Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsentrasi Belajar

2.1.1 Pengertian Konsentrasi Belajar

Konsentrasi belajar memiliki pengaruh yang besar terhadap hasil belajar.

Jika siswa mengalami kesulitan berkonsentrasi, jelas belajarnya akan sia-sia,

karena hanya akan membuang tenaga, waktu, dan biaya. Jadi kebiasaan untuk

berkonsentrasi harus dimiliki oleh setiap siswa (Slameto, 2015:86).

Konsentrasi belajar didefinisikan oleh Dimyati & Mudjiono (2015:239)

sebagai kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran, dimana pemusatan

perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya.

Syafrol (2013:5) juga mengajukan pendapatnya mengenai definisi konsentrasi

belajar, yaitu pemusatan perhatian pada suatu kegiatan sebagai kunci utama untuk

mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan, dan meningkatkan konsentrasi

belajar adalah suatu gerakan yang timbul dari dalam diri untuk menuju pada

pemusatan perhatian sehingga dapat mencapai tujuan pelajaran yang telah

ditentukan, yang melibatkan fisik, mental, dan emosional.

Hakim (2005:6) menyatakan konsentrasi pada hakekatnya merupakan

kemampuan seseorang dalam mengendalikan kemauan, pikiran, dan perasaannya.

Dengan kemampuan tersebut, seseorang akan mampu memfokuskan sebagian

besar perhatiannya pada objek yang dikehendaki. Terkait dengan belajar,


konsentrasi berarti kemampuan seseorang dalam mengendalikan kemauan,

pikiran, dan perasaannya untuk fokus pada pelajaran.

Slameto (2015:86) mendefiniskan konsentrasi belajar sebagai sebagai

pemusatan pikiran terhadap suatu mata pelajaran dengan mengesampingkan

semua hal lainnya yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Konsentrasi belajar

menyebabkan siswa memperoleh pengalaman langsung, mengamati sendiri,

meneliti sendiri, untuk menyusun dan menyimpulkan pengetahuan itu sendiri

(Slameto, 2015:38).

Aprilia dkk. (2014:2), mendefinisikan konsentrasi belajar sebagai suatu

kemampuan untuk memfokuskan/memusatkan dan menjaga pikiran terhadap

pelaksanaan pembelajaran dan memahami setiap materi. Tidak jauh berbeda,

Rahmawati (2014:32) menjelaskan konsentrasi belajar sebagai pemusatan

perhatian dalam proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk

penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-

nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang

studi. Mekanisme konsentrasi belajar sendiri berupa pemusatan diri pada proses

pembelajaran dan mengabaikan stimulasi yang lain.

Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, penulis

mengambil kesimpulan mengenai definisi konsentrasi belajar. Konsentrasi belajar

merupakan kemampuan seseorang untuk memfokuskan/memusatkan perhatian

yang dimilikinya terhadap kegiatan belajar (materi pembelajaran maupun proses

pembelajaran). Adapun definisi konsentrasi belajar tersebut mengandung tiga

aspek penting, yaitu:


a. Mengendalikan fisik, mental, dan pikiran agar terfokus/terpusat pada kegiatan

belajar.

b. Mengesampingkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan kegiatan

belajar.

c. Adanya perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan

dan pemahaman materi pelajaran.

2.1.2 Aspek dan Elemen Konsentrasi Belajar

Terdapat beberapa aspek dan elemen yang membangun konsentrasi

belajar. Lembaga riset luar negeri, yaitu SWOV Institue for Road Safety Research

(2012:1) menyatakan terdapat tiga aspek yang berperan dalam konsentrasi,

diantaranya:

a. Selektivitas. Selektivitas berarti kemampuan seseorang untuk memberikan

fokus perhatiannya pada hal-hal tertentu. Kaitannya dengan konsentrasi

belajar, selektivitas berarti kemampuan siswa dalam memfokuskan

perhatiannya pada kegiatan belajar dan mengesampingkan hal lain yang tidak

berkaitan dengan kegiatan belajar.

b. Intenistas. Intensitas maksudnya ketahanan seseorang untuk tetap fokus pada

suatu hal/kegiatan, meskipun dia merasa kelelahan atau bosan terhadap

kegiatan tersebut. Terkait konsentrasi belajar, intensitas berarti ketahanan

siswa untuk tetap fokus pada kegiatan belajar, meskipun siswa merasa

kelelahan dan bosan terhadap kegiatan belajar tersebut.


c. Motivasi. Motivasi berarti besarnya niat seseorang untuk mewujudkan target

yang diinginkan. Terkait konsentrasi belajar, motivasi berarti kesungguhan

niat dari siswa untuk mencapai target-target belajarnya.

Sedangkan Castle & Buckler (2009:17), menjelaskan empat elemen

konsentrasi, yaitu:

a. Fokus Selektif. Fokus selektif berarti kemampuan untuk memfokuskan

perhatian pada hal-hal tertentu saja dan mengesampingkan hal lainnya.

Kaitannya dengan konsentrasi belajar, fokus selektif berarti kemampuan siswa

untuk memfokuskan perhatiannya pada kegiatan belajar dan

mengesampingkan hal lain di luar kegiatan belajar.

b. Mempertahankan Fokus. Mempertahankan fokus maksudnya kemampuan

untuk tetap fokus pada suatu hal/kegiatan dalam kurun waktu tertentu,

meskipun dilanda kebosanan atau kelelahan. Kaitannya dengan konsentrasi

belajar, mempertahankan fokus berarti kemampuan siswa untuk tetap fokus

pada kegiatan belajar dalam kurun waktu tertentu, meskipun siswa merasa

lelah dan bosan terhadap kegiatan belajar tersebut.

c. Kesadaran akan Situasi. Kesadaran akan situasi berarti kemampuan untuk

menghadirkan pikiran seseorang “di sini” dan “sekarang” atau “here and

now”. Kaitannya dengan konsentrasi belajar, kesadaran akan situasi berarti

kemampuan siswa untuk menghadirkan pikirannya selama kegiatan belajar

dan bukannya memikirkan hal lain di luar kegiatan belajar.

d. Mampu Mengubah Fokus Perhatian. Mampu mengubah fokus perhatian

maksudnya adalah kemampuan seseorang untuk memindahkan fokus


perhatiannya dari satu hal/kegiatan ke hal lainnya. Pada siswa, mampu

mengubah fokus perhatian dicontohkan ketika siswa mampu fokus pada

penjelasan guru di kelas, kemudian ketika guru menuliskan materi di papan

tulis, maka siswa menidahkan fokus perhatiannya ke papan tulis.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat

beberapa aspek dan elemen yang membangun konsentrasi belajar, yaitu

selektivitas/fokus selektif, intensitas/mempertahankan fokus, kesadaran akan

situasi, mampu mengubah fokus perhatian, serta motivasi.

2.1.3 Faktor-faktor Pendukung Konsentrasi Belajar

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan siswa untuk dapat melakukan

konsentrasi belajar yang efektif memerlukan faktor-faktor pendukung tertentu.

Hakim (2005:6-9) menguraikan faktor-faktor pendukung tersebut, yang meliputi:

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor dari dalam diri siswa itu sendiri. Adapun

faktor-faktor tersebut meliputi:

1) Faktor Jasmaniah

Hal ini dapat dilihat dari kondisi jasmani siswa yang meliputi kesehatan badan

secara menyeluruh, yaitu: kondisi badan yang normal menurut standar kesehatan

atau bebas dari penyakit yang serius; kondisi badan di atas normal atau fit akan

lebih menunjang konsentrasi; cukup tidur dan istirahat; cukup makan dan minum

serta makanan yang dikonsumsi memenuhi standar gizi untuk hidup sehat; seluruh

panca indera berfungsi dengan baik; tidak mengalami gangguan fungsi otak

karena penyakit tertentu, seperti sering kejang, ayan, dan hiperaktif; tidak
mengalami gangguan saraf; tidak dihinggapi rasa nyeri karena penyakit tertentu,

seperti mag dan sakit kepala; detak jantung normal; irama napas berjalan baik.

2) Faktor Rohaniah

Untuk dapat melakukan konsentrasi efektif, kondisi rohani seseorang setida-

tidaknya harus memenuhi hal-hal berikut: kondisi kehidupan sehari-hari cukup

tenang; memilki karakter sabar dan konsisten; taat beribadah sebagai penunjang

ketenangan dan daya pengendalian diri; tidak dihinggapi berbagai jenis masalah

yang terlalu berat; tidak emosional; tidak sedang dihinggapi stres berat; memiliki

rasa percaya diri yang cukup; tidak mudah putus asa; memiliki kemauan/tekad

kuat; bebas dari berbagai gangguan mental, seperti rasa takut, khawatir, dan

gelisah.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal berkaitan dengan segala hal yang berada di luar diri siswa.

Berikut beberapa faktor eksternal yang mendukung konsentrasi efektif:

1) Lingkungan sekitar harus cukup tenang, bebas dari suara-suara yang terlalu

keras yang mengganggu pendengaran dan ketenangan.

2) Udara sekitar harus cukup nyaman, bebas dari polusi dan bau yang

mengganggu penciuman.

3) Penerangan di sekitar lingkungan juga harus cukup, tidak lebih dan tidak

kurang sehigga tidak mengganggu pandanga mata.

4) Orang-orang yang ada di sekitar lingkungan juga harus menunjang suasana

yang tenang.
Selain faktor-faktor pendukung konsentrasi belajar yang telah disebutkan

di atas, terdapat pula faktor-faktor lain yang dikemukakan oleh Slameto

(2015:86). Slameto mengungkapkan agar dapat berkonsentrasi dengan baik,

perlulah diusahakan hal-hal sperti berikut: siswa hendaknya berminat atau

mempunyai motivasi yang tinggi terhadap proses pembelajaran, terdapat tempat

belajar tertentu dengan meja belajar yang bersih dan rapi, mencegah timbulnya

kejemuan/kebosanan, menjaga kesehatan dan memperhatikan kelelahan,

menyelesaikan soal/maslah-maslah yang mengganggu dan bertekad untuk

mencapai tujuan/hasil terbaik setiap kali belajar.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa terdapat

dua faktor yang secara umum mendukung terjadinya konsentrasi belajar, yaitu

faktor internal atau yang bersumber dari diri siswa itu sendiri dan faktor eksternal

atau yang terkait keadaan di luar diri sisiwa. Secara lebih khusus, terdapat faktor

pendukung konsentrasi lainnya, yaitu: siswa hendaknya berminat atau mempunyai

motivasi yang tinggi terhadap proses pembelajaran, terdapat tempat belajar

tertentu dengan meja belajar yang bersih dan rapi, mencegah timbulnya

kejemuan/kebosanan, menjaga kesehatan dan memperhatikan kelelahan,

menyelesaikan soal/maslah-maslah yang mengganggu dan bertekad untuk

mencapai tujuan/hasil terbaik setiap kali belajar.

2.1.4 Faktor-faktor Penghambat Konsentrasi Belajar

Dalam kenyataannya, tidak semua siswa mampu melakukan konsentrasi

belajar dengan baik. Terdapat kelompok siswa yang mengalami gangguan

konsentrasi belajar. Gangguan konsentrasi belajar pada siswa ini dapat terjadi
karena beberapa faktor penghambat. Adapaun faktor-faktor penghambat

konsentrasi belajar menurut Hakim (2005:14-17), yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.

Faktor internal terbagi ke dalam dua garis besar, yaitu:

1) Faktor Jasmaniah

Faktor jasmaniah terkait kondisi tubuh siswa yang tidak berada di dalam

kondisi normal atau mengalami gangguan kesehatan, misalnya mengantuk, lapar,

haus, gangguan panca indera, gangguan pencernaan, gangguan jantung, gangguan

pernapasan, gangguan di kulit yang menyebabkan gatal dan perih, gangguan saraf

dan otak, tidak betah diam dan hiperaktif serta sedang tidak enak badan, seperti

demam, pusing, dan gangguan kesehatan lainnya.

2) Faktor Rohaniah

Faktor rohaniah terkait dengan kondisi mental siswa yang dapat menimbulkan

gangguan konsentrasi, diantaranya: tidak tenang dan tidak betah diam yang

bersumber dari pembawaan atau masalah tertentu; ada kecenderungan mudah

gugup dan grogi; emosional, tidak sabar, dan selalu sering bersikap terburu-buru;

mudah tergoda pada sesuatu yang terlihat dan terdengar di sekitar lingkungan; ada

kecenderungan untuk mudah cemas setiap kali mengerjakan sesuatu yang penting;

mudah grogi di tengah lingkungan orang banyak; tidak dapat mengendalikan

khayalan, ingatan masa lalu, dan pikiran-pikiran lain yang muncul saat

mengerjakan sesuatu; tidak percaya diri yang mengakibatkan timbulnya bayangan

takut gagal yang mencemaskan; sedang dihinggapi gangguan mental tertentu,


seperti stres, trauma, frustasi, psikosomatis, neurosis dan depresi, mulai dari yang

ringan sampai yang berat.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal terkait kondisi lingkungan di luar diri siswa. Gangguan yang

sering dialami adalah adanya rasa tidak nyaman dalam melakukan berbagai

kegiatan yang memerlukan konsentrasi penuh, diantaranya:

1) Ruangan belajar yang terlalu sempit dan menimbulkan rasa tidak leluasa dan

tidak rileks.

2) Ruangan belajar yang tidak bersih.

3) Tata letak barang-barang yang tidak teratur sehingga menimbulkan kesan

berantakan atau semrawut.

4) Udara di sekitar lingkungan belajar yang berpolusi.

5) Adanya aroma yang tidak sedap, seperti bau busuk dari sampah, bangkai

binatang, ataupun toilet.

6) Suhu udara yang terlalu panas.

7) Hubungan yang kurang harmonis dengan orang-orang yang berada di

lingkungan belajar, guru atau siswa.

8) Kepemimpinan yang kurang baik, misal dari guru ataupun kepala sekolah.

Slameto (2015:87) juga mengungkapkan beberapa faktor penghambat bagi

siswa dalam berkonsentrasi belajar, diantaranya:

1) Siswa kurang berminat terhadap mata pelajaran yang dipelajari.

2) Kondisi lingkungan belajar yang kurang kondusif, misalnya kelas yang bising,

tata kelas yang kurang rapi, suhu dan udara di kelas yang kurang nyaman.
3) Siswa sedang dalam pikiran yang kacau dengan banyak urusan/masalah-

masalah.

4) Kondisi kesehatan (jiwa dan raga) siswa yang terganggu, siswa merasa bosan

terhadap pelajaran/sekolah, dan lain-lain

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, terdapat beberapa faktor yang

menghambat konsentrasi belajar, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri

siswa dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa. Selain dua faktor

tersebut, terdapat beberapa hal lainnya yang juga menghambat konsentrasi belajar,

diantaranya: kurangnya minat siswa terhadap pelajaran; kondisi lingkungan

belajar tidak kondusif; siswa memiliki banyak masalah; dan kondisi kesehatan

siswa terganggu.

2.1.5 Cara-cara Membangun Konsentrasi Belajar

Terdapat cara-cara yang dapat digunakan untuk membangun atau

meningkatkan konsentrasi belajar pada siswa. Surya (2013:76-84) menyebutkan 6

langkah yang dapat dilakukan untuk membangun konsentrasi belajar, yang

meliputi:

a. Lingkungan belajar harus kondusif. Belajar membutuhkan lingkungan yang

kondusif untuk memperoleh hasil belajar secara optimal.

b. Kesiapan belajar. Untuk siap melakukan aktivitas belajar ada dua hal yang

perlu diperhatikan, yaitu kondisi fisik dan psikis. Kondisi fisik harus bebas

dari penyakit, kurang gizi, dan rasa lapar. Kondisi psikis harus bebas dari

gangguan konflik kejiwaan dan tekanan masalah atau ketegangan emosional.


c. Menanamkan minat dan motivasi belajar dengan cara mengembangkan

“imajinasi berpikir” dan “aktif bertanya”.

d. Cara belajar yang baik. Untuk memudahkan konsentrasi belajar dibutuhkan

panduan untuk pengaktifan cara berpikir, penyeleksian masalah dan

pengarahan rasa ingin tahu.

e. Belajar aktif. Belajar aktif akan menghalau timbulnya proses pengembaraan

pikiran (duplikasi pikiran). Siswa akan tetap fokus pada pelajaan. Intensitas

konsentrasi belajar pun akan semakin meningkat.

f. Perlu disediakan waktu untuk menyegarkan pikiran saat menghadapi

kejemuan belajar. Dalam proses belajar, seringkali timbul rasa jemu dan bosan

untuk berpikir. Jika hal ini terjadi, maka jangan paksakan siswa untuk terus

belajar. Jika dipaksakan akan menimbulkan kepenatan dan kelelahan,

sehingga akan menimbulkan antipai untuk belajar

Sementara itu, Castle & Buckler (2009:16) menjelakskan dua strategi yang

dapat dilakukan untuk menjaga konsentrasi belajar, yaitu:

a. Belajar untuk meningkatkan perhatian pada informasi yang relevan.

Maksudnya, siswa harus lebih mampu untuk memberikan

perhatian/memfokuskan pikiran pada hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran.

b. Belajar mengurangi perhatian pada rangsangan yang tidak relevan.

Maksudnya, siswa harus mampu untuk menutup diri/tidak memperdulikan hal-

hal yang tidak berkaitan dengan pelajaran dan mengganggu konsentrasi.

Berdasarkan keterangan di atas, penulis mengmabil kesimpulan bahwa

terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi


belajar, diantaranya: lingkungan belajar harus kondusif, kesiapan belajar,

menanamkan minat dan motivasi belajar, cara belajar yang baik, belajar aktif,

serta perlu disediakan waktu untuk menyegarkan pikiran saat menghadapi

kejemuan belajar. Selain langkah-langkah tersebut, siswa juga harus

meningkatkan fokus perhatian pada hal-hal terkait kegiatan belajar dan

mengesampingkan hal lain di luar kegiatan belajar.

2.2 Cyber-sexual Addiction

2.2.1 Pengertian Cyber-sexual Addiction

Cyber-sexual addiction merupakan salah satu bentuk dari kecanduan

internet (internet addiction), sekaligus bentuk dari kecanduan seks (sex

addiction). Oleh karena itu, dalam cyber-sexual addiction terdapat gejala-gejala

yang terkait internet addiction dan juga sex addiction (Griffiths, 2012:3).

Beberapa ahli menyebut fenomena cyber-sexual addiction dengan istilah

lain, seperti internet sex addiction, problematic cybersex, dan compulsive

cybersex (Wery & Billieux, 2015:2). Namun, istilah yang pertama kali digunakan

adalah cyber-sexual addiction yang diperkenalkan oleh Kimberly S. Young.

Young dkk. (1999:477) mendefinisikan istilah cyber-sexual addiction

sebagai penggunaan secara kompulsif situs dewasa untuk cybersex dan cyberporn.

Cybersex didefinisikan sebagai aktivitas antara dua orang atau lebih yang

melibatkan percakapan seks melalui media internet dengan tujuan untuk mencari

kepuasan seksual (Daneback dkk., 2005:322). Sedangkan cyberporn didefinisikan


sebagai bentuk baru dari pornografi berupa materi seksual eksplisit yang tersedia

di internet (Stack dkk., 2004:76).

Schiebener dkk. (2015:35) mendefinisikan cyber-sexual addiction sebagai

suatu aktivitas berlebihan dalam mengakses materi pornografi di internet. Dimana

hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan pribadi maupun

pekerjaan. Sementara Wery & Billieux (2015:2) menyatakan cyber-sexual

addiction sebagai aktivitas seksual online yang tidak terkontrol dan berlebihan

yang diikuti dengan beberapa gejala.

Pada awalnya, cyber-sexual addiction belum memiliki kategori diagnostik

yang jelas dalam panduan diagnostik internasional manapun, seperti American

Psychiatric Association (APA), Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders IV-TR (DSM IV-TR), World Health Organization (WHO) dan

International Classification of Diseases (ICD). Namun, pada akhirnya APA

memasukan cyber-sexual addiction ke dalam kategori hypersexual disorder pada

DSM-V, yang mendekati kecanduan seksual dan sangat bergantung pada kriteria

gangguan obsesif-kompulsif (Griffiths, 2012:2).

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, disimpulkan bahwa cyber-sexual

addiction merupakan penggunaan internet secara kompulsif (berlebihan dan tidak

terkontrol) yang bertujuan untuk mencari kepuasan seksual, baik melalui aktivitas

chat seks (cybersex) ataupun melalui aktivitas membuka konten porno

(cyberporn).
2.2.2 Aktivitas-aktivitas Terkait Cyber-sexual Addiction

Ada banyak aktivitas melalui internet yang apabila dilakukan secara

berlebihan dapat memunculkan cyber-sexual addiction. Carnes dkk. (2007:15-18)

mencetuskan 4 kategori umum yang termasuk ke dalam aktivitas terkait cyber-

sexual addiction:

a. Accesing Online Pornography and Audio Video and Text Stories

Aktivitas yang dilakukan dengan mengakses konten porno, dapat berupa

gambar, audio, video, serta teks melalui media internet. Materi porno dapat

ditemukan di halaman web pribadi maupun komersial. Konten porno juga dapat

diperoleh melalui e-mail, forum diskusi, ataupun newsgroup.

b. Real Time with A Fantasy Partner

Aktivitas yang dilakukan dengan melakukan chat (percakapan) seks dengan

satu orang atau lebih melalui media internet. Chat dapat dilakukan melalui teks

dan gambar, audio, maupun video. Beberapa situs bahkan dengan sengaja

menyediakan teknologi live video (video langsung) untuk kepentingan seks,

sehingga memungkinkan penggunanya menciptakan dan memenuhi fantasi

pribadinya.

c. Other Cybersex Venues

Aktivitas yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi online baru, seperti

situs jejaring sosial, layanan kencan berbasis internet, ataupun penggunaan

perangkat internet portabel untuk tujuan cybersex, seperti ponsel, Blackberry,

ataupun iPod.
Situs jejaring sosial akhir-akhir ini menjadi sangat populer di kalangan remaja

sampai usia dewasa. Situs jejaring sosial memungkinkan penggunanya

memposting berbagai hal pribadi, mulai dari foto hingga video. Situs jejaring

sosial juga memungkinkan penggunanya untuk bertemu dan berkomunikasi

dengan orang yang mereka kenal ataupun belum mereka kenal. Namun,

sayangnya banyak pengguna situs jejaring sosial yang kurang memahami hal-hal

apa saja yang tepat dan tidak tepat untuk dibagikan di situs jejaring sosial.

Layanan kencan berbasis internet membantu pengguna internet bertemu orang

baru baik secara online maupun di dunia nyata. Banyak orang menggunakan

layanan ini untuk bertemu orang lain dan menjalin hubungan intim dan romantis,

sementara beberapa pengguna lain hanya menggunakannya untuk bertemu

partner seks.

Awalnya, akses internet hanya bisa dilakukan melalui komputer ataupun

laptop. Saat ini ada banyak perangkat portabel seperti ponsel, smartphone, dan

Blackberry yang bisa digunakan untuk mengakses internet melalui koneksi

nirkabel. Perangkat portabel ini dapat mengakses jenis cybersex yang sama yang

dibahas di paragraf sebelumnya.

d. Multimedia Software

Aktivitas yang dilakukan tanpa harus online (terkoneksi ke internet). Aktivitas

ini dilakukan dengan mengunduh atau menyimpan terlebih dulu file/konten

apapun yang terkait dengan pornografi, untuk dilihat nanti.

Terdapat 4 kategori aktivitas yang berkaitan dengan cyber-sexual

addiction, yaitu mengakses konten pornografi di internet, melakukan chat seks,


menggunakan teknologi online baru termasuk penggunaan perangkat internet

portabel untuk cybersex, dan aktivitas yang dilakukan secara offline dengan

mengunduh materi pornografi.

2.2.3 Kriteria dan Gejala Cyber-sexual Addiction

Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis

cyber-sexual addiction pada seseorang, terutama terkait waktu yang dihabiskan

dalam berinternet. Young (1996:8) menyatakan bahwa individu yang mengalami

kecanduan, menggunakan internet antara 20 sampai 80 jam per mingu dengan 15

jam persesi online.

Tidak jauh berbeda, Young & Rogers (1998:25) mengatakan seseorang

dikatakan mengalami internet addiction termasuk cyber-sexual addiction di

dalamnya, jika menggunakan internet rata-rata 38 jam per minggu untuk

keperluan diluar pendidikan dan pekerjaan. Sementara itu, Cooper dkk.

(1999:159) dalam penelitiannya mengungkapkan individu yang menghabiskan

waktu antara 11 sampai 80 jam atau lebih per minggu untuk aktivitas cyber-sexual

termasuk dalam kategori pengguna berat.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan kriteria yang ditetapkan

oleh Cooper dkk. (1999:159), dimana disebutkan bahwa seseorang dikategorikan

mengalami cyber-sexual addiction apabila melakukan aktivitas cyber-sexual

antara 11 sampai 80 jam atau lebih per minggu.

Selain kriteria waktu, cyber-sexual addiction juga dapat didiagnosis

melalui beberapa gejala. Griffiths (2004:193-194) mengemukakan beberapa gejala

terkait cyber-sexual addiction, diantaranya:


a. Salience, cyber-sexual menjadi kegiatan paling penting dalam kehidupan

seseorang dan mendominasi pikiran seseorang.

b. Mood modification, aktivitas cyber-sexual digunakan sebagai strategi coping

atau melarikan diri dari masalah.

c. Tolerance, peningkatan jumlah waktu yang digunakan dalam aktivitas cyber-

sexual.

d. Withdrawal symptoms, berada dalam suasan hati yang buruk (marah, murung,

atau mudah tersinggung) jika aktivitas cyber-sexual dihentikan.

e. Conflict, aktivitas cyber-sexual menimbulkan konflik antara pengguna dengan

orang-orang di sekitar mereka (konflik interpersonal), konflik dengan kegiatan

lain (pekerjaan, kehidupan sosial, atau pendidikan), serta konflik dari dalam

individu (kehilangan kontrol atas diri sendiri).

f. Relapse, kecenderunan untuk mengulang kembali aktivitas cyber-sexual

setelah lama menghentikan kegiatan tersebut (kambuh).

Wery & Billieux (2015:2) mengemukakan 6 gejala yang ditemukan pada

seseorang yang mengalami cyber-sexual addiction. Adapun gejala-gejala yang

dimaksud diantaranya: ketidakmampuan untuk menghentikan, mengurangi,

ataupun megendalikan aktivitas cybersex dan cyberporn; adanya pikiran-pikiran

yang terus-menerus muncul dan mengganggu terkait aktivitas cybersex dan

cyberporn; seringkali menggunakan aktivitas cybersex dan cyberporn untuk

memperbaiki suasana hati; seringkali berada dalam suasana hati yang buruk jika

tidak mampu melakukan aktivitas cybersex dan cyberporn; mengalami


peningkatan waktu atau peningkatan variasi aktivitas cybersex dan cyberporn;

munculnya dampak-dampak negatif terkait cybersex dan cyberporn.

Young (2016:14) juga mengemukakan gejala-gejala cyber-sexual

addiction atau yang disebutnya dengan tanda peringatan untuk cyber-sexual

addiction, diantaranya:

a. Menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas cyber-sexual.

b. Merasa keasyikan (menikmati ) aktivitas cyber-sexual.

c. Sering menggunakan komunikasi anonim untuk terlibat dalam aktivitas cyber-

sexual.

d. Mengantisipasi aktivitas cyber-sexual berikutnya dengan harapan menemukan

kepuasan seksual.

e. Beralih dari aktivitas cyber-sexual ke phone sex.

f. Menyembunyikan aktivitas cyber-sexual dari orang-orang penting di

lingkungannya.

g. Merasa bersalah atau malu karena aktivitas cyber-sexual.

h. Hanya mampu terangsang melalui aktivitas cyber-sexual.

i. Melakukan masturbasi saat aktivitas cyber-sexual.

j. Kurang tertarik dengan pasangan seksual di kehidupan nyata dan lebih

memilih aktivitas cyber-sexual sebagai bentuk utama kepuasan seksual.

Sementara itu sebagai salah satu kategori dari hypersexual disorder

menurut DSM-V, cyber-sexual addiction juga memiliki beberapa kriteria

diagnostik (Kafka, 2010:379):


a. Selama periode minimal 6 bulan, muncul fantasi seksual, dorongan seksual,

atau perilaku seksual yang intens dan berulang, yang berhubungan dengan 3

sampai 5 kriteria berikut:

1) Banyak waktu terkait pemenuhan fantasi seksual, dorongan seksual, ataupun

perilaku seksual yang terbuang, sehingga mengganggu aktivitas dan

kewajiban.

2) Secara berulang terlibat dalam fantasi seksual, dorongan seksual, atau perilaku

seksual sebagai respon dari keadaan mood (misal cemas, depresi, kebosanan,

mudah tersinggung).

3) Secara berulang terlibat dalam fantasi seksual, dorongan seksual, atau perilaku

seksual sebagai respon dari kehidupan yang penuh tekanan.

4) Secara berulang mencoba untuk mengendalikan dan mengurangi terlibat

dalam pemenuhan fantasi seksual, dorongan seksual, dan perilaku seksual,

namun tidak berhasil.

5) Secara berulang terlibat dalam perilaku seksual dan mengabaikan resiko

kerugian fisik maupun emosional terhadap diri sendiri ataupun orang lain.

b. Adanya gangguan stres atau ketidakberfungsian sosial, masalah pekerjaan,

atau masalah lainnya yang terkait dengan frekuensi dan intensitas fantasi

seksual, dorongan seksual, ataupun perilaku seksual.

c. Adanya fantasi seksual, dorongan seksual, ataupun perilaku seksual bukan

karena efek fisiologis secara langsung dari penggunaan obat-obatan.

Berdasarkan pemaparan di atas, selain dari kriteria waktu, cyber-sexual

addiction yang dialami seseorang juga dapat dilihat dari beberapa gejala. Adapun
untuk gejala-gejala tersebut, penulis merujuk pada pendapat Griffiths (2004:193-

194). Griffiths mengemukakan 6 gejala cyber-sexual addiction, yang meliputi

salience, mood modification, withdrawal symptoms, conflict, dan relapse.

2.2.4 Instrumen Cyber-sexual Addiction

Young (2008:24) mengemukakan bahwa terdapat beberapa instrumen

yang dapat digunakan untuk mengukur cyber-sexual addiction. Instrumen-

instrumen tersebut bukan hanya digunakan untuk mengidentifikasi gejala-gejala

yang ada pada pecandu cyber-sexual, tetapi juga bisa digunakan untuk menilai

tingkat keparahan cyber-sexual addiction. Adapun instrumen-instrumen tersebut

diantaranya:

a. DSM-Based Cybersexual Addiction Test (C.S.T) by Dr. Kimberly Young.

b. Cybersex Screening Test by Robert Weiss. LSCW, CAS.

c. Internet Sexual Screening Test (I.S.S.T) by Patric Carnes, Ph.D.

d. Sexaholics Anonymous (S.A).

e. Sexual Compulsives Anonymous (S.C.A)

f. Sex Addicts Anonymous (S.A.A)

g. Sexual Recovery Anonymous (S.R.A)

h. Cybersex Addiction Test.

i. The S-Anon Checklist.

Namun, meskipun beberapa instrumen cyber-sexual addiction telah

ditemukan, para ahli mengakui jika instrumen-instrumen tersebut belum

tervalidasi. Misalnya, Delmonico & Miler (2003:261-276) memperkenalkan

Internet Sex Screening Test (ISST) yang terdiri dari 25 item dalam 5 subskala,
yang bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak”. Namun karena faktor yang mendasari

terbentuknya instrumen belum diklarifikasi secara jelas serta belum ada penelitian

lain yang menggunakan instrumen ini, maka validitas instrumen ini pun

diragukan. Instrumen lain dicetuskan Carnes dkk. (2010:7-30), yaitu Sexual

Addiction Screening Test (SAST). Namun, SAST juga dianggap belum cukup

mampu mengungkap penilaian terhadap cyber-sexual addiction.

Selanjutnya, Brand dkk., (2011:373) memodifikasi suatu instrumen, yaitu

Internet Addiction Test (IAT) milik Young mejadi Internet Addiction Test for

online sexual activities (IAT-sex). Dengan IAT-sex ini, peneliti dapat menilai

semua kriteria yang digunakan untuk cyber-sexual addiction. Sama seperti IAT,

IAT-sex terdiri dari 20 item dengan skala yang digunakan berkisar dari 1 sampai 5

(“jarang” ke “selalu”), dan menghasilkan skor potensial dari 20 sampai 100. Akan

tetapi pada IAT-sex, beberapa kata-kata, misalnya “online” atapun “internet”

diubah menjadi “online sexual activities” dan “internet sex sites”. Pada IAT,

konsistensi internal yang diperoleh (α Cronbach) adalah (α = 0.878) dan IAT-sex

adalah (α = 0,842).

Internet Addiction Test for online sexual activities (IAT-sex) kemudian

mengalami modifikasi. Hal ini dikarenakan adanya modifikasi dari IAT menjadi

s-IAT (short version of Internet Addiction Test), IAT-sex pun berubah menjadi

s-IAT-sex (short version of Internet Addiction Test for online sexual activities).

IAT-sex yang pada awalnya terdiri dari 20 item di-update menjadi 12 item.

Namun sama seperti aturan sebelumnya, pada s-IAT-sex beberapa kata-kata,

misalnya “online” dan “internet” diubah menjadi “online sexual activities” dan
“internet sex sites”. Penskalaan yang digunakan pun masih sama, yaitu dari 1

(never) sampai 5 (very often), dengan skor keseluruhan dari 12 sampai 60 (Laier

dkk., 2013:101).

Selain itu, 12 item yang terdapat pada s-IAT-sex dibuat berdasarkan dua

faktor, yaitu loss of control/time management dan craving/social problems. Faktor

loss of control/time managment berkaitan dengan kegagalan dalam

mengendalikan atau mengurangi jumlah waktu dalam akses aktivitas cyber-

sexual. Faktor loss of control/time managment ini berada di item 1, 2, 3, 6, 8, dan

9. Sedangkan faktor craving/social problems berkaitan dengan kerusakan

fungsional pada seseorang terkait aktivitas cyber-sexual (termasuk perasaan

terganggu, keinginan yang kuat untuk aktivitas cyber-sexual, keasyikan dalam

aktivitas cyber-sexual, dampak negatif kehidupan sosial, dan pengaturan suasana

hati). Faktor craving/social problems ini berada di item 4, 5, 7, 10, 11, dan 12

(Wery dkk., 2015:7)

Adapun 12 item dari s-IAT-sex (short version of Internet Addiction Test

for online sexual activities) (Wery dkk., 2015:10), diuraikan sebagai berikut:

a. Apakah Anda sering mengunjungi situs seks di internet lebih lama dari yang

Anda inginkan?

b. Apakah Anda sering mengabaikan pekerjaan rumah tangga (tugas sehari-hari)

untuk menghabiskan lebih banyak waktu mengunjungi situs seks di internet?

c. Apakah nilai/pekerjaan sekolah Anda sering turun karena banyaknya waktu

yang Anda habiskan untuk mengunjungi situs seks di internet?


d. Apakah Anda sering bersikap tertutup dan merahasiakan ketika seseorang

bertanya mengenai apa yang Anda lakukan ketika mengunjungi situs seks di

internet?

e. Apakah Anda sering membentak, berteriak, dan kesal jika seseorang

mengganggu saat Anda sedang mengunjungi situs seks di internet?

f. Apakah Anda sering kehilangan jam tidur karena mengunjungi situ seks di

internet sampai larut malam?

g. Ketika Anda sedang offline, apakah Anda sering memikirkan atau

membayangkan sedang mengunjungi situs seks di internet?

h. Apakah Anda sering mengulur-ulur waktu ketika mengunjungi situs seks di

internet?

i. Apakah Anda sering mencoba mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan

untuk mengunjungi situs seks di internet, tapi Anda gagal?

j. Apakah Anda sering mencoba menyembunyikan lama waktu yang dihabiskan

untuk mengunjungi situs seks di internet?

k. Apakah Anda sering lebih memilih menghabiskan waktu mengunjungi situs

seks di internet dibanding pergi dengan orang lain?

l. Apakah Anda sering merasa tertekan, murung, atau gugup saat tidak

mengunjungi situs seks di internet, dan kembali normal saat Anda

mengunjungi situ seks di internet?

Berdasarkan pemaparan di atas, disimpulkan bahwa terdapat satu

instrumen yang diyakini para ahli mampu menilai semua kriteria yang diajukan

untuk cyber-sexual addiction, yaitu s-IAT-sex (short version of Internet Addiction


Test for online sexual activities). Instrumen ini terdiri dari 12 item dengan

penskalaan yang digunakan dari 1 (never) sampai 5 (very often), dengan skor

keseluruhan dari 12 sampai 60.

2.2.5 Cyber-sexual Addiction pada Remaja

Remaja diketahui sebagai individu yang paling rentan mengalami cyber-

sexual addiction. Hal ini karena pada usia remaja terjadi peningkatan/lonjakan

hormon secara cepat. Lonjakan/peningkatan hormon tersebut menyebabkan

tingginya minat remaja terhadap seks dan segala informasi yang berkaitan dengan

seksualitas, terutama pada remaja laki-laki (WHO, 2011:6). Pendapat senada

disampaikan oleh Karapetsas & Fotis (2013:1), bahwa cyber-sexual addiction

biasanya terjadi di usia remaja, karena remaja cenderung secara intensif mencari

pengalaman seksual.

Baharudin & Zakaria (2009:8) menjelaskan secara lebih rinci mengapa

usia remaja menjadi usia yang sangat rentan mengalami cyber-sexual addiction

dibanding usia-usia lainnya. Mereka kemudian mencetuskan biopsychosocial

perspective untuk memahami cyber-sexual addiction pada remaja. Dalam teori

ini, mereka menilai terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan untuk

menjelaskan mengapa remaja rentan mengalami cyber-sexual addiction. Adapun

tiga perspektif tersebut adalah perspektif biologis, psikologis, dan sosial.

Dari perspektif biologis menjelaskan bahwa pada usia remaja, otak

seseorang, terutama bagian korteks prefrontal belum sepenuhnya berkembang.

Korteks prefrontal ini membantu fungsi eksekutif otak, termasuk dalam hal

pengambilan keputusan, berpikir kritis, mempertimbangkan konsekuensi, dan


pengelolaan impuls emosional. Karena belum sempurnanya perkembangan

korteks prefrontal pada diri remaja, menyebabkan remaja seringkali tidak mampu

membuat keputusan yang baik. Dibandingkan orang dewasa, remaja juga belum

sempurna dalam perkembangan fisiologis dan emosional, sehingga seringkali

terjebak dalam konten-konten internet yang tidak sehat. Perubahan hormonal dan

perubahan fisik yang cepat pada remaja juga mulai meningkatkan minat mereka

terhadap seks dan segala informasi yang berkaitan dengan seksualitas.

Dari perspektif psikologis, usia remaja diketahui sebagai masa storm and

stress. Banyak remaja yang menderita masalah psikologis, seperti harga diri

rendah, tingkat stres yang tingi di sekolah, citra tubuh yang buruk, serta perasaan

terisolasi. Pada akhirnya, banyak remaja yang menggunakan aktivitas cyber-

sexual sebagai mekanisme coping terhadap stres dan tekanan yang meraka alami.

Sayangnya, para peneliti menemukan bahwa ternyata orang-orang yang

menggunakan aktivitas cyber-sexual sebagai pengalihan atau coping terhadap

masalah yang mereka alami cenderung lebih mudah mengalami cyber-sexual

addiction.

Selanjutnya, perspektif sosial terkait dengan hubungan remaja dan

keluarga, terutama orang tua. Pada usia remaja, seseorang cenderung lebih dekat

dan terikat dengan teman sebaya daripada orang tua. Kurangnya kedekatan antara

remaja dan orang tua, membuat perilaku remaja tidak terpantau dengan baik. Hal

ini beresiko menyebabkan remaja terjebak dalam perilaku adiktif, seperti

kecanduan narkoba, minuman keras, dan cyber-sexual addiction. Selain dari sisi

keluarga, pengaruh teman sebaya juga bisa membuat remaja terlibat dalam
perilaku seksual yang tidak sehat, termasuk cyber-sexual addiction. Ketika remaja

melihat teman-teman sebaya mereka melihat konten porno atau melakukan chat

seks di internet, mereka akan mengikuti hal tersebut dan menganggapnya sebagai

sesuatu yang normal untuk dilakukan.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa usia remaja

merupakan usia yang paling rentan mengalami cyber-sexual addiction. Baharudin

& Zakaria (2009:8) mencetuskan biopsychosocial perspective untuk memahami

cyber-sexual addiction pada remaja. Dalam teori ini, dia menilai terdapat tiga

perspektif (bilogis, psikologis, dan sosial) yang dapat digunakan untuk

menjelaskan mengapa remaja rentan mengalami cyber-sexual addiction.

2.3 Siswa SMA di Kota Semarang

2.3.1 Hakikat Siswa SMA

Dalam tahap perkembangannya, siswa SMA termasuk dalam usia remaja.

Santrock (2007:20) mendefinisikan usia remaja sebagai periode transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan

perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Tidak jauh berbeda,

Steinberg (1993:4) juga menyatakan bahwa usia remaja merupakan periode

pertumbuhan dari ketidakmatangan masa kanak-kanak menuju kematangan masa

dewasa. Usia remaja dibedakan ke dalam tiga periode, yaitu remaja awal (11-14

tahun), remaja tengah (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun) (Steinberg,

1993:5). Adapun pembagian ini didasarkan pada duduknya individu di bangku


sekolah. Remaja awal duduk di bangku SMP, remaja tengah di bangku SMA dan

remaja akhir di perguruan tinggi atau akademi.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa SMA

termasuk ke dalam usia remaja remaja tengah (15-18 tahun). Usia remaja

didefiniskan sebagai periode transisi dari ketidakmatangan masa kanak-kanak

menuju kematangan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan

biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

2.3.2 SMA di Kota Semarang

Kota Semarang terletak antara garis 6°50'-7°10' Lintang Selatan dan garis

109°35' -110°50' Bujur Timur. Dibatasi sebelah barat dengan Kabupaten Kendal,

sebelah timur dengan kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten

Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai

meliputi 13,6 km (Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2016:2). Kota Semarang

terbagi atas 16 kecamatan, yaitu Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan

Semarang Timur, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Semarang Barat,

Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Candisari, Kecamatan Gajahmungkur,

Kecamatan Genuk, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Tembalang, Kecamatan

Banyumanik, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen, Kecamatan Ngaliyan,

Kecamatan Tugu, serta Kecamatan Semarang Tengah (Badan Pusat Statistik Kota

Semarang, 2016:11).

Berdasarkan keterangan di atas, Kota Semarang merupakan salah satu kota

di Provinsi Jawa Tengah. Dibatasi sebelah barat dengan Kabupaten Kendal,

sebelah Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten


Semarang, dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa. Kota Semarang sendiri

terbagi atas 16 kecamatan.

Di Kota Semarang terdapat 73 SMA (Sekolah Menengah Atas) yang

terdiri dari 16 SMA negeri dan 57 SMA swasta. Adapun rincian jumlah SMA di

tiap-tiap kecamatan di Kota Semarang sesuai yang tercatat dalam “Kompilasi

Data Profil Pendidikan Dasar dan Menengah Kota Semarang Jawa Tengah Tahun

2015/2016” (Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Semarang, 2016:85-107)

dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Jumlah SMA Kota Semarang Tahun 2015/2016

Sekolah
No. Kecamatan
Negeri Swasta Negeri + Swasta
1. Semarang Utara 1 1 2
2. Semarang Timur - 5 5
3. Semarang Selatan 2 4 6
4. Semarang Barat 1 10 11
5. Gayamsari - 4 4
6. Candisari - 3 3
7. Gajahmungkur - 5 5
8. Genuk 1 2 3
9. Pedurungan 1 4 5
10. Tembalang 1 - 1
11. Banyumanik 2 6 8
12. Gunungpati 1 3 4
13. Mijen 2 3 5
14. Ngaliyan 2 1 3
15. Tugu - - -
16. Semarang Tengah 2 6 8
Jumlah 16 57 73
2.4 Pengaruh Cyber-sexual Addiction terhadap Konsentrasi
Belajar Siswa SMA

Siswa SMA, sesuai tahap perkembangannya berada pada usia remaja. Usia

remaja merupakan periode pertumbuhan dari ketidakmatangan masa kanak-kanak

menuju kematangan masa dewasa. Seseorang disebut remaja ketika berada pada

rentang usia 11-21 tahun (Steinberg, 1993:4-5). Pada usia remaja, terjadi

peningkatan/lonjakan hormon yang cepat. Hal tersebut menyebabkan tingginya

minat remaja terhadap seks dan segala informasi yang berkaitan dengan

seksualitas, terutama pada remaja laki-laki (WHO, 2011:6).

Meskipun minat remaja terhadap seks dan informasi terkait seksualitas begitu

tinggi, sedikit sekali remaja yang menjadikan orang tua sebagai rujukan untuk

mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas (Hurlock, 1980:26). Hal ini

membuat remaja lebih memilih mencari informasi tentang seks melalui media

massa, terutama internet (Kirana dkk., 2014:4).

Namun, pada kenyataannya internet tidak hanya memberikan akses informasi

yang benar dan sehat tentang seks, tetapi internet juga menghasilkan banyak

sekali situs serta aplikasi seks/pornografi yang berkonten negatif. Hal tersebut

dapat memunculkan perilaku cybersex dan cyberporn pada diri siswa (Krueger

dkk., 2013:92). Cybersex sendiri merupakan aktivitas antara dua orang atau lebih

yang melibatkan percakapan seks melalui media internet (Daneback dkk.,

2005:322). Sedangkan cyberporn merupakan aktivitas pencarian materi

pornografi melalui media internet (Stack dkk., 2004:76).

Pada remaja, perilaku cybersex dan cyberporn ini memiliki resiko tinggi

untuk berkembang menjadi suatu bentuk kecanduan yang dikenal dengan istilah
cyber-sexual addiction. Cyber-sexual addiction didefiniskan sebagai penggunaan

internet secara kompulsif (berlebihan dan tidak terkontrol) yang bertujuan untuk

mencari kepuasan seksual, baik melalui aktivitas chat seks (cybersex) ataupun

melalui aktivitas membuka konten porno (cyberporn).

Baharudin & Zakaria (2009:8) menjelaskan mengapa usia remaja menjadi

usia yang sangat rentan mengalami cyber-sexual addiction dibanding usia-usia

lainnya. Mereka kemudian mencetuskan biopsychosocial perspective untuk

memahami cyber-sexual addiction pada remaja. Dalam teori ini, mereka menilai

terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa remaja

rentan mengalami cyber-sexual addiction. Adapun tiga perspektif tersebut adalah

perspektif biologis, psikologis, dan sosial.

Sebagai suatu bentuk kecanduan, cyber-sexual addiction tentu membawa

berbagai dampak negatif. Pada diri remaja, terutama terkait perannya sebagai

seorang siswa, cyber-sexual addiction ternyata dapat menyebabkan terganggunya

konsentrasi belajar. Konsentrasi belajar diartikan sebagai pemusatan pikiran

terhadap suatu mata pelajaran dengan mengesampingkan semua hal lainnya yang

tidak berhubungan dengan pelajaran (Slameto, 2015:86).

Siswa yang mengalami cyber-sexual addiction akan terpapar pornografi

secara intens, baik ketika melakukan aktivitas cybersex maupun cyberporn.

Diketahui, ternyata paparan pornografi yang intens dapat menyebabkan gangguan

pada otak seseorang. Seperti yang dikemukakan Zamzani Sutriyanto, dokter

sekaligus seksolog ini menyatakan bahwa kecanduan pornografi dapat merusak

sampai lima bagian otak, melebihi kecanduan narkoba yang hanya merusak tiga
bagian otak. Adapun salah satu bagian otak yang terganggu akibat kecanduan

pornografi adalah korteks prefrontal. Terganggunya bagian prefrontal korteks

dapat menyebabkan seseorang tidak dapat berkonsentrasi dengan baik (Zamzani,

2013:1).

Pendapat senada dikemukakan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber

Bareskrim Polri melalui akun resminya, yang menyatakan bahwa kecanduan

pornografi dapat merusak bagian prefrontal korteks (PFC). Adapun gejala awal

kerusakan pada PFC karena kecanduan pornografi adalah hilangnya konsentrasi

(Nugroho, 2017:1-2). Selain itu, Hakim (2005:16) juga menyatakan bahwa salah

faktor yang dapat menghambat konsentrasi belajar adalah adanya gangguan otak

dan saraf.

Adapun pengaruh cyber-sexual addiction terhadap konsentrasi belajar pada

siswa SMA dapat dijelaskan melalui kerangka berpikir sebagai berikut:


Siswa SMA (Remaja Laki-laki) Remaja Mencari Informasi
Memiliki Minat Tinggi terhadap Seks tentang Seks di Internet

Internet Didominasi Konten


Seks yang Tidak Sehat

Biopsychosos Perspective
(Karakteristik Remaja Rentan Cyber- Remaja Terpapar Cybersex &
sexual Addiction) Cyberporn

Cyber-sexual Addiction

Dampak Cyber-sexual Addiction: Gangguan Fungsi Otak

Gangguan Fungsi Otak Menghambat Konsentrasi Belajar

Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir

2.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto,

2010:110). Berdasarkan latar belakang dan teori di atas, maka hipotesis dari

penelitian berbunyi “terdapat pengaruh cyber-sexual addiction terhadap

konsentrasi belajar siswa SMA di Kota Semarang”

Anda mungkin juga menyukai