Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dapat menghasilkan suatu buangan
berupa zat padat, cair maupun gas. Buangan yang dihasilkan dapat menimbulkan
pengaruh terhadap kualitas lingkungan, baik menguntungkan maupun merugikan.
Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pengaruh yang merugikan, misalnya
pencemaran, perlu dilakukan suatu pengolahan. Limbah dapat diolah hingga memenuhi
standar effluen dalam suatu instalasi pengolahan air limbah. Dalam hal ini mahasiswa
teknik lingkungan diharuskan dapat mendesain suatu instalasi pengolahan air limbah.
Mata kuliah perencanaan bangunan pengolahan air limbah merupakan mata
kuliah wajib bagi mahasiswa tingkat 4 semester 7. Selain belajar teori dan hitungan
secara teoritis, mahasiswa juga dapat menambah pengetahuan dengan kuliah lapangan
mengunjungi site pengolahan air limbah karena pada kenyataannya di lapangan tidak
akan sama persis dengan hasil perhitungan secara teoritis.
Centralized Treatment Plant PT Lippo Karawaci Tbk merupakan salah satu
instalasi pengolahan air limbah domestik di Indonesia yang menggunakan sistem
lumpur aktif. Centralized Treatment Plant PT Lippo Karawaci Tbk melayani limbah
domestik milik warga sekitar Lippo Karawaci dan juga melayani limbah domestic
rumah sakit dan pusat perbelanjaan yang berada di sekitar kawasan Lippo Karawaci.

1.2 Tujuan
 Mengetahui kondisi lapangan suatu instalasi pengolahan air limbah.
 Mengetahui skema dan proses kerja unit - unit instalasi pengolahan air limbah
Lippo Karawaci
 Mengevaluasi sistem instalasi pengolahan air limbah Lippo Karawaci

1.3 Lokasi Dan Waktu Pelaksanaan


. Kuliah Lapangan ini dilaksanakan di Centralized Treatment Plant PT Lippo
Karawaci Tbk, 2121 Bulevard Gajah Mada #0101, Lippo Karawaci Utara, pada tanggal
21 Oktober 2010

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Air Limbah

Air buangan domestik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:


 Black Water, yaitu air buangan yang berasal dari toilet. Air buangan ini
berupa kotoran manusia.
 Grey Water, yaitu air buangan yang berasal dari kegiatan dapur, kamar
mandi, pencucian, dan sebagainya.
Pengolahan limbah dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :
 On site, yaitu limbah diolah pada sumber limbah.
 Off site, yaitu limbah diolah secara terpusat atau secara komunal.
Air limbah yang berasal dari bekas mandi, mencuci dan memasak umumnya
dibuang ke saluran drainase yang kemudian diterima oleh badan air atau sungai,
sehingga terjadi pencampuran dalam sistem pembuangan air hujan (drainase).
Sementara air limbah yang berbentuk tinja umumnya dialirkan ke septic tank atau
ke cubluk, meskipun sebagian kecil penduduk juga ada yang membuangnya ke
saluran drainase atau sungai.
Komponen air buangan yang mempengaruhi jumlah air buangan yang dihasilkan
suatu daerah sangat tergantung dari sistem penyaluran air buangan yang digunakan.
Komponen-komponen air buangan tersebut, yaitu :
a. Air Buangan Domestik, air buangan yang berasal dari pemukiman,
kegiatan komersial, institusi, dan fasilitas sejenis.
b. Air Buangan Industri, air buangan yang berasal dari industri yang ada di
daerah perencanaan.
c. Infiltrasi/inflow, infiltrasi adalah air buangan yang berasal dari air yang
masuk ke sistem penyaluran air buangan melalui sambungan yang bocor,
retakan-retakan, atau dinding yang porous. Inflow adalah air hujan yang
masuk ke sistem penyaluran air buangan dari drainase, gutter atap, atau
dari penutup manhole.
d. Storm water, air hujan atau lelehan salju.

2
2.2 Pengolahan Air Buangan
Secara garis besar pengolahan air buangan terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
1. Pengolahan tingkat pertama (Primary Treatment), yaitu pengolahan secara
fisis dengan tujun memisahkan benda–benda kasar, partikel– partikel
tersuspensi secara gravitasi
2. Pengolahan tingkat (Secondary Treatment), yaitu pengolahan secara biologis
dan kimiawi dengan tujuan untuk memisahkan substansi organik terlarut.
3. Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment), yaitu pengolahan lumpur yang
timbul dari unit–unit pengolahan sebelumnya, dengan mengurangi kadar air
yang dikandungnya sehingga volumenya lebih kecil dan lebih mudah untuk
dilakukan pengeringan

2.2.1 Pengolahan Tingkat I (Primary Treatment)

Pengolahan primer merupakan pengolahan secara fisik berupa perubahan bentuk


atau berat. Pada pengolahan ini tidak terjadi perubahan secara kimia. Proses
berlangsung pada mekanisme fisis dan diperhitungkan secara matematis.
 Sump Well
Berfungsi untuk menampung air buangan dari ujung pipa induk air
buangan sebelum dialirkan ke sistem pengolahan. Perencanaannya
bergantung pada system pemompaan berkaitan dengan fluktuasi air
buangan dan waktu detensi ( kurang dari 30 menit ) untuk mencegah
pengendapan dan dekomposisi air buangan.
 Saluran Pembawa
Berupa saluran terbuka, dapat juga saluran tertutup yang berfungsi
menyalurkan air buangan dari satu unit pengolahan ke unit pengolahan
lainnya. Berbentuk segiempat dan terbuat dari beton.
 Bar Screen
Berupa rangkaian kisi-kisi besi untuk menyaring benda-benda kasar yang
mengganggu proses pengolahan air buangan, juga melindungi pompa,
value dan perpipaan dari clogging. Screen merupakan lubang-lubang
seragam yang terdiri atas batang parallel, balok atau kawat, kisi / jeruji,
mata lubang, atau plat penuh lubang.

3
 Comminutor
Alat untuk menghancurkan atau memotong benda-benda kasar yang punya
ukuran tertentu yang ikut terbawa atau terapung dan loss dari bar screen
menjadi ukuran kecil tertentu atau hancur sama sekali.
 Grit Chamber
Bak untuk menangkap pasir supaya tidak ikut terbawa proses, sebab pasir
tidak dapat dihancurkan secara proses biologis.
 Proportional Weir
Perlengkapan yang diperlukan pada bangunan pengolah air buangan untuk
memudahkan pengoperasian dan pengontrolan besar aliran supaya tidak
terjadi penggerusan pasir yang mudah mengendap pada grit chamber.
 Bak Pengendap Pertama
Mengurangi kandungan suspended solid dan sebagian padatan organik
dalam air buangan ( antara 50%-65%) dan menurunkan BOD (25% - 40%)
yang berlangsung secara fisis tanpa pembubuh zat kimia. Lumpur endapan
masih mengandung material organic yang tinggi sehingga effluentnya
dialirkan ke thickener sedangkan filtrate dialirkan ke pengolahan
berikutnya. Bak pengendap I dibuat berbentuk persegi panjang agar
efisiensinya tinggi.
 Tangki Aliran Rata-rata
Tangki reservoir yang berfungsi untuk merata-ratakan aliran, konsentrasi /
beban. Dimana kondisi rata-rata ini akan bermanfaat untuk menghindari
‘shock loading‘ maupun masalah-masalah operasi akibat fluktuasi aliran.
2.2.2 Pengolahan Tingkat II (Secondary Treatment)

Unit pengolahan tergantung dari satuan proses dan operasi. Pemilihan


alternative didasarkan pada tingkat penyisihan ( > 90% ), konsistensi effluent, dan
kemampuan lain.

1. Proses lumpur aktif (activated sludge)


Sesudah dikembangkan pada 1910 an di Eropa dan Amerika Serikat, karena
efisien dan ekonomis, proses Lumpur aktif mulai banyak digunakan dan menjadi proses
aerobik yang paling popular.Istilah “lumpur aktif” sering diartikan sebagai nama proses

4
itu sendiri dan juga sering diartikan sebagai padatan biologik yang merupakan motor di
dalam proses pengolahan.

Seperti pada gambar diatas, sesudah equalization tank di mana fluktuasi


kwalitas/ kwantitas influen diratakan, limbah cair dimasukkan ke dalam tangki aerasi di
mana terjadi pencampuran dengan mikroorganisme yang aktif (lumpur aktif).
Mikroorganisme inilah yang melakukan penguraian dan menghilangkan kandungan
organik dari limbah secara aerobik.
Oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi mikroorganisme tersebut diberikan
dengan cara memasukkan udara ke dalam tangki aerasi dengan blower.Aerasi ini juga
berfungsi untuk mencampur limbah cair dengan lumpur aktif, hingga terjadi kontak
yang intensif.Sesudah tangki aerasi, campuran limbah cair yang sudah diolah dan
lumpur aktif dimasukkan ke tangki sedimentasi di mana lumpur aktif diendapkan,
sedangkan supernatant dikeluarkan sebagai effluen dari proses.
Sebagian besar lumpur aktif yang diendapkan di tangki sedimentasi tersebut
dikembalikan ke tangki aerasi sebagai return sludge supaya konsentrasi mikroorganisme
dalam tangki aerasinya tetap sama dan sisanya dikeluarkan sebagai excess sludge.
Permasalahan dalam lumpur aktif antara lain :
 Membutuhkan energi yang besar
 Membutuhkan operator yang terampil dan disiplin dalam mengatur jumlah massa
mikroba dalam reaktor
 Membutuhkan penanganan lumpur lebih lanjut.

5
2. Completely Mixed Activated Sludge (CMAS)
Completely Mixed Activated Sludge merupakan salah satu modifikasi dari proses
lumpur aktif. Air buangan terlebih dahulu harus melalui bak pengendap pertama
sebelum memasuki tangki aerasi. Influent dari bak pengendap pertama ini dimasukkan
ke dalam suatu sistem inlet sehingga beban pengolahan dapat tersebar merata keseluruh
tangki aerasi. Dengan cara ini diharapkan rasio antara substrat dan mikroorganisme
cukup seimbang sehingga memungkinkan terjadinya adsorbsi material organik terlarut
dalam biomassa dengan cepat.
Proses selanjutnya adalah proses dekompossisi materi biodegradable secara
aerob. Waktu detensi hidrolis dalam bak aerasi yang direncanakan harus mencukupi
untuk terjadinya dekompoisisi aerob yaitu sekitar 4 sampai 36 jam dan biasanya 4
sampai 8 jam untuk air buangan domestik (Reynold, 1982).
Peralatan yang banyak digunakan untuk aerasi adalah mekanikal aerator karena
menghasilkan pengadukan yang lebih baik. Aliran resirkulasi yang biasa digunakan
sebesar 35-100% dari aliran influen.
Kelebihan sistem ini adalah mampu mengolah air buangan dengan konsentrasi
yang tinggi ataupun yang mengandung zat toksik karena kondisi tangki yang homogen.
Kondisi yang homogen inilah yang menyebabkan mikroorganisme di dalam tangki tidak
akan pernah berkontak dengan air buangan yang terkonsentrasi. Kelemahan yang utama
dari sistem ini adalah cenderung menghasilkan lumpur yang sulit mengendap.
3. Activated Sludge (Proses Kontak Stabilisasi)
Kontak Stabilisasi merupakan salah satu modifikasi dari proses lumpur aktif
yang memanfaatkan mekanisme adsorpsi cepat dari bahan organik terlarut maupun
partikulatnya, serta menggunakan pengoksidasian secara lambat atas bahan–bahan
organik tersebut oleh biomassa. Kontak Stabilisasi mempunyai dua buah tangki dimana
proses adsorpsi dan oksidasi terjadi secara terpisah, yaitu :

 Bak Kontak, reaktor biologis tempat mikroorganisme menguraikan zat organik


yang terkandung dalam air buangan.
 Bak Stabilisasi, tempat lumpur aktif yang berasal dari bak pengendap II diaerasi
agar diharapkan terjadi oksidasi secara sempurna.
Di dalam tangki kontak akan terjadi kontak antara mikroorganisme dengan air
buangan selama 0,5–2 jam (Grady & Lim, 1980) sehingga terjadi proses adsorpsi

6
polutan oleh mikroorganisme tersebut. Waktu kontak yang dibutuhkan tergantung pada
konsentrasi solid dan tingkat penyisihan BOD yang direncanakan. Effluen dari tangki
kontak dialirkan ke bak pengendap II dimana terjadi pemisahan antara bioflok dengan
air hasil olahan, lalu bioflok tersebut dialirkan kembali ke bak stabilisasi.

Pada tangki stabilisasi terjadi proses biooksidasi bahan – bahan yang telah
diserap pada tangki kontak. Waktu detensi di tangki stabilisasi, tergantung pada waktu
yang dibutuhkan supaya terjadi asimilasi material terlarut dan koloid yang akan
disishkan dari air buangan, umumnya berkisar antara 3–6 jam. Bioflok pada tangki
stabilisasi mengalami penyempurnaan oksidasi polutan yang diadsorpsi dan bioflok
mengalami penstabilan agar siap melakukan adsorpsi kembali pada tangki kontak.

4. Oxydation Ditch

Oxidation Ditch merupakan modifikasi dari proses konvensional activated


sludge. Oxidation ditch merupakan suatu saluran panjang ( ditch) yang berbentuk oval
dengan kedalaman 1 – 2 meter. Air buangan dialirkan melalui ditch dan diberi oksigen
secara terus-menerus untuk tetap memungkinkan terjadinya oksidasi. Waktu detensi
yang cukup lama yaitu sekitar (12 – 36 ) jam sehingga memungkinkan terjadinya
ekualisasi. Selain itu, dengan lamanya waktu detensi ini memungkinkan proses oksidasi
berjalan lebih lama. Keadaan ini menyebabkan lumpur yang dihasilkan akan lebih stabil
dan volumenya lebih kecil (Arceivala, 1973) sehingga dapat langsung dikeringkan
dengan sludge drying bed (Parker,1975).
Dalam sistem pengolahan dengan oxidation ditch penyediaan energi yang besar
untuk suplai oksigen dapat dikompensasikan dengan lumpur yang lebih stabil dan
volumenya yang lebih kecil sehingga memudahkan pengolahan lumpur berikutnya.
5. Aerated Lagoon

Sistem kolam yang dioksigenasi melalui penggunaan unit aerasi mekanis atau
difusi udara disebut sebagai kolam aerasi ( Aerated Lagoon ). Karena turbiditas
(kekeruhan), turbulensi, dan faktor lainnya, pertumbuhan alga biasanya berhenti atau
tereduksi secara mencolok bilamana aerasi buatan dilakukan.

7
Terdapat dua jenis dasar dari kolam aerasi :
 Kolam Aerobik, yang dirancang dengan level daya ( level power ) cukup tinggi
untuk mempertahankan semua padatan (solid ) dalam kolam tetap tersuspensi
dan juga untuk membagikan oksigen terlarut diseluruh volume cairan.
 Kolam Fakultatif, yang dirancang dengan level daya hanya cukup untuk
mempertahankan oksigen terlarut di seluruh volume cairan. Dalam hal ini,
sebagian besar padatan (solid) dalam kolam tidak dipertahankan dalam keadaan
tersuspensi, tetapi mengendap pada dasar kolam yang dalam hal ini padatan
tersebut didekomposisikan secara anaerobik.
 Kolam Aerobik biasanya dirancang untuk beroperasi pada rasio F/M yang
tinggi atau waktu detensi lumpur yang pendek ( sistem kecepatan tinggi ).
Sistem ini mencapai stabilisasi organik yang kecil karena lebih menekankan
konversi material organik terlarut menjadi material organik seluler. Dilain
pihak, kolam fakultatif dirancang untuk waktu detensi lumpur yang lebih lama
(sistem kecepatan rendah) dan stabilisasi organik.
Barnhart (1972) merinci keuntungan-keuntungan berikut ini dalam penggunaan
kolam aerasi.
 Mudah dalam operasi dan pemeliharaan.
 Ekualisasi air limbah.
 Suatu kapasitas yang tinggi dalam pemborosan panas bilamana dibutuhkan.
Kelemahan-kelemahan yang diberikan oleh Banhart adalah :
 Kebutuhan lahan yang besar.
 Kesulitan untuk modifikasi proses.
 Konsentrasi padatan tersuspensi effluen tinggi.
 Sensitifitas proses terhadap variasi suhu udara embien.
6. Rotating Biological Contactor (RBC)
Rotating Biological Contacor atau Cakram Biologi merupakan reaktor
pertumbuhan melekat (Bioreaktor Film Tetap) yang dipergunakan untuk penyisihan
bahan organik terlarut. Mikroorganisme tumbuh diatas cakram yang berputar dengan
kecepatan sekitar 1–2 rpm dan terendam sekitar 40 % dalam air buangan (Randal,
1980). Mikroorganisme tersebut mengubah bahan organik yang terlarut dalam air
buangan menjadi energi dan sel–sel baru. Cakram mempunyai diameter berkisar antara

8
10ft -12ft (Randal, 1980) yang terbuat dari Styrofoam dan kisi–kisi padatnya terbuat
dari Polyethylene. Multiple Staging dapat meningkatkan efisiensi pengolahan. Aerasi
terjadi pada proses pemutaran disk dimana disk dikontakan dengan udara setelah
direndam dalam air buangan.

Keuntungan penggunaan Cakram Biologi :

 Waktu kontak yang relatif pendek karena memiliki luas permukaan aktif yang
besar
 Dapat digunakan untuk besaran debit yang bervariasi dengan range kurang dari
1 MGD (3785 m3/hari) – lebih dari 100 MGD
 Lahan yang dibutuhkan relatif kecil
 Tingkat efisiensi yang dapat mencapai 95% dengan menggunakan beberapa
stage
 Tidak memerlukan resirkulasi
 Mampu mengatasi kejutan beban hidraulik dan beban organik (rasio F/M relatif
kecil, 0,02-0,05)
 Effluen lumpur yang dihasilkan memiliki karakteristik pengendapan lebih baik,
sehingga biaya pengolahan lumpur lebih murah
2.2.3 Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Fungsi pengolahan lumpur / sludge adalah untuk menurunkan volume lumpur yang
dihasilkan dari pengolahan akhir sekaligus kandungan bahayanya. Lumpur yang
dihasilkan unit pengolahan lumpur diangkut menuju pembuangan akhir, supernatant
hasil pengolahan dikembalikan lagi ke unit pengolahan biologis untuk diolah lagi.
 Sludge Thickener
Proses yang bertujuan meningkatkan konsentrasi lumpur dengan mengurangi
bagian liquidnya agar volumenya berkurang. Proses yang berlangsung secara
fisik yaitu pengendapan, gravitasi, flotasi, sentrifugasi, dan gravity belt.
 Anaerobic Digester
Proses stabilisasi dalam kondisi anaerob dimana yang bertugas adalah
mikroorganisme anaerob dimana proses stabil ini akan menghasilkan methan
dan CO2. Anaerobic digester merupakan proses biokimia kompleks dimana

9
mikroorganisme fakultatif dan anaerob secara simultan berasimilasi dan
mendegradasi material organik.
 Anaerobik Digestion
Pada saat suplai substrat menurun, maka mikroorganisme akan mulai
mengkonsumsi protoplasma untuk memenuhi kebutuhan energi untuk aktivitas
dalam sel dimana jaringan sel dioksidasi secara aerob menjadi karbondioksida,
air dan energi ammonia. Hanya sekitar 70-80% jaringan sel yang dapat
dioksidasi, sisanya merupakan komponen inert dan material organik yang tidak
dapat didegradasi.
 Lime Stabilization
Stabilisasi lumpur secara aerob maupun anaerob memerlukan tangki dengan
kapasitas besar. Jika pengurangan investasi menjadi tujuan utama dan
kemampuan lumpur dapat diturunkan dengan penambahan bahan kimia, dimana
penambahan tersebut tidak mengubah jumlah material organik biodegradablenya
tetapi akan mempengaruhi aktivitas bakterisidanya. Bahan kimia yang umum
digunakan adalah kapur ( Ca ( OH )2) dengan alkalinitas tinggi.
 Filter Press Belt
Berfungsi untuk mengurangi kandungan air dalam lumpur dengan menggunakan
tekanan sehingga dapat ditransportasikan dengan mudah ke pembuangan akhir.
 Sludge Drying Bed
Dengan proses kerja yaitu lumpur endapan yang telah diendapkan pada sludge
digester dikeringkan pada sludge drying bed yang berupa saringan pasir.

10
BAB III
KONDISI EKSITING
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH LIPPO KARAWACI VILLAGE

3.1 Umum

IPAL Lippo Karawaci ini mengolah air limbah domestic dari perumahan, sekolah, pusat
perbelanjaan, rumah sakit, perkantoran dan fasilitas umum lainnya. IPAL ini mengolah
limbah sebesar 5000 m3 per hari dengan kapasitas desain sebesar 11000 m3 per hari.
Air buangan dari berbagai sumber dialirkan menuju IPAL ini menggunakan saluran
tertutup secara gravitasi. Namun, untuk daerah yang lebih tinggi dari elevasi IPAL
digunakan bantuan pompa. Air buangan tersebut selanjutnya dikumpulkan di dalam
loading tank setinggi 10 m. Selanjutnya akan dilakukan pengolahan secara activated
sludge. Air limbah yang masuk memiliki BOD sebesar 300 mg/L dan pada akhir
pengolahan (outlet), BOD nya menjadi 20-30 mg/L. Pengolahan pada IPAL terdiri dari
tiga tingkatan yakni:

1. Pengolahan primer: Barscreen, Bak pengumpul


2. Pengolahan Sekunder: Tangki aerasi, Clarifier
3. Pengolahan tersier: Sludge Drying Bed.

Berikut skema pengolahan IPAL Karawaci:

Aerobic
O2
Bacteri
a

Holdi Aeratio Effluent Land,


House/Costu ng n Tank Irrigation
mer Tank Clariffie
Connection Liftin r
g Golf
Sludge
Pum Pond
Digester
p Sludge
Return
Sludge
Drying
Bed
Gambar 3.1 Skema pengolahan

11
3.2 Instalasi Pengolahan Air Limbah

Lippo Karawaci memiliki unit-unit instalasi sebagai berikut

3.2.1 Bar Screen

Barscreen berfungsi untuk menyisihkan sampah-sampah berukuran besar dari air


buangan. Sampah yang tertahan oleh barscreen akan dibersihkan oleh petugas
secara manual.

Gambar 3.2 Bar screen

3.2.2 Bak Pengumpul


Sebelum menuju tangki aerasi, air buangan yang telah melewati barscreen akan
dikumpulkan pada tangki pengumpul. Pada tangki ini terdapat pompa
submergesible yang akan memompakan air buangan ini apabila mencapai
ketinggian tertentu menuju tangki aerasi. Kapasitas pompa ini adalah 470
m3/jam. Pada bak pengumpul ini terdapat tiga pompa dimana dua digunakan
dan satu sebagai cadangan.

Gambar 3.3 Bak Pengumpul

12
3.2.3 Tangki Aerasi
Terdapat dua modul pada tangki aerasi ini dengan debit masing-masing
5500 m3/day. Namun yang digunakan saat ini hanya satu modul karena air
buangan yang perlu diolah mencukupi untuk diolah pada satu modul saja. Modul
dua digunakan pada saat-saat tertentu yakni apabila terjadi kondisi proses
pengolahan suspended solid terlalu cepat. Hal ini dapat diidentifikasi apabila
volumenya lambat, kualitas lumpur dan mikroorganisme tidak baik.
Fungsi dari kolam aerasi ini adalah untuk menambahkan oksigen O2
dengan menggunakan aerator mekanis pada air limbah yang sudah dipompakan
agar mikroorganisme aeobik dapat tumbuh dan menguraikan zat-zat organik
yang terdapat dalam air limbah sehingga nilai BOD dan COD dalam air limbah
dapat menurun.
Proses aerasi berlangsung dalam waktu yang telah diatur sebelumnya.
Setiap 5 menit aerator menyala dan aerator akan mati selama 10 menit
berikutnya. Pengaturan waktu dilakukan berdasaran musim dan karakteristik
dari BOD yang masuk dalam instalasi. Pada musim hujan dan nilai BOD cukup
tinggi, maka proses aerasi akan diset untuk lebih lama menyala. Tujuan aerasi
dihentikan adalah untuk memberikan waktu kontak bakteri dengan pencemar
organik yang ada pada air buangan.
Tangki aerasi ini didesain untuk 100 tahun. Proses yang berlangsung
menggunakan prinsip aerated sludge yakni lumpur dari clarifier akan
dimasukkan sebagian ke unit ini untuk mendukung proses pengolahan yang
terjadi.

Gambar 3.4 Proses Aerasi Gambar 3.5 Aerator

13
3.2.4 Clarifier
Setelah diolah di tangki aerasi, air buangan ini akan menuju clarifier.
Fungsi ini adalah menyisihkan lumpur hidup dan lumpur mati. Lumpur hidup
akan mengendap ke dasar tangki sedangkan lumpur yang mati akan dialirkan
menuju sludge drying bed untuk dikurangi kadar airnya karena lumpur mati ini
sulit untuk terendap.
Proses resirkulasi lumpur dilakukan setiap saat dengan interval waktu
yang tidak menentu. Hal ini pun dpengaruhi kondisi cuaca. Umur lumpur rata-
rata pada STP Lippo Village adalah 3 bulan.
Tujuan pengurangan air pada lumpur ini adalah untuk mempermudah
proses pengolahan selanjutnya. Lumpur hidup ini selanjutnya akan menjadi
lumpur matang yang siap untuk masuk ke tangki aerasi untuk menambah
kapasitas mikroorganisme untuk menguraikan materi-materi organic dalam air
buangan domestic. Minyak dan lemak yang mengapung pada air buangan akan
dimasukkan kembali ke kolam aerator untuk diolah kembali.
Air hasil olahan dari unit clarifier akan dialirkan melewati pelimpah dan
didisenfeksi dengan klorin untuk selanjutnnya menuju penampungan air untuk
dimanfaat seperti kolam dan irigasi. Sedangkan air yang relatif telah bersih
dialirkan ke outlet melalui weir untuk pengolahan selanjutnya.

Gambar 3.6 Bak Sedimentasi

3.2.5 Desinfeksi
Sebelum menuju tempat penampungan air untuk selanjutnya dimanfaatkan,
efluen ditambahkan kaporit. Tidak ada dosis tertentu untuk desinfeksi ini karena

14
sebenarnya efluen hasil pegolahan sudah berda di bawah baku mutu yakni <
100. Pembubuhan ini dilakukan pada aliran yang keluar dari pelimpah menuju
saluran pembawa (menuju kolam pemanfaatan/irigasi) dengan menggunakan
sebuah tangki kecil.
Untuk proses desinfeksi penentuan klor ditentukan oleh dosing pump, namun
saat itu dosing pump sedang rusak. Sebenarnya untuk pengolahan air buangan
domesik sendiri tidak ada ketentuan keharusan penggunaan desinfeksi.

Gambar 3.7 Pembubuh Klorin

3.2.6 Sludge Drying Bed


Sludge drying bed berfungsi untuk mengurangi kadar air lumpur sehingga
mempermudah proses pembuangan. Pembuangan umumnya dilakukan tiga
bulan sekali. Umur lumpur dan pembentukan pembuangan lumpur ditentukan
setelah dilakukan pengecekan terhadap kualitas effluen yang telah terbentuk.

Gambar 3.8 Sludge Drying Bed

15
BAB IV
EVALUASI INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH

Setiap instalasi memiliki kekurangan dan kelebihan, pada instalasi pengolahan air
limbah di lippo karawaci tidak memiliki comminutor dan grit chamber dan instalasi ini
termasuk instalasi yang kecil. Hal ini disebabkan karena sumber limbah domestik
berasal dari satu kawasan, sehingga tidak diperlukan instalasi yang terlalu besar.
Evaluasi IPAL adalah sebagai berikut :

4.1 Evaluasi Proses

Pengolahan limbah cair domestik rumah tangga, termasuk black water dari hunian
sekitar 30 ribu warga di kawasan Lippo Karawaci, Tangerang, menggunakan sistem
pipa tertutup. Kawasan tersebut meliputi perkantoran, sekolah, supermall, rumah sakit,
hotel, perumahan, dan apartemen. Proses pengolahan limbah cair di kawasan ini
menggunakan sistem aerobic treatment, yakni menggunakan bakteri dan oksigen untuk
menguraikan bahan polutan yang terdapat pada air limbah. Dengan sistem aerobic
treatment yang diterapkan di kawasan ini, tidak dihasilkan gas sebagai produk
sampingan dan air hasil olahan lebih stabil dan dapat didaur ulang, serta tidak berbau
walaupun di tempat pengolahan limbah sekalipun. Sistem pipa tertutup tersebut
dibangun sejak tahun 1994, di atas tanah seluas 6.000 meter bersamaan dengan
dibangunnya hunian tahap pertama di kawasan Lippo Karawaci. Biaya
pembangunannya nilainya sekitar Rp 3 miliar, merupakan pinjaman dari World Bank
dengan mesin produksi Malaysia. Sistem pipa tertutup dianggap lebih ramah
lingkungan karena bakteri fecal yang terdapat dalam buangan manusia tidak mencemari
tanah, apalagi di kawasan terbangun dengan aktivitas dan penduduk padat. Proses
pengolahan black water dan limbah domestik lainnya tersebut setelah digelontorkan
dari pipa-pipa tertier berdiamater 225 milimeter untuk ukuran rumah hunian dan ukuran
pipa skunder akan masuk pipa berdiameter 650 milimeter. Dari pipa besar ini, maka
ampas limbah (sampah) akan tersaring oleh bar screen. Dari situ air dipompa naik (raw
sewage pump) melalui pipa masuk ke bak aerator. Di dalam bak ini, air dicampur
bakteri dan oksigen, selanjutnya air limbah tersebut digelontorkan ke settling tank. Di

16
bak penampungan ini ada dua jenis yang dihasilkan yaitu air olahan berbentuk cair dan
endapan lumpur. Untuk lumpur dikembalikan ke bak benama sludge return. Sisa
lumpur yang aktif masuk ke bak sludge digester dan melalui proses di bak sludge
drying bed kemudian diolah menjadi pupuk tanaman. Adapun hasil cairan limbah
langsung dari settling tank dialirkan melalui pipa ke bak dan badan air yang sudah
terlihat jernih. Pengolahan limbah cair di kawasan Lippo Karawaci tersebut
dikendalikan dengan mesin yang ditempatkan di sebuah ruang (control room panel).
Alat ini sudah disetel aktif selama 24 jam tanpa operator manusia dengan tenaga listrik
menggunakan genset.

4.2 Primary Treatment

1. Sistem pengolahan air limbah ini menggunakan sistem tertutup sehingga lebih
ramah lingkungan karena tidak terjadi pencemaran air tanah oleh bakteri dan
polutan yang terdapat dalam air buangan tersebut. Sistem ini juga memungkinkan
bahwa yang mengalir di dalam pipa hanya terdiri atas air buangan yang akan diolah.
Namun pada kenyatannya masih terdapat sampah yang terbawa di dalam aliran
tersebut. Sampah tersebut diatasi dengan penggunaan bar screen yang dapat
menyaring atau menyisihkan sampah atau benda yang berukuran lebih besar
daripada lebar bukaannya, sedangkan untuk sampah atau benda yang berukuran
lebih kecil dari itu masih dapat lolos dan tetap terbawa dalam aliran influen.
2. Bar screen sudah cukup baik. Selain desain operasional, desain untuk perawatan
cukup agronomis dan aman bagi pekerja. Posisi bar screen berada di bawah tanah
dan dikelilingi dinding. Akses menuju bar screen juga mudah karena lokasinya
dilengkapi tangga sehingga memudahkan ketika proses pembersihan. Namun proses
pembersihan masih dilakukan secara manual sehingga diperlukan adanya
pemeriksaan setiap saat untuk memastikan bar screen tidak tersumbat. Hal lain yang
perlu dievaluasi dari bar screen ini adalah masih adanya beberapa sampah yang
lolos dari penyaringan. Apalagi kondisi ini tidak didukung dengan adanya
comminutor sehingga sampah bisa terbawa hingga ke tangki aerasi. Tidak adanya
comminutor mengakibatkan proses penyisihan material padat menjadi kurang
efektif. Keberadaan sampah di tangki aerasi dapat meningkatkan beban pompa dan
mengganggu keberlangsungan proses aerasi. Untuk itu comminutor perlu disediakan

17
atau jarak antar jeruji pada bar screen diperpendek untuk meminimasi lolosnya
material padat atau sampah ke unit pengolahan selanjutnya.
3. Meskipun disebutkan bahwa IPAL ini merupakan IPAL sistem terbuka yang bebas
dari bau, namun diperlukan penanganan khusus terutama pada bak influen agar bau
yang berasal dari air limbah tidak menyebar ke mana-mana.
4. Sistem drainase dan sewerage di kawasan Lippo Karawaci ini secara keseluruhan
merupakan sistem terpisah, di mana air buangan diolah di instalasi pengolahan air
limbah (IPAL), sedangkan air hujan dialirkan langsung ke badan air melalui saluran.
Akan tetapi pada musim hujan debit yang mengalir ke IPAL tersebut mengalami
peningkatan yang cukup besar dikarenakan masih adanya rumah-rumah di kawasan
tersebut yang mengalirkan air hujan ke dalam saluran air limbah. Akibat dari hal ini
maka pada bak infulen terjadi kenaikan tinggi muka air hingga sekitar 5 meter dari
tinggi muka air pada kondisi biasanya. Namun hal seperti ini tidak membuat IPAL
menjadi overcapacity karena kapasitas pengolahan IPAL yang memang dirancang
lebih besar dari kondisi saat ini serta pemasangan bar screen yang lebih tinggi untuk
mengantisipasi adanya benda-benda yang berukuran cukup besar yang dapat lolos
ke dalam unit-unit pengolahan selanjutnya akibat pertambahan tinggi muka air
tersebut.
5. Pada pengolahan tingkat pertama ini tidak digunakan grit chamber dan comminutor
dikarenakan sistem penyaluran merupakan sistem tertutup sehingga kemungkinan
untuk masuknya pasir menjadi hampir tidak ada. Pengaruh dari tidak digunakannya
kedua unit tersebut terlihat pada aspek penyisihan sampah atau benda-benda yang
terbawa dalam aliran influen, yaitu masih adanya sampah atau benda-benda yang
dapat lolos dari unit bar screen dan terbawa hingga ke unit-unit pengolahan
selanjutnya.
6. Pemasangan holding tank yang ditempatkan dengan jarak 7 – 8 meter dari lokasi
unit-unit pengolahan menjadikan debit air limbah yang akan diolah menjadi hampir
sama pada setiap waktu dan mengurangi masalah yang dapat ditimbulkan terhadap
unit-unit pengolahan akibat dari perubahan debit yang fluktuatif.
7. Holding tank (bak pengumpul) sudah cukup baik. Jumlah pompa sudah cukup
mengalirkan air limbah ke tangki aerasi. Jika ditinjau dari posisi bak pengumpul
terhadap tangki aerasi, akan lebih baik jika posisi bak pengumpul lebih tinggi dari

18
tangki aerasi sehingga tidak perlu penggunaan pompa dan biaya operasi &
perawatan lebih murah. Namun, jika dilihat dari letak sumber air limbah domestik
terhadap IPAL Lippo Karawaci, penggunaan pompa dirasa lebih tepat. Posisi bar
screen dan bak pengumpul dibuat lebih rendah dari pada sumber air limbah
domestik agar bisa dialirkan secara gravitasi. Jika diinginkan posisi tangki aerasi
lebih rendah dari pada bak pengumpul, diperlukan biaya yang besar untuk investasi
karena diperlukan penggalian untuk membuat posisi tangki aerasi lebih rendah.
Selain itu, perawatannya menjadi lebih sulit. Terdapat tiga pompa submerged: dua
pompa beropersi, sedangkan sisanya sebagai cadangan. Pompa cadangan digunakan
jika salah satu pompa mengalami kerusakan atau digunakan ketika debit air limbah
mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

4.3 Secondary Treatment


1. Pengolahan tingkat dua atau pengolahan secara biologis yang digunakan oleh IPAL
Lippo Karawaci ini adalah extended aerator dengan menggunakan surface aerator
yang dijalankan secara bergantian dengan waktu nyala selama 5 menit dan waktu
jeda untuk melakukan kontak antara mikroorganisme, oksigen, dan substrat selama
10 menit. Dengan diterapkannya sistem penggiliran ini (tidak semua aerator
dijalankan dalam waktu yang bersamaan dan tidak dijalankan secara terus-menerus),
energi yang dikeluarkan menjadi lebih efisien dan tidak boros serta umur aerator
dapat bertahan lebih lama karena tidak cepat rusak akibat pemakaian yang terus-
menerus.
2. Diperlukan adanya scum removal untuk membersihkan buih-buih yang terapung
dalam tangki aerasi dan tangki sedimentasi yang terjadi dari proses aerasi. Hal ini
dikarenakan walaupun buih-buih tersebut diresirkulasi ke dalam tangki aerasi oleh
pihak pengelola IPAL, buih-buih tersebut dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi
pengolahan limbah karena dapat menjadi media pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroorganisme jenis Nocardia yang dapat menimbulkan
masalah terhadap mikroorganisme pengurai yang ada dalam tangki aerasi, bahkan
dapat menonaktifkan kinerja mikroorganisme pengurai tersebut. Selain itu, sekecil
apapun buih yang terbentuk dalam pengolahan primer dapat merupakan masalah
dari kinerja pengolahan limbah dan terhadap air hasil pengolahan. Dengan

19
demikian, scum yang terbentuk haruslah dibuang dan tidak boleh diresirkulasi ke
dalam tangki aerasi ataupun dibiarkan terdapat dalam tangki sedimentasi.

Gambar scum yang terdapat dalam tangki unit secondary treatment

3. Pada dinding-dinding unit-unit pengolahan tumbuh lumut yang apabila tidak


dibersihkan dapat terus tumbuh dan membuat lapuk dinding-dinding tersebut
sehingga merusak infrastruktur yang ada.

Gambar lumut yang tumbuh subur pada dinding-dinding tangki aerasi

4. Umur lumpur pada unit pengolahan kedua di IPAL Lippo Karawaci ini rata-ratanya
adalah sekitar 3 bulan. Umur lumpur tersebut terlalu lama apabila dibandingkan
dengan kriteria desain, yaitu 3 – 5 hari (Metcalf & Eddy, 2004), sehingga akan
mempengaruhi kinerja unit-unit pengolahan, terutama yang terkait dengan jumlah
mikroorganisme sehingga menjadi tidak ideal F/M rasionya.

4.4 Slugde Treatment


Pengolahan lumpur yang dilakukan adalah dengan menggunakan sludge drying
bed dengan tujuan untuk mengurangi kadar air pada lumpur yang terbentuk. Oleh
karena pengolahannya adalah dengan membiarkan kadar air lumpur berkurang
karena menguap secara alamiah, maka diperlukan suatu perlakuan khusus terhadap

20
lumpur tersebut terutama ketika musim hujan agar lumpur yang sudah berkurang
kadar airnya tidak kembali bertambah kadarnya karena tercampur lagi dengan air
hujan mengingat sludge drying bed ini merupakan tangki terbuka.
Bagan pengolahan IPAL Karawaci dapat dilihat pada gambar berikut :

Outlet

Modul SLUDGE DRYING BED


Desinfek
II
si
Saluran Pembawa P
Modul II el
Effluent i
m
p
CLARIFIER
a
h

PRIMARY
TREATMENT
Modul I Modul II
(barscreen, bak INTAKE
pengumpul)
Tangki Aerasi

Modul II
Gambar 3.9 Bagan Pengolahan IPAL Karawaci

21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Pengolahan limbah cair domestik kawasan Lippo Karawaci, Tangerang,
menggunakan sistem pipa tertutup.
2. Proses pengolahan limbah cair di kawasan karawaci menggunakan sistem
aerobic treatment, yakni menggunakan bakteri dan oksigen untuk menguraikan
bahan polutan yang terdapat pada air limbah.
3. Urutan Pengolahan IPAL Karawaci dimulai dari House connection lalu masuk
ke holding tank, disadap oleh lifting pump menuju aeration tank dilanjutkan ke
clarifier selanjutnya dikeluarkan melalui effluent untuk di distribusikan sebagai
irigasi dan pengisian air kolam. Untuk lumpur yang telah mati akan dibawa ke
sludge digester dan dikeringkan di sludge drying bed.
4. Unit-unit lain yang mendukung proses pengolahan di IPAL karawaci yaitu bar
screen dan unit desinfeksi.
5. Primary Treatment terdiri dari unit bar screen, holding tank, dan lifting pump.
Kinerja dan desain unit-unit ini sudah cukup baik.
6. Secondary treatment terdiri dari unit extended aerator dan clarifier. Kedua unit
ini berfungsi baik untuk menurunkan kadar organik dalam air buangan.
7. Unit extended aerator menggunakan surface aerator yang dioprasikan secara
bergilir dengan lama menyala 5 menit kemudian jeda 10 menit dan selanjutnya.
8. Unit clarifier berfungsi untuk menyisihkan lumpur mati dan lumpur yg aktif
dengan proses pengendapan. Umur lumpur rata-rata pada IPAL ini adalah
sekitar 3 bulan dan tidak sesuai dengan kriteria desain yang ada.
9. Unit desinfeksi digunakan untuk menurunkan jumlah mikroorganisme pathogen
dala air olahan. Unit ini mengalami kerusakan dan dosis pembubuhannya perlu
untk diuji lebih lanjut.
10. Sludge drying bed merupakan Skudge treatment yang digunakan. Unit ini
digunakan untuk mengeringkan dan mengurangi kadar air dalam lumpur. Hasil
pengeringan di unit ini akan digunakan sebagai pupuk.

22
5.2 Saran

1. Diperlukan penanganan khusus terutama pada bak influen dan aeration tank agar
bau yang berasal dari air limbah tidak menyebar ke mana-mana.
2. Sebaiknya disediakan comminutor atau jarak antar jeruji pada bar screen
diperpendek untuk meminimasi lolosnya material padat atau sampah ke unit
pengolahan selanjutnya.
3. Diperlukan adanya scum removal untuk membersihkan buih-buih yang terapung
dalam tangki aerasi dan tangki sedimentasi yang terjadi dari proses aerasi. Hal
ini menjadi perlu karena scum atau grease dapat menjadi media mikroorganisme
Nocardia yang dapat menurunkan efisiensi pengolahan lmbah oleh
mikroorganisme pengurai.
4. Perlu dilakukan pengurasan tangki dan unit-unit secara teratur karena dinding-
dinding unit-unit pengolahan ditumbuhi lumut yang apabila tidak dibersihkan
dapat terus tumbuh dan membuat lapuk dinding-dinding tersebut sehingga
merusak infrastruktur yang ada.
5. diperlukan penelitian dan pengujian lebih lanjut untuk menentukan dosis
desinfektan secara tepat, terutama apabila pompa pembubuh otomatis sedang
mengalami kerusakan.

23

Anda mungkin juga menyukai