Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma okuli merupakan cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga
orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga dapat menganggu fungsi
mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan penyebab tersering
kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah
yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Penyebabnya dapat bermacam-
macam diantaranya kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga dan
kecelakaan lalu lintas. Kejadian trauma okuli dialami oleh pria 3 sampai 5 kali
lebih banyak daripada wanita (Asbury, 2000).
Data WHO menyebutkan bahwa trauma okuli berakibat kebutaan unilateral
sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral dan 1,6 juta
mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Menurut United States Eye
Injury Registry (USEJR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16% dan
meningkat di lokasi kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-
laki (93%) dengan umur rata-rata 31 tahun. Prevalensi kebutaan akibat trauma
okuli secara nasional belum diketahui dengan pasti, namun pada Survey
Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1993-1995 didapatkan
bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab kebutaan lain-lain sebesar
0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang berkisar 1,5%. Trauma okuli juga
tidak termasuk ke dalam 10 besar penyakit mata yang menyebabkan kebutaan
(Depkes RI, 1998).
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans
dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan
mekanisme truma terbagi atas trauma mekanik (truma tumpul dan truma tajam),
trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet dan sinar-x) dan truma kimia
(bahan asan dan basa) (Ilyas, 2012).
Penegakan diagnosis truma okuli sama pada umumnya yaitu dimulai dari
anmnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus
mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera.
Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau timbul
mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing introkular apabila terdapat riwayat
memalu, mengasah atau ledakan (Eva, 2012).
Pemeriksaan fisik dilakukan secara hati-hati, dimulai dengan pengukuran dan
pencatatan ketajaman penglihatan. Apabila ada gangguan penglihatan yang parah
maka dilakukan pemeriksaan proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik dan adanya
defek pupil eferen. Pemeriksaan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita serta
palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan
kornea dan konjungtiva bila luka tidak menyebabkan ruptur bola mata, maka
dilakukan eversi kelopak mata untuk mengetahui lokasi benda dengan jelas.
Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk
memastikan apakah terdapat defek pupil pada mata yang cedera. Pemeriksaan slit
lamp dilakukan untuk melihat kedalaman cedera di segmen anterior bola mata.
Tes fluoresens digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan
dengan jelas. Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk mengetahui tekanan
bola mata. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop indirek penting dilakukan
untuk mengetahui adanya benda asing intraokuler. Bila benda asing yang masuk
cukup dalam dapat dilakukan tes seidel untuk mengetahui adanya cairan yang
keluar dari mata (Eva, 2012).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG mata, CT Scan
untuk dapat mengetahui posisi benda asing. MRI dapat juga dilakukan tetapi
kontraindikasi pada truma akibat benda logam. Pemeriksaan darah lengkap, status
kardiologi, radiologi dapat ditambahkan jika akan dilakukan tindakan tertentu
yang membutuhkan pemeriksaan penunjang tersebut (Eva, 2012).
Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi
merupakan true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus
ditangani dalam hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus
ditangani dalam hitungan jam atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosis dan
pertolongan cepat dan tepat. Truma okuli merupakan kedaruratan mutlak di
bidang ocular emergency. Sebagai contoh apabila didapatkan truma tumpul akan
menimbulkan manifestasi perdarahan bawah kulit atau hematoma, luka robek

2
pada palpebra, konjungtiva yang dapat diikuti erosi kornea. Selain itu juga
terdapat efek lanjut atau komplikasi akibat trauma tersebut karena trauma dapat
mengenai jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina,
papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian
trauma jaringan mata (Ilyas, 2012).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli apabila tidak
segera dilakukan penanganan yang tepat adalah erosi kornea, iridoplegia, hifema,
iridosiklitis, sublukasi lensa, luksasi lensa anterior, luksasi lensa posterior, edema
retina dan koroid, ablasi retina, rupture koroid, serta avulsi papil saraf optik.
Prognosis trauma okuli bergantung pada beberapa faktor yaitu besarnya luka
tembus, tempat luka pada bola mata, bentuk trauma apakah dengan atau tanpa
benda asing, benda asing magnetik atau non magnetik, kedalaman luka tembus
dan terdapat penyulit akibat luka tembus atau tidak (Ilyas, 2012).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Trauma okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopakmata, saraf mata, dan rongga orbita.
Kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata
sebagai indra penglihat. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata,
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan
kebutaan bahkan kehilangan mata (Asbury, 2009).

B. Etiologi
Trauma pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah
terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan kebutaan.
Macam-macam bentuk trauma pada mata adalah sebagai berikut (Lang,
2006):
1. Mekanik
a. Trauma tumpul, misalnya terpukul, terkena bola, penutup botol
b. Trauma tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, dan peralatan
pertukangan.
2. Kimia
a. Trauma kimia basa, misalnya sabuncuci, sampo, bahan pembersih
lantai, kapur, atau lem.
b. Trauma kimia asam, misalnya cuka, bahan asam-asam di laboratorium.
3. Radiasi
a. Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.
b. Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi.
C. Tanda dan Gejala
Gejala pada trauma okuli bergantung pada jenis trauma serta berat dan
ringan trauma, yaitu (James, 2005)
1. Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai
tertinggalnya benda asing di dalam mata. Benda asing yang tertinggal
dapat bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam
besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu. Bahan
tidak beracun seperti pasir, kaca. Namun bahan tidak beracun dapat pula
menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman.
2. Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan
penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan di dalam bola mata,
terlepasnya selaput jala (retina) atau hingga terputusnya saraf penglihatan
sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
3. Trauma kimia basa umumnya memperlihatkan gejala lebih berat daripada
trauma kimia asam. Mata nampak merah, bengkak, keluar air mata
berlebihan dan penderita nampak sangat kesakitan, trauma basa akan
berakibat fatal karena dapat menghancurkan jaringan mata atau kornea
secara perlahan.
4. Trauma Radiasi
a. Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan
menyebabkan kromatolisis sel.
b. Reaksi pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa
sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar
dari pembuluh darah maka terjadi edema.
c. Reaksi jaringan. Reaksi jaringan ini biasanya berupa robekan pada
kornea, sklera dan sebagainya).
Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan pada kejadian trauma okuli
adalah sebagai berikut (Ilyas, 2012):
1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya
Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya
kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma
tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata.

5
2. Memar pada sekitar mata
Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra.
Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami
fraktur basis kranii.
3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak
Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang
pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di
segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat
terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus.
4. Penglihatan ganda
Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena
robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak
bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.
5. Mata bewarna merah
Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan
pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah
sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan
subkonjungtiva.
6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata
Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada
palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri
pada mata.
7. Sakit kepala
Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga
menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat
menyebabkan sakit kepala.
8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata
Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun
segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan
mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan
peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan
pada mata.

6
9. Fotopobia
Fotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama
adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea,
benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang
masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau
pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah
lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil
dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata

D. Patofisiologi
Berdasarkan mekanismenya, trauma oculi dapat dibagi menjadi tiga,
yakni trauma tumpul, trauma tembus, dan perforasi. Trauma dapat disebakan
karena adanya benda asing yang masuk atau mengenai mata. Trauma tumpul
dapat menyebabkan kompresi jaringan secara langsung (coup) dan efek yang
ditimbulkan pada bagian berlawanan dari bagian yang terkena trauma
(conter-coup). Coup dan conter-coup ini mengakibatkan perpindahan
diafragma lensa dan iris, makular edema, ruptur koroid, fraktur orbita,
laserasi, dan hematoma. Perpindahan diafragma lensa dan iris menyebabkan
struktur dan pembuluh darah yang berada di iris memisah sehingga darah
masuk ke camera oculi anterior. Masuknya darah ke camera oculi anterior ini
menyebabkan terjadinya hifema dan penurunan tajam penglihatan. Ruptur
koroid menyebabkan adanya perdarahan subretina yang akan menstimulasi
terjadinya neovaskularisasi sehingga dapat mengakibatkan pemisahan retina
dan penurunan tajam penglihatan. Laserasi kelopak mata dapat menyebabkan
kerusakan pada muskulus levator palpebra. Adanya kelemahan pada
muskulus inilah yang dapat menyebabkan ptosis. Laserasi konjungtiva
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva yang pada akhirnya juga akan
menyebabkan adanya penurunan tajam penglihatan (Olitsky & Nelson, 2012;
Othman, 2009).
Trauma tumpul, trauma tembus, dan perforasi dapat menyebabkan
kerusakan lensa sehingga integritas lensa terganggu. Hal ini merangsang
pengeluaran aqueous humor dan mediator inflamasi yang nantinya

7
mengakibatkan adanya edema dan opaksifikasi. Protein lalu keluar ke camera
oculi posterior. Proses inflamasi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma dan katarak sehingga penglihatan dapat menurun (Olitsky &
Nelson, 2012; Othman, 2009).

8
Trauma Oculi

Trauma tumpul Trauma tembus Perforasi

Kompresi jaringan Gangguan karena shock


secara langsung wave secara tidak Kerusakan lensa
(coup) langsung (contre-coup)

Perpindahan a. Makular edema Respon inflamasi


diafragma lensa b. Ruptur koroid
dan iris c. Fraktur orbita
d. Laserasi kelopak mata
e. Laserasi konjungtiva
f. Hematoma
Hifema Glaukoma
Katarak
Perdarahan subretina Edema sel saraf
Perdarahan
subkonjungtiva
Mata merah
Ptosis
Nyeri
Penglihatan
menurun

Bagan 1. Patofisiologi Trauma Oculi

9
E. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis trauma okuli ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan penunjang. Walaupun begitu, trauma okuli jarang
mengancam nyawa dan penanganan haruslah diprioritaskan ke trauma lain
yang lebih mengancam nyawa (James, 2005).
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah
cedera atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi
secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda
asing apabila ada riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan
harus dipertimbangkan untuk melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan
pahat dapat melepaskan serpihan-serpihan logam yang akan menembus
bola mata, dan hanya meninggalkan petunjuk perdarahan subkonjungtiva
yang mengindikasikan adanya penetrasi sklera dan benda asing yang
tertinggal. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran
umum trauma, namun gejala ringan dapat menyamarkan benda asing
intraokular yang berpotensi membutakan (James, 2005).
Anamnesis tentang ketajaman visus sebelum trauma dan riwayat
penyakit mata atau operasi mata amat membantu dalam mendiagnosis
suatu trauma okuli. Riwayat penyakit sistemik, pengambilan obat-obatan,
riwayat alergi, suntikan imunisasi tetanus dan pengambilan oral terakhir
perlu ditanyakan sebagai kemungkinan persediaan operasi (Aronson,
2008).
2. Pemeriksaan fisis
Sebisa mungkin dilakukan pemeriksaan oftalmik lengkap termasuk
pemeriksaan visus, reaksi pupil, lapangan pandang, pergerakan otot-otot
ekstraokular, tekanan intraokular, pemeriksaan slit lamp, funduskopi dan
lain-lain (Lange, 2006).
Setiap laserasi kelopak mata yang letaknya di kantus medialis
hendaknya dipertimbangkan kemungkinan terlibatnya sistem lakrimasi
sehingga terbukti tidak. Pemeriksaan tulang-tulang orbita terhadap
kemungkinan terjadinya fraktur harus dilakukan. Ruptur bola mata adalah

10
segera ditentukan pada pemeriksaan fisis. Namun, biasanya ini
tersembunyi. Pemeriksaan mata yang mengalami trauma harus diperiksa
dengan sistematis dan hati-hati agar penatalaksanaan dapat dilakukan
dengan segera dan mengurangi trauma yang lebih lanjut (Lange, 2006).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos
Foto polos orbita kurang membantu dalam menentukan kelainan
berbanding CT-scan. Tetapi foto polos masih dapat dilakukan.
Antaranya foto polos 3 posisi, proyeksi Water’s, posisi Caldwelldan
proyeksi lateral. Posisi-posisi ini berfungsi untuk melihat dasar orbita,
atap orbita dan sinus paranasalis (Robson, 2007).
b. Ultrasonografi
USG membantu dalam melihat ada tidaknya benda asing di dalam bola
mata dan menentukan lokasi ruptur (Robson, 2007).
c. CT-scan
CT-scan adalah metode pencitraan paling sensitif untuk mendeteksi
ruptur yang tersembunyi, hal-hal yang terkait dengan kerusakan saraf
optic, adanya benda asing serta menampilkan anatomi dari bola mata
dan orbita (Robson, 2007).
d. MRI
MRI sangat membantu dalam mengidentifikasi jaringan lunak bola
mata dan orbita (Robson, 2007).

F. Rencana Terapi
1. Trauma Mata Benda Tumpul
Penanganan ditekankan pada utama yang menyertainya dan penilaian
terhadap ketajaman penglihatan. Setiap penurunan ketajaman penglihatan
tanda mutlak untuk melakukan rujukan kepada dokter ahli mata.
(Mangunkusumo, 2000).

11
Pemberian pertolongan pertama berupa:
a. Obat-obatan analgetik : untuk mengurangi rasa sakit. Untuk
pemeriksaan mata dapat diberikan anesteshi local: Pantokain 0,5% atau
tetracain 0,5% - 1,0 %.
b. Pemberian obat-obat anti perdarahan dan pembengkakan
c. Memberikan moral support agar pasien tenang
d. Evaluasi ketajaman penglihatan mata yang sehat dan mata yang terkena
trauma
e. Dalam hal hifema ringan (adanya darah segar dala bilik mata depan)
tanpa penyulit segera ditangani dengan tindakan perawatan:
1) Tutup kedua bola mata
2) Tidur dengan posisi kepala agar lebih tinggi
3) Evaluasi ketajaman penglihatan
4) Evaluasi tekanan bola mata
f. Setiap penurunan ketajaman penglihatan atau keragu-raguan mengenai
mata penderita sebaiknya segera di rujuk ke dokter ahli mata.
2. Trauma mata benda tajam
Keadaan trauma mata ini harus segera mendapat perawatan khusus
karena dapat menimbulkan bahaya; infeksi, siderosis, kalkosis dan
atlalmia dan simpatika. Pertimbangan tindakan bertujuan untuk
mempertahankan bola mata dan mempertahankan penglihatan. Bila
terdapat benda asing dalam bola mata, maka sebaiknya dilakukan usaha
untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada penderita dapat diberikan:
a. Antibiotik spectrum luas
b. Analgetik dan sedativa
c. Dilakukan tindakan pembedahan pada luka yang terbuka
3. Trauma mata benda asing
a. Ekstra Okular
1) Tetes mata
2) Bila benda asing dalam forniks bawah, angkat dengan swab.
3) Bila dalam farniks atas, lipat kelopak mata dan angkat

12
4) Bila tertanam dalam konjungtiva, gunakan anestesi local dan angkat
dengan jarum
5) Bila dalam kornea, geraka anestesi local, kemudian dengan hat-hati
dan dengan keadaan yang sangat baik termasuk cahaya yang baik,
angkat dengan jarum.
6) Pada kasus ulerasi gunakan midriatikum bersama dengan antibiotic
local selama beberapa hari.
7) Untuk benda asing logam yang terlalu dalam, diangkat dengan
jarum, bisa juga dengan menggunakan magnet.
b. Intra okuler
1) Pemberian antitetanus
2) Antibiotic
3) Benda yang intert dapat dibiarkan bila tidak menyebabkan iritasi
4. Trauma Kimia (Non Mekanik)
Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya
trauma ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat
tujuan utama dalam mengatasi kasus trauma okular adalah memperbaiki
penglihatan, mencegah terjadinya infeksi, mempertahankan struktur dan
anatomi mata, mencegah sekuele jangka panjang. Trauma kimia
merupakan satu-satunya jenis trauma yang tidak membutuhkan anamnesa
dan pemeriksaan secara teliti.
Tatalaksana trauma kimia mencakup:
a. Penatalaksanaan Emergency
1) Irigasi merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi
kontak mata dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada
saccus konjungtiva yang harus dilakukan sesegera mungkin. Larutan
normal saline (atau yang setara) harus digunakan untuk mengirigasi
mata selama 15-30 menit samapi pH mata menjadi normal (7,3).
Pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih lama, paling
sedikit 2000 ml dalam 30 menit. Makin lama makin baik. Jika perlu
dapat diberikan anastesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, dan
antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan

13
irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah
kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan.
2) Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan
material yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat
menghindarkan terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra,
konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks.
3) Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik
sehingga dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Selanjutnya
diberikan bebat (verban) pada mata, lensa kontak lembek dan
artificial tear (air mata buatan) (Sachdeva, 2005).
b. Penatalaksanaan Medikamentosa
Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan
pemberian obat-obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan
antibiotik profilaksis selama 7 hari. Sedangkan pada trauma kimia
berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi,
membantu regenerasi epitel dan mencegah terjadinya ulkus kornea.8,10
(Sachdeva, 2005).
1) Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil.
Namun pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma
dengan menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi
fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan di
tappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1% ED dan
Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat
diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
2) Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali
sehari.
3) Asam askorbat untuk mengembalikan keadaan jaringan scorbutik
dan meningkatkan penyembuhan luka dengan membantu
pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat
10% topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat
diberikan sampai dosis 2 gr.

14
4) Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan
intra okular dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder.
Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
5) Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat
aktifitas netrofil dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat
diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100
mg).
6) Asam hyaluronik untuk membantu proses re-epitelisasi kornea dan
menstabilkan barier fisiologis.
7) Asam Sitrat untuk menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi
respon inflamasi. Natrium sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam
selama 10 hari. Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua
yang terjadi 7 hari setelah trauma.
c. Pembedahan
1) Pembedahan Segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk
revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan
mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat
digunakan untuk pembedahan (Kanski, 2000):
a) Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan
untuk mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah
perkembangan ulkus kornea.
b) Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain
(autograft) atau dari donor (allograft) bertujuan untuk
mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
c) Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan
fibrosis
2) Pembedahan Lanjut pada tahap lanjut dapat menggunakan metode
berikut (Kanski, 2000):
a) Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival
bands dan simblefaron.
b) Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.

15
c) Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
d) Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin
baik, hal ini untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
e) Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat
berat dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk.
5. Trauma Kimia Basa
Dengan secepat mungkin melakukan irigasi dengan garam fisiologik.
Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi
dilakukan paling sedikit 60 menit segera setelah trauma.Penderita diberi
sikloplegia, antibiotika, EDTA (ethylene Diamine Tetracetic Acid) untuk
mengikat basa. EDTA di berikan setelah satu minggu trauma basa
diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke
tujuh (Sachdeva, 2005).

G. Prognosis
Prognosis asam baik apabila konsentrasi asam tidak terlalu tinggi
sehingga hanya terjadi kerusakan pada superficial. Prognosis trauma karena
zat basa ditentukan berdasarkan klasifikasi Hughes atau klasifikasi Thoft dan
tergantung derajat kerusakan.
1. Klasifikasi Huges
a. Ringan :
1) Prognosis baik
2) Terdapat erosi epitel kornea
3) Pada kornea tedaat kekeruhan yang ringan
4) Tidak terdapat iskemia dan nekrosis kornea ataupun konjungtiva
b. Sedang :
1) Prognosis baik
2) Terdapat kekeruhan kornea sehingga sulit melihat iris dan pupil
secara terperinci
3) Terdapat iskemia dan nekrosis enteng pada kornea dan konjungtiva

16
c. Sangat berat :
1) Prognosis buruk
2) Akibat kekeruhan kornea upil tidak dapat dilihat
3) Konjungtiva dan sclera pucat
2. Klasifikasi Thoft
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi
(Sidharta, 2012):
a. Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis
pungtata
b. Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
c. Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan
lepasnya epitel kornea
d. Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Prognosis trauma tembus okuli bergantung pada banyak faktor, yaitu
(Sidharta, 2012). :
1. Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik
2. Tempat luka pada bola mata
3. Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing
4. Benda asing megnetik atau non megnetik
5. Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda
6. Sudah/belum terdapat penyulit akibat luka tembus
Prognosis trauma tumpul okuli adalah mata akan sembuh dengan baik
setelah trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang, jarang
dikaitkan dengan kerusakan penglihatan berat dan butuh pembedahan
ekstensif (Sidharta, 2012).

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Komplikasi Trauma Tembus Okuli (John, 2001):
a. Infeksi
b. Iritis
c. Katarak

17
2. Komplikasi Trauma Tumpul okuli (John, 2001):
a. Midriasis
b. Glaukoma
c. Katarak
d. Dislokasi lensa
e. Vitreous haemorrhage
f.Atrofi N. Opticus
3. Komplikasi Trauma Okuli karena Zat Kimia
a. Zat Kimia Asam (Vaughan, 2007):
1) Jaringan parut pada konjungtiva dan kornea
2) Vaskularisasi kornea
3) Glaucoma
4) uveitis
b. Zat Kimia Basa (Kanski, 2000):
1) Simblefaron
2) Kornea keruh, edema, neovaskular
3) Mata kering
4) Katarak traumatik
5) Glaucoma sudut tertutup
6) Entropion
7) Phtisis bulbi

18
BAB III
PEMBAHASAN

Pada dasarnya untuk semua keadaan trauma pada mata yang harus dilakukan
pertama kali adalah (Anonim, 2013):
1. Jangan menyentuh, menggosok atau memberikan tekanan apapun pada mata.
2. Jangan mencoba untuk memindahkan benda asing apapun yang masuk
kedalam mata.
3. Jangan memberikan obat apapun pada mata.
4. Segera temui optalmologis atau dokter untuk penanganan lebih lanjut.
Pada keadaan trauma mata yang disebabkan oleh bahan kimia, yang perlu
dilakukan adalah (Anonim, 2011):
1. Bersihkan mata dengan air bersih dengan posisi mata terbuka dan terbilas
langsung oleh air.
2. Bersihkan mata kurang lebih 15 menit.
3. Jangan menggunakan penutup mata atau memberikan perban pada mata.
Trauma mata dapat menimbulkan gambaran berupa black eye. Black eye
adalah warna hitam di sekitar mata yang timbul karena perdarahan kulit yang ada
di sekitar mata. Black eye mengindikasikan trauma yang luas pada mata, bahkan
kadang menjadi tanda adanya fraktur pada basis cranium (Mayo Clinic Staff,
2012).
Tatalaksana yang dapat diberikan untuk black eye yaitu (Mayo Clinic Staff,
2012):
1. Tekankan kain dingin yang telah dibasahi dengan air perlahan pada area sekitar
mata. Berhati-hati untuk tidak menekan area mata. Tindakan ini diberikan
untuk memberikan rasa dingin pada mata yang terkena trauma segera setelah
cedera terjadi, lanjutkan kompres delama 24-38 jam.
2. Cari tanda adanya perdarahan pada area sclera maupun sekitar kornea. Apabila
ditemukan perdarahan segera bawa ke ophthalmologist.
3. Keadaan gangguan penglihatan (penglihatan ganda, kabur), nyeri hebat, atau
perdarahan memerlukan pertolongan segera dari ophthalmologist
Penanganan kasus trauma okuli di rumah sakit terbagi sesuai dengan kondisi
cedera yang terjadi yaitu (Dahl, 2013):
1. Miopia
Miopia karena trauma biasanya disebabkan karena adanya trauma tumpul yang
langsung mengarah ke mata. Keadaan ini biasanya tidak memerlukan adanya
tatalaksana yang adekuat, karena pasa akhirnya gangguan ini akan kembali
seperti semula.
2. Bahan kimia
Meskipun mata telah dibersihkan sebelumnya sebagai penanganan pertama
setelah trauma, ophthalmologist sebaiknya melakukan irigasi kembali biasanya
dapat dilakukan dengan alat yang mirip dengan lensa kontak yang disebut lensa
Morgan. Tatalaksana akan bergantung pada jenis bahan kimia dan keparahan
yang ditimbulkan. Untuk trauma dengan tingkat keparahan tinggi, diberikan
pupil dilator dengan obat tetes mata dan analgesi.

3. Abrasi kornea
Diberikan anestesi mata untuk diagnosis awal. Tetes mata anestesi ini tidak
dapat digunak untuk terapi. Penggunaan obat tetes anestesi pada dasarnya
menunda penyembuhan dan hanya digunakan untuk diagnosis awal.

20
Penggunaan berulang akan merusak kornea. Pengobatan yang diberikan
dengan antibiotic dan obat tetes mata untuk dilatasi pupil.Penggunaan penutup
mata setelah terapi farmakologi kadang diberikan.
4. Traumatic iritis
Obat tetes mata digunakan untuk dilatasi pupil. Untuk penanganan inflamasi
dapat digunakan steroid.
5. Hyfema
Pada kondisi hifema yang tampak jelas, pasien dapat dirawat dirumah sakit
untuk monitoring. Posisi diatur di tempat tidur dengan elevasi kepala.
Pelindung yang keras dapat diberikan disekitar mata dan diberi obat tetes mata
untuk dilatasi pupil.
6. Orbital blowout fractures
Pemberian kompres es dan elevasi kepala selama 48 jam diberikan untuk
mengurangi bengkak. Dianjurkan untuk tidak ekspirasi keras melalui hidung
karena dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada area fraktur.
Pengobatan dengan dekongestan nasal dan antibiotik oral selama 1 sampai 2
minggu. Bila dibutuhkan pemben=dahan untuk perbaikan, dilakukan setelah 1
minggu setelah bengkak telah hilang.
7. Laserasi
Dilakukan penjahitan pada area terjadinya laserasi sesuai dengan luas areanya.
Bila terjadi di area yang kurang penting dapat sembuh dengan sendirinya.
Laserasi pada bola mata sering membutuhkan antibiotic, penjahitan dan
pembedahan lebih lanjut oleh ophthalmologist.
8. Benda asing intra-okular
Bila terdapat benda asing yang masuk ke dalam mata, maka disarankan
melakukan prosedur operasi yang dilakukan opthalmologist. Hal ini dilakukan
untuk menghindari adanya infeksi, inflamasi persisten karena organisme yang
terbawa masuk, dan hal buruk lainnya.
9. Trauma tembus mata
Bila terjadi kejadian traum yang menembus mata maka yang harus dilakukan
adalah prosedur pembedahan yang kurang dari 24 jam setelah kejadian. Saat

21
melakukan pemeriksaan diharapkan tidak menekan bola mata, menghindari
adanya muntah, batuk dan bersin.

22
BAB IV
KESIMPULAN

1. Trauma okuli merupakan cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan
rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga dapat
menganggu fungsi mata sebagai indra penglihat
2. Penyebab trauma okuli dapat dibedakan menjadi penyebab mekanik baik
tajam maupun tumpul, kimia baik asam maupun basa, dan radiasi yang
masing-masing memberikan tanda dan gejala yang berbeda
3. Diagnosis trauma okuli ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan oftalmologi lengkap dan pemeriksaan penunjang berupa foto polos orbita,
USG, CT-scan, atau MRI.
4. Terapi untuk trauma okuli dapat berupa pemberian medikamentosa yaitu obat
analgetik dan antibiotik, penutupan bola mata, posisi kepala yang lebih tinggi
pada saat tidur, maupun pembedahan yang bergantung jenis trauma.
5. Prognosis trauma tumpul lebih baik dibandingkan trauma tembus yang
bergantung pada
a. Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik
b. Tempat luka pada bola mata
c. Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing
d. Benda asing megnetik atau non megnetik
e. Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda
f. Sudah/belum terdapat penyulit akibat luka tembus
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. First aid for eye emergencies. Diakses dari:


http://www.preventblindness.org/first-aid-eye-emergencies. februari 2018.
Anonim. 2013. Care and Treatment Recommendations for Eye Injury. Diakses
dari: http://www.geteyesmart.org/eyesmart/living/eye-injuries-care-
treatment.cfm. februari 2018.
Aronson AA, Corneal Laceration [online] 2008 [cited february 2018] Available
from URLhttp://www.emedicine.com/emerg/topic114.htm
Asbury T, Sanitato JJ. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya Medika
Dahl, Andrew A. 2013. Eye Injuries. Diakses dari:
http://www.emedicinehealth.com/eye_injuries/page8_em.htm. februari 2018.
Depkes RI, Ditjen Binkenmas. 1998. Hasil Survey Kesehatan Indera Penglihatan
dan Pendengaran. Jakarta
Eva, Paul Riordan. 2012. Vaughan dan Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC
Ilyas, Sidharta. 2012. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: FK UI
James B, Chew C, Bron A. 2005. Trauma. In: Lecture Notes on Ophthalmology.
9th Edition. Oxford: Blackwell Publishing
Kanski, JJ. Chemical Injuries. Clinical Opthalmology. Philadelphia: Elseiver
Limited. 2000.
Lang GK. 2006. Ocular Trauma. In: Ophtalmology. 2nd Edition. Stuttgart. New
York: Thieme
Mangunkusuma, Vidyapati W, 1988, Penanganan Cidera Mata dan Aspek Sosial
Kebutaan, Universitas Indonesia, Jakarta
Mayo Clinic Staff. 2012. Black eye: First aid. Diakses dari:
http://www.mayoclinic.com/print/first-aid-black-
eye/HQ00016/METHOD=print. Februari 2018
Olitsky, Scott E. dan Leonard B. Nelson. 2012. Pediatric Clinical Ophthalmology.
UK: Manson Publishing.
Othman, Ihab Saad. 2009. Ophthalmic Pathology: Interactive with Clinical
Correlation. Amsterdam: Kugler Publications.
Robson J, Globe Rupture [online]2007 [cited February 2018] Available from
URLhttp://www.emedicine.com/emerg/topic218.htm
Sachdeva D. 2005. Chemical Eye Burns, Available from URL:
http://www.emedicine.com/aaem/eye/topic102.htm
Sandford, John. 2001. Eye Surgery in Hot Climates. Available at
http://www.cehjournal.org/files/eshc/eysurhc_ch11.pdf
Taylor, Eva Paul Riordan. 2007. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC

25

Anda mungkin juga menyukai