PEMBAHASAN
Eliminasi urine tergantung kepada fungsi ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
Semua organ sistem perkemihan harus utuh dan berfungsi dengan baik, supaya urine berhasil
di keluarkan dengan baik (Potter & Perry, 2005). Berikut diuraikan anatomi dan fisiologi
organ sistem perkemihan menurut Hidayat (2006).
a. Ginjal
Ginjal adalah organ berbentuk kacang berwarna merah tua, panjang 12,5 cm
dan tebalnya 2,5 cm. Beratnya kurang lebih 125 sampai 175 gram pada laki-laki dan
115-155 gram pada wanita. Ginjal terletak pada bagia belakang rongga abdomen
bagian atas setinggi vertebrata thorakal 11 dan 12, ginjal dilindungi oleh otot-otot
abdomen, jaringan lemak atau kapsul adiposa. Nefron merupakan unut struktural dan
fungsional ginjal. 1 ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit
pembentuk urine. Proses filtrasi, absorbsi dan sekresi dilakukan di nefron. Filtrasi
terjadi di glomerulus yang merupakan yang merupakan gulungan kapiler dan
dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsul bowman.
b. Ureter
Setelah urine terbentuk kemudian akan di alirkan ke pelvis ginjal lalu ke
bladder melalui ureter. Panjang ureter pada orang dewasa antara 26 sampai 30 cm
dengan diameter 4 sampai 6 mm. Setelah meninggalkan ginjal, ureter berjalan ke
bawah dibelakang peritoneum ke dinding bagian belakang kandung kemih. Lapisan
tengah ureter terdiri atas otot-otot yang di stimulasi oleh transmisi impuls elektrik
berasal dari saraf otonom. Akibat gerakan peristaltik ureter maka urine di dorong ke
kandung kemih.
c. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan tempat penampungan urine, terletak di dasar
panggul pada daerah retroperitoneladan terdiri atas otot-otot yang dapat mengecil.
Kandung kemih terdiri atas dua bagian fundus atau body yang merupakan otot
lingkar, tersusun dari otot detrusor danbagian leher yang berhubungan langsung
dengan uretra. Pada leher kandung kemih terdapat spinter interna. Spinter ini di
kontrol oleh sistem saraf otonom. Kandung kemih dapat menampug 300 sampai 400
ml urine.
d. Uretra
Merupakan saluran pembuangan urine yang langsung keluar dari tubuh.
Kontrol pengeluaran urine terjadi karena adanya spinter kedua yaitu spinter eksterna
yang dapat di kontrol oleh kesadaran kita. Panjang uretra wanita lebih pendek yaitu
3,7 cm sedangkan pria 20 cm. Sehingga pada wanita lebih sering beresiko terjadinya
infeksi saluran kemih.
Masalah-masalah eliminasi urine Pasien yang memiliki masalah perkemihan
paling sering mengalami gangguan dalam aktivitas berkemihnya. Gangguan ini
diakibatkan oleh kerusakan fungsi kandung kemih, adanya obstruksi pada aliran urine
yang mengalir, atau ketidakmampuan mengontrol berkemih (Potter & Perry, 2005)
sehingga muncul masalah-masalah eliminasi seperti dibawah ini (Hidayat, 2006):
a. Retensi Urine Merupakan penumpukan urine dalamm bladder dan ketidak
mampuan bladder untuk mengosongkan kandung kemih. Penyebab distensi bladder
adalah urin yang terdapat dalam bladder melebihi 400 ml. Normalnya adalah 250-450
ml.
b. Inkontinensia urine Adalah ketidakmampuan otot spinter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine.
c. Enuresis Merupakan ketidaksanggupan menahan kemih yang diakibatkan
ketidakmampuan untuk mengendalikan spinter eksterna. Biasanya terjadi pada anak-
anak atau pada orang jompo.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine Banyak faktor yang
mempengaruhi volume dan kualitas urine serta kemampuan klien untuk berkemih
(Hidayat, 2006).
a. Diet dan asupan Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang
memengaruhi output atau jumlah urine. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah
urine yang dibentuk. Selain itu, kopi juga dapat eningkatkan pembentukan urine.
b. Respons keinginan awal untuk berkemih Kebiasaan mengabaikan keinginan
awal untuk berkemih dapat menyebabakan urine banyak tertahan di vesika urinaria
sehingga memengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine.
c. Gaya hidup Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan
kebutuhan eliminasi, dalam kaitannya dengan ketersediaan fasilitas toilet.
d. Stres psikologis Meningkatnya stres dapat mengakibatkan seringnya
frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk
keinginan berkeinginan berkemih dan jumlah urine yang dihasilkan.
e. Tingkat aktivitas Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria
yang baik untuk fungsi sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan
kemampuan pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan
dengan beraktivitas.
f. Tingkat perkembangan Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat
mempengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih
memiliki kecenderungan untuk mengalami kesulitan mengontrol uang air kecil.
Namun dengan bertambahnya usia kemampuan untuk mengontrol buang air kecil
semakin meningkat.
g. Kondisi penyakit Kodisi penyakit tertentu seperti diabetes melitus, ginjal
dan lain-lain dapat memengaruhi produksi urine.
h. Sosiokultural Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi
urine, seperti adanya kultur masyarakat yang melarang buang air kecil di tempat
tertentu.
i. Kebiasaan seseorang Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet
dapat mengalami kesulitan untuk berkemih dengan melalui urinal atau pot urine bila
dalam keadaan sakit.
j. Tonus otot Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu
proses berkemih adalah kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat
berperan dalam kontaksi pengontrolan pengeluara urine.
k. Pengobatan Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan
jumlah urine. Misalnya pemberian diuretik hormon dapat menigkatkan jumlah urine
sedangkan pemberian obat antikolinergik atau antihipertensi dapat menyebabkan
retensi urine.
Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Riwayat keperawatan
a. Pola berkemih
3) Intake dan output cairan Lakukan pengkajian intake dan output cairan
dalam satu hari, kebiasaan minum di rumah dan intake, cairan infus, oral,
makanan, NGT kemudian kaji perubahan volume urine untuk mengetahui
ketidak seimbangan cairan. Lakukan pengkajian output urine dari urinal,
cateter bag, drainage, ureterostomi, sistostomi dan periksa karakteristik urine
seperti : warna, kejernihan, bau dan kepekatan.
Intervensi Rasional
b. Diagnosa Keperawatan
No Perencanaan keperawatan
Dx
Dx1 Tujuan
1.Membantu mencegah distensi atau komplikasi
Kriteria hasil:
1. Pasien berkemih dengan jumlah normal dan pola yang normal.
2. Pasien tidak mengalami tanda obstruksi
Rencana Tindakan Rasional
No Perencanaan Keperawatan
Dx
Dx Tujuan :
2
1. Pasien dapat mengontrol nyeri dengan relaksasai.
Kriteria hasil:
1. Pasien tampak rileks dan tidur tepat.
Rencana Tindakan Rasional
Perencanaan tindakan keperawatan dengan diagnosa resiko cedera pada pasien berhubungan
dengan penurunan fungsi fisiologis yaitu penurunan kekuatan otot tungkai bawah ditandai
dengan pasien tidak pakai kateter, pispot melainkan ke toilet.
No Perencanaan Keperawatan
Dx
Dx3 Tujuan:
Kriteria hasil:
4. Menganjurkan untuk
pemasangan kateter atau
menggunakan pispot.
Untuk diagnosa pertama yaitu gangguan pola eliminasi, tindakan yang dilakukan
adalah memonitor keadaan bladder tiap dua sampai tiga jam, menjelaskan kepada pasien
tentang gangguan pola eliminasi yang dialami pasien terkait penyakit pasien, menganjurkan
pasien untuk banyak minum air putih, menganjurkan pasien untuk mengurangi konsumsi
minuman kemasan berasa dan berwarna, menganjurkan pasien untuk menggunakan kateter
atau pispot untuk BAK. Setelah di evaluasi selama perawatan masalah untuk diagnosa
pertama belum teratasi, pasien masih BAK lebih dari 20 kali dalam 24 jam, pasien tidak mau
menggunakan kateter atau pispot, pasien sudah mengurangi konsumsi minuman berwarna
dan berasa.
Untuk diagnosa kedua nyeri, tindakan yang dilakukan adalah mengkaji skala nyeri,
mengkaji vital sign, menjelaskan kepada pasien penyebab nyeri yang dialami pasien,
mengajarkan relaksasi nafas dalam dan distraksi untuk mengurangi rasa nyeri dan kolaborasi
utuk mengurangi rasa nyeri. Dari tindakan yang dilakukan masalah teratasi sebagian, dapat
dilihat ketika pasien merasa nyeri pasien dapat melakukan relaksasi nafas dalam dan distraksi
tanpa harus di dampingi perawat.
Untuk diagnosa ketiga yaitu resiko cedera, tindakan yang dilakukan pasien adalah
menjelaskan kepada pasien tentang penurunan fungsi ekstremitas bawah, menganjurkan
pasien menggunakan kateter atau pispot, pasien tetap tidak mau menggunakan pispot atau
kateter, saat BAK pasien ke toilet dengan bantuan istri yang juga sudah tua, terkadang di
bantu cucu yang menjaga pasien. Resiko cedera teratasi sebagian dengan adanya bantuan
keluarga untuk toileting.