Disusun Oleh:
BANJARMASIN
2016/2017
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................ 3
1.2. TUJUAN ..................................................................................................... 3
BAB II. ISI .............................................................................................................. 4
2.1. ANTIBIOTIK ............................................................................................... 4
2.2. ANTIFUNGI .............................................................................................. 15
2.2.1. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI SISTEMIK ............................... 15
2.2.2. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI DERMATOFIT DAN
MUKOKUTAN ............................................................................... 17
2.3. ANTIVIRUS ................................................................................................
2.4. AGEN ANTIMIKROBA SINTETIK ..........................................................
BAB III. PENUTUP ...............................................................................................
3.1. KESIMPULAN ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.2. TUJUAN
3
BAB II. ISI
2.1. ANTIBIOTIK
Pencarian antibiotik dimulai pada akhir tahun 1800-an ketika teori tentang
asal-usul penyakit yang menyebutkan bahwa bakteri dan mikroorganisme lain
sebagai penyebab penaykit diterima oleh masyarakat luas (Pratiwi, 2008).
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak
antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam
praktek sehari-hari antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk
mikroba (misal: sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai
antibiotik (Nafrialdi, 2007).
2.1.1. PENISILIN
4
fermentasi penisilium, 6-aminopensilinat dapat diisolasi dalam jumlah besar
(Nafrialdi, 2009).
2.1.2. SEFALOSPORIN
5
otitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae, termasuk strain penghasil β-
laktamase (Jawetz, 2007).
Karbapenem
6
Monobaktam
7
2.1.4. TETRASIKLIN
2.1.5. KLORAMFENIKOL
Adalah suatu zat kimia yang mulanya dihasilkan oleh biakan Streptomyces
venezuelae tetapi saat ini sudah dibuat secara sintetis (Jawetz, 2007).
8
Kloramfenikol kristalin adalah senyawa stabil yang secara cepat diabsorpsi
dari sluran penceraan dan tersebar secara luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh,
termasuk sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal; obat tersebut menembus sel
dengan baik. Kloramfeniol adalah suatu inhibitor sintesis protein yang poten pada
mikroorganisme. Obat tersebut menghambat pelekatan asam amino ke rantai
peptida yang baru timbul pada unit 50S ribosom dengan mengganggu kerja
peptidil transferase. Kloramfenikol pada dasarnya bersifat bakteriostatik;
spektrum, dosis, serta kadarnya dalam darah sama dengan tetrasiklin.
2.1.6. ERITROMISIN
9
Eritromisin dapat menjadi pilihan pada infeksi yang disebabkan oleh
organisme yang disebutkan diatas dan merupakan obat pengganti untuk orang
yang hipersensitif terhadap penisilin.
Klindamisin
10
2.1.8. GLIKOPEPTIDA
Vankomisin
Teikoplanin
11
berupa iritasi lokal di tempat injeksi, hipersensitivitas, serta berpotensi mengalami
ototoksisitas dan nefrotoksisitas. Teikoplanin tersedia di Eropa tetapi tidak di
Amerika Serikat.
2.1.9. STREPTOGRAMIN
2.1.10. BASITRASIN
Suatu polipeptida yang diperoleh dari suatu strain (atrain Tracy) Bacillus
subtilis. Basitrasin stabil dan tidak dapat diabsorpsi di saluran cerna. Kegunaan
basitrasin hanya untuk pemakaian topikal ke kulit, luka, atau selaput lendir.
12
2.1.11. POLIMIKSIN
2.1.12. AMINOGLIKOSIDA
Sulfonamid Trimetoprim
13
untuk beberapa bakteri gram negatif dan gram positif, klamidia, nokardia, dan
protozoa (Jawetz, 2007).
Isoniazid, mempunyai efek kecil pada sebagian besar bakteri tetapi secara
mencolok aktif melawan mikobakteri, terutama Mycobacterium tuberculosis.
14
2.2. ANTIFUNGI
Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas
infeksi sistemik, dermatofit, dan mukokutan. Infeksi sistemik dapat lagi dibagi
atas; (1) infeksi dalam (internal), seperti aspergilosis, blastomikosis,
koksidiodomikosis, kriptokokosis, histoplasmosis, mukormikosis,
parakoksidiomikosis, dan kandidiasis; dan (2) infeksi subkutan misalnya
kromomikosis, misetoma dan sporotrikosis. Infeksi dermatofit disebabkan oleh
Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum; yang menyerang kulit, rambut
dan kuku. Infeksi mukokutan disebabkan oleh kandida, menyerang mukosa dan
daerah lipatan kulit yang lembab. Kandidiasis mukokutan dalam keadaan kronis
umumnya mengenai mukosa kulit dan kuku (Nafrialdi, 2009). Uraian obat
antijamur sebagai berikut :
a) AMFOTERISIN B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces
nodosus. Sebanyak 98 campuran ini terdiri dari amfoterisin B yang memiliki
aktvitas antijamur. Kristal seperti jarum atau prisma berwarna kuning jingga, tidak
berbau dan tidak berasa ini merupakan antibiotik polien yang bersifat basa
amfoter lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas 370C
tetapi dapat stabil sampai berminggu-minggu pada suhu 40C.
Berdasarkan aktivitas antijamurnya, amfoterisin B menyerang sel
yang sedang tumbuh dan sel matang. Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7,5,
tapi berkurang pada pH yang lebih rendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau
fungisidal tergantung pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi. Dengan
kadar 0,3-1,0 µg/ml antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma
capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, dan beberapa
spesies Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis,
Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum
schenckii, Microsporum auidouini dan spesies Trichophyton. Secara in vitro bila
rifampisin atau minosiklin diberikan bersama amfoterisi B terjadi sinergisme
terhadap beberapa jamur tertentu.
15
b) FLUSITOSIN
Flusitosin (5-fluorositosin; 5 FC) merupakan antijamur sintetik yang
berasal dari fluorinasi pirimidin, dan mempunyai persamaan struktur dengan
fluorourasil dan floksuridin. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berbau, sedikit
larut dalam air tapi mudah larut dalam alkohol.
Berdasarkan aktivitas antijamurnya, spektrum antijamur flusitosin agak
sempit. Obat ini efektif untuk pengobatan kriptokokosis, kandidiasis,
kromomikosis, torulopsis dan aspergilosis (Nafrialdi, 2009).
c) IMIDAZOL DAN TRIAZOL
Antijamur golongan imidaazol dan triazol mempunyai spektrum yang luas.
Kelompok imidazol terdiri atas ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol.
Sedangkan kelompok triazol meliputi itrakonazol , flukonazol, dan vorikonazol.
Berikut ini akan dibahas golongan imidazol dan triazol yang banyak digunakan
sebagai antijamur sistemik.
Ketokonazol, merupakan turunan imidazol sintetik dengan struktur mirip
mikonazol dan klotrimazol. Obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada pH
asam. Berdasarkan aktivitas ntijamurnya, ketokonazol aktif sebagai antijamur baik
sistemik maupun nonsistemik yang efektif terhadap Candida, Coccidioides
immitis, Cryptococcus neoformans, H.capsulatum, B.dermatitidis, Aspergillus dan
Sporothrix spp.
Itrakonazol, antijamur sistemik turunan triazol ini erat hubungannya
dengan ketokonazol. Obat ini dapat diberikan per oral dan IV. Aktivitas
antijamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil
dibandingkan dengan ketokonazol. Itrakonazol, seperti golongan azol lainnya,
juga berinteraksi dengan enzim mikrosom hati, tetapi tidak sebanyak ketokonazol.
Rifampisin akan mengurangi kadar plasma itrakonazol.
Flukonazol, adalah suatu fluorinated bis-triazol dengan khasiat
farmakologis yang baru. Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa
dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung. Kadar plasma setelah
pemberian per oral sama dengan kadar plasma setelah pemberian IV. Flukonazol
tersebar rata ke dalam cairan tubuh juga dalam sputum dan saliva. Flukonazol
berguna untuk mencegah relaps meningitis yang disebabkan oleh Cryptococcus
16
pada pasien AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B. Obat ini juga efektif
untuk pengobatan kandidiasis mulut dan tenggorokan pada pasien AIDS.
Vorikonazol, obat ini adalah antijamur baru golongan triazol yang
diindikasikan untuk aspergilosis sistemik dan infeksi jamur berat yang disebabkan
oleh Scedosporium apiospermum dan Fusarium sp. Obat ini juga mempunyai
efektivitas yang baik terhadap Candida sp, Cryptococcus sp dan Dermatophyte sp,
termasuk untuk infeksi kandida yang resisten terhadap flukonazol. Obat ini tidak
boleh diberikan bersama rifampisin, karbamazepin, kuinidin, sirolimus.
Kaspofungin, adalah antijamur sistemik dari suatu kelas baru yang
disebut ekinokandin. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3)-D-
glukan, suatu omponen esensiall yang membentuk dinding sel jamur.
Kaspofungin diindikasikan untuk infeksi jamur sebagai berikut; kandidiasis
invasif, kandidiasis esofagus, kandidiasis orofarings, dan aspergilosis invasif yang
sudah refrakter terhadap antijamur lainnya.
d) TERBINAFIN
Merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin.
Obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, terutama onikomikosis. Namun,
pada pengobatan kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor, terbinafin biasanya
dikombinasikan dengan golongan imidazol dan triazol karena penggunaannya
sebagai monoterapi kurang efektif. Berdasarkan aktivitas antijamurnya, terbinafin
bersifat keratolitik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi biosintesis ergosterol
dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen epoksidase pada jamur
dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450.
2.2.2. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI DERMATOFIT DAN
MUKOKUTAN
e) GRISEOFULVIN
Griseofulvin diisolasi dari Penicillium griseovolvum dierckx. Pada tahun
1946, Brian dkk. Menemukan bahan yang menyebabkan susut dan mengecilnya
hifa yang disebut sebagai curling factor kemudian ternyata diketahui bahwa bahan
yang mereka isolasi dari Penicillium janczewski adalah griseofulvin. Berdasarkan
aktivitas antijamurnya, griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur
dermatofit seperti Trichophyton, Epiermophyton dan Microsporum. Terhadap sel
17
muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini efektif
terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia.
f) TOLNAFTAT DAN TOLSIKLAT
Tolnaftat, dalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan
sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.
Tolsiklat, merupakan antijamur topikal yang diturunkan dari tiokarbamat.
Namun karena spektrumnya yang sempit, antijamur ini tidak banyak digunakan
lagi.
g) NISTATIN
Merupakan suatu antibiotik polien yang dihasilkan oleh Streptomyces
noursei. Nistatin menghambat berbagai jamur dan ragi tapi tidak aktif terhadap
bakteri, protozoa dan virus. Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang
sensitif. Nistatin terutama digunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput lendir
dan saluran cerna. Candida albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi
terhadap nistatin, tetapi C.tropicalis, C.guillermondi dan C.stellatiodes mulai
resisten bahkan sekaligus menjadi tidak sensitif terhadap amfoterisin B. Namun
resistensi ini biasanya tidak terjadi in vivo.
18
2.3. ANTIVIRUS
2.4. AGEN ANTIMIKROBA SINTETIK
MANGAT MISBAAHH!!
19