Anda di halaman 1dari 10

PENGEMBANGAN SAPI PERAH DI INDONESIA 1

Oleh
Suryahadi, T. Toharmat dan Despal2

Permasalahan Sapi Perah di Indonesia

Tahun 2007, harga susu dunia mencatat puncak tertinggi dalam sejarah ($58/100
kg). Pada bulan Oktober 2008, walaupun harga sudah turun 40%, namun susu menjadi
komoditas pertanian paling volatile (Hemme, 2008). Mengikuti pasar global, IPS
Indonesia berupaya menurunkan harga susu dari peternak yang sudah sangat kesulitan
untuk menutupi biaya produksinya.
Meskipun harga susu dunia tahun 2007 mencapi puncaknya, produksi susu
nasional tidak banyak berubah dan hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan dalam
negeri. Populasi dan produktivitas ternak yang rendah diduga menjadi penyebab hal
tersebut. Selama 4 tahun terakhir, populasi sapi perah yang merupakan penghasil susu
utama hanya tumbuh < 0.7%/tahun (Deptan, 2009). Sedangkan rata-rata produktivitas
sapi FH yang digunakan di Indonesia (10 - 12 kg/ekor/hari) jauh dibawah rataan produksi
FH yang dilaporkan Miron et al. (2007) yaitu sebesar 41 kg/ekor/hari.
Beberapa kendala dalam pengembangan populasi dan produktivitas sapi perah di
Indonesia sudah lama diketahui. Kendala tersebut baru sebagian kecil yang dapat
terselesaikan secara nasional. Meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan,
namun belum sepenuhnya dapat diterapkan dan menjangkau akar permasalahan
tersebut karena kurangnya sinergisme dan aksi nyata didalam penyelesaian
permasalahan tersebut. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1) Kondisi iklim yang panas menyebabkan performa, produksi dan reproduksi sapi
perah mengalami gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung
karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989).
2) Peternakan sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa yang didiami > 60% penduduk
Indonesia (Atmadilaga, 1989) menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi
sangat tinggi. Tidak tersedia lahan yang cukup untuk menanam hijauan. Persyaratan
kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim
sejuk), memperburuk kondisi tersebut dimana lahan-lahan tersebut merupakan

1
Disampaikan pada diskusi “Kebijakan Harga Susu, White Revolution, dan Kesejahteraan Peternak“, Bogor, 1
Juni 2009.
2
Staf Pengajar Fakultas Peternakan, IPB

1
favorit orang-orang berduit untuk menghabiskan waktu luang sambil menatap
hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. Belum tersedia kelembagaan
yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan secara efisien dan
berkesinambungan.
3) Skala produksi yang rendah (3 – 4 ekor) (Suryahadi et al., 2007) menyebabkan
income per household dari sapi perah belum dapat dijadikan sebagai sumber
pendapatan utama yang layak bagi peternak.
4) Lack of capital and technology (Atmadilaga, 1989) menyebabkan peternak kurang
mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf optimum. Bahkan
minimum maintenance sering kali terpaksa dilewatkan oleh peternak seperti
pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak terutama untuk ternak-ternak yang tidak
mendatangkan cash income (Suryahadi et al., 2007). Hal ini merupakan salah satu
sebab mengapa breeding stock (replacement stock) kurang berjalan dengan baik
pada tingkat peternak. Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia
belum dapat dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan
peternak.
5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran.
Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat,
penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas produksi),
penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita
paling awal dan banyak).
6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia
(McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada
tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi,
perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua
stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena
belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari
institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal
digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia.
Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal,
sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali
berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar
jangkauan peternak.
7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.
Membiarkan peternak kecil bersaing bebas dalam perekonomian menghadapi

2
industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen
dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional
8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian
besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia
lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi
buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak
dipertimbangkan.

Beranjak dari permasalahan tersebut, tujuan pengembangan peternakan sapi


perah hendaknya diarahkan untuk food security, proverty alleviation, pemenuhan
kebutuhan domestik, meningkatkan income peternak dan pemeliharaan kelestarian
lingkungan. Dengan memajukan integrasi fungsi ekonomi, sosio-kultural dan
sustainabilitas serta kelestarian lingkungan, diharapkan peternakan sapi perah lebih
mendapat tempat dalam prioritas pembangunan nasional.
Untuk membantu pemecahan masalah tersebut diatas dan pencapaian tujuan
dimaksud, perlu dikembangkan dan disepakati 1) model peternakan sapi perah
berkelanjutan, 2) model bisnis kemitraan pengembangan sapi perah 3) performa kunci
yang harus dicapai dan 4) best practices dan contoh kongkrit

Model Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan


Secara konseptual dan atas dasar perkembangan peternakan sapi perah akhir-akhir
ini, maka perlu pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan yang memenuhi
unsur/faktor-faktor keberlanjutan sebagai berikut :
1) Ketersediaan bibit berkualitas: Di Indonesia, Frisien Holstein sudah beradaptasi
dengan kondisi lokal dan sudah lama digunakan sebagai sumber bibit untuk
pengembangan sapi perah di Indonesia. Walaupun performa FH tidak sebaik di
daerah asalnya, namun sapi FH sudah menunjukkan ketahanan terhadap kondisi
lokal dibandingkan dengan bangsa sapi perah unggul lainnya. Karena itu, bangsa FH
sudah dipilih sebagai bibit untuk banyak proyek pengembangan sapi perah di
Indonesia. Selama 20 tahun terakhir, kualitas bibit FH di Indonesia belum banyak
menunjukkan perbaikan meski IB dengan bibit unggul sudah diterapkan.
2) Ketersediaan lahan: Ketersediaan lahan subur untuk penyediaan rumput dan legum
untuk sapi perah sangat penting karena >50% dari kebutuhan sapi perah harus
dipenuhi dari HMT atau pakan sumber serat lainnya. Untuk mempertahankan
produksi susu yang berkualitas tinggi dalam waktu lama, ketersediaan HMT menjadi
faktor pembatas utama pengembangan sapi perah di Indonesia. Kapasitas tampung

3
suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang
ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan
yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi
seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan
untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat
perhatian yang lebih seksama.
3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah
membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan
setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang
per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan
makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan
kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi
perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.
4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja
yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan
baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada
tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk
menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.
5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah.
Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan,
peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu
usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling
kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam
akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan
modal.
6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap
segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran
waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan
meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting
sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit
merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.
7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari
rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah
tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga
menyediakan pelayanan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan dan bantuan

4
melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya
pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.
8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari
pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS
(dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area
pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan
bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.
9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus
berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari
pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha
yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase
ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan
terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang kadang-
kadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.
10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini.
Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana
biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan
sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.
Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk
kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat
sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput,
hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam
rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam
pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada
lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut
berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan
sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.

Model Bisnis Kemitraan Pengembangan Sapi Perah

Konsep akademik dijadikan dasar untuk penyusunan model bisnis yang berisi
interaksi antara pelaku dan peranan yang dilakukannya. Model ini bersifat general agar
mudah direplikasi sesuai lokasi dan komoditi yang akan dikembangkan. Contoh model
bisnis yang pernah dikembangkan di daerah Ciater terlihat pada Gambar 1.
Model bisnis pengembangan sapi perah di Ciater memuat pelaku-pelaku antara
lain peternak sebagai pusat sekaligus pelaku utama, Pemda, Koperasi Produksi Susu,

5
Industri Pengolahan Susy, Perbankan, Perguruan Tinggi/Litbang yang melakukan
kerjasama secara sinergi untuk mendukung peternak dalam mengembangkan usahanya.

Regulasi/akselerasi

Pemda

Kebijakan
Susu segar
Penguatan KPSBU bermutu
Modal BRI

Kredit Peternak
Welfare Pembinaan
usaha
Kesejahteraan

Pendampingan Quality
control dan
harga
PT/ DANONE
Pemanfaatan Pembinaan
Litbang Pasar dan
IPTEK
mutu susu

Gambar 1. Model Bisnis Pengembangan Sapi Perah di Ciater, Kabupaten Subang

Peternak sebagai pelaku utama, adalah penentu utama dari keberhasilan


usahanya. Keterbukaan peternak terhadap masukan dari berbagai pihak serta ketaatan
pada komitmen untuk menjaga mutu sesuai dengan permintaan pasar akan sangat
menentukan keberlanjutan usaha. Ketaatan peternak untuk melaksanakan kewajibannya
dalam pengembalian pinjaman bank juga menentukan program pengembangan sapi
perah di daerah Ciater untuk tahap selanjutnya.

Pemerintah Daerah memiliki peranan dalam penetapan kebijakannya untuk


perlindungan terhadap pengusahaan lahan oleh peternak serta perlindungan terhadap
peruntukan kawasan tersebut sebagai kawasan pengembangan peternakan sapi perah.
Dukungan sarana transportasi dalam bentuk perluasan dan perbaikan jalan juga sangat
diperlukan dalam pengembangan sapi perah di wilayah ini. Karena kualitas susu yang
dihasilkan peternak akan sangat tergantung dari lamanya susu sampai ke IPS.

6
Perbaikan jalan akan membantu peternak karena harga yang diterima peternak akan
ditentukan dari kualitas yang diterima IPS. Melalui Dinas Peternakan Kabupaten
Subang, pembinaan terhadap peternak dan bantuan fasilitas secara sinergis untuk
peternak juga akan mempercepat pengembangan wilayah Ciater.

Koperasi Produksi Susu dalam hal ini sebagai badan pembina pengembangan
usaha peternak akan melakukan investasi usaha untuk pengembangan sapi perah di
Ciater seperti pengembangan usaha pembuatan konsentrat, pengelolaan HMT, bibit
sapi, sarana produksi ternak lainnya. Investasi usaha yang dilakukan disertai dengan
sarana penunjang pelayanan seperti pelayanan Inseminasi, kesehatan ternak, cooling
unit, transportasi dan lainnya.

Perbankan melakukan penguatan modal peternak baik berupa modal kerja


dalam bentuk kredit sapi potong maupun modal investasi pengembangan usaha dalam
bentuk lahan, pembangunan kandang dan sarana produksi ternak lainnya. Pemilihan
calon debitur yang layak dan pola kredit yang dikucurkan berkerja sama dengan
Koperasi dan atas masukan dari perguruan tinggi akan sangat menentukan
kelangsungan pengembalian kredit oleh peternak. Kesiapan BRI dalam pengucuran
kredit secara bertahap akan menentukan kelancaran pengembangan usaha sapi perah
di Ciater.

IPS (Industri Pengolahan Susu) bekerja sama dengan berbagai pihak untuk
menjamin kelancaran suplai susu dari peternak. Disamping melakukan pembelian susu,
IPS juga melakukan pembinaan kepada peternak bekerjasama dengan PT dan Badan
Litbang serta investasi fasilitas seperti cooling unit. Akselerasi pengucuran kredit juga
dilakukan dengan melakukan investasi pada Perbankan terlebih dahulu.

Perguruan Tinggi/Badan Litbang mengambil peran sebagai pendamping bagi


berbagai stakeholder. PT/Badan Litbang melakukan peningkatan kemampuan peternak
baik menyangkut aspek hulu, budidaya maupun aspek hilir atau sosio-ekonomik.
PT/Badan Litbang lebih pada penekanan peran sebagai nara sumber atau sumber
inovasi teknologi.

Performance Indicator

Untuk dapat mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu konsep, maka


selayaknya konsep tersebut disertai dengan suatu indikator yang berisi kondisi ideal
(performance indicator) yang ingin dicapai pada akhir pelaksanaan program. Capaian-
capaian yang didapat dalam setiap tahapan akan diukur sebagai persentase dari kondisi

7
ideal tersebut. Performance indicator untuk pengembangan sapi perah dapat dijabarkan
seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator Performa Pengembangan Sapi Perah


No. Indikator Nilai Indikator
1. Persentase ternak laktasi, % 70-80%
2. Jumlah populasi, ST/peternak > 10 ST/peternak
3. Produksi susu, l/ekor/hari > 14 l/ekor/hari
4. S/C Ratio <2
5. Periode laktasi 300 hari
6. Kandungan Protein 3,2%
7. Total Solid > 12%
8. Rasio harga susu/konsentrat >2
9. Replacement stock Dilaksanakan secara mandiri
10. Suplai konsentrat berkualitas tinggi Kontinyu dengan kualitas prima
11. Pengontrolan harga susu, sapi, anak, Harga dapat meminimisasi biaya
pakan,
12. TPC, komposisi susu, dan higienis susu Memenuhi standar/normal

Best Practices dalam Pengembangan Sapi Perah

Beberapa contoh keberhasilan dan langkah konkrit pengembangan sapi perah di


Indonesia yang dapat diinventarisisr antara lain:
1. GERIMISBAGUS (Gerakan Minum Susu bagi Anak Usia Sekolah). Suatu
program kerjasama kopersai, pemda dan Perguruan Tinggi dalam meningkatkan
konsumsi susu segar dikalangan siswa di kabupaten Sukabumi.
2. Introduksi Peternakan Sapi Perah pada areal reklamasi lahan Tambang
sebagaimana yang di perlihatkan di areal tambang di Bangka Belitung.
Kebutuhan Susu segar disana meningkat untuk pekerja tambang, demikian pula
penyuburan kembali sangat dipercepat dengan keberadaan ternak (sapi perah).
3. Aktualisasi pembuatan pakan berbasis potensi lokal dan penyimpanan atau
pengawetan. Pemanfaatan lahan marjinal, lahan sekitar perkebunan maupun
kehutanan sudah banyak diterapkan peternak untuk penyediaan hijauan. Bila hal
ini direplikasi dan juga mendapat dukungan Pemerintah, maka akan sangat
memacu perkembangan sapi perah di tanah air.
4. Penggunaan ransum komplit baik dalam bentuk pellet maupun silase. Teknologi
pakan komplit telah dikembangkan untuk mengatasi masalah transportasi pakan
8
dari wilayah produsen pakan ke wilayah sentra-sentra sapi perah, yang pada
umumnya berjarak cukup jauh dari pabrik pakan. Selain itu, pakan komplit dapat
diandalkan dalam upaya meningkatkan umur simpan pakan. Pakan komplit
umumnya diformulasikan secara Least Cost Balanced Ration dengan
memaksimalkan potensi pakan lokal yang tersedia, sehingga manfaat biologis
dan ekonomisnya dapat mudah terlihat langsung oleh peternak dan dapat
diproduksi secara berkesinambungan.
5. Penggunaan pakan suplemen yang bersifat komplementer. Misalnya komponen
serat yang bulk disediakan secara lokal, kekurangan nutrien disuplai dari aditif
atau suplemen. Suplementasi untuk di Indonesia dapat dipandang sebagai
langkah yang strategis, mengingat : (1) mudah dilakukan, (2) suplemen dapat
diformulasikan secara tepat, (3) dilaporkan dari banyak penelitian, mampu
meningkatkan pendapatan peternak. Program suplementasi akan meningkat
efektivitasnya, bila dilakukan Mapping tentang Status Nutrisi Ternak di berbagai
wilayah. Ada hal-hal yang berlaku secara general, namun hal-hal yang bersifat
spesifik lokasi perlu mendapat perhatian pula.
6. Pendeteksian dini dan pencegahan mastitis dan brucelosis. Peluang peningkatan
produksi dan kualitas susu peternakan sapi perah sangat besar, bila kedua
penyakit tersebut dapat ditangani/dikontrol. Pembelajaran peternak, tersedianya
sistem kontrol kedua penyakit tersebut dan tersedianya penyuluh-penyuluh di
tingkat lapang merupakan program yang tepat bagi kontrol kedua penyakit
tersebut.
7. Pengembangan village breeding centre. Pada dasarnya Ilmu Beternak adalah
bagaimana mengembang biakkan ternak secara baik menuju peningkatan
produktivitas. Dalam hal ini, program replacement stock pada usaha peternakan
menjadi program kunci. Pengadaan bibit unggul secara berkesinambungan yang
dihasilkan oleh peternak, akan lebih baik dari pada mendatangkan bibit (bibit
yang sudah besar/bibit bunting tua) dari luar. Upaya calf rearing (perbibitan dari
pedet) pada beberapa sentra produksi sudah berjalan. Program seperti ini perlu
dibina dan diarahkan dan bagi yang sudah berhasil dapat direplikasi ke daerah
lain.
8. Bantuan kredit langsung untuk peternak dengan scheme khusus (bantuan kredit
bergulir). Suku bunga dan tatacara pembayaran kredit, seyogyanya disesuaikan
dengan karakteristtk produksi dan kemampuan peternak.

9
9. Melaksanakan sinergi dengan pelaku bisnis di tingkat peternak. Misalnya
kerjasama pelaku (pedagang pengumpul pedet dan peternak dalam program calf
rearing)

Penutup
Keberhasilan pengembangan sapi perah berkelanjutan dicapai dengan 1)
peningkatan kemandirian peternak berproduksi, penyediaan bibit, penyediaan pakan, 2)
adanya sinergisme antar stakeholder dalam pengembangan sapi perah dengan
mengacu performance indicators yang disepakati bersama 3) penguatan modal, 4)
penguatan kapasitas SDM dan institusi lokal seperti koperasi, 5) penilaian produktivitas
peternakan sapi perah haruslah dinilai sampai pada manfaatnya bagi
pendapatan/kesejahteraan peternak, 6) peningkatan dan penstabilan harga jual susu di
tingkat peternak yang cukup adil dan memberi manfaat secara signifikan bagi peternak,
7) Penjajagan dan peningkatan pemanfaatan dana hibah, CSR serta dana bantuan
lainnya dan 8) peningkatan keberpihakan pemerintah terhadap peternak, 9) peningkatan
relevansi penelitian dan daya serap hasil penelitian secara nasional dan 10) peningkatan
ketersediaan informasi real untuk ketepatan model pengembangan sapi perah di
Indonesia.

Daftar Pustaka

Atmadilaga, D. 1989. Dairy industry system in Indonesia. Proceeding International


Seminar on Holstein Friesian” Dairying in Tropical Environments”. Bandung, 22 –
25 May 1989.
Deptan. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http://www.deptan.go.id/tampil.php? page=
inf_basisdata [Download: 17 Februari 2009].
Hemme, T. 2008. IFCN Dairy report 2008. http://www.ifcnnetwork.org/DR08_PR_30.10.
pdf [Download: 17 Februari 2009]
McDowell, R.E. 1989. Environmental and genetics influencing performance in Holsteins
in Warm Climates.
Miron, J., E. Zuckerman, G. Adin, R. Solomon. E. Shoshani., M. Nikbachat, E. Yosef., A.
Zenou, Z. G. Weinberg., Y. Chen., I. Halachmi and D. B. Ghedalia. 2007.
Comparison of two forage sorghum varieties with corn and the effect of feeding
their silages on eating behaviour and lactation performance of dairy cows. Anim.
Feed Sci. Technol. 139: 23 – 39.
Suryahadi, B.P. Purwanto, I.G. Permana dan Despal. 2007. Development of dairy cattle
in Ciater, Subang Regency. Final Report. IPB Research and Community
Empowerment Centre, Bogor. Proceeding International Seminar on Holstein
Friesian” Dairying in Tropical Environments”. Bandung, 22 – 25 May 1989.

10

Anda mungkin juga menyukai