Anda di halaman 1dari 22

TAMBANG PASIR ILEGAL DI LUMAJANG

PAPER FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Disusun oleh:

Wempirius Mauk (131434053)


Anna Maria Satya Prayitna (131434024 )
Hendrika Micelyn Amelia N. (141434077)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Baru kurang dari 20 tahun umat manusia mulai menyadari bahwa ia berada dalam
penghancuran alam, dan bahwa alam itu adalah lingkungan hidup manusia, malahan satu-satunya
lingkungan hidupnya. Sehingga apabila lingkungan ini sudah rusak, manusia telah
menghancurkan lingkungan daripadanya ia harus hidup sendiri.
Kita mulai sadar betapa buruknya perlakuan kita terhadap alam; hutan-hutan ditebang,
atmosfer dirusak, udara dan air diracuni, lingkaran kehidupan makro yang hakiki diputuskan.
Akibatnya semakin kita rasakan. Bencana banjir dan tanah longsor semakin gawat, misalnya di
sepanjang pantai di Desa Awar-Awar kabupaten Lumajang Jawa Timur terjadi penambangan
pasir illegal. Pasir dikeruk hanya untuk kepentingan beberapa kalangan tanpa memikirkan
dampak yang ditimbulkan dari tindakan mereka. Akibatnya kemampuan alam untuk merecovery
diri semakin melemah. Setiap tahun ribuan hektar sawah di beberapa desa di kabupaten
Lumajang yang merupakan warisan genetik bumi hilang.
Kerusakan yang paling gawat baru sekarang diketahui. Sesungguhnya kerusakan yang
terjadi di Desa Awar-Awar merupakan sebagian kecil dari kerusakan alam yang terjadi di
Indonesia akibat penambangan pasir ilegal. Sawah-sawah yang merupakan tempat para petani
mengadu nasib untuk mendapatkan sesuap nasi, hilang lenyap digenangi air laut karena
pengerukan pasir yang menyisahakan saluran air yang menjadi tempat mengalirnya air laut
untuk menggenangi sawah-sawah tersebut. Korban yang ditimbulkan dari penambangan pasir
illegal ini bukan hanya lahan pertanian tetapi juga manusia. Beberapa warga yang punya
perhatian terhadap lingkungan hidup dan menentang adanya penambangan pasir illegal
nyawanya dihabiskan.
Kerusakan itu bukan sekedar nafsu manusia modern yang hanya mau memanfaatkan
alam untuk meningkatkan konsumsinya, melainkan anehnya, juga berdasarkan sebuah legitimasi
teologis. Berabat-abat lamanya manusia mengeksploitasi alam berdasarkan anggapan bahwa ia
telah dibenarkan dalam perintah Tuhan kepada manusia yang diciptakanya: “Beranakcuculah
dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukan itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1, 28).
Perintah sang pencipta itu ternyata oleh manusia modern diartikan sebagai cek blangko
untuk menjadikan diri penguasa mutlak atas seluruh alam. Kekuasaan itu lantas diartikan sebagai
wewenang untuk memanfaatkan alam secara habis-habisan demi kebutuhan dan keinginan apa
saja, tanpa perhatian pada keutuhan alam sendiri. Perintah pencipta dijadikan dasar sebuah
ideology yang mensyahkan manusia menjadikan seluruh dunia menjadi alat dan tambang bagi
perealisasian segala apa yang dapat dibayangkannya.
Kasus terbunuhnya Salim Kancil menjadi pintu untuk membongkar jaringan tambang pasir
illegal di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kasus penambangan illegal ini telah terjadi sejak
awal 2014 namun baru akhir-akhir ini terungkap. Kasus ini pun langsung mencuat dan menjadi
trending topik di Indonesia setelah kasus ISPA yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Kasus
ini masih menjadi misteri karena belum terungkap siapa saja dalang di balik kasus yang telah
merenggut nyawa seorang petani antitambang. Kasus ini menjadi semakin hangat
diperbincangkan karena ada banyak pihak yang ikut terlibat dalam kasus penambangan illegal
sekaligus pembunuhan terhadap Salim. Disebutkan pula dalam beberapa sumber bahwa otak di
balik kejadian ini yaitu Kepala Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur. Selain itu, ada pula wakil ketua DPRD, aparat polisi dan pihak-pihak
lainnya yang iut terlibat dalam kasus ini.
Dari berbagai berita yang terlansir di media massa dan ditayangkan di televisi, disebutkan
bahwa kasus penambangan liar atau illegal ini bukan hanya merugikan pihak keluarga Salim,
namun juga merugikan lingkungan sebab aktivitas tambang dilakukan di beberapa titik sampai
pasir tidak bisa lagi ditambang. Dalam jangka waktu tertentu bukan tidak mungkin akan terjadi
kasus tanah longsor dan banjir yang dapat merugikan warga setempat.
Berdasarkan permasalahan yang ada, kami hendak menganalisis kasus pertambangan liar
ini dan mengkaji berbagai aspek sehingga kasus ini tidak lagi menimbulkan kebingungan di
masyarakat. Analisis ini penting untuk memberikan opini baru yang kritis, segar, dan apa adanya
kepada para pembaca mengenai kasus yang terjadi di Lumajang, Jawa Timur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang terjadinya kasus pertambangan liar?
2. Mengapa terjadi kasus pertambangan liar dan pembunuhan di Lumajang, Jawa Timur?
3. Bagaimana kasus pertambangan liar ini merugikan masyarakat dan lingkungan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kasus pertambangan liar.
2. Untuk mengetahui alasan terjadinya kasus pertambangan liar dan pembunuhan di
Lumajang, Jawa Timur.
3. Untuk dapat memahami bagaimana dampak pertambangan pasir illegal dapat merugikan
masyarakat dan lingkungan.

1.4 Manfaat
Hasil analisis kasus ini dapat bermanfaat untuk mengkritisi kasus pertambangan liar
di Lumajang, Jawa Timur. Selain itu, paper ini juga bermanfaat untuk menyadarkan para
pembaca mengenai kerugian atau dampak buruk dari pertambangan liar sehingga diharapkan
dapat membantu menyadarkan para pembaca tentang pentingnya menjaga lingkungan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pertambangan


Pertambangan merupakan suatu aktivitas penggalian, pembongkaran, serta
pengangkutan suatu endapan mineral yang terkandung dalam suatu area berdasarkan
beberapa tahapan kegiatan secara efektif dan ekonomis, dengan menggunakan peralatan
mekanis serta beberapa peralatan sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini (Sulton,
2011).
Hakikatnya pembangunan sektor tambang dan energi mengupayakan suatu proses
pengembangan sumber daya mineral dan energy yang potensial untuk dimanfaatkan secara
hemat dan optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya mineral merupakan
suatu sumber daya yang bersifat tidak terbaharui (unrenewable). Oleh karena itu,
penerapannya diharapkan mampu menjaga keseimbangan serta keselamatan kinerja dan
kelestarian lingkunga hidup maupun masyarakat sekitar (Sulton, 2011).
Salim (dalam Sulto 2011) menyatakan bahwa paradigma baru kegiatan industri
pertambangan ialah mengacu pada konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan, yang meliputi; 1) Penyelidikan Umum (prospecting), 2) Eksplorasi: eksplorasi
pendahuluan, eksplorasi rinci, 3) Studi Kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk
studi amdal), 4) Persiapan produksi (development, construction), 5) Penambangan
(pembongkaran, pemuatan, pengangkutan, penimbunan), 6) Reklamasi dan Pengelolaan
Lingkungan, 7) Pengolahan (mineral dressing), 8) Pemurnian/metalurgi ekstraksi, 9)
Pemasaran, 10) Corporate Social Responsibility (CSR), 11) Pengakhiran tambang.

2.2 Penggolongan Hasil Tambang


Dalam penggolongan hasil tambang, Ngadiran (dalam Sulto 2011) menjelaskan bahwa
izin usaha pertambangan meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang
bersifat ekstraktif seperti bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan
C. Ada banyak jenis sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi Indonesia. Dari
sekian jenis bahan tambang yang ada itu dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1.) Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas : minyak bumi, aspal, antrasit, batu
bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas
alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahanbahan galian radio aktif
lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah);
2.) Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit,
besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng,
tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam
langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum,
kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom); dan
3.) Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Bahan ini
merupakan bahan tambang yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua macam yaitu
kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk secara langsung oleh
negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun Kontrak Karya (KK), dan penambangan
yang dilakukan oleh rakyat secara manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha
biasanya dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang
diharapkan lebih banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan
rakyat merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.

2.3 Peraturan Pemerintah tentang Pertambangan


Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan
industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high
technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan
mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan
kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara (Putri, 2012).
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di
Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU Minerba). Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan
dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak
lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi
ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU
Minerba tersebut menuai pro dan kontra. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa
beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait
dengan kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara dan memberikan
hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu. Industri mineral dan batubara menyangkut
kepentingan banyak orang, oleh karena itu kondisi di industri tersebut harus berada di dalam
persaingan usaha yang sehat. Salah satu syarat terciptanya persaingan yang sehat tersebut
adalah tidak adanya hambatan masuk yang berlebihan ke dalam industri tersebut, termasuk
hambatan yang berasal dari kebijakan Pemerintah (Putri, 2012).

Undang-undang Mineral dan batu bara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai


berikut:
1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara
dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah bersama dengan pelaku usaha.
2) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk
melakukan pengusahaan mineral dan batu bara berdasarkan izin, yang sejalan dengan
otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
3) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.
4) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-
besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
5) Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan mencegah serta mendorong
tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
6) Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan
harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi,
dan partisipasi masyarakat.
7) Pertambangan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan,
dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparasnsi dan
akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka


tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah :
1) Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan baerdaya saing;
2) Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup;
3) Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan atau sebagai
sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
4) Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu
bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
5) Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan
6) Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara.
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat
dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang
bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini.
Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika
merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan
UU No.4 tahun 2009, maka substansi yang terkandung dalam UU No.4 Thun 2009
menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah (pusat) dalam hal sebagai berikut :
1) Penetapan kebijakan nasional;
2) Pembuatan peraturan perundang-undangan;
3) Penetapan standard, pedoman dan kriteria;
4) Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional;
5) Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan DPR.
Tahapan Mengenai UU No. 4 Tahun 2009
Pertambangan Mineral dan Batubara
1) Penguasaan mineral dan batubara oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan
atau Pemerintah Daerah. (Pasal 4)
2) Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan batubara bagi
kepentingan nasional. (Pasal5)
3) Pengelompokan usaha pertambangan : Mineral dan Batubara
4) Penggolongan tambang mineral : radioaktif, logam, non logam dan batuan. (Pasal 34)
5) 21 kewenangan berada di tangan pusat. (Pasal 6)
6) 14 kewenangan berada di tangan provinsi. (Pasal 7)
7) 12 kewenangan berada di tangan kabupaten/kota. (Pasal 8)
8) Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, ditetapkan pemerintah
setelah koordinasi dengan Pemda dan DPR. (Pasal 10)
9) Wilayah pertambangan terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Nasional (WPN). (Pasal 14
– 33)
Sistem/Rezim Perijinan (Pasal 35), terdiri atas 2 tahapan yang berkonsekuensi pada adanya
2 tingkatan perijinan :
1) Eksplorasi yang meliputi : Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan
2) Operasi produksi yang meliputi : Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan
Pemurnian, Pengankutan serta Penjualan. (Pasal 36)
3) IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN), koperasi, perseorangan. (Pasal 38)
4) IPR bagi penduduk local dan koperasi. (Pasal 67)
5) IUPK bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia dengan prioritas pada
BUMN/BUMD. (Pasal 75)
6) Kewajiban keuangan bagi Negara : Pajak dan PNBP. Tambahan bagi IUPK
pembayaran 10% dari keuntungan bersih.
7) Pemeliharaan lingkungan : Konservasi, reklamasi. (Pasal 96 – 100)
8) Kepentingan nasional : Pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. (Pasal 103 – 104)
9) Pemanfaatan tenaga kerja setempat, partisipasi pengusaha local pada tahap produksi,
program pengembangan masyarakat. (Pasal 106 – 107)
10) Penggunaan perusahaan jasa pertambangan local dan atau nasional. (Pasal 124)
11) Pusat : terhadap provinsi dan kabupaten/kota terkait penyelenggaraan pengelolaan
pertambangan
12) Pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangan terhadap pemegang IUP
dilakukan
13) Kabupaten/kota terhadap IPR. (Pasal 139 – 142)

2.4 Dampak Pembangunan Pertambangan


Kegiatan pertambangan pada dasarnya merupakan proses pengalihan sumberdaya
alam menjadi modal nyata ekonomi bagi negara dan selanjutnya menjadi modal social.
Modal yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan nilai kualitas insan bangsa
untuk menghadapi hari depannya secara mandiri. Dalam proses pengalihan tersebut
perlu memperhatikan interaksi antara faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup
sehingga dampak yang terjadi dapat diketahui sedini mungkin. Menurut Salim (2007)
dalam Ali Sulton (2011) setiap kegiatan pembangunan dibidang pertambangan pasti
menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatan
pembangunan dibidang pertambangan adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD);
3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;
4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan
7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Kehancuran lingkungan hidup;
2. Penderitaan masyarakat adat;
3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal;
4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;
5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan
6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan
BAB III

ANALISIS

3.1 Kajian Ekologis

Secara fisik, kegiatan penambangan pasir besi di laut atau pesisir merupakan upaya
teknologi yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan material bangunan, dengan
merubah suatu lingkungan bentang alam pesisir pantai dan dasar laut yang sudah pasti
menimbulkan dampak negative terhadap tipologi ekosistem eustuaria, mangrove, terumbu
karang dan biodiversitas laut. Karena dampak ekologisnya sangat rawan, maka harus dilakukan
kajian yang mendalam, tidak hanya pada aspek sosial ekonomi saja, tetapi perlu dan wajib
dilakukan kajian sosial ekonomi masyarakat nelayan serta kajian dari sudut ekologi yang adil
dan jujur.

Dampak penambangan pasir laut pasti menimbulkan masalah lingkungan yang jauh lebih
besar dan luas dibandingkan dengan profit jangka pendek yang dihadiahkan oleh sekelompok
pengusaha tambang kepada Pemkab. Tidak ada dalam catatan fakta sejarah pertambangan
membuktikan bahwa semua pengusaha tambang, tidak ada yang mau memperbaiki lingkungan
ekosistem laut dan pesisir yang mereka rusak seperti mendekati kondisi semula. Artinya,
reklamasi lingkungan mekanisme RKL, RPL, hanya ada di atas kertas, karena dalam logika
pengusaha, reklamasi termasuk high-cost yang pasti menurunkan profit yang akan mereka
peroleh. Jika terjadi tekanan dari masyarakat pemerhati lingkungan, maka Bupati, Gubernur dan
Menteri adalah jabatan dengan harga yang sangat murah meriah dihadapan para pengusaha
tambang, di manapun ia beroperasi.

Posisi P. Jawa bagian selatan yang berbatasan langsung dengan samudera Indonesia
adalah posisi yang sangat rawan bencana alam (ring of fire). Posisi ini berkaitan secara dinamis
dengan runtuhnya ≥ 140 km lempengan es di kutub selatan. Scoping yang dilakukan oleh SER
PWNU Jawa Timur menemukan sebelas masalah lingkungan fisik, kimia, dan biologi yang
sangat berbahaya dan pasti terjadi dalam kurun waktu sekian tahun ke depan belum termasuk
dampak sosial dan ekonomi, jika misalnya tambang pasir besi tidak dihentikan. Ini artinya,
keuntungan yang diperoleh masyarakat desa Selok Awar-Awar tidak sebanding dengan bencana
yang pasti terjadi dan bahkan sudah terjadi. Apalagi, hingga saat ini, secara ilmiah tidak ada satu
pun perangkat teknologi mutakhir yang benar-benar ramah lingkungan.

Teknik penambangan apapun, berdasarkan scoping SER PWNU Jatim, tidak akan
mampu memperkecil skala dampak negatif lingkungan fisik, kimia dan biologi, dalam kondisi
moralitas lingkungan para pengusaha tambang yang profit oriented. Beberapa cara yang
dilakukan bukanlah jawaban ilmiah untuk menahan gelombang laut, banjir rob, abrasi pantai,
intrusi air laut dan gelombang tsunami. Jika ini terjadi, lalu siapa yang mau bertanggungjawab?
Sudah pasti, Bupati dan pejabat yang mengeluarkan izin tidak menjabat atau tidak terpilih lagi,
sehingga Bupati dan pejabat baru sudah pasti akan lepas tanggung jawab!

Penambangan pasir besi di P. Karimun, P. Moro, P Sugi, P. Ransang Propinsi Kepuluan


Riau seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Lumajang khususnya di desa Selok
Awar-Awar. Penambangan pasir besi di pesisir pantai Watu Kecak tersebut memang termasuk
tambang galian C. Namun, dampak negatifnya sangat buruk, baik dari aspek lingkungan fisik
kimia, sosial ekonomi dan sosial budaya, seperti yang dialami oleh penduduk di daerah tersebut.

Dampak lingkungan fisik-kimia dan biologi yang nyata setelah tambang pasir besi
beroperasi beberapa tahun kemudian adalah rusaknya hamparan pantai, bau busuk dan berwarna
kekuning-kuningan, dampak dari pembuangan limbah yang dilakukan oleh kapal pengeruk.
Aktivitas kapal keruk yang menyedot apapun yang berada di bawahnya, dengan menggunakan
pipa besar ditambah dengan pompa berkukuatan tinggi, menyebabkan pasir pantai dan seluruh isi
laut akan ditarik ke atas, untuk kemudian dipilah-pilah. Maka, bertebaranlah limbah pengerukan
yang berisi lumpur dan jasad renik yang sebelumnya ada di dasar laut ke permukaan. Kegiatan
penambangan yang berlansung lama menyebabkan kondisi pesisir rusak dan air laut menjadi
kotor. Selain itu daerah Selok Awar-Awar yang sejatinya adalah daerah persawahan mulai
dimasuki air laut akibat tidak adanya penghalang. Dalam kondisi demikian, maka tidak ada satu
species pun yang mau tinggal (hidup) dalam kondisi perairan rusak berat (Kaliptra, 2001).
Dampak fisik yang paling parah adalah bahwa lahan pertanian tersebut rusak parah, saat ini
sudah mulai tenggelam di bawah muka air laut (Laporan Metro TV, September 2015).
3.2 Kajian Sosial dan Ekonomi

Benarkah tambang pasir besi di desa Selok Awar-Awar, mensejahterakan masyarakat


Lumajang? Jawabannya, dari perpektif Kepala desa selama ia masih atau sedang berkuasa
sudah pasti Ya; Dan dari perpektif masyarakat lokal sudah pasti tidak! Artinya, upaya Kepala
Desa Selok Awar-Awar untuk mensejahterakan melalui tambang pasir besi Lumajang, harus
dilihat dalam perspektif makro, bahwa tambang adalah konsekuensi dari grand disain strategi
pembangunan yang masih menempatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) nasional dan
daerah yang elitis sebagai publik kemajuan, sekalipun harus melakukan pemiskinan terhadap
masyarakat lokal.

Indikator kemajuan berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi memang sangat


mempesona, tetapi itu tidaklah menggambarkan realitas kemajuan ekonomi rakyat yang
sesungguhnya. Ekonomi tambang adalah ekonomi elitis, karena seluruh proses transaksi publik
dari semua hasil kegiatan pertambangan dilakukan dipusat kekuasaan, untuk kemudian dibawa
masuk dalam arena pasar global, sehingga sama sekali tidak melibatkan dan tidak ada kaitannya
dengan ekonomi masyarakat petani dan nelayan.

Ada banyak yang tidak mungkin dapat terukur oleh perhitungan ekonomi SDA.
Tertutupnya atau hilangnya akses masyarakat untuk mencari nafkah secara bebas dari ruang
hidup mereka yang sudah turun temurun, pergeseran nilai sosial budaya, menurunya kualitas
hidup karena degradasi mutu lingkungan fisik dan sosial, lenyapnya SDA karena eksploitasi
yang tidak mampu dikontrol aparat pemerintah daerah, adalah fakta sosial tidak terbantahkan
dalam seluruh proses kegiatan pertambangan.

Dalam konteks di atas, bagaimana memposisikan logika demi kemakmuran dan


kesejahteraan masyarakat mekanisme CSR dengan proses transaksi hasil eksploitasi SDA
demikian, sementara posisi dan kapasitas kelembagaan Desa dalam menghadapi investor yang
memiliki kekuatan modal sangat lemah? Atas dasar itu, maka tambang publik di Luamjang,
bukanlah solusi cerdas untuk mensejahterkan dan memakmurkan masyarakat. Tambang pasir
besi adalah kabut merah jingga diufuk barat, menuju kegelapan (Marx dalam Slmi, 2005) nasib
masyarakat lokal, karena azas kemanfaatannya yang bersifat elitis.
Sebagai pembanding, penambangan pasisr laut di Kep. Riau, memang sudah pasti
menambah pundi-pundi Kepala Desa, dan kerusakan perairan sekitarnya, juga sudah pasti
berdampak publik pada kehidupan masyarakat petani, terutama petani tradisonal yang masih
menggantungkan hidupnya pada persawahan. Dana CSR yang dijanjikan pengusaha tambang,
kecuali prosesnya rumit, tidak sebanding dengan kerugian sosial ekonomi masyarakat lokal, juga
menjadi pemicu utama konflik sosial, baik publik maupun horizontal.

Konflik sosial, intimidasi oleh kepala desa dan aparat keamanan dan terbelahnya
kehidupan masyarakat pendukung tambang pragmatis versus elemen masyarakat penolak
tambang dalam kesadaran sudah, masih dan akan terus terjadi. Rusaknya ekosistem perairan di
sekitar daerah tersebut, membuat hasil tangkapan ikan masyarakat nelayan serta hasil pertanian
turun sangat tajam. Akibatnya mereka harus berhenti menjadi petani (menganggur). Fakta di atas
menunjukkan bahwa tambang pasir akan membawa banyak manfaat sosial dan ekonomi bagi
masyarakat, tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

3.3 Kajian Politik

Politik, hal yang selalu dikaitkan dengan kekuasaan dan wewenang ini hadir dalam
berbagai aspek kehidupan yang dijalani manusia. Karena memang menurut Talcot Parson, politik
adalah salah satu publik kehidupan yang harus ada dan berjalan sesuai fungsinya. Begitu pun
halnya di Desa Tanjung Burung, percaturan politik pun terjadi demi menjaga keseimbangan
faktor-faktor penyusun kehidupan itu sendiri.

Dalam kasus penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar ini pun syarat akan campur
tangan politik di dalamnya, statusnya yang publik namun mampu terus bertahan hingga
sekarang, menandakan bahwa di baliknya begitu banyak muatan politik. Tanda-tandanya dapat
dibaca secara kasat mata, di mana tak ada upaya-upaya pihak teknokrat untuk menghentikan
penambangan pasir ini, padahal dampak-dampak negatifnya telah dirasakan warga sekitar,
bahkan warga pun telah mencoba mengajukan protes ke pemerintah, namun tetap saja mentah
dan tak mengubah apa pun.
Setali tiga uang dengan fenomena penambangan pasir tersebut, ternyata dalam keilmuan
sosiologi, kecenderungan seperti ini telah disinggung jauh-jauh hari. George Simmel dalam
bukunya The Philosophy of Money, menegaskan bahwa uang yang tadinya tercipta sebagai alat
pembayaran atau alat pertukaran barang atau jasa, telah mengalami perluasan definisi. Simmel
menegaskan bahwasanya uang mampu mereduksi kualitas menjadi kuantitas maksudnya adalah
uang telah menjadi komoditas yang di dalamnya terjadi transaksi kepentingan, yang di dalamnya
ditentukan seberapa besar uang yang bermain diantara mereka.

Dalam kasus penambangan pasir ini, yang ternyata turut melibatkan elit-elit desa
setempat, uang memiliki peran untuk memback-up elit desa agar nantinya dapat meredam
gelombang penolakkan dari warga maupun dari aktivis lingkungan yang ada. Royalti per bulan
yang diberikan pemilik tambang kepada elit desa serta teknokrat, disinyalir sebagai bukti yang
kuat dan jadi penyebab utama dari tumpulnya mata pisau pemerintah saat berhadapan dengan
ilegalisasi pasir yang terjadi di Desa Selok Awar-Awar. Padahal nominal yang diterima para elit
pun hanya berkisar puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah saja. Sebuah nominal yang tentu saja
tak sebanding dengan keuntungan yang diterima pemilik tambang serta kerusakan alam yang
terjadi akibat penambangan tersebut.

3.4 Kajian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Berdasarkan Keputusan Meneg LH Nomor: 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha
dan atau Kegiatan yang Wajib dilengkapi dengan AMDAL; Bidang publik dan sumberdaya
mineral; Kategori pertambangan umum, Jenis tambang di laut untuk semua skala besaran.
Khusus pada kategori yang terakhir ini, seluruh kegiatan penambangan pasir laut adalah WAJIB
AMDAL, karena berpotensi menimbulkan dampak berupa perubahan bathimetri, ekosistem,
mengganggu alur pelayaran dan proses-proses alamiah di kawasan pantai, termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang dapat menimbulkan dampak sosial.

Kuasa Pertambangan Eksploitasi pasir laut hanya dapat dikeluarkan jika mendapatkan
ijin dari tiga kementrian yang telah mengeluarkan keputusan bersama, yakni; Menteri Perikanan
dan Kelautan (Nomor: SKB.07/MEN/2002), Menteri Negara Lingkungan Hidup (Nomor:
01/MENLH/2/2002), dan Menteri Perindag dan ESDM (Nomor: 89/MPP/Kep/2/2002). Dalam
konteks perijinan demikian, maka penegakan 16ubli berupa intimidasi oleh kepala desa dan
oknum polisi terhadap sejumlah warga yang menolak tambang Selok Awar-Awar, termasuk di
juga harus ditindak demi 16ubli. Polres Lumajang semestinya mendukung gerakan masyarakat
yang menolak tambang yang cacat dan sebaliknya harus menahan pelaku tambang yang cacat
16ubli dan meresahkan masyarakat setempat, berdasarkan UU No: 23/1997 tentang PLH dan UU
terkait lainnya. Jika dipaksakan, maka Polres Lumajang telah melakukan penegakan hukum
diatas fondasi yang salah, sehingga patut diduga sebagai backing tambang, guna menyusun atau
menskenario kerusuhan (anarkhisme) massa.

Dalam kasus penambangan pasir illegal yang terjadi di desa Selok awar-Awar, Lumajang
Jawa Timur terlihat setidaknya ada 13 pelanggaran HAM yang terjadi. Hal ini disebabkan
gamangnya sikap kepolisian dalam merespon konflik perusakan lingkungan. Hal itu juga yang
menyebabkan polisi kerap terkesan tidak netral bahkan cenderung berpihak pada pemilik modal.
Bentuk pelanggaran yang ada antara lain, pertama hilangnya hak atas lingkungan yang baik dan
sehat, juga hak atas kesehatan akibat banyaknya truk pasir yang lewat dan menerbangkan debu-
debu. Ketiga, hilangnya hak atas air bersih dan hak atas pekerjaan. Sebab praktik tambang
menganggu lahan pertanian yang berdampak pada gagalnya panen warga. Kelima, hilangnya hak
atas pangan. Keenam hak atas pemukiman yang baik. Juga hak atas pelayanan publik. Karena
banyaknya truk-truk pasir yang lewat merusak jalan disana. Warga juga kehilangan hak atas
penikmatan warisan budaya. Dimana biasanya melakukan upacara Malesti di pantai Watu
Kecak, tapi kini tidak bisa diakses sebab sudah rusak, Kemudian hilangnya hak kebebasan
berkekspresi, hak berkumpul dan berserikat. Terakhir, hilangnya hak hidup sebagaimana dialami
Salim Kancil. Dalam hal ini semua LSM yang ada sudah berkordinasi untuk mengecek fakta di
lapangan dan masih terus berkomunikasi untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
 Latar belakang terjadinya kasus pertambangan illegal yaitu ketamakan pemerintah
setempat yang ingin memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dengan memanfaatkan
vakumnya kegiatan pertambangan PT. IMMI. Selain itu, banyaknya pengangguran dan
besarnya pendapatan para pekerja tambang membuat warga sekitar menjadi tergiur
untuk berprofesi sebagai penambang pasir. Kegiatan pertambangan yang dilakukan
oleh pemerintah, terutama kepala Desa Selok Awar-awar yang bekerja sama dengan
beberapa pihak tertentu tidak memperhitungkan dampak terhadap lingkungan maupun
masyarakat akibat kegiatan pernambangan yang mereka lakukan.
 Kasus penambangan liar yang berlangsung sejak lama ini menimbulkan keresahan bagi
sebagian masyarakat di Lumajang karena dampak-dampak yang terjadi akibat kegiatan
pertambangan. Akibatnya, sejumlah warga melakukakn aksi demonstrasi yang
dipimpin oleh aktivis antitambang di desa tersebut. Karena resah dengan aksi
demonstrasi yang dilakukan oleh warga, kepala desa dan sejumlah pihak melakukan
aksi pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan, para aktivis
antitambang di Lumajang.
 Dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan di Lumajang yaitu antara lain
1) terjadinya kerusakan lingkungan seperti hilangnya biodiversitas di tempat
pertambangan; 2) terjadinya kerusakan jalan akibat aktivitas lalu lalang truk tambang
pasir; 3) terjadi pelanggaran HAM yaitu terbunuhnya Salim Kancil dan penganiayaan
terhadap Tosan para aktivis antitambang setempat; 4) Pendapatan para petani menurun
akibat gagal panen karena masuknya air pantai ke sawah sebagai dampak dari aktivitas
tambang.
 Nilai-nilai dasar yang diperjuangkan yaitu nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam kasus ini masyarakat yang ikut melakukan aktivitas pertambangan pada
dasarnya hanya membutuhkan pendapatan untuk dapat melanjutkan kehidupan. Namun,
seharusnya mereka juga memperhatikan hukum atau peraturan pertambangan yang
berlaku sehingga tidak mengambil hasil tambang dengan semena-mena tanpa
memedulikan lingkungan sekitar. Selain itu, para aktivis tambang yang dianiaya adalah
contoh konkret pejuang yang menuntut keadilan di tengah masyarakat sehingga mereka
tidak takut terhadap resiko yang akan terjadi, termasuk kehilangan nyawa mereka
sendiri.

4.2 SARAN
Pemerintah seharusnya lebih tegas dalam memberi ijin pertambangan dan sebagai
petinggi suatu daerah sudah sepatutnya ia tidak melanggar peraturan yang ada hanya demi
keuntungan pribadi. Selain itu, sudah sepatutnya pemerintah bersikap bijaksana karena dalam
kepemimpinannya sehingga seluruh rakyatnya dapat sejahtera. Jika pemerintah bersikap
tegas dan bijaksana, sangat kecil kemungkinannya dapat terjadi kasus pembunuhan yang
sangat merugikan bagi sebagian pihak.
Di samping itu, masyarakat juga harus sadar bahwa segala kegiatan, dalam hal ini
kegiatan tambang, juga merupakan tanggung jawab mereka dan bukan hanya pemerintah
sehingga diharapkan masyarakat turut andil dalam menegakkan keadilan dan bukannya
malah menimbulkan masalah-masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2012. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika

Andriansyah, “ Peta Kecamatan dan Desa di Kabupaten Lumajang” Diunduh dari


http://desnantara-tamasya.blogspot.co.id/2011/09/peta-kecamatan-dan-desa-di-
kabupaten.html tanggal 15 Oktober 2015 pukul 3.03 PM.

Dardiri Hasyim. 2004. Hukum Lingkungan. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Gunawan, Suratmo.(1992). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press

Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Salim, H. S. 2007. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sulton, Ali. 2011. Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C Terhadap
Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-
Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat).Skripsi (Online).Diakses tanggal 13 November 2015 pukul 13.30
WIB

Veger M.A. 2005. REALITAS SOSIAL Reflesi filsafat social atas hubungan individu-masyarakat
dalam cakrawala sejarah sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN

Foto 1. Aktivitas penambangan pasir di Lumajang

Foto 2. Bekas galian yang digenangi air


Foto 3. Sawah yang rusak akibat pertambangan pasir illegal di Lumajang

Foto 4. Jalan rusak akibat dilalui kendaran besar pengangkut pasir


Foto 5. Salim kancil, korban pembunuhan

Anda mungkin juga menyukai