Anda di halaman 1dari 63

Kebutuhan Eliminasi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang

Manusia merupakan salah satu makhluk hidup, dikatakan sebagai


makhluk hidup karena dapat bernafas, berkembang biak, tumbuh, beradaptasi,
memerlukan makanan dan mengeluarkan metabolisme (eliminasi). Setiap kegiatan
yang dilakukan tubuh dikarenakan peran masing – masing organ.
Salah satu kegiatan tubuh dalam membuang sisa – sisa metabolism
adalah mengeluarkan urine. Membuang urine dengan melalui eliminasi merupakan
salah satu aktivitas pokok yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Apabila
eliminasi tidak dilakukan oleh tubuh, maka akan terjadi gangguan – gangguan
diantaranya : retensi urine (perubahan pola eliminasi urine), enuresis, inkontinensia
urine, dll. Selain dapat menimbulkan gangguan – gangguan yang disebutkan diatas,
dapat juga menimbulkan dampak pada sistem organ lain seperti sistem pencernaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Eliminasi
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolism tubuh baik berupa
urine atau feses. Kebutuhan eliminasi dibagi menjadi dua yaitu; eliminasi urine dan
eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).
2.2 Jenis – Jenis Eliminasi
2.2.1 Eliminasi Urine (kebutuhan buang air kecil)
2.2.2 Eliminasi Alvi (kebutuhan buang air besar)
2.3 Pengertian Eliminasi Urine
Eliminasi urine adalah kebutuhan dalam manusia yang esensial dan
berperan menentukan kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dibutuhkan untuk
mempertahankan homeostasis tubuh.
2.4 Organ yang Berperan dalam Eliminasi Urine
2.4.1 Ginjal
Ginjal merupakan organ retroperitoneal (dibelakang selaput perut) yang
terdiri atas ginjal sebelah kanan dan kiri tulang panggul. Ginjal berperan sebagai
pengatur komposisi dan volume cairan dalam tubuh. Ginjal juga menyaring bagian
dari darah untuk dibuang dalam bentuk urine sebagai zat sisa yang tidak diperlukan
oleh tubuh. Bagian ginjal terdiri atas nefron yang merupakan unit dari struktur
ginjal yang berjumlah kurang lebih satu juta nefron. Melalui nefron, urine
disalurkan ke dalam bagian pelvis ginjal kemudian disalurkan melalui ureter
menuju kandung kemih.
2.4.2 Ureter
Ureter adalah suatu saluran moskuler berbentuk silider yang
menghantarkan urine dari ginjal menuju kandung kemih. Panjang ureter adalah
sekitar 20 – 30 cm dengan diameter maksimum sekitar 1,7 cm didekat kandung
kemih dan berjalan dari hilus ginjal menuju kandung kemih. Dinding ureter terdiri
dari mukosa yang dilapisi oleh sel – sel transisional, otot polossirkuler, dan
longitudinal yang dapat melakukan kontraksi guna mengeluarkan urine menuju
kandung kemih.
2.4.3 Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan sebuah kantong yang terdiri atas otot polos
yang berfungsi sebagai tempat penampungan air seni (urine). Di dalam kandung
kemih, terdapat lapisan jaringan otot yang memanjang ditengah dan melingkar
disebut sebagai detrusor, dan berfungsi untuk mengeluarkan urine. Pada dasar
kandung kemih terdapat lapisan tengah jaringan otot yang berbentuk lingkaran
bagian dalam atau disebut sebagai otot lingkaran yang berfungsi menjaga saluran
antara kandung kemih keluar tubuh.
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot
lingkar bagian dalam diatur oleh system saraf simpatis. Akibat dari rangsangan ini,
otot lingkar menjadi kendur dan terjadi kontraksi sphinoter bagian dalam sehingga
urine tetap tinggal di dalam kandung kemih. System para simpatis menyalurkan
rangsangan motoris kandung kemih dan rangsangan penghalang ke bagian dalam
otot lingkar. Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot detrusor
dan kendurnya shinoter.
2.4.4 Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan urine ke
bagian luar. Saluran perkemihan dilapisi membrane mukosa, dimulai dari meatus
uretra hingga ginjal. Secara normal, mikroorganisme tidak ada yang bias melewati
uretra bagian bawah, namun membrane mukosa ini pada keadaan patologis yang
terus – menerus akan menjadikannya media baik untuk pertumbuhan beberapa
patogen.
2.5 Proses Pelaksanaan Eliminasi Urine
2.5.1 Proses Berkemih
Berkemih merupakan proses pengosongan vesika urinaria (kandung
kemih). Vesika urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila urinaria berisi ±
250 – 400 cc (pada orang dewasa) dan 200 – 250 cc (pada anak – anak).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urie yang dapat
menimbulkan rangsangan pada saraf – saraf di dinding vesika urinaria. Kemudian
rangsangan tersebut diteruskan melalui medulla spinalis ke pusat pengontrol
berkemih yang terdapat di korteks serebral. Selanjutnya, otak memberikan impuls
melalui medula spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, kmudian terjadi
kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sphincter internal. Urine dilepaskan dari
vesika urinaria, tetapi masih tertahan oleh spincter eksternal. Jika waktu dan
tempat memungkinkan, akan menyebabkan relaksasi spincter eksternal dan urine
dikeluarkan (berkemih).
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
2.6.1 Diet dan Asupan (in take)
Jumlah dan tipe makanan merupakan factor utama yang mempengaruhi
output urine (jumlah urine). Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine
yang dibentuk. Selain itu, minum kopi juga dapat meningkatkan pembentukan
urine.
2.6.2 Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat
menyebakan urine banyak tertahan di dalam vesika urinaria, sehingga
mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine.
2.6.3 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya fasilitas toilet.
2.6.4 Stres psikologis
Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah
urine yang diproduksi.
2.6.5 Tingkat aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk
fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot didapatkan dengan braktivitas. Hilangnya
tonus otot vesika urinaria dapat menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih
menurun.
2.6.6 Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat mempengaruhi pola
berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki kesulitan
untuk mengontrol buang air kecil. Namun, kemampuan dalam mengontrol buang
air kecil meningkat seiring dengan pertambahan usia.
2.6.7 Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi produksi urine, seperti diabetes
mellitus.
2.6.8 Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine,
seperti adanya kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air
kecil di tempat tertentu.
2.6.9 Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet, biasanya
mengalami kesulitan untuk berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam
keadaan sakit.
2.6.10 Tonus Otot
Tonus otot berperan penting dalam membantu proses berkemih adalah
otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam
kontraksi sebagai pengontrolan pengeluaran urine.
2.6.11 Pembedahan
Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak dari
pemberian obat anestesi sehingga menyebabkan penurunanjumlan produksi urine.
2.6.12 Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya
peningkatan atau penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian diuretik
dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan
anthipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
2.6.13 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi
urine, khususnya prosedur – prosedur yang berhubungan dengan tindakan
pemeriksaan saluran kemih seperti intra venus pyelogram (IVP). Pemeriksaan ini
dapat membatasi jumlah asuan sehingga mengurangi produksi urine. Selain itu,
tindakan sistoskopi dapat menimbulkan edema local pada uretra sehingga
pengeluaran urine terganggu.
2.7 Gangguan Eliminasi Urine
2.7.1 Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan
distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine.
2.7.2 Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum, penyebab
dari inkontinensia urine adalah proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, serta
penuaaan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik.
2.7.3 Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih yang diakibatkan
tidak mampu mengontrol sphincter eksternal. Biasanya, enuresis terjadi pada anak
atau otang jompo. Umumnya enuresis terjadi pada malam hari.
2.7.4 Perubahan Pola Eliminasi Urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang
mengalami gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi anatomis, kerusakan
motorik sensorik, dan infeksi saluran kemih. Perubahan pola eliminasi terdiri atas:
2.7.4.1 Frekuensi
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari.
Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang
masuk. Frekuensi yang tinggi tanpa suatu tekanan asupan cairan dapat disebabkan
oleh sistisis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga pada keadaan stres atau hamil.
2.7.4.2 Urgensi
Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami
inkontinensia jika tidak berkemih. Pada umumnya, anak kecil memiliki
kemampuan yang buruk dalam mengontrol sphincter eksternal. Biasanya, perasaan
segera ingin berkemih terjadi pada anak karena kurangnya pengontrolan pada
sphincter.
2.7.4.3 Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini
sering ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra.
2.7.4.4 Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar
oleh ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya, hal ini dapat
ditemukan pada penyakit diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronis.
2.7.4.5 Urinaria Supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine secara
mendadak. Secara normal, urine diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60 – 120
ml/jam secara terus – menerus.
2.8 Penanggulangan Gangguan Eliminasi Urine
2.8.1 Pengumpulan Urine untuk Bahan Pemeriksaan
Mengingat tujuan pemeriksaan dengan bahan urine tersebut berbeda –
beda maka dalam pengambilan atau pengumpulan urine juga dibedakan sesuai
dengan tujuannya. Cara pengambilan urinetersebut antara lain ; pengambilan urine
biasa, pengambilan urine steril, dan pengumpulan selama 24 jam.
2.8.1.1 Pengambilan Urine Biasa
Pengambilan urine biasa merupakan pengambilan urine dengan
mengeluarkan urine secara biasa, yaitu buang air kecil. Pengambilan urine biasa ini
biasanya digunakan untuk pemeriksaan kadar gula dalam urine, pemeriksaan
kehamilan, dll.
2. 8.1.2 Pengambilan Urine Steril
Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan
menggunakan alat steril, dilakukan dengan kateterisasi atau fungsi suprapubisyang
bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi pada uretra, ginjal, atau saluran kemih
lainnya.
2.8.1.3 Pengambilan Urine Selama 24 Jam
Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine
yang dikumpulkan dalam waktu 24 jam, bertujuan untuk mengetahui jumlah urine
selama 24 jam dan mengukur berat jenis, asupan dan output, serta mengetahui
fungsi ginjal.
2.8.2 Menolong Buang Air Kecil dengan Menggunakan Urineal
Tindakan membantu pasien yang tidak mampu buang air kecil sendiri
di kamar kecil dilakukan dengan menggunakan alat penampung (urineal). Hal
tersebut dilakukan untuk menampung urine dan mengetahui kelainan dari urine
(warna dan jumlah).
2.8.3 Melakukan Kateterisasi
Kateterisasi merupakan tindakan memasukkan kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi,
sebagai pengambilan bahan pemeriksaan. Dalam pelaksanaannya, kateterisasi
terbagi menjadi dua tipe internitent (straight kateter) dan tipe indwelling (foley
kateter).
2.9 Pengertian Eliminasi Alvi
Eliminasi alvi adalah proses pembuangan atau pengeluaran metabolism
berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan yang melalui anus. Manusia
dapat melakukan buang air besar beberapa kali dalam satu hari atau satu kali.
Tetapi bahkan dapat mengalami gangguan yaitu hingga hanya beberapa kali saja
dalam satu minggu atau dapat berkali – kali dalam satu hari, biasanya gangguan –
gangguan tersebut diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak benar dan jika dibiarkan
dapat menjadi maslah yang lebih besar.
2.10 Organ yang Berperan dalam Eliminasi Alvi
2.10.1 Usus Halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletah diantara lambung dan usus besar. Bagian – bagian dari usus halus yaitu;
duodenum (usus dua belas jari), jejunum (usus kosong), ileum (usus penyerapan).
2.10.1.1 Duodenum (usus dua belas jari)
Usus dua belas jari adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong dengan panjang antara
25 – 38 cm. bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus.
2.10.1.2 Jejunum (usus kosong)
Usus kosong adalah bagian kedua dari usus halus, diantara usus dua
belas jari dan usus penyerapan. Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus
antara 2 – 8 meter, 1 – 2 meter adalah bagian usus kosong.
2.10.1.3 Ileum (usus penyerapan)
Usus penyerapan adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia ini memiliki panjang sekitar 2 – 4 meter dan terletak
setelah duodenum dan jejunum dan dilanjutkan oleh usus buntu.
2.10.2 Usus Besar
Usus besar adlah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dan feses. Bagian – bagian dari usus besar
yaitu; kolon, rektum, dan anus.
2.10.2.1 Kolon
Kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
2.10.2.2 Rektum
Rektum adalah organ terakhir dari usus besar. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan feses sementara.
2.10.2.3 Anus
Anus atau dubur adlah sebuah bukaan dari rektum ke lingkungan
luar tubuh.
2.11 Proses Pelaksanaan Eliminasi Alvi
2.11.1 Proses Defekasi
Defekasi merupakan proses pengosongan usus yang sering disebut
buang air besar. Terdapat dua pusat yang menguasai reflex untuk defekasi, yang
terletak di medulla dan sussum tulang belakang. Apabila terjadi rangsangan
parasimpatis, sphincter anus bagian dalam akan mengendur dan usus besar
menguncup. Refleks defekasi dirangsang untuk buang air besar, kemudian
sphincter anus bagian luar yang diawasi oleh sistem saraf parasimpatis, setiap
waktu menguncup atau mengendur. Selam defekasi berbagai otot lain membantu
prose situ, seperti otot dinding perut, diafragma, dan otot – otot dasar pelvis.
Secara umum, terdapat dua macam refleks yang membantu proses
defekasi, yaitu refleks defekasi intrinsik dan refleks defekasi parasimpatis. Refleks
defekasi intrinsik dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses) di dalam rektum
sehingga terjadi distensi kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan
peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus. Lalu pada saat sphincter internal
relaksasi, maka terjadilah proses defekasi. Sedangkan, refleks defekasi parasintetis
dimulai dari adanya proses dalam rektum yang merangsang saraf rektum, ke spinal
cord, dan merangsang ke kolon desenden, kemudian ke sigmoid, lalu ke rektum
dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sphincter internal, maka
terjadilah proses defekasi saat sphincter internal berelaksasi. Feses terdiri atas sisa
makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lainyang
seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi
kelenjar usus, pigmen empedu dan usus kecil.
2.12 Gangguan Eliminasi Alvi
2.12.1 Konstipasi
Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau
beresiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga mengalami eliminasi yang
jarang atau keras, serta tinja yang keluar terlalu kering dan keras.
2.12.2 Diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko
sering mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare sering disertai
kejang usus, mungkin ada rasa mual dan muntah.
2.12.3 Inkontinesia Usus
Inkontinesia usus merupakan keadaan individu yang mengalami
perubahan kebiasaan dari proses defekasi normal, sehingga mengalami proses
pengeluaran feses tidak disadari. Hal ini juga disebut sebagai inkontinesia alvi
yang merupakan hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses
dan gas melalui sphincter akibat kerusakan sphincter.
2.12.4 Kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara di dalam perut karena
pengumpulan gas berlebih di dalam lambung atau usus.
2.12.5 Hemorroid
Hemorrhoid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah
anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan
karena konstipasi, peregangan saat defekasi dan lain – lain.
2.12.6 Fecal Impaction
Fecal impaction merupakan massa feses karena dilipatkan rektum
yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan.
Penyebab fecal impaction adalah asupan kurang, kurang aktivitas, diet rendah
serat, dan kelemahan tonus otot.
2.13 Faktor yang Mempengarhi Eliminasi Alvi
2.13.1 Usia
Setiap tahap perkembangan atau usia memiliki kemampuan
mengontrol proses defekasi yang berbeda.
2.13.2 Diet
Diet pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu
proses percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsi dapat mempengaruhinya.
2.13.3 Asupan Cairan
Pemasukan cairan yang kurang ke dalam tubuh membuat defekasi
menjadi keras. Oleh karena itu, proses absorpsi air yang kurang menyebabkan
kesulitan proses defekasi.
2.13.4 Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui
aktivitas tinus otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran
proses defekasi.
2.13.5 Pengobatan
Pengobatan juga dapat mempengaruhi proses defekasi, sperti
penggunaan laksantif, atau antasida yang terlalu sering.
2.13.6 Kebiasaan atau Gaya Hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses defekasi. Hal
ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup sehat atau terbiasa
melakukan buang air besar di tempat bersih atau toilet, jika seseorang terbiasa
buang air besar di tempat yang kotor, maka ia akan mengalami kesulitan dalam
proses defekasi.
2.13.7 Penyakit beberapa penyakit dapat mempengaruhi proses
defekasi, biasanya penyakit – penyakittersebut berhubungan langsung dengan
sistem pencernaan seperti gastroenteristis atau penyakit infeksi lainnya.
2.13.8 Nyeri
Adanya nyeri dapat mempengaruhi kemampuan atau keingian untuk
defekasi seperti nyeri pada kasus hemorrhoid atau episiotomy.
2.13.9 Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat mempengaruhi
proses defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris
dalam melakukan defekasi.
2.14 Penanggulangan Gangguan Eliminasi Alvi
2.14.1 Menyiapkan Feses untuk Bahan Pemeriksaan
Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan merupakan tindakan
yang dilakukan untuk mengambil feses sebagai bahan pemeriksaan. Pemeriksaan
tersebut yaitu pemeriksaan lengkap dan pemeriksaan kultur (pembiakan).
2.14.2 Memberikan Huknah Rendah
Memberikan huknah rendah merupakan tindakan memasukkan cairan
hangat kedalam kolon desensen dengan menggunakan kanula rekti melalui anus.
Tindakan tersebut bertujuan untuk mengosongkan usus pada proses prabedah agar
dapat mencegah terjadinya obstruksi makanan sebagai dampak pasca operasi dan
merangsang buang air besar pada pasien yang mengalami kesulitan buang air
besar.
2.14.3 Memberikan Huknah Tinggi
Memberikan huknah tinggi merupakan tindakan memasukkan cairan
hangat kedalam kolon asenden dengan menggunakan kanula usus. Hal tersebut
dilakukan untuk mengosongkan usus pada pasien prabedah untuk prosedur
diagnostik.
2.14.4 Membantu Pasien Buang Air Besar dengan Pispot
Membantu pasien buang air besar dengan pispot ditempat tidur
merupakan tindakan bagi pasien yang tidak mampu buang air besar secara sendiri
di kamar mandi.
2.14.5 Memberikan Gliserin
Memberikan gliserin merupakan tindakan memasukkan cairan
gliserin ke dalam poros usus dengan menggunakan spuit gliserin. Hal ini dilakukan
untuk merangsang peristaltik usus, sehingga pasien dapat buang air besar.
2.14.6 Mengeluarkan Feses dengan Jari
Mengeluarkan feses dengan jari merupakan tindakan memasukkan
jari ke dalam rektum pasien untuk mengambil atau menghancurkan feses sekaligus
mengeluarkannya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka adapun simpulan yang dapat
penulis ambil yaitu sebagai berikut:
3.1.1 Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa metabolism
tubuh baik berupa urine maupun alvi demi menjaga homeostasis tubuh.
3.1.2 Eliminasi urine merupakan kebutuhan dalam manusia yang
esensial dan berperan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Eliminasi
dibutuhkan manusia untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Adapun organ –
organ yang berperan dalam proses eliminasi urine diantaranya; ginjal, ureter,
kandung kemih, uretra.
3.1.3 Eliminasi alvi merupakan proses pembuangan atau pengeluaran
metabolism berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan. Adapun sistem
tubuh yang berperan dalam proses eliminasi alvi ini adalah sistem gastrointestinal
yang meliputi usus halus dan usus besar.

3.2 Saran
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat atau
pembaca, agar dapat menjaga kesehatan organ eliminasi sehingga proses eliminasi
di dalam tubuh manusia dapat berjalan dengan baik dan seimbang
Asuhan Keperawatan pada Pasien Eliminasi Urin

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN ELIMINASI


URIN DAN FEKAL

Makalah ini disusun oleh :

1. Dewi Andriani
2. Misbakhul Munir
3. Nisa Aprilia S
4. Nur Hidayati M
5. Pristian Aji S

Akademi Keperawatan

Tahun Pelajaran 2013/2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Asuhan Keperawatan Kebutuhan
Eliminasi Fekal dan Urin ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami
berterima kasih pada Ibu Lutiyah selaku Dosen mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai pengertian,bagaimana cara menangani pasien eliminasi fekal dan urin. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari
apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Purworejo, 8 Oktober 2013

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel
(feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang
berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : kandung kemih.

Secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat di atas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks
berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya
menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks
autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri
atau batang otak.

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement.
Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltic mendorong feses
kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar
terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal.
Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang
lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan
masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara
kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang
teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang
normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan mobilitas,
perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawatan
harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi.

1.2 Rumusan Masalah


2. Bagaimana pengkajian keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin dan fekal?
3. Bagaimana diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin
dan fekal?
4. Bagaimana membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi urin dan fekal?
5. Bagaimana membantu pasien dengan eliminasi urin dan fekal?

6. Bagaimana melaksanakan evakuasi fecal?

7. Bagaimana melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin dan fekal?

1.3 Tujuan

2. Mengetahui pengkajian keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin dan fekal

3. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi
urin dan fekal
4. Dapat membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi urin dan fekal
5. Mengetahui agaimana membantu pasien dengan eliminasi urin dan fekal
6. Mengetahui bagaimana melaksanakan evakuasi fecal

7. Mengetahui bagaimana melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada kebutuhan eliminasi urine meliputi :

1. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi berkemih
tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada waktu bangun tidur
dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu malam hari.

2. Pola berkemih

• frekuensi berkemih
frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam waktu 24 jam.
• Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut mengalami inkotinensia
jika tidak berkemih.
• Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada struktur uretra, infeksi
saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.
• Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa adanya peningkatan asupan
cairan. Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit diabetes, defisiensi ADH, dan penyakit kronis ginjal.
• Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara mendadak. Bila produksi urine kurang dari 100 ml/hari
dapat dikatakan anuria, tetapi bila produksinya antara 100 – 500 ml/hari dapat dikatakan sebagai
oliguria.
3. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam.
4. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih

• diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium) dapat mempengaruhi jumlah urine yang dibentuk,
sedangkan kopi dapat meningkatkan jumlah urine.
• gaya hidup
• stress psikologi dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih
• tingkat aktivitas
5. Keadaan urine
Keadaan urine meliputi : warna, bau, berat jenis, kejernihan, pH, protein, darah, glukosa.
6. Tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti retensi urine, inkontinensia urine.

2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang terjadi pada masalah kebutuhan eliminasi urine adalah sebagai berikut :

1. Perubahan pola eliminasi urine

 Ketidakmampuan saluran kemih akibat anomali saluran urinaria

 Penurunan kapasitas atau iritasi kandung kemih akibat penyakit

 Kerusakan pada saluran kemih

 Efek pembedahan pada saluran kemih

2. Inkontinensia fungsional

 Penurunan isyarat kandung kemih

 Kerusakan kemampuan untuk mengenal isyarat akibat cedera atau kerusakan kandung kemih

 Kerusakan mobilitas

 Kehilangan kemampuan motoris dan sensoris


3. Inkontinensia refleks

Gagalnya fungsi rangsang di atas tingkatan arkus refleks akibat cedera pada medulla spinalis

4. Inkontinensia stress

 Tingginya tekanan Intraabdimibal dan lemahnya otor pelviks akibat kehamilan

 Penurunan tonus otot

5. Inkontinensia total

Defisit komunikasi atau persepsi

6. Inkontinensia dorongan

Penurunan kapasitas kandung kemih akibat penyakit infeksi, trauma, tindakan pembedahan, faktor
penuaan

7. Retensi urine

Adanya hambatan pada sfingter akibat penyakit struktur, BHP

8. Perubahan body image

Inkontinensia dan enuresis

9. Resiko terjadinya infeksi saluran kemih pemasangan kateter dan kebersihan perineum yang kurang

10. Resiko perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit gangguan drainase ureterostomi

2.3 Perencanaan Keperawatan

Tujuan :

1. Memberikan intake cairan secara tepat, Intake cairan secara tepat, pasien dengan masalah
perkemihan yang sering intake jumlah cairan setiap hari ditentukan dokter. Pasien dengan
infeksi perkemihan, cairannya sering ditingkatkan. Pasien dengan edema cairannya dibatasi.
2. Memastikan keseimbangan intake dan output cairan, mengukur intake dan output cairan.
Jumlah caiaran yang masuk dan keluar dalam setiap hari harus diukur, untuk mengetahui
kesimbangan cairan.
3. Mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Membantu mempertahankan secara normal berkemih.
5. Mencegah kerusakan kulit.
6. Membantu pasien mempertahankan posisi normal untuk berkemih.
7. Memberikan kebebasan untuk pasien.
8. Mencegah infeksi saluran kemih.
9. Memberikan bantuan pada saat pasien pertama kali merasa ingin buang air kecil Jika
menggunakan bedpan atau urinal yakin itu dalam keadaan hangat.
10. Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional.
11. Bila pasien menggunakan bedpan, tinggikan bagian kepala tempat tidur dengan posisi fowler
dan letakkan bantal kecil dibawah leher untuk meningkatkan support dan kenyamanan fisik
(prosedur membantu memberi pispot/urinal).
12. Untuk anak kecil meningkatkan kontrol berkemih dan self esteem.

2.4 Rencana Tindakan


1. monitor/observasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah perubahan eliminasi urine,
retensi dan urgensia

2. kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah

3. monitor terus perubahan retensi urine

4. lakukan kateterisasi urine

Inkontinensia dorongan

1. pertahankan hidrasi secara optimal

2. ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan

3. ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung kemih yang tidak biasa)

4. anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan fisik, mandi

5. anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih

6. lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi kandung kemih

Inkontinensia total

1. pertahankan jumlah cairan dan berkemih

2. rencanakan program kateterisasi intermiten apabila ada indikasi

3. apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan untuk pemasangan kateter
indweeling

Inkontinensia stress
Kurangi faktor penyebab seperti :

1. Kehilangan jaringan atau tonus otot, dengan cara :

• ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan kelemahannya saat melakukan
latihan
• untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba menghentikan aliran urine, kencangkan
otot-otot belakang dan depan dalam waktu 10 detik, kemudian lepaskan atau rileks, ulangi hingga 10
kali dan lakukan 4 kali sehari

2. Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara :

• latih untuk menghindari duduk lama


• latih untuk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam

Inkontinensia fungsional

Ajarkan teknik merangsang refleks berkemih, dengan berkemih seperti :

mekanisme supra pubis kutaneus

1. ketuk supra pubis secara dalam, tajam dan berulang

2. anjurkan pasien untuk :

 posisi setengah duduk

 mengetuk kandung kemih secara langsug denga rata-rata 7 – 8 kali setiap detik

 gunakan sarung tangan

 pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk menentukan posisi saling berhasil

 lakukan hingga aliran baik

 tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih kosong

 apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti sudah tidak ada lagi yang dikeluarkan

3. apabila belum berhasil, lakukan hal berikut ini selama 2- 3 menit dan berikan jeda waktu 1 menit di
antara setiap kegiatan
 tekan gland penis

 pukul perut di atas ligamen inguinalis

 tekan paha bagian dalam

4. catat jumlah asupan dan pengeluaran

5. jadwalkan program kateterisasi pada saat tertentu

Inkontinensia Fungsional

1. tingkatkan faktor yang berperan dalam kontinen, seperti :

a. Pertahakan hidrasi optimal dengan cara


b. Pertahankan nutrisi yang adekuat
c. Tingkatkan intergritas diri dan berikan motivasi kemampuan mengontrol kandung kemih, dengan cara
menghindari penggunaan bedpan (pispot).
d. Tingkatkan integritas kulit
e. Tingkatkan higiene perseorangan
2. Jelaskan cara mengenali perubahan urine yang abnormal seperti adanya peningkatan mukosa, darah
dalam urine dan perubahan warna

3. Ajarkan cara memantau adanya tanda dan ISK, seperti peningkatan suhu, perubahan keadaan urine,
nyeri supra pubis bagian atas, nyeri saat berkemih, mual, muntah

2.5 Pelaksanaan (Tindakan Keperawatan)

Pengumpulan Urine untuk Bahan Pemeriksaan

Mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga dibeda-bedakan
sesuai dengan tujuannya. Cara pengambilan urine tersebut antara lain : pengambilan urine biasa,
pengambilan urine steril dan pengumpulan selama 24 jam.

1. Pengambilan urine biasa merupakan pengambilan urine dengan cara mengeluarkan urine seperti biasa,
yaitu buang air kecil. Biasanya untuk memeriksa gula atau kehamilan.

2. Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan cara dengan menggunakan alat steril,
dilakukan dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan keteterisasi atau pungsi supra pubis.
Pengambilan urine steril bertujuan mengetahui adanya infeksi pada uretra, ginjal atau saluran kemih
lainnya.

3. Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang dikumpulkan dalam 24 jam,
bertujuan untuk mengeetahui jumlah urine selama 24 jam dan mengukur berat jenis urine, asupan dan
pengeluaran serta mengetahui fungsi ginjal.

Alat :

1. botol penampung beserta penutup

2. etiket khusus

Prosedur Kerja

1. Mencuci tangan

2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

3. Bagi pasien yang tidak mampu buang air kecil sendiri, bantu untuk BAK, keluarkan urine setelah itu
tampung dengan meggunakan botol
4. Bagi pasien yang mampu BAK sendiri, anjurkan pasien untuk BAK dan anjurkan untuk menampung urine
ke dalam botol

5. Catat nama dan tanggal pengambilan pemeriksaan

6. Cuci tangan

Menolong pasien untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal

Menolong BAK dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan membantu
pasien yang tidak mampu BAK sendiri di kamar kecil dengan menggunakan alat penampung dengan
tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine (warna dan jumlah).

Alat dan bahan :

1. urinal
2. pengalas
3. tisu
Prosedur Kerja

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur pada pasien

3. Pasang alas urinal di bawah glutea

4. Lepas pakaian bawah pasien

5. Pasang urinal di bawah glutea/pinggul atau diantara kedua paha

6. Anjurkan pasien untuk berkemih

7. Setelah selesai, rapikan alat

8. Cuci tangan dan catat warna serta jumlah produksi urine

Melakukan kateterisasi

Indikasi :

Tipe Intermitten

 tidak mampu berkemih 8 – 12 jam setelah operasi


 retensi akut setelah trauma uretra

 tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesic

 cedera pada tulang belakang

 degenerasi neuromuskular secara progresif

 pengeluaran urine residual

Tipe Indwelling

 obstruksi aliran urine

 pasca operasi saluran uretra dan struktur disekitarnya

 obstruksi uretra

 inkontinensia dan disorientasi berat

Alat dan bahan

1. sarung tangan steril

2. kateter steril (sesuai dengan ukurannya dan jenis)

3. Duk steril

4. minyak pelumas/ gel

5. larutan pembersih antiseptic

6. spuit yang berisi cairan

7. perlak dan alasnya

8. pinset anatomi

9. bengkok

10. urinal bag

11. sampiran
Prosedur Kerja

Untuk pasien pria :

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur

3. Atur ruangan/pasang sampiran

4. Pasang perlak/alas

5. Gunakan sarung steril

6. Pasang duk steril

7. Pegang penis dengan tangan sebelah kiri, lalu preputium ditarik sedikt ke pangkalnya dan bersihkan
dengan kapas savlon

8. Beri gel pada ujung kateter, lalu masukkan pelan-pelan sambil anjurkan untuk tarik napas

9. Jika tertahan, jangan dipaksa

10. Setelah kateter masuk, isi balon dengan cairan aquades

11. Sambung kateter dengan urobag dan fiksasi ke arah paha

12. Rapikan alat

13. Cuci tangan

Untuk pasien wanita :

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur

3. Atur ruangan

4. Pasang perlak/alas

5. Gunakan sarung tangan steril

6. Pasang duk steril

7. Bersihkan vulva kapas savlon dari atas ke bawah

8. Buka labia mayor dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri lalu bersihkan bagian dalam

9. Beri gel pada ujung kateter lalu masukkan pelan-pelan sambil anjurkan tarik napas, hingga urine keluar
10. Setelah selesai, isi balon dengan cairan aquades atau sejenisnya menggunakan spoit

11. Sambung kateter dengan urine bag dan fiksasi ke arah samping

12. Rapikan alat

13. Cuci tangan

Menggunakan kondom kateter

Menggunakan kondom kateter merupakan tindakan keperawatan dengan cara memberikan


kondom kateter pada pasien yang tidak mampu mengontrol berkemih. Cara ini bertujuan agar pasien
dapat berkemih dan mempertahankannya.

Alat dan bahan :

1. sarung tangan

2. air sabun

3. pengalas

4. kondom kateter

5. Urinal bag

6. sampiran

Prosedur kerja

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur pada klien

3. Atur ruangan/pasang sampiran

4. Pasang perlak/alas

5. Gunakan sarung tangan

6. Atur posisi klien dengan terlentang

7. Bersihkan area genitalia dengan sabun dan bilas dengan air hangat bersih kemudian keringkan

8. Lakukan pemasangan kondom dengan menyisakan 2,5 – 5 cm ruang antara glans penis dengan ujung
kondom

9. Letakkan batang penis dengan perekat elastis, tapi jangan terlalu ketat

10. Hubungkan ujung kondom kateter dengan saluran urobag


11. Rapikan alat

12. Cuci tangan

2.6 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :

1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan asupan cairan dan
pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
2. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurangnya distensi, volume urine residu, dan
lancarnya kepatenan drainase
3. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya infeksi, tidak ditemukan
adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar
4. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering tanpa inflamasi dan
kulit di sekitar uterostomi kering
5. Memberikan pasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan adanya
distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang
6. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi inkontinensia dan mampu
berkemih di saat ingin berkemih
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi fekal dan


urin dilakukan untuk memenuhu kebutuhan dasar manusia. Karena jika tidak
dilaksanakan, akan menimbulkan banyak masalah kesehatan.

Tahap-tahap asuhan keperawatan juga harus dilakukan sesuai


prosedur. Mulai dari pengkajian, intervensi, pelaksaan, hingga evaluasi.
Sehingga pasien dapat nyaman dan kembali sembuh.

3.2 Usul dan Saran

1. Bagi perawat agar dapat menunjang kebersihan keperawatan maka perlu


memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan kasus retensio
urine

2. Perawat hendaknya menerapkan asuhan keperawatan dalam melaksanakan


proses

3. Perlu ada kerja sama antara perawat dan pihak keluarga pasien yang baik,
agar intervensi yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik untruk
mengatasi masalah pasien.
DAFTAR PUSTAKA

http://ato3nurse07.blogspot.com/2011/01/askep-masalah-kebutuhan-eliminasi-urine.html

http://dewaprogsus.wordpress.com/2011/10/16/materi-eliminasi-fekal-dan-urin/

http://www.scribd.com/doc/46810174/Asuhan-Keperawatan-pada-Pasien-dengan-Gangguan-Eliminasi-
Urine-dan-Fekal
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II Pembahasan

2.1 Pengkajian

2.2 Diagnosa Keperawatan

2.3 Perencanaan Keperawatan

2.4 Rencana Tindakan

2.5 Pelaksanaan (Tindakan Keperawatan)

2.6 Evaluasi Keperawatan

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Daftar Pustaka

http://kekasihsetianaruto.blogspot.com/2013/11/asuhan-keperawatan-pada-pasien_3.html
ELIMINASI URINE DAN FEKAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau
bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter,
kandung kemih dan uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu: kandung kemih
secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi
(refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-
tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi
adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh
pusat korteks serebri atau batang otak.
Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu, biasanya miksi setelah
bekerja, makan atau bangun tidur. Normal miksi sehari adalah 5 kali.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang
peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum
dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang
normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian
tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola
eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat menghindari
mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik
untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal. Untuk menangani masalah eliminasi klien,
perawat harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi
eliminasi. Asuhan kaperawatan yang mendukung akan menghormati privasi dan kebutuhan
emosional klien. Tindakan yang dirancang untuk meningkatkan eliminasi normal juga harus
meminimalkan rasa ketidaknyamanan.

B. Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan eliminasi?
 Masalah apa saja yang dapat mempengaruhi proses eliminasi?
 Apa saja faktor yang mempengaruhi eliminasi?
 Bagaimana cara membantu pasien eliminasi?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui masalah dan faktor apa saja
yang mempengaruhi proses eliminasi seseorang terutama pada pasien, serta mengetahui
bagaimana cara membantu pasien untuk eliminasi baik di tempat tidur maupun di toilet.
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Pengertian
Gangguan eliminasi urine adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan eliminasi urine
akan dilakukan katerisasi urine, yaitu tindakan memasukkan selang kateter ke dalam kandung
kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
Masalah-masalah dalam eliminasi urine yaitu:
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidaksanggupan
kandung kemih untuk mengosongkan diri. Retensi urine dapat disebabkan oleh hal-hal seperti:
obstruksi (misalnya hipertrofi prostat), pembedahan pada daerah abdomen bawah, pelvis, atau
kandung kemih.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter ekstema untuk
mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih. Inkontinensia urine dapat dibagi menjadi lima
jenis, yaitu: inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks, inkontinensia stres, inkontinensia
urgensi (dorongan) dan inkontinensia total.
c. Enuresis, yaitu peristiwa berkemih yang tidak disadari. Sering terjadi pada anak-anak, umumnya
terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2500 ml/hari tanpa
adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine.

Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses
kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon
desenden dengan menggunakan kanul rekti.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk ke dalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang
menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal internal tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika saraf dalam rektum dirangsang, signal
diteruskan ke spinal cord (sakral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid
dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan geombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu
duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan, yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala bukan penyakit. Yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai
dengan pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan
nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air
diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses sampai
pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk. Isi intestinal
melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan
yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga
pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkotinensia fekal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB
encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal eksternal.
Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara
fisik. Kebutuhan dasar pasien sangat tergantung pada perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended,
merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar dari mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-
hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang
menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal).
Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi
inflamasi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan
oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

B. Tanda dan Gejala


Tanda gangguan eliminasi urine:
a. Retensi urine
1. Ketidak nyamanan daerah pubis
2. Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih
3. Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang
4. Meningkatnya keinginan untuk berkemih dan resah
5. Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urine
1. Pasien tidak dapat menahan keinginan untuk BAK sebelum sampai di WC
2. Pasien sering mengompol

Tanda gangguan eliminasi fekal:


a. Konstipasi
1. Menurunnya frekuensi BAB
2. Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3. Nyeri rektum
b. Impaction
1. Tidak BAB
2. Anoreksia
3. Kembung/kram
4. Nyeri rektum
c. Diare
1. BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk
2. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi
mukosa
4. Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB
d. Inkontinensia Fekal
1. Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
2. BAB encer dan jumlahnya banyak
e. Flatulens
1. Menumpuknya gas pada lumen intestinal
2. Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram
3. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1. Pembengkakan vena pada dinding rektum
2. Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3. Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4. Nyeri

C. Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi


Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine:
 Diet dan Asupan (Intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine (jumlah
urine). Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk. Selain itu, juga dapat
meningkatkan pembentukan urine.

 Respons Keinginan Awal untuk Berkemih


Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan urine banyak
tertahan didalam urinaria sehingga mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah urine.

 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi dalam kaitannya
terhadap tersedianya fasilitas toilet.

 Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengkibatkan meningkatnya frekuensi keinginan untuk berkemih dan
jumlah urine yang diproduksi.

 Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi sfingter.
Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih menurun
dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.

 Tingkat Perkembangan
Tingkat perkembangan dan pertumbuhan juga dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal tersebut
dapat ditemukan pada anak yang lebih memiliki kesulitan untuk mengontrol buang air kecil.
Namun dengan usia kemampuan dalam mengontrol buang air kecil.

 Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi produksi urine, seperti diabetes melitus.

 Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya kultur pada
masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.

 Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih mengalami kesulitan untuk berkemih dengan
melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit.

 Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih adalah otot kandung
kemih, otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi pengontrolan
pengeluaran urine.

 Pembedahan
Efek pembedahan dapat menyebabkan penurunan pemberian obat anestesi menurunkan filtrasi
glomelurus yang dapat jumlah urine karena dampak dari

 Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau penurunan
proses perkemihan. Misalnya pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan
pemberian obat antikolinergik dan antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine.

 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya
prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti IVY
(intra uenus pyelogram), yang dapat membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi produksi
urine. Selain itu tindakan sistoskopi dapat menimbulkan edema lokal pada uretra yang dapat
menganggu pengeluaran urine.

Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal:


 Usia dan perkembangan: mempengaruhi karakter feses, control
 Diet
 Pemasukan cairan. Normalnya: 2000-3000 ml/hari
 Aktifitas fisik: merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat
 Faktor psikologik
 Kebiasaan
 Posisi
 Nyeri
 Kehamilan: menekan rektum
 Operasi dan anestesi
 Obat-obatan
 Test diagnostik: barium enema dapat menyebabkan konstipasi
 Kondisi patologis
 Iritan

D. Tindakan Keperawatan
 Membantu pasien eliminasi dengan pispot urinal
Jenis-jenis Pispot :
1. Pispot
2. Kursi untuk buang air besar yaitu pispot yang di pasang di kursi roda
Tujuan
• Membantu pasien dalam rangka memenuhi kebutuhan elimiasi pasien
• Mengobservasi output
• Memberikan rasa nyaman pada pasien
Indikasi
- Dilakukan pada pasien yang tidak mampu ke toilet
- Pada pasien yang bedrest total
- Pada klien selesai operasi agar luka bekas operasi tidak infeksi karena terlalu banyak bergerak
Kontra Indikasi.
- Pasien yang mampu ke toilet atau bisa BAB secara mandiri
- Pasien dengan fraktur vertebra dan femur

Prosedur kerja
a. Persiapan Pasien
• Memberi salam
• Mengenalkan diri pada klien atau keluarga
• Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan
• Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan
• Posisikan pasien sesuai kebutuhan

b. Persiapan Perawat
• Mencuci tangan dari lengan dengan sabun di bawah air mengalir
• Menilai keadaan umum pasien

c. Persiapan lingkungan
• Pasang sampiran atau sketsel
• Pintu dan jendela dalam keadaan tertutup

d. Persiapan alat :
1. Pispot dan tutupnya atau urinal
2. Sampiran
3. Alas bokong (perlak dan alasnya)
4. Bell (bila ada)
5. Tissue
6. Selimut mandi
7. 2 baskom berisi air (satu untuk bilas sabun) bila ada
8. 2 waslap
9. Handuk
10. Botol berisi air untuk cebok
11. Sarung tangan bersih
12. Korentang
13. Sabun
14. Schort

e. Prosedur Pelaksanaan
1. BHSP
2. Jelaskan tujuan dan prosedur kepada pasien
3. Bawa alat ke dekat pasien
4. Tutup pintu dan jendela dan pasang sampiran
5. Cuci tangan, pakai schort, memakai sarung tangan bersih dan berdiri di sisi klien
6. Pasang selimut mandi dan turunkan selimut pasien
7. Tinggikan tepi tempat tidur untuk mencegah pasien jatuh
8. Minta klien untuk mengangkat bokongnya atau miring (bila perlu dibantu perawat) lalu
bentangkan perlak dan alasnya
9. Buka pakaian pasien bagian bawah
10. Anjurkan klien untuk berpegangan di bawah / bagian belakang tempat tidur sampai menekuk
lutut sambil diikuti dengan mengangkat bokong kemudian pasang pispot perlahan-lahan
11. Jika pasien pria, pasang urinal untuk BAK
12. Pastikan bahwa sprei dan stik laken tidak terkena
13. Tinggalkan pasien dan anjurkan untuk membunyikan bell jika sudah selesai atau memberi tahu
perawat
14. Jika sudah selesai, tarik atau ambil pispot dan letakkan lengkap dengan tutupnya di atas kursi
atau meja dorong
15. Bersihkan daerah perianal dengan tisu (untuk pasien wanita, bersihkan mulai dari uretra sampai
dengan anus untuk mencegah perpindahan mikroorganisme dari rectal ke saluran kemih)
kemudian buang tissue ke dalam pispot
16. Gunakan waslap untuk mencuci daerah perianal dengan air sabun
17. Bilas dengan air bersih
18. Keringkan daerah perianal dengan handuk
19. Angkat alas bokong
20. Kembalikan posisi pasien seperti semula
21. Kenakan kembali pakaian bawah pasien
22. Angkat selimut mandi dan sekaligus menarik selimut pasien ke atas
23. Ganti linen (jika kotor karena terkena feses atau urine)
24. Rapikan pasien
25. Buka sampiran, pintu dan jendela
26. Jika perlu beri pengharum ruangan
27. Bersihkan pispot
28. Cuci tangan
29. Dokumentasikan warna, bau, feses, urine, dan konsistensi feses serta catat kondisi daerah
perianal

f. Hasil Evaluasi
1. Pasien tidak merasa lelah dengan pergerakan yang minimal
2. Pasien merasa nyaman
3. Melaksanakan dokumentasi :
a.Mencatat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan pasien
b. Catat tanggal dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda
tangan/paraf pada lembar catatan pasien.
g. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
1. Bila tidak dapat di tolong oleh seorang perawat, misalnya pasien gemuk, maka di perlukan lebih
dari satu orang perawat dan caranya adalah sebagai berikut :
- Bila dua orang perawat. Perawat berdiri di sebelah kanan dan kiri pasien,satu orang perawat
tangan dan mengangkat dengan dua perawat yang lain membantu sambil menyorongkan pispot.
- Bila tiga orang perawat, dua orang berdiri di sebelah kanan pasien dan satu lagi berdiri di
sebelah pasien (sebaliknya) dua orang perawat
- mengangkat pasien dan satu orang menyorongkan pispot sambil membantu dan mengangkat
bokong pasien.
2. Menggunakan pispot yang bersih dan kering.
3. Menggunakan sarung tangan sekali pakai dan cuci tangan anda segera sebelum dan sesudah
melaksanakan prosedur untuk mencegah penularan penyakit ke orang lain dan juga ke diri anda
sendiri.
4. Memberi privasi pada pasien. Cobalah untuk membuat pasien senyaman mungkin selama
prosedur tindakan.
5. Sebaiknya memberikan pispot jangan waktu makan, berkunjung atau menerima tamu kunjungan
(visit) Dokter.

 Huknah/Enema
Enema adalah suatu solusion (larutan) yang dimasukkan ke dalam rektum dan kolon sigmoid.
Fungsinya adalah untuk mengeluarkan feses dan flatus. Pemberian huknah ada 2, yaitu:
1. Huknah rendah
Huknah rendah adalah tindakan keperawatan dengan cara memasukkan cairan hangat ke dalam
kolon desendens dengan menggunakan kanula rektal melalui anus. Huknah rendah dilakukan
sebelum operasi (persiapan pembedahan) atau pasien yang mengalami obstipasi.

Tujuan
a. Mengosongkan usus pada pra-pembedahan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
selama operasi berlangsung, seperti BAB
b. Merangsang buang air besar atau merangsang peristaltik usus untuk mengeluarkan feses karena
kesulitan untuk defekasi (pada pasien sembelit)
Alat dan Bahan
 Pengalas
 Irigator lengkap dengan kanula rektal dan klem
 Cairan hangat (700-1000 ml dengan suhu 40,5 C)
 Bengkok
 Jeli
 Pispot
 Sampiran
 Sarung tangan
 Tisu
Prosedur Kerja
a. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien
b. Cuci tangan
c. Atur ruangan dengan memasang sampiran bila pasien dirawat di bangsal umum
d. Atur posisi pasien dengan posisi sims kiri
e. Pasang pengalas di bawah area gluteal
f. Siapkan bengkok di dekat pasien
g. Irigator diisi cairan hangat dan hubungkan kanula rektal. Kemudian periksa alirannya dengan
membuka kanula rektal dan keluarkan air ke bengkok dan beri jeli pada kanula
h. Gunakan sarung tangan
i. Masukkan kanula kira-kira 15 cm ke dalam rektum ke arah kolon desendens sambil pasien
diminta menarik napas panjang dan pegang irigator setinggi 50 cm dari tempat tidur dan buka
klemnya. Air yang dialirkan sampai pasien menunjukkan keinginan untuk defekasi
j. Anjurkan pasien untuk menahan sebentar rasa ingin defekasi dan pasang pispot atau anjurkan ke
toilet. Bila pasien tidak mampu mobilisasi, bersihkan daerah sekitar anus hingga bersih dan
keringkan dengan tisu
k. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
l. Catat jumlah feses yang keluar, warna, kepadatan dan respons pasien

2. Huknah tinggi
Huknah tinggi adalah tindakan memasukkan cairan hangat ke dalam kolon asendens dengan
menggunakan kanula usus. Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien yang akan dilakukan
tindakan pembedahan umum.
Tujuan
Mengosongkan usus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti buang air besar
selama prosedur operasi dilakukan atau pengosongan sebagai tindak diagnostik/pembedahan.
Alat dan Bahan
 Pengalas
 Irigator lengkap dengan kanula usus
 Cairan hangat (700-1000 ml dengan suhu 40,5 C)
 Bengkok
 Jeli
 Pispot
 Sampiran
 Sarung tangan
 Tisu
Prosedur Kerja
a. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien
b. Cuci tangan
c. Atur ruangan dengan meletakkan sampiran bila pasien berada dalam bangsal umum atau bila
pasien dirawat di ruang privat, cukup dengan menutup pintu kamar
d. Atur posisi pasien dengan posisi sims kanan
e. Pasang pengalas di bawah daerah anus
f. Siapkan bengkok dekat pasien
g. Irigator diisi cairan hangat sesuai suhu badan dan hubungkan kanula usus, kemudian periksa
aliran dengan membuka kanula anus dan mengeluarkan air ke bengkok dan berikan jeli pada
ujung kanula tersebut
h. Gunakan sarung tangan
i. Masukkan kanula ke dalam rektum ke arah kolon asendens (15-20 cm) sambil pasien diminta
menarik napas panjang dan pegang irigator setinggi 30 cm dari tempat tidur dan buka klem
sampai air mengalir dan menimbulkan rasa ingin defekasi
j. Anjurkan pasien untuk menahan sebentar bila ada rasa ingin defekasi dan pasang pispot atau
anjurkan ke toilet, bila pasien tidak mampu ke toilet bersihkan dengan menyiram daerah
perineum hingga bersih dan keringkan dengan tisu
k. Cuci tangan
l. Catat jumlah, warna, konsistensi dan respons pasien terhadap tindakan

 Mengeluarkan feses secara manual


Mengeluarkan feses secara manual dengan jari adalah tindakan memasukkan jari perawat ke
dalam rektum pasien untuk mengambil, menghancurkan massa feses dan mengeluarkan dalam
bentuk telah hancur.

Tujuan
1. Membantu pasien buang air besar
2. Merangsang pengeluaran buang air besar
Indikasi
Prosedur ini digunakan bila massa feses yang terlalu keras/besar sudah berada di rektum, tetapi
tidak dapat keluar dan setelah pemberian enema tidak berhasil.
Pelaksanaan
1. Persiapan alat
 Sarung tangan disposibel
 Vaselin/minyak pelumas/xylocain jelly
 Selimut mandi
 Sabun
 Baskom berisi air, waslap dan handuk
2. Prosedur
 Identifikasi kebutuhan pasien
 Ukur frekuensi nadi pasien
 Jelaskan tujuan dan manfaat prosedur pada pasien
 Bantu pasien untuk posisi miring dengan lutut fleksi
 Selimuti tubuh pasien dan ekstremitas bawah dengan selimut mandi
 Letakkan pispot di samping pasien
 Cuci tangan dan kenakan sarung tangan disposibel
 Beri pelumas pada jari telunjuk yang telah menggunakan sarung tangan dengan vaselin atau
pelumas lainnya
 Masukkan jari ke dalam rektum pasien dan dorong dengan perlahan sepanjang dinding rektal ke
arah massa feses yang impaksi
 Secara perlahan lunakkan massa feses dengan memijat daerah sekitar yang impaksi. Arahkan
jari ke dalam feses yang mengeras
 Korek feses ke bawah, ke arah dubur, keluarkan sebagian feses berulang kali sampai habis
 Secara periodik, kaji nadi pasien dan lihat adanya keletihan. Hentikan prosedur bila frekuensi
nadi pasien menurun atau iramanya berubah
 Teruskan membersihkan rektum dari feses dan berikan interval istirahat untuk pasien
 Setelah selesai, gunakan waslap dan handuk untuk mencuci bokong dan area anal
 Singkirkan pispot dan buang feses. Lepaskan sarung tangan dengan membalikkan bagian dalam
keluar dan buang ke dalam wadah yang telah disediakan
 Bantu pasien ke posisi semula dan bantu memakai celana
 Cuci tangan dan catat pada rekam medik hasil tindakan tadi

Contoh penerapan kasus


Kasus
Ny. PF, 52 tahun, dirawat di ruang bedah wanita karena cedera akibat terjatuh saat turun tangga
ketika hendak sholat subuh. Keluarga segera membawa pasien ke rumah sakit. Pasien mengalami
fraktur pada bagian paha kanan atas, tidak ada luka terbuka (fraktur tertutup), dan hanya terlihat
memar pada bagian yang mengalami fraktur. Besok pagi akan dilakukan operasi dan sudah
dilakukan berbagai persiapan. Pasien terlihat kesakitan terutama saat ingin mengubah posisi.
Dokter sudah memberikan obat penurun rasa sakit dan antibiotik, serta dianjurkan untuk
mengistirahatkan kakinya dengan tidak banyak bergerak. Pada saat perawat mengukur tanda-
tanda vital, pasien terlihat meringis dan memegang perut bagian bawah. Saat ditanyakan ternyata
pasien ingin BAK. Namun, karena takut menimbulkan rasa sakit kalau menggerakkan kakinya,
pasien terlihat ragu-ragu mengemukakannya.
Data Fokus
Subjektif
- Ny. PF mengatakan ingin BAK, tetapi takut sakit kalau menggerakkan kakinya
Objektif
- Fraktur pada bagian paha atas (fraktur tertutup)
- Rencana operasi besok pagi
- Pasien tampak meringis dan memegang perut bagian bawah
- TD : 120/90 mmHg, pernapasan 24 x/menit, nadi 84 x/menit, suhu 36,8 C
- Program terapi: Terazorin 250 mg 3 x 1; Proscar 10 mg 3 x 1; dan tirah baring total
Diagnosis Keperawatan
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar: buang air kecil berhubungan dengan nyeri
Rencana Keperawatan
Diagnosis Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
Ketidakmampuan Tujuan: 1. Identifikasi pola/riwayat
pemenuhan kebutuhan Kebutuhan eliminasi eliminasi urine
dasar: buang air kecil urine Ny. PF terpenuhi 2. Kaji kondisi ketidak-
berhubungan dengan nyeri nyamanan dan keinginan
Kriteria Hasil: BAK
 Pasien bisa BAK sesuai 3. Bantu dan persiapkan
dengan polanya sehari- alat kebutuhan pasien
hari untuk BAK
 Nyeri perut bagian 4. Catat waktu pasien
bawah hilang eliminasi untuk
 Intake cairan/ air putih menentukan pola
meningkat menjadi ± berkemih
3000 cc/24 jam 5. Berikan waktu yang
cukup untuk BAK
6. Dorong pasien untuk
minum air putih lebih
banyak dari biasanya

Catatan Keperawatan
Hari/Tgl No. Tindakan Hasil Tanda
/Jam Diagnosis Tangan
Keperawatan
Rabu/ 2 1 Mengkaji kondisi - Pasien
Mei ketidaknyamanan dan mengatakan
2009/ keinginan BAK ingin BAK,
Pkl. tetapi takut sakit
10.30 kalau
menggerakkan
kakinya
- Meringis dan
memegang perut
bagian bawah
Pkl. 1 Membantu pasien - Urine dapat
10.45 BAK keluar, jumlah
urine banyak
- Nyeri perut
bagian bawah
berkurang
Pkl. 1 Mencatat setiap Pasien BAK 4-5
11.00 eliminasi untuk x/hari dan BAB
menentukan pola 1 x/hari
toileting
Pkl. 1 Mendorong pasien Pasien terlihat
11.15 untuk meningkatkan minum lebih
pemasukan cairan/ banyak dari
minum lebih banyak biasanya (±
dari biasanya 3000 cc/24 jam)

Catatan Pekembangan
Hari/Tgl No. Diagnosis Perkembangan Tanda
/Jam Keperawatan Tangan
Rabu/ 2 1 S: Ny. PF mengatakan perut bagian bawah
Mei tidak sakit lagi
2009/ O: - Ny. PF dapat BAK dan jumlah urine
Pkl. banyak
14.00 - Terlihat pasien minum lebih banyak
dari biasanya (± 3000 cc/24 jam)
A: Masalah teratasi
P: Rencana tindakan dihentikan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau bowel
(feses). Masalah eliminasi urine yaitu: retensi, inkotinensia urine, eneuresis, urgency, dysuria,
polyuria, urinari suppresi sedangkan masalah eliminasi fekal yaitu: konstipasi, impaction, diare,
inkotinensia fekal, flatulens dan hemoroid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine dan fekal yaitu: usia dan perkembangan,
diet, pemasukan cairan, aktifitas fisik, faktor psikologis, kebiasaan, kondisi patologis,
pengobatan, dll. Membantu pasien eliminasi dapat dilakukan oleh satu orang perawat (bila pasien
gemuk dapat dua atau tiga perawat), saat tindakan akan dilakukan pastikan privasi pasien tetap
terjaga. Gunakan pispot yang kering dan bersih dan pastikan hygiene sebelum dan sesudah
prosedur dilaksanakan.

B. Saran
Saran kami agar dengan penulisan makalah ini adalah perawat dapat menerapkan cara
membantu pasien untuk eliminasi dengan tetap menjaga kenyamanan dan privasi pasien,
sehingga pasien akan tetap terjaga pola eliminasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Azis Alimul & Musrifatul Uliyah. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta: EGC.
Suparmi, Yulia dkk. 2008. Panduan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama.
Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta III. 2009. Panduan Praktik Kebutuhan Dasar Manusia I.
Jakarta: Salemba Medika.
http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/kebutuhan-dasar-manusia-eliminasi-bab.html, Rabu, 20
Maret 2013, 13.00.

lampiran :
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.

Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :


Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai
ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua
Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan
kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan
untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini
bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.

§ Anatomi Fisiologik & Hubungan Saraf pada Kandung Kemih

Kandung kemih yang diperlihatkan pada gambar 31.1, adalah ruangan berdinding otot polos
yang terdiri dari dua bagian besar :
Badan (corpus), merupakan bagian utama kandung kemih dimana urin berkumpul dan
Leher (kollum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior
dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang
lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya dengan
uretra.

Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah dan
bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60
mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk
mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain
sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh
karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot
berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera.

Pada dinding posterior kandung kemih, tepat diatas bagian leher dari kandung kemih, terdapat
daerah segitiga kecil yang disebut Trigonum. Bagian terendah dari apeks trigonum adalah
bagaian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua
ureter memasuki kandung kemih pada sudut tertinggi trigonum. Trigonum dapat dikenali dengan
melihat mukosa kandung kemih bagian lainnya, yang berlipat-lipat membentuk rugae. Masing-
masing ureter, pada saat memasuki kandung kemih, berjalan secara oblique melalui otot detrusor
dan kemudian melewati 1 sampai 2 cm lagi dibawah mukosa kandung kemih sebelum
mengosongkan diri ke dalam kandung kemih.

Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 – 3 cm, dan dindingnya terdiri dari otot
detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut
sfinter internal. Sifat tonusnya secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra
posterior agar kosong dari urin dan oleh karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih
sampai tekanan pada daerah utama kandung kemih meningkat di atas ambang kritis.

Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang mengandung
lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini merupakan otot lurik yang
berbeda otot pada badan dan leher kandung kemih, yang hanya terdiri dari otot polos. Otot
sfingter eksterna bekerja di bawah kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara
sadar untuk menahan miksi bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan
kandung kemih.

§ Persarafan Kandung Kemih

Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan medula
spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan
S-3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik.
Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan
dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan
refleks yang menyebabkan pengosongan kandung kemih.

Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini berakhir
pada sel ganglion yang terletak pada dinding kandung kemih. Saraf psot ganglion pendek
kemudian mempersarafi otot detrusor.

Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi kandung
kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus pudendal menuju
sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang mempersarafi dan
mengontrol otot lurik pada sfingter. Juga, kandung kemih menerima saraf simpatis dari
rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen L-2
medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan sedikit
mempengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui
saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan pada beberapa
keadaan, rasa nyeri.

Transpor Urin dari Ginjal melalui Ureter dan masuk ke dalam Kandung Kemih

Urin yang keluar dari kandung kemih mempunyai komposisi utama yang sama dengan cairan
yang keluar dari duktus koligentes, tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin
tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung kemih.

Urin mengalir dari duktus koligentes masuk ke kaliks renalis, meregangkan kaliks renalis dan
meningkatkan pacemakernya, yang kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar
ke pelvis renalis dan kemudian turun sepanjang ureter, dengan demikian mendorong urin dari
pelvis renalis ke arah kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersarafi oleh
saraf simpatis dan parasimpatis seperi juga neuron-neuron pada pleksus intramural dan serat
saraf yang meluas diseluruh panjang ureter.

Seperti halnya otot polos pada organ viscera yang lain, kontraksi peristaltik pada ureter
ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan dihambat oleh perangsangan simpatis.

Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum kandung kemih.
Normalnya, ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa cm menembus dinding kandung
kemih. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter,
dengan demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung
kemih meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi kandung kemih. Setiap
gelombang peristaltik yang terjadi di sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter
sehingga bagian yang menembus dinding kandung kemih membuka dan memberi kesempatan
urin mengalir ke dalam kandung kemih.

Pada beberapa orang, panjang ureter yang menembus dinding kandung kemih kurang dari
normal, sehingga kontraksi kandung kemih selama berkemih tidak selalu menimbulkan
penutupan ureter secara sempurna. Akibatnya, sejumlah urin dalam kandung kemih terdorong
kembali kedalam ureter, keadaan ini disebut refluks vesikoureteral. Refluks semacam ini dapat
menyebabkan pembesaran ureter dan, jika parah, dapat meningkatkan tekanan di kaliks renalis
dan struktur-struktur di medula renalis, mengakibatkan kerusakan daerah ini.

Sensasi rasa nyeri pada Ureter dan Refleks Ureterorenal.

Ureter dipersarafi secara sempurna oleh serat saraf nyeri. Bila ureter tersumbat (contoh : oleh
batu ureter), timbul refleks konstriksi yang kuat sehubungan dengan rasa nyeri yang hebat.
Impuls rasa nyeri juga menyebabkan refleks simpatis kembali ke ginjal untuk mengkontriksikan
arteriol-arteriol ginjal, dengan demikian menurunkan pengeluaran urin dari ginjal. Efek ini
disebut refleks ureterorenal dan bersifat penting untuk mencegah aliran cairan yang berlebihan
kedalam pelvis ginjal yang ureternya tersumbat.

Refleks Berkemih

Merujuk kembali pada gambar 31-2, kita dapat melihat bahwa selama kandung kemih terisi,
banyak yang menyertai kontraksi berkemih mulai tampak, seperti diperlihatkan oleh gelombang
tajam dengan garis putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai
oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada uretra
posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi.
Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula
spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih
melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini.

Ketika kandung kemih hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan
berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan tekanan turun
kembali ke garis basal. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah
sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat.

Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan “ menghilang sendiri. “ Artinya, kontraksi
awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan
peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra posterior, yang
menimbulkan peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut, jadi siklus ini berulang
dan berulang lagi sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian, setelah
beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah
dan siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti, menyebabkan kandung kemih berelaksasi.
Jadi refleks berkemih adalah suatu siklus tunggal lengkap dari :
Peningkatan tekanan yang cepat dan progresif
Periode tekanan dipertahankan dan
Kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.

Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf
dari refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit sampai satu jam
atau lebih sebelum refleks berkemih lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin
terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan semakin kuat.

Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga menimbulkan refleks lain, yang
berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini
lebih kuat dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun
akan terjadi. Jika tidak, berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks
berkemih menjadi makin kuat.

§ Perangsangan atau Penghambatan Berkemih oleh Otak

Refleks berkemih adalah refleks medula spinalis yang seluruhnya bersifat autonomik, tetapi
dapat dihambat atau dirangsang oleh pusat dalam otak.

Pusat-pusat ini antara lain :


Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak, terutama terletak di pons dan
Beberapa pusat yang terletak di korteks serebral yang terutama bekerja sebagai penghambat
tetapi dapat juga menjadi perangsang.

Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat yang lebih tinggi
normalnya memegang peranan sebagai pengendali akhir dari berkemih seperti berikut :
Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial penghambatan refleks berkemih kecuali jika
persitiwa berkemih dikehendaki.
Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan jika refleks berkemih timbul, dengan
membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai
mendapatkan waktu yang baik untuk berkemih.
Jika tiba waktu untuk berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pusat berkemih sakral untuk
membantu mencetuskan refleks berkeih dan dalam waktu bersamaam menghambat sfingter
eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.

Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara berikut : Pertama, seseorang secara
sadar mengkontraksikan otot-otot abdomennya, yang meningkatkan tekanan dalam kandung
kemih dan mengakibatkan urin ekstra memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior di
bawah tekanan, sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini menstimulasi reseptor regang, yang
merangsang refleks berkemih dan menghambat sfingter eksternus uretra secara simultan.
Biasanya, seluruh urin akan keluar, terkadang lebih dari 5 sampai 10 ml urin tertinggal di
kandung kemih.

Pengkajian
§ Pola berkemih
Pada orang-orang untuk berkemih sangat individual

§ Frekuensi
Þ Frekuensi untuk berkemih tergantung kebiasaan dan kesempatan
Þ Banyak orang-orang berkemih kira-kira 70 % dari urine setiap hari pada waktu bangun tidur
dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada malam hari.
Þ Orang-orang biasanya berkemih : pertama kali pada waktu bangun tidur, sebelum tidur dan
berkisar waktu makan.

§ Volume
Volume urine yang dikeluarkan sangat bervariasi.
Usia Jumlah / hari
·1 Hari pertama & kedua dari kehidupan 15 – 60 ml
·2 Hari ketiga – kesepuluh dari kehidupan 100 – 300 ml
·3 Hari kesepuluh – 2 bulan kehidupan 250 – 400 ml
·4 Dua bulan – 1 tahun kehidupan 400 – 500 ml
·5 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
·6 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
·7 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
·8 8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
·9 14 tahun – dewasa 1500 ml
·10 Dewasa tua 1500 ml / kurang

Jika volume dibawah 500 ml atau diatas 300 ml dalam periode 24 jam pada orang dewasa, maka
perlu lapor.

Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih

Diet dan intake


Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine, seperti
protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan
urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine lebih banyak.

Respon keinginan awal untuk berkemih


Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih dan
hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan di
kandung kemih. Masyarakat ini mempunyai kapasitas kandung kemih yang lebih daripada
normal

Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine. Tersedianya
fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi. Praktek eliminasi
keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitive untuk keinginan berkemih dan atau
meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.

Tingkat aktifitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan
tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus
otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu
yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak
pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi.
Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan
karena lebih besar metabolisme tubuh.

Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita
hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih
sering berkemih.

Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter)
Obat diuretiik dapat meningkatkan output urine
Analgetik dapat terjadi retensi urine.

Urine

Warna :
Þ Normal urine berwarna kekuning-kuningan
Þ Obat-obatan dapat mengubah warna urine seperti orange gelap
Þ Warna urine merah, kuning, coklat merupakan indikasi adanya penyakit.
Bau :
Þ Normal urine berbau aromatik yang memusingkan
Þ Bau yang merupakan indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan
tertentu.
Berat jenis :
Þ Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat) dibandingkan dengan suatu volume yang
sama dari yang lain seperti air yang disuling sebagai standar.
Þ Berat jenis air suling adalah 1, 009 ml
Þ Normal berat jenis : 1010 – 1025
Kejernihan :
Þ Normal urine terang dan transparan
Þ Urine dapat menjadi keruh karena ada mukus atau pus.

pH :
Þ Normal pH urine sedikit asam (4,5 – 7,5)
Þ Urine yang telah melewati temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena
aktifitas bakteri
Þ Vegetarian urinennya sedikit alkali.
Protein :
Þ Normal : molekul-molekul protein yang besar seperti : albumin, fibrinogen, globulin, tidak
tersaring melalui ginjal —- urine
Þ Pada keadaan kerusakan ginjal, molekul-molekul tersebut dapat tersaring —- urine
Þ Adanya protein didalam urine —- proteinuria, adanya albumin dalam urine —- albuminuria.
Darah :
Þ Darah dalam urine dapat tampak jelas atau dapat tidak tampak jelas.
Þ Adanya darah dalam urine — hematuria.
Glukosa :
Þ Normal : adanya sejumlah glukosa dalam urine tidak berarti bila hanya bersifat sementara,
misalnya pada seseorang yang makan gula banyak —- menetap pada pasien DM
Þ Adanya gula dalam urine —- glukosa
Keton :
Þ Hasil oksidasi lemak yang berlebihan.

Masalah-masalah dalam Eliminasi

Masalah-masalahnya adalah : retensi, inkontinensia urine, enuresis, perubahan pola urine


(frekuensi, keinginan (urgensi), poliurine dan urine suppression).

Penyebab umum masalah ini adalah :


Obstruksi
Pertumbuhan jaringan abnormal
Batu
Infeksi
Masalah-masalah lain.

§ Retensi

Þ Adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih
untuk mengosongkan diri.
Þ Menyebabkan distensi kandung kemih
Þ Normal urine berada di kandung kemih 250 – 450 ml
Urine ini merangsang refleks untuk berkemih.
Dalam keadaan distensi, kandung kemih dapat menampung urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine
o Tanda-tanda klinis retensi
Þ Ketidaknyamanan daerah pubis.
Þ Distensi kandung kemih
Þ Ketidak sanggupan unutk berkemih.
Þ Sering berkeih dalam kandung kemih yang sedikit (25 – 50 ml)
Þ Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikelurakan dengan intakenya.
Þ Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
o Penyebab
Þ Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
Þ Pembesaran kelenjar prostat
Þ Strikture urethra.
Þ Trauma sumsum tulang belakang.

§ Inkontinensi urine

Þ Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya
urine dari kandung kemih
Þ Jika kandung kemih dikosongkan secara total selama inkontinensi —- inkontinensi komplit
Þ Jika kandung kemih tidak secara total dikosongkan selama inkontinensia —- inkontinensi
sebagian

o Penyebab Inkontinensi
Þ Proses ketuaan
Þ Pembesaran kelenjar prostat
Þ Spasme kandung kemih
Þ Menurunnya kesadaran
Þ Menggunakan obat narkotik sedative

o Ada beberapa jenis inkontinensi yang dapat dibedakan :

§ Total inkontinensi
Adalah kelanjutan dan tidak dapat diprediksikan keluarnya urine. Penyebabnya biasanya adalah
injury sfinter eksternal pada laki-laki, injury otot perinela atau adanya fistula antara kandung
kemih dan vagina pada wanita dan kongenital atau kelainan neurologis.

§ Stress inkontinensi
Ketidaksanggupan mengontrol keluarnya urine pada waktu tekanan abdomen meningkat
contohnya batuk, tertawa —– karena ketidaksanggupan sfingter eksternal menutup.

§ Urge inkontinensi
Terjadi pada waktu kebutuhan berkemih yang baik, tetapi tidak dapat ketoilet tepat pada
waktunya. Disebabkan infeksi saluran kemih bagian bawah atau spasme kandung kemih.

§ Fungisonal inkontinensi
Adalah involunter yang tidak dapat diprediksi keluarnya urine. Biasa didefinisikan sebagai
inkontinensi persists karena secara fisik dan mental mengalami gangguan atau beberapa faktor
lingkungan dalam persiapan untuk buang air kecil di kamar mandi.

§ Refleks inkontinensi
Adalah involunter keluarnya urine yang diprediksi intervalnya ketika ada reaksi volume kandung
kemih penuh. Klien tidak dapat merasakan pengosongan kandung kemihnya penuh.

§ Enuresis
Þ Sering terjadi pada anak-anak
Þ Umumnya terjadi pada malam hari — nocturnal enuresis
Þ Dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.

o Penyebab Enuresis
Þ Kapasitas kandung kemih lebih besar dari normalnya
Þ Anak-anak yang tidurnya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi dari keinginan berkemih tidak
diketahui, yang mengakibatkan terlambatnya bagun tidur untuk kekamar mandi.
Þ Kandung kemih irritable dan seterusnya tidak dapat menampung urine dalam jumlah besar.
Þ Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya persaingan dengan saudara
kandung, ceksok dengan orang tua). Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan
mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu untuk mendidiknya.
Þ Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik atau neurologi sistem perkemihan.
Þ Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral atau makanan pemedas
Þ Anak yang takut jalan pada gang gelap untuk kekamar mandi.

§ Perubahan pola berkemih

Þ Frekuensi
o Normal, meningkatnya frekuensi berkemih, karena meningkatnya cairan
o Frekuensi tinggi tanpa suatu tekanan intake cairan dapat diakibatkan karena cystitis
o Frekuensi tinggi pada orang stress dan orang hamil
o Canture / nokturia — meningkatnya frekuensi berkemih pada malam hari, tetapi ini tidak
akibat meningkatnya intake cairan.

Þ Urgency
o Adalah perasaan seseorang untuk berkemih
o Sering seseorang tergesa-gesa ke toilet takut mengalami inkontinensi jika tidak berkemih
o Pada umumnya anak kecil masih buruk kemampuan mengontrol sfingter eksternal.

Þ Dysuria
o Adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih
o Dapat terjadi karena : striktura urethra, infeksi perkemihan, trauma pada kandung kemih dan
urethra.

Þ Polyuria
o Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya
peningkatan intake cairan
o Dapat terjadi karena : DM, defisiensi ADH, penyakit ginjal kronik
o Tanda-tanda lain adalah : polydipsi, dehidrasi dan hilangnya berat badan.

Þ Urinari suppresi
o Adalah berhenti mendadak produksi urine
o Secara normnal urine diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan 60 – 120
ml/jam (720 – 1440 ml/hari) dewasa
o Keadaan dimana ginjal tidak memproduksi urine kurang dari 100 ml/hari disanuria
o Produksi urine abnormal dalam jumlah sedikit oleh ginjal disebut oliguria misalnya 100 – 500
ml/hari
o Penyebab anuria dan oliguria : penyakit ginjal, kegagalan jantung, luka bakar dan shock.

Diagnosa Keperawatan
Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi dan enuresis
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine
Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria
Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter
Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
Isolasi sosial berhubungan dengan inkontensi
Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi
Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi saluran urinary akibat
proses penyakit
Gangguan body image berhubungan dengan pemasangan urinary diversi ostomy
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterampilan pemasangan diversi urinary ostomy

Perencanaan & Intervensi


Tujuan :
Memberikan intake cairan secara tepat
Memastikan keseimbangan intake dan output cairan
Mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Mencegah kerusakan kulit
Mencegah infeksi saluran kemih
Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional
Untuk anak kecil meningkatkan kontrol berkemih dan self esteem.
Tindakan secara umum

Intake cairan secara tepat, pasien dengan masalah perkemihan yang sering intake jumlah cairan
setiap hari ditentukan dokter. Pasien dengan infeksi perkemihan, cairannya sering ditingkatkan.
Pasien dengan edema cairannya dibatasi.
Mengukur intake dan output cairan. Jumlah caiaran yang masuk dan keluar dalam setiap hari
harus diukur, untuk mengetahui kesimbangan cairan.
Membantu mempertahankan secara normal berkemih.
Membantu pasien mempertahankan posisi normal untuk berkemih
Memberikan kebebasan untuk pasien
Memberikan bantuan pada saat pasien pertama kali merasa ingin buang air kecil
Jika menggunakan bedpan atau urinal yakin itu dalam keadaan hangat.
Bila pasien menggunakan bedpan, tinggikan bagian kepala tempat tidur dengan posisi fowler dan
letakkan bantal kecil dibawah leher untuk meningkatkan support dan kenyamanan fisik (prosedur
membantu memberi pispot/urinal)
Tuangkan air hangat dalam perineum
Mengalirkan air keran dalam jarak yang kedengaran pasien
Memberikan obat-obatan yang diperlukan untuk mengurangi nyeri dan membantu relaks otot
Letakkan secara hati-hati tekan kebawah diatas kandung kemih pada waktu berkemih
Menenangkan pasien dan menghilangkan sesuatu yang dapat menimbulkan kecemasan.
Tindakan hygienis

Untuk mempertahankan kebersihan di daerah genital


Tujuannya untuk memberikan rasa nyaman dan mencegah infeksi

Tindakan spesifik masalah-masalah perkemihan

Retensi urin

Membantu dalam mempertahankan pola berkemih secara normal


Jika tejadi pada post operasi —- berikan analgetik
Kateterisasi urin

Inkontinensi

Menetapkan rencana berkemih secara teratur dan menolong pasien mempertahankan itu
Mengatur intake cairan, khususnya sebelum pasien istirahat, mengurangi kebutuhan berkemih
Meningkatkan aktifitas fisik untuk meningkatkan tonus otot dan sirkulasi darah, selanjutnya
menolong pasien mengontrol berkemih
Merasa yakin bahwa toilet dan bedpan dalam jangkauannya
Tindakan melindungi dengan menggunakan alas untuk mempertahankan laken agar tetap kering
Untuk pasien yang mengalami kelemahan kandung kemih pengeluaran manual dengan tekanan
kandung kemih diperlukan untuk mengeluarkan urine
Untuk pasien pria yang dapat berjalan/berbaring ditempat tidur, inkontinensi tidak dikontrol
dapat menggunakan kondom atau kateter penis.

Enuresis

Untuk enuresis yang kompleks, maka perlu dikaji komprehensif riwayat fisik dan psikologi,
selain itu juga urinalisis (fisik, kimia atau pemeriksaan mikroskopis) untuk mengetahui
penyebabnya.
Mencegah agar tidak terjadi konflik kedua orang tua dan anak-anaknya
Membatasi cairan sebelum tidur dan mengosongkan kandung kemih sebelum tidur / secara
teratur.

https://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/17/konsep-dasar-pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-urine/
Proses Miksi
Adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :

 Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat


diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua

 Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan
kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks
autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh
pusat korteks serebri atau batang otak.

Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih


 Diet dan intake
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output
urine, seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi
meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output
urine lebih banyak.
 Respon keinginan awal untuk berkemih
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk
berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat. Akibatnya
urine banyak tertahan di kandung kemih. Masyarakat ini mempunyai kapasitas
kandung kemih yang lebih daripada normal
 Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine.
Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi
eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
 Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi
keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitive untuk keinginan
berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.
 Tingkat aktifitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal
dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang
menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi.
Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal
ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh.
 Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih.
Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan
dari fetus atau adanya lebih sering berkemih.
 Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter)
Obat diuretiik dapat meningkatkan output urine
Analgetik dapat terjadi retensi urine.

Karakteristik urin Normal n Abnormal

Pemeriksaan Normal Abnormal


Warna Kekuningan Merah menunjukan hematuri kemungkinan obstruksi urien,
kalkulus renal, tumor, kegagalan ginjal.
Kejernihan Jernih Keruh menunjukan terdapatnya kotoran, sedimen bakteri (
infeksi urinarius )
Ph 4,6 – 6,8 Alkalisis bila dibiarkan atau pada infeksi saluran kemih.
Tingkat asam meningkat pada asidosis tubulus renal.
Berat jenis 1.003 – 10,035 Biasanya menunjukan intake cairan, semakin sedikit intake
cairan sesmakin tinggi berat jenis, bila rendah diduga
penyakit ginjal.
Protein 1 – 8 mg / dl Dapat terjadi karena diet tinggi protein dan karena
banyak gerakan ( terutama yang lama ).
Gula ( - ) Negatif / Terlihat pada penyakit renal, glukosuria terjadi setelah
0 banyak intake gula, atau DM
Ketone 0 Hasil metabolisme lemak yang tidak sempurna, kenoturia
terjadi karena kelaparan dan ketoasidosis diabetik.
Eritrosit 0-4 Cedera jaringan ginjal.
Leokosit 0–5 Infeksi saluran kemih.
Lagts / 0 Infeksi saluran ginjal, penyakit
silinder renal.

Pengkajian
§ Pola berkemih
Pada orang-orang untuk berkemih sangat individual
§ Frekuensi
Þ Frekuensi untuk berkemih tergantung kebiasaan dan kesempatan
Þ Banyak orang-orang berkemih kira-kira 70 % dari urine setiap hari pada waktu
bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada malam hari.
Þ Orang-orang biasanya berkemih : pertama kali pada waktu bangun tidur,
sebelum tidur dan berkisar waktu makan.
§ Volume
Volume urine yang dikeluarkan sangat bervariasi.
Usia Jumlah / hari
·1 Hari pertama & kedua dari kehidupan 15 – 60 ml
·2 Hari ketiga – kesepuluh dari kehidupan 100 – 300 ml
·3 Hari kesepuluh – 2 bulan kehidupan 250 – 400 ml
·4 Dua bulan – 1 tahun kehidupan 400 – 500 ml
·5 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
·6 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
·7 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
·8 8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
·9 14 tahun – dewasa 1500 ml
·10 Dewasa tua 1500 ml / kurang
Jika volume dibawah 500 ml atau diatas 300 ml dalam periode 24 jam pada
orang dewasa, maka perlu lapor.
Diagnosa Keperawatan
-Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi
dan enuresis
-0Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine
-Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria
-Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter
-Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
-Isolasi sosial berhubungan dengan inkontensi
-Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi
-Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi saluran
urinary akibat proses penyakit
-Gangguan body image berhubungan dengan pemasangan urinary diversi ostomy
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterampilan pemasangan diversi urinary
ostomy

http://ryamarya.blogspot.com/2013/03/sistem-eliminasi-urine.html

Anda mungkin juga menyukai