Nekrolisis Epidermal Toksik 1
Nekrolisis Epidermal Toksik 1
I. PENDAHULUAN
Penyakit ini melibatkan kulit dan membran mukosa. Makula yang eritem
sebagian besar berada pada badan dan lengan yang proksimal, secara cepat berubah
menjadi lepuhan dan akhirnya akan terkelupas. Gejala kulit yang terpenting ialah
epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di orifisium
dan mata.(1, 2)
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun1956
sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s. NET
ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka
bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Kata “toxic” yang digunakan
mengacu pada kondisi dimana beredarnya racun dalam peredaran darah yang
menyebabkan timbulnya gejala-gejala dan nekrolisis epidermal. Sedangkan kata
“necrolysis” digunakan Lyell’s dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis
dengan gambaran histopatologi “necrosis’. Beliau juga menggambarkan keterlibatan
mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan hanya terjadi sedikit inflamasi di
daerah dermis yang kemudian disebut “dermal silence”. Sindrom ini juga dapat
mengenai konjungtiva, kornea, iris, mukosa mulut, bibir dan membran mukosa
genitalia. Gambaran klinis ini jelas berbeda dengan penyakit lain yang memiliki
1
gambaran klinik berupa lepuhan (blister) dan terjadi inflamasi, seperti yang terjadi
pada eritema multiformie, dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.(3, 4)
Menurut Djuanda dkk (2009) perbedaan mendasar antara SSJ dan NET yaitu,
dimana pada NET ditemukan adanya epidermolisis, pemisahan epidermis dari
dasarnya, yang tidak ditemukan pada SSJ.(2)
II. DEFINISI
Nekrolisis epidermal toksik ialah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting
ialah epidermolisis generalisata dapat disertai kelainan pada selaput lendir di
orifisium dan mata.(2)
III. EPIDEMIOLOGI
2
Penyakit NET ini bisa terjadi pada segala kelompok umur, dan meningkat
pada usia kepala empat, dan wanita lebih sering terkena. Tingkat kematian rata-rata
pada NET adalah 20-25%. Usia yang lebih tua, kelainan yang bermakna, dan daerah
kulit yang lebih banyak terlibat berhubungan dengan prognosis yang buruk.
Kelompok pasien yang berisiko, yaitu pasien dengan imunitas yang rendah (HIV,
Limfoma) dan pasien dengan tumor otak yang menjalani radioterapi dan menerima
anti epilepsi.(1, 3)
Diseluruh dunia insidens NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi, di
Perancis survei yang dilakukan oleh dermatologists melaporkan insidens NET
mencapai 1 kasus per 1 juta penduduk. Di amerika serikat kejadian NET dilaporkan
sekitar 0,22-1,23 kasus per 100,000 populasi.(7)
Tingkat mortalitas NET mencapai 34% sampai 40%. Tingkat mortalitas ini
tidak dipengaruhi oleh jenis obat. Saat ini tingkat kejadian NET meningkat sekitar 1
kasus per seribu populasi per tahun pada populasi HIV-positif. Peningkatan insiden
NET pada penderita HIV disebabkan penggunaan sulfonamid pada penderita.(8)
IV. ETIOLOGI
Penyebab dari NET masih belum jelas, namun ditemukan bahwa obat-obatan
merupakan salah satu faktor penting. Obat-obatan yang beresiko tinggi yaitu
sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, anti inflamasi non-steroid,
lamotrigin, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resiko lebih rendah yang dilaporkan
jenis antibiotik non-sulfonamid seperti aminopenicilin, kuinolon, sepalosporin, dan
tetrasiklin. Mekanisme fisik seperti radioterapi dalam hal ini penangan dengan obat
3
anti-epilepsi seperti phenytoin, fenobarbital, atau karbamazepin dapat menimbulkan
NET dengan cara radiasi.(1)
Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu allergi obat yang berjumlah 80-
95% dari semua pasien. Pada penelitian yang dilakukan selama lima tahun (1998-
2002) penyebab utama ialah derivat pensilin (24%), disusul oleh parasetamol (17%),
dan karbamazepin (24%). Penyebab yang lain adalah analgetik/antipiretik, yang lain,
kotrimokzasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu dan aditif.(2)
Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi atau bersifat
idiopatik. Namun obat merupakan penyebab tersering, dilaporkan bahwa lebih dari
100 jenis obat dapat menyebabkan terjadinya NET..(9)
Anticonvulsan Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepin
Valproic acid
Lamotrigine
Phenylbutazone dan oxybutazone
NSAIDs
Oxicams
4
Ibuprofen
Indomethacin
Sulindac
Tolmetin
V. PATOGENESIS
Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum di
mengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting tentang
patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah (2009), NET
ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang menjadi NET.
Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi immunopatologik
mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada epidermis dan dermis
dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip natural killers pada fase
awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir. Beberapa sitokin penting yaitu
interleukin 6, TNF-α, dan Fas-L juga muncul pada lesi kulit pasien NET. TNF
mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul pada lesi epidermis, cairan
lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan makrofag. Sekarang ditemukan teori
genetika yang juga berperan penting. Penemuan di Han cina antara NET-
carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat berhubungan, meskipun tidak muncul
pada pasien Eropa yang tidak memiliki keturunan Asia.(1, 2)
5
Pada penderita NET ditemukan, keratinosit mengalami apoptosis yang luas.
Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang bersifat
reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh membentuk
kompleks antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin seperti interleukin
(IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada kondisi normal,
apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit. Namun, pada kondisi
seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga kemampuan fagosit untuk
mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel menjadi nekrosis dan
menghasilkan komponen intraseluler, yang menyebabkan respon inflamasi.(3)
Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah
dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level
FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel
(ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak terjadi
FasL menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat sehingga
terjadi kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis semakin
menyebabkan destruksi epidermis yang luas pula.(3)
6
Penyakit ini dimulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak
sakit berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Gejala lain
berupa sakit kepala, rhinitis, dan myalgia muncul lebih awal 1 sampai 3 hari dari lesi
kulitnya. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak
vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada
bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga
terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.(1, 2)
TEN yang biasa juga disebut sindrom Lyell’s, memiliki karakteristik sebagai
berikut(11):
Gambar 2. Epidermiolisis yang luas pada kasus peralihan sindrom Steven-Johnson dan NET
(diambil dari kepustakaan no.5)
7
VII. DIAGNOSIS
Tidak ada pemeriksaan yang dengan pasti dapat membantu untuk mengetahui
obat mana yang menyebabkan timbulnya NET karena cara provokasi yang dianggap
dapat menentukan penyebab NET sangat berbahaya jika dilakukan. Namun,
dilaporkan teknik mengeliminasi obat yang dikonsumsi pasien tanpa harus
diprovokasi terbukti berhasil membantu mengeetahui penyebab NET. Teknik
eliminasi obat tersebut dilakukan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:(11)
1. Kebanyakan obat yang menyebabkan NET diberikan dalam kurun waktu 1-3
minggu sebelum terjadi reaksi.
8
2. Obat-obat yang diberikan 48-72 jam terakhir dicatat dapat menyebabkan
NET
3. Obat yang tercatat diberikan kurang dari 24 jam terakhir tetapi dikonsumsi
dalam 3 minggu terakhir tidak termasuk penyebab NET.
Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lendir
diorifisium dan kelainan mata. Karena NET dianggap bentuk parah dari SSJ,
makanya hendak dicari apakah terdapat epidermolisis. Pada NET terdapat
epidermolisis generalisata yang tidak terdapat pada SSJ.(14)
Gambar 4 : makula eritem disertai pelepasan kulit pada beberapa area yang
ditemukan pada sindrom Steven-Johnson
(diambil dari kepustakan no.11)
9
b. Staphylococcus scalded skin syndrome
c. Pemfigus
Pemfigus merupakan suatu penyakit serius yang bersifat akut maupun kronik,
yang disebabkan oleh proses autoimun. Keadaan umum biasanya buruk, lesi biasanya
dimulai pada mukosa mulut, lesi tersebut biasanya berlangsung berbulan-bulan
sebelum timbul bulla generalisata. Penyakit ini tidak disertai gatal tetapi nyeri dan
10
rasa terbakar sering dikeluhkan oleh penderita pada daerah yang mengalami erosi dan
bulla.(16)
Gambar 6: Bulla dan erosi yang luas pada pasien pemfigus vulgaris
(diambil dari kepustakaan no 16)
Penyakit vesickobulosa yang mirip dengan NET juga ditemukan pada pasien
Lupus eritematous akut dan subakut yang tidak diobati. Sontheimer dkk
memperkenalkan acute syndrome of apoptotic pan-epidermolysis untuk
menggambarkan sindrom klinis ini. (3)
11
Gambar 7: Subakut kutaneus Lupus eritematous. Berupa plak eritematous pada badan dan
leher penderita
(dikutip dari kepustakaan no. (18))
Luka bakar dan foto toksik dapat dihubungkan dengan NET jika dilihat dari
nekrosis epidermal yang terjadi. Tetapi, jika dilihat dari gambaran klinik secara
keseluruhan dan riwayat serta distribusi lesinya sebenarnya berbeda. (3)
Gambar 8. Gambaran Nekrolsis epidermal toksik yang menyerupai luka bakar. Tampak
kemerahan dan terdapat lepuhan.
(diambil dari kepustakaan 11)
12
IX. Penatalaksanaan
Jika NET disebabkan oleh pengunaan obat, maka obat yang diberikan tersebut
dihentikan penggunaanya. Selain itu, penatalaksanaan dilakukan secara simptomatik.
Perawatan yang intensif dan dukungan medis dibutuhkan, seperti pemasangan central
venous line, pemberian cairan intravena dan elektrolit. Beberapa pasien memerlukan
perawatan seperti layaknya luka bakar. Beberapa pendapat tidak menganjurkan
penggunaan kortikosteroid, tetapi jika diberikan hanya boleh diberikan dalam jangka
waktu yang singkat. Pemberian IgG dapat dipertimbangkan.(13)
Terapi Topikal
Meskipun lepuhannya sangat mudah pecah tapi jika belum juga pecah dapat
kita pecahkan dan kemudian diberi salep clorheksadine, octenisept atau polyhexadine
solution. Selain itu, penggunaan disinfektan yang digunakan untuk berkumur juga
dibutuhkan pada pasien NET untuk mengobati erosi pada mukosa mulut dan juga
dibutuhkan dexphantenol untuk mengobati erosi dan krusta yang ada di derah bibir.
Penanganan multidisiplin dibutuhkan pada lesi yang mengenai mukosa uretra ataupun
mata. Oleh karena itu pasien juga dikonsul pada bagian lain, yaitu spesialis urologi
dan spesialis mata.(19)
Perawatan Supportif
13
kultur dan sensitivitas keluar. Pemberian sedasi dan analgesik dianjurkan berdasrkan
tingkat keparahan.(19)
X. KOMPLIKASI
14
Satu diantara komplikasi yang parah adalah terkenanya epitel trakea dan
bronkial yang tejadi pada 20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia dan alkalosis
metabolik adalah tanda penting dibutuhkannya ventilasi mekanik, ketiga kondisi
tersebut juga meningkatkan resiko kematian.(19)
XI. PROGNOSIS
Lebih dari 50% pasien yang pernah menderita NET memiliki gejala sisa,
meliputi konjutiva sinekia, entropion, skar pada kulit, pigmentasi yang irreguler,
nevus yang eruptif, phimosis, vaginal sinekia, distrofi kuku, rambut rontok yang
difus.(2,!2)
15
f. Serum bicarbonat< 20 mmol/L
g. Serum glukosa >14 mmol/L
Tiap poin di atas bernilai 1 point. Dan berdasrkan penilain diatasa prognosis
mortalitasnya yaitu; Skor 0-1, mortalitasnya 3,2%. Skor 2, mortalitasnya 12,1%, skor
3 mortalitasnya 35,8%, skor 4, mortalitasnya 58,3% dan skor =5 mortalitasnya
90%.(3)
16
DAFTAR PUSTAKA
3. Steven johnson sindrom dan Necrolysis epidermal toxic. 2 ed. Bolognia JL, LJorizzo J,
Rapini RP, editors: Mosby; 2008.
5. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia. Eritema
multiforme/Sindrom Steven-Johnson/Nekrolisis epidermal toksik. 2005.
6. DO SJP. Steven Jhonson Sindrom and Toxic Epidermolysis. 2007; Available from:
http://link.springer.com/article.
7. Klein PA. Toxic Epidermal Necrolysis. 2011 [cited 2012 10 november 2012];
Available from: http://emedicine.com/article.
11. Das SK, Jana PK, Bandyopadhyay AK, Biswas I. Ethambutol and pyrazinamide-
induced toxic epidermal necrolysis in an immunocompetent adult with tuberculosis.
Lung India. [case report]. 2012:1-2.
17
12. Harr T, Lars E F. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome.
Orphaned Journal of Rare Disease. 2010:1-12.
13. Bullous disease. 3 ed. Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Victoria: Blackwell; 2002.
15. Ladhani S, Joannou CL, Lochrie DP, Evans RW, Poston SM. Clinical, Mikrobial and
Biochemical Aspects of the Exfoliative Toxins causing Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome. Clinical Microbiology Reviews. 1999;12:224-37.
16. Bullous disease. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick's Color Atlas &Synopsis
of Clinical Dermatology. 6 ed. New York: McGraw Hill; 2009. p. 106-9.
17. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kroni. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2007. p. 204-5.
18. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Skin sign immune, autoimmune, and rheumatic
disease. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. New
York: McGraw Hill; 2003.
21. Kim H-I, Kim S-W, Park G-Y, Kwon E-G, Kim H-H, Jeong J-y, et al. Causes and
Treatment Outcomes of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis
in 82 Adult Patients. Korean Journal of Internal Medicine. 2012.
18