Anda di halaman 1dari 9

1.

Ada dua jenis keputihan yaitu keputihan normal (fisiologis) dan keputihan tidak
normal (patologis)
a. Keputihan normal (fisiologis)
Keputihan fisiologis terdiri atas cairan yang kadang-kadang berupa
mukus yang mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang,
keputihan fisiologis ditemukan pada
1) Bayi baru lahir sampai umur kir-kira 10 hari, disini sebabnya ialah pengaruh
estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin
2) Waktu di sekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen
keputihan disini hilang sendiri, akan tetapi dapat menimbulkan keresahan
pada orang tuanya.
3) Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan paa waktu koitus,
disebabkan oleh pengeluaran transudasi dari dinding vagina.
4) Waktu di sekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri
menjadi lebih encer.
5) Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah pada
wanita dengan penyakit menahun, dengn neurosis, dan pada wanita dengan
ektropion porsionis uteri (Sarwono, 2010).
b. Keputihan tidak normal (patologis)
Penyebab paling penting dari keputihan patologi ialah infeksi. Disini
cairan mengandung banyak leukosit dan warnanya agak kekuning-kuningan
sampai hijau, seringkali lebih kental dan berbau. (Sarwono, 2010).
Keputihan patologis merupakan cairan eksudat dan cairan ini
mengandung banyak leukosit. Eksudat yang terjadi karena adanya luka, ciran
yang muncul berwarna, jumlahnya berlebihan, berbau tidak sedap, terasa gatal
atau panas dan menyebabkan luka disekitar mulut vagina.
Penyebab keputihan
Penyebab keputihan antara lain:
Infeksi
a) Bakteri
 Gonokokus
Cairan yang keluar dari vagina pada infeksi yag lebih dikenal dengan
nama gonore ini berwarna kekuningan yang sebetulnya merupakan
nanah yang terdiri dari sel darah putih yang mengandung Neisseria
gonorhoae berbentuk pasangan dua-dua pada sitoplasma sel. Gambaran
ini kadang-kadang dapat terlihat pada pemeriksaan sediaan apus dengan
pewarnaan gram. Bakteri ini mudah mati bila terkena sabun, alkohol,
deterjen, dan sinar matahari. Cara penularan penyakit kelamin ini
melalui senggama.
 Klamidia trakomatis
Bakteri ini sering menyebabkan penyakit mata yang dikenal dengan
penyakit trakoma. Bakteri ini dapat juga diemukan pada cairan vagina
dan terlihat melalui mikroskop setelah diwarnai dengan pewarnaan
giemsa.
 Gardnella vaginalis
Gardnella menyebabkan peradangan vagina yang tidak spesifik dan
kadang dianggap sebagai bagian dari mikroorganisme normal dalam
vagina karena seringnya ditemukan. Bakteri ini biasanya mengisi penuh
sel epitel vagina dengan membentuk bentukan khas dan disebut sebagai
clue cell. Gardnella menghasilkan asam amino yang diubah menjadi
senyawa amin yang menimbulkan bau amis seperti ikan. Ciaran vagina
tampak berwarna keabu-abuan.
 Treponema pallidium
Bakteri ini merupakan penyebab penyakit sifilis. Pada perkembangan
penyakit dapat terlihat sebagai kutil-kutil kecil di vulva dan vagina yang
disebut kondoiloma lata. Bakteri berbentuk spiral dan tampak bergerak
aktif pada pemriksaan mikroskopis lapangan gelap.
b) Jamur
Jamur yang menyebabkan fluor albus adalah dari spesies kandida. Cairan
yang keluar dari vagina biasanya kental, berwarna putih susu dan sering
disertai rasa gatal, vagina tampak kemerahan akibat proses peradangan.
Beberapa kedaan yang dapat merupakan tempat yang subur bagi
pertumbuhan jamur ini adalah kehamilan, penyakit diabetes melitus, dan
penggunaan pil kontrsepsi.
c) Virus
Fluor albus akibat infeksi virus sering disebabkan oleh kondiloma akuminata
dan herpes simpleks tipe 2. Kondiloma ditandai dengan tumbuhnya kutil-
kutil yang kadang sangat banyak dan dapat bersatu membentuk jegger ayam
yang berukuran besar.
Virus lain yang meyebabkan fluor albus adalah virus herpes simpleks tipe 2
yang juga merupakan penyakit yang ditularkan melalui senggama. Pada awal
infeksi tampak kelainan kulit seperti melepuh terkena air panas yang
kemudian pecah dan menimbulkan luka seperti borok, dan pasien meras
sakit..
d) Benda asing
Adanya benda asing seperti tertinggalnya kondom atau benda tertentu yang
dipakai pda waktu senggama, adanya cincin pesarium yang digunakan wanita
dengan prolapsus uter dpat merangsang pengeluaraan caira vagina yang
berlebihan.
e) Neoplasma
Kanker akan menyebakan keputihan patologis akibat gangguan pertumbuhan
sel normal yang berlebihan sehingga menyebabkan sel tumbuh sangat ceoat
secara abnormal dan mudah rusak, akibatnya terjadi pembusukan dan
perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah untuk memberikan makanan
dan oksigen pada sel kanker tersebut.
f) Menopause
Keputihan pada menopause tidak semua patologis. Pada saat menopause sel-
sel pada serviks uteri dan vagina mengalami hamabatan dalam pematangan
sel akbat tidak adanya hormon pemacu, yaitu estrogen. Vagina menjadi
kering dan lapisan sel menjadi tipis, kadar glikogen menurun
danbasildoderlein berkurang. Keadaan ini memudahkan terjadinya infeksi
karena tipisny lapisan sel epitel sehingga mudah menimbulkan luka dan
akibatnya timbul keputihan.
g) Erosi
Pada masa reproduksi wanita, umumnya epitel kolumnar endoserviks lebih
keluar kearah porsio sehingga tampak bagian merah mengelilingi ostiu, uteri
internum. Bila daerah merah ini terkelupa akan memdahkan terjadinya nfeksi
penyerta dari flora normal di vagina sehingga timbul flour albus. Penyebab
tidak diketahui, kemungkinan terjadi akibat kenaikan estrogen.
Mekanisme keputihan
Keputihan adalah nama gejala yang diberikan kepada cairan yang
dikeluarkan dari alat-alat genital yang tidak berupa darah (Sarwono, 2010).
Di dalam vagina terdapat berbagai bakteri, 95% adalah bakteri lactobacillus
dan selebihnya adalah bakteri patogen ( bakteri yang menyebabkan penyakit ).
Dalam keadaan ekosistem vagina yang seimbang, bakteri patogen tidak akan
mengganggu. Peran penting dari bakeri dalam flora vaginal adalah untuk menjaga
derajat keasaman (pH) agar tetap pada level normal. Dengan tingkat keasaman
tersebut, lactobacillus akan tumbuh subur dan bakteri patogen akan mati. Pada
kondisi tertentu, kadar pH bsa berubah menjadi lebih tinggu atau lebih rendah
dari normal. Jika pH vagina naik menjadi lebih tinggu dari 4,2 (kurang asam),
maka jamur akan tumbub dan berkembang. Akibatnya, latobacillus akan kalah
dari bakteri patogen.
Dapus: Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kandungan Edisis Kedua Cetakan Ke Delapan.
Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
 Nyeri tekan perut bagian bawah
 Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri pada
pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang bilateral
 Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
Beberapa tanda tambahan adalah :
 Suhu oral lebih dari 38ºC

Pemeriksaan Laboratorium
 Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000 pada
50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau menurun, dan
tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.
 Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu diagnose
namun tetap tidak spesifik.
 Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
 Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk
mengkonfirmasi PID.
 Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kemih. (Berek, 2007)

Pemeriksaan Radiologi

 Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa, uterus,


termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak dengan adanya
ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa inkomplit dalam tuba,
cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel. Tuba fallopi normal biasanya
tidak terlihat pada USG. (Price, 2010)
 CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID adalah
servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan adanya
abses atau kumpulan cairan pelvis. Penemuan CT scan tidak spesifik pada kasus
PID dimana tidak bukati abses.
 MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat
penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas atau
kompleks tubaovarian.
Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID.
Mengevaluasi cairan di dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi
kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses tubaovarian, rupture apendiks, atau
abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur kehamilan ektopik, kista korpus
luteum, mestruasi retrograde, dll.
Kriteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah
edema dinding tuba, hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada
permukaan tuba dan fimbriae. Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau
kehamilan ektopik dapat terlihat.

Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis


secara histopatologis.

Penatalaksanaan
CDC memperbaharui panduan untuk diagnosis dan manajemen PID.
Panduan CDC terbaru membagi criteria diagnostic menjadi 3 grup :
Grup 1 : minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bila tidak ada
etiologi yang dapat dijelaskan. Kriterianya yaitu adanya nyeri tekan uterin atau
adnexa dan nyeri saat pergerakan serviks.
Grup 2 : kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostic termasuk
kriteria berikut : suhu oral >38,3ºC, adanya secret mukopurulen dari servical
atau vaginal, peningkatan erythrocyte sedimentation rate, peningkatan c-reactif
protein, adanya bukti laboratorium infeksi servikalis oleh N. gonorhea atau C.
trachomatis.
Grup 3 : kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang tepat untuk
beberapa pasien yaitu konfirmasi laparoskopik, ultrasonografi transvaginal
yang memperlihatkan penebalan, tuba yang terisi cairan dengan atau tanpa
cairan bebas pada pelvis, atau kompleks tuba-ovarian, dan endometrial biopsy
yang memperlihatkan endometritis. (Berek, 2007)
Kebanyakan pasien diterapi dengan rawatan jalan, namun terdapat
indikasi untuk dilakukan hospitalisasi yaitu :

 Diagnosis yang tidak jelas


 Abses pelvis pada ultrasonografi
 Kehamilan
 Gagal merespon dengan perawatan jalan
 Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral
 Sakit berat atau mual muntah
 Imunodefisiensi
 Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat jalan
Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Jika
terdapat AKDR, harus segera dilepas setelah pemberian antibiotic empiris
pertama. Terapi terbagi menjadi 2 yaitu terapi untuk pasien rawat inap dan rawat
jalan. (Berek, 2007)
Terapi pasien rawatan inap
Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam
ditambah doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini
selama 24 jam setelah pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai
doxisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari. Jika terdapat abses
tubaovarian, gunakan metronoidazole atau klindamisin untuk menutupi bakteri
anaerob.
Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2
mg/kg BB dosis awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam.
Terapi iv dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per
oral 100 mg doxisiklin dilanjutkan hingga 14 hari. (Berek, 2007)
Terapi pasien rawatan jalan
Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin
100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500
mg 2 kali sehari selama 14 hari.
Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per
oral dosis tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah
dozisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau tanpa
metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari.
Pasien dengan terapi intravena dapat digantikan dengan terapi per oral
setelah 24 jam perbaikan klinis. Dan dilanjutkan hingga total 14 hari.
Penanganan juga termasuk penanganan simptomatik seperti antiemetic,
analgesia, antipiretik, dan terapi cairan. (Berek, 2007)
Terapi Pembedahan
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi
harus dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi
pembedahan. Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture
abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan, drainase laparoskopi.
Penanganan dapat pula berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral
salpingooforektomi. Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi
telah membaik. (Price, 2010)
Panduan CDC untuk penatalaksanaan pasien
Dapus: Price, A. Sylvia. 2010. Patofisiologi Jilid .Jakarta: EGC
Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek & Novak’s Gynekology
14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai