Anda di halaman 1dari 35

ASKEP ORAL THRUSH (KANDIDIASIS)

MAKALAH INDIVIDU SISTEM PENCERNAAN

ORAL THRUSH

Di susun oleh :
Nama : Windayona Hadi Prasetya
NIM : 1002108
Prodi : SI/ IIA

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA


TAHUN AJARAN 2011/2012

1. LATAR BELAKANG
Kandidiasis (moniliasis) adalah suatu infeksi oleh jamur Candida, yang sebelumnya disebut
Monilia. Kandidiasis oral atau sering disebut sebagai moniliasis merupakan suatu infeksi
yang paling sering dijumpai dalam rongga mulut manusia, dengan prevalensi 20%-75%
dijumpai pada manusia sehat tanpa gejala. Kandidiasis pada penyakit sistemik menyebabkan
peningkatan angka kematian sekitar 71%-79%. Terkadang yang diserang adalah bayi dan
orang dewasa yang tubuhnya lemah. Pada bayi bisa didapat dari dot, pakaian, bantal,
dan sebagainya.

Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa lesi merah dan lesi
putih yang disebabkan oleh jamur jenis Candida sp, dimana Candida albican merupakan jenis
jamur yang menjadi penyebab utama. Kandidiasis oral pertama sekali dikenalkan oleh
Hipocrates pada tahun 377 SM, yang melaporkan adanya lesi oral yang kemungkinan
disebabkan oleh genus Kandida. Terdapat 150 jenis jamur dalam famili Deutromycetes, dan
tujuh diantaranya ( C.albicans, C.tropicalis, C. parapsilosi, C. krusei, C. kefyr, C. glabrata,
dan C. guilliermondii ) dapat menjadi patogen, dan C. albicanmerupakan jamur terbanyak
yang terisolasi dari tubuh manusia sebagai flora normal dan penyebab infeksi oportunistik.
Terdapat sekitar 30-40% Kandida albikan pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada
neonatus, 45-65% pada anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu
lepasan, 65-88% pada orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada
pasien leukemia akut yang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS

Penyakit ini kemudian diteliti lagi oleh Pepy. Beliau melihat jamur itu pada
moniliasis/candidiasis/sariawan pada bayi yang disebutnya oral thrush, sehingga ia
menamakan jamur itu thrush fungus. Veron (1835) menghubungkan penyakit pada bayi
tersebut dengan infeksi pada saat dilahirkan dengan sumber infeksi dari alat kandungan
ibunya. Berg (1840) berkesimpulan bahwa alat minum yang tidak bersih dan tangan perawat
yang tercemar jamur merupakan faktor penting dalam penyebarab infeksi ini. Berdasarkan
bentuknya yang bulat lonjong dan berwarna putih diberikanlah nama Oidium Albicans.
Nama oidium kemudian berubah menjadi monilia. Beberapa nama peneliti mencoba
mempelajarinya, antara lain Wilkinson yang menghubungkannya dengan vaginatis. Akhirnya
Berkhout (1923) menamakan jamur itu dalam genus candida.

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Mulut
Mulut merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan.
Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem
pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi
oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang
(molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari
kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim
pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya
lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan
dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.

3. DEFINISI
Oral trush adalah adanya bercak putih pada lidah, langit – langit dan pipi bagian dalam
(Wong : 1995). Bercak tersebut sulit untuk dihilangkan dan bila dipaksa untuk diambil maka
akan mengakibatkan perdarahan. Oral Trush ini sering disebut juga denagn oral candidiasis
atau moniliasis, dan sering terjadi pada masa bayi. Seiring dengan bertambahnya usia, angka
kejadian makin jarang, kecuali pada bayi yang mendapatkan pengobatan antibiotik atau
imunosupresif (Nelson, 1994: 638)
Oral Trush ini kadang sulit dibedakan dengan sisa susu, terutama pada bayi yang
mendapatkan susu formula (Pengganti air Susu Ibu – PASI). Sisa susu yang berupa lapisan
endapan putih tebal pada lidah bayi ini dapat dibersihkan dengan kapas lidi yang dibasahi
dengan air hangat.
Oral trush ini juga harus denagn stomatitis. Stomatitis merupakan inflamasi dan ulserasi pada
membran mukosa mulut. Anak yang mengalami stomatitius biasanya tidak mau makan atau
minum (M. Scharin, 1994: 448).

4. ETIOLOGI
Oral thrush dan infeksi Candida lainnya dapat terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah oleh karena penyakit atau obat-obatan seperti prednison, atau ketika antibiotik
mengganggu keseimbangan alami mikroorganisme dalam tubuh.

Biasanya sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mengusir invasi organisme berbahaya, seperti
virus, bakteri dan jamur, sambil mempertahankan keseimbangan antara mikroba "baik" dan
"buruk" yang biasanya menghuni tubuh.

Tetapi kadang-kadang mekanisme pelindung gagal, sehingga dapat


memungkinkan infeksi oral thrush terus berlanjut.

Penyakit-penyakit yang dapat membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi kandidiasis mulut
(oral trush), antara lain:

1. HIV/AIDS
Virus human immunodeficiency (HIV) merupakan virus penyebab AIDS, yang dapat
menimbulkan kerusakan atau menghancurkan sel-sel sistem kekebalan tubuh. Sehingga
membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi oportunistik yang biasanya tubuh akan menolak.
Serangan berulang dari oral trush mungkin merupakan tanda pertama dari infeksi HIV.

2. Kanker
Jika seseorang menderita kanker, sistem kekebalan tubuhnya mungkin akan melemah oleh
karena penyakit kanker tersebut dan karena perawatan penyakit, seperti kemoterapi dan
radiasi. Penyakit kanker dan perawatan penyakit ini dapat meningkatkan risiko infeksi
Candida seperti oral thrush
3. Diabetes mellitus
Jika seseorang menderita diabetes yang tidak diobati atau diabetes yang tidak terkontrol
dengan baik, air liur (saliva) mungkin akan mengandung sejumlah besar gula, sehingga dapat
mendorong pertumbuhan candida.

4. Infeksi jamur vagina


Infeksi jamur vagina yang disebabkan oleh jamur yang sama dapat menyebabkan candidiasis
mulut. Meskipun infeksi jamur tidak berbahaya, jika seseorang sedang hamil maka jamur
dapat menular pada bayi selama persalinan. Akibatnya, bayi tersebut juga dapat mengalami
oral thrush.

5. GEJALA KLINIS
1. Pada anak-anak dan dewasa

Awalnya, seseorang mungkin tidak menyadari gejala oral trush. Tergantung pada penyebab,
tanda dan gejala dapat terjadi tiba-tiba dan bertahan untuk waktu yang lama. Gejala-gejala
tersebut, antara lain:

a. Lesi putih atau krem di lidah, pipi bagian dalam, langit-langit mulut, gusi, dan amandel
(tonsil)
b. Lesi menyerupai keju
c. Nyeri
d. Sedikit perdarahan jika lesi digosok atau tergores
e. Pecah-pecah dan kemerahan pada sudut mulut (terutama pada pemakai gigi tiruan)
f. Sensasi seperti terdapat kapas pada mulut
g. Kehilangan selera makan

Pada kasus yang berat, lesi dapat menyebar ke bawah ke kerongkongan dan esofagus
(Candida esophagitis). Jika hal ini terjadi, pasien mungkin akan mengalami kesulitan
menelan atau merasa seolah-olah makanan terjebak di tenggorokan.
2. Pada bayi dan ibu menyusui
Selain lesi mulut khas berwarna putih, bayi mungkin juga memiliki kesulitan makan atau
rewel dan mudah marah. Bayi dapat menularkan infeksi tersebut kepada ibu mereka selama
menyusui. Wanita yang payudaranya terinfeksi candida mungkin mengalami tanda-tanda dan
gejala, antara lain:

a. Puting berwarna sangat merah, sensitif, dan gatal


b. Terdapat serpihan kulit di daerah berwarna gelap yang melingkari puting (areola)
c. Puting terasa sakit saat menyusui
d. Sakit yang tajam jauh di dalam payudara

6. PATOFISIOLOGI
Proses infeksi dimulai dengan perlekatan Candida sp. pada sel epitel vagina. Kemampuan
melekat ini lebih baik pada C.albicans daripada spesies Candida lainnya. Kemudian, Candida
sp. mensekresikan enzim proteolitik yang mengakibatkan kerusakan ikatan-ikatan protein sel
pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida sp. juga mengeluarkan
mikotoksin –diantaranya gliotoksin– yang mampu menghambat aktivitas fagositosis dan
menekan sistem imun lokal. Terbentuknya kolonisasi Candida sp. memudahkan proses invasi
tersebut berlangsung sehingga menimbulkan gejala pada pejamu.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Laboratorium : ditemukan adanya jamur candida albicans pada swab mukosa
b. Pemeriksaan endoskopi : hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan dengan
pemberian flukonazol.
c. Dilakukan pengolesan lesi dengan toluidin biru 1% topikal dengan swab atau kumur.
d. Diagnosa pasti dengan biopsi
8. PENATALAKSANAAN
Terdiri dari 2 cara :
1) Medik /pengobatan
Memberikan obat antijamur, misalnya :a. Miconazol : mengandung miconazole 25 mg per
ml, dalam gel bebas gula. Gel miconazole dapat diberikan ke lesi setelah makan.b.Nystatin :
tiap pastille mengandung 100.000 unit nistatin. Satu pastille harus dihisap perlahan-lahan 4
kali sehari selama 7-14 hari. Pastille lebih enak daripada sediaan nistatin lain. Nistatin ini
mengandung gula.
2) Keperawatan
Masalah dari oral thrush pada bayi adalah bayi akan sukar minum dan risiko terjadi diare.
Upaya agar oral thrush tidak terjadi pada bayi adalah mencuci bersih botol dan dot susu,
setelah itu diseduh dengan air mendidih atau direbus hingga mendidih (jika botol tahan rebus)
sebelum dipakai.
Apabila di bangsal bayi rumah sakit, botol dan dot dapat disterilkan dengan autoclaff dan
hendaknya setiap bayi menggunakan dot satu-satu atau sendiri-sendiri tetapi apabila tidak
memungkinkan atau tidak cukup tersedia hendaknya setelah dipakai dot dicuci bersih dan
disimpan kering, nanti ketika akan dipakai seduh dengan air mendidih.
Bayi lebih baik jangan diberikan dot kempong karena selain dapat menyebabkan oral thrush
juga dapat mempengaruhi bentuk rahang.Jika bayi menetek atau menyusu ibunya, untuk
menghindari oral thrush sebelum menyusu sebaiknya puting susu ibu dibersihkan terlebih
dahulu atau ibu hendaknya selalu menjaga kebersihan dirinya.Adanya sisa susu dalam mulut
bayi setelah minum juga dapat menjadi penyebab terjadinya oral thrush jika kebetulan ada
bakteri di dalam mulut.
Untuk menghindari kejadian tersebut, setiap bayi jika selesai minum susu berikan 1-2 sendok
teh air matang untuk membilas sisa susu yang terdapat pada mulut tersebut.Apabila oral
thrush sudah terjadi pada anak dan sudah diberikan obat, selain menjaga kebersihan mulut
berikanlah makanan yang lunak atau cair sedikit-sedikit tetapi frekuensinya sering dan setiap
habis makan berikan air putih dan usahakan agar sering minum.Oral thrush dapat dicegah
dengan selalu menjaga kebersihan mulut dan sering-seringlah minum apalagi sehabis makan.
Sariawan dapat sembuh dengan sendirinya, kecuali sariawan akibat jamur yang harus diobati
dengan obat antijamur. Masa penyembuhan relatif lama, yaitu seminggu. Jika tak segera
diobati, dapat berkelanjutan meski hanya menyebar di sekitar mulut saja. Tapi jamur yang
tertelan dan melewati pembuluh darah, juga bisa menyebabkan diare.
Saat sariawan, biasanya si kecil enggan makan atau minum. Berikut kiat untuk membantunya
mendapatkan asupan yang dibutuhkan:
 Suapi makannya dengan menggunakan sendok secara perlahan-lahan. Usahakan minum
menggunakan sedotan dan gelas, untuk menghindari kontak langsung dengan sariawan serta
tak menimbulkan gesekan dan trauma lebih lanjut.
 Berikan makanan yang bertekstur lembut dan cair, pada intinya yang mudah ditelan dan
disuapi. Hindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin, agar tidak menambah luka.

 Makanan yang banyak mengandung vitamin C dan B serta zat besi, dapat memercepat proses
penyembuhan. Misalnya buah-buahan dan sayuran hijau. Kekurangan vitamin C dapat
memudahkan si kecil mengalami sariawan.

 Olesi bagian yang sariawan dengan madu.Jika telah diberi obat, biasanya obat kumur, tetapi
tak juga sembuh, kemungkinan ada penyebab lain. Misalnya kuman yang telah bertambah,
pemakaian obat dengan dosis tak tepat, atau cara memberi makanan yang membuat sariawan
si kecil kembali mengalami trauma di lidah.

Bisa juga lantaran daya tahan tubuh anak yang rendah. Biasanya anak yang sering sariawan,
lebih banyak akibat daya tahan tubuhnya rendah dan kebersihan mulut dan gigi yang tak
terjaga.
9. PENCEGAHAN
Tidak ada cara untuk mencegah terpajan pada kandida. Obat-obatan tidak biasa dipakai untuk
mencegah kandidiasis. Ada beberapa alasan: Penyakit tersebut tidak begitu bahaya. Ada obat-
obatan yang efektif untuk mengobati penyakit tersebut. Ragi dapat menjadi kebal (resistan)
terhadap obat-obatan. Memperkuat sistem kekebalan tubuh dengan terapi antiretroviral
(ART) adalah cara terbaik untuk mencegah jangkitan kandidiasis.

10. EPIDEMIOLOGI
Kolonisasi candida oral telah dilaporkan berkisar dari sekitar 40% sampai 70% dari anak
yang sehat dan dewasa, dengan tingkat lebih tinggi diamati antara anak-anak dengan gigi
karies dan orang dewasa yang lebih tua memakai gigi palsu. Candida kereta tingkat telah
terbukti juga meningkatkan dengan terapi radiasi kanker, diabetes, dan infeksi
HIV. kolonisasi Candida dapat menyebabkan infeksi oportunistik mukosa serta
disebarluaskan dan multi-sistem keterlibatan organ dalam immunocompromised
orang.Tingkat infeksi telah dilaporkan sebagai 50% selama kemoterapi, 70% selama terapi
radiasi, dan 90% pada infeksi HIV.
Agen antijamur yang sering digunakan selama radiasi dan kemoterapi untuk mencegah
infeksi oportunistik di antara pasien di bawah perawatan untuk kanker. Selain itu,
pengenalan yang sangat aktif anti-retroviral telah menyebabkan penurunan kejadian
kandidiasis oral dan dalam kasus penyakit refrakter antara orang yang terinfeksi HIV. Efek
menguntungkan dari ARV mungkin melalui efeknya pada pemulihan kekebalan dan
kolonisasi orofaringeal lebih rendah dari spesies Candida atau efek penghambatan langsung
pada organisme ragi.
11. KOMPLIKASI
Apabila oral thrush tidak segera ditangani atau diobati maka akan menebabkan kesukaran
minum(menghisap puting susu atau dot) sehingga akan berakibat bayi kekurangan
makanan.Oral thrush tersebut dapat mengakibatkan diare karena jamur dapat tertelan dan
menimbulkan infeksi usus yang bila dibiarkan dan tidak diobati maka bayi akan terserang
diare.
Diare juga dapat terjadi apabila masukan susu kurang pada waktu yang lama.
12. ASKEP

3.1 Pengkajian
Anamnesa
Identitas Anak
Nama : An. N
Umur : 18 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS : 15 Desember 2010
Alamat : Surabaya
Identitas Orang tua
Nama Ayah : Tn. R
Nama Ibu : Ny. P
Pekerjaan Ayah/Ibu : PNS
Pendidikan Ayah/Ibu : S.1
Agama : Islam
Alamat : Surabaya
Riwayat Sakit dan Kesehatan
Keluhan utama
Anak N menangis terus (kemungkinan dikarenakan rasa nyeri di mulut dan tubuhnya yang
panas).
Riwayat penyakit saat ini
Anak N menangis terus sejak kemarin, suhu tubuhnya meningkat, pada mulut terdapat bercak
putih serta tidak mau minum ASI.
Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Anak N tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak keluarga yang mengalami penyakit seperti ini.
Riwayat Nutrisi
Minum ASI hanya sedikit.
Riwayat Pertumbuhan
BB sebelum sakit : 12 kg
BB saat sakit : 10 kg
Riwayat Perkembangan
Psikoseksual : Toileting : anak lebih sering mengompol
Psikososial : Anak sering menangis dan sulit bicara
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital : Suhu : 38,5oC
Nadi : 110x/menit
RR : 30 x/menit
Tekanan darah : 99/65 mmHg
B1 (breathing) : normal
B2 (blood) : normal
B3 (brain) : normal
B4 (bladder) : normal
B5 (bowel) : Timbul rasa nyeri dan perih di sekitar mulut, anak tidak mau minum ASI.
B6 (bone) : normal
3.2 Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : anak menangis Kandidasis Hipertermi
DO: T : 38,5oC
Proses infeksi

pelepasan medaitor inflamasi:


bradikinin, histamine, dan
prostatglandin

Suhu tubuh meningkat

DS : anak menangis DO: Kandidiasis Nyeri akut


timbul bercak putih pada
mulut, timbul bercak Timbul bercak putih
kemerahan mengandung
eksudat Menggumpal menutup
permukaan lidah

Gejala semakin memberat

Timbul bercak kemerahan dan


mengandung eksudat

DS: anak menangis DO: Kandidiasis Perubahan nutrisi kurang


Anak tidak mau minum dari kebutuhan
ASI, BB turun dari 12 Nyeri pada mulut
kg menjadi 10 kg, porsi
makan selalu tidak habis Tidak nafsu makan

Diagnosa Keperawatan
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi yang menghasilkan bentukan berwarna merah
dan mengandung eksudat
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan nafsu makan

Intervensi Keperawatan
Diagnosa : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan : Suhu tubuh kembali normal
Kriteria hasil : -Anak tidak menangis
-Suhu tubuh normal : 36,5-37,5oC
Intervensi Rasional
Berikan kompres dingin di sekitar Di ketiak dan lipatan paha terdapat
lipatan misalnya ketiak, lipatan paha banyak pembuluh darah besar.
Hipertermi mengalami vasodilatasi
sehingga harus diberi kompres dingin
agar terjadi vasokonstriksi
Beri anak banyak minum air putih atau Peningkatan suhu tubuh
susu lebih dari 1000 cc/hari mengakibatkan penguapan tubuh
meningkat sehingga perlu diimbangi
dengan asupan cairan yang banyak.
Suhu ruangan harus diubah untuk
Ciptakan suasana yang nyaman (atur mempertahankan suhu mendekati
ventilasi) normal
Pakaian tipis membantu mengurangi
Anjurkan keluarga untuk tidak penguapan tubuh
memakaikan selimut dan pakaian yang
tebal pada anak Digunakan untuk mengurangi demam
Kolaborasi : pemberian obat anti dengan aksi sentralnya pada
mikroba, antipiretik pemberian cairan hipotalamus, meskipun demam
parenteral mungkin dapat berguna dalam
membatasi pertumbuhan organisme
dan meningkatkan autodestruksi dari
sel-sel yang terinfeksi
Tanda vital merupakan acuan untuk
mengetahui keadaan anak setelah
Evaluasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, dilakukan tindakan keperawatan
pernafasan) setiap 3 jam

Diagnosa : Nyeri akut yang berhubungan dengan proses infeksi yang menghasilkan bentukan
berwarna merah dan mengandung eksudat
Tujuan : Nyeri berkurang
Kriteria hasil: Anak tidak menangis, anak tampak rileks
Intervensi Rasional
Anjurkan ibu untuk menggendong dan Anak akan merasa nyaman dalam
menenangkan si anak misalnya dekapan ibunya
mengelus-elus kepalanya
Ajarkan teknik distraksi pada orang tua Mengalihkan perhatian anak
misalnya dengan memberikan anak terhadap nyeri
mainan
Beri analgesik sesuai indikasi Menghilangkan/mengurangi nyeri
Evaluasi status nyeri, catat lokasi, Memastikan kondisi anak setelah
karakteristik, frekuensi, waktu dan dilakukan tindakan keperawatan
beratnya (skala 0-10)

Diagnosa : Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
penurunan nafsu makan.
Tujuan : Nafsu makan anak kembali normal
Kriteria hasil : -Anak mau minum ASI
-Anak tidak menangis
-Nutrisi terpenuhi 1000 kkal
Intervensi Rasional
Beri nutrisi dalam keadaan lunak, porsi
1. Memberikan nutrisi yang adekuat
sedikit tapi sering 2. Mencegah kerusakan integritas pada mukosa
Menghindari makanan dan obat-obatan mulut
atau zat yang dapat menimbulkan reaksi
3. ASI merupakan nutrisi untuk anak dan dapat
alergi pada rongga mulut meningkatkan sistem imun anak
Anjurkan pada ibu untuk terus berusaha
4. Membantu klien untuk memenuhi nutrisi enteral
memberikan ASI untuk anak
Kolaborasi pemasangan NGT jika anak
tidak dapat makan dan minum peroral

13. ASPEK LEGAL ETIS


• Autonomy (penentu pilihan)
Perawat yang mengikuti prinsip autonomi menghargai hak klien untuk mengambil keputusan
sendiri. Dengan menghargai hak autonomi berarti perawat menyadari keunikan induvidu
secara holistik.

• Non Maleficence (do no harm)


Non Maleficence berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi
kliennya. Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagaian besar kode etik keperawatan. Bahaya
dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko membahayakan, dan bahaya yang tidak
disengaja.

• Beneficence (do good)


Beneficence berarti melakukan yang baik. Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan
dengan baik, yaitu, mengimplemtasikan tindakan yang mengutungkan klien dan keluarga.

• Justice (perlakuan adil)


Perawat sering mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.

• Fidelity (setia)
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh seseorang.

• Veracity (kebenaran)
Veracity mengacu pada mengatakan kebenaran. Sebagian besar anak-anak diajarkan untuk
selalu berkata jujur, tetapi bagi orang dewasa, pilihannya sering kali kurang jelas.

14. PENDKES

SATUAN ACARA PENYULUHAN


(SAP)

Tema : Penyakit oral thrush


Sub Tema : Perawatan oral thrush
Sasaran : Ny. E
Tempat : Bangsal Di rumah sakit
Hari/Tanggal : Rabu, 14 Oktober 2011
Waktu : 20 Menit

A. Tujuan Instruksional Umum


Setelah mengikuti penyuluhan selama 20 menit, diharapkan Ny. E dapat menjelaskan oral
thrush.

B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti penyuluhan selama 20 menit, diharapkan Klien Dapat:
 Menjelaskan pengertian penyakit oral thrush dengan benar
 Menjelaskan patofisiologi oral thrush
 Menyebutkan faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit oral thrush
 Menyebutkan tanda/gejala dari penyakit oral thrush
 Menjelaskan penatalaksanaan oral thrust

C. Materi
1. Pengertian oral thrush
2. Patofisiologi penyakit oral thrush
3. Faktor penyebab dari oral thrush
4. Tanda/gejala penyakit oral thrush
5. Penatalaksanaan penyakit oral thrush

D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab

E. Kegiatan Penyuluhan
No Kegiatan Penyuluh Peserta Waktu

1. Pembukaan  Salam pembuka  Menjawab salam


 Menyampaikan tujuan  Menyimak,
5 Menit
penyuluhan Mendengarkan, menjawab
pertanyaan
2. Kerja/ isi  Penjelasan pengertian,  Mendengarkan dengan
penyebab, gejala, penuh perhatian
penatalaksanaan dan  Menanyakan hal-hal yang
patofisiologi penyakit oral belum jelas
thrush  Memperhatikan jawaban 10 menit
 Memberi kesempatan dari penceramah
peserta untuk bertanya  Menjawab pertanyaan
 Menjawab pertanyaan
 Evaluasi

 Menyimpulkan  Mendengarkan
3. Penutup 5 Menit
 Salam penutup  Menjawab salam

F. Media
1. Leaflet : Tentang penyakit oral thrush
2. Poster tentang penyakit oral thrush

G. Sumber/Referensi
a. Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
d. Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.

H. Evaluasi
Formatif :
 Klien dapat menjelaskan pengertian oral thrush
 Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit oral thrush
 Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit oral thrush
 Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan oral thrush

Sumatif :
 Klien dapat memahami penyakit oral thrush

Yogyakarta, Rabu 13 Oktober 2011


` Penyuluh

(Windayona Hadi Prasetya)

15. JURNAL

Title:Growth of Candida albicans hyphae


Author(s):Peter E. Sudbery
Source:Nature Reviews Microbiology. 9.10 (Oct. 2011): p737. From Gale Education,
Religion and Humanities Lite Package.
Document Type:Report
DOI:http://dx.doi.org/10.1038/nrmicro2636
Abstract:
The fungus Candida albicans is often a benign member of the mucosal flora; however, it
commonly causes mucosal disease with substantial morbidity and in vulnerable patients it
causes life-threatening bloodstream infections. A striking feature of its biology is its ability to
grow in yeast, pseudohyphal and hyphal forms. The hyphal form has an important role in
causing disease by invading epithelial cells and causing tissue damage. This Review
describes our current understanding of the network of signal transduction pathways that
monitors environmental cues to activate a programme of hypha-specific gene transcription,
and the molecular processes that drive the highly polarized growth of hyphae.
Full Text:
Candida albicans is a commensal fungus that is frequently a benign member of the skin and
mucosal flora. However, C. albicans can cause disease of mucosal membranes (1,2).
Vulvovaginal candidiasis is commonplace and may affect up to 75% of women at least once
in their lifetime (3). A small subset of women (5-10%) experience chronic recurrent episodes
that substantially affect their quality of life. Patients with AIDS are prone to oral and
oesophageal candidiasis and such infections are also commonly associated with oral cancers,
the use of dentures and terminally ill patients who fail to produce sufficient saliva (2).
Patients suffering from burns and newborn (especially premature) babies are also subject to
C. albicans skin infections. In vulnerable groups of patients and frail patients in intensive care
units, C. albicans can cause a bloodstream infection known as candidaemia, which can
develop into disseminated candidiasis when the infection spreads to internal organs (4).
Candidaemia and disseminated candidiasis are extremely serious medical conditions with
mortality rates documented in different surveys of between 30-50%; some surveys have
found them to be the second most common cause of death from nosocomial infections (5-8).
A striking feature of C. albicans is its ability to grow either as a unicellular budding yeast or
in filamentous pseudohyphal and hyphal forms (9,10) (FIG. 1). Pseudohyphae are
morphologically distinguishable from hyphae because pseudohyphae have constrictions at the
sites of septation and are wider than hyphae. By contrast, hyphae form long tube-like
filaments with completely parallel sides and no constrictions at the site of septation (FIG. 1).
As discussed later, there are also fundamental differences between hyphae and pseudohyphae
in their cell cycle organization and mechanisms of polarized growth. The morphological
plasticity of C. albicans is a virulence determinant, as the hyphal form has key roles in the
infection process (BOX 1). During mucosal infections, the hyphal forms invade epithelial and
endothelial cells and cause damage, probably through the release of hydrolytic enzymes (11-
14). Access to the bloodstream to establish candidaemia requires penetration of mucosal
barriers, whereas infection of internal organs requires penetration of endothelia. In vitro
studies with both reconstituted epithelia and endothelia show that it is specifically the hyphal
form that is invasive (11). In addition, biopsy samples from patients with mucosal infection
show that only hyphal forms are found in epithelial cells (15). Furthermore, when yeast cells
are engulfed by macrophages they escape by switching to the hyphal form (16). Despite these
documented roles of hyphae during infection, whether the hyphal form is necessary for
virulence is still controversial (BOX 2).
In the past 10 years, important technical advances have facilitated the investigation of the cell
and molecular biology of hyphal induction and growth, and of hyphal interactions with the
human host. These advances include the availability of genomic and transcriptomic sequence
data, improvements in the genetic toolbox (reviewed in REF. 17) and advances in live cell
imaging. Our understanding has been enhanced by studies in model fungal organisms such as
the budding yeast Saccharomyces cerevisiae and filamentous species such as Neurospora
crassa and Aspergillus nidulans. This Review describes how these studies are providing
increasing information about the signal transduction pathways that induce hyphal growth, the
molecular and cell biology of hyphal growth itself, the role of hyphal growth during the
infection process and the way that the host responds to such infections.
Controlling hyphal gene transcription
Environmental cues inducing hyphal growth. C. albicans is exquisitely adapted to growth in
its human host and forms hyphae under a range of environmental conditions that reflect the
diversity of the microenvironments that it encounters in the host. For instance, hyphae form
in response to the presence of serum (18), neutral pH (19), 5% C[O.sub.2] (the partial
pressure of C[O.sub.2] in the bloodstream)20, N-acetyl-D-glucosamine (GlcNAc) (21) and
growth in an embedded matrix or in microaerophilic conditions under a coverslip in strains
lacking the transcriptional regulator enhanced filamentous growth protein 1 (Efg1) (22,23). In
addition, hyphal growth is often induced in synthetic growth media such as Lee's medium
(which contains a mixture of amino acids) (24), Spider medium (a semi-synthetic medium
based on mannitol as a carbon source)25 and mammalian tissue culture media such as M199.
Generally, hyphal growth requires a temperature of 37 [degrees]C; an exception is
filamentation in an embedded matrix and hypoxic growth, which occurs at 25 [degrees]C.
The serum and 37 [degrees]C combination generates a powerful and robust signal for germ
tube formation from yeast cells and forms the basis for a classic diagnostic test for the
presence C. albicans in medical microbiology.

Source Citation
Sudbery, Peter E. "Growth of Candida albicans hyphae." Nature Reviews Microbiology 9.10
(2011): 737+. Gale Education, Religion and Humanities Lite Package. Web. 23 Nov. 2011.
Document URL
http://go.galegroup.com/ps/i.do?id=GALE%7CA268651930&v=2.1&u=kpt05106&it=r&p=
GPS&sw=w

Gale Document Number: GALE|A268651930

DAFTAR PUSTAKA
a. Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
d. Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.
e. http://go.galegroup.com/ps/retrieve.do?sgHitCountType=None&sort=DA-
SORT&inPS=true&prodId=GPS&userGroupName=kpt05106&tabID=T002&searchId=R2&
resultListType=RESULT_LIST&contentSegment=&searchType=BasicSearchForm&current
Position=1&contentSet=GALE%7CA268651930&&docId=GALE|A268651930&docType=
GALE&role=SP01
f. www.pisangkipas.wordpress.com
g. www.softdental.com/.../Oral_Candidiasis

HIPOSPADIA

MAKALAH INDIVIDU SISTEM PERKEMIHAN


ASKEP KLIEN DENGAN HIPOSPADIA

Disusun oleh :
Nama : Windayona Hadi Prasetya
NIM : 1002108

PROGRAM S1 KEPERAWATAN
STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA
TA 2012/2013

A. DEFINISI
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra yang terletak di sebelah
ventral penis dan sebelah prokimal ujung penis.

Hipospadia merupakan salah satu dari kelainan congenital paling sering pada genitalia laki
laki, terjadi pada satu dalam 350 kelahiran laki-laki, dapat dikaitkan dengan kelainan
kongenital lain seperti anomali ginjal, undesensus testikulorum dan genetik seperti sindroma
klinefelter.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

ORGAN REPRODUKSI PRIA

Dibedakan menjadi organ kelamin luar dan organ kelamin dalam.

Organ reproduksi luar terdiri dari :

Penis merupakan organ kopulasi yaitu hubungan antara alat kelamin jantan dan betina untuk
memindahkan semen ke dalam organ reproduksi betina. Penis diselimuti oleh selaput tipis
yang nantinya akan dioperasi pada saat dikhitan/sunat.

Penis terdiri dari:


Akar (menempel pada dinding perut)
Badan (merupakan bagian tengah dari penis)
Glans penis (ujung penis yang berbentuk seperti kerucut).Lubang uretra (saluran tempat
keluarnya semen dan air kemih) terdapat di umung glans penis.
Terdapat 2 rongga yang berukuran lebih besar disebut korpus kavernosus,
terletak bersebelahan.
Rongga yang ketiga disebut korpus spongiosum, mengelilingi uretra.Jika terisi darah, maka
penis menjadi lebih besar, kaku dan tegak (mengalami ereksi).
Scrotum merupakan selaput pembungkus testis yang merupakan pelindung testis serta
mengatur suhu yang sesuai bagi spermatozoa.

Organ reproduksi dalam terdiri dari :


Testis merupakan kelenjar kelamin yang berjumlah sepasang dan akan menghasilkan sel-sel
sperma serta hormone testosterone. Dalam testis banyak terdapat saluran halus yang disebut
tubulus seminiferus. Testis terletak di dalam skrotum.Testis memiliki 2 fungsi, yaitu
menghasilkan sperma dan membuat testosteron (hormon seks pria yang utama).
Epididimis merupakan saluran panjang yang berkelok yang keluar dari testis. Berfungsi untuk
menyimpan sperma sementara dan mematangkan sperma.
Vas deferens merupakan saluran panjang dan lurus yang mengarah ke atas dan berujung di
kelenjar prostat. Berfungsi untuk mengangkut sperma menuju vesikula seminalis.
Saluran ejakulasi merupakan saluran yang pendek dan menghubungkan vesikula
seminalis dengan urethra.
Vesikula seminalis merupakan tempat untuk menampung sperma sehingga disebut dengan
kantung semen, berjumlah sepasang. Menghasilkan getah berwarna kekuningan yang kaya
akan nutrisi bagi sperma dan bersifat alkali. Berfungsi untuk menetralkan suasana asam
dalam saluran reproduksi wanita.
Urethra merupakan saluran panjang terusan dari saluran ejakulasi dan terdapat di
penis. Uretra punya 2 fungsi yaitu Bagian dari sistem kemih yang mengalirkan air kemih dari
kandung kemih. Bagian dari sistem reproduksi yang mengalirkan semen.
Kelenjar pada organ reproduksi pria
1. Kelenjar Prostat merupakan kelenjar yang terbesar dan menghasilkan getah putih yang
bersifat asam.
2. Kelenjar Cowper’s/Cowpery/Bulbourethra merupakan kelenjar yang menghasilkan getah
berupa lender yang bersifat alkali. Berfungsi untuk menetralkan suasana asam dalam saluran
urethra.
C. ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab
pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling
berpengaruh antara lain :

1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon


Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis
kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam tubuh
yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah terbentuk
cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek
yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen tidak
mencukupi pun akan berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen
yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang
menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.

3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke
glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.

4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.

5. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.

6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.

7. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.

8. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).

9. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.

10. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis

11. Penis melengkung ke bawah

12. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis

13. Jika berkemih, anak harus duduk.

14. Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu suatu
jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glands penis.
Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus spongiosum dan tunika
dartos. Walaupun adanya chordee adalah salah satu ciri khas untuk mencurigai suatu
hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia memiliki chordee.
E. PATOFISIOLOGI
Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi
karena adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai
minggu ke 14. Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus
terbuka pada permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak
seperti kap atau menutup.

PERKEMBANGAN EMBRIONIK DARI HIPOSPADIA


Perkembangan dari penis dan skrotum dipengaruhi oleh testis. Tanpa adanya testis, maka
struktur wanita seperti klitoris, labia minora dan labia mayora dominan, tetapi dengan adanya
testis, klitoris membesar menjai penis, sulkus antara labia minora terbentuk menjadi uretra
dan labia mayora berkembang menjadi skrotum, ke dalam sana testis kemudian turun.
Hipospadia terjadi jika sel testis yang berkembang secara premature berhenti memproduksi
androgen, karena itu menimbulkan interupsi konversi penuh dari genitalia eksterna menjadi
bentuk laki laki.

F. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI HIPOSPADIA
1. Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior
a. Hipospadia Glandular
b. HipospadiaSubcoronal

2. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah


a. Hipospadia Mediopenean
b. Hipospadia Peneescrotal
3. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior
a. Hipospadia Perineal

Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :

1. Tipe sederhana/ Tipe anterior


Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe ini, meatus
terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak
memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau
meatotomi.

2. Tipe penil/ Tipe Middle


Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai
dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga
penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan
tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di
bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan
sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.

3. Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan
skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
Klasifikasi hipospadia yang digunakan sesuai dengan letak meatus uretra yaitu tipe
glandular, distal penile, penile, penoskrotal, skrotal dan perineal.
Semakin ke proksinal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan semakin
rendah frekuensinya. Pada kasus ini 90% terletak di distal di mana meatus terletak di
ujung batang penis atau di glands penis. Sisanya yang 10% terletak lebih proksimal
yaitu ditengah batang penis, skrotum atau perineum. Berdasarkan letak muara uretra
setelah dilakukan koreksi korde, Brown membagi hipospadia dalam 3 bagian :
(1) Hipospadia anterior : tipe glanular, subkoronal, dan penis distal.
(2) Hipospadia Medius : midshaft, dan penis proksimal
(3) Hipospadia Posterior : penoskrotal, scrotal, dan perineal.

MASALAH PADA HIPOSPADIA

1. Masalah psikologis pada anak karena merasa malu akibat bentuk penis yang berbeda dengan
teman bermainnya.

2. Masalah reproduksi karena bentuk penis yang bengkok menyebabkan penis susah masuk ke
dalam vagina saat kopulasi, cairan semen yang disemprotkan melalui saluranuretra pada
tempat abnormal.

3. Kesulitan penentuan jenis kelamin terutama jika meatu uretra terletak di perineum dan
skrotum terbelah dengan disertai kriptorkismus.

4. Biaya yang cukup besar karena prosedur operasi yang bertahap

5. Kemungkinan adanya kelainan congenital yang lain seperti kelainan ginjal sehingga perlu
dianjurkan untuk pemerikaan foto polos abdomen dan pielografi intravena.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Meskipun dapat di diagnosis dengan menggunakan prenatal fetal ultrasonography,


Hipospadia biasanya di diagnosis pada saat bayi baru lahir dengan pemeriksaan fisik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan meatus urethra externus terletak lebih proksimal, kadang-
kadang disetai dengan atau tanpa chordee. Bila tidak terdapat chordee maka pengobatan
dapat ditangguhkan sampai umur 3-4 tahun untuk memastikan bahwa betul-betul tidak ada
chordee yang terjadi. Bila pada umur 4 tahun tak ada chordee, maka anak tersebut dapat di
sirkumsisi.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
yaitu urethtroscopydan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk
secara normal.Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas
kongenital pada ginjal dan ureter.

H. PENATALAKSANAAN
Dikenal banyak tehnik operai hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu :

1. Operasi pelepasan chordee dan tunneling


Dilakukan pada usia 1,5-2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi chordee dari muara
uretra sampai ke glands penis. Setelah eksisi chordee maka penis akan menjadi lurus tetapi
meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan eksisi dilakukan tes ereksi
buatan intraoperatif dengan menyuntikkan NaCL 0,9% kedalan korpus kavernosum.

2. Operasi uretroplasty
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian
ventral yang di insisi secara longitudinal pararel di kedua sisi.

Tujuan pembedahan :
1. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta
2. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel
pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus
masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian
dorsal dan kulit penis
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat
insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit
dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium
dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan
setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan
penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih
ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis
dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya
tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.

PRINSIP TERAPI DAN MANAGEMEN PERAWATAN


1. Koreksi bedah.
2. Persiapan prabedah
3. Penatalaksanaan pasca bedah
Anak harus dalam tirah baring
Baik luka penis dan tempat luka donor harus dijaga tetap bersih dan kering
Perawatan kateter
Pemeriksaan urin untuk memeriksa kandungan bakteri
Masukan cairan yang adekuat untuk mempertahankan aliran ginjal dan mengencerkan toksin
Pengangkatan jahitan kulit setelah 5-7 hari

I. EPIDEMIOLOGI

Hipospadia terjadi pada setiap 350 kelahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak
meatus, makin berat kelainan nya dan makin jarang frekuensinya. Klasifikasi dari
hipospadiyang sering dipakai adalah glandular, distal penile, penile, penoskrotal, scrotal, dan
perineal. Yang distal frekuensinya sampai 90% sedang yang penile, skotal, dan perineal
hanya 10%.

Di Amerika Serikat angka kejadian sekitar 3-8 diantara 1000 kelahiran bayi laki-laki dan
angkanya meningkat 2 kali lipat dari tahun 1970 hingga tahun 1993. Sedangkan sejak tahun
1998-2004 jumlah pasien yang telah di tangani Profesor Chaula sebanyak 350 orang. Di
Indonesia juga terjadi peningkatan insidens hipospadia, dari yang ada pada hahun 2006,
Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Kariadi Semarang rata-rata menangani enam pasien
hipospadia dalam sebulan atau lebih banyak dibanding tahun sebelumnya yang rata-rata
empat pasien perbulan.

Hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup di Amerika Serikat. Kelainan ini
terbatas pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan progestin selama kehamilan diduga
meningkatkan insidensinya. Jika ada anak yang hipospadia maka kemungkinan ditemukan
20% anggota keluarga yang lainnya juga menderita hipospadia. Meskipun ada riwayat
familial namun tidak ditemukan ciri genetik yang spesifik.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang biasa terjadi antara lain striktur uretra (terutama pada sambungan meatus
uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fistula.
1. Infertility
2. Resiko hernia inguinalis
3. Gangguan psikososial

Komplikasi paska pembedahan:

Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap,
dan edema.

Komplikasi lanjut

1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.

2. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.

3. Fistula uretrocutaneus

4. Striktur uretra

5. Adanya rambut dalam uretra

K. PROGNOSIS

Prognosis baik jika mendapatkan penanganan intensif dan cepat.

Usia muda lebih baik prognosisnya dibanding usia lebih tua.

L. PENCEGAHAN

Umumnya tidak dapat dicegah, karena penyakit ini adalah kelainan kongenital yang belum
diketahui pasti penyebabnya.
M. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.
c. Kaji fungsi perkemihan
d. Adanya lekukan pada ujung penis
e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f. Terbukanya uretra pada ventral
g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage.
2. Mental
a. Sikap pasien sewaktu diperiksa
b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
c. Tingkat kecemasan
d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasieN

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL


1. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur pembedahan
dan perawatan setelah operasi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter.
3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan
5. Risiko injuri berhubungan dengan pemasangan kateter atau pengangkatan kateter.

INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI


1. Diagnosa 1 dan 4
Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum operasi tentang
prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran tanda-tanda vital, dan
pemasangan kateter.
a. Kaji tingkat pemahaman orang tua.
b. Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan kateter
menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan kantong urin,
keamanan kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan.
c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu
pemberian.
d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis.
e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi (pre
dan post)

2. Diagnosa 2

Tujuan : mencegah infeksi


a. Pemberian air minum yang adekuat
b. Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran)
c. Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine
d. Monitor tanda-tanda vital
e. Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna
f. Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter
g. Pemberian antibiotik sesuai program

Diagnosa 3

Tujuan : meningkatkan rasa nyaman


a. Pemberian analgetik sesuai program
b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak
c. Monitor adanya “kink-kink” (tekukan pada kateter) atau kemacetan
d. Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya

4. Diagnosa 5
Tujuan : mencegah injuri
a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b. Gunakan “restrain” atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.
c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis.

Perencanaan pemulangan
1. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan.
2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.
3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).

N. SATUAN ACARA PENYULUHAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN


Tema : hipospadia

Sub Tema : Pencegahan hipospadia

Waktu Pertemuan : 60 menit

Hari, Tanggal : Kamis, 29 Oktober 2012

Pukul : 08.00 WIB- 09.00 WIB

Sasaran : Ny .Toni

Tempat : Kediaman Ny. Toni

I. Tujuan Instruksional Umum :


Setelah malakukan penyuluhan diharapkan Ny.Toni dapat mengerti tentang hipospadia

II. Tujuan Instruksional Khusus :

a. Ny.Toni mengetahui definisi hipospadia dengan benar


b. Ny.Toni jelas terhadap penyebab hipospadia dengan benar
c. Ny.Toni dapat memahami tanda dan gejala hipospadia dengan benar
d. Ny.Toni dapat mengetahui cara pencegahan hipospadia dengan benar

III. Pokok materi


a. Definisi hipospadia
b. Penyebab hipospadia
c. Tanda dan gejala hipospadia
d. Pencegahan hipospadia

IV. Metode : Ceramah dan tanya jawab


V. Kegiatan penyuluhan:

Kegiatan Penyuluh Audience waktu


Pendahuluan Memperkenalkan diri dan Memberikan 10 Menit
dan Apresiasi memberikan kesempatan pendapat yang
audience memberikan diketahuinya
pendapatnya
Isi Materi tentang hipospadia : Mendengarkan 35 Menit
Definisi hipospadia
Penyebab hipospadia
Tanda dan gejala hipospadia
Pencegahan hipospadia

Penutup Evaluasi kesimpulan Mendengarkan 15 menit


pemberian pesan dan dan bertanya
mengucapkan salam
penutup/tahapan terminasi

VI. Media : Power Point

VII. Evaluasi : Memberikan pertanyaan kepada Ny.Toni secara lisan.


- Bagaimana pencegahan penyakit hipospadia?
Yogyakarta, 06 Oktober 2012
Pembimbing Penyuluh

Diah Pujiastuti S. Kep . Ns Windayona Hadi Prasetya

O. JOURNAL
HypospadiasN. Djakovic, J. Nyarangi-Dix, A. Özturk, and M. Hohenfellner
Department of Urology, University of Heidelberg, Medical Center, 69120, Heidelberg,
GermanyReceived 30 May 2008; Accepted 9 September 2008
Academic Editor: Miroslav L. Djordjevic Copyright © 2008 N. Djakovic et al.
This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the
original work is properly cited.
Abstract
The great possibility of variations in the clinical presentation of hypospadia, makes its
therapy challenging. This has led to the development of a number of techniques for
hypospadia repair. This article assesses past and present concepts and operative techniques
with the aim of broadening our understanding of this malformation. Materials and Methods.
The article not only reviews hypospadia in general with its development and clinical
presentation as well as historical and current concepts in hypospadiologie on the basis of
available literature, but it is also based on our own clinical experience in the repair of this
malformation. Results and Conclusion. The fact that there are great variations in the
presentation and extent of malformations existent makes every hypospadia individual and a
proposal of a universal comprehensive algorithm for hypospadia repair difficult. The
Snodgrass technique has found wide popularity for the repair of distal hypospadias. As far as
proximal hypospadias are concerned, their repair is more challenging because it not only
involves urethroplasty, but can also, in some cases, fulfil the dimensions of a complex genital
reconstruction. Due to the development of modern operating materials and an improvement
in current surgical techniques, there has been a significant decrease in the complication rates.
Nonetheless, there still is room and, therefore, need for further improvement in this field.
Conclusion
Hypospadia surgery is challenging. The fact that there are wide variations in the presentation
and extent of malformations as well as tissue characteristics existent makes every hypospadia
individual and aproposal of a universal comprehensive algorithm for hypospadia repair
difficult.The Snodgrass technique has found wide popularity for the repair of distal
hypospadias. As far as proximal hypospadias are concerned, their repair is complex and could
in fact be seen as a form of genital reconstruction. This repair not only involves urethroplasty,
but also has its goal in achieving good cosmetic results with a straight normal-proportioned
penis and an orthotopic meatus in addition to the functional urethra. Even though the
complication rates have decreased, thanks to modern operating materials and an improvement
of current surgical techniques, there still is room and therefore need for further improvement
in this field.

DAFTAR PUSTAKA

Closkey JC & Bulechek. 1996. Nursing Intervention Classification. 2nd ed. Mosby Year
Book. IDAI, 2005,

Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Badan Pnerbit IDAI, Jakarta. Johnson M, dkk.
2000. Nursing Outcome Classification (NOC). Second edition. Mosby. NANDA. 2005-2006.
Nursing Diagnosis: Deffinition & Classification. Philadhelphia. Mansjoer A, dkk. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.

Media Aesculapius. Jakarta Purnomo, Basuki B, 2003, Dasar-Dasar Urologi, Jakarta , Sagung
Seto atzel, pincus dkk. 1990. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta : EGC.

Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta :
Hipokrates.

Anda mungkin juga menyukai