Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan skizoafektif adalah kelainan mental yang rancu yang ditandai dengan
adanya gejala kombinasi antara gejala skizofrenia dan gejala gangguan afektif. Penyebab
gangguan skizoafektif tidak diketahui, tetapi empat model konseptual telah dikembangkan.
Gangguan dapat berupa tipe skizofrenia atau tipe gangguan mood. Gangguan skizoafektif
mungkin merupakan tipe psikosis ketiga yang berbeda, yang bukan merupakan gangguan
skizofrenia maupun gangguan mood. Keempat dan yang paling mungkin, bahwa gangguan
skizoafektif adalah kelompok heterogen gangguan yang menetap ketiga kemungkinan
pertama.
Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala gangguan
mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit yang sama, baik
secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. Bila gejala skizofrenik dan
manik menonjol pada episode penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif
tipe manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi, perubahan dalam
berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik itu
manik maupun depresif.
Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif berdasarkan DSM-IV-TR, merupakan suatu
produk beberapa revisi yang mencoba mengklarifikasi beberapa diagnosis, dan untuk
memastikan bahwa diagnosis memenuhi kriteria baik episode manik maupun depresif dan
menentukan lama setiap episode secara tepat.
Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik, pemeriksaan medis lengkap harus
dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik. Semua kondisi yang dituliskan di dalam
diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood perlu dipertimbangkan. Sebagai suatu
kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis di pertengahan antara
prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien dengan gangguan mood. Sebagai
suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada pasien dengan gangguan depresif maupun gangguan bipolar, tetapi memiliki
prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia.

1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas Kepanitraan Klinik di RSJ Prof HB Saanin Padang
1.2.2 Tujuan Khusus
 mengetahui gangguan skizoafektif
 mengetahui gangguan skizofrenia secara umum
 mengetahui gangguan afektif secara umum
 mengetahui terapi yang diberikan pada gangguan skizoafektif

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizoafektif
2.1.1. Definisi
Gangguan Skizoafektif mempunyai gambaran baik skizofrenia maupun gangguan
afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas skizofrenia yang jelas dan pada saat
bersamaan juga memiliki gejala gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif
terbagi dua yaitu, tipe manik dan tipe depresif.

2.1.2. Sejarah
Di tahun 1913 George H. Kirby dan pada tahun 1921 August Hoch keduanya
menggambarkan pasien dengan ciri campuran skizofrenia dan gangguan afektif (mood).
Karena pasiennya tidak mengalami perjalanan demensia prekoks yang memburuk, Kirby dan
Hoch mengklasifikasikan mereka di dalam kelompok psikosis manic-depresif Emil
Kraepelin. Di tahun 1933 Jacob Kasanin memperkenalkan istilah “gangguan skizoafektif”
untuk suatu gangguan dengan gejala skizofrenik dan gejala gangguan mood yang bermakna.
Pasien dengan gangguan ini juga ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba, sering kali pada
masa remajanya. Pasien cenderung memiliki tingkat fungsi premorbid yang baik, dan
seringkali suatu stressor yang spesifik mendahului onset gejala. Riwayat keluarga pasien
sering kali terdapat suatu gangguan mood. Kasanin percaya bahwa pasien memiliki suatu
jenis skizofrenia. Dari 1933 sampai kira-kira tahun 1970, pasien yang gejalanya mirip dengan
gejala pasien-pasien Kasanin secara bervariasi diklarifikasi menderita gangguan skizoafektif,
skizofrenia atipikal, skizofrenia dalam remisi, dan psikosis sikloid.

2.1.3. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang dari 1 persen,
kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Namun, angka tersebut adalah angka
perkiraan, karena di dalam praktik klinis diagnosis gangguan skizoafektif sering kali
digunakan jika klinisi tidak yakin akan diagnosis. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih
rendah pada laki-laki dibandingkan para wanita; khususnya wanita yang menikah; usia onset
untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki seperti juga pada skizofrenia.

3
Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial dan
memiliki pendataran atau ketidaksesuaian afek yang nyata. National Comorbidity Study
menyatakan 66 orang dengan diagnosa skizofreniaa, 81% pernah didiagnosa skizofrenia, 81%
pernah didiagnosa gangguan afektif yang terdiri dari 59% depresi dan 22% gangguan bipolar.

2.1.4. Etiologi
Sulit untuk menentukan penyebab penyakit yang telah berubah begitu banyak dari
waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa penyebab gangguan skizoafektif mungkin mirip
dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu teori etiologi mengenai gangguan skizoafektif
juga mencakup kausa genetik dan lingkungan.
Penyebab gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui, tetapi empat model
konseptual telah diajukan.
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu tipe
gangguan mood.
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari skizofrenia
dan gangguan mood.
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang berbeda,
tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu gangguan mood.
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok
gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan pertama. Sebagian
besar penelitian telah menganggap pasien dengan gangguan skizoafektif sebagai suatu
kelompok heterogen.

2.1.5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya skizoafektif belum diketahui apakah merupakan suatu patologi
yang terpisah dari skizofrenia dan gangguan mood atau merupakan gabungan dari keduanya
yang terjadi secara bersamaan. Jika merujuk pada keyakinan kedua, maka telah diketahui
neurobiologi baik fungsional ataupun struktural yang terlibat dalam gangguan ini.
Neurobiologi fungsional yang mendasari gejala psikotik cukup beragam seperti yang
ditunjuk pada tabel 1. Secara sederhana disimpulkan bahwa gejala psikotik muncul dari
gangguan pada sistem dopamin, serotonin, glutamat, metabolisme otak, dan lain-lain.
Kelebihan dopamin atau peningkatan sensivitas reseptor D2 menjadi penyebab gejala psikotik
positif. Serotonin dikaitkan dengan gejala positif dan negatif terlihat penurunan aktivitas
glutamat di beberapa regio otak pada pasien skizofrenia, kelainan pada sistem glutamat

4
dikaitkan dengan gejala hiperaktivits, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas. Gejala negatif
terutama dikaitkan dengan aktivitas norepinefrin yang menurun.
Tabel 1. Abnormalitas fungsi otak pada skizofrenia

Kelainan struktural yang diidentifikasi pada skizofrenia sebagian besar berupa


penurunan volume tau bentuk degenerasi yang bervariasi pada berbagai regio otak (gambar 1
yang masing-masing akan menimbulkan gejala yang khas.

2.1.6. Manifestasi Klinis


Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala gangguan
mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit yang sama, baik
secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. Bila gejala skizofrenik dan
5
manik menonjol pada episode penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif
tipe manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi, perubahan dalam
berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik itu
manik maupun depresif.
1. Depresi
 nafsu makan yang berkurang
 penguranganberat badan
 perubahan dari pola tidur (sedikitatau banyk tidur)
 agitasi
 merasa tidak ada semangat
 kehilangan rasa untuk melkukan jebiasaan sehari-hari
 merasa tidak ada harapan
 selalu merasa bersalah
 tidak dapat berkonsentrasi
 mempunyai pikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri
2. Mania
 peningkatan aktivitas
 bicara cepat
 pikiran yang meloncat-loncat
 sedikit tidur
 agitasi
 percaya diri yangmeningkat
 mudah teralihkan
3. Skizofrenia
Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
(PPDGJ-III):3 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

6
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi pikirannya
tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus ada secara jelas.
e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.

7
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal). Harus ada suatu
perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan
beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude) dan penarikan diri secara sosial.

2.1.7. Diagnosis
Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik skizofrenia maupun
gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif
mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam kriteria diagnostik untuk kedua kondisi
lain.
Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1) adalah bahwa pasien
telah memenuhi kriteria diagnostik untuk episode depresif berat atau episode manik yang
bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostik untuk fase aktif dari skizofrenia.
Disamping itu, pasien harus memiliki waham atau halusinasi selama sekurangnya dua
minggu tanpa adanya gejala gangguan mood yang menonjol. Gejala gangguan mood juga
harus ditemukan untuk sebagian besar periode psikotik aktif dan residual. Pada intinya,
kriteria dituliskan untuk membantu klinisi menghindari mendiagnosis suatu gangguan mood
dengan ciri psikotik sebagai suatu gangguan skizoafektif.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)


Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif
A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode campuran
dengan
gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.
Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi.
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood ditemukan untuk sebagian
bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit.
D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

8
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau
suatu manik
suatu episode campuran dan episode depresif berat)
Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.
Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ed. 4.

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita


gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif, tipe depresif. Seorang pasien
diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe manik atau
suatu episode campuran dan episode depresif berat. Selain itu, pasien diklasifikasikan
menderita tipe depresif.
Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah karena cukup
sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-kondisi lain dengan
gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau membentuk sebagian penyakit
skizofrenik yang sudah ada, atau di mana gejala-gejala itu berada bersama-sama atau secara
bergantian dengan gangguan-gangguan waham menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam
kategori yang sesuai dalam F20-F29. Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana
perasaan (mood) pada gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis
gangguan skizoafektif.

Tabel 2. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III


 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan
afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously),
atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode
penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode
penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik
atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.
 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi
Pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif

9
berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau
campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua
episode manik atau depresif (F30-F33)

2.1.8. Diagnosis Banding


Semua kondisi yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan
mood perlu dipertimbangkan di dalam diagnosis banding gangguan skizoafektif. Pasien yang
diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin dan phencyclidine (PCP), dan beberapa
pasien dengan epilepsi lobus temporalis secara khusus kemungkinan datang dengan gejala
skizofrenik dan gangguan mood yang bersama-sama. Diagnosis banding psikiatrik juga
termasuk semua kemungkinan yang biasanya dipertimbangkan untuk skizofrenia dan
gangguan mood. Di dalam praktik klinis, psikosis pada saat datang mungkin mengganggu
deteksi gejala gangguan mood pada masa tersebut atau masa lalu. Dengan demikian, klinisi
boleh menunda diagnosis psikiatrik akhir sampai gejala psikosis yang paling akut telah
terkendali.

2.1.9. Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis
di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien dengan
gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki
prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan bipolar, dan memiliki
prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia. Generalitas tersebut telah
didukung oleh beberapa penelitian yang mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun
setelah episode yang ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga
perjalanan gangguan itu sendiri.
Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe bipolar,
mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar I dan
bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang perlahan-lahan; tidak ada faktor
pencetus; menonjolnya gejala psikotik, khususnya gejala defisit atau gejala negatif; onset
yang awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia.
Lawan dari masing-masing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik.

10
Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak meramalkan
perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan jenis
kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan bahwa perilaku
bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan skizoafektif daripada laki-laki
dengan gangguan tersebut. Insidensi bunuh diri di antara pasien dengan gangguan
skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.

2.1.10. Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di rumah
sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk
gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan dan antimanik diikuti jika
semuanya diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk
pengendalian jangka pendek. Jika protokol thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikan
gejala atas dasar berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan
gangguan skizoafektif, tipe bipolar, harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine
(Tegretol), valproate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja
tidak efektif. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan
antidepresan dan terapi elektrokonvulsif (ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif
terhadap terapi antidepresan.
Antidepresan diberikan pada pasien skizoafektiftipe depresi, tetapi harus dengan
perhatian yang ketat karena dapat terjadi pergeseran gejala episode depresi menjadi episode
manik pada pemberian antidepresan. Antidepresan ini pertama yang diberikan adalah
golongan SSRI, karena selain cukup efektif, obat ini juga memiliki sedikit efek samping pada
sistem kardiovaskular. pasien skizoafektif dengan gejala agitasi atau insomnia lebih berespon
dengan obat golongan trisiklik.

2.2. Depresi Dengan Gejala Psikotik


2.2.1. Defenisi depresi
Depresi adalah salah satu gangguan mood. Gangguan mood dianggap sebagai sindrom,
yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala bertahan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan
yang menunjukkan penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta kecendrungan untuk
kambuh, sering dalam bentuk periodik atau siklik. Pasien dengan mood terdepresi (yaitu, depresi)

11
merasakan hilangnya energi dan minat, perasaan bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan,
dan pikiran tentang kematian bunuh diri.
Episode depresi berat harusnya ada setidaknya 2 minggu dan seseorang yang didiagnosa
memiliki episode depresif berat terutama juga harus mengalami empat gejala dari daftar yang
mencakup perubahan berat badan dan nafsu makan, perubahan tidur dan aktivitas, tidak adanya
energi, rasa bersalah, berpikir dan membuat keputusan, serta pikiran berulang mengenai kematian
dan bunuh diri.
2.2.2. Manifestasi Klinis
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari
depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan
dan tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau
kesedihan yang normal.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua per tiga pasien depresi,
dan 10 sampai 15 persen diantaranya melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat di rumah sakit
dengan percobaan bunuh diri mempunyai umur hidup yang lebih panjang dibandingkan dengan
yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari dirinya mengalami depresi
dantidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman,
dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka
mengalami kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami hendayana di sekolah dan pekerjaan , dan
menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah
tidur, khususnya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun di malam hari karena
memikirkan masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan dan penurunan
nafsu makan demikian pula dengan bertambahnya berat badan dan serta mengalami tidur lebih
lama dari biasanya.
Kecemasan adalah gejala yang tersering dari depresi dan menyerang 90 persen pasien
depresi. Berbagai prubahan asupan makanan dan istirahat dapat menyebabkan timbulnya penyakit
lain secara bersamaan, seperti diabetes, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronik, dan penyakit
jantung. Gejala lain termasuk haid yang tidak normal dan menurunnya minat serta aktivitas seksual.
Pada pemeriksaan status mental, episode depresi memperlihatkan retardasi psikomotor
menyeluruh merupakan gejala yang paling umum, walaupun agitasi psikomotor juga saring
ditemukan, khususnya pada pasien usia lanjut. Menggenggam tangan dan menarik-narik rambut
merupakan gejala agitasi yang paling umum. Secara klasik, seorang pasien depresi memiliki postur
yang membungkuk, tidak terdapat pergerkan yang spontan, dan pandangan mata yang putus asa

12
dan memalingkan pandangan. Pasien depresi seringkali dibawa oleh keluarga atau teman kerjanya
karena penarikan sosial dan penurunan aktivitas secara menyeluruh.
Banyak pasien yang terdepresi menunjukkan suatu kecepatan dan volume bicara yang
menurun, berespon pada pertanyaan dengan kata tunggal dan menunjukkan respon yang melambat
terhadap pertanyaan. Secara sederhana, pemeriksa mungkin harus menunggu dua atau tiga menit
untuk mendapatkan suatu respons terhadapa suatu pertanyaan.
Pasien terdepresi dengan waham atau halusinasi dikatakan menderita episode depresif berat
dengan ciri psikotik. Waham atau halusinasi yang sesuai dengan mood terdepresi dikatakan sesuai
mood ( moood congruent). Waham sesuai mood pada seorang pasien terdepresi adalah waham
bersalah, memalukan, tidak berguna, kemiskinan, kegagalan, kejar dan gejla somatik terminal
( sebagai contoh, kanker dan otak “yang membusuk”). Isi waham atau halusinasi yang tidak sesuai
mood (mood incongruent) adalah tidak sesuai dengan mood terdepresi. Pasien depresi juga
memiliki pandangan negatif tentang dunia dan dirinya sendiri.
2.2.3. Diagnosis
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ-III
Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi:
 Gejala utama depresi
a. Afek depresi
b. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah bekerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
 Gejala lainnya
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandanga masa depan yang suram dn pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2minggu untuk menegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Episode depresi ringgan menurut PPDGJ-III

13
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai (g)
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnyasekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan
Episode depresi sedang menurut PPDGJ-III
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode
ringan
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dn sebaiknya 4) dan gejala lainnya
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,pekerjaan dan urusan
rumah tangga
Episode depresi berat tanpa gejala psikotik menurut PPDGJ-III
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
 Bila ada gejala Penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor yang
mencoloK, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap depresi berat masih
dapat dibenarkan
 Episeode depresi biasanya harus berlangsung sekuranf-kurangnya 2 minggu, akan
tetapi jika gejalanya amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Episede depresi berat dengan gejala psikotik menurut PPDGJ-III
 Episode depreasi berat yang memenuhi kriteria episode depresi berat tanpa gejala
psikotik
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan tau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggung jawab atas hal itu. Halusianasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa
suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.

14
Retardasi psikomotor yang berat dapat meunju stupor. Jika diperlukan, waham atau
halusianasi dapat ditentukan dengan srasi atau tidk serasi dengan afek (mood
congruengt).
2.2.4. Tatalaksana
Berbagai obat dan psikoterapitelah dikembangkan untuk memulihkan penderita
depresi. Pada sebagian besar kasus, pengobatanpenderita depresi akan paling efektif dengan
mengkombinasiakan pemberian obat-obatan oleh psikiater dengan pemberian psikoterapi
oleh psikolog.
semua pasien harus mendapatkan psikoterapi dan beberapa memerlukan terapi fisik.
Kebutuhan terapi khusus bergantung pada diagnosis, berat penyakit, umur pasien, dan respon
terhadapterapi sebelumnya. Bila seseorang menderita deprsei berat, maka diperlukan seorang
yang dekat dan yang dipercayainya untuk membantunya selama menjalani pemriksaan dan
pengobatan depresi tersebut. Kadang seorang penderita depresi berat perlu rawat inap
dirumah sakit, kadang cukup dengan pengobatan rawat jalan.
1. Terapi psikologi
 Terapi suportif psikoterapi selaalu diindikasika. Berikan kehangatan, empati dan
perhatian dan optimistik. Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan
mengekspresikan hal-hal yang membuatnya prihatin dan melontarkannya.
Identifikasi faktor pencetus dan batulah pasien untuk mengkoreksinya. Bantulah
memecahkan problem eksternal (misal pekerjan) arahkan pasien terutama selam
episeode akut dan bila psien tidak aktif bergerak.
 Terapi kognitif prilaaku dapat sangat bermanfaat pada pasien depresi ringan dan
sedang diyakini oleh sebagian orang “ketidak berdayaan yang dipelajari”, depresi
diterapi dengan memberiakn pasien latihan keterampilan dan memberikan
pengalaman-pengalamn sukses. Dari perfektif kognitif pasien dilatih untuk
mengenal dan menghilahkan pikira-pikiran negatif dan gharapn-harpan negatif.
Terapi ini mencegah kekambuhan.
2. Terapi farmakologi
Pada farmakoterapi digunakan antidepresan,diman antidepresan dibagi atas beberapa
golongan:
 Golongan trisiklik, seperti : amitriptilin, imipramine, clomipamin dan
opipramol
 Golongan tetrasiklik, seperti: mamproptiline, mianserine,amoxsapine,

15
 Golongan maoi-reversible (rima, reversibel ihibitor of mono amine okisadasi
a), seperti moclobemide
 Golongan atipikalseprti trazodone,tianeptine, mertazepine
 Golongan ssri (selektif serotonin reuptake inhibitor), seperti sertalin, parosetin,
fluposamine, flouxetin dan sitalopram.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek klinis)
sekitar 2-4 minggu, efek sekunder atau efek samping sekitar 12-24 jam serta waktu
paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per-hari).

16
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Dodi R.P Agama : Islam
Jenis Kelamin : laki-laki Warga Negara : Indonesia
Tempat/Tanggal Lahir : Pesisir, 08-12-1992 Suku Bangsa : Minang
Usia : 24 Tahun Status Pernikahan : belum menikah
Pekerjaan :- Tanggal Masuk : 06 februari 2016
Alamat Pasien : Muara Labuh solok Selatan Datang diantar : Keluarga
Nama Orang Tua : Sudirman
Alamat Orang Tua : Muara Labuh Solok Selatan

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Keluhan Utama :
Pasien membentur – benturkan kepalanya ke dinding sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Gangguan Sekarang :
Pasien sering membentur-benturkan kepalanya kedinding sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien sering tampak sedih-sedih sejak 2 minggu sebelum dibawa kerumah sakit, mengurung diri
dikamar. Pasien mengatakan ia cemburu melihat kakaknya yang selalu merawat dan
memperhatikannya membawa orang lain sehingga ia merasa terasingkan dan pasien mengatakan
pernah ingin bunuh diri namum tidak ia lakukan. Sejak itu pasien tidak mau melakukan sesuatu,
kecuali makan dan mandi. Pasien merasa pikirannya diambil orang dan pikirannya bisa dibaca orang
lain.

Riwayat Gangguan Sebelumnya :


- Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasen sakit sejak tahun 2013 dirawat di RSJ Prof HB Saanin Padang sudah ke dua kalinya.
Tahun 2013 pasien dirawat di RSJ Prof HB Saanin Padang selama 1 bulan 10 hari dengan keluhan
marah-marah tanpa sebab 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit, melihat bayangan hitam, mendengar
suara mendenging ditelinga,mencium bau hewan, merasakan ada orang lain yang menyetuh dirinya,
hal ini dirasakan ±1bulanan.
Pasien pulang pada kondisi sudah tenang dan dijemput keluarga. Di rumah pasien rajin minum
obat, pasien hanya mengingat jumlah obatnya ada tiga macam tanpa mengetahui nama obat dan

17
melanjutkan sekolahnya, namun disekolah ia dijauhi teman-temannya dan di katakan dirinya gila.
Semenjak itu pasien lebih sering menyendiri dan pendiam. Setelah selesai sekolah ditahun 2015
pasien diajak bekerja oleh pamannya di kantor koperasi. Selama bekerja pasien sudah tidak minum
obat selama 6 bulan karena merasa sudah sembuh. Ditempat kerja pasien sering marah-marah karena
sering tidak mencapai target yang telah ditentukan oleh kantornya, sehingga pamannya menyuruhnya
untuk mengundurkan diri sementara pasien masih ingin bekerja..
Setelah berhenti bekerja pasien hanya diam dirumah, pasien masih bisa melakukan kegiatan
sehari-hari.

- Kondisi Medik Umum


Kondisi medik umum pasien baik

- Penggunaan Zat Psikoaktif dan Alkohol


Pasien tidak pernah mengkonsumsi zat psikoaktif, alkohol dan kopi

III. Riwayat Kehidupan Pribadi


a. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Kehamilan direncanakan, lahir spontan, cukup bulan, ditolong oleh bidan, langsung menangis.
b. Riwayat Masa Kanak Awal (0-3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan sesuai usianya
c. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (4-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan sesuai usianya.Pasien memiliki banyak teman
d. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja
Pasien tertarik pada lawan jenis
e. Masa Dewasa
i. Riwayat Pendidikan
Pasien lancar bersekolah, tidak berprestasi, pasien menyelesaikan SD, SMP, dan SMA.
ii. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja dikantor koperasi selama 2 bulan
iii. Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah.
iv. Agama
Pasien beragama islam, sembahyang dan puasa

18
v. Aktivitas Sosial
Sebelum sakit Pasien memiliki banyak teman, sosialisasinya cukup baik. Namun setelah sakit
dia dijauhi oleh temen-temannya sehingga ia menarik diri dari lingkungan sosial.
vi. Situasi Kehidupan Sekarang
Pasien tinggal dengan kedua orang tua, kakak dan adiknya. Pasien suka menarik diri dari
lingkungan sekitar sehingga ia merasa sepi pada siang hari saat kedua orang tua bekerja di
sawah. pasien sangat dekat dengan kakaknya, ia merasa cemburu saat teman kakaknya datang
ke rumahnya dan merasa terasingkan.
vii. Riwayat Hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan dunia hukum
viii. Riwayat Psikoseksual
Pasien menyukai lawan jenis dan tidak ada masalah seksual yang dialami pasien.
ix. Riwayat Keluarga
Adik pasien memiliki kondisi yang sama seperti pasien.
x. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan tapi tidak memahami penyebab sakitnya.
xi. Persepsi Keluarga Tentang Diri dan Kehidupan Pasien
Keluarga pasien mendukung kesembuhan pasien dengan membawa pasien berobat ke RSJ. Prof
HB Saanin Padang
xii. Impian, Fantasi, dan nilai-nilai
Pasien ingin sembuh dan berencana mencari pekerjaan untuk menolong kedua orang tua.
IV. Status Mental
a. Deskripsi Umum
Penampilan
Seorang laki-laki, cukup rapi, sopan, bersih, tampak sesuai usia. Pasien tampak tidak bersemangat.
Perilaku dan Aktivitas Motorik
Perilaku pasien dan aktivitas motorik pasien tenang selama proses wawancara yang berlangsung
kurang lebih 30 menit.
Sikap Terhadap Pemeriksa
Sikap pasien koorperatif terhadap pemeriksa, pasien menerangkan dan menjabarkan jawabannya
pada pemeriksa dengan baik dan detail.

19
b. Mood dan Afek
Mood : Hypotym
Afek : Menumpul
Keserasian : Serasi

c. Pembicaraan
Pembicaraan pasien spontan, cukup jelas, volume suara sedikit rendah, artikulasi cukup jelas.

d. Gangguan Persepsi
Hallusinasi tidak ada.

e. Pikiran
Proses dan Bentuk Pikir : asosiasi longgar
Isi Pikir : waham dikendalikan yaitu thought withdrawal dan thought
broadcasting

f. Sensorium dan Kognisi


Kesadaran : Compos mentis cooperatif

Orientasi
- Waktu : Tidak terganggu
- Tempat : Tidak terganggu
- Orang : Tidak terganggu

Daya Ingat
- Daya ingat jangka panjang : Tidak terganggu
- Daya ingat jangka sedang : Tidak terganggu
- Daya ingat jangka pendek : Tidak terganggu
- Daya ingat segera : Tidak terganggu

Konsentrasi dan Perhatian :Konsentrasi dan perhatian pasien mudah teralih

Kemampuan membaca dan menulis :Kemampuan membaca dan menulis pasien baik.

20
Kemampuan visuospasial :tidak dilakukan

Pikiran Abstrak :pasien dapat menyebutkan persamaan dan perbedaan


antara dua buah benda seperti jeruk dan apel

Intelegensia dan Kemampuan Informasi : Sesuai tingkat pendidikan

g. Kemampuan Pengendalian Impuls : Pasien tenang

h. Daya Nilai dan Tilikan


- Daya nilai sosial dan uji daya nilai
Baik ( pasien mau berkerja sama pada masa perawatan) dan uji daya nilai baik (pasien
mengatakan bahwa bunuh diri adalah hal yang tidak baik)
- Penilaian realita
terganggu
- Tilikan
Derajat 4 : Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan tapi tidak memahami penyebab
sakitnya.

i. Taraf Dapat Dipercaya


Alloanamnesa : Dapat dipercaya
Autoanamnesa : Dapat dipercaya

V. Pemeriksaan Diagnostik Lebih Lanjut


Status Interna
- Keadaan : Baik
- Kesadaran : Composmentis
- Status Gizi : Cukup
- Tanda-tanda Vital :
o Tekanan Darah : 120/80 mmHg
o Frekuensi Nadi : 88x/menit
o Frekuensi Nafas : 22x/menit
o Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan

21
- Kulit : Turgor baik, kulit sawo matang
- Mata : Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
- THT : Tidak ada kelainan
- Leher : vena jugularis : palpasi tidak terlihat, tekanan tidak meningkat, tidak
ada pemebesaran KGB, tidak kaku kuduk, tidak ada masa dan tortikolis
- Thoraks :
o Paru
 Inspeksi : Simetris kanan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
 Palpasi : Fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler diseluruh lapang paru
o Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis tak teraba
 Perkusi : Jantung dalam batas normal
 Auskultasi : S1=S2 tunggal, bising jantung (-)

- Abdomen :
o Inspeksi : Simetris, tidak cembung dan tidak ada scapoid
o Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak teraba masa, dan hepar
dan lien tidak teraba
o Perkusi : Tympani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas :
o Atas : Tidak ada edema dan sianosis, parese (-)
o Bawah : Tidak ada edema dan sianosis, parese (-)

Status Neurologis
- Tanda Rangsangan Meningeal : Kaku kuduk (-) brudzinki 1, 2 (-)
- Nervus I-XII : Tidak ada kelainan
- Gejala peningkatan TIK : Tidak ada
- Reflek fisiologis :
o Kpr : (++)

22
o Apr : (++)
o Bisep : (++)
o Trisep : (++)
- Reflek patologis
o Babinski : (-)
o Gordon : (-)
o Chaddok : (-)
o Scheffer : (-)
o Hoffman : (-)
Motoric
555 555
555 555
Sensorik : baik
- Tanda Efek Ekstrapiramidal :
o Tremor : ada
o Akatisia : Tidak ada
o Bradikinesia : Tidak ada
o Cara Berjalan : Tidak ada
o Keseimbangan : Tidak ada
o Rigiditas : Tidak ada

- Pemeriksaan Penunjang : (-)


- Pemeriksaan Psikiatri Tambahan : Tidak dilakukan pemeriksaan tambahan
pada pasien.

VI. Formulasi Diagnostik


Berdasarkan anamnesis, riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan, pada pasien ini
ditemukan adanya perubahan pola perilaku, pikiran, dan perasaan yang secara klinis bermakna dan
menimbulkan suatu penderitaan (distress) dan hendaya(disability) dalam fungsi sosial dengan
demikian berdasarkan PPDGJ III dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami suatu gangguan jiwa.
Berdasarkan amanesis riwayat penyakit medis, pasien tidak pernah mengalami trauma
kepala dan penyakit lainnya yang secara fisiologis dapat menimbulkan disfungsi otak sebelum
menunjukkan gangguan jiwa. Oleh karena itu, gangguan mental organic dapat disingkirkan (F00-09)

23
Pada pasien tidak ditemukan riwayat pemakaian NAPZA sehingga didiagnosis gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif dapat disingkirkan (F10-19).

Aksis I
Pada pasien pasien ditemukan. Sehingga berdasarkan kriteria PPDGJ III dapat disimpulkan
pada aksis I dengan working diagnosis gangguan skizoafektif tipe depresi (F25.1)

Aksis II
Belum ada gejala/ ciri yang ditemukan pada pasien untuk mendukung aksis II sehingga
belum ada diagnosa.

Aksis III
Pada pasien ini tidak ditemukan kondisi medik umum yang cukup bermakna, sehingga aksis
III pada pasien ini tidak ada diagnosis.

Aksis IV
Pasien memiliki masalah dengan kakak karena ia merasa terasingkan saat kakaknya dekat
dengan orang lain, jadi aksis IV masuk kedalam masalah dengan “primary support group” dan
memiliki masalah pekerjaan.

Aksis V
Pada aksis V, hubungan social cukup baik dalam perawatan sering membantu petugas
mengatur pasien lain dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. sehingga
berdasarkan penilaian Global assessment of functioning (GAF) scale pada pasien didapatkan pada
nilai 60-51 dengan gejala sedang disabilitas sedang dalam fungsi, secara umum masih baik.

VII. Formulasi Multiaksial


Aksis I : F25.1 gangguan skizoafektif tipe depresi
Aksis II : belum ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV : Primary support group dan masalah pekerjaan
Aksis V : GAP 60-51

24
VIII. Daftar Masalah
a. Organobiologik
Tidak ada masalah
b. Psikologik
Mood : Hypotym
Afek : asosiasi longgar
Waham : Waham dikendalikan (thought withdrawal dan thought broadcasting)
c. Sosiokultural
Pasien marah dengan kakaknya karena ia dekat dengan temannya dan ia merasa tak dihiraukan
lagi.
IX. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Hal yang meringankan prognosis
1. Faktor pencetus jelas
2. Onset akut
3. Sistem pendukung baik
4. Dijumpai simptom depresi
Hal yang memperburuk prognosis
1. Onset muda
2. Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan pramorbid yang buruk
3. Perilaku menarik diri,
4. Belum menikah
5. Riwayat keluarga skizofrenia
6. Gejala negatif
X. Penatalaksanaan
A. Psikoterapi
a. Kepada pasien
i. Psikoterapi suportif
Memberikan kehangatan, empati, dan optimistic kepada pasien. Membantu pasien
mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya serta membantu untuk ventilasi.

25
Mengidentifikasi faktor presipitasi dan membantu mengoreksinya. Membantu
memecahkan problem eksternal secara terarah.
ii. Psikoedukasi
Membantu pasien untuk mengetahui lebih banyak tentang gangguan yang
dideritanya, diharapkan pasien mempunyai kemampuan yang semakin efektif untuk
mengenali gejala, mencegah munculnya gejala dan segera mendapatkan
pertolongan.
b. Kepada keluarga
i. Penyakit yang diderita pasien
Memberikan penjelasan yang bersifat komunikatif, informative, dan edukatif
tentang penyakit pasien (penyebab, gejala dan hubungan antar gejala dan perilaku,
perjalanan penyakit serta prognosis). Pada akhirnya diharapkan keluarga bisa
mendukung prosess penyembuhan dan mencegah kekambuhan.
ii. Terapi
Memberikan penjelasan mengenai terapi yang diberikan pada pasien (kegunaan obat
terhadap gejala pasien dan efek samping yang mungkin timbul pada pengobatan).
Selain itu juga ditekankan pentingngnya pasien kontrol dan minum obat secara
teratur.

B. Farmakoterapi
a. Risperidon diberikan 2 kali sehari 3 mg per oral. Dosis risperidon dapat diturunkan
sampai gejala pada pasien hilang.
b. Fluoxetin diberikan 2 kali 10 mg untuk mengatasi sindrom depresi
c. Trihexipenidil diberikan 2 kali 2 mg untuk tremor
XI. Diagnosis banding
F32.3 Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

26
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien laki-laki berusia 24 tahun dibawa oleh keluarganya ke IGD RSJ Prof HB Saanin
padang dengan keluhan sering membentur-benturkan kepalanya ke dinding sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien sering tampak sedih-sedih sejak 2 minggu sebelum dibawa kerumah
sakit, mengurung diri dikamar. Pasien mengatakan ia cemburu melihat kakaknya yang selalu
merawat dan memperhatikannya membawa orang lain sehingga ia merasa terasingkan dan pasien
mengatakan pernah ingin bunuh diri namum tidak ia lakukan. Sejak itu pasien tidak mau
melakukan sesuatu, kecuali makan dan mandi. Pasien merasa pikirannya diambil orang dan
pikirannya bisa dibaca orang lain.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan mood hypotimia, afek tumpul, isi pikirnya
waham dikendalikan, RTA terganggu dan tilikan derajat 4 dimana Pasien menyadari dirinya sakit
dan butuh bantuan tapi tidak memahami penyebab sakitnya. Pada pemeriksaan status interna
ditemukan adanya tremor.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan status mental, dan status interna pasien didiagnosa
dengan aksis I : Skizoafektif tipe depresi (F25.1) karena dari anamnesa didapatkan pasien suka
sedih-sedih, hilang minat, kurangnya aktivitas, tampak murung, serta merasa pikirannya ditarik
oleh orang lain dan orang lain dapat membaca pikirannya sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit sehingga tampak gejala skizofrenia dan depresi yang sama menonjol. Di diagnosa banding
dengan Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3).
Diagnosa aksis II belum dapat ditegakkan karena belum ada gejala. Ciri yang ditemukan
pada pasien untuk mendukung aksis II sehingga belum didiagnosa. Tidak terdapat diagnosa untuk
aksis III karena tidak ditemukannya penyakit atau kelainan medis lainnya pada pasien yang
berhubungan dengan aksis I masalah primary support group dan pekerjaan dapat ditegakkan
sebagai aksis IV, dimana pasien tidak suka dengan teman kakaknya dan merasa tidak diperhatikan
serta target yang tidak tercapai dalam pekerjaan. Aksis V menggunakan GAF (Global Assesment of
Function) 60-51 : dengan gejala sedang disabilitas sedang dalam fungsi, secara umum masih baik.

27
Penatalaksanaan medikamentosa yang diberikan kepada pasien berupa obat anti psikosis
atipikal golongan benzisoxazole yakni Risperidon 2 x 3 mg per oral. Dosis risperidon dapat
diturunkan sampai gejala pada pasien hilang, Fluoxetin diberikan 2 kali 10 mg untuk mengatasi
sindrom depresi, Trihexipenidil diberikan 2 kali 2 mg untuk tremor. Penatalaksaan non medika
mentosa berupa psikoterapi.
Prognosis pada pasien ini dubia ad malam terutama dalam fungsi dan kekambuhan penyakit
karena menunjukkan gambaran prognosa buruk berupa Onset muda, riwayat sosial, seksual, dan
pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri, belum menikah, riwayat keluarga
skizofrenia, dan adanya gejala negatif.

28
DAFTAR PUSTAKA

Among Medicaid Patients. Diakses melalui: www.psychiatryonline.org/data/Journals/


American Psychiatric Association. Diagnosis dan Statistical Manual of Mental disorders
(DSM IV TM). American Psychological Association (APA): Washington DC. 1996.
Kaplan, I. H. and Sadock, J. B. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Perilaku Psikiatri Klinis,
Edisi Ketujuh. Binarupa Aksara Publisher: Jakarta.
Maramis, W.S. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Presss : Surabaya.
1994.
Muslim, Rusdi. 2013. BukuSaku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dar
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya
Olfson, Mark. Treatment Patterns for Schizoaffective Disorder and Schizophrenia
Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1998.

29
30

Anda mungkin juga menyukai