Anda di halaman 1dari 34

RAJA-RAJA YANG PERNAH MEMERINTAH

MAJAPAHIT

Keruntuhan Majapahit
Perkembangan kerajaan Majapahit yang mencapai puncaknya pada abad ke-14, akhirnya mulai
mengalami proses kemunduran setelah Gajah Mada meninggal pada tahun 1364, kemudian disusul
meninggalnya Hayam Wuruk pada tahun 1389. Kewibawaan kerajaan Majapahit mulai menurun,
karena sistem sentralisasi yang ditetapkan oleh Gajah Mada selama memangku mahapati. Akibatnya
daerah-daerah bawahan banyak yang memisahkan diri, seperti Minangkabau, Tanjungpura, dan
berbagai kerajaan kecil lainnya. Muhammad Yamin dalam buku Tatanegara Majapahit melukiskan:

“Tidak berapa lamanya sesudah Prabu Hayam Wuruk meninggal, maka mulailah negara Majapahit
memperlihatkan tanda-tanda kemundurannya yang berjalan terus sampai permulaan abad ke-16,
inilah zaman runtuhnya negara Majapahit yang akan berakhir dengan habis musnahnya atau hilang
tenggelamnya kerajaan itu sebagai susunan politik.”1)

Situasi dan kondisi Majapahit semakin tidak menentu setelah meninggalnya kedua tokoh tersebut.
Kekacauan di istana timbul sebagai akibat pertentangan di kalangan kerabat istana dalam usaha
merebut tahta pemerintahan. Hal ini nampak pada masa pemerintahan Wikramawardhana dengan
Bre Wirabumi, yang memuncak dengan pecahnya perang Paregreg tahun 1401.

Pertentangan dalam kerabat istana tersebut, menyebabkan lemahnya pemerintahan pusat kerajaan
Majapahit, sehingga pengawasan terhadap daerah-daerah bawahan berkurang. Majapahit
mengalami proses disintegrasi. Situasi-situasi inilah yang melemahkan kerajaan Majapahit yang pada
akhirnya membawa kepada keruntuhannya. Menurut N.J. Krom:

“Bahwa keruntuhan didahului oleh melemahnya pusat pemerintahan dan pelemahan ini tidak
disebabkan terutama sekali oleh pertentangan agama Hindu yang sedang turun dan agama Islam
yang sedang naik, melainkan semata-mata oleh pertentangan dalam negeri yang berupa perang
saudara dan perpecahan kekuasaan.”2)

Di samping itu sistem sentralisasi yang diterapkan oleh Gajah Mada semasa kepatihannya, tidak
dapat lagi dilakukan karena tidak adanya kaderisasi. Perkembangan selanjutnya, setelah
pemerintahan Wikramawardana, pertentangan dalam pemerintahan Majapahit semakin meningkat.
Namun tercatat beberapa penguasa di Majapahit.

Ratu Suhita (1429-1447)


Raja Wijayaparakramawardhana (1447-1451)
Raja RAjaswawardhana (1451-1453)
Ada selang tiga tahun tidak ada raja yang memerintah, yang mungkin disebabkan oleh krisis
pergantian raja ….
Masa pemerintahan dua orang raja lagi dapat diketahui, yakni:
Girisawardhana (1456-1466) dan Singhawikramawardhana (1446-1478).3)

Singhawikramawardhana dianggap sebagai raja terakhir kerajaan Majapahit. Tahun 1478 sering
dijadikan sebagai patokan keruntuhan Majapahit. Para ahli sejarah masih memperdebatkan tentang
keruntuhan Majapahit, sebab ada yang menyebutkan bahwa keruntuhannya sekitar tahun 1518-
1521.4) Menurutnya setelah Majapahit ditaklukkan oleh Demak. Sementara itu Muhammad Yamin
dalam bukunya 6000 tahun sang merah putih, memperkirakan keruntuhan Majapahit sekitar tahun
1525.5)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab runtuhnya Majapahit adalah:
a. Tidak ada pemimpin yang cakap sepeninggal Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada
b. Lemahnya pemerintahan pusat akibat pertentangan antara kerabat istana
c. Terjadinya perang saudara (Perang Paregreg)
d. Ekspansi Kerajaan Demak

Kalau tahun 1478 menjadi patokan keruntuhan Majapahit, boleh jadi hal itu menyangkut
pemerintahan pusat yang berlokasi di Tarik (Blitar) dan mungkin juga berpindah ke Daha atau Kediri.
Hal ini akan menjadi jelas jika bukti-bukti baru yang lebih akurat dan otentik ditemukan.

Daftar Referensi:
1) Muhammad Yamin, 1962. Tata Negara Majapahit. Jakarta: Yayasan Prapanca, hal. 234
2) Saifuddin Zuhri, 1981. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Bandung: Al-Maarif, hal. 21
3) M.C. Ricklefs, 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
hal. 26
4) Drs. Abd. Rauf RAhim, dkk. Sejarah Indonesia Kuno. FPIPS IKIP Ujung Pandang, hal. 21
5) Drs. Muhammad Yamin, 1958. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Jakarta: Balai Pustaka, hal.
208

SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT YANG DI


SEMBUNYIKAN PEMERINTAH
11 Juli 2012 pukul 20:43

SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT YANG DI SEMBUNYIKAN PEMERINTAH


OM Swastiastu,

--------------------------------------------

Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari
ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan
nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.

Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah
dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit
sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran
Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan
Majapahit.

Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih.
Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati.
Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah
menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat
pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan
iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.

Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiwa dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan
sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama
Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu
pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya
memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama
dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa
sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta :
Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar
ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto
).

Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu


Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan
pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-
nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan
seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!

Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal
dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten
Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah
oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri
yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa
dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan,
Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka,
Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo
Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak =
Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak
Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)

Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada


Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan
karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil
memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat
sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita
tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan
Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.
)

Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh
Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada
jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit,
dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.

Dan kisahnya adalah sebagai berikut :

Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan
Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa ).
Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu.
Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara.
( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain
berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai
menantu.

Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang
bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi
Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali
Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa
( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa
dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum
mengetahuinya : Damar Shashangka
).

Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada
waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun
1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada
tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai
penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun
1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi
oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi
dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena
Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.

Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang
putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi.
Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini
bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu
Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain.
( Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar.
Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka
).

Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang
menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut
juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda
takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.

Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi
Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan
sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.

Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari
istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang
ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar
sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja
Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang
putri China pula.

Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari
Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia
masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut
Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah,
Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak
Islam.

Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya.
Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.

Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya,
adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga
diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra.
Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan
nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!

Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya.
Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan
Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang
muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah
Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku
Buddha.

Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang
menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi
Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim
As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang
hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.

Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat
yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-
hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.

Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya
juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun,
Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau
dengarkan.

Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng
Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini,
dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar.
Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu
Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat
daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku
para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.

Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus
menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker
( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih
baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti
tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau
dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh
satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci.
( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan
satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan,
melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan
tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-
sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit
sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah
symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan
banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan
adalah symbol dari Pejabat daerah.

Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang
dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan
sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem
dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat
kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-
terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-
orang Islam!

Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!

Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama
para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau
mamaklumatkan perang dengan Majapahit!

Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan
Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar
Shashangka.
)

Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom.
Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah
Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang
Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi
kaum muslim.

Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim
utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit
dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.

Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-
Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke
Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.

Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh
masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa.
Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana
Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk
hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini
ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun,
beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan
rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak
para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba.
Banyak yang meninggal. Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan
lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.

Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang
dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari
bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan
Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali
Sembilan.: Damar Shashangka
)

Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan
perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-
Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama
Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.

Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati
bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul
Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari
sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.

Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan
Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad
dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah
menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun
lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di
Gresik sekarang.

Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam
pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah
Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk
membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas
dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.

Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia
kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.

Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan
Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum
missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam,
Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya
Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak
mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah
kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Berdirinya Giri Kedhaton

Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal
ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan
lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul
Sengara.

Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu,
jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai
( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama
Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara,
dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa,
sang putri berangsur-angsur sembuh.

Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu
menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai
saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.

Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh
Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.

Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan.
Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk
menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati
karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah
menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak
infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu
kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar
kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.

Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini,
kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok
Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi
ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat
terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari
Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.

Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru
cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah
berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu
akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.

Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah
berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka
hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-
tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke
Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur
pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari
ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di
Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu
telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng
Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.

Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.

Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi
Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi
keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang
disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu.
Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar
dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.

Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal
disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.

Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih, maka
sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak
sendiri.

Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja,
memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim (Nama
Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama
pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian
dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan
Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera,
yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri
bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng
Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan
Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah
santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai
penggantinya kelak bila sudah meninggal.

Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari
Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia
mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.

Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan


Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan.
Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya
sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran
kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).

Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja
Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah
tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam
bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak
Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. (Sembilan tahun setelah Majapahit
hancur pada tahun 1478 Masehi
).

Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri
berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya.
Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat
puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat
‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’.
Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya yang
mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat
‘memusingkan’ Majapahit.

Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri
tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya
( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil
yang sebenarnya bisa membahayakan.

Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus
mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang
Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili
siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu
ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya,
VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya
bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang
bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu
menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu
menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman
bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau
menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan
keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan
kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya
dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari
kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu
memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan,
kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata
angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut
ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu
Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.

Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram
hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam
yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.

Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu.
Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak
menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan
Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk
melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah
tertentu.

Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan
Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim,
bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut
PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai
ABANGAN (Kaum Merah
).

Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api
dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh
para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal
yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para
investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi
chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan
Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet,
santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan :
Damar Shashangka ).

Berdirinya Ponorogo.

Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau
masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden
Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya,
Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi
Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.

Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu
Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah
Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.

Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.

Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan
taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.

Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan
mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong,
putra selir beliau.

Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para
prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker.
Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.

Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon
tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan.
Inilah sikap seorang Ksatria sejati.

Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia
bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia
mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran
berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden
Bathara Katong.

Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah
lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah,
menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya
peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses
langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong
memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu
memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan
menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.

Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.

Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura
meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon
perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti
akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya.
Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk
mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status
Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut
gembira oleh Ki Ageng Kutu..

Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan
pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan
Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.

Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong
harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur
tambahan.

Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!

Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas
kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.

Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden
Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah,
ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki
Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.

Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.


Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. (Sura
Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat
Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka
).

Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong,
sedangkan Sura Handaka tidak.

Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni
Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng
Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan
kepada Raden Bathara Katong.

Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak
(Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh
pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas
bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui
semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki
Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong,
memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.

Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi
permintaan pengiriman pasukan baru.

Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga
bermain disana! Ironis sekali.

Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan
marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi
Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu,
Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!

Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara
Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat!
Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-
habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh
berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.

Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan
saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker
bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker
berhasil dihancurkan!

Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang benar-
benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!

Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar
kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat
Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu
membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.

Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan
darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng
Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi
kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri.
Betapa tidak memilukan!

Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima
dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang
Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.
RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Kubu Abangan

Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal
dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi
Islam. Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada
mendirikan sebuah Negara Islam.

Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan
Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin
pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa
( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan
Majapahit.)

Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi
Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah
Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti yang telah
saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka
).

Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering
terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti
Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan
Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.

Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh
Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.

Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni
yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang
merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.

Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali
Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak
mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.

Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.

Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh
Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam
mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para
pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya
tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.

Keturunan di Pengging

Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan dengan diangkatnya
putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai protes.
Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat
jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti
putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan,
Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.

Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam
Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut
Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai
oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.

Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya
dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan
dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging (sekitar daerah Solo, Jawa
Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang
ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal
dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak
didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka.
)

Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam,
begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.

Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua
orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si
sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di
Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan
beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging,
bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo
Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris
sah tahta Majapahit.

Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.


Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva
Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka
berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan
diantara Shiva Buddha dan Islam.

Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit,
masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari
dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti
Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging
tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang
lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden
Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar
hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh
mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang
spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang
sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng
Pengging gugur karena korban kepicikan.

Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama
keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun
bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi
masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-
terangan. Ironis.

Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau
Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan
Adiwijaya.

Keturunan di Tarub

Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau
syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit
beliau tetap membandel.

Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada
Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon,
suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.

Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.

“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah
kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”

Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau
teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha
Niera, didaerah Sulawesi
).

Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih
yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat
cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan
nama Dewi Wandhan Kuning.

Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali,
penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.

Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus
dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para
bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah
seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.

Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra
ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana
memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)

Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen ( Bondhan perubahan dari kata Wandhan.
Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.
)

Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur
dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng
Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi,
Jawa Tengah sekarang.)

Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia.
Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal
oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang
menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah
simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar
Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden
Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak
Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.

Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas
Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan
Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang
petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak ( simbolisasi lagi, kapan-kapan saya
ulas : Damar Shashangka
).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah
keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga.
Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul
Rahman.

Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki
Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga,
tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. ( Panembahan Senopati Ing
Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan
Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang.
)

Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.

Raden Patah.

Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?

Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra bernama
Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng
Kian dengan Arya Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan
nama muslim Raden Hussein.

Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya Damar.
Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia
berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.

Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan
bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang
hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan
Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.

Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan
untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat
kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di
Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.

Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik
dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada
kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.

Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada
ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir
Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa
bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa
Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran
Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi.
Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka.
)

Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan
diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia
diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat
Jawa dengan nama Raden Patah.

Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah
melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk
bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.

Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan
manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya
mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih
daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.

Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk
membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit,
berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon
Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk,
dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu
Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana.

Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga
menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat
dan timur pesisir utara Jawa.

Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap
dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu
mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah
melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah
memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam
kedaulatan Majapahit.

Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul ke
Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh
ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung ( Sidoarjo,
sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai
kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-
bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.

Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

Mendekati detik-detik pemberontakan


Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi
Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama
Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu
Wali.

Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir.
Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im
adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. ( Hanya
Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda
bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan
Pajajaran. : Damar Shashangka

SEJARAH KERAJAAN PERTAMA DI INDONESIA


Berbicara tentang sejarah Indonesia maka tak lepas dari sederet nama kerajaan
yang pernah berdiri di bumi Nusantara. Dari sekian banyak kerajaan itu, hanya
sedikit yang kemudian familiar di telinga masyarakat. Kali ini saya akan
mengajak anda mengingat kembali salah satunya. Kita akan bahas alur sejarah
sebuah kerajaan yang diyakini sebagai peradaban tertua di Indonesia, Kutai.

KERAJAAN KUTAI MARTADIPURA

Kita akan mulai dengan Kutai Martadipura, kerajaan bercorak Hindu yang
memiliki bukti sejarah tertua di Nusantara. Berdiri sekitar abad ke-4, pusat
kerajaan ini terletak di hulu sungai Mahakam (tepatnya di Muara
Kaman, Kalimantan Timur). Nama Kutai diberikan oleh para ahli, diambil dari
nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan
tersebut. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, yaitu
mencakup hampir seluruh Kalimantan Timur bahkan hingga seluruh Pulau
Kalimantan.

Ada tujuh buah Yupa (prasasti dalam upacara pengorbanan) yang menjadi
sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai
Martadipura. Yupa sendiri adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk
menambat hewan yang akan dikorbankan.

Dari salah satu Yupa tersebut diketahui bahwa salah satu raja yang pernah
memerintah Kutai Martadipura adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam
Yupa karena kedermawanannya menyumbangkan 20.000 ekor sapi kepada
kaum brahmana.

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman


dan Aswawarman sangat dipengaruhi bahasa Sansekerta bila dilihat dari cara
penulisannya. Sedangkan nama Kudungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan
sebagai nama asli Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya
India, namun Kudungga diduga awalnya adalah seorang kepala suku yang
setelah masuknya budaya India ke Nusantara kemudian diangkat menjadi
seorang raja. Ada juga versi yang menyebutkan bahwa sebenarnya dia adalah
pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Nusantara dan
mendirikan kerajaan disini.

Aswawarman diyakini sebagai Raja Kutai pertama yang beragama Hindu. Ia juga
dikenal sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar
Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Mengapa bukan Kudungga
yang menjadi pendiri dinasti tetapi justru anaknya? Hal ini diyakini karena Raja
Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa dianggap
sebagai pendiri dinasti Hindu.
Aswawarman disebut sebagai seorang raja yang cakap dan kuat. Dia pula yang
memiliki jasa paling besar atas perluasan wiayah Kerajaan Kutai Martadipura.
Perluasan wilayah diakukan oleh Aswawarman dengan cara melakukan upacara
Asmawedha, yaitu upacara pelepasan kuda untuk menentukan batas wilayah
kerajaan. Kuda-kuda yang dilepas ini diikuti oleh prajurit kerajaan yang akan
menentukan wilayah kerajaan sesuai dengan sejauh mana jejak telapak kaki
kuda dapat ditemukan. Aswawarman memiliki 3 orang putera, yang salah
satunya adalah Mulawarman.
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah Kutai
Martadipura:
1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman
2. Maharaja Asmawarman
3. Maharaja Mulawarman
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Jayanaga Warman
8. Maharaja Nalasinga Warman
9. Maharaja Nala Parana Tungga
10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman Dewa
12. Maharaja Sangga Warman Dewa
13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka Dewa
15. Maharaja Guna Parana Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta Dewa
21. Maharaja Dharma Setia
Dari Yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan
Kutai Martadipura mengalami masa keemasan. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan
makmur.

KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang
bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah
Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325), sama seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Batuta.
Nama ‘Kutai’ disadur dari bahasa China, ‘Kho Thay’ yang berarti ‘negara yang
besar’. Sedangkan ‘Kartanegara’ berarti ‘mempunyai peraturan’. Jadi makna
nama Kutai Kartanegara adalah ‘negara besar yang mempunyai peraturan’.

Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin
Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah yang berhasil ditaklukan oleh
Maha Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan
Maharaja Sultan (1370-1420), raja dan adiknya berkunjung ke Majapahit untuk
belajar adat istiadat dan tata pemerintahan pada Maha Patih Gajah Mada. Sejak
saat itu Majapahit menempatkan seorang Patih di Kutai Kartanegara sebagai
representasi pengakuan kekuasaan Majapahit disana.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), Kutai Kartanegara juga


merupakan salah satu ‘tanah di atas angin’ (sebelah utara) yang mengirim upeti
kepada Maharaja Suryanata, Raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14.

Adanya dua kerajaan di tanah Kutai menimbulkan rivalitas. Ketegangan demi


ketengangan terjadi. Akhirnya riwayat Kerajaan Kutai Martadipura berakhir pada
abad ke-16, saat Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan
Raja Kutai Kartanegara, Raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Raja Kutai
Kartanegara pun kemudian mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan
Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai simbol peleburan antara dua
kerajaan tersebut.

Sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu
vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai
untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang telah berhasil menguasai
Sukadana dan berambisi menaklukan seluruh Kalimantan. Sebelumnya
Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi
semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti
kepada pemerintahan di Jawa.

Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bongaya), Sultan Makassar (Gowa-


Tallo) meminjam Pasir, Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar
Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain
Billah/Marhum Panembahan. Hal ini disampaikan Sultan Makassar pada Kiai
Martasura yang diutus ke Makassar untuk mengadakan perjanjian dengan I
Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud, yaitu Raja
Tallo yang menjabat sebagai Mangkubumi (Putra Mahkota) bagi Sultan
Malikussaid (Raja Gowa) tahun 1638-1654.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan (ulama Makassar) diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai
Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Sejak itu gelar
raja diganti menjadi sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1738) merupakan
Sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan
kemudian nama kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara
ing Martadipura.

Sebagai indikator kuatnya pengaruh agama Islam di Kutai, dikenal adanya


Undang-undang Beraja Nanti (Undang-Undang Dasar kerajaan) bernama Panji
Selaten yang disandarkan pada hukum Islam.
Tahun 1732 ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke
Pemarangan (sekarang Desa Jembayan, Loa Kulu).

Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo, La
Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur
melawan VOC bersama rakyat Bugis. Saat itu pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal
Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putra Mahkota
kerajaan, Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji
Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan
menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai Putra Mahkota yang sah dari Kesultanan
Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat
istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai
Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu
dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Tahun 1747 VOC mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar


padahal saat itu sebenarnya dia hanyalah Mangkubumi. Pada 1765 VOC berjanji
membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC itu untuk menaklukan kembali
daerah-daerah yang memisahkan diri, diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian
20 Oktober 1756.

Sementara itu di Kutai sedang berlangsung siasat embargo yang ketat oleh
Sultan Muslihuddin terhadap Aji Kado. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam
perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap
armada Aji Kado. Tahun 1778 Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak
dapat dipenuhi, karena di tahun itu VOC sedang disibukkan usaha merebut
Landak dan Sukadana (sebagian besar wilayah Kalimantan Barat saat ini) dari
kekuasaan Sultan Banten.

Pada tahun 1780, Sultan Muslihuddin berhasil merebut kembali ibukota


Pemarangan dan secara resmi dinobatkan kembali sebagai sultan yang sah
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai
Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Sultan Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke


Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan
untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado
dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan
kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti ‘Rumah Raja’, lama-
kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap
bertahan hingga kini.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian
dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar resmi sebagai daerah
protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu
kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara
sepihak sebagai properti VOC.

Tahun 1809 Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Banjarmasin dan


menyerahkan benteng Tatas serta benteng Tabanio kepada Sultan Banjar.
Setelah wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah
dalam peperangan, sejak itu Alexander Hare menjadi Wakil Pemerintah Inggris
di Banjarmasin sejak 1812.

Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda


termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda, kemudian
Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar. Negeri Kutai
diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Banjar yang diwakili oleh
Sultan Sulaiman dengan Hindia Belanda yang diwakili oleh Residen Aernout van
Boekholzt.

Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah
pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13
September 1823 antara Sultan Sulaiman dengan Residen Tobias.

Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia


Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan
Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada
tanggal 4 Mei 1826.

Tahun 1838 Sultan Muslihuddin mangkat dan pucuk pimpinan Kesultanan Kutai
Kartanegara digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.
PERTEMPURAN MELAWAN PENJAJAH

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal
Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk
berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif
untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan Salehuddin
mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray
kurang puas dengan tawaran Sultan ini.

Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan


meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran
pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan
diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak
armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas tersebut.

Kabar insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris.


Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun
ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari
wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut
dengan caranya sendiri.

Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t’Hooft dengan


membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t’Hooft
menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun.
Panglima Perang Kutai, Pangeran Senopati Awang Long bersama pasukannya
dengan gagah berani bertempur melawan armada t’Hooft untuk
mempertahankan kehormatan Kutai. Awang Long gugur dalam pertempuran
yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya
kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan Salehuddin harus menandatangani
perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui
pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di
Kalimantan yang diwakili oleh seorang residen yang berkedudukan di
Banjarmasin. Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda
yang pertama di pantai timur Kalimantan.

Pada tahun 1850, Sultan Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan


Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Pada tahun 1853, Pemerintah
Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda.
Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan
Sulaiman. Dalam tahun 1853 itu penduduk Kesultanan Kutai Kartanegara
tercatat sebanyak 100.000 jiwa.

Pada 17 Juli 1863, Kutai kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda.


Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi
daerah Swapraja dari Pemerintahan Hindia Belanda. Bentuk Swapraja dipilih
karena Belanda menyadari tak memiliki kekuatan untuk memerintah secara
langsung dari Batavia. Sehingga dengan status ini Kutai seperti halnya kerajaan
yang lain dapat mengatur perundangan sendiri, melaksanakan otonomi,
melakukan pengadilan sendiri dan melakukan tugas kepolisian sendiri. Status
serupa juga diperoleh Kasultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja
Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman Adikarta di Jawa

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan
Sultan Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah
Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock,
seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi
Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan
Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan
bentuk yang cukup sederhana.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal


oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar
bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai
pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara
menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber
daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.

Tahun 1899 Sultan Sulaiman wafat dan digantikan Putra Mahkotanya, Aji
Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin. Sultan Alimuddin
mendiami istana baru yang terletak tak jauh dari bekas istana Sultan Sulaiman.
Istana Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin
(kayu besi). Istana ini dibangun menghadap sungai Mahakam.
Tahun 1905, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memerintah secara
langsung Kota Samarinda. Sejak itu Kutai tak memiliki lagi kekuasaan politik di
salah satu kota terbesar Kalimantan itu.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat
pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu Putra Mahkota Aji Kaget masih
belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian
dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga
banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju
dengan pengangkatan tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji
Pangeran Soemantri lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. Pada
beberapa media juga disebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit
dikarenakan kedua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang
banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak awal abad ke-20, perekonomian Kutai berkembang dengan sangat pesat
sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun
tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus
yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924 Kutai telah memiliki dana
sebesar 3.280.000 Gulden, jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan Parikesit membongkar istana kayu peninggalan Sultan


Alimuddin dan mendirikan istana baru yang megah nan kokoh yang terbuat dari
bahan beton. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga
kemudian menempati istana lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan
istana baru ini dilaksanakan oleh HBM (Hollandsche Beton Maatschappij) Batavia
dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk
menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan istana selesai pada tahun 1937,
baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 secara resmi didiami oleh Sultan
Parikesit beserta keluarga. Peresmian istana yang megah ini dilaksanakan cukup
meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya.
Sementara itu, dengan telah berdirinya istana baru maka istana peninggalan
Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang ini areal bekas
istana Sultan Parikesit juga telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni
Gedung Serapo LPKK.

Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, sejak itu Sultan Kutai harus
tunduk pada Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan ‘Koo’.
MASA KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan
Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam
Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya
seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan
membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949
masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Berdasar UU Darurat No.3 Tahun 1953, Daerah Swapraja Kutai diubah
menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom tingkat
kabupaten.
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah
kekuasaannya meliputi beberapa wilayah yang ada di propinsi Kalimantan Timur
saat ini, yakni:
1. Kabupaten Kutai Kartanegara
2. Kabupaten Kutai Barat
3. Kabupaten Kutai Timur
4. Kota Balikpapan
5. Kota Bontang
6. Kota Samarinda
7. Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun
1959 adalah seluas 94.700 km2.
Namun pada tahun 1959 itu, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang
“Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah
Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960 bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T.
Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala
daerah untuk ketiga Daerah Swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapten Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Istana
Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai.
Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah
Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo (Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Kutai), Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan
A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit pun berakhir dan beliau
hidup menjadi rakyat biasa.
Berikut adalah nama para raja yang pernah memerintah Kutai
Kartanegara:
1. Aji Batara Agung Dewa Sakti
2. Aji Batara Agung Paduka Nira
3. Aji Maharaja Sultan
4. Aji Mandarsyah
5. Aji Pangeran Tumenggung Baya-Baya
6. Aji Raja Mahkota
7. Aji Dilanggar
8. Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa
9. Aji Pangeran Agung
10. Aji Pangeran Dipati Majakesuma
11. Aji Bagi Gelar Ratu Agung
12. Pangeran Jembangan
13. Aji Yang Begawan
14. Aji Sultan Muhammad Idris
15. Aji Marhum Muhammad Muslihuddin
16. Aji Sultan Muhammad Salehuddin
17. Aji Sultan Muhammad Sulaiman
18. Aji Sultan Muhammad Alimuddin
19. Aji Sultan Muhammad Parikesit
20. Sultan Aji Muhammad Salehuddin II

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berakhir, bangunan


istananya seluas 2.270 m2 tetap menjadi kediaman Sultan Parikesit hingga
tahun 1971. Istana Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari
1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas Istana Kutai
kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah
museum dengan nama Museum Mulawarman. Di dalam museum ini disajikan
beraneka ragam koleksi peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya
singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat
gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.

Di dalam area istana Sultan Kutai juga terdapat makam para raja dan keluarga
kerajaan. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat
dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir.
Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin,
Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan
Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan istana, beliau dimakamkan
di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tahun 1999 Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk
menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Dikembalikannya Kesultanan ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan
feodalisme di daerah, namun untuk upaya pelestarian warisan sejarah dan
budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu
dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara diharapkan dapat
mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat
wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putra


Mahkota Kutai Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menghadap Presiden
RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di
atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan
Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni Putra Mahkota Aji
Pangeran Prabu.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara,


Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat resmi dinobatkan menjadi Sultan
Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II.

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara kemudian membangun sebuah istana


baru yang disebut Kedatonbagi Sultan Kutai Kartanegara. Bentuk istana yang
terletak disamping Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep
rancangan yang mengacu pada bentuk istana Kutai pada masa pemerintahan
Sultan Alimuddin.

GELAR KEBANGSAWANAN

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan


yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan
nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai
Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
 Aji Sultan: digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat
kerajaan.
 Aji Ratu: gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
 Aji Pangeran: gelar bagi putera Sultan.
 Aji Puteri: gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji
Pangeran.
 Aji Raden: gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan
oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang
gelar Aji Bambang.
 Aji Bambang: gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya
dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya
menyandang gelar Aji saja.
 Aji: gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat
diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria
biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
 Aji Sayid: gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah
dengan pria keturunan Arab.
 Aji Syarifah: gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang
menikah dengan pria keturunan Arab.
Demikianlah sedikit kisah mengenai sejarah peradaban tertua di Indonesia yang
dapat kita bahas kali ini. Satu hal yang menarik adalah, ternyata peradaban ini
tidak berdiri di tanah Jawa yang saat ini mendominasi roda pemerintahan
Indonesia. Ini adalah bukti bahwa daerah di luar Jawa mampu dan memiliki
kesempatan untuk mensejajarkan diri dalam berkembang meraih kemajuan dan
kesejahteraan.

Anda mungkin juga menyukai