Oleh
Suryahadi, T. Toharmat dan Despal2
Tahun 2007, harga susu dunia mencatat puncak tertinggi dalam sejarah ($58/100
kg). Pada bulan Oktober 2008, walaupun harga sudah turun 40%, namun susu menjadi
komoditas pertanian paling volatile (Hemme, 2008). Mengikuti pasar global, IPS
Indonesia berupaya menurunkan harga susu dari peternak yang sudah sangat kesulitan
untuk menutupi biaya produksinya.
Meskipun harga susu dunia tahun 2007 mencapi puncaknya, produksi susu
nasional tidak banyak berubah dan hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan dalam
negeri. Populasi dan produktivitas ternak yang rendah diduga menjadi penyebab hal
tersebut. Selama 4 tahun terakhir, populasi sapi perah yang merupakan penghasil susu
utama hanya tumbuh < 0.7%/tahun (Deptan, 2009). Sedangkan rata-rata produktivitas
sapi FH yang digunakan di Indonesia (10 - 12 kg/ekor/hari) jauh dibawah rataan produksi
FH yang dilaporkan Miron et al. (2007) yaitu sebesar 41 kg/ekor/hari.
Beberapa kendala dalam pengembangan populasi dan produktivitas sapi perah di
Indonesia sudah lama diketahui. Kendala tersebut baru sebagian kecil yang dapat
terselesaikan secara nasional. Meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan,
namun belum sepenuhnya dapat diterapkan dan menjangkau akar permasalahan
tersebut karena kurangnya sinergisme dan aksi nyata didalam penyelesaian
permasalahan tersebut. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1) Kondisi iklim yang panas menyebabkan performa, produksi dan reproduksi sapi
perah mengalami gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung
karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989).
2) Peternakan sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa yang didiami > 60% penduduk
Indonesia (Atmadilaga, 1989) menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi
sangat tinggi. Tidak tersedia lahan yang cukup untuk menanam hijauan. Persyaratan
kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim
sejuk), memperburuk kondisi tersebut dimana lahan-lahan tersebut merupakan
1
Disampaikan pada diskusi “Kebijakan Harga Susu, White Revolution, dan Kesejahteraan Peternak“, Bogor, 1
Juni 2009.
2
Staf Pengajar Fakultas Peternakan, IPB
1
favorit orang-orang berduit untuk menghabiskan waktu luang sambil menatap
hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. Belum tersedia kelembagaan
yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan secara efisien dan
berkesinambungan.
3) Skala produksi yang rendah (3 – 4 ekor) (Suryahadi et al., 2007) menyebabkan
income per household dari sapi perah belum dapat dijadikan sebagai sumber
pendapatan utama yang layak bagi peternak.
4) Lack of capital and technology (Atmadilaga, 1989) menyebabkan peternak kurang
mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf optimum. Bahkan
minimum maintenance sering kali terpaksa dilewatkan oleh peternak seperti
pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak terutama untuk ternak-ternak yang tidak
mendatangkan cash income (Suryahadi et al., 2007). Hal ini merupakan salah satu
sebab mengapa breeding stock (replacement stock) kurang berjalan dengan baik
pada tingkat peternak. Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia
belum dapat dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan
peternak.
5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran.
Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat,
penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas produksi),
penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita
paling awal dan banyak).
6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia
(McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada
tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi,
perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua
stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena
belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari
institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal
digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia.
Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal,
sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali
berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar
jangkauan peternak.
7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.
Membiarkan peternak kecil bersaing bebas dalam perekonomian menghadapi
2
industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen
dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional
8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian
besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia
lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi
buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak
dipertimbangkan.
3
suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang
ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan
yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi
seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan
untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat
perhatian yang lebih seksama.
3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah
membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan
setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang
per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan
makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan
kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi
perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.
4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja
yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan
baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada
tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk
menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.
5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah.
Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan,
peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu
usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling
kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam
akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan
modal.
6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap
segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran
waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan
meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting
sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit
merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.
7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari
rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah
tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga
menyediakan pelayanan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan bantuan
4
melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya
pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.
8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari
pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS
(dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area
pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan
bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.
9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus
berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari
pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha
yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase
ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan
terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang kadang-
kadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.
10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini.
Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana
biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan
sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.
Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk
kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat
sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput,
hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam
rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam
pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada
lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut
berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan
sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.
Konsep akademik dijadikan dasar untuk penyusunan model bisnis yang berisi
interaksi antara pelaku dan peranan yang dilakukannya. Model ini bersifat general agar
mudah direplikasi sesuai lokasi dan komoditi yang akan dikembangkan. Contoh model
bisnis yang pernah dikembangkan di daerah Ciater terlihat pada Gambar 1.
Model bisnis pengembangan sapi perah di Ciater memuat pelaku-pelaku antara
lain peternak sebagai pusat sekaligus pelaku utama, Pemda, Koperasi Produksi Susu,
5
Industri Pengolahan Susy, Perbankan, Perguruan Tinggi/Litbang yang melakukan
kerjasama secara sinergi untuk mendukung peternak dalam mengembangkan usahanya.
Regulasi/akselerasi
Pemda
Kebijakan
Susu segar
Penguatan KPSBU bermutu
Modal BRI
Kredit Peternak
Welfare Pembinaan
usaha
Kesejahteraan
Pendampingan Quality
control dan
harga
PT/ DANONE
Pemanfaatan Pembinaan
Litbang Pasar dan
IPTEK
mutu susu
6
Perbaikan jalan akan membantu peternak karena harga yang diterima peternak akan
ditentukan dari kualitas yang diterima IPS. Melalui Dinas Peternakan Kabupaten
Subang, pembinaan terhadap peternak dan bantuan fasilitas secara sinergis untuk
peternak juga akan mempercepat pengembangan wilayah Ciater.
Koperasi Produksi Susu dalam hal ini sebagai badan pembina pengembangan
usaha peternak akan melakukan investasi usaha untuk pengembangan sapi perah di
Ciater seperti pengembangan usaha pembuatan konsentrat, pengelolaan HMT, bibit
sapi, sarana produksi ternak lainnya. Investasi usaha yang dilakukan disertai dengan
sarana penunjang pelayanan seperti pelayanan Inseminasi, kesehatan ternak, cooling
unit, transportasi dan lainnya.
IPS (Industri Pengolahan Susu) bekerja sama dengan berbagai pihak untuk
menjamin kelancaran suplai susu dari peternak. Disamping melakukan pembelian susu,
IPS juga melakukan pembinaan kepada peternak bekerjasama dengan PT dan Badan
Litbang serta investasi fasilitas seperti cooling unit. Akselerasi pengucuran kredit juga
dilakukan dengan melakukan investasi pada Perbankan terlebih dahulu.
Performance Indicator
7
ideal tersebut. Performance indicator untuk pengembangan sapi perah dapat dijabarkan
seperti pada Tabel 1.
9
9. Melaksanakan sinergi dengan pelaku bisnis di tingkat peternak. Misalnya
kerjasama pelaku (pedagang pengumpul pedet dan peternak dalam program calf
rearing)
Penutup
Keberhasilan pengembangan sapi perah berkelanjutan dicapai dengan 1)
peningkatan kemandirian peternak berproduksi, penyediaan bibit, penyediaan pakan, 2)
adanya sinergisme antar stakeholder dalam pengembangan sapi perah dengan
mengacu performance indicators yang disepakati bersama 3) penguatan modal, 4)
penguatan kapasitas SDM dan institusi lokal seperti koperasi, 5) penilaian produktivitas
peternakan sapi perah haruslah dinilai sampai pada manfaatnya bagi
pendapatan/kesejahteraan peternak, 6) peningkatan dan penstabilan harga jual susu di
tingkat peternak yang cukup adil dan memberi manfaat secara signifikan bagi peternak,
7) Penjajagan dan peningkatan pemanfaatan dana hibah, CSR serta dana bantuan
lainnya dan 8) peningkatan keberpihakan pemerintah terhadap peternak, 9) peningkatan
relevansi penelitian dan daya serap hasil penelitian secara nasional dan 10) peningkatan
ketersediaan informasi real untuk ketepatan model pengembangan sapi perah di
Indonesia.
Daftar Pustaka
10