HIV
6. Elektrolit, termasuk kalsium, fosfat, dan kadar magnesium
7. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin
8. Tes fungsi hati (LFT)
9. Kadar alkohol dalam darah
10. Skrining toksikologi darah dan urin
11. Gas darah arteri (ABG)
12. Uji supresi deksametason (penyakit Cushing, tetapi juga positif dalam depresi)
13. Cosyntropin (ACTH) tes stimulasi (penyakit Addison)
3) Neuroimaging
Neuroimaging dapat membantu memperjelas sifat dari penyakit neurologis yang
dapat menghasilkan gejala psikiatrik, tetapi pemeriksaan ini mahal dan mungkin nilai
dipertanyakan pada pasien tanpa defisit neurologis diskrit. Computed tomography (CT)
atau magnetic resonance imaging (MRI) otak harus dipertimbangkan jika terdapat
sindrom otak organik atau hipopituitarisme termasuk dalam diagnosis diferensial.

49
Positron emission tomography (PET) pencitraan menyediakan sarana untuk
pemeriksaan reseptor mengikat ligan tertentu dan efek senyawa pada reseptor. Namun,
PET bermasalah untuk digunakan dengan anak-anak dan remaja karena membutuhkan
peralatan yang rumit dan menggunakan radiasi.
Menggunakan single-photon emisi computed tomography (SPECT), Tutus et al.
melaporkan perbedaan yang signifikan antara nilai indeks perfusi dari remaja yang tidak
diobati dengan depresi dan orang-orang dari pasien kontrol. Para peneliti menemukan
bahwa remaja dengan gangguan depresi mayor mungkin memiliki defisit aliran darah
regional di anterofrontal kiri dan meninggalkan daerah korteks temporal, dengan perfusi
asimetri kanan-kiri lebih besar dibandingkan pasien kontrol sehat (Halverson, 2013).

9. Penatalaksanaan Depresi
a. Terapi Fisik dan Terapi Perubahan Perilaku
ELECTRO CONVULSIVE THERAPY ( ECT )
ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi
semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh
diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita
dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan
risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek.
Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa kondisi
tindakan ECT merupakan kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan :
- Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun )

- Masih sekolah atau kuliah

- Mempunyai riwayat kejang

- Psikosis kronik

- Kondisi fisik kurang baik

- Wanita hamil dan menyusui

Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada : penderita yang menderita epilepsi,


TBC milier, tekanan tinggi intra kracial dan kelainan infark jantung.

50
Depresi berisiko kambuh manakala penderita tidak patuh, ketidaktahuan,
pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter, dan tidak nyaman dengan efek samping obat.
Terapi ECT dapat menjadi pilihan yang paling efektif dan efek samping kecil.
Terapi perubahan perilaku meliputi penghapusan perilaku yang mendorong terjadinya
depresi dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai metode dapat dilakukan
seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy) yang biasanya dilakukan oleh konselor,
psikolog dan psikiater (Depkes RI, 2007).

b. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola
perilaku. maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional
antara terapis dengan penderita.
Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara individu,
kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik yang mendasarinya.
Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati, pengertian dan
optimisme. Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat
dipengaruhi oleh penilaian dari dokter atau penderitanya (Depkes RI, 2007).

c. Farmakoterapi
1) Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik)
Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan noradrenalin dari
sela sinaps di ujung-ujung saraf.
Efek samping :
-Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls jantung dengan perubahan
ECG, pada overdosis dapat terjadi aritmia berbahaya.
-Efek anti kolinergik ; akibat blokade reseptor muskarin dengan menimbulkan antara lain
mulut kering, obstipasi, retensi urin, tachycardia, serta gangguan potensi dan akomodasi,
keringat berlebihan.
-Sedasi

51
-Hipotensi ortostatis dan pusing serta mudah jatuh merupakan akibat efek antinoradrenalin,
hal ini sering terjadi pada penderita lansia, mengakibatkan gangguan fungsi seksual.
-Efek antiserotonin; akibat blokade reseptor 5HT postsinaptis dengan bertambahnya nafsu
makan dan berat badan.
-Kelainan darah; seperti agranulactose dan leucopenia, gangguan kulit
-Gejala penarikan; pada penghentian terapi dengan mendadak dapat timbul antara lain
gangguan lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala dan otot.
Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik :
• Imipramin
Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard akut
Interaksi Obat : anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular, hipotensi, gangguan untuk
mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
• Klomipramin
Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan maksimum dosis 250 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung,
kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit.
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuro adrenergik, dapat
meningkatkan efek kardiovaskular dari noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan aktivitas
dari obat penekan SSP, alkohol.
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi dengan
beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP, anti kolinergik, penghambat
reseptor serotonin selektif, antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah dan fungsi hati,
gangguan untuk mengemudi.
• Amitriptilin
Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-300 mg
sehari.
Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum tulang,
kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.

52
Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, bersama depresan SSP
seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan
depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin meniadakan efek
antihipertensi.
Perhatian : ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun, glakuoma,
kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi.
• Lithium karbonat
Dosis lazim : 400-1200 mg dosis tunggal pada pagi hari atau sebelum tidur malam.
Kontra Indikasi : kehamilan, laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung.
Interaksi Obat : diuretik, steroid, psikotropik, AINS, diazepam, metildopa, tetrasiklin,
fenitoin, carbamazepin, indometasin.
Perhatian : Monitor asupan diet dan cairan, penyakit infeksi, demam, influenza,
gastroentritis.

2) Antidepresan Generasi ke-2


Mekanisme kerja :
• SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini menghambat resorpsi
dari serotonin.
• NaSA ( Noradrenalin and Serotonin Antidepressants ): Obat-obat ini tidak berkhasiat
selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin. Terdapat beberapa
indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI
Antidepressan generasi ke-2, antara lain:
 Fluoxetin
Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis tunggal
atau terbagi.
Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat, penggunaan
bersama MAO.
Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, anti depresan,
triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma.
Perhatian : penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati dan ginjal, gagal
jantung, jangan mengemudi / menjalankan mesin.

53
 Sertralin
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin.
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui, mengurangi
kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin.
 Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri.
 Fluvoxamine
Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis
300 mg.
Interaksi Obat : warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO, insufiensi
hati, tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan laktasi.
 Mianserin
Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90 mg/ hari
Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati.
Interaksi Obat : mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan dengan atau
dalam 2 minggu penghentian terapi.
Perhatian : dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi, diabetes, insufiensi
hati, ginjal, jantung.
 Mirtazapin
Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin.
Interaksi Obat : dapat memperkuat aksi pengurangan SSP dari alkohol, memperkuat efek
sedatif dari benzodiazepine, MAO.
Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organic, insufiensi hati, ginjal, jantung, tekanan
darah rendah, penderita skizofrenia atau gangguan psikotik lain, penghentian terapi secara

54
mendadak, lansia, hamil, laktasi, mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan
mesin.
 Venlafaxine
Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari.
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis hati,
penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita mendapat dosis harian
> 200 mg.
3) Antidepresan MAO.
Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor, MAOI)
 Farmakologi
Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi
luas dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin biogenik, seperti norepinefrin,
epinefrin, dopamine, serotonin. MAOI menghambat sistem enzim ini, sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi amin endogen.
Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B. Kedua
enzim ini memiliki substrat yang berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap
inhibitor. MAO-A cenderungan memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan
serotonin, sedangkan MAO-B memetabolisme benzilamin dan fenetilamin. Dopamin dan
tiramin dimetabolisme oleh kedua isoenzim. Pada jaringan syaraf, sistem enzim ini
mengatur dekomposisi metabolik katekolamin dan serotonin. MAOI hepatic
menginaktivasi monoamin yang bersirkulasi atau yang masuk melalui saluran cerna ke
dalam sirkulasi portal (misalnya tiramin).
Semua MAOI nonselektif yang digunakan sebagai antidepresan merupakan
inhibitor ireversibel, sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk mengembalikan
metabolisme amin normal setelah penghentian obat. Hasil studi juga mengindikasikan
bahwa terapi MAOI kronik menyebabkan penurunan jumlah reseptor (down regulation)
adrenergik dan serotoninergik.
 Farmakokinetik
Absorpsi/distribusi – Informasi mengenai farmakokinetik MAOI terbatas. MAOI

55
tampaknya terabsorpsi baik setelah pemberian oral. Kadar puncak tranilsipromin dan
fenelzin mencapai kadar puncaknya masing-masing dalam 2 dan 3 jam. Tetapi, inhibisi
MAO maksimal terjadi dalam 5 sampai 10 hari.
Metabolisme/ekskresi – metabolisme MAOI dari kelompok hidrazin (fenelzin,
isokarboksazid) diperkirakan menghasilkan metabolit aktif. Inaktivasi terjadi terutama
melalui asetilasi. Efek klinik fenelzin dapat berlanjut sampai 2 minggu setelah
penghentian terapi. Setelah penghentian tranilsipromin, aktivitas MAO kembali dalam 3
sampai 5 hari (dapat sampai 10 Hari). Fenelzin dan isokarboksazid dieksresi melalui urin
sebagian besar dalam bentuk metabolitnya. Populasi khusus – “asetilator lambat”:
Asetilasi lambat dari MAOI hidrazin dapat memperhebat efek setelah pemberian dosis
standar.

 Indikasi
Depresi: Secara umum, MAOI diindikasikan pada penderita dengan depresi atipikal
(eksogen) dan pada beberapa penderita yang tidak berespon terhadap terapi antidpresif
lainnya. MAOI jarang dipakai sebagai obat pilihan.

 Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap senyawa ini; feokromositoma; gagal jantung kongestif;
riwayat penyakit liver atau fungsi liver abnormal; gangguan ginjal parah; gangguan
serebrovaskular; penyakit kardiovaskular; hipertensi; riwayat sakit kepala; pemberian
bersama dengan MAOI lainnya; senyawa yang terkait dibenzazepin termasuk
antidepresan trisiklik, karbamazepin, dan siklobenzaprin; bupropion; SRRI; buspiron;
simpatomimetik; meperidin; dekstrometorfan; senyawa anestetik; depresan SSP;
antihipertensif; kafein; keju atau makanan lain dengan kandungan tiramin tinggi (Depkes
RI, 2007).

3) Serotonin dan Norepinephrin Reuptake Inhibitors (SNRIs)

56
Menurut Mayo Clinic (2012) SNRIs ini efektif untuk mengurangi gejala dari
depresi. SNRIs juga sering digunakan untuk beberapa kondisi lain seperti kecemasan dan
nyeri saraf.

 Kerja SNRIs

SNRIs bekerja dengan mempengaruhi neurotransmiter yang biasanya digunakan


dalam komunikasi antar sel-sel otak. Seperti kebanyakan antidepresan, SNRIs bekerja
dengan merubah tingkatan salah satu atau beberapa neurotransmiter di dalam otak.

SNRIs menghambat pengambilan ulang dari neurotransmiter serotonin dan


norepinefrin di otak. Selain itu SNRIs juga menghambat beberapa neurotransmiter
spesifik di otak. Merubah keseimbangan beberapa neurotransmiter ini biasanya akan
membantu otak dalam menerima dan mengirimkan sinyal, sehingga merubah mood.
Obat-obatan yang berada dalam kelompok obat ini.

Beberapa contoh obat SNRIs yang sudah diakui dapat efektif dalam pengobatan depresi,
adalah

 Duloxetine (Cymbalta)

 Venlafaxine (Effexor XR)

 Desvenlafaxine (Pristiq)

 Efek samping

Efek samping yang biasa terjadi

 Mual
 Mulut kering
 Pusing
 Berkeringat
 Lemah

Efek samping yang lain adalah

57
 Kesulitan dalam buang air kecil
 Konstipasi
 Hilang napsu makan

10. Pencegahan Depresi


Menurut Mayo Clinic (2012), tidak ada cara pasti untuk mencegah depresi.
Namun, mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan stres, meningkatkan ketahanan
diri dan untuk meningkatkan kepercayaan diri yang rendah dapat membantu. Persahabatan
dan dukungan sosial, terutama di saat krisis, dapat membantu pasien melalui masa-masa
sulit. Selain itu, pengobatan pada gejala awal dapat membantu mencegah depresi yang
memburuk. Pengobatan pemeliharaan jangka panjang juga dapat membantu mencegah
kekambuhan gejala depresi.

11. Apakah Kepribadian Dapat Diubah dan Cara yang Dilakukan Bila Dapat Diubah
pada Kasus Depresi.
Suatu penelitian dalam mempelajari efek paroxetine SSRI ( Paxil dan Seroxat )
dalam uji coba terkontrol plasebo yang melibatkan 240 orang dewasa dengan gangguan
depresi mayor. Pasien yang memakai paroxetine mengalami perbaikan depresi cukup besar
dibandingkan pasien yang menerima plasebo. Namun, orang yang memakai paroxetine
mengalami penurunan jauh lebih besar dalam neurotisisme (kecenderungan untuk
mengalami emosi negatif dan ketidakstabilan emosional) dan peningkatan ekstraversi
(kecenderungan untuk mengalami emosi positif) dibandingkan pasien yang menerima
plasebo. SSRI mungkin dapat dipandang sebagai agen normalisasi - kepribadian, berguna
dalam mengobati berbagai gangguan yang berkaitan dengan neurotisisme tinggi dan
extraversi rendah (Fellman, 2009).

58
BAB III
KESIMPULAN

Pasien datang dengan keluhan kurang lebih 1 bulan tidak bisa tidur, tidak ada nafsu
makan, sering menyendiri di kamar. Bila diajak bicara, pasien menjawab dengan suara pelan.
Dari alloanamnesis diketahui bahwa pasien pernah mengalami gangguan serupa kurang lebih 1
tahun yang lalu dan sembuh sendiri setelah 9 bulan. Sedangkan hasil pemeriksaan mental
diperoleh hipoaktif, remming, mood depresi, afek menyempit, dan insight (tilikan diri) derajat 5.
Temuan ini memperjelas dalam mengarahkan penegakan diagnosis, yaitu cenderung kearah
depresi berulang dengan episode kini berat dengan tidak ada gangguan psikotik.
Depresi adalah keadaan mood yang berkisar antara susah atau tidak gembira tahap rendah
sampai ke kemurungan yang nyata dan keputusasaan di mana pada tingkat yang ekstrim biasanya
disertai pesimisme yang mencolok dan kurangnya harapan masa depan. Pemeriksaan yang
dilakukan, yaitu pemeriksaan status mental dan pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan
dalam mendukung menegakkan diagnosis diantaranya tes skrining, pemeriksaan laboratorium,
dan neuroimaging.
Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi terapi fisik menggunakan electro convulsive
therapy (ECT) dan terapi perubahan perilaku menggunakan metode cognitive behavior therapy
(CBT). Selain itu juga bisa diberikan psikoterapi untuk menghilangkan atau mengurangi
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif
Pemberian obat berupa golongan antidepressan klasik, generasi kedua, dan MAOI.

59
BAB IV
SARAN
Penegakan diagnosis dalam psikiatri peroleh dari anamnesis baik dengan pasien secara
langsung maupun dengan pengantar pasien (alloanamnesis) pada pemeriksaan status mental.
Dari anamnesis tersebut bisa didapatkan keterangan tentang riwayat penyakit dan gejala yang
dialami pasien. Oleh karena itu, diperlukan penguasaan mahasiswa tentang penguasaan
simptomatologis psikiatri lebih mendalam. Sehingga dalam pelaksanaan tutorial, kegiatan
diskusi berjalan lebih lancar. Pencegahan pada depresi sangatlah penting dengan
menengendalikan stress, meningkatkan ketahanan diri, dan meningkatkan percaya diri.

60
DAFTAR PUSTAKA

Centers of Disease Control and Prevention (CDC). 2010. Current depression among adults in
United states 2006 and 2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.59 (38): 1229-35.
DepkesRI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresif.
www.binfar.depkes.go.id/bmsimages/1361517835.pdf. Diakses tanggal 25 November
2013.
Elvira, S.D., Hadisukanto, G. 2010. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Fellman, Megan. 2009. Antidepressant Can Change a Patient’s Personality: Personality change might be very
important to long-term treatment outcome..
http://www.northwestern.edu/newscenter/stories/2009/12/tang.html#sthash.Zk1qLn33.dpuf. Diakses
tanggal 25 November 2013.
Halverson, Jerry L. 2013. Depression Workup. http://emedicine.medscape.com/article/286759-
workup. Diakses tanggal 25 November 2013.
Hardywinoto, Setiabudi, T., 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek. Jakarta:
PT Gramedia.
Harvard Mental Health Letter. 2009. Sleep Mental
Health.http://www.health.harvard.edu/newsletters/Harvard_Mental_Health_Letter/2009/J
uly/Sleep-and-mental-health. Diakses tanggal 26 November 2013.
Japardi, Iskandar. 2010. Gangguan tidur. Dalam Hand Book of Psikiatri. Surakarta: Kesuma.
Kane. 1999. Essentials of Clinical Geriatrics 4th Edition.USA : McGrow-Hill Companies, pp.
231-45.
Kaplan, Harold I., et al. 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Jilid Satu. Tanggerang:
Binarupa Aksara.
Landefeld. 2004. Current Geriatric Diagnosis and Treatment. USA : McGrow- Hill. pp. 156-60.
Lesler, Zayas, C., 2001. Comprehensive Geriatric Assessment. USA : McGraw Hill Companies.
pp. 465-75.
Maramis, Willy F dan Maramis Albert. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:
Airlangga University Press.
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa , Rujukan Ringkas PPDGJ- III. Jakarta: Nuh Jaya.

61
Mayo Clinic 2012. Depression (major depression): prevention.
http://www.mayoclinic.com/health/depression/DS00175/DSECTION=prevention.
Diakses tanggal 25 November 2013.
Mayo Clinic. 2013. Serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs).
http://www.mayoclinic.com/health/antidepressants/MH00067. Diakses tanggal 25
November 2013.
Nevid, JS. Rathus, SA, Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Nuhriawangsa, Ibrahim. 2011. Symtomatologi Psikiatri. Surakarta: FK UNS.
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatri. 9thed .
Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.
Susilohati, Mardiatmi. 2013. Ketrampilan Pemeriksaan Psikiatri: Hubungan Dokter- Pasien
Teknik Wawancara. Dalam Buku Pedoman Ketrampilan Klinis. Surakarta: FK UNS.
Unutzer, J., 2007. Late Life Depression. N Eng J Med 357:2269-76. Available from :
http://content.nejm.org//cgi/content/full/357/22/2269. Diakses tanggal 25 November
2013.

62

Anda mungkin juga menyukai