Anda di halaman 1dari 5

Fungsi Apresiasi Seni

Apresiasi dalam seni memiliki manfaat atau fungsi. Seperti yang sudah disebutkan mengenai
pengertian dari apresiasi pada seni, terdapat kegiatan mengenali, memberi penilaian, juga
menghargai di mana akan memperngaruhi karya seni tersebut serta seniman atau pembuat seni
yang terlibat.

Ada empat fungsi yang menjadi utama dan dapat kamu kenali agar lebih memahami mengenai
apresiasi pada seni. Keempat fungsi tersebut sebagai berikut.

 1. Untuk Meningkatkan Kecintaan Terhadap Karya Seni

Fungsi pertama adalah untuk meningkatkan kecintaan terhadap karya seni. Atau dapat juga
dikatakan sebagai ‘sarana’ yang mampu meningkatkan rasa cinta terhadap karya seni khususnya
karya seni yang dibuat oleh anak-anak Indonesia.

 2. Untuk Menciptakan Penilaian

Fungsi yang kedua adalah untuk menciptakan penilaian. Penilaian ini berupa sarana dalam
menikmati, memberi empat, mendapatkan hiburan, serta menambah wawasan dan pengetahuan
atau edukasi.

 3. Untuk Mengembangkan Kemampuan

Fungsi ketiga adalah untuk mengembangkan kemampuan. Kemampuan yang merupakan


keanggupan diri sendiri dapat berupa mampu menciptakan karya seni atau lain-lain. Sebagai
penikmat seni yang memberi apresiasi, terkadang banyak bagian dari kegiatan apresiasi tersebut
yang mengasah kemampuan.

 4. Untuk Membangun Hubungan

Fungsi keempat atau terakhir ialah untuk membangun hubungan. Hubungan tersebut berupa
hubungan timbal-balik yang positif antara pembuat seni dengan penikmat seni.
Tujuan Apresiasi Seni
Selain memiliki empat fungsi atau manfaat, apresiasi seni juga memiliki dua macam tujuan yaitu
tujuan pokok dan tujuan akhir.

Tujuan pokok dari apresiasi pada seni berupa memperkenalkan atau mempublikasi karya seni
tersebut agar karya seni lebih dapat dinikmati oleh publik atau masyarakat juga maksud serta
tujuannya tersampaikan.

Terkadang sebagai penikmat seni yang memang sekadar penikmat, kita tidak langsung dapat
mengerti maksud dan tujuan dibuatnya karya seni tersebut.

Nah, dengan adanya apresiasi seni maka kita dapat lebih mudah mengerti maksud dan tujuannya.
Sementara itu untuk tujuan akhir, ada tiga poin. Ketiga poin tujuan akhir tersebut sebagai
berikut.

 Mengembangkan nilai estetika karya seni

Estetika adalah kepekaan terhadap keindahan atau seni. Hal ini membuat kita lebih cepat
menyadari unsur seni pada karya seni.

 Mengembangkan daya kreasi

Selain estetika, tujuan akhir berikutnya ialah mengembangkan kreasi. Karena kita menjadi lebih
peka dan mengerti maksud dari karya seni, maka daya kreasi kita juga dapat bertambah.

 Menyempurnakan

Apresiasi pada karya-karya seni juga sebagai ‘penyempurna’ dari karya-karya seni itu sendiri.
1. Seni Rupa di Bali Krisis Kritik
Ada kecenderungan, begitu pesatnya perkembangan senirupa di Bali tidak diikuti oleh perkembangan kritik tentang
karya seni tersebut. Apakah karena kurangnya kritikus-kritikus handal yang menguasai teknik mengkritik sebuah
karya seni? Ataukah menjadi seorang kritikus seni kurang menjanjikan dari segi finansial? Ada "permainan" apa
sesungguhnya di balik itu sehingga kritik tidak lagi menggigit dan berfungsi sebagaimana mestinya?
ITULAH serangkaian pertanyaan yang mengemuka pada diskusi atau sarasehan seni rupa bertema "Krisis Kritik
Seni Rupa di Bali" yang digelar mahasiswa PSSRD Universitas Udayana yang tergabung dalam "Mahasenrayana"
pada 20 Februari 2002 di Wantilan Museum Sidik Jari, Denpasar. Pembicara dalam diskusi ini adalah Arif B.
Prasetyo, I Nyoman Sukaya dan I Ketut Murdana, dengan moderator Pande Gede Supada. Disamping mahasiswa
PSSRD, diskusi ini juga dihadiri mahasiswa dan pengajar STSI Denpasar, para perupa, serta peminat seni rupa.
Arif B. Prasetyo mengakui bahwa memang terjadi perkembangan pesat senirupa di Bali, namun tidak diikuti
perkembangan kritik terhadapnya. Tidak saja di Bali, namun sudah pada tingkat nasional. Ia mensitir adanya
kerancuan akan peran ganda para kritikus -- pengamat seni yang juga sebagai kurator galeri, sehingga pembahasan
karya cenderung menonjolkan sisi-sisi baiknya saja, sehingga sisi yang jelek luput dari pengamatan dan
pembahasannya. Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan dan kecemasan terjadinya "krisis" kritik senirupa.
Menurut Arif, biang kerok terjadinya krisis adalah kurangnya kritikus handal. Meski para kritikus berasal dari
lingkungan akademis, namun akhir-akhir ini mereka kebanyakan kehilangan kehandalannya dan memamerkan
kedangkalannya demi kepentingan agresifitas pasar dan penetrasi besar-besaran arus kapital ke seni rupa. Pasar seni
rupa dipandang berkuasa dalam praktik "kolonisasi", termasuk para kritikusnya. Akibatnya, lahir karya kritik yang
kurang objektif. Ini menunjukkan kerancuan fungsi kritikus yang "merangkap jabatan" -- sebagai kurator, konsultan
dan penulis katalogus, wartawan, dan seterusnya.
Arif yang dikenal sebagai penulis seni rupa, kurator di sebuah galeri, penyair, esais, penerjemah, serta mantan
wartawan ini, lebih lanjut mengatakan bahwa tidaklah penting jika kritikus itu merangkap jabatan. Yang jauh lebih
berharga adalah karya kritik itu sendiri, yaitu yang kreatif, sejajar dan mandiri (independen) serta seharusnya terasa
lebih kaya dari apa-apa yang dilukis seniman. Kritik pada masa kini sangat diperlukan untuk membangun dan
mencerdaskan bangsa. Tidak seperti masa Orde Baru, kritik dianggap menjelek-jelekkan saja yang harus dipangkas.
Kalau teknik dan teori kritik kini sudah begitu banyak, canggih, dan dasyat, lalu bagaimana dengan penerapannya?
Ternyata pendekatan yang akademis dalam kritik belum pernah diterapkan dengan konsekuen dalam praktiknya.
Kesenjangan antara teori dan praktik kritik seni rupa mirip dengan di dunia sastra Indonesia yang mengalami
polemik dan perdebatan panjang. Menurut Arif, isi karya kritik tergantung dari posisi pengamat yang subjektif dan
mengapa ngotot minta akan kritik yang objektif? Yang terpenting adalah tanggung jawabnya dari apa yang tersirat
dalam seluruh pandangan terhadap karya seni itu yang dianggap sebagai "karya kreatif" juga. Dengan demikian,
tidak perlu buang-buang energi atau kebingungan, cemas, khawatir kalau seorang kritikus seni rupa kedapatan
merangkap jabatan sebagai perajin tulisan atau apapun namanya. Yang pokoknya adalah apa yang diungkapkan dan
argumen apa sampai pada kesimpulan dari ungkapan tersebut.
Belum Tersentuh
Berbeda dengan Arif, I Ketut Murdana yang doses STSI Denpasar, alumnus PSSRD Unud, melihat banyak pameran
seni rupa terlewatkan tanpa berita atau ulasan serta kritik yang memadai. Permasalahan yang cukup mendasar
seperti perluasan pemahaman, tingkat pendalaman dan apresiasi serta iklim kritik yang dirasakan stagnan, sementara
maraknya perkembangan proses penciptaan seni rupa terjadi.
Banyak wilayah kritis yang belum tersentuh wacana, apalagi muncul konsep seni yang berakar pada konsep budaya
seni tradisi yang majemuk di Nusantara ini. Perdebatan panjang tentang makna dan nilai yang disodorkan seniman
berbeda dengan cara pandang tentang kritik seni itu sendiri. Perguruan tinggi seni rupa di seluruh Indonesia banyak
menggelar diskusi, seminar ilmiah tentang hal itu. Di satu sisi perpedoman dengan teori dan cara pandang Barat, sisi
lainnya menyerap teori Barat dan melahirkan sistem sesuai dengan budaya sendiri. Usaha-usha para pakar di bidang
akademik perlu diposisikan dan dikondisikan untuk membentuk wacana sistem nilai yang dibutuhkan masyarakat
secara menyeluruh sesuai iklim budaya sendiri.
Sementara ini pemberitaan dan ulasan seni rupa tidak banyak menyentuh wilayah kritis dan esensial dari karya. Para
pecinta seni banyak terjebak dalam bujuk-rayu para calo-calo dan peran kritikus hilang bagaikan ditelan bumi,
menghapus kejujuran nilai dan makna yang disodorkan seniman. Tentu bisa dibayangkan bagaimana wajah dan
kondisi apresiasi seni di masa mendatang. Murdana menyadari kondisi ini adalah tanggungjawab dari perguruan
tinggi seni, bila perlu dibentuk program studi kritik seni. Suatu kenyataan bahwa mahasiswa datang ke perguruan
tinggi hanya untuk menjadi pelukis daripada menjadi kritikus yang honornya sangat kecil dibandingkan beban
tanggungjawab yang dipikul. Pemberdayaan pengajar di perguruan tinggi seni rupa untuk menulis pada majalah,
surat kabar dan jurnal ilmiah untuk kenaikan pangkatnya, seperti anjuran dan adanya surat edaran Dirjen Dikti,
memberikan dampak yang positif bagi iklim penulisan yang bermutu dan ilmiah serta sesuai kebutuhan publik
apresian.
Menurut Murdana, diskusi juga merangsang tumbuhnya iklim penulisan yang kondusif. Kritik bagi orang Bali
dilandasi mental sebagai "pemberi contoh" dan "menjadi contoh", suatu proses pendidikan yang aktif secara teori
dan praktik. Juga, cara pandang yang memaknai hidup dengan "kerja" sebagai suatu persembahan dapat
menghasilkan wujud budaya dan seni dengan bobot kemampuan yang tinggi, tetapi kurang mampu menjelaskan
konsep yang melatarinya. Untuk itu seorang kritikus bukan berdiri sendiri, ia juga seorang praktisi sekaligus guru.
Kenyataan ini sangat bertentangan dengan cara pandang Barat yang menganggap kritik sebagai "memberi komentar
atau keputusan tentang baik dan buruk".
Jika kritik tersebut memberi jalan keluar, berarti kritik masuk wilayah sasaran yang tepat. Tujuan dari kritik adalah
menghidupkan seni, melalui bahasa seni yang kritis, menjembatani bahasa rupa menjadi bahasa tulis yang dapat
dimengerti masyarakatnya. Sudah saatnya muncul penulis lokal yang memahami konsep seni lokal untuk
meluruskan pandangan keliru dari penulis asing.
Pembicara terakhir, yaitu I Nyoman Sukaya yang Ketua PSSRD Unud, menilai bahwa kemajuan seniman banyak
ditunjang oleh para kritikus yang baik. Bagi Sukaya, Bali masih kurang kritikus yang handal dan bisa menunjang
perkembangan seni rupa. Menurutnya, pengertian kritik perlu disepakati bersama, "kritik" (dalam bahasa Inggris:
critician) berarti mencermati, membandingkan, memilah, menimbang dan menghakimi. Kritik juga berarti kecaman,
tanggapan, pertimbangan baik/buruk suatu karya, pendapat dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988).
Dengan demikian, Sukaya mencomot tulisan Budi Raharja (1996), bahwa kritik seni menyangkut masalah penyajian
fakta, penafsiran, analisis, mencari kriteria dan memakainya, membuat rangkuman sampai akhirnya diperoleh
keputusan nilai atas karya seni.
Seleksi karya yang bermutu ditentukan oleh kritikus yang berwawasan global, objektif dan memiliki tanggung jawab
moral. Intimidasi perupa atau seniman yang berlebihan terhadap kritikus dapat mengganggu objektivitas profesinya.
Dikemukakan pula bahwa realitas kesuksesan dan "pasar seni" mesti terpadu dengan idealitas pengembangan seni
rupa yang juga ideal. Sukaya mengisyaratkan, Bali memiliki peluang adanya kritikus yang baik dengan analisis swot
yakni adanya SDM cukup, paradigma perguruan tinggi dan multimedia yang canggih sebagai kekuatan. Peluang
adanya kegiatan pameran/ seminar seni rupa dan kesempatan belajar terbuka lebar. Kelemahan dan hambatannya
adalah SDM lemah dan kurang apresiasi, penguasaan bahasa asing dan teknologi informasi juga masih kurang.
Menurut Sukaya, krisis senirupa di Bali bisa diatasi dengan munculnya kritikus muda yang aktif dalam berbagai
kesempatan, seniman tidak perlu tersinggung bila dikritik karena dibalik kritikan ada pujian tersamar yang berharga.
Pada akhir diskusi, ada simpulan-simpulan yang lebih menitikkan pada harapan bahwa perlu ada pencerahan-
pencerahan, dimana kekacauan intelektual harus diimbangi dengan "jiwa yang suci". Tidak perlu ada ketakutan akan
kritik "pesanan". Biarkan masyarakat pembaca yang menilai, baik dan buruk suatu kritikan adalah tanggung jawab
kritikus itu sendiri. Perlu dikembangkan iklim kritik di atas kritik, masing-masing mengungkapkan argumentasinya.
Tolok ukur adalah apa yang dihasilkan yakni hasil karya itu sendiri, sejauh dan sedalam apa membedah seni yang
dikritiknya, untuk mengakhiri krisis kritik yang kritis di Bali.

Anda mungkin juga menyukai