Anda di halaman 1dari 48

in Filsafat - on Kamis, Juni 09, 2011 - 1 comment

Perbedaan terbesar antara ilmu pengetahuan dulu dengan sekarang adalah


keterlibatan ilmu pengetahuan sekarang dengan praksis. Meskipun masih aktual,
pembedaan itu kini tidak begitu tajam lagi. Hal itu karena banyak ilmu teoretis
yang memerlukan eksperimen untuk memperoleh pengetahuan. Tapi hubungan
yang erat yang tercermin pada ilmu-ilmu alam itu tidak begitu saja digeneralisir
pada semua bidang ilmu. Di samping itu, perlu diingat bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan semakin menambah kesenjangan antara problem-problem praktis
yang segera harus dicarikan solusinya dengan kesanggupan semua ilmu untuk
menyajikan pemecahannya. Di sinilah letak pengetahuan terhadap hubungan ilmu
teoretis dengan ilmu praktis menjadi penting.

Mengapa pembedaan antara ilmu-ilmu teoretis dengan ilmu-ilmu praktis dianggap


relatif? Hal itu karena pengalaman membuktikan, penelitian ilmu murni yang
ditujukan untuk memperoleh pengetahuan, pada waktunya membutuhkan
penerapan-penerapan praktis yang berdampak langsung. Pun, penelitian yang
ditujukan pada penerapan akan menggunakan pengetahuan ilmiah yang sudah
diperoleh dalam mengkonstruksi alat-alat dan metode baru, memecahkan
kesulitan-kesulitan yang timbul, dan sebagainya. Begitu pun sebaliknya. Penelitian
ilmiah murni berpotensi membuka keran penerapan yang berbeda.

Suatu ilmu dapat terbentuk dari problem-problem yang dipecahkan dengan cara
yang lain dari biasanya. Bisa jadi awalnya hanya kebetulan, namun dengan itu
terbuka jalan untuk terus bertanya. Tapi, selalu berlaku bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan ditentukan oleh hakikat problem yang muncul di dalam kerangka
teoretis ilmu bersangkutan. Perkembangan itu memengaruhi juga sifat dan urutan
penerapan ilmu bersangkutan. Hal itu mengakibatkan pada suatu saat timbul
penerapan baru namun tidak memecahkan masalah utama pada waktu itu.

Tidak ada ilmu yang menguasai realitas konkrit dalam keseluruhannya, masing-
masing punya cara pandang sendiri. Hal itu dikarenakan tidak semua ilmu
berkembang sama jauh dan karena ilmu-ilmu berbeda obyek formalnya.
Pertentangan yang terjadi adalah di satu pihak ada sekelompok ilmu yang dalam
penelitiannya terpimpin oleh permasalahannya sendiri, di lain pihak terdapat
sekelompok ilmu yang sengaja bertolak dari kebutuhan praktis. Contohnya ilmu
kedokteran. Awalnya, ia lebih merupakan seni ‘menyembuhkan’. Namun, dengan
perkembangan ilmu alam dan ilmu manusia, bertambahlah statusnya sebagai ilmu
dan karena tujuannya yang khas jadilah ia sebagai ilmu praktis. Berbeda dengan
tipe-tipe baru ilmu pengetahuan praktis seperti polemologi, ilmu yang mempelajari
sebab-sebab peperangan. Ilmu ini tidak termasuk ilmu militer. Namun karena
sifatnya yang multidisipliner, maka ia akan berusaha memecahkan problem-
problem praktis yang jadi obyek garapannya dengan melibatkan studi ilmu lain
yang sudah ada.

Ilmu praktis seperti di atas bisa saja hanya menyelesaikan permasalahan konkrit
dalam jangka pendek. Namun, bukan berarti kita harus meninggalkan pendekatan
multidisipliner seperti itu. Justru kita perlu mengembangkan ilmu-ilmu murni yang
bersangkutan agar pemecahan-pemecahan yang baru dapat berlangsung lama. Ada
tidaknya hasil-hasil praktis tidak tergantung pada mendesaknya problem-problem
praktis, melainkan pada ‘hukum-hukum perkembangan’ intern dari ilmu-ilmu
bersangkutan.

Kenyataannya, istilah multidisipliner di atas lebih tepat dibanding inter-disipliner.


Hal itu karena ilmu-ilmu lain yang berkaitan, terlibat secara teori dalam
pemecahan problem-problem fundamental ilmu yang dimaksud. Sedangkan inter-
disipliner menghendaki ilmu lain sebagai rantai pengetahuan yang taut menaut dan
bukannya membangun teori baru. Hal ini menunjukkan integrasi yang jelas dalam
ilmu-ilmu yang sifatnya multidisipliner. Namun, kesulitan yang terjadi adalah
bahwa pada pendekatan praktis terhadap problem-problem umumnya akan
berdominasi ilmu-ilmu yang memiliki sarana teoretis yang paling kuat. Ini
memberikan warning bagi para ilmuwan untuk selalu menyadari keberatsebelahan
suatu pendekatan ilmiah tertentu. Berat sebelah itu wajar karena tiap ilmu
memandang realitas dari satu sudut pandang tertentu. Suatu ilmu yang
“menyusupi” ilmu-ilmu lain bisa jadi pada waktunya akan menempuh jalannya
sendiri dan membangun teorinya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konkrit,
tapi tidak lagi secara langsung terarah ke situ.

Kebertautan teori dan praksis ini berlaku ini bahkan pun pada ilmu sejarah. Pada
ilmu sejarah, fenomena itu senantiasa berulang polanya. Dari situ bisa kita lihat
bahwa pola pengaruh kebudayaan akan sama meskipun berbeda hasil
kebudayaannya. Begitu pula dalam ilmu filsafat. Filsafat sebagai theoria dan etika
sebagai praxis secara intrinsic berhubungan erat satu sama lain. Hal itu merupakan
hal yang sudah umum dan wajar.

Penting pula disebutkan di sini mengenai ciri-ciri umum yang berlaku bagi ilmu
pengetahuan, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara
logis koheren. Itu berarti ada sistem dalam penelitian dan dalam hasil.
2. Ilmu pengetahuan harus tanpa pamrih. Begitu pun dalam praksis, ilmu
pengetahuan itu haruslah diarahkan pada pencarian kebenaran.
3. Ilmu pengetahuan berlaku universal, yaitu umum dan obyektif—terpimpin oleh
obyek dan tidak didistorsi oleh prasangka subyektif
4. Agar seobyektif mungkin, ilmu pengetahuan juga harus intersubyektivitas, yaitu
dapat diverifikasi oleh peneliti lain meskipun verifikasi akan bersifat lain. Karena
itu juga, ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
5. Ilmu pun berlaku progresif, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah
bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem baru lagi.
Di sinilah pentingnya sikap kritis seorang ilmuwan. Dengan sikap ini, tidak hanya
terbuka wilayah-wilayah baru dalam kajian ilmu pengetahuan, tapi juga membuka
peluang revisi pada bidang yang sudah digarap.
6. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan. Inilah kebertautan umum teori dan
praksis. Cara menggunakan ilmu bisa berbeda-beda, tapi tiap ilmu pengetahuan
harus menemukan tempatnya untuk diverifikasi secara eksperimental.
Save Save
Related Posts :
© Copyright 2013 Catatan Intelektual - ALL RIGHTS RESERVED - POWERED BY
BLOGGER.COM
Explore

Search

UploadSign inJoin

Ilmu Alam Dan Ilmu Sosial

Uploaded by Novia Viiaa

Related Interests

 Dentistry
 Public Health
 Health Care
 Mouth
 Health Sciences

Rating and Stats

46 views

Document Actions

Share or Embed Document

Sharing Options

 Share on Facebook, opens a new window


 Share on Twitter, opens a new window
 Share on LinkedIn
 Share by email, opens mail client

Embed
Description: bhkj

View More

bhkj

Copyright: Attribution Non-Commercial (BY-NC)


Download as DOCX, PDF, TXT or read online from Scribd

Flag for inappropriate content

Recommended Documents

Documents Similar To Ilmu Alam Dan Ilmu Sosial

Interview Questions

by ellelov449

Dental website text

by kadgil

Case Study: Give Kids a Smile -- Henry Schein Helps the American Dental Association

by Henry Schein

Documents About Dentistry


tmpE31

by Frontiers

Consultant Resume Sample

by resume7.com

Richard A. Borgner v. Robert G. Brooks, 284 F.3d 1204, 11th Cir. (2002)

by Scribd Government Docs

More From Novia Viiaa

h_1092462962

by Novia Viiaa

tugas
by Novia Viiaa

Selamat Datang Di KLINIK NUTRISI

by Novia Viiaa

You are on page 1of 11

Ilmu Alam dan Ilmu Sosial: Beberapa Perbedaan

Dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak
tertinggal di belakang. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial yang adalah manusia
sebagai makhluk multidimensional.

Obyek Penelaahan yang Kompleks

Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alami yang hanya bersifat fisik.
Kendati juga memiliki karakteristik fisik, gejala sosial memerlukan penjelasan yang lebih
dalam. Hal yang bersifat azasi sering tak tersentuh oleh pengamatan terhadap gejala fisik
karena sifatnya yang umum. Penelaahan ilmu alam meliputi beberapa variabel dalam
jumlah yang relatif kecil dan dapat diukur secara tepat, sedangkan variabel ilmu sosial
sangat banyak dan rumit.

Kesukaran dalam Pengamatan

Pengamatan langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-ilmu alam.
Ahli ilmu sosial tidak mungkin menangkap gejala masa lalu secara indrawi kecuali melalui
dokumentasi yang baik, sedangkan seorang ahli ilmu kimia atau fisika, misalnya, bisa
mengulangi percobaan yang sama setiap waktu dan mengamatinya secara langsung. Hakikat
ilmu-ilmu sosial tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang. Mungkin
saja seorang ahli ilmu sosial mengamati gejala sosial secara langsung, tetapi ia akan
menemui kesulitan untuk melakukannya secara keseluruhan karena gejala sosial lebih
variatif dibandingkan gejala fisik. Perlakuan yang sama terhadap setiap individu penelitian
dalam ilmu sosial bisa menghasilkan suatu tabulasi, tetapi peluang kebenaran pada
perlakuan yang sama itu pun tidak sebesar peluang kesamaan dalam ilmu-ilmu alam.

Obyek Penelaahan yang Tak Terulang

Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan dapat diamati secara langsung. Gejala
sosial bersifat unik dan sukar terulang kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan
terhadap gejala fisik lewat perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku secara umum.
Tetapi kebanyakan masalah sosial bersifat spesifik dalam konteks historis tertentu.

Hubungan antara Ahli dan Obyek Penelaahan

Ahli ilmu sosial mempelajari manusia, makhluk hidup yang penuh tujuan dalam tingkah
lakunya, sedangkan gejala fisik kealaman seperti unsur kimia bukanlah suatu individu
melainkan barang mati. Karena itu subyek penelaahan ilmu sosial dapat berubah secara
tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan masing-masing.
Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan

You're reading a preview. Unlock full access with a free trial.


Pages 2 to 11 are not shown in this preview.

Download With Free Trial

Recommended Documents

Documents Similar To Ilmu Alam Dan Ilmu Sosial

Dina
My Web

Menu

Skip to content

 Home
 About
 Berita
 Media Pembelajaran
 Pendidikan
 Resep Masakan

Intuitif

January 19, 2013

By dinap92

Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang berakal budi. Dengan akal budinya, manusia mampu
mengembangkan kemampuan yang spesisifik manusiawi, yang menyangkut daya cipta, rasa
maupun karsa. Dengan akal budinya, maka kemampuan bersuara bisa menjadi kemampuan
berbahasa dan berkomunikasi. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan symbol-
simbol dalam kehidupan sehari-hari, sehingga oleh Ernst Cassirer disebut sebagai animal
symbolicum (Suriasumantri, 2005: 171).

Adanya akal budi juga menyebabkan manusia mampu berpikir abstrak dan konseptual
sehingga manusia disebut sebagai makhluk pemikir (homosapiens). Aristoteles menyebut
manusia karena kemampuan sebagai animal that reason, dengan cirri utamanya selalu ingin
mengetahui. Pada manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiousity), yang
menjelma dalam aneka wujud pertanyaan (Rinjin, 1996: 9).
Manusia selalu bertanya karena terdorong oleh rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu tersebut sudah
muncul pada awal perkembangannya. Manifestasi dari hasrat ingin tahu tersebut antara lain
berupa pertanyaan: apa ini atau apa itu? Pertanyaan tersebut selanjutnya berkembangan
menjadi: mengapa demikian dan bagaimana cara mengatasinya ?

Hasrat ingin tahu manusia tersebut terpuaskan bila manusia memperoleh pengetahuan yang
benar mengenai hal-hal yang dipertanyakan. Dalam sejarah perkembangannya, manusia
ternyata manusia selalu berusaha memperoleh pengetahuan yang benar atau yang secara
singkat dapat disebut sebagai kebenaran (Suryabrata, 2000: 2). Manusia senantiasa berusaha
memahami, memperoleh, dan memanfaatkan kebenaran untuk kehidupannya. Tidak salah
jika satu sebutan lagi diberikan kepadanya, yaitu manusia sebagai makhluk pencari
kebenaran.

 Pendekatan-pendekatan untuk Memperoleh Kebenaran

Ada beberapa pendekatan yang dipakai manusia untuk memperoleh kebenaran yaitu :
pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religius,
pendekatan otoritas, dan pendekatan ilmiah.

a. Pendekatan Empiris

Manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung dirinya dengan
dunia nyata. Dengan inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di
sekitarnya, yang kemudia diproses dan mengisi kesadarannya. Indera bagi manusia
merupakan pintu gerbang jiwa. Tidak ada pengalaman yang diperoleh tanpa melalui indera.

Kenyataan seperti yang disebutkan di atas menyebabkan timbulnya anggapan bahwa


kebenaran dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman. Kebenaran dari pendapat
tersebut kiranya tidak dapat dipungkiri. Bahwa dengan pengalaman kita mendapatkan
pemahaman yang benar mengenai bentuk, ukuran, warna, dst. mengenai suatu hal. Upaya
untuk mendapatkan kebenaran dengan pendekatan demikian merupakan upaya yang
elementer namun tetap diperlukan.

Mereka yang mempercayai bahwa penginderaan merupakan satu-satunya cara untuk


memperoleh kebenaran disebut sebagai kaum empiris. Bagi golongan ini, pengetahuan itu
bukab didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun melalui pengalaman yang
konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkrit dan
dapat dinyatakan melalui tangkapan indera manusia.

b. Pendekatan Rasional

Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan rasio. Upaya ini sering
disebut sebagai pendekatan rasional. Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir.
Dengan kemampuannya ini manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang
pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran rasional.

Golongan yang menganggap rasio sebagai satu-satunya kemampuan untuk memperoleh


kebenaran disebut kaum rasionalis. Premis yang mereka pergunakan dalam penalarannya
adalah ide, yang menurut anggapannya memang sudah ada sebelum manusia memikirkannya.
Fungsi pikiran manusia adalah mengenal ide tersebut untukdijadikan pengetahuan.
c. Pendekatan Intuitif

Menurut Jujun S. Suriasimantri (2005: 53), intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah
secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahannya. Atau secara tiba-tiba seseorang
memperoleh “informasi” mengenai peristiwa yang akan terjadi. Itulah beberapa contoh
intuisi.

Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Bahwa intuisi yang dialami oleh
seseorang bersifat khas, sulit atau tak bisa dijelaskan, dan tak bisa dipelajari atau ditiru oleh
orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak bisa
mengulang pengalaman serupa.

Kebenaran yang diperoleh dengan pendekatan intuitif disebut sebagai kebenaran intuitif.
Kebenaran intuitif sulit untuk dipertanggung jawabkan, sehingga ada-ada pihak-pihak yang
meragukan kebenaran macam ini.

Meskipun validitas intuitisi diragukan banyak pihak, ada sementara ahli yang menaruh
perhatian pada kemampuan manusia yang satu ini. Bagi Abraham Maslow, intuisi merupakan
pengalaman puncak (peak experience), sedangkan bagi Nietzsche, intuisi merupakan
inteligensi yang paling tinggi (Sumantri, 2005: 53).

d. Pendekatan Religius

Manusia merupakan makhluk yang menyadari bahwa alam semesta beserta isinya ini
diciptakan dan dikendalikan oleh kekuatan adi kodrati, yaitu Tuhan. Kekuatan adi kodrati
inilah sumber dari segala kebenaran. Oleh karena itu agar manusia memperoleh kebenaran
yang hakiki, manusia harus berhubungan dengan kekuatan adi kodrtai tersebut.

Upaya untuk memperoleh kebenaran dengan jalan seperti tersebutdi atas disebut sebagai
pendekatan religius atau pendekatan supra-pikir (Rinjin, 1996: 54). Disebut demikian karena
pendekatan tersebut melampai daya nalar manusia manusia.

Kebenaan religius bukan hanya bersangkuta paut dengan kehidupan sekarang dan yang
terjangkau oleh pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat
transcendental, seperti latar belakang penciptaan manusia dan kehidupan setelah kematian.

e. Pendekatan Otoritas

Usaha untuk memperoleh kebenaran juga dapat dilakukan dengan dasar pendapat atau
pernyataan dari pihak yang memiliki otoritas. Yang dimaksud dengan hal ini adalah individu-
individu yang memiliki kelebihan tertentu disbanding anggota masyarakat pada umumnya.

Kelebihan-kelebihan tersebut bisa berupa kekuasaan, kemampuan intelektual, keterampilan,


pengalaman, dan sebagainya. Mereka yang memiliki kelebihan-kelebihan seperti itu disegani,
ditakuti, ataupun dijadikan figur panutan. Apa yang mereka nyatakan akan diterima
masyarakat sebagai suatu kebenaran.

Sepanjang sejarah dapat ditemukan contoh-contoh mengenai ketergantungan manusia pada


otoritas dalam mencari kebenaran. Pada masa Yunani kuno para pemikir seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles dipandang sebagai sumber kebenaran, bahkan melebihi pengamatan
atau pengalaman langsung. Apa yang dinyatakan oleh para tokoh tersebut dijadikan acuan
dalam memahami realitas, berpikir, dan berindak.

f. Pendekatan Ilmiah

Pendekatan ilmiah pertumpu pada dua anggapan dasar, yaitu : pertama, bahwa kebenaran
dapat diperoleh dari pengamatan dan kedua, bahwa gejala itu timbul sesuai dengan
hubungan-hubungan yang berlaku menurut hokum tertentu (Ary dkk., 2000: 63).

Pendekatan ilmiah merupakan pengombinasian yang jitu dari pendekatan empiris dan
pendekatan rasional. Kombinasi ini didasarkan pada hasil analisis terhadap kedua pendekatan
tersebut. Pada satu segi kedua pendekatan tersebut bisa dipertanggung jawabkan namun pada
segi yang lain terdapat beberapa kelemahan.

Kelemahan pertama pendekatan empiris, bahwa pengetahuan yang berhasil dikumpulkan


cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Kumpulan fakta-fakta tersebut belum tentu
bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif
(Suriasumantri, 2005: 52). Kelemahan kedua, terletak pada kesepakatan mengenai
pemahaman hakikat pengalaman yang merupakan cara untuk memperoleh kebenaran dan
indera sebagai alat yang menangkapnya.

Sedangkan kelemahan yang terdapat pada pendekatan rasional adalah terdapat pada kriteria
untuk menguji kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya.
Apa yang menurut seseorang jelas, benar, dan dapat dipercaya belum tentu demikian untuk
orang lain. Dalam hal ini pemikiran rasional cenderung bersifat solipsisteik dan subjektif
(Suriasumantri, 2005: 51).

Kelemahan-kelemahan darikedua pendekatan tersebut bisa dihilangkan atau paling tidak


dikurangi dengan mengombinasikan keduanya. Kombinasi tersebut diwujudkan dengan
langkah-langkah yang sistematis dan terkontrol. Upaya memahami realitas dalam hal ini
didasarkan pada kebenaran atau teori ilmiah yang ada serta mengujinya dengan
mengumpulkan fakta-fakta.

Suatu kebenaran dapat disebut sebagai kebenaran ilmiah bila memenuhi dua syarat utama,
yaitu : pertama, harus sesuai dengan kebenaran ilmiah sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan kedua, harus sesuai
dengan fakta-fakta empiris. Sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak
didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

Sumber :kuntjojo

Advertisements

Report this ad
Advertisements

Report this ad

AMF life

scio me nihil scire (one thing I know, is I know nothing) ~Socrates~

Skip to content

 Suara Akar Rumput…

Toleransi, Agama dan Kecerdasan

1 Reply

Hampir satu abad terakhir para peneliti mencoba menemukan korelasi ke-religius-an
(religiosity) dengan kecerdasan (intelligence). Berbagai penelitian dilakukan untuk melihat
pengaruh tingkat kecerdasan terhadap tingkat religiosity seseorang. Pengujian dilakukan pada
tingkat individu, keluarga dan masyarakat dengan berbagai level pendidikan dan latar
belakang. Secara umum, studi-studi tersebut menunjukkan hubungan negatif (negative
correlation) antara tingkat kecerdasan dan ke-religius-an. Dengan kata lain, semakin tinggi
tingkat kecerdasan (IQ) seseorang, maka tingkat religiosity-nya akan semakin rendah.

Kita bisa membaca beberapa publikasi mutakhir yang meneliti hubungan inteligence-
religiosity ini. Studi yang dilakukan oleh Yoav Ganzach dan Chemi Gotlibovski misalnya [1].
Studi ini menguji korelasi intelligence dan religiosity antar dua orang saudara kandung yang
dibesarkan dalam keluarga yang sama.

Ganzach dan Gotlibovski menemukan tingkat inteligensia (yang diukur berdasarkan IQ) akan
berbanding terbalik dengan religiosity. Maka dalam konteks ini, seorang dengan IQ tinggi
akan cenderung tidak religius dibandingkan saudaranya yang memiliki IQ lebih rendah.
Meskipun mereka sama-sama dibesarkan dalam pola didik keluarga dengan latar belakang
sangat religius.

Studi ini juga dikembangkan dengan menguji hubungan kecerdasan-religiusitas terhadap


tingkat pendidikan [2]. Menariknya, hasil studi ini menunjukkan tingkat pendidikan tidak
memainkan peran penting dalam mempengaruhi tingkat religiusitas sesorang. Karena tidak
ada pola yang konsisten ketika tingkat religiusitas dibandingkan dengan tingkat
pendidikannya. Bahkan jika dipisahkan berdasarkan asal keluarga dengan latar belakang
religius yang kuat dan yang tidak.

Anak yang kurang cerdas meskipun mendapatkan pendidikan tinggi tetap saja akan menjadi
individu religius ketika memiliki latar belakang religius. Sebaliknya, anak cerdas akan
tumbuh menjadi individu yang kurang religius atau religiusitas yang rendah baik ia
berpendidikan rendah dan dari latar belakang keluarga yang sangat religius. Artinya,
kecerdasan akan memberikan dampak lebih signifikan terhadap religiosity. Pada saat yang
sama, studi tersebut juga menunjukkan tingkat pendidikan tidak menggambarkan tingkat
kecerdasan seseorang.

Publikasi lain yang juga tidak kalah menarik adalah dari Miron Zuckerman et. al yang
melakukan meta analisis terhadap penelitian-penelitian terkait untuk hubungan kecerdasan
dan religiosity [3]. Dalam publikasinya, Zuckerman et. al. mengevaluasi hasil studi-studi
mengenai hubungan inteligence-religiosity. Studi tersebut menunjukkan beberapa kesalahan
dalam mem-parameterisasi-kan tingkat kecerdasan.

Salah satu contohnya adalah studi-studi yang mengukur tingkat kecerdasan melalui GPA atau
IPK. Menurut data merekan (Zuckerman et. al), dalam pengujian terhadap IPK mahasiswa
diperguruan tinggi, IPK tidak menggambarkan tingkat IQ seseorang. Kesalahan yang sama
dengan membandingkan kecerdasan (IQ) dengan tingkat pendidikan.

Banyak penelitian serupa yang kurang lebih memberikan hasil yang sama mengenai
hubungan kecerdasan dan religiusitas. Baik yang dilakukan berdasarkan etnik tertentu
seperti Helmuth Nyborg [4] maupun kelompok umur tertentu seperti Leslie J. Francis [5].
Peneliti-peneliti tersebut menemukan korelasi yang sama antara kecerdasan dan religiusitas.
Semakin tinggi kecerdasan sesorang, maka akan semakin rendah tingkat ke-religius-an
sesorang tersebut.

Para peniliti ini sepakat, setidak-tidaknya terdapat tiga faktor yang dipercaya melandasi
korelasi negatif antara kecerdasan dan tingkat ke-religius-an (inteligence-religiosity) tersebut.
Pertama, orang-orang cerdas memiliki kecenderungan menolak pemahaman dogmatis yang
biasanya ada pada pemahaman agama.

Kedua, orang-orang cerdas memiliki kecenderungan untuk berpikir secara analitik sebagai
lawan dari sikap intuitif yang mendasari kepercayaan terhadap agama. Dan yang ketiga,
fungsi agama sebagai pengendalian diri, peningkatan kemampuan diri (self-enhancement) dan
perasaan aman (secure attachment) dapat diberikan oleh kecerdasan. Sehingga orang-orang
cerdas merasa tidak terlalu memerlukan bantuan untuk itu.

Disisi lainnya, kepercayaan terhadap agama cenderung terjadi secara intuitive. Sesorang
dengan tingkat kecerdasan yang rendah akan cenderung lebih mudah menerima begitu saja
semua ajaran agama yang ia terima. Karena mereka akan kesulitan berpikir kritis terhadap
ajaran agama yang ia terima, karena itu mendorong mereka untuk keluar dari pola intuitif-
nya.

Mereka cenderung tidak mampu melihat kemungkinan-kemungkinan lain ajaran tersebut.


Lebih jauh lagi, mereka juga akan sulit menerima antithesis dari thesis yang mereka percaya.
Sehingga mereka tidak pernah menggerakkan thesis nya menjadi synthesis baru. Maka agama
yang bersifat literally atau diterima begitu saja dengan berlindung dibalik kata “iman” akan
jauh lebih mudah bagi mereka.

Lalu apakah artinya orang-orang cerdas bisa dipastikan tidak akan taat beragama atau malah
cenderung tidak percaya agama? Sementara jika menengok sejarah beberapa daftar ilmuwan
besar, kita bisa menemukan beberapa ilmuwan besar yang juga seorang penganut agama yang
taat.

Blaise Pascal misalnya, adalah seorang matematikawan dengan sumbangsih besar dengan
penemuan kalkulator analog yang juga seorang biarawan. Immanuel Kant, salah satau filsuf
dengan karya-karyanya berpengaruh juga merupakan orang yang taat beragama. Tentu saja
kita harus menerima kalau para ilmuwan tersebut memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi.

Dalam sejarah Islam kita juga menemukan beberapa nama-nama ilmuwan yang juga dikenal
sebagai muslim yang taat. Fakhruddin Al-Razi misalnya, adalah seorang fisikawan dan ahli
kima (alchemist) yang memberikan banyak sumbangsih bagi pengetahuan modern saat ini.
Salah satu sumbangan pemikiran Al-Razi yang paling terkenal adalah kritiknya terhadap
model geosentris Ptolemy yang menyatakan bumi sebagai pusat dari alam semesta. Bagi Al-
Razi, bumi (world) bukanlah pusat alam semesta, melainkan bagian dari konstelasi benda-
benda langit. Lebih jauh lagi, alih-alih hanya satu bumi, Al-Razi juga berpendapat bahwa
terdapat banyak world di alam semesta. Uniknya lagi, beliau mengungkapkan ide ini
berdasarkan Al-Quran.

Demikian juga dengan Ibn al-Haytham, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap
perkembangan optik, astronomi dan matematika. Sama halnya dengan Al-Razi, Al-Haytham
mempelajari dan akhirnya mengkritisi teori Optik Ptolemy. Al-Haytham juga mempelajari
dan mengembangkan teorema geometri Euclid dan memformulasikan Lambert quadrilateral.
Selain seorang Ilmuwan dengan banyak kontribusi terhadap perkembangan pengetahuan, al-
Haytham juga merupakan seorang muslim yang taat.

Berdasarkan fakta tersebut, tentu saja kita bisa belihat ketidak konsistenan dengan hasil
penelitian mutakhir yang menunjukan korelasi negatif antara religiusitas dan kecerdasan.
Maka, mungkin saja kita perlu mendapatkan penjelasan lebih jauh mengenai
hubungan inteligence dan religiosity ini. Pertanyaannya, bagaimana implementasi pola pikir
intuitif ini bisa terjadi dalam sikap beragama? Apakah memang benar rasionalitas yang
menjadi dasar berpikir analitik adalah sesuatu yang asing bagi pemahaman agama? Meninjau
sejarah Mu’tazilah dan Ash’ariah dalam peradaban Islam dapat membantu kita memahami
hal ini.

Kelompok Mu’tazilah pada awalnya adalah kelompok yang mengambil sikap netral pada
masa perpecahan karena terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan dan Khalifah Sayyidina Ali
bin Abi Thalib. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di era kekhalifahan Abbasiyah.
Pada masa ini, dunia Islam melalui kelompok Mu’tazilah begitu terbuka terhadap
pengetahuan dari manapun.
Mereka mengkaji secara serius dari teori Euclid hingga Phytagoras, mereka mencari jawaban-
jawaban terhadap pertanyaan logis mengenai ajaran Agama Islam dari filsafat Helenistic
hingga filsafat Hindu. Sehingga tidak jarang juga mereka disebut sebagai free thinker atau
kelompok liberal. Implikasi dari sikap ini, Peradaban Islam kemudian berkembang secara
pesat. Hal ini tentu saja disebabkan wilayah tersebut menjadi pusat perkembangan ilmu
pengetahuan. Seperti yang terjatat dalam sejarah, pada masa ini ketika Eropa dalam era
kegelapan, dunia Islam mengalami era ke-emasan.

Dengan menggunakan dasar logika yang mereka dapatkan dari filsafat-filsafat Henelistic,
creation ex-nihilo, mereka mengembangkan konsep Tauhid dimana konsep Tuhan yang abadi
sabagai satu dan kesatuan yang absolut dan tidak punya bagian terpisah. Sehingga, apapun
yang menjadi bagian dari Tuhan tidak dapat dimusnahkan. Maka tidak mungkin Al-Quran
adalah kata-kata dari Allah SWT karena ia akan menjadi bagian dari Tuhan yang abadi.
Implikasinya, Mu’tazilah percaya bahwa Al-Quran adalah ciptaan (makhluk) Allah SWT
sehingga ia tidak kekal sebagaimana Allah SWT.

Selain itu, Mu’tazilah juga mempercayai konsep surga dan neraka yang dibangun dari proses
logis yang kurang lebih mirip. Tuhan menginginkan yang terbaik bagi manusia, namun free-
will lah yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Maka Tuhan akan memberikan ganjaran
bagi mereka yang berbuat kebaikan dan menghukum siapa saja yang berbuat kejahatan.

Pada era kekhalifaan Abbasiyah dibawah Al-maʾmūn Ibn Ar-rashīd pada tahun 827M
menetapkan paham tersebut debagai dogma negara. Pada tahun 830M kekhalifahan ini juga
menetapkan minha (inquisisi) yang menghukum mereka yang berbeda pendapat dengan
dogma tersebut. Salah satu korbannya adalah Imam Ahmad ibnu Hanbal, pendiri Mazhab
Hanbali.

Kemudian sejarah mencatat sebuah perdebatan antara Abu Al Hasan al Ashary dengan Al-
Jubai, gurunya yang juga pemuka Mu’tazilah. Dalam perdebatannya dengan Al-Jubai, Ashary
menunjukan jika nalar memiliki kelemahan, karena pada dasarnya manusia memiliki
keterbatasan. Maka seharusnya kita memberikan ruang dan mengakui keterbatasan tersebut.

Perlu dicatat disini, Al-Ashary mengkritisi Al-Jubai juga menggunakan nalar, bukan dengan
hujjah atau pendapat yang secara kaku merujuk pada ayat-ayat tertentu. Artinya disini kita
bisa melihat, yang dikritisi oleh Al-Ashary adalah kekakuan paham Mu’tazilah yang
meskipun awalnya dibangun dari proses berpikir kritis. Pengikut Al Ashary ini kemudian
menyebut diri mereka sebagai Ash’ariah. Terkadang disebut juga sebagai kelompok
tradisionalis yang menempatkan Al-Quran, Sunnah dan Hadith sebagai pedoman utama.

Dalam konteks pola pikir analitik dan intuitif yang mendasari kepercayaan, kita tentu saja
dengan mudah melihat kalau Mu’tazilah bertransformasi yang awalnya membangun
pemahaman dengan keterbukaan pikiran menjadi kelompok yang anti terhadap perbedaan
atau berpikiran tertutup. Mekanisme berpikir kelompok Mu’tazilah yang awalnya mengikuti
pola analitik berubah menjadi intuitif. Karena mereka tidak memberikan ruang untuk orang
lain berbeda pendapat dengan mereka. Ketika menggunakan inquisisi negara untuk
memaksakan kebenaran versi mereka, Mu’tazilah bertansformasi dari kelompok yang
awalnya berlandaskan logis menjadi dogmatis.

Sebaliknya, Ash’ariah meskipun kerap disebut bagai aliran tradisionalis, membangun


argumentasinya berdasarkan alur berpikir secara analitik. Al-Ashary juga menggunakan
logika dalam menyusun argumentasinya. Dalam perdebatannya dengan Al-Jubai, Al-Ashary
menggunakan argumentasi argumentasi dialog antara tiga orang yang meninggal, (orang yang
saleh, orang jahat dan anak kecil).

Al-Ashary menantang logika Mu’tazilah yang diwakili oleh Al-Jubai, bagaimana konsep
punishment and reward bisa berlaku secara adil pada tiga orang tersebut. Karena apapun
ganjaran bagi masing-masing orang tersebut menjadi tidak adil. Sehingga tidak sesuai dengan
Sifat Allah. Argumentasi Al-Ash’ary ini menunjukkan alur bepikirnya yang analitis.
Sehingga Ash’ariah menjadi menarik bagi para pemikir.

Maka tidak heran kita mengenal Al-Razi dan Al-Haytham menjadi pengikut aliran Ash’ariah
ini. Selain berpedoman scriptures Islam, kelompok As’ariah ini tetap terbuka untuk
mempelajari secara serius ilmu-ilmu filsafat dari tradisi Helenisme, Hinduisme hingga
Judaisme. Maka tidak heran dalam banyak tulisan mereka kita menemukan referensi dari
Phytagoras, Euclid, dan Aristoteles.

Meskipun kemudian dalam perkembangannya, kelompok ini juga mengalami perubahan yang
kurang lebih sama seperti Mu’tazilah. Aliran Ash’ariah ataupun turunannya, kemudian
mengharamkan logika dalam memahami Agama. Kondisi ini yang kemudian kita ketahui
membawa kemunduran bagi peradaban Islam hingga sekarang.

Berdasarkan konteks tersebut, kita bisa melihat kalau latar belakang intelligence-religiosity
menjadi tidak relevan dalam kasus Ash’ariah-Mu’tazilah ini. Mu’tazilah yang
mengedepankan logika bisa juga menjadi dogmatis terhadap pemahamannya. Sebaliknya,
Ash’ariah yang tradisionalis memegang teguh prinsip agama, juga bisa mengikuti pola pikir
analitik dan memberi ruang logika untuk menemukan penjelasan.

Orang cerdas tidak melulu tidak percaya terhadap agama. Mereka hanya tidak mau mengikuti
aturan agama yang kaku, yang tidak memberi ruang untuk melakukan pola pikir analytic.
Mereka yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi akhirnya sering dituduh tidak beriman,
karena pola berpikir logis mereka kerap menjadi serangan bagi keyakinan keagamaan.

Hal ini bisa kita lihat dari Newton yang akhirnya dituduh “tidak beriman” karena keyakinan
mereka tidak sesuai dengan ajaran baku yang dikeluarkan oleh otoritas agama yang berkuasa
pada masa tersebut. Padahal sebelumnya, Newton merupakan anggota terhormat dari college
“the holy undivided trinity” di Cambridge yang merupakan tempat pendidikan paderi bagi
gereja pada masa itu.

Newton dikeluarkan dari fellow college dengan tuduhan bid’ah setelah secara terang-terangan
mempertanyakan posisi Yesus dalam Trinitas. Newton tidak bisa untuk tidak
mempertanyakan hal-hal yang menurutnya bertentangan dengan logikanya. Maka
berdasarkan hal ini, Newton bukan tidak percaya terhadap agama, namun ia menolak
pemahaman agama yang kaku dan dogmatis.

Bahkan lebih jauh lagi, hal yang sama juga bisa diuji pada ilmuwan-ilmuwan besar yang
dikenal sebagai agnostic atau terlihat tidak terlalu peduli pada agama. Albert Einstein salah
satu contohnya, dalam salah satu wawancara yang dimuat dalam bukunya George Sylvester
Viereck, Glimpses of the Great, pada tahun 1930. Einstein menyatakan ia bukanlah seorang
atheist juga bukan seorang pantheisme (dugaan ini dikemukakan karena ia mengagumi
Baruch Spinoza, seorang filsuf yang meyakini kesatuan realitas dan ketuhanan).
Einstein mengilustrasikan kepercayaannya terhadap Divine Being (Wujud Tuhan) sebagai
anak kecil yang masuk dalam sebuah perpustakaan yang penuh dengan buku. Anak kecil
tersebut memahami betul kalau buku-buku tersebut ada yang menulis. Maka dalam konteks
ini, agak sulit kita mengatakan kalau Einstein tidak religius atau kurang religius.

Jika digali bagaimana studi-studi mutakhir yang melihat hubungan negatif antara kecerdasan
dan religiosity melakukan parameterisasi. Kita juga kembali menemukan penjelasan terhadap
ketidak konsistenan tersebut. Salah satu contohnya yang bisa ditemui dalam publikasi Yoav
Ganzach dan Chemi Gotlibovski, Instrumen yang digunakan dalam mengukur tingkat
religiosity oleh menunjukkan seseorang yang memiliki keyakinan jika Agama harus
dipercayai “excactly” sebagaimana tertulis atau tidak memberikan ruang untuk
mempertanyakan keyakinan tersebut.

Dengan definisi religius seperti itu, tentu saja kita akan kesulitan melihat orang yang
memiliki kecerdasan tinggi sekaligus adalah seorang yang religius. Karena keterbukaan
pikiran adalah salah satu indikasi kecerdasan. Sesorang dengan tingkat kecerdasan tinggi
akan tertarik dengan benturan pemikiran. Pada saat yang sama, orang-orang dengan tingkat
kecerdasan tinggi juga tidak menyukai konsep agama yang dogmatis.

Dengan demikian, kita bisa sedikit merevisi tingkat religiusitas ini dengan tingkat
intoleransi/toleransi. Semakin tinggi kecerdasan seseorang semakin toleran sikapnya dalam
beragama, sebaliknya semakin rendah kecerdasan seseorang tersebut maka semakin tinggi
kecenderungannya bersikap intoleran.

Memahami korelasi kecerdasan dan sikap intoleran ini, kita juga bisa mendapatkan
penjelasan mengenai fenomena kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang
mengatasnamakan Agama. Seperti yang sama-sama kita ketahui, Agama kerap
menjadi alasan yang cukup kuat untuk seseorang membunuh. Karena mereka percaya,
membunuh orang lain adalah jalan pintas menuju surga.

Pada umumnya keyakinan ini mereka dapatkan karena hasutan dari seseorang yang ‘so
called‘ rohaniawan ataupun pemuka agama. Para pelaku bom bunuh diri sering kali adalah
pemuda tanggung dengan pemahaman agama terbatas yang diterima secara letterlijk.

Sederhananya, tingkat kecerdasan yang rendah ini yang membuat kaum fundamentalis ini
kesulitan mentoleransi perbedaan, karena hal tersebut akan membuat mereka merasa
insecure. Mereka menyukai keseragaman karena hal ini membuat mereka tidak perlu
menghadapi benturan pemikiran.

Orang-orang dengan kecerdasan rendah ini juga akan mudah sekali curiga kalau kelompok
lain diluar agamanya memiliki niat buruk. Maka tidak heran jika kita melihat mereka
cenderung menyukai segala teori konspirasi untuk melegitimasi kecurigaannya. Mereka juga
akan sangat mudah terpancing secara emosional karena marah adalah salah satu indikasi
rendahnya tingkat kecerdasan mereka.

Sebaliknya, orang-orang dengan kecerdasan tinggi akan cenderung memiliki sikap toleran.
Karena mereka memahami perkembangan pemikiran membutuhkan tantangan (challenge)
dan pengujian. Setiap pemikiran harus mengalami pengujian terus-menerus hingga ia bisa
dikatakan benar. Mereka menjadikan agama lebih sebagai ruang private untuk mengenal
Tuhan (divine being) dari pada identitas. Sehingga tidak mudah merasa terhina ketika ada
yang mengkritisi ajaran agamanya.

Terkait dengan hasil penelitian Ganzach et. al yang menunjukan tidak ada korelasi antara
tingkat pendidikan, latar belakang keluarga dan lingkungan terhadap religiusitas. Maka kita
tidak perlu heran ada yang berpendidikan tinggi namun menjadi tidak toleran. Atau juga ada
mereka yang tumbuh dan berkecimpung dilingkungan yang sangat tidak religius namun
terkait sikap dalam beragama lebih cenderung tidak toleran. Hal ini semata-meata adalah
karena faktor kecerdasan mereka yang rendah.

Referensi

[1] Yoav Ganzach dan Chemi Gotlibovski (2013), “Intelligence and religiosity: Within
families and over time“. Intelligence 41 (2013) 546–552

[2] Yoav Ganzach, Shmuel Ellis dan Chemi Gotlibovski (2013) “On intelligence education
and religious beliefs” Intelligence 41 (2013) 121–128

[3] Miron Zuckerman, Jordan Silberman dan Judith A. Hall (2013). “The Relation Between
Intelligence and Religiosity: A Meta-Analysis and Some Proposed Explanations“. Personality
and Social Psychology Review 17(4) 325–354 © 2013 sagepub.com/journalsPermissions.nav
DOI: 10.1177/1088868313497266 pspr.sagepub.com

[4] Helmuth Nyborg (2009), “The intelligence–religiosity nexus: A representative study of


white adolescent Americans”, Intelligence 37 (2009) 81–93

[5] Leslie J. Francis (1998), “The relationship between intelligence and religiosity among
15–16-year-olds”, Journal of Mental Health, Religion & Culture,

Advertisements

Report this ad

Report this ad

Primary Menu

Skip to content

 Home
 About

odevitaselly

The greatest WordPress.com site in all the land!

Home » Uncategorized » ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT: EMPIRISME

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT: EMPIRISME


Posted on March 28, 2013 by odevitaselly

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Sumber pengetahuan dalam diri manusia itu banyak sekali. Salah satu paham yang
memaparkan tentang sumber pengetahuan adalah paham empirisme. Empirisme merupakan
paham yang mencoba memaparkan dan menjelaskan bahwa, sumber pengetahuan manusia itu
adalah pengalaman.

Ilmu-ilmu empiris ini memperoleh bahan-bahan untuk sesuatu yang dinyatakan sebagai hasil
atau fakta dari sesuatu yang dapat diamati dengan berbagai cara. Bahan-bahan ini terlebih
dahulu harus disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, diidentifikasi, didaftar,
dan diklasifikasikan secara ilmiah.

Paham empiris ini dikemukakan oleh beberapa pakar filsafat diantaranya Herbert Spencer,
Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Francis Bacon.

1. B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Empirisme?
2. Siapa saja tokoh dalam empirisme?
3. Apa ide pokok dari filsafat empirisme?
4. Bagaimana proses dalam mendapatkan pengetahuan dalam empirisme?

1. Pengertian Empirisme

Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.[1] Oleh karena itu,
adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, maka pandangan terhadap
filsafat mulai merosot. ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian
beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar hanya di peroleh lewat
indera (empiri), dan empirislah satu-satunya sumber. Pemikiran tersebut lahir dengan nama
empirisme. Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan serta pengalaman itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memperoleh
kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri
manusia, sehingga menjadi pengalaman.

Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dulu dua ciri pokok empirisme
yaitu mengenai makna dan tiori tentang pengetahuan.

1. Filsafat empirisme tentang teori makna, teori makna dan empirisme selalu harus
dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa
dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola
jumlah yang dapat di indra dan dihubungkan kualitas sebagai urutan pristiwa yang
sama.
2. Filsafat emperisme tentang teori pengetahuan, menurut orang rasionalis ada
beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-
dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu
benar dengan sendirinya.

1. Tokoh-tokoh Dalam Aliran Empirisme

Diantara tokoh dan pengikut aliran empirisme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbles, David
Home dan Jhon Lock, Sebagai berikut :

1. Francis Bacon (1210-1292 M)

Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan
sumber pengetahuan sejati. Kata Bacon selanjutnya, kita sudah terlalu lama dpengaruhi oleh
metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita
sekarang memperhatikan yang konkret mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.

1. Thomas Hobbles (1588-1679 M)

Ia seorang ahli pikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford
untuk belajar logika Skolastik dan Fisika, yang ternyata gagal, karena ia tidak berminat sebab
gurunya beraliran Aristotelien. Sumbangan yang besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem
materialistis yang besar, termasuk juga kehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang
kenegaraan ia mengemukakan teori teori Kontrak Sosial. [2]
Materialisme yang dianut Hobbes yaitu segala yang bersifat bendawi. Juga diajarkan bahwa
segala kejadian adalah gerak yang berlangsung secara keharusan. Bedasarkan pandangan
yang demikian manusia tidak lebih dari satu bagian alam bendawi yang mengelilinginya.
Manusia hidup selama jantungnya tetap bergerak memompa darahnya. Dan hidup manusia
merupakan gerak anggota-anggota tubuhnya. Menurutnya pula akal bukanlah pembawaan
melainkan hasil perkembangan karena kerajinan. Ikhtiar merupakan suatu awal gerak yang
kecil yang jikalau diarahkan menuju kepada sesuatu yang disebut keinginan, dan jika
diarahkan untuk meninggalkan sesuatu disebut keengganan atau keseganan. Menurutnya pula
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan, yang disimpan didalam ingatan
dan digabungkan dengan suatu pengamatan, yang disipan dalam ingatan dan digabungkan
dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa
yang lampau. [3]

Pendapatnya tentang ilmu filsafat yaitu suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Karena
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan Tentang akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang
diperoleh dari sebab-sebabnya. Sasaran filsafat adalah fakta yaitu untuk mencari sebab-
sebabnya. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum
ilmu pasti/ilmu alam.

Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa pengalaman indrawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan indralah yang merupakan kebenaran.
Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan pengabungan data-data
indrawi belaka. Pengikut aliran empirisme Thomas Hobbles yang lain diantaranya : Jhon
Locke (1632-1704 M), David Hume (1711-1776 M), Geege Berkeley(1665-1753 M).

1. Jhon Locke (1632-1704 M)

Ia dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, Inggris. Dismaping itu sebagai ahli hukum, ia
menyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam
mencapai kebenaran manusia harus tahu sampai seberapa jauh ia memakai kemampuannya.
[4]

Ia menentang teori rasionalisme, menurutnya segala pengetahuan datang dari penglaman dan
tidak lebih dari itu. Akal bersifat pasif saat pengetahuan didapatkan. Akal tidak mandapatkan
pengetahuan dari dirinya sendiri diibaratkan ia adalah selembar kertas putih yang diberi
warna oleh berbagai pengalaman.

Dalam penelitiannya John Locke menggunakan istilah Sensation dan Reflection. Sensation
(pengalaman lahiriah) adalah suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar, Sedangkan
reflection (pengalaman batiniah) pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada
manusia tentang kondisi psikis diri kita sendiri. Tiap-tiap pengetahuan yang dimiliki manusia
terdiri dari Sensation dan reflection. Ttidak ada sesuatu dalam jiwa yang dibawa sejak lahir,
melainkan pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.

Buku Locke, Essay Concerming Human Understanding (1689) ditulis berdasarkan satu
premix yaitu semua pengetahuan datang dari pengetahuan. Ini berarti tidak ada yang dapat
dijadikan ide untuk konsep tentang sesuatu yang ada dibelakang pengalaman tidak ada ide
yang diturunkan seperti yang diajarkan Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya
innate ide ; adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibeninz, semuanya ditolaknya.
Yang innate (bawaan) itu tidak ada.

Inilah argumennya :

1. Dari jalan masuknya pengetahuan kita megetahui bahwa innate itu tidak ada.
Memang agak umum orang bertanggapan bahwa innate itu ada. Seperti yang
ditempelkan pada jiwa manusia dan jiwa membawanya kedunia lain.
2. Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat
disetujui oleh umum tentang innate idea justru disajikan alasan untuk mengatakan ia
tidak ada.

1. innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekali juga diakui adanya.
Bukti-bukti yang mengatakan ada innate ide jusrtu saya jadikan alasan untuk
mengatakan ia tidak ada.
2. Tidak juga dicetakan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide yang innate
itu tidak ada padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.

Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapnya pada jiwa substansi adalah pengertian tentang
object sebagai idea tentang object itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari
indra. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan bahwa ide itu adalah substansi obyek.
Substansi adalah persoalan metafisika sepanjang masa.

1. David Home (1711-1776 M)

Empirisme, berpendirian bahwa hakikat pengetahuan adalah berupa pengalaman. David


Home termasuk dalam aliran empirisme radikal menyatakan, bahwa ide-ide dapat
dikembalikan pada sensasi-sensasi (ransangan indra). William James menyatakan, bahwa
pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda-benda, sama banyaknya dengan
pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung panca indra.

1. Herbert Spencer (1820-1903 M)

Herbert Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya
Darwin yang terkenal. The Origin of Species (1859 M), Spencer sudah meneribitkan bukunya
tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas dalam filsafat tentang the great unkwable
(fenomena-fenomena atau gejala-gejala). Memang besar dibelakang gejala- gejala itu ada
suatu dasar absolute, tetapi yang absolut itu tidak dapat kita kenal. Secara prinsip pengenalan
kita hanya menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala. Yang dibelakang gejala-gejala ada
sesuatu yang oleh spenser disebut yang tidak diketahui.

1. Ide pokok Empirisme


1. pandangan bahwa sebuah idea tau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan
akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data indrawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau disimpulkan secara tidak
langsung dari data indrawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika
dan matematika
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas
tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Tokoh-tokoh empirisme
dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679),
namun mengalami sistematisasi pada 2 tokoh berikutnya John Locke dan
David Hume

1. Proses Mendapatkan Pengetahuan dalam Empirisme

Golongan empirisme memiliki pandangan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui


pengalaman. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam masalah berikut. “Bagaimana kita
mengetahui api itu panas?” Maka, seseorang empirisme akan berpandangan bahwa api itu
panas karena memang dia mengalaminya sendiri dengan menyentuh api tersebut dan
memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Dengan kata lain, dengan menggunakan
alat inderawi peraba kita akan memperoleh pengalaman yang menjadi pengetahuan kita
kelak.
John Locke, Bapak Empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan
akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa) dan di dalam buku catatan
itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh
dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh melalui
penginderaan serta refleksi yang sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu
dilacak kembali secar demikian itu bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
[1] H.a Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu. (Jakarta : 2010) hal 163

[2] Asmoro Achmadi. Filsafat umum. (rajawali press : 2003 ) hal 112

[3] Harun Hadiwidodo. Sari sejarah filsafat barat (yogyakarta : Kanikus 2005) hal 31

[4] Asmoro Achmadi., opcid. hal 113

Advertisements

Report this ad

Primary Menu

Skip to content

 Home
 About

odevitaselly

The greatest WordPress.com site in all the land!

Home » Uncategorized » ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT: EMPIRISME

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT: EMPIRISME

Posted on March 28, 2013 by odevitaselly

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Sumber pengetahuan dalam diri manusia itu banyak sekali. Salah satu paham yang
memaparkan tentang sumber pengetahuan adalah paham empirisme. Empirisme merupakan
paham yang mencoba memaparkan dan menjelaskan bahwa, sumber pengetahuan manusia itu
adalah pengalaman.

Ilmu-ilmu empiris ini memperoleh bahan-bahan untuk sesuatu yang dinyatakan sebagai hasil
atau fakta dari sesuatu yang dapat diamati dengan berbagai cara. Bahan-bahan ini terlebih
dahulu harus disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, diidentifikasi, didaftar,
dan diklasifikasikan secara ilmiah.

Paham empiris ini dikemukakan oleh beberapa pakar filsafat diantaranya Herbert Spencer,
Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Francis Bacon.

1. B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Empirisme?
2. Siapa saja tokoh dalam empirisme?
3. Apa ide pokok dari filsafat empirisme?
4. Bagaimana proses dalam mendapatkan pengetahuan dalam empirisme?

1. Pengertian Empirisme

Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.[1] Oleh karena itu,
adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, maka pandangan terhadap
filsafat mulai merosot. ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian
beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar hanya di peroleh lewat
indera (empiri), dan empirislah satu-satunya sumber. Pemikiran tersebut lahir dengan nama
empirisme. Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan serta pengalaman itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.

Empirisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memperoleh
kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri
manusia, sehingga menjadi pengalaman.

Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dulu dua ciri pokok empirisme
yaitu mengenai makna dan tiori tentang pengetahuan.

1. Filsafat empirisme tentang teori makna, teori makna dan empirisme selalu harus
dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa
dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola
jumlah yang dapat di indra dan dihubungkan kualitas sebagai urutan pristiwa yang
sama.
2. Filsafat emperisme tentang teori pengetahuan, menurut orang rasionalis ada
beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-
dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu
benar dengan sendirinya.

1. Tokoh-tokoh Dalam Aliran Empirisme


Diantara tokoh dan pengikut aliran empirisme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbles, David
Home dan Jhon Lock, Sebagai berikut :

1. Francis Bacon (1210-1292 M)

Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan
sumber pengetahuan sejati. Kata Bacon selanjutnya, kita sudah terlalu lama dpengaruhi oleh
metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita
sekarang memperhatikan yang konkret mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.

1. Thomas Hobbles (1588-1679 M)

Ia seorang ahli pikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford
untuk belajar logika Skolastik dan Fisika, yang ternyata gagal, karena ia tidak berminat sebab
gurunya beraliran Aristotelien. Sumbangan yang besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem
materialistis yang besar, termasuk juga kehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang
kenegaraan ia mengemukakan teori teori Kontrak Sosial. [2]

Materialisme yang dianut Hobbes yaitu segala yang bersifat bendawi. Juga diajarkan bahwa
segala kejadian adalah gerak yang berlangsung secara keharusan. Bedasarkan pandangan
yang demikian manusia tidak lebih dari satu bagian alam bendawi yang mengelilinginya.
Manusia hidup selama jantungnya tetap bergerak memompa darahnya. Dan hidup manusia
merupakan gerak anggota-anggota tubuhnya. Menurutnya pula akal bukanlah pembawaan
melainkan hasil perkembangan karena kerajinan. Ikhtiar merupakan suatu awal gerak yang
kecil yang jikalau diarahkan menuju kepada sesuatu yang disebut keinginan, dan jika
diarahkan untuk meninggalkan sesuatu disebut keengganan atau keseganan. Menurutnya pula
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan, yang disimpan didalam ingatan
dan digabungkan dengan suatu pengamatan, yang disipan dalam ingatan dan digabungkan
dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa
yang lampau. [3]

Pendapatnya tentang ilmu filsafat yaitu suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Karena
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan Tentang akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang
diperoleh dari sebab-sebabnya. Sasaran filsafat adalah fakta yaitu untuk mencari sebab-
sebabnya. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum
ilmu pasti/ilmu alam.

Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa pengalaman indrawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan indralah yang merupakan kebenaran.
Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan pengabungan data-data
indrawi belaka. Pengikut aliran empirisme Thomas Hobbles yang lain diantaranya : Jhon
Locke (1632-1704 M), David Hume (1711-1776 M), Geege Berkeley(1665-1753 M).
1. Jhon Locke (1632-1704 M)

Ia dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, Inggris. Dismaping itu sebagai ahli hukum, ia
menyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam
mencapai kebenaran manusia harus tahu sampai seberapa jauh ia memakai kemampuannya.
[4]

Ia menentang teori rasionalisme, menurutnya segala pengetahuan datang dari penglaman dan
tidak lebih dari itu. Akal bersifat pasif saat pengetahuan didapatkan. Akal tidak mandapatkan
pengetahuan dari dirinya sendiri diibaratkan ia adalah selembar kertas putih yang diberi
warna oleh berbagai pengalaman.

Dalam penelitiannya John Locke menggunakan istilah Sensation dan Reflection. Sensation
(pengalaman lahiriah) adalah suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar, Sedangkan
reflection (pengalaman batiniah) pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada
manusia tentang kondisi psikis diri kita sendiri. Tiap-tiap pengetahuan yang dimiliki manusia
terdiri dari Sensation dan reflection. Ttidak ada sesuatu dalam jiwa yang dibawa sejak lahir,
melainkan pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.

Buku Locke, Essay Concerming Human Understanding (1689) ditulis berdasarkan satu
premix yaitu semua pengetahuan datang dari pengetahuan. Ini berarti tidak ada yang dapat
dijadikan ide untuk konsep tentang sesuatu yang ada dibelakang pengalaman tidak ada ide
yang diturunkan seperti yang diajarkan Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya
innate ide ; adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibeninz, semuanya ditolaknya.
Yang innate (bawaan) itu tidak ada.

Inilah argumennya :

1. Dari jalan masuknya pengetahuan kita megetahui bahwa innate itu tidak ada.
Memang agak umum orang bertanggapan bahwa innate itu ada. Seperti yang
ditempelkan pada jiwa manusia dan jiwa membawanya kedunia lain.
2. Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat
disetujui oleh umum tentang innate idea justru disajikan alasan untuk mengatakan ia
tidak ada.

1. innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekali juga diakui adanya.
Bukti-bukti yang mengatakan ada innate ide jusrtu saya jadikan alasan untuk
mengatakan ia tidak ada.
2. Tidak juga dicetakan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide yang innate
itu tidak ada padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapnya pada jiwa substansi adalah pengertian tentang
object sebagai idea tentang object itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari
indra. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan bahwa ide itu adalah substansi obyek.
Substansi adalah persoalan metafisika sepanjang masa.

1. David Home (1711-1776 M)

Empirisme, berpendirian bahwa hakikat pengetahuan adalah berupa pengalaman. David


Home termasuk dalam aliran empirisme radikal menyatakan, bahwa ide-ide dapat
dikembalikan pada sensasi-sensasi (ransangan indra). William James menyatakan, bahwa
pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda-benda, sama banyaknya dengan
pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung panca indra.

1. Herbert Spencer (1820-1903 M)

Herbert Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya
Darwin yang terkenal. The Origin of Species (1859 M), Spencer sudah meneribitkan bukunya
tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas dalam filsafat tentang the great unkwable
(fenomena-fenomena atau gejala-gejala). Memang besar dibelakang gejala- gejala itu ada
suatu dasar absolute, tetapi yang absolut itu tidak dapat kita kenal. Secara prinsip pengenalan
kita hanya menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala. Yang dibelakang gejala-gejala ada
sesuatu yang oleh spenser disebut yang tidak diketahui.

1. Ide pokok Empirisme


1. pandangan bahwa sebuah idea tau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan
akal atau rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data indrawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau disimpulkan secara tidak
langsung dari data indrawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika
dan matematika
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas
tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Tokoh-tokoh empirisme
dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679),
namun mengalami sistematisasi pada 2 tokoh berikutnya John Locke dan
David Hume
1. Proses Mendapatkan Pengetahuan dalam Empirisme

Golongan empirisme memiliki pandangan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui


pengalaman. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam masalah berikut. “Bagaimana kita
mengetahui api itu panas?” Maka, seseorang empirisme akan berpandangan bahwa api itu
panas karena memang dia mengalaminya sendiri dengan menyentuh api tersebut dan
memperoleh pengalaman yang kita sebut “panas”. Dengan kata lain, dengan menggunakan
alat inderawi peraba kita akan memperoleh pengalaman yang menjadi pengetahuan kita
kelak.
John Locke, Bapak Empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan
akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa) dan di dalam buku catatan
itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh
dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh melalui
penginderaan serta refleksi yang sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu
dilacak kembali secar demikian itu bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

[1] H.a Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu. (Jakarta : 2010) hal 163

[2] Asmoro Achmadi. Filsafat umum. (rajawali press : 2003 ) hal 112

[3] Harun Hadiwidodo. Sari sejarah filsafat barat (yogyakarta : Kanikus 2005) hal 31

[4] Asmoro Achmadi., opcid. hal 113

Advertisements

Report this ad

Report this ad

Explore

Search
UploadSign inJoin

Filosofi Joglo

Uploaded by dittarch

Rating and Stats

466 views

Document Actions

Share or Embed Document

Sharing Options

 Share on Facebook, opens a new window


 Share on Twitter, opens a new window
 Share on LinkedIn
 Share by email, opens mail client

Embed
Description: filosofi joglo

View More

filosofi joglo

Copyright: Attribution Non-Commercial (BY-NC)

Download as DOC, PDF, TXT or read online from Scribd

Flag for inappropriate content

Recommended Documents

Documents Similar To Filosofi Joglo

Kajian Ventilasi Atap Rumah

by Yonatan Christian Pandensolang


ARSITEKTUR VENAKULER. joglo

by Kecing Juragan Kambing

rumah joglo

by Sheila Anisa

More From dittarch

Pencahayaan Alami Hand Out

by dittarch

Kon Tekst Ual

by dittarch


Kuliah 1 Eph 2011

by dittarch

You are on page 1of 15

ARSITEKTUR JOGLO:EKSPRESI RUANG KESADARAN MANUSIA JAWA,KEARIFAN LOKAL JAWA,


DAN SARANA KOMUNIKASIVISUAL

OlehDr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch.

AbstrakSecara sederhana, arsitektur sering diartikan seba gai ruang


hidupmaterial yang mengekspresikan kesadaran, kehendak, dan
kekuasaanmanusia. Arsitektur Joglo merupakan salah satu perwujudan ruang
hidupm a t e r i a l J a w a y a n g p a l i n g p o p u l e r . D a l a m r u a n g k e s a d a r a n
m a n u s i a , kehendak dan kekuasaan adalah refleksi dari hasrat manusia.
Manusiadengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmu rancangbangun
tidak hanya dibatasi oleh ruang dan

gatra

(sesuatu yang tampakterwujud) atau garis dan bidang. Akan tetapi, arsitektur telah
berkembangmenjelajahi ruang kesadaran manusia jauh ke relung -relung
keindahanyang kemudian, diposisikan menjadi nilai ideal.Kearifan lokal lazim dimaknai
sebagai bangun pengetahuan yangbersumber dari nilai-nilai dan potensi lokal yang
diwacanakan secara lisandari generasi ke generasi yang akhirnya disebut kebudayaan
tradisional.P e n g a n d a i a n p e r w u j u d a n a r s i t e k t u r J a w a s e b a g a i
b a h a s a ( s a r a n a komunikasi visual) dalam membangun kesadaran kolektif
masyarakatnyam e m e r l u k a n b a h a s a y a n g d i k u a s a i d a n d i p a h a m i o l e h
m a s y a r a k a t i t u sendiri yang lazim disebut “bahasa ibu”. Apabila kearifan lokal
menjadidasar pengembangan arsitektur Jawa, maka kearifan lokal dapat dianggapsebagai
bahasa ibu arsitektur Jawa.Kata kunci: joglo, kearifan lokal, arsitektur Jawa

1. Pendahuluan
Arsitektur Joglo merupakan salah satu bentuk arsitektur Jawa yang paling populer
dan begitu lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional,k a r e n a i t u h a r u s
b e r h a d a p a n d e n g a n a r s i t e k t u r m o d e r n y a n g s e l a l u diwacanakan
oleh dunia Barat, sebagaimana positivisme mengafirmasik e b e n a r a n s e b a g a i
‘ p a r a d o k s a l ’ . R e a l i t a s i n i p a d a k e n y a t a a n t e l a h merebut kesadaran
bahwa arsitektur Joglo sebagai produk budaya Jawa eksistensinya sangat terikat pada
masa lalu dan tidak mampu mengikutip e r k e m b a n g a n z a m a n . S e b a l i k n y a ,
arsitektur modern karena sifat

Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fak. Teknik, Universitas Sebelas
MaretSurakarta, Indonesia. Alamat e-mail: titis_pitana@yahoo.com.

Skip to main content

 Log In
 Sign Up

pdf

Filsafat ilmu: ilmu dan kebudayaan

7 Pages

Filsafat ilmu: ilmu dan kebudayaan


Uploaded by

Moh Badrodin

connect to download

Filsafat ilmu: ilmu dan kebudayaan

Download

1
Makalah Filsafat Ilmu: Ilmu dan Kebudayaan
Moh.Badrodin I.

PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang Ilmu dan kebudayaan merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan, karena ketika
ilmu berkembang akan menopang perkembangan kebudayaan, begitupun sebaliknya. Ketika
ilmu-ilmu berkembang maka penemuan-penemuan baru bermunculan. Penemuan-penemuan
ini selanjutnya akan turut membentuk kebudayaan yang baru (Suriasumantri, 2009).
Pertanyaannya, apakah budaya yang baru tersebut sesuai dengan kehidupan masyarakat saay
itu? Kemudian apakah kebudayaan- kebudayaan sebelumnya sudah tidak pantas digunakan
lagi dan sudah selayaknya ditinggalkan? Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi nilai-
nilai kemanusiaan mulai luntur. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki
ranah perkembangan menuju aspek teknologi dan industri dari pada aspek sosial dan budaya.
Akibatnya, pembangunan terasa hampa karena masih kurang muatan nilai-nilai manusia.
Pembangunan yang kurang nilai kemanusian, menjadikan pembangunan yang penuh dengan
permasalahan, seperti korupsi. Disinilah sebenarnya budaya memiliki peran penting dalam
mendampingi ilmu. Sehingga dalam pelaksanaan keilmuan tetap berada pada kebudayaan
yang memiliki nilai-nilai kemanuisaan (Herwandi, 2007). Oleh karenanya, dalam makalah ini
nantinya akan mencoba membahas hubungan ilmu dan kebudayaan dalam mempengaruhi kehidupan
manusia. 2.

Permasalahan Ilmu dan kebudayaan adalah satu paket yang tidak terpisahkan. Oleh
karenanya, bagaimanakah pengaruh ilmu terhadap perkembangan kebudayaan dan
sebaliknya? Bagaimana kontribusi ilmu dan kebudayaan dalam mempengaruhi kehidupan
manusia? 3.

Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bidang keilmuan
terhadap perkembangan kebudayaan dan sebaliknya. Mengetahui kontrisbui ilmu dan
kebudayaan dalam mempengaruhi kehidupan manusia.

2
II.
PEMBAHAASAN 1.

Manusia dan Kebudayaan Menurut Nugroho dan Muchji (1996) secara eksak manusia adalah
kumpulan partikel-pertikel atom yang membentuk jaringan yang kemudian membentuk
sistem untuk menghasilkan energi dan termasuk kelompok mamalia. Secara sosial manusia
adalah mahluk yang mencari untuk dalam segala kegiatannya, mencari kekuasaan,
berbudayaan, dan tidak dapat hidup sendiri. Sungguh kompleks manusi itu, akan tetapi
terdapat empat unsur yang membangun manusia yakni:

Jasad, merupakan wujud manusia yang dapat diindera serta menempati ruang dan waktu;

Hayat, yakni manusia memiliki ciri sebagai mahluk hidup;

Ruh, daya kerja secara spiritual, memahami kebenaran, dan mampu menciptakan konsep
sebagai benih kebudayaan;

Nafs, kesadaran atas diri sendiri. Terdapat banyak definisi mengenai kebudayaan, terdapat
sekitar 160 definisi yang diajukan oleh ahli antropologi (Siregar, 2002). Menurut Taylor
kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum, adat,
serta kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Kuntjaraningrat memperinci kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan
(Suriasumantri, 2009). Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia melakukan berbagai
tindakan, yang tindakan tersebut selanjutnya menjadi budaya. Kebudayaan inilah yang
membedakan manusia dengan binatang. Manusia memiliki lima kebutuhan mendasar, yakni
kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Sedangkan
binatang hanya membutuhkan dua hal yang mendasar yakni fisiologi dan rasa aman. Manusia
memang tidak memiliki instinktif seperti binantang, akan tetapi sebagai gantinya manusia
memiliki budi yang mendorong manusia hidup secara mendasar, perasaan, pikiran, kemauan,
dan fantasi. Hal tersebut menyebabkan manusia memiliki penilaian terhadap kejadian dan
objek sebagai acuan untuk memilih. Hal inilah yang menjadi tujuan dan nilai kebudayaan
(Suriasumantri, 2009).

3
Kebudayaan secara tidak langsung merupakan wujud dari pendidikan, karena kebudayaan diperoleh dari
proses belajar yang selanjutnya diturunkan ke generasi selanjutnya. Kebudayaan ditturunkan
dari waktu ke waktu, oleh karenanya kebudayaan mengikat waktu. Dengan mempelajari
kebudayaan, sebenarnya kita telah mempelajari pendidikan manusia dari waktu ke waktu
(Suriasumantri, 2009). Siregar (2002) mengemukakan empat sifat kebudayaan, yakni: i.
Kebudayaan diperoleh dari belajar Kebudayaan yang dimiliki manusia tidak diturunkan
secara genetis, melainkan melalui proses pembelajaran. Sebagai contoh, seorang anak belum
tentu memiliki cara makan yag sama dengan orang tuanya, tergantung dari budaya yang
dipelajarinya. Budaya juga dibedakan dari insting. Manusia semenjak dari lahir memiliki
insting untuk makan, akan tetapi cara makan untuk setiap individu berbeda-beda. Hal tersebut
karena dipengaruhi budaya yang telah dipelajarinya. ii.

Kebudayaan adalah milik bersama Dikatakan kebudayaan jika kebiasaan yang dilakukan
seseorang dimiliki oleh suatu kelompok manusia. Sebagai contoh kebiasaan menggunakan
sumpit atau sendok merupakan suatu kebiasaan yang dimiliki bersama-sama. iii.

Kebudayaan merupakan pola Di dalam menjalankan kebudayaan terdapat budaya-budaya yang


dianggap ideal, sehingga terdapat pembatasan-pembatasan. Sebagai contoh dalam budaya
kita, bahwa makan dengan menggunakan tangan kanan dianggap lebih ideal dibandingkan
makan menggunakan tangan kiri. Dalam budaya jawa, terdapat peringkat dalam penggunaan
bahasa ketika berbicara dengan orang lain. iv.

Kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif Kebudayaan tidak bersifat kaku, melainkan
menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan lingkungan manusia seiring berjalannya
waktu. Pada zaman dahulu orang makan hanya menggunakan tangannya, tetapi dengan
berjalannnya waktu manusia mulai menggunakan alat untuk makan

4
seperti sendok dan sumpit. Di Indonesia masyarakatya belum merasa makan apabila belum
makan nasi, meskipun sudah makan banyak roti. Menurut Suriasumantri (2009) di dalam
kebudayaan terdapat enam nilai dasar, yakni teori, ekonomi, estetika, sosial, politik, dan
agama. Nilai-nilai tersebut memiliki penjelasan masing-masing sebagai berikut:

Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode;

Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan
manusia;

Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang mencakup berbagai
wujud yang memberikan kenikmatan kepada manusia;

Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan penekanan segi-segi
kemanusiaan yang luhur;

Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat
maupun dunia politik;
Nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan trasedental dalam usaha
manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di dunia. Nilai-nilai dalam
kebudayaan tersebut dapat menjadi masalah di kemudian hari jika penanaman nilai-nilai
tersebut tidak tepat. Untuk itu dalam mempersiapkan generasi penerus yang unggul perlu
dilakukan analisis untuk menerapkan nilai-nilai yang tepat. Nugroho dan Muchji (1996)
mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem nilai dan gagasan utama yang benar-benar
dihayati oleh para pendukung kebuayaan tersebut pada kurun waktu tertentu. Oleh karenanya,
tidak mengherankan jika seluruh aspek kehidupan pendukung itu didominasi oleh
kebudayaan yang didukungnya. Kebudayan sebagai sistem nilai dan gagasan utama,
terperinci menjadi sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi. Wujud-wujud
kebudayaan dapat berupa: a.

Gagasan, konsep, dan pikiran manusia

wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada
pikiran-pikiran masyrakat penganutnya.

Berbagi Informasi Semoga Bermanfaat Bagi Semua

 Pendidikan
 Struktur Aljabar
 Filsafat Ilmu
 Matematika
 ICT

 Subscribe to RSS

November 26, 2012

 di Filsafat Ilmu, Uncategorized


 4 Komentar

FILSAFAT ILMU DAN BAHASA


5 Votes

ILMU DAN BAHASA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan berbahasa merupakan ciri khusus pada manusia. Manusia sebagai mahluk sosial,
dalam kehidupannya sudah dapat dipastikan akan berhubungan dengan orang lain atau
bermasyarakat yang memiliki kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk
menumbuhkan dan mempertahankan hubungan dengan orang lain dalam berinteraksi.
Contohnya: kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin
mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan dicintai yang dapat dipenuhi
dengan adanya komunikasi.

Manusia dapat berkomunikasi dengan baik melalui penguasaan dan penggunaan bahasa.
Dimana bahasa merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial,
karena manusia akan selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Bahasa
dijadikan alat untuk menyampaikan, mengekspresikan atau menjelaskan sesuatu yang dapat
dimengerti atau dipahami oleh orang lain.

Bahasa yang digunakan merupakan suatu bukti kegiatan intelektual manusia. Manusia tidak
akan mencapai puncak kedewasaannya sebagai mahluk yang rasional yang dapat dipisahkan
dari keahliannya berbahasa. Sehingga manusia berbahasa sesuai dengan tingkat pengetahuan
dan kemampuannya masing-masing.

Menurut Sunaryo (2000 : 6), ilmu tanpa adanya bahasa tidak dapat tumbuh dan berkembang.
Selain itu bahasa memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan
produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir dan sarana pendukung
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa
itu, ilmu tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar,
menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam
menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berpikir karena bahasa merupakan cermin
dari daya nalar (pikiran).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan memahami ilmu dan
bahasa yang akan diuraikan dalam makalah ini dengan judul “ilmu dan bahasa”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa itu ilmu dan definisi ilmu?


2. Bagaimana asal usul bahasa?
3. Apa itu bahasa?
4. Apa sajakah karakteristik dari bahasa?
5. Bagaimana hubungan antara ilmu dan bahasa tersebut?
6. Bagaimana peran ilmu dan bahasa tersebut?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; atau pengetahuan atau kepandaian
tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya. Dalam Wikipedia Indonesia, ilmu
adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman
manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.

Selain itu, beberapa tokoh telah menuliskan definisi ilmu antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Nazir(1988), Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis,
pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil – dalil tertentu menurut kaidah – kaidah
umum.
2. Menurut Shapere (1974), konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu adanya
rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi.
3. Menurut Schulz (1962), pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan
konsistensi dengan realitas sosial.

Secara garis besar, ilmu merupakan suatu kumpulan proses dengan menggunakan suatu
metode ilmiah yang menghasilkan suatu pengetahuan yang sistematis.

Secara etimologi, ilmu berasal dari kata “ilm” (Bahasa Arab), Science (Bahasa inggris) atau
Scientia (Bahasa Latin)yang mengandung kata kerja scire yang berarti tahu atau mengetahui.
Adapun perbedaan ilmu dengan pengetahuan. Kalau pengetahuan yang merupakan padan
kata dari knowledge merupakan kumpulan fakta – fakta, sedangkan ilmu adalah pengetahuan
ilmiah/sistematis. Kumpulan fakta – fakta tersebut merupakan bahan dasar dari suatu ilmu,
sehingga pengetahuan belum dapat dikatakan sebagai ilmu, namun ilmu pasti merupakan
pengetahuan.

Menurut John G. Kemeny, Ilmu merupakan semua pengetahuan yang dikumpulkan dengan
metode ilmiah. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa ilmu merupakan hasil/produk dari
sebuah proses yang dibuat dengan menggunakan metode ilmiah sebagai suatu prosedur.
Proses yang dilakukan untuk menghasilkan suatu ilmu bukan merupakan proses pengolahan
semata tetapi merupakan suatu rangkaian aktivitas ilmiah/penelitian terhadap suatu hal yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah ilmuan (scientist) yang bersifat
rasional, kognitif dan teleologis (memiliki tujuan yang jelas).

Secara lengkap menurut The Liang Gie, Definisi Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga
menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala – gejala kealaman,
kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,
memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan (The Liang Gie, 130).

Suatu ilmu harus bersifat empiris (hasil dari panca indera/percobaan), sistematis (memeiliki
keterkaitan yang teratur), objektif (bukan hasil prasangka), analitis dan verifikatif (bertujuan
mencari kebenaran ilmiah). Ilmu memiliki pokok persoalan (objek) dan fokus perhatian.
Sebagai contoh ilmu alam. Ilmu alam memiliki pokok persoalan terkait dengan alam dengan
beberapa fokus perhatian seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan
kumpulan fakta yang merupakan bahan dari suatu ilmu, sedangkan ilmu adalah suatu
kegiatan penelitian terhadap suatu gejala ataupun kondisi pada suatu bidang dengan
menggunakan berbagai prosedur, cara, alat dan metode ilmiah lainnya guna menghasilkan
suatu kebenaran ilmiah yang bersifat empiris, sistematis, objektif, analisis dan verifikatif.

B. Asal Mula Bahasa

Apabila kita menelusuri jejak kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima
ratus ribu tahun yang silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung mengenai
bahasa nenek moyang kita tersebut.

Cerita dari Mesir, bahwa sekitar abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan
eksperimen terhadap bayi yang dibesarkan di hutan belantara dengan pola pengasuhan yang
tanpa bersentuhan dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut
dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya “becos” yang
berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan cerita ini, banyak orang Mesir
yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang merupakan bahasa yang pertama dikuasai
manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa yang pertama kali ada di muka bumi.

Dalam versi yang lain lagi, Goropus Becanus, seorang bangsa Belanda, mengemukakan
pendapat bahwa bahasa yang dipergunakan oleh Adam adalah bahasa Belanda. Seorang filsuf
Jerman, Leibniz mengemukakan pandangan bahwa semua bahas di dunia berasal dari bahasa
Proto. Namun, baik pendapat Kemke, Goropus, maupun pendapat Leibniz tidak didukung
oleh bukti bukti yang sahih, sehingga pendapat mereka dianggap sebagai hasil rekayasa
imajinasi belaka.

Dengan kata lain, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya manusia yang pertama
kali dalam menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena tidak berdasar pada
fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Terdapat beberapa teori yang ada, bahwa bahasa bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat
lisan, dan teori yang mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis.

Menurut pandangan yang menyebutkan bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Dalam kitab
suci agama Islam misalnyaf disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang
diciptakan oleh Allah dengan berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya, termasuk
kemampuan berbahasa (Q.S. Al Baqarah: 31 dan Q.S. Ar-Rum: 22).

Akan tetapi, lain lagi jika menurut kisah ‘Kejadian’ (Injil, Kejadian 2:19) bahwa manusia
diciptakan dalam imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah satu dari sifat
manusia.

Dalam kebanyakan agama diyakini bahwa Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan
bahasa. Namun, berbagai kisah dalam agama-agama itu belum membantu untuk mengetahui
dan mengungkap apa sesungguhnya bahasa, serta bagaimana manusia memulai penggunaan
bahasa.

Dalam pandangan beberapa aliran agama, sebut saja aliran kepercayaan yang dianut
masyarakat Baduy di daerah Banten Selatan (Provinsi Banten), diyakini bahwa nenek
moyang mereka adalah cikal bakal manusia di dunia dan bahasa yang digunakan oleh nenek
moyang mereka itu adalah bahasa Sunda seperti yang mereka gunakan saat sekarang.

Pandangan lain tentang asal mula bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah
seorang filsuf Yunani yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam
bunyi-bunyi alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama
“yang benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi. Menurut
pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi alam yang
didengar manusia dan lingkungannya.

Sejalah dengan pandangan Socrates, Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman
mengemukakan Dingdong Theory atau Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa
timbul secara alamiah karena manusia mempunyai insting yang istimewa untuk
mengeluarkan ekspresi ujaran bagi setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru
bunyi-bunyi alam.

Teori lain yang disebut Teori Bow-bow atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa
manusia merupakan tiruan bahasa alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi
hujan, bunyi gesekan daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.

Teori-teori yang dikemakakan Socrates, Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata
mendapat banyak kritik, karena teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’
dapat dihubungkan dengan bunyi-bunyi alam.

Suara yang sama seringkali ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan,
misalnya dalam menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”,
orang Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”,
orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle do”.

Teori yang lain adalah Teori Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang
berpandangan bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya
rasa sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha… ha…” timbul
karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit, bunyi “wow…”
muncul karena rasa kaget.

Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan
isyarat-isyarat yang dilakukan anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat
fisik dapat menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.

Selain teori-teori sebagaimana dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula
bahasa dengan fokus pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain

C. Pengertian Bahasa

Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak
menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang
dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan
berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai
bahasanya.

Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh
masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu
seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana
komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:

1. Menurut Wittgenstein, bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami,


berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis
2. Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan
bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok
yang lain
3. Plato, bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan
onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide
seseorang dalam arus udara lewat mulut.
4. Carrol, bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa
yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi
antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada
benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.

Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
perasaan.

D. Karakteristik Bahasa

Berikut ini adalah karakteristik bahasa, yaitu:

1.Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak
bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut
mengonsepi makna tertentu.
Contohnya: secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat
yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.

2. Bahasa bersifat produktif artinya dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat
dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas.

Contohnya: menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa
Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata
tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.

3. Bahasa Bersifat Dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan
perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi.

Contohnya: perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis,
semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul,
tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.

4.Bahasa Bersifat Beragam artinya bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama,
namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar
belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam
tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon.

Contohnya: Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di
Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang
digunakan di Arab Saudi.

5.Bahasa bersifat manusiawi yaitu Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki
manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi,
yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam
menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan
tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu
bersifat manusiawi.

E. Hubungan Ilmu dan Bahasa

Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam
lapangan pemahaman manusia. Dan bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak
yang memungkinkan objek-objek ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan
adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek,
meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Surya
Sumantri, 1998).

Terkait dengan hal di atas, dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan
bahasa, tetapi dengan ilmu menjadikan bahasa memudahkan dalam kemampuan belajar dan
mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Dengan ilmu, bahasa mampu
mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena
bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala
pemikiran.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (tokoh psikolingustik) yang menjelaskan studi
mengenai manusia sebagai pemakai bahasa yang berhubungan dengan ilmu, yaitu mengenai
sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat
menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri
melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.

Ilmu dan bahasa berhubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan
berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita
pelajari. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-
kata yang terbahasakan. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia
berpikir dan berkata.

Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan ilmu dan bahasa adalah
perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa,
sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang
disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang
akan diucapkan atau ditulisnya.

Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa berperan penting dalam
upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Setiap penelitian ilmiah tidak dapat
dilaksanakan tanpa menggunakan bahasa, matematika (sarana berpikir deduktif) dan statistika
(sarana berpikir induktif) sebagai sarana berpikir (Sarwono, 2006: 13). Upaya-upaya
penyebarluasan ilmu juga tidak mungkin dilaksanakan tanpa bahasa sebagai media
komunikasi. Setiap forum ilmiah pasti menggunakan bahasa sebagai sarana utama. Aktivitas-
aktivitas yang diarahkan untuk memahami, mengeksplorasi, dan mendiskusikan konsep-
konsep ilmu tidak dapat diselenggarakan tanpa melibatkan bahasa sebagai sarana.

F. Peran Bahasa Dalam Ilmu

Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek fungsional bahasa sebagai media
berpikir dan media komunikasi. Sehubungan dengan itu, pembahasan tentang permasalahan
ini akan disoroti dalam dua bagian:

1. Hubungan Bahasa dan Pikiran

Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang bisa disadari hanya oleh orang
yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia bisa membahas
obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak berada atau sedang berlangsung
disekitarnya. Kemampuan berpikir juga kadang-kadang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah tanpa mencoba berbagai alternatif solusi secara langsung (nyata).

Peran penting bahasa dalam inovasi ilmu terungkap jelas dari fungsi bahasa sebagai media
berpikir. Melalui kegiatan berpikir, manusia memperoleh dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan cara menghimpun dan memanipulasi ilmu dan pengetahuan melalui
aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, dan membayangkan.
Selama melakukan aktivitas berpikir, bahasa berperan sebagai simbol-simbol (representasi
mental) yang dibutuhkan untuk memikirkan hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui
penginderaan. Setiap kali seseorang sedang memikirkan seekor harimau, misalnya, dia tidak
perlu menghadirkan seekor harimau dihadapannya. Makalah-makalah yang relevan, yang
berfungsi sebagai representasi mental tentang harimau, sudah dapat membantunya untuk
memikirkan hewan itu. Cassirer (dalam Suriasumantri, 1990: 71) mengatakan manusia adalah
Animal symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol, yang secara generik mempunyai
cakupan lebih luas dari homo sapiens, mahluk yang berpikir. Tanpa kemampuan
menggunakan simbol ini, kemampuan berpikir secara sistmatis dan teratur tidak dapat
dilakukan.

Bahasa memang tidak selalu identik dengan berpikir. Jika seseorang ditanya apa yang sedang
dipikirkannya, dia akan menggambarkan pikirannya melalui bahasa.meskipun pikirannya
tidak berbentuk simbol-simbol linguistik ketika dia ditanya, dia pasti mengungkapkan pikiran
itu dalam bentuk simbol-simbol linguistik agar proses komunikasi dengan penanya berjalan
dengan baik. Namun, meskipun bahasa tidak identik dengan berpikir, berpikir tidak dapat
dilakukan tanpa bahasa. Bahkan, karakteristik bahasa yang dimiliki seseorang akan
menentukan objek apa saja yang dapat dipikirkannya. Berbagai filsuf menyatakan bahwa
suku-suku primitif tidak dapat memikirkan hal-hal yang‘canggih’ bukan karena mereka tidak
dapat berpikir, tetapi karena bahasa mereka tidakdapat memfasilitasi mereka untuk
melakukannya (Miller, 1983: 176). Kenyataan ini terungkap jelas dalam diri mahasiswa yang
sedang belajar di luar negeri. Dia akan berhasil menyelesaikan studinya hanya jika dia
menguasai bahasa yang digunakan dalam proses pembelajaran. Mengingat betapa pentingnya
peran bahasa dalam proses ini, tidaklah berlebihan bila Tomasello (1999) menegaskan bahwa
bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan.

2. Bahasa Sebagai Media Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu. Setiap ilmu dapat
berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan (dipublikasikan) melalui
tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian didiskusikan, diteliti ulang,
dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil
diskusi, sintetis, penelitian ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian dipublikasikan
lagi untuk ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses penelitian, perumusan,
dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran sentral, karena segala
aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media.

Dalam penelitian dan komunikasi ilmiah, setiap ilmuwan perlu mengembangkan dan
memahami bahasa (terutama jargon-jargon akademis dan terminologi khusus) yangdigunakan
dalam bidang yang ditekuni. Tanpa bahasa yang mereka pahami bersama, kesalahpahaman
akan sulit dihindari dan mereka tidak dapat bersinergi untuk mengembangkan ilmu.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini
dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
2. Upaya manusia yang pertama kali dalam menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa
mitos karena tidak berdasar pada fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
3. Bahasa sebagai alat komunikasi bagi manusia memiliki keteraturan. Keteraturan bahasa ini
dapat dipelajarai dalam ilmu bahasa atau linguistik.
4. Karakteristik bahasa, yaitu bahasa bersifat abritrer, produktif, dinamis, beragam dan
manusiawi.
5. Ilmu dan bahasa merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Bahasa berperan penting dalam
upaya pengembangan dan penyebarluasan ilmu. Sehingga ilmu tanpa bahasa tidak
berkembang, bahasa tanpa ilmu tidak beraturan.
6. Ilmu dan bahasa saling besinergi, bahasa sebagai alat untuk mengembangkan ilmu dan ilmu
dapat menunjang perkembangan bahasa.

Sumber:

Caray. Asal Mula Bahasa. http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2010/03/asal-mula-


bahasa.html. Diakses tanggal 20 November 2012.

_____. Sejarah Perkembangan Bahasa.


http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-bahasa.html. Diakses
tanggal 20 November 2012.

_____. 2011. Hubungan Ilmu Dengan Bahasa.


http://fullcoloursaboutenis.blogspot.com/2011/06/hubungan-ilmu-dengan-bahasa.html.
Diakses tanggal 20 November 2012.

Ekaningtyas, Diah. 2011 Apa Itu Ilmu dan Apa Definisi Ilmu.
http://diahtyas8.wordpress.com/2011/03/10/apa-itu-ilmu-dan-apa-definisi-ilmu/ Diakses
tanggal 15 November 2012.

Hutasoit’s, Nella. 2012. Pengertian bahasa.


http://nellahutasoit.wordpress.com/2012/04/22/pengertian-bahasa/. Diakses tanggal 20
November 2012.

Indahf. Pengertian dan Definisi Bahasa Menurut Para Ahli.


http://carapedia.com/pengertian_definisi_bahasa_menurut_para_ahli_info494.html. Diakses
tanggal 20 November 2012.

Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Quantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Scribd. Apa Itu Bahasa. http://id.scribd.com/doc/46744017/APA-ITU-BAHASA. Diakses


tanggal 20 November 2012.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Kwary, Deny A. Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik).
http:www.kwary.net/Linguistics/Gambaran%20 Umum %20 Ilmu%20 Bahasa.doc. Diakses
tanggal 20 November 2012.

Wikipedia. Ilmu. http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu. Diakses tanggal 20 November2012

Iklan

Anda mungkin juga menyukai