Anda di halaman 1dari 13

EJAAN BAHASA INDONESIA

DISUSUN

OLEH :

KELOMPOK 4

INTAN MAHBENGI (140203213)

HAYATUN NUFUS (140203212)

PUTRI SUCI NURZAITA (140203214)

ADE MESTIKA (140203231)

MUHAMMAD KHAIRUNNAS (140203221)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH

BANDA ACEH

2014
KATA PENGANTAR

Bahasa adalah sebuah lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang


digunakan untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sempurna. Dalam penyampaiannya
mutlak susunan kalimat dan sebagainya menjadi hal yang perlu untuk
diperhatikan. Kesalahpahaman dalam menerima informasi ini dapat terjadi apabila
dalam berkomunikasi tidak memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Maka dari
itu, aturan-aturan ini perlu untuk dipelajari, dan termasuk didalamnya adalah ejaan
bahasa Indonesia. Kesalahan dalam pengejaan dapat menghambat terjadinya
komunikasi. Berkomunikasi memang bukan hanya melalui lisan, dapat pula
melalui sebuah tulisan. Berkomunikasi melalui lisan lebih mudah daripada tulisan,
karena mimik, gerak-gerik, irama, jeda, dan unsur-unsur nonbahasa lainnya ikut
memperlancar komunikasi itu. Dalam hal ini, unsure-unsur nonbahasa tidak dapat
dituliskan, dan hal ini dapat menyulitkan komunikasi dan member peluang
terjadinya kesalahpahaman. Disinilah ejaan dan tanda baca berperan sampai batas-
batas tertentu, yakni menggantikan beberapa unsure nonbahasa yang diperlukan
untuk memperjelas gagasan atau pesan. Dengan ditulisnya laporan makalah ini
semoga menjadi pelajaran dan bermanfaat bagi kita semua, dan kami sangat
membutuhkan kritik dan saran yang membangun untuk makalah ini, agar
tercapainya laporan yang lebih baik lagi untuk kedepannya.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG ....................................................................................... 3

2. RUMUSAN MASALAH ................................................................................... 3

3. TUJUAN PENULISAN ..................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. EJAAN BAHASA INDONESIA ...................................................................... 4

B. SEJARAH EJAAN BAHASA INDONESIA ................................................... 4

C. PENGARUH TERHADAP PERBENDAHARAAN KATA ........................... 8

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ............................................................................................... 10

B. KRITIK DAN SARAN ................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Banyak diantara kita yang masih banyak menggunakan kata dan
susukan kalimat yang masih salah dalam beberapa forum. Ada saatnya kita
menggunakan kalimat-kalimat baku, dan ada saatnya pula kita
menggunakan kalimat nonbaku. Hal ini perlu untuk diperhatikan. Ketika
penggunaan kalimat telah sesuai namun penggunaan ejaannya masih
belum benar, ini dapat mengakibatkan kesalahpahaman, atau bahkan
informasi yang hendak disampaikan tidak dapat diterima dengan baik oleh
pendengar. Ejaan sangat diperlukan, baik untuk komunikasi secara lisan
atau bahkan tulisan. Sehingga apa yang telah ada pada masyarakat
umumnya, perlahan pemahaman ejaan yang digunakan diperhatikan dan
diperbaiki dari keadaan semula yang mungkin terjadi kesalahan dalam
pemakaiannya.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang disebut dengan ejaan?
2. Bagaimana sejarah ejaan Bahasa Indonesia?
3. Apa pengaruh terhadap pembendaharaan kata ?

3. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mendeskripsikan pengertian ejaan.
2. Untuk menjelaskan sejarah singkat ejaan.
3. Untuk menerangkan pengaruh terhadap pembendaharaan kata.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ejaan Bahasa Indonesia


Menurut kamus besar bahasa indonesia (2008: 353) ejaan yaitu kaidah
kaidah atau cara menggambarkan bunyi-bunyi ( kata, kalimat, dsb ) dalam
bentuk tulisan ( huruf-huruf ) serta penggunaan tanda baca. Karena itu,
ejaan harus menyentuh dua hal: pertama, menyangkut perlambangan
unsur-unsur segmental bahasa; kedua, menyangkut unsur-unsur
suprasegmental bahasa.

a. Perlambangan Unsur Segmental

Perlambangan unsur segmental bahasa bukan hanya bagaimana


melambangkan bunyi-bunyi ujaran dalam bentuk-bentuk tulisan, tetapi
juga bagaimana menulis sebuah kata secara lengkap, bagaimana
memotong-motong suatu kata dalam suku-suku kata, bagaimana
menggabungkan kata baik dengan imbuhan maupun antara kata-dengan
kata. Tulisan yang dianggap paling baik adalah tulisan fonemis yang
mempergunakan satu tanda atau lambang untuk satu bunyi. Bahasa
Indonesia secara resmi menerima aksara Latin yang fonemis dalam sistem
ejaannya.

b. Perlambangan Unsur Suprasegmental


Perlambangan unsur suprasegmental menyangkut masalah
bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, perhentian, dan
intonasi. Peraturan melambangkan unsur-unsur suprasegmental ini
dikenal dengan nama tanda baca atau pungtuasi.

B. Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia


Kalau kita melihat perkembangan bahasa Indonesia sejak dulu sampai
sekarang, tidak terlepas dari perkembangan ejaannya. Kita ketahui bahwa
beberapa ratus tahun yang lalu bahasa Indonesia belum disebut bahasa
Indonesia, tetapi bahasa Melayu. Nama Indonesia itu baru datang
kemudian.
Kita masih ingat pada masa kerajaan Sriwijaya, Ada beberapa prasasti
yang bertuliskan bahasa Melayu Kuno dengan memakai huruf Pallawa
(India) yang banyak dipengaruhi bahasa Sanskerta, seperti juga halnya
bahasa Jawa Kuno. Jadi bahasa pada waktu itu belum menggunakan huruf
Latin. Bahasa Melayu Kuno ini kemudian berkembang pada berbagai
tempat di Indonesia, terutama pada masa Hindu dan masa awal kedatangan
Islam (abad ke-13). Pedagang-pedagang Melayu yang berkekeliling di
Indonesia memakai bahasa Melayu sebagai lingua franca , yakni bahasa
komunikasi dalam perdagangan, pengajaran agama, serta hubungan
antarnegara dalam bidang ekonomi dan politik.
Lingua franca ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan
yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan. Banyak pedagang asing yang
berusaha untuk mengetahui bahasa Melayu untuk kepentingan mereka.
Bahasa Melayu ini mengalami pula penulisannya dengan huruf Arab yang
juga berkembang menjadi huruf Arab-Melayu. Banyak karya sastra dan
buku agama yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Huruf ini juga
dijadikan sebagai ejaan resmi bahasa Melayu sebelum mulai digunakannya
huruf Latin atau huruf Romawi untuk penulisan bahasa Melayu, walaupun
masih secara sangat terbatas.
Ejaan latin untuk bahasa Melayu mulai ditulis oleh Pigafetta,
selanjutnya oleh de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancaert, dan
Joannes Roman. Setelah tiga abad kemudian ejaan ini baru mendapat
perhatian dengan ditetapkannya Ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901.
Keinginan untuk menyempurnakan ejaan Van Ophuijsen terdengar
dalam Kongres Bahasa Indonesia I, tahun 1938 di Solo, yang sembilan
tahun kemudian terwujud dalam sebuah Putusan Menteri Pengadjaran
Pendidikan dan Kebudajaan, 15 April 1947, tentang perubahan ejaan baru.
Perubahan tersebut terlihat, antara lain, seperti di bawah ini.
Van Ophuijsen 1901 Soewandi 1947
Boekoe buku
Ma’lum Maklum
Tida’ Tidak
Pende’ Pendek

Perubahan Ejaan bahasa Indonesia ini berlaku sejak ditetapkan pada


tahun 1947. Waktu perubahan ejaan itu ditetapkan rakyat Indonesia sedang
berjuang menentang kembalinya penjajahan Belanda. Penggunaan Ejaan
1947 ini yang lebih dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik,
sebenarnya memancing reaksi yang muncul setelah pemulihan kedaulatan
(1949). Reaksi ini kemudian melahirkan ide untuk mengadakan perubahan
ejaan lagi dengan berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan.

Gagasan mengenai perubahan ejaan itu muncul dengan nyata dalam


Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Waktu itu Menteri
Pendidikan dan Kebudajaan adalah Mr. Muh. Yamin. Dalam kongres itu
dihasilkan keputusan mengenai ejaan sebagai berikut :

1. Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.


2. Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang kompeten.
3. Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.

Keputusan kongres ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah, yang


menghasilkan konsep sistem ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan.
Namun Ejaan ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa huruf
baru yang tidak praktis,yang dapat memengaruhi perkembangan ejaan
bahasa Indonesia.

Terilhami oleh Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954), diadakan


pula kongres bahasa Indonesia di Singapura (1956) yang menghasilkan
suatu resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di Semenanjung
Melayu dengan ejaan bahasa Indonesia di Indonesia. Perkembangan
selanjutnya dihasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan
Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia). Namun, rencana untuk meresmikan
ejaan ini pada tahun 1962 mengalami kegagalan karena adanya
konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun kemudian.

Pada tahun 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) membentuk


sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono dan mengusulkan
konsep baru sebagai ganti konsep Melindo.

Pada tahun 1972, setelah melalui beberapa kali seminar, akhirnya


konsep LBKÂ menjadi konsep bersama Indonesia-Malaysia yang
seterusnya menjadi Sistem Ejaan Baru yang disebut Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Kalau kita beranalogi dengan Ejaan Van
Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, EYD dapat disebut Ejaan Mashuri, karena
pada waktu itu Mashuri sebagai Mnteri Kebudayaan memperjuangkan
EYD sampai diresmikan oleh presiden.

Ada empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu :

1. Ejaan Van Ophuijsen (1901)

2. Ejaan Soewandi (1947)

3. Ejaan Yang Disempurnakan (1972)

4. Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975)

Sistem ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh


pemerintah adalah:

1. Ejaan Pembaharuan (1957)

2. Ejaan Melindo (1959)

3. Ejaan LBK (1966)


a. Ejaan Van Ophuijsen
Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama adalah jenis ejaan yang
pernah digunakan untuk bahasa Indonesia.
Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut
model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf
Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda, antara lain:
 Huruf ‘j’ untuk menuliskan bunyi ‘y’, seperti pada kata jang,
pajah, sajang.
 Huruf ‘oe’ untuk menuliskan bunyi ‘u’, seperti pada kata-kata
goeroe, itoe, oemoer (kecuali diftong ‘au’ tetap ditulis ‘au’).
 Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk
menuliskan bunyi hamzah, seperti pada kata-kata ma’moer,
‘akal, ta’, pa’, dinamaï.
 Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö,
menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata,
bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat
ini.

Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu


menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi.

b. Sejarah singkat Ejaan Van Ophuijsen


diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama kali
oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi gelar
Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan
mereka yang dikenal dengan Ejaan Van Ophuijsen ditulis dalam
sebuah buku. Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa
Melayu di Indonesia.
Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda.
Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi,
Sumatera Barat, kemudian menjadi profesor bahasa Melayu di
Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat
Melajoe, van Ophuijsen kemudian menerbitkan Maleische
Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W.
Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan bagi
pemakai bahasa Melayu di Indonesia.
Ejaan ini akhirnya digantikan oleh Ejaan Republik pada 17 Maret
1947.

C. Pengaruh terhadap Perbendaharaan Kata


Ada empat tempo penting dari hubungan kebudayaan Indonesia
dengan dunia luar yang meninggalkan jejaknya pada pembendaharaan kata
bahasa Indonesia.
 Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M)
Sejumlah besar kata berasal dari Sansakerta Indo-Eropa
(contoh: samudra, suami, istri, raja, putra, pura, kepala, mantra,
inta, kaca).

 Islam (dimulai dari abad ke-13 M)


Pada tempo ini diambillah sejumlah besar kata dari bahasa
Arab dan Persia (contoh: masjid, kalbu, kitab, kursi, doa, khusus,
maaf, selamat, kertas).

 Kolonial
Pada tempo ini ada beberapa bahasa yang diambil,
diantaranya yaitu dari Portugis (contoh: gereja, sepatu, sabun,
meja, jendela) dan Belanda (contoh: asbak, kantor, polisi, kualitas).
 Pasca-Kolonialisasi (kemerdekaan dan seterusnya)
Banyak kata yang diambil berasal dari bahasa Inggris
(contoh: konsumen, isu). Dan ada juga Neo-Sanskerta yaitu
neologisme yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, (contoh:
dasawarsa, lokakarya, tunasusila).
Selain dari itu bahasa Indonesia juga menyerap perbendaharaan
katanya dari bahasa Tionghoa (contoh: pisau, tauge, tahu, loteng, teko,
tauke, cukong) dan menyerap kata-kata dari bahasa lainnya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ejaan sangat mempengaruhi perkembangan Bangsa Indonesia.
Ejaan yang meliputi penulisan huruf, penulisan kata, termasuk singkatan,
akronim, angka, dan lambang bilangan, serta penggunaan tanda baca.
Selain itu juga tentang pelafalan dan peraturan dalam penyerapan unsur
asing.

Fungsi ejaan antara lain :


 Sebagai landasan pembakuan tata bahasa.
 Sebagai landasan pembakuan kosa kata dan peristilahan.
 Sebagai alat penyaring masuknya unsur-unsur bahasa lain kedalam
bahasa Indonesia.
Dengan adanya ejaan tersebut tentu membantu kita dalam
hal penulisan agar penyampaian informasi dapat diterima dengan
baik dan benar oleh para pembaca.

B. KRITIK DAN SARAN


Penggunan ejaan dengan baik dan benar perlu untuk diperhatikan
dan dipahami dengan benar. Penggunaan ejaan tersebut tentunya sangat
penting dalam beberapa keadaan. Missal pembuatan makalah, laporan dan
atau sebagainya. Penanaman penggunaan yang benar perlu untuk
diberikan sedini mungkin pada siswa-siswa, agar tidak terjadi
penyalahgunaan yang lumrah terjadi pada masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Subhayani, S.Pd., M.Pd. , 2004, Bahasa Indonesia Umum, Banda Aceh: Bandar
Publishing.

Winci Firdaus, S.Pd., M.Hum., Syahminan, M.Ag, 2008, Bahasa Indonesia,


Bandung: CV. P&G Kilat Jaya.

Anda mungkin juga menyukai