Anda di halaman 1dari 42

Skenario

Ny. Ita 30 tahun, P2A0 datang ke poliklinik dengan keluhan keputihan yang sering
dialami, kadang-kadang disertai rasa gatal. Saat ini ibu menggunakan kontrasepsi
ADR

Kata Kunci

 Ny. Ita 30 tahun


 P2A0
 Keputihan disertai gatal
 Menggunakan Kontrasepsi ADR

Pertanyaan

1. Jelaskan anatomi dan histologi organ genitalia feminina!

2. Jelaskan definisi, klasifikasi dan penyebab keputihan!

3. Jelaskan fisiologi dan patofisiologi keputihan!

4. Jelaskan apa hubungan gatal dengan keputihan!

5. Jelaskan mekanisme kerja serta keuntungan dan kerugian kontrasepsi ADR!

6. Apakah ada hubungan penggunaan kontrasepsi ADR dengan keputihan?

7. Jelaskan differensial diagnosis terkait dengan skenario!

8. Jelaskan langkah-langkah diagnostiknya!

9. Jelaskan edukasi terkait dengan skenario!

1
1. Anatomi dan Histologi organ genitalia feminina
Anatomi

2
Histologi
• Vagina
• Serviks
• Uterus
• Tuba uterina
• Ovarium

3
VAGINA
 Dinding vagina tidak memiliki kelenjar dan terdiri atas 3 lapisan : mukosa,
lapisan muskularis dan adventisia.
 Vagina : sel berlapis gepeng tak bertanduk.
 Mukus yang menutupi lumen vagina dihasilkan oleh kelenjar serviks uterus.
Terdapat juga kelenjar-kelenjar berhampiran kawasan vagina : 1.Skene
Gland yang berada di depan dinding vagina (bawah dari urethra) dan 2.
Bartholini Gland berada dibawah pembukaan vagina sisi kanan dan kiri.

SERVIKS
1. Endoserviks :
a) terdapat kelenjar mukosa yang merembeskan kelenjar serviks yang
menghasilkan banyak mukus dan sering melebar.
b) Epitel selapis silindris (kolumnar).
2. Ektoserviks :
a) Bagian luar serviks yang tertonjol ke arah vagina.
b) Epitel skuamos nonkeratin

4
c) 3 lapisan (sel basal, stratum spongiosum, superfisial) yang bervariasi
morfologinya mengikut usia)
* Pertemuan epitel silindris endoserviks dan epitel skuamos ektoserviks
disebut “ Squamocolumnar Junction”

UTERUS
 Terdiri dari korpus, fundus dan korteks.
 Dinding uterus terdiri daripada 3 lapisan : endometrium (dalam) ,
miometrium (tengah-otot polos)dan perimetrium (luar).
 Endometrium ada 2 lapisan : stratum basal dan stratum functionale.
 Miometrium : lokasinya dibawah stratum basale , terdapat berkas otot polos
dan pembuluh darah.
 Perimetrium : lapisan serosa uterus

TUBA UTERINA

• Dinding tuba uterina dilapisi oleh epitel selapis silindris.


• Epitel lumen : 1. epitheliocytus ciliatus dan epitheliocytus tubarius
angustus tidak bersilia .
• Membrana basalis tipis memisahkan epitel lumen dari jaringan ikat
vaskular dibawahnya dengan membentuk plica mucosae (tengah). Otot
polos sirkular dalam mengelilingi tuba uterina.

5
OVARIUM
 Epitel germinal terletak di atas jaringan ikat tunika albuginea
 Terdapat korteks (luar) dan medulla (dalam) tanpa batas yang jelas.
 Pada masa pubertas, folikel primordial tumbuh menjadi folikel primer,
sekunder dan matur.

2. Definisi, klasifikasi, dan penyebab keputihan


Keputihan adalah Sekresi vaginal pada wanita. Keputihan pada dasarnya
dapat digolongkan menjadi dua yaitu keputihan normal (fisiologis) dan
keputihan abnormal (patologis). Keputihan adalah nama gejala yang diberikan
pada cairan yang dikeluarkan dari alat genital wanita yang tidak berupa darah.
(Sarwono, 2005)
Gejala penyakit yang ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi
dan bukan berupa darah. (Blankast, 2008)
Keputihan adalah Sekresi vaginal pada wanita. Keputihan pada dasarnya
dapat digolongkan menjadi dua yaitu keputihan normal (fisiologis) dan
keputihan abnormal (patologis).
Patomekanisme Keputihan
a. Keputihan Fisiologis
Keputihan yang fisiologis ditandai dengan sekret yang berwarna bening,
tidak menimbulkan bau yang menyengat, iritasi, maupun rasa

6
nyeri.Keputihan fisiologis dapat ditemukan pada beberapa keadaan, yaitu
bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari, waktu di sekitar menstruasi,
hasrat seksual, siklus haid, kehamilan, penggunaan pil kontrasepsi, dan
stress.

b. Keputihan Patologis
Keputihan patologis biasanya ditandai dengan sekret vagina yang berwarna
keruh atau kuning atau kuning kehijauan, berbau tidak sedap, disertai lesi
atau iritasi vagina, dispareunia, gatal, dan perdarahan. Penderita juga dapat
mengeluhkan sistitis yang berupa disuria eksternal akibat lesi vulva.

Berdasarkan mekanisme terjadinya, keputihan patologis dapat dibedakan


menjadi keputihan patologis yang infeksius dan non-infeksius.
a. Keputihan patologis infeksius 
 Disebabkan oleh infeksi mikroorganisme :

Bakteri : Gardanerrella vaginalis, Chlamidia 
 trachomatis,

Neisseria gonorhoae, dan Gonococcus. 


Jamur : Candida albicans. 


Protozoa : Trichomonas vaginalis. 


Virus : Herpes Virus dan Human Papilloma Virus. 


b. Keputihan patologis non-infeksius


Dapat disebabkan oleh polip serviks, neoplasma 
 serviks, materi

yang tertinggal (misalnya tampon atau pasca terminasi kehamilan), trauma,


vaginitis atrofik, reaksi alergi (misalnya akibat pembasuhan vagina), dan
membersihkan vagina dengan sabun, terutama produk antibakteri. 


Keputihan Fisiologis Keputihan Patologis


Epitel banyak Lekosit banyak
Cairan bening Warna dapat berubah ( kuning, hijau, abu-
abu, dan menyerupai susu)

7
Jumlah cairan sedikit Jumlah banyak, timbul terus menerus
Tidak berbau Berbau amis dan busuk
Tidak disertai keluhan (gatal,panas,dan Disertai keluhan (gatal,panas, dan nyeri)
nyeri)

3. Fisiologi dan patofisiologi keputihan


Keputihan secara fisiologis erat kaitannya dengan sekret yang sekret lendir yang
dihasilkan oleh organ vagina dan cervix uterus.
1. Vagina
Secara anatomis vagina memiliki 3 lapisan yakni lapisan mukosa,
muskularis dan adventisia. Mukosa pada vagina berikatan kuat dengan
lapisan muskularis. Di lapisan epithelial mukosa terdapat 2 lipatan utama
longitudinal. Salah satunya di anterior sedangkan sisanya di posterior.
Masing – masing lipatan ini membentuk lipatan – lipatan yang lebih kecil
yang meluas secara transversal pada vagina dengan kedalaman lipatan yang
berbeda – beda. Lipatan – liptaan ini berkembang baik ketika seorang
wanita belum pernah melahirkan.
Secara histologis, epitel yang terdapat pada vagina adalah epitel
squamosa tidak bertanduk. Setelah masa pubertas, epitel pada vagina
mengalami penebalan dan kaya akan glikogen. Tidak seperti mamalia lain,
epitel vagina pada manusia tidak mengalami perubahan secara signifikan
selama siklus menstruasi. Tapi yang mengalami perubahan hanyalah kadar
glikogen yang meningkat pada masa setelah ovulasi dan berkurang pada
saat akhir masa siklus.
Produksi glikogen pada epitel vagina dipengaruhi oleh estrogen.
Hormon ini menstimulasi epitel vagina sehingga dapat memproduksi dan
menyimpan glikogen dalam jumlah yang besar, yang kemudian dilepaskan
pada lumen vagina untuk membasahi daerah sekitarnya. Secara alami, flora
normal vagina akan memetabolisme glikogen membentuk asam laktat yang
bertanggung jawab dalam merendahkan suasana pH vagina, terutama saat
pertengahan siklus menstruasi. Suasana asa ini sangat berperan dalam
mencegah invasi bakteri patologis.

8
2. Cervix Uterus
Cervix uterus merupakan bagian yang menghubungkan vagina
dengan tuba tuerina melalui os external canalis cervicalis yang dilapisi oleh
membran mucosa yang disebut endocervix. Bagian ini mengandung mucus
yang disekresikan oleh kelenjar tubular yang dilapisi oleh epitel kolumner
dan dipenuhi oleh sel silia.
Aktivitas sekresi kelenjar pada endocervix diregulasi oleh estrogen
dan mencapai jumlah maximal pada masa ovulasi. Fungsi sekret
endocervicalis adalah memberi lubrikasi selama hubungan seksual terjadi
dan berperan sebagai sawar yang melindungi dari invasi bakteri. Selama
ovulasi, mukus pada cervix menjadi lebih encer, berair dan pHnya lebih
alkali dibanding sebelumnya, kondisi ini dibuat sedemikian rupa agar dapat
mendukung migrasi sperma. Selain itu terjadi pula peningkatan jumlah ion
dalam mukus sehingga terbentuk kristal – kristal yang menyerupai pakis.
Secara klinis, hal ini dapat digunakan sebagai pendeteksi saat yang tepat
untuk melakukan fertilisasi.Setelah masa ovulasi, mukus cervix menjadi
lebih kental dan asam.
Ada sejumlah flora normal pada vagina dan cervix, namun yang
paling sering ditemui adalah Lactobacillus acidophilus. Bakteri ini mampu
memproduksi asam laktat dengan jalan memecahkan glikogen yang berasal
dari sekret vagina dan cervix. Asam laktat ini membentuk semacam lapisan
asam (pH 3,0), yang dapat mencegah proliferasi bakteri patologis.
3. Kelenjar Bartholini dan kelenjar skene
Sekresi pada kelenjar ini bertambah pada perangsangan, misalnya
sewaktu coitus. Kelenjar-kelenjar tersebut di atas meradang misalnya
karenainfeksi dengan gonococcus, maka sekret berubah menjadi fluor.
Jadi secara umum, keputihan merupakan hal yang fisiologis. Namun
kondisinya dapat berubah menjadi patologis ketika jumlah bakteri yang
menginvasi traktus genitalia meningkat ataupun karena penurunan daya
tahan tubuh pejamu.

9
Patogenesisnya :
Vagina merupakan organ reproduksi wanita yang rentan terhadap
infeksi, hal ini karena batas antara uretra, anus dan vagina berdekatan sehingga
kuman penyakit seperti jamur, bakteri, parasit atau virus mudah masuk. Infeksi
yang sering terjadi pada vagina disebabkan karena ketidakseimbangnya
ekosistem vagina, dimana ekosistem ini dipengaruhi oleh 2 unsur :
a. Estrogen yang berfungsi dalam menentukan kadar zat gula sebagai
simpanan energi sel tubuh (glikogen).
b. Lactobacillus, yang membutuhkan glikogen sebagai nutrisi yang akan
digunakan untuk metabolisme pertumbuhannya.
Sisa metabolisme kemudian menghasilkan asam laktat yang
menentukan suasana asam di dalam vagina, dengan pH 3,8-4,2. Dengan tingkat
keasaman ini lactobacillus akan tumbuh subur sehingga bakteri pathogen akan
mati.
Bila keseimbangan ekosistem terganggu menyebabkan tingkat
keasaman menurun sehingga vagina rentan terkena infeksi dan akhirnya
menyebabkan fluor albous yang berbau, gatal, dan menimbulkan
ketidaknyamanan. Banyak factor yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem
vagina antara lain kontrasepsi oral, DM, antibiotic, darah haid, cairan sperma,
penyemprotan cairan ke dalam vagina, dan gangguan hormone saat pubertas,
kehamilan atau menopause.
Meskipun banyak variasi warna, konsistensi, dan jumlah dari sekret
vagina bisa dikatakan suatu yang normal, tetapi perubahan itu selalu
diinterpretasikan penderita sebagai suatu infeksi, khususnya disebabkan oleh
jamur. Beberapa perempuan pun mempunyai sekret vagina yang banyak sekali.
Dalam kondisi normal, cairan yang keluar dari vagina mengandung sekret
vagina, sel-sel vagina yang terlepas dan mucus serviks, yang akan bervariasi
karena umur, siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan pil KB.
Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang
dinamis antara Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen,
glikogen, pH vagina dan hasil metabolit lain. Lactobacillus acidophilus

10
menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap bakteri pathogen.
Karena aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus
(Doderlein) dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang
rendah sampai 3,8-4,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan
bakteri lain.

Peran Meningkatkan Faktor anti


Lactobacillus pH vagina bakteri

Kandidiasis vaginalis merupakan infeksi vagina yang disebabkan oleh


Candida sp. terutama C. albicans. Infeksi Candida terjadi karena perubahan
kondisi vagina. Sel ragi akan berkompetisi dengan flora normal sehingga terjadi
kandidiasis. Hal-hal yang mempermudah pertumbuhan ragi adalah penggunaan
antibiotik yang berspektrum luas, penggunaan kontrasepsi, kadar estrogen yang
tinggi, kehamilan, diabetes yang tidak terkontrol, pemakaian pakaian ketat,
pasangan seksual baru dan frekuensi seksual yang tinggi.
Perubahan lingkungan vagina seperti peningkatan produksi glikogen
saat kehamilan atau peningkatan hormon esterogen dan progesterone karena
kontrasepsi oral menyebabkan perlekatan Candida albicans pada sel epitel
vagina dan merupakan media bagi pertumbuhan jamur. Candida albicans
berkembang dengan baik pada lingkungan pH 5-6,5. Perubahan ini bisa
asimtomatis atau sampai sampai menimbulkan gejala infeksi. Penggunaan obat
immunosupresan juga menjadi faktor predisposisi kandidiasis vaginalis.
Pada penderita dengan Trikomoniasis, perubahan kadar estrogen dan
progesterone menyebabkan peningkatan pH vagina dan kadar glikogen
sehingga berpotensi bagi pertumbuhan dan virulensi dari Trichomonas
vaginalis.
Vaginitis sering disebabkan karena flora normal vagina berubah karena
pengaruh bakteri patogen atau adanya perubahan dari lingkungan vagina

11
sehingga bakteri patogen itu mengalami proliferasi. Antibiotik kontrasepsi,
hubungan seksual, stress dan hormon dapat merubah lingkungan vagina
tersebut dan memacu pertumbuhan bakteri patogen. Pada vaginosis bacterial,
diyakini bahwa faktor-faktor itu dapat menurunkan jumlah hidrogen peroksida
yang dihasilkan oleh Lactobacillus acidophilus sehingga terjadi perubahan pH
dan memacu pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan
Mobiluncus yang normalnya dapat dihambat. Organisme ini menghasilkan
produk metabolit misalnya amin, yang menaikkan pH vagina dan menyebabkan
pelepasan sel-sel vagina. Amin juga merupakan penyebab timbulnya bau pada
flour albus pada vaginosis bacterial.
Flour albus mungkin juga didapati pada perempuan yang menderita
tuberculosis, anemia, menstruasi, infestasi cacing yang berulang, juga pada
perempuan dengan keadaan umum yang jelek , higiene yang buruk dan pada
perempuan yang sering menggunakan pembersih vagina, disinfektan yang kuat.
Pengaruh Penggunaan Antiseptik Terhadap Flora Normal pada Daerah
Kewanitaan
Secara normal terdapat sejumlah flora normal pada vagina dan cervix,
namun yang paling sering ditemui adalah Lactobacillus acidophilus. Bakteri ini
mampu memproduksi asam laktat dengan jalan memecah glikogen yang berasal
dari secret vagina dan serviks yang dipengaruhi oleh hormon estrogen dengan
cara menstimulasi epitel vagina sehingga dapat memproduksi dan menyimpan
glikogen dalam jumlah besar kemudian di lepaskan pada lumen vagina untuk
membasahi daerah sekitarnya. Selanjutnya flora normal vagina akan
memetabolisme glikogen tersebut membentuk asam laktat yang bertanggung
jawab dalam merendahkan pH vagina terutama saat pertengahan menstruasi.
Suasana asam ini berperan dalam mencegah bakteri patologis.
Penggunaan sabun antiseptic vagina secara berlebihan akan mengganggu
keberadaan flora normal. Keadaan ini dapat merubah lingkungan genital yang
pada mulanya asam menjadi alkali sehingga memudahkan pertumbuhan
mikroorganisme pathogen. Secara alamiah, dalam setiap vagina terdapat

12
bakteri baik (flora normal vagina). Flora normal itu berfungsi mengusir kuman
yang merugikan. Pemakaian sabun vagina berlebihan justru membunuh bakteri
baik yang kemudian mempermudah kuman masuk ke vagina.
4. Hubungan gatal dengan keputihan
Ketika organisme pathogen menginvasi vagina, secara tidak langsung tubuh
melakukan perlawanan dengan mengatifkan system imun, baik sleuler maupun
humoral, yang terdiri atas respon imun non spesifik dan nonspesifik. Koedua
komponen tersebut mempunyai reseptor pengenalan dan kecepatan yang
berbeda kerjanya cepat meskipun tidak bertahan lama. Sedangkan respon imun
adapun respon imun yang kedua adalah respon imun didapat yang terdiri atas
limfosit T dan B. Berdasarkan kasus oada scenario terjadinya gatal diakibtakan
oleh aktifknya salah salah satu subtansi kimia yang disebut sebagai mediator
yang mempengaruhi dan memiu respon imun dan proses peradangan.
Komplemen merupakan saah satu mediator tersebut. Terdapat pula mediator
peradangan lain termasuk slow reaction substance of anaphylaxis
(SRSA),prsaglandin, factor permeabilitas limfonoduli,protease ,fibrinolisin dan
factor kemotatik. Beberapa mediator dikeluarkan oleh sel, misalnya sel
mast,limfosit,neutrofil,eosinofil,makrofag dan trombosit. Bebeapa dikeluarkan
oleh plasma atau jaringan. Histamin merupaka mediator penting tidak saja
sebagai vasodilatasi,pengeluaran protein dan juga menimbulkan rasa gatal,
teteapi juga secara langsung memeicu terjadinya respon peradangan, misalnya
mengurangi respon blastogenesis limfosit.
5. Mekanisme kerja serta keuntungan dan kerugian kontrasepsi ADR
AKDR akan berada dalam uterus, bekerja terutama mencegah
terjadinya pembuahan (fertilisasi) dengan mengahalangi bersatunya
ovum dengan sperma, mengurangi jumlah sperma yang mencapai
tubafalopi dan menginaktifasikan sperma. Ada beberapa mekanisme
cara kerja AKDR sebagai berikut :
1) Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga
implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu

13
2) Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan
terhambatnya implantasi.
3) Gangguan/terlepasnya blastocyst yang telh berimplantasi didalam
endometrium.
4) Pergerakan ovum yang bertambah cepat didalam tuba fallopi.
5) Immobilissi spermatozoa saat melewati cavum uteri

Keuntungan :
IUD mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan cara kontrasepsi
lainnya seperti :
1. Umumnya hanya memerlukan satu kali pemasangan dan dengan demikian
satu kali motivasi
2. Tidak menimbulkan efek sistemik
3. Alat itu ekonomis dan cocok untuk penggunaa secara massal
4. Reversible
5. Efektivitas cukup tinggi
Efek Samping IUD
1. Perdarahan
Umumnya setelah pemasangan IUD terjadi perdarahan sedikit-sedikit
yang cepat berhenti. Kalau pemasangan dilakukan sewaktu haid,
perdarahan yang sedikit-sedikit ini tidak akan diketahui oleh
akseptor.Keluhan yang sering terdapat pada pemakai IUD ialah

14
menoragia, spotting, dan metroragia. Jika terjadi perdarahan banyak yang
tidak dapat diatasi, sebaiknya IUD dikeluarkandan diganti dengan IUD
yang mempunyai ukuran lebih kecil
2. Rasa nyeri dan Kejang di Perut
Rasa nyeri atau kejang diperut dapat terjadi segera setelah pemasangan
IUD. Biasanya rasa nyeri ini berangsur-angsur hilang dengan sendirinya.
Rasa nyeri dapat dikurangi atau dihilangkan dengan jalan memberi
analgetika. Jika keluhan berlangsung terus, sebaiknya IUD dikeluarkan
dan diganti dengan IUD yang mempunyai ukuran lebih kecil.
3. Gangguan pada Suami
Kadang-kadang suami dapat merasakan adanya benang IUD sewaktu
bersenggama. Ini disebabkan oleh benang IUD yang keluar dari porsio
uteri terlalu pendek atau terlalu panjang. Untuk mengurangi atau
menghilangkan keluhan ini, benang IUD yang terlalu panjang dipotong
sampai kira-kira 2-8 cm dari porsio, sedang jika benang IUD terlalu
pendek, sebaiknya IUDnya diganti. Biasanya dengan ini keluhan suami
akan hilang.
4. Ekspulsi (Pengeluaran Sendiri)
Ekspulsi IUD dapat terjadi untuk sebagian atau seluruhnya. Ekspulsi
biasanya terjadi pada waktu haid dan dipengaruhi oleh hal-hal berikut :
Umur dan paritas, lama pemakaian, ekspulsi sebelumya, jenis dan ukuran
IUD, serta faktor psikis.
Komplikasi IUD
1. Infeksi
IUD itu sendiri, atau benangnya yang berada dalam vagina, umumnya
tidak menyebabkan terjadinya infeksi jika alat-alat yang digunakan
disucihamakan, yakni tabung penyalur, pendorong, dan IUD. Jika terjadi
infeksi, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya infeksi yang subakut atau
menahun pada traktus genitalis sebelum pemasangan IUD.

15
2. Perforasi
Umumnya perforasi terjadi sewaktu pemasangan IUD walaupun bisa
terjadi pula kemudian. Pada permulaan hanya ujung IUD saja yang
enembus dinding uterus tetapi lama kelamaan dengan adanya kontraksi
uterus, IUD terdorong lebih jauh menembus dinding uterus, sehingga
akhirnya sampai ke rongga perut. Jika ada kecurigaan kuat tentang adanya
perforasi, sebaiknya dibuat foto Rontgen, dan jika tampak di foto IUD
dalam rongga panggul, hendaknya dilakukan histerografi untuk
menentukan apakah IUD terletak di dalam atau di luar cavum uteri.
3. Kehamilan
Jika timbul kehamilan dengan IUD in situ, tidak akan timbul cacat pada
bayi oleh karena IUD terletak antara selaput ketuban dan dinding rahim.
Angka keguguran dengan IUD in situ tinggi. Jika ditemukan kehamilan
dengan IUD in situ yang beangnya masih kelihatan, sebaiknya IUD
dikeluarkan sehingga kemungkinan terjadinya abortus setelah IUD itu
dikeluarkan lebih kecil daripada jika IUD dibiarkan terus berada dalam
rongga uterus. Jika benang IUD tidak kelihatan, sebaiknya IUD dibiarkan
saja berada dalam uterus.
6. Hubungan penggunaan kontrasepsi ADR dengan keputihan
Salah satu komplikasi pemasangan IUD adalah infeksi, tapi biasanya bukan
karena alat IUD itu sendiri atau benangnya yang berada dalam vagina
melainkan adanya infeksi sub akut atau menahun pada tractus genitalis sebelum
pemasangan.
7. Differensial diagnosis

BAKTERIAL VAGINOSIS

Bacterial vaginosis adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobacillus


spp penghasil H2O2 yang meupakan flora normal vagina dengan bakteri
anaerob dengan konsetrasi tinggi sprti (Bacteroides , Mobiluncus Spp
,Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma hominis) . Jadi bacterial vaginosis

16
bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu organisme tetapi timbul akibat
perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dan berklinisasi di Vagina

Etiologi

 Gardnerela vaginalis
Organisme ini mula mula dikenal sebagai H. vaginals kemudian
diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan fenotip dan asam
dioksi-ribonukleat . Tidak mempunyai kapsul, Non motil , berbentuk batang
,gram negative atau variable gram . Tes katalase, reduksi nitrat, indole, dan
urease semuanya negative .Kuman ini bersifat Fakulatif anaerob dengan
produksi akhir utama berupa asam asetat, banyak galur yang menghasilkan
asam laktat dan asam format . Untuk pertumbuhannya diperlukan tiamin,
riboflavin, asam folat , biotin,purin dan pirimidin.

 Bacteri anaerob Mobilincuss Spp dan Bactroides Spp


Pada wanita normal kedua spesies ini lebih jarang ditemukan.
Penemuan spsies anaerob dihubungkan dengn penurunan lakta ,
peningkatan suksinat serta asetat pada cairan vagina Mobilincuss Spp
hampir idak pernah dtemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan
bacterial vaginosis ditemukan bakteri ini .

 Mycoplasma hominis

17
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis
juga harus dipertimbangkan sebagai agen etiologic untuk bacterial
vaginosis bersama sama dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob lainnya.
Prevalensi tiap mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan bacterial
vaginosis. Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lipat
pada wanita dengan bacterial vaginosis dibandingkan wanita normal.
Patogenesis

Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang


terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah
satu komponen lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina
endogen, yang terdiri dari gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri
fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik antara
mikroflora vagina endogen bersama dengan komponen lain, mengakibatkan
tetap stabilnya sistem ekologi yang mengarah pada kesehatan ekosistem
vagina.Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan
keseimbangan menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina
dan perubahan pada mikroflora vagina. Dalam keseimbangannya, ekosistem
vagina didominasi oleh bakteri Lactobacillus sp. yang menghasilkan asam
organik seperti asam laktat, hidrogen peroksida (H2O2), dan bakteriosin.
Asam laktat seperti organic acid lanilla yang dihasilkan oleh Lactobacillus

18
sp., memegang peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5
(antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi
pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina.
Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang
menyebabkan Lactobacillus sp. hidup dominan daripada bakteri obligat
anaerob yang kekurangan enzim katalase. Hidrogen peroksida dominan
terdapat pada ekosistem vagina normal tetapi tidak pada bakterial vaginosis.
Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi oleh Lactobacillus sp adalah
bakteriosin yang merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang
menghambat pertumbuhan banyak bakteri khususnya Gardnerella vaginalis.
Gardnella vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang
variabel gram yang mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora
normal vagina dari yang tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa.
Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah Lactobacillus sp. yang
menghasilkan hidrogen peroksida. Lactobacillus sp. sendiri merupakan
bakteri anaerob batang besar yang membantu menjaga keasaman vagina
dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina.1,2
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara Gardnella
vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri
fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga
menaikkan pH sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan
Gardnella vaginalis. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan
menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak
sedap yang keluar dari vagina. Gardnella vaginalis melekat pada sel-sel epitel
vagina in vitro, kemudian menambahkan deskuamasi sel epitel vagina
sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak
invasif danrespon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan
sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan
histopatologis
Diagnosis

19
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu
diagnosis, oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis
yang sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa
terdapat tiga dari empat gejala, yaitu :
1) Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal
2) Ph vagina > 4,5
3) Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis
sebelum atau setelah penambahan koh 10% (whiff test).
4) Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Ditemukan 3 dari 4 kriteria diagnosis ini sudah cukup menegakkan
diagnosis vaginosis bacterial. Duh tubuh yang ditemukan biasanya lengket,
menempel ke vagina, homogen, tipis, dan yang khas ialah warnanya yang
keabu-abuan. Kadang-kadang dapat dilihat gelembung kecil di dalamnya.
Faktor Resiko
a. Partner seksual
Dikatakan bakterial vaginosis lebih jarang pada wanita
paskapubertas tanpa pengalaman seksual dibandingkan yang mempunyai
pengalaman seksual. Amsel dan kawan- kawan menemukan pada wanita
tanpa pengalaman seksual tidak menderita bakterial vaginosis dari 18 orang
yang diperiksa, sedangkan pada wanita yang mempunyai pengalaman
seksual didapatkan sebanyak 69 (24%) menderita bakterial vaginosis.
Studikohort longitudinal memberikan bukti bahwa wanita yang memiliki
banyak pasangan seksual pria dalam 12 bulan terakhir berkaitan dengan
terjadinya vaginosis bakterial. bakterial vaginosis juga meningkat pada
wanita yang melakukan hubungan seksual dengan wanita (women sex
women/WSW) dan berkaitan dengan wanita yang memiliki satu atau lebih
pasangan seksual wanita dalam 12 bulan terakhir. Studi pada lesbian
memberikan bukti lebih jauh tentang peranan hubungan seksual dalam
penularan bakterial vaginosis. Sekitar 101 lesbian yang mengunjungi klinik

20
ginekologi sebesar 29 % menderita bakterial vaginosis begitu juga pasangan
seksualnya. Kemungkinan wanita menderita bakterial vaginosis hampir 20
kali, jika pasangannya juga menderita. Patogenesis terjadinya bakterial
vaginosis pada WSW ini masih belum jelas. Salah satu penjelasan yang
mungkin adalah adanya persamaan antara bacteri anaerob yang berkaitan
dengan gingivitis dan bakterial vaginosis. Kebiasaan seksual melalui anus
dikatakan juga memegang peranan dalam terjadinya bakterial vaginosis,
transfer perineal atau bakteri pada rectum ke vagina, telah diketahui menjadi
konsekuensi pada hubungan seksual melalui anal. Bakteri yang sering, yaitu
Echerria coli dan Streptococcus, dan hal ini memungkinkan bahwa bakterial
vaginosis dapat ditimbulkan atau dicetuskan oleh hubungan seksual yang
tidak terlindungi, sehingga terjadi translokasi bakteri dari rectum ke vagina.
b. Penggunaan IUD
Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan VB lebih sering ditemukan
pada wanita yang menggunakan IUD dibandingkan yang tidak
menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p< 0,03. Pada studi retrospektif
yang dilakukan oleh Avonts dan kawan-kawan melaporkan bakterial
vaginosis meningkat diantara pengguna IUD dibandingkan kontrasepsi oral
hal ini mungkin disebabkan oleh bagian ekor dari IUD yang ada pada
endoservik atau vagina menyebabkan lingkungan untuk berkembangnya
bakteri anaerob dan G.vaginalis , yang mungkin memegang peranan dalam
terjadinya bakterial vaginosis pada wanita yang menggunakan IUD
c. Hipoestrogenik
Penurunan kadar Estrogen menyebabkan peningkatan pH vagina .
Hal ini menyebabkan lingkungan yang tidak optimal untuk pertumbuhan
lactobacillus Spp. Namun kondusif tehadap mikroorganisme penyebab BV
lainnya.
d. Penggunaan vaginal douching
Penggunaan vaginal douching didapatkan 6 pasien atau 17% ,
sebgian besar tidak ada keterangan yang tertulis pada status 82,8% atau 29
pasien . vaginal douching seringkali dikaitkan dengan terjadinya BV .

21
Penggunaan vaginal douching apat menggangu ekosistem flora normal
vaginamdan penghentian penggunaan vaginal douching dikatakan dapat
menurunkan resiko bacterial vaginosis .
e. Pasangan seks yang tidak melakukan sirkumsis
Ociviyanti dan kawan kawan melaporkan pasangan seksual yang
tidak dilakkan sirkumsisi merupakan factor terjadinya BV. Hal ini
disebabkan karena membrane mukosa preputium lebih rentan terhadap
trauma dan menjadi jalan masuk bakteri pathogen
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl
0,9%pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan
coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan
kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel
epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella
vaginalis). Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan
spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah
penanda bakterial vaginosis.
b) Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin
terdeteksi dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret
vagina. Bau muncul sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik
hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial
vaginosis.
c) Tes lakmus untuk Ph
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna
kertas dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2.
Pada 80-90% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.
d) Pewarnaan gram sekret vagina
Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak
ditemukan Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan

22
dari Gardnerella vaginalis dan atau Mobilincus sp. dan bakteri anaerob
lainnya.
e) Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis
bakterial vaginosis. Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial
vaginosis tanpa grjala klinis tidak perlu mendapat pengobatan.
f) Uji H2O2
Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina
diatas gelas objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming
bubbles) karena adanya sel darah putih yang karakteristik untuk
trikomoniasis atau pada vaginitis deskuamatif, sedangkan pada vaginosis
bakterialis atau kandidiasis vulvovaginal tidak bereaksi.6
Penatalaksanaan
Drug of Choice
 Metronidazole
– 500 mg dua kali sehari selama 7 hari
– Metronidazole gel, 0,75%, 5g secara intravaginal sekali sehari selama
5 hari
 Clindamycin cream, 5%, 5 g intravaginal Qhs selama 7 hari

23
TRIKOMONIASIS

Definisi
Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis (TV). Pada wanita infeksi TV terutama menyebabkan
vaginitis. Penyakit ini ditandai dengan keluarnya duh tubuh vagina.
Patogenesis
Sasaran infeksi TV adalah sel epitel gepeng saluran genitalia. Infeksi
umumnya multifokal tetapi tidak terjadi invasi parasit ke dalam jaringan ikat.
Trichomonas Vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan sub epitel.
Masa tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus lanjut terdapat bagian-
bagian dengan jaringan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di
lapisan subepitel yang menjalar sampai di permukaan epitel. Di dalam vagina
dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel,kuman-kuman dan benda lain yang
terdapat dalam sekret.
Peranan Trichomonas Vaginalis
Perlekatan pada sel-sel epitel saluran urogenital merupakan langkah penting
pada patogenesis. Peristiwa perlekatan tergantung pada waktu,suhu dan pH. Sel
permukaan TV merupakan sebuah adhesion mosaic,respetor-reseptor terhadap

24
matriks protein dan karbohidrat ekstraselular,yang merupakan basis untuk
ikatan reseptor ligan. Perlekatan parasit pada sel permukaan diperantarai oleh 4
protein adhesi yaitu AP65,AP51,AP33,dan AP23 serta cystine proteinase (CP).
Ligan untuk perlekatan adalah laminin dan fibronektin.

Selain mekanisme kontak dependent,diperkirakan juga terjadi mekanisme


kontak independent. Cell free product dari TV bersifat sitotoksik dan
menyebabkan kerusakan sel sasaran. Faktor sitotoksik itu disebut dengan
contact detachment factor (CDF),yang merupakan protein,labil dengan
pemanasan dan asam,aktifitas optimal pada pH 6,5 dan tidak aktif pada pH 4,5.
Semakin tinggi kadar CHF maka semakin berat manifestasi klinis yang timbul.

Aspek lain yang berperan pada patogenesis adalah kemampuan TV


menghindari sistem kekebalan pejamu. Trichomonas vaginalis dilaporkan dapat
mengaktifkan jalir alternatif komplemen untuk menghindari sistem
komplemen. TV juga memiliki variasi fenotip sebagai mekanisme untuk
menghindari sistem imunitas. CPs yang disekresiakan oleh TV dapat
menurunkan konsentrasi IgG,IgM,dan IgA sehingga memungkinkan organisme
bertahan dari respons antibodi.TV melapisi permukaannya dengan protein
plasma pejamu sehingga sistem kekebalan tubuh pejamu tidak mengenali
parasit sebagai benda asing.

Gejala
• Keputihan

• Gatal

• Iritasi

Tanda dari infeksi tersebut meliputi :


• Duh tubuh vagina (42%)

• Bau (50%)

25
• Edema atau eritema (22-27%)

Duh tubuh yang klasik berwarna kuning kehijauan dan kadang terbentuk
abses kecil pada dinding vagina dan serviks yang tampak sebagai granulasi
berwarna merah dikenal dengan (strawberry cervix) yang disetai gejala
dyspareunia.

Pemeriksaan Laboratorium
• Pemeriksaan mikroskopis

• Biakan (GOLD STANDAR)

• Pemeriksaan diagnostik cepat (rapid test)

Penatalaksanaan
• Recommended :
– Metronidazole 2 g single oral dose.
• Alternative:
– Metronidazole 500 mg twice a day for 7 days.
– Metronidazole 2 g single dose for 3-5 days.
• Local treatment:
– Clotrimazole cream 1% for 7 days.
– Vaginal tablet 100 mg 1 tablet once a day for 7 days.

VULVOVAGINAL CANDIDIASIS

Epidemiologi
Salah satu penyebab keputihan tersering, mengikuti Bacterial Vaginosis,
Gonorrhea, Vaginitis Non Gonorrhea dan Trochomoniasis. Diperkirakan
sekitar 55,7% wanita pernah mengalami kasus ini seumur hidupnya, dan
meskipun mempunyai angka kematian yang rendah, tetapi sangat mengganggu
aktivitas dan mempunyai keluhan yang membuat penderitanya mencari layanan
kesehatan. Sering terjadi pada wanita usia produktif, dan sangat jarang terjadi

26
pada wanita sebelum menarche, dan juga lebih sering terjadi pada African-
American. Beberapa hasil penelitian ini bisa dikaitkan dengan faktor resiko
yang menyebabkan penyakit ini, seperti hormon, perilaku seksual, dll.
Faktor Risiko
Adapun beberapa faktor resiko yang berkaitan, yaitu:
• Diabetes Mellitus

• Usia

• HIV

• Hormon

• Antibiotik

• Kehamilan

• Alat KB

• Perilaku sexual

Pathogenesis
Secara umum, penyebab terjadinya gejala ini adalah karena invasi Candida
albicans pada sel-sel epitel pada vagina. Perubahan bentuk menjadi hifa sangat
berpengaruh terhadap adhesi jamur ini terhadap lapisan vagina. Umumnya sel
ini terbentuk dan ada di vagina –mengingat bahwa Candida albicans adalah
salah satu flora normal penyusun mikrobiota vagina- tetapi selalu disupresi oleh
sistem imun host, dan juga mengalami kompetisi yang ketat dengan
Lactobacillus sp. yang mendominasi vagina. Tetapi jika ada penyebab lain yang
menyebabkan pH vagina menurun atau konsentrasi Candida albicans –
khususnya yang berbentuk hifa- meningkat, maka gejala klinis bisa tejadi.
Salah satu penyebabnya adalah karena reaksi imun host yang meningkatkan
vaskularisasi dengan pelepasan beberapa sitokin inflamatorik ke daerah infeksi,
sehingga terjadi eritem di daerah tersebut. Selain itu, sitokin-sitokin ini juga
berperan dalam terjadinya pruritus yang seringkali menyertai gambaran klinis
penyakit ini. Karena banyaknya sel PMN yang menginfiltasi lokasi infeksi,

27
alhasil terjadi timbunan pus dan sekret di derah vagina, yang akhirnya
tervisualisasi sebagai gambaran flour albus.
Diagnosis
Diagnosis pada vulvovaginitis candidiasis secara garis besar mirip dengan
penyakit lain. Pada awalnya, anamnesis untuk mencari tahu tentang gejala yang
dialami penderita penting dilakukan untuk memberikan gambaran penyebab
terjadinya keputihan, dan juga untuk menggali lebih dalam faktor resiko yang
dimiliki oleh pasien (riwayat berhubungan seksual, riwayar kontrasepsi, dll)
Kemudian, untuk lebih meyakinkan hasil diagnosis, dilakukan pemeriksaan
fisik dengan melakukan inspeksi dan palpasi pada daerah perineum dan vagina.
Tanda khas adalah ditemukannya sekret putih dan juga gambaran mirip keju,
dan juga adanya tanda inflamasa seperti bengkak, eritema dan nyeri di daerah
infeksi.

Jika diperlukan dan memungkinkan, bisa dilakukan pemeriksaan penunjang


dengan mengambil sekret dari vagina dan melakukan kultur. Kultur yang
digunakan adalah menggunakan media khusus fungi, seperti Saboraud Dextrose
Agar. Pemeriksaan mikroskopis dengan penambahan KOH juga dilakukan
untuk melihat dan memastikan penyebab dari infeksi. Jika perlu, dilakukan
pemeriksaan lain dengan spesifitas lebih tinggi seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR), pemeriksaan antigen dan juga ELISA .

28
Penatalaksanaan
 Tatalaksana pada umumnya menggunakan anti-fungi
 Tatalaksana spesifik disesuaikan dengan hasil kultur fungi
 Penggunaan dan lama terapi didasarkan pada gambaran klinis (komplikasi,
dll)

• Nystatin 100.000 U vaginal tab. 14 days


• Fluconazole 150 mg tab. Singledose
• Ketoconazole 200 mg tab. 2 tab x 5 day
• Itraconazole 100 mg tab. 2 tab x 3 days
• Miconazole 2 % cream 5 gr x 7 days
100 mg v.tab 1 supp x 7 days
200 mg v.tab 1 supp x 3 days
• Clotrimazole 1 % cream 5 gr x 7-14 days
• Econazole 150 mg v. Suppo 1 tab x 3 days
GONORE

Definisi
Gonore adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh kuman
Neisseria gonorrhoea lewat PMS ( diplokokkus gram negatif, dan berbentuk
biji kopi ). Masa inkubasinya sekitar 2-5 hari.
Epidemiologi
Pada AS terdapat kasus GO rata-rata 400 ribu – 1 juta/thn Penyakit ini
tersebar secara endemik, termasuk di Indonesia.seperti yang kita ketahui
umumnya diderita oleh laki-laki muda usia secara menular seksual pada umur
20 -24 tahun dan wanita muda usia 15 -19 tahun (terutama pada usia produktif)
Sedangkan pada daerah di sekitar Di Hong Kong terdapat kasus hingga
36%, Filipina 54%. Pada Tahun 2002
Faktor Resiko
1) Hub. Seksual dgn penderita tanpa proteksi
2) Mempunyai banyak pasangan seksual
3) Pada bayi- saat melewati jalan lahir dari ibu yang terinfeksi

29
4) Pada anak- Sexual abuse oleh penderita terinfeksi
Patofisiologi
Penularan penyakit GO ini secara seksual dan bakteri GO sangat menyukai
daerah mukosa pada vagina, Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah
dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang
(imatur) yakni pada vagina wanita sebelum pubertas. Afinitas kuman juga
sangat baik pada mukosa yang dilapisi epitel silindris, epitel yang lapis gepeng
yang belum berkembang.
a. Terjadi luka terhadap mukosa vagina
b. Bakteri GO menempel pada epitel vagina dengan menggunakan Pil Bakteri
ini melekat dan menghancuran membran sel epitel yang melapisi selaput
lendir, terutama epitel yang melapisi kanalis endoserviks dan uretra.
c. Bakteri GO melepaskan protein OPA untuk menempel pada sel inang
(adhesi bakteri)
d. Bakteri melepaskan Por (yang digunakan dalam mempertahankan
fagositosis bakteri) dan protein Rmp (untuk mengubah berat molekul
bakteri GO) dan dilengkapi dengan kapsul sehingga dapat bertahan hidup
dari fagositosis
e. Bakteri GO mengeluarkan LOS yang berperan sebagai toksisitas bakteri
yang bersifat endotoxic Bakteri GO melepaskan IgA protease yang
menghambat kerja dari antibody IgA pada mukosa
Manifestasi Klinis
Infeksi Terhadap Wanita :
1) 80 % pada wanita sulit dideteksi karena bersifat asimtomatik.
2) Vaginal discharge (putih keruh kekuningan) keluar dari uretra, kelenjar
periuretra, atau duktus kelenjar Bartholin dan berbau busuk
3) Nyeri abdomen Kronis
4) Disuria
5) Dispareunia
6) Menorrhagia
7) Demam

30
8) Muntah – muntah
9) Rasa sakit pada sendi
10) Muncul ruam pada telapak tangan
Gejala Pada Neonatus
1) konjungtivitis bilateral setelah proses kelahiran o/ ibu yang terinfeksi dapat
menyebabakan kebutaan
2) Artritis gonokokus neonatal merupakan bentuk infeksi artritis yang sa
ngat merusak. Bakteri biasanya didapatkan dari ibunya pada saat
melahirkan.
3) Setelah kelahiran, semua bayi membutuhkan profilaksis
perak nitrat 1%.
Diagnosis Laboratorium
 Pewarnaan Gram (akan didapatkan hasil gram negatif)
 Kultur (Thayer Martin Agar / chocolate blood agar ) dengan medium
transport (medium Stuart)
 Tes Definitif: Tes Oksidasi (semua golongan Neisseria akan bereaksi
positif) & Tes Fermentasi (semua golongan gonococcus akan meragikan
glukosa)
 Tes beta laktamase (hasil tes positif ditunjukan dengan perubahan warna
kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta laktamase)
 Tes Thomson
 Tes Imunofluresensi
 Tes enzyme-liked immunosorbent assay (ELISA)
Diagnosis
Anamnesis
1. Menanyakan keluhan pemberat
2. Menanyakan riwayat coitus
3. Tanyakan status pernikahan
4. Riwayat haid
5. Onsen dan durasi keluhan
6. Riwayat social-ekonomi serta lingkungan dan pekerjaan
Pemeriksaan fisis

31
1. Pada pemeriksaan serviks tampak merah dengan erosi dan sekret
mukopurulen.
2. Melihat apakah ada nyeri tekan
3. Apakah ada pembesaran kelenjar ( bartholini, dll )
Pemeriksaan laboratorium
1. Pada pemeriksaan dapat melakukan swab vagina untuk menegakkan
diagnosis
Pengobatan
Golongan Sefalosporin
1) Seftriakson 125-250 mg IM/SD
2) Cefiksim 400 mg/SD

HERPES SIMPLEK

Defisini

Infeksi Herpes Simpleks ditandai dengan episode berulang dari lepuhan-


lepuhan kecil di kulit atau selaput lendir, yang berisi cairan dan terasa nyeri.
Herpes simpleks menyebabkan timbulnya erupsi pada kulit atau selaput lendir.
Erupsi ini akan menghilang meskipun virusnya tetap ada dalam keadaan tidak
aktif di dalam ganglia (badan sel saraf), yang mempersarafi rasa pada daerah
yang terinfeksi. Secara periodik, virus ini akan kembali aktif dan mulai
berkembangbiak,seringkali menyebabkan erupsi kulit
berupa lepuhan pada lokasi yang sama dengan infeksi sebelumnya. Virus juga
bisa ditemukan di dalam kulit tanpa menyebabkan lepuhan yang nyata, dalam
keadaan ini virus merupakan sumber infeksi bagi orang lain.
Jenis-jenis Virus Herpes Simplek
1. HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka
di bibir semacam sariawan. HSV jenis ini ditularkan melalui ciuman mulut

32
atau bertukar alat makan seperti sendok – garpu (misalnya suap-suapan
dengan teman). Virus tipe 1 ini juga bisa menimbulkan luka di sekitar alat
kelamin.
2. HSV tipe 2; dapat menyebabkan luka di daerah alat vital sehingga suka
disebut genital herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina.
HSV 2 ini juga bisa menginfeksi bayi yang baru lahir jika dia dilahirkan
secara normal dari ibu penderita herpes. HSV-2 ini umumnya ditularkan
melalui hubungan seksual. Virus ini juga sesekali muncul di mulut. Dalam
kasus yang langka, HSV dapat menimbulkan infeksi di bagian tubuh
lainnya seperti di mata dan otak
Faktor Penyebab Penyakit Herpes Simplek
Timbulnya penyakit herpes bisa dipicu oleh:
1. pemaparan cahaya matahari
2. Demam
3. Stres fisik/emosional
4. Penekanan sistem kekebalan
5. Obat-obatan atau makanan tertentu.
Penyakit yang ditimbulkan Virus Herpes Simplek
1. HSV-1
a. Gingivostomatitis herpetik akut
Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak kecil (usia 1-3 tahun) dan
terdiri atas lesi-lesi vesikuloulseratif yang luas dari selaput lendir mulut,
demam, cepat marah dan limfadenopati lokal. Masa inkubasi
pendek(sekitar 3-5 hari) dan lesi-lesi menyembuh dalam 2-3 minggu.
b. Keratojungtivitis
Suatu infeksi awal HSV-1 yang menyerang kornea mata dan dapat
mengakibatkan kebutaan.
c. Herpes Labialis
Terjadi pengelompokan vesikel-vesikel lokal, biasanya pada perbatasan
mukokutan bibir. Vesikel pecah, meninggalkan tukak yang rasanya

33
sakit dan menyembuh tanpa jaringan parut. Lesi-lesi dapat kambuh
kembali secara berulang pada berbagai interval waktu.
2. HSV-2
a. Herpes Genetalis
Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis pria
atau serviks, vulva, vagina, dan perineum wanita. Lesi terasa sangat
nyeri dan diikuti dengan demam, malaise, disuria, dan limfadenopati
inguinal. Infeksi herpes genetalis dapat mengalami kekambuhan dan
beberapa kasus kekambuhan bersifat asimtomatik. Bersifat simtomatik
ataupun asimtomatik, virus yang dikeluarkan dapat menularkan infeksi
pada pasangan seksual seseorang yang telah terinfeksi.
b. Herpes neonatal
Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir.
Virus HSV-2 ini ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran
melalui kontak dengan lesilesi herpetik pada jalan lahir. Untuk
menghindari infeksi, dilakukan persalinan melalui bedah caesar
terhadap wanita hamil dengan lesi-lesi herpes genetalis.
Infeksi herpes neonatal hampir selalu simtomatik. Dari kasus yang tidak
diobati, angka kematian seluruhnya sebesar 50%.
Gejala Herpes Simplek
Gejala umum Herpes simplek adalah bentol berisi cairan yang terasa perih
dan panas. Bentolan ini akan berlangsung beberapa hari. Bintil kecil ini bisa
meluas tidak hanya di wajah tapi bisa di seluruh tubuh. Bisa juga terlihat seperti
jerawat, dan pada wanita timbul keputihan. Rasa sakit dan panas di seluruh
tubuh yang membuat tidak nyaman ini bisa berlangsung sampai beberapa hari
disertai sakit saat menelan makanan, karena kelenjar getah bening sudah
terganggu. Gejala ini datang dan pergi untuk beberapa waktu. Bisa saja setelah
sembuh, gejala ini “tidur” untuk sementara waktu sampai satu tahun lamanya.
Namun akan tiba-tiba kambuh dalam beberapa minggu.

34
Sering terasa gatal yang tidak jelas di sebelah mana, kulit seperti terbakar di
bagian tubuh tertentu disertai nyeri di daerah selangkangan atau sampai
menjalar ke kaki bagian bawah.Gejala herpes dapat melukai daerah penis, buah
pelir, anus, paha, pantat- vagina, dan saluran kandung kemih.

Cara penularan Herpes


Transmisi HSV kepada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya
terjadi ketika virus mengalami multiplikasi di dalam tubuh host (viral
shedding). Lama waktu viral shedding pada tiap episode serangan HSV
berbeda-beda. Pada infeksi primer dimana dalam tubuh host belum terdapat
antibodi terhadap HSV, maka viral shedding cenderung lebih lama yaitu sekitar
12 hari dengan puncaknya ketika muncul gejala prodormal (demam,lemah,
penurunan nafsu makan, dan nyeri sendi) dan pada saat
separuh serangan awal infeksi primer, walaupun > 75 % penderita dengan
infeksi primer tersebut tanpa gejala. Viral shedding pada episode I non primer
lebih singkat yaitu sekitar 7 hari dan karena pada tahap ini telah terbentuk
antibodi terhadap HSV maka gejala yang ditimbulkan lebih ringan dan kadang
hanya berupa demam maupun gejala sistemik singkat. Pada tahap infeksi

35
rekuren yang biasa terjadi dalam waktu 3 bulan setelah infeksi primer, viral
shedding berlangsung selama 4 hari dengan puncaknya pada saat timbul gejala
prodormal dan pada tahap awal serangan. Viral shedding pada tahap
asimptomatik berlangsung episodik dan singkat yaitu sekitar 24-48 jam dan
sekitar 1-2 % wanita hamil dengan riwayat HSV rekuren akan mengalami
periode ini selama proses persalinan.
Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi dari
seorang individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat berlangsung
secara horisontal dan vertikal. Perbedaan dari ke-dua metode transmisi tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Horisontal
Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang
seronegatif berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel
yang berisi virus aktif (81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah mengering
(36%) dan dari sekresi cairan tubuh yang lain seperti salivi, semen, dan
cairan genital (3,6-25%). Adanya kontak bahan-bahan tersebut dengan kulit
atau mukosa yang luka atau pada beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut
maka virus dapat masuk ke dalam tubuh host yang baru
dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru saja dimasukinya
untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan sewaktu-waktu dapat
menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya vesikel kecil berkelompok
dengan dasar eritem.
2. Vertikal
Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada
periode antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal bertanggung
jawab terhadap 5 % dari kasus HSV pada neonatal. Transmisi ini terutama
terjadi pada saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam fase
viremia (virus berada dalam darah) sehingga secara hematogen virus
tersebut dalam masuk ke dalam plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter
akhirnya menginfeksi fetus. Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh
terhadap prognosis si bayi, apabila infeksi terjadi pada trimester I biasanya

36
akan terjadi abortus dan pada trimester II akan terjadi kelahiran prematur.
Bayi dengan infeksi HSV antenatal mempunyai angka mortalitas ± 60 %
dan separuh dari yang hidup tersebut akan mengalami gangguan syaraf
pusat dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada masa-masa akhir
kehamilan akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena tubuh ibu
belum sempat membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus
masuk tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus sebagai suatu
antibodi neutralisasi transplasental dan hal ini akan mengakibatkan 30- 57%
bayi yang dilahirkan terinfeksi HSV dengan berbagai komplikasinya
(mikrosefali, hidrosefalus, calsifikasi intracranial, chorioretinitis dan
ensefalitis)
Sembilan puluh persen infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum
yaitu ketika bayi melalui jalan lahir dan berkontak dengan lesi maupun
cairan genital ibu. Ibu dengan infeksi primer mampu menularkan HSV pada
neonatus 50 %, episode I non primer 35% , infeksi rekuren dan
asimptomatik 0-4%.
Pengobatan

37
Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV.
Semua obat tersebut menghambat sintesis DNA virus. Obat ini dapat
menghambat perkembangbiakan virus herpes. Walaupun demikian, HSV tetap
bersifat laten di ganglia sensorik, dan angka kekambuhannya tidak jauh berbeda
pada orang yang diobati dengan yang tidak diobati. Salah satu obat yang efektif
untuk infeksi Herpes Simpleks Virus adalah: Siklofir dalam bentuk topikal,
intravena, dan oral yang kesemuanya berguna untuk mengatasi infeksi primer.

8. Langkah-langkah diagnostik
 Anamnesis
- Sejak kapan mengalami keputihan
- Bagaimana konsistensi, warna, bau, jumlah dari keputihannya
- Riwayat penyakit sebelumnya
- Riwayat penggunaan obat antibiotik atau kortikosteroid

38
- Riwayat penggunaan bahan-bahan kimia dalam membersihkan alat
genialia
- Gejala Penyerta Lainnya
- Higienitas alat genitalia
- Riwayat terakhir kali berhubungan seksual
- Riwayat perkerjaan
 Pemeriksaan Fisis
 Inspeksi : kekentalan, bau dan warna leukore
- Warna kuning kehijauan berbusa : parasit ( trichomonas)
- Warna kuning, kental : GO
- Warna putih : jamur
- Warna merah muda : bakteri non spesifik
- Palpasi : pada kelenjar bartolini
 Pemeriksaan Ginekologi
- Inspekulo
- Pemeriksaan bimanua
 Laboratorium
- Pemeriksaan PH vagina
pH normal vagina : 3,8 – 4,5
o Pulasan dengan pewarnaan gram
o Pemeriksaan dengan larutan garam fisiologis dan KOH 10%
o Kultur
9. Edukasi
 Pola hidup sehat : diet seimbang, hindari rokok dan alkohol,istirahat cukup
 Selalu setia pada pasangan
 Selalu menjaga hieginitas
 Biasakan membasuh dengan benar setiap kali buang air dari arah depan ke
belakangan
 Sebaiknya mengurangi penggunaan cairan pembersih vagina
 Hindari penggunaan bedak talcum, tissue, sabun pewangi

39
 Hindari pemakaian barang yang memudahkan penularan seperti saling
meminjam perlengkapan mandi
 Sedapat mungkin tidak duduk diatas kloset di wc umum atau biasakan
mengelap dudukan kloset sebelum menggunakannya
 Sebaiknya tidak mengunakan pantyliner
 Sebaiknya tidak mengunakan pakaian dalam yang ketat

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H Saifuddin, B rachimadi, Triyatmo. Radang dan Penyakit pada


Alat Genital Wanita. Ilmu Kandungan.2011. Ed 3. Jakarta: Yayasan Bina ustaka
Sarwono Prawirohardjo
2. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid I Edisi VI
3. Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Jakarta. 2014
4. Histologi Dasar Junqueira Edisi 12
5. Schalkwyk, JV, et al. Vulvovaginitis: Screening for and Management of
Trichomoniasis, Vulvovaginalis Candidiasis, and Bacterial Vaginosis. SOGC
Clinical Practice Guideline. 2008
6. Williams obstetrics 22th Ed
7. Greer, IA, Cameron, I T, Mangowan B. Vaginal Discharge. Problem based
Obstetrics an Gynecology. London. Churchill Livingstone. 2003. p.37 – 90
8. Girerd, Philippe H. 2015. Bacterial vaginosis. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/254342-overview
9. Gusti Ayu Marhaeni , Jurnal Keputihan pada Wanita:2016. Manuaba I.A.C.,
Manuaba IBG, Manuaba IB. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita.2nd ed.
Jakarta: EGC; 2009.
10. Kierzenbaum. 2004. Histology and Cell Biology. Mosby.
11. Gartner and Hiatt. 2004. Textbook Histology. Saunders.
12. Sastrawinata, Sulaiman. 2010. Ginekologi Edisi 2. Bandung: FK Universitas
Padjadjaran
13. Price, Sylvia A. 2007. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.

41
BLOK REPRODUKSI

LAPORAN TUTORIAL

KEPUTIHAN

OLEH KELOMPOK 9

 Kartika Caesar Diningsih : 10542055414


 Andi Afdalia Reski : 10542055614
 Syadad Hadi : 10542058514
 Rizky Suci Aulia Sari : 10542059714
 Rasdiana FB. Matong : 10542062415
 Indah : 10542062515
 M. Yusril Ihzanul Hikmah S : 10542063115
 Nurul Azizah : 10542064815
 A. St. Haniyah Nadhifah Zulkifli : 10542065015
 St. Nurchaliza Damayanti Pratiwi : 10542065615

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018/2019

42

Anda mungkin juga menyukai