Anda di halaman 1dari 26

uangan Daerah di Indonesia

BAB IV
HUBUNGAN KEUANGAFT
PUSAT DAN DAERAH

- Penyelenggaruantugas-tugaspemerintatrandilndonesiamengenal
empat azas, yakni sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Penjelasan terhadap masing-masing azas tersebut telah
dikemukakan pada bab pertama. Salah satu az;rsyang paling populer dewasa
ini, yakni azas desentralisasi, telah dibahas secara lebih luas pada bab kedua.
S ebagai mana dij el askan pada bab pert ama, penye I enggara€m tugas -tugas
pemerintahan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
menrpakan hasil pembagian fungsi antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Pembagian fungsi tersebutjuga membawa konsekwensi keuangffi,
yakni bagaimana membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi yang telah menjadi
tanggung j awab masing-masing. Untuk itu daerah perlu memiliki sumber-
zumber keuangan, baik berupa sunber pendapatan asli daeratr maupurl sumber
pendapatan lain yang dibffikan oleh pemerintatr pusat. Hubungan pemerintatr
pusat dengan pemerintatr daeratr dalam hal keuangan ini pada gilirannya
memerlukan pengaturan tersendiri, dalam upaya menciptakan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan pembagian tugas
dan firngsi tersebut Pengaturan hubungan ketrangan pusat dan daerah tersebut
di Indonesia dilahkan dengan berbagai prcduk penmdang-undangan Apabila
pembagian kewenangan pemerintahan telatr dilakukan dengan UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintatran Daeratr dan ditindaklanjuti dengan PP No.
25 tahun 2000, maka pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara
pemerintatr pusat dan daerah di Indonesia dilalarkan dengan UU No. 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintatr Pusat dan Daerah.
Topik yang akan dibahas pada bab ini dengan demikian adalah merupakan
aplikasi dari hubtmgan keuangan antara pemerintatr pusat dan da€rah sebagai
konsekuensi dari pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan

49
Keuangan Daeroh di lndonesia

daerah dengan
lenerapan ketiga yrypemerintahan sebagaimana yang telah
dij elaskan padabab pertama. Pembahasan
dimud
keuangan pusat dan daerah, sumber-sumber pendapatan
il
;;gerrian hubungan
daerah, sumber-
sumber pendapatan asli daerah serta dTu pe-nmbaniun.
keuangan antatapemerintah pusat dan daeiatr
r*""" il;ilrg*
penuh dengan dinamika, makapembalrasan pada 1n.*p"ut ansuatu aspek yang
pendekatan historis, dengan menguraikan p"rk
UaU ini lebih *.rgg*Lf.*
pusat daerah dari masa ke masa.
mbarga, rrru*g*[E;;;
Setelah mempel ajafibab ini secara keseluruhan,
mahasiswa atau
pembaca diharapkan dapat:

' Menjelaskan
Menjelaskan duapengertian mengenai hubungan
keuangan pusat-daerah.
.' Menjelaskan pendapatan asli daeratr-
sumber-sumber peidapatan daerarr di Indonesia

o Menjelaskan penyerahan pajak pusat kepada daerah


' Menjelaskan bagi hasil pajak dan bukan pajak
A. PENGERTIANHUBUNGANKEUANGAN
PUSAT-DAERAH
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah merupakan
fenomena umum didapati pada berb agunegara di dunia yang
ITq
aTas desentralisasi dalam sistem pemerindhannya.
mengenal
Salatr satu faktor penting
dalam pelaksanaan azasdesentralisasi (otonomi,fu.*h)
hanrs mempunyai sumber-zumFr keuangan yang
;drfi bahwapemda
memadai untuk membiayai
penyelenggaraan
kemamprynnya dalam 9lonominya, Kapasitas-keuangan pemda akan menentulian
-.niut*t*" fu"g;i{"rgsinya r"p.ni melaksanakan
fung s i p e I ayanan tn uty*ik a! to u b I i c"s
i
e r v i ci quL, c t i ii,- aks anakan
pembangunan (d ev e I op me n t ^l
.fuic t i o n) dan perl inaungao masyarat at Qt ro -
tective ./unction).

Pada hakekatny4 otonomi daerah merupakan


refleksi dari pembagian
kekuasaan Qtower
tharing)yang dilakukan oieh p.*"ri*ur, pusat kepada
pemerintah daerah. Secara ieoritis, semua unrsan pemerintahan pada dasamya
dapat diseratrkan kepadapemerintatr aaerah,
tcecuali empatjenis urlls€ul, yakni
pertahanan keamanan, diplomati( peradilan
a* t"u*gan dalam pengertian
mencetak uang. Sejalan dengan itu, UU no
22tatrun tgig*"rryutut baSwa*

50
uangan Daerah di Indonesia

kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang


pemerintahankectrali dalan bidang politik l*rregoi, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang
lain yang bersifat makro dan strategis. Mengingat lr.rasnya bidang kewenangan
daerah dalarn pemerintalraa makapada masa yang akan datang daffih dituntut
merniliki kemampum yang lebih besar daripada kemampuan yang dimiliki
saat ini. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan untuk menjalankan
kewenangan pada berbagai bidang pnnerintatran, dalam hal ini mencakup
pula kemampuan dalarn bidang kelenrbagaan, personil, keuangan, manajemen
ums€un, dan sebagainya. Meskipun peneqpan UU No. Z}ta}u;ui, 1999 secara
penuh UU masih dalam proses awal, mmun pemerintah daerah sejak dini
harus mempersiapkan diri untuk i perubahan yang terjadi sebagai
akibat penerapan kebijakan tersebut. Yang harus dilakukan oleh pemerintah
daerah adalah pengembangan kelembag aan (i ns ti t ut i o nal c ap ac i ty b ui I d-
ing) pemda agar mampu melaksanakan perannyayarLgmakin meningkat
tersebut secara efektif, efi sien dan akuntabel.

Salah satu aspek terpenting yang perlu dipersiapkan oleh pemerintatr


daeratr adalah aspek keuangan daerah. Keuangan daeratr diperlukan agar
pemerintatr daeratr dapat menjalankan mesin pemerintahan dan membiayai
un$€ul atau an yang dimiliki oleh daerah. Pemerintah daeralr hanya
akan dapat melaksanakan kewenganannya secara efektifbila memiliki zumber-
sumber keuangan yang cukup. Persoalan mendasar dalarn hal ini adalah
bagaimana sistem hubungan atau perimbangan keuangan antra pemerintah
pusat dengan pemerintatr dffiah Htibtrngan keuangan antra pemerintatr prsat
dengan pemerintatr daeratr kemudian tergantung dari bagaimana cara
pemerintatr pusat memandang daerah. .{pabilapemerintatr pusat
melihat batrwa pemerintah daeratr mertrpkan pesaing pusat, rnaka pusat akan
cenderung unhtk menghalangi usaha-usatra daerah dalam meningkatkan
pendapatannya (Linn, 1981). Dari aspek keuangan ini terdapat beberapa
persoalan mendasar, yakni sejauhmana daerah memiliki sumber-sumber
pendapatan yang memada i (l ulr ative) . Davey ( 1 9S9) menyatakan bahwa
kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh adanya sumber-sumber
pendapatan daer,atr dan tingkat lukratifnya. Tingkat lukratiftidaknya sumber
pendapatan daerah ditentuikan oleh sejauhmana dasar pengenaan pajak
responsif terhdap inflasi, pertumbutun penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Secara universal, gejala yang terlihat adalah dalam negara-negara yang

5l
Keuatrgan Doerah di lndone

menerapkan politik desentralisasi, umwnnya negara-n egaramaju, cenderung


memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daeratr untuk mengeloli
sumber-sumber pendapatan yang lulaatif Hal yang sebaliknya terjadi di negara
berkembang dimana sumber keuangan yang lukratifumumnya dikuasai otet,
pusat sedangkan akses pemerintah daeratr sangat terbatas hanyapada sumber-
sumber keuangan yang kurang potensial untuk menghasilkan pendapatan.

Isu mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan


pemerintah daeratr bertitik tolak dari sejauh mana kebijakan yang adil dalam
pembagian sumber-sumber keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah telatr dilakukan. Dengan demikian persoalan pokok dari
keselurutran hubrHrgan keuangan antara pemerintatr pusat dengan pemerintah
daerah adalah apakah telah terjadi perimbangan keuangan yang adil dan
trarsparan antara pemerintatr pusat dengan pemerintatr daeratr. Ada tiga aspek
yang kemudian akan menenftikan terjadinyi perimbangan keuangan y*g iaif
dan transparan tersebut, yakni pertama, sejauhmana daerah telah diberi
sumber-sumber keuangan yang cukup terutama yang bersumber dari pajak
daerah dan retribusi daerah. Kedua,sejauhmana daerah tetah memperoleh
akses kepadapendapatan-pendapatan yang bersumber dari bagi hasil pajak
serta ketiga, sejautrmana daeratr telah memperoleh subsidi yang adil dan efektif
dari pemerintatr pusat. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan
daeratr merupakan sahh satu varian dari hubungan keuangan pusat dan daerall
secara keseluruhan.

Domaindari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan


pemerintatr daeratr menyangkut berbagai aspek, seperti bagi hasil pajak(tac
sharing), subsidi (grant),pengenurul pajak tambatran (surcharge/opcenten),
fasilitas pajak (tac credit) dan pinjaman daerah (loan). Sedangkan varian
lain dari hubungan keuangan antarapemerintah pusat dengan pemerintah daerall
adalah pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah yang
mencakup pendapatan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, dan
dari perusahaan daerah, dan pendapatan yang berasal dari hasil atau usaha
lain-lain yang sah yang dilakukan oleh pemda.

Kerangka dasar bagi kebijakan perpajakan daerah umumnya


ditentukan oleh pusat. Namun sering ditemukan kesulitan untuk memperoleh
keseimbangan arttarakepentingan pusat dengan kepentingan daerah dalam

52
uangan Daerah di Indonesia

hal perpajakan. Akibatnya keraudian adalah pusat harus senantiasa


menyediakan sumber-sumber keuangan untuk daerah agar mampu
melaksanakan tugas-tugasnya . Padasisi lain daerah masih harus Gopaibantu
pusat dalam menjalankan tugas-tugasnya sendiri maupun dalam melaksanakan
progriun-program pusat yang pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah.

Sesuai dengan carapandang atau nilai yang dianut oleh suatu negara
mengenai keberadaan dari pemerintah hubturgan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah dapat dibedakan menjadi dua pengertian.
f engerti an pe rt ama dipengaruhi atau dilatar belakangi pemikiran bahwa
keberadaan pemerintah daerah merupakan p€ncernilan dari keberadaan
masyarakat daerah ya$g sudah ada sebelum berdirinya suatu negara.
Berdasarkan cara pandang tersebu! maka eksistensi masyarakat daeraidan
ataupemerintatr daerah merupakan suafu dasar yang kuat untuk mengatakan
atau menetapkan batrwa pada suafu daerah tertentu sudah adaatauterdapat
sejumlatr fungsi dan surnber-sumber keuangan, seeerti pdak, yang sejak **.rlu
tglatr menjadi milik daeratr. Atas dasar pa"d*Aan tirsebut y*g ai*aksud
dengan hubrHrgan ketrangan pusat-daerah adalah seberapa besar transfer dana
dalam bentuk alokasi yang diberikan oleh pemerintatr pusat kepada daerah.
Berbeda dengan cara pandang pfianlr'- carapandang keduamelihat
pemerintatr pusat sebagai pemegang kekuasiuul atau pengwrsa tertinggi di
suatu negara. Dengan demikian maka keberadium masyarakat daerah atau
pemerintah daerah dianggap merupakan bagian pemerintah pusat atau alat
pemerintatr pusat untuk ma{alankan kekuasaanya Dengan demikian fungsi-
fungsi maupun sumber-sumber daerah selurutrnya berasal J*i
qgmerintah prsat sebagai pemqlang kekuasaan tertingg dalam pemerintatran.
Oleh karena ituuntuk menjalanlcan secara efektifdan efisien
maka pemerintah pusat membentuk pemerintatr daeratr dan menyerahkan
sebagaian kewenangarutya kepada pemerintah daeratr. Sejalan dengan
penyerahan tersebut diseratrkan plrla srlnber-stunber keuangan
kepada pemerintah dffiah. Dengan dernikian hubungan keuangan kemudlan
diartikan dengan seluruh sumber pendapatan daeratr, baik-yang berupa
pendapatan asli daeratr rnaupun transfer dana yang berasal dari pemerinfarh
pusat. Merekayang dilatarbelakangi oleh pemikiran kedua ini membahas
hubungan keuangan pusatdaerah dalam cakupan yang lebih luas, yakni
keseluruhan keuangan daeratr. Selain membahas transfer dana, hubungan
keuangan plrsatdemhjuga membahas mengenai surrber-surnber perrdapitan

53
Keuangan Daerah di Indonesia

asli daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah (charging), pinjaman daerah
serta pendapatan-pend apatandaerah lainnya.

Karena perbedaan cara pandang tersebut, maka kajian-k ajianpara


ahli mengenai hubturgan keuangan pusatdaerah dilakukan melalui aspek yang
berbeda dan karena itu menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Indo-
' nesia secara jelas dapat dikategorikan dalam kelompok kedua, dimana
keberadaan fungsi dan sumber-sumber keuangan daerah merupakan hasil
pelimpatran atau pemberian dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Hal ini berbeda misalnya dengan negara Inggris (Great Britain) atau negara-
negara yang berbentuk federal padaumunnya, dimanapemerintah daerah
sejak awal telatr ada dan memiliki sumber-sumber keuangan tertentu. Dengan
demikian hubungan keuangan dengan pemerintah pusat hanya terjadi piaa
saat terdapat transfer dana dari pemerintatr pusat kepada pemerintah daeratr.
Namun demikian dalam perkembangannya tentu saja terjadi berbagai
perubahan dalam praktek kenegaraan, misalnya pemerintatr pusatrya dapat
mencabut suatu pajak daerah tertentu dan menggantikannya dengan suatu
.jenis pajak daerah yang baru.

Perbdaan pandangan tersebut perlu dipahami terlebih dahulu sebelum


mernbatras lebih lanjut mengenai hubungan keuangan pusat-daeratr. Karena
hanya dengan pemahaman tersebut maka pembahasan-pembalrasan yarLg
terdapat diberbagai kepustakaan yang dipengaruhi oleh kedua carapandang
diatas dapat dipatrami sejak awal pula.

B. PERKEMBANGAN HUBUNGAN KEUANGAN


PUSAT-DAERAH DI INDONESIA

Sesuai dengan uraian sebelumny4 persoalan pokok dalam hubungan


keuangan pusat daerah adalah adanyaperimbangan keuangan yang adil dan
transparan antara pemerintah pusat dengan pemerintatr daerah. Tiga aspek
yang kemudian akan menentukan terjadinya perimbangan keuangan yang adit
dan transparan tersebut adalah sumber-sumber keuangan yang cukup bagi
daerah terutama yang bersumber dari pajak daerah dan retibusi daer-atr, akses
daerah kepada pendapatan-pend apatanyang bersumber dari bagi hasil paj ak,
dan subsidi yang adil dan efektif dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.

54
euangan Daerah di Indonesia

Oleh karena itu hubungan keuangan antarapemerintah pusat dengan


pemerintah daeratr menyangkut berbagai aspek seperti pendapatan daerah
yang terdiri dari pendapatan asli daerah yang mencakup pendapatan yang
berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, dan dari perusahaandaerah, dan
pendapatan yang berasal dari hasil atauusaha lain-lainyang sahyang dilakukan
oleh pemd4 bagi hasil pajak {tax sltaring),subsidi (grant),peng€narm pajak
tambaha n (s ur c har ge / op c e n t e n), fasil itas paj ak {t ax cre d i/) dan pinj aman
daerah (loan).
Atas dasar itu dapat dikatakan batrwa hubungan keuangan pusat dan
daeralr mengandung tiga aspekyang seluruhnya akan menentukan sumber-
sumber keuangan daerah, yakni mengenai sumber-sumber pendapatan asli
daerah, bagi hasil penerimaan pemerintah pusat baik dqri pajak maupun
non pajak kepada daerah, serta pemberian dana alokasi qtau subsidi
kepada daerah.

Hubungan keuangan pusatdaerah di Indonesia sebenarnya memiliki


akar sejarah yang cukup pardang, yakni sejak masa sebelum kemerdekaan.
Perkembangan hubungan keuangan pusat daerah di Indonesia sudah dimulai
sej ak zarnanHindia Belanda datrulu Hubturgan keuangan pusat daerah mulai
terjadi pada saat pemerintahj ajahan Belanda mengeluarkan Decentralis atie
Wet 1903 sebagai suatu aturan mengenai pemerintahan daerah. Decentalisatie
Wet 1903 diantaranya mengandung prinsip desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa itu daerah-daerah otonom yang
berada di bawatr kekuasaan Belanda disebutgewest (sama dengan propinsi
sekarang), regenshap (sama dengan kabupaten sekarang) dan
staadgemeente (sama dengan kota otonom sekarang). Berdasarkan aturan
tersebutdaeratrdiberittrqiangan tetapdari kasnegamyang jumlah
dana yang dipisahkan dari anggaran pemerintatrbagi usatra-usaha membiayai
da€rah. Dengan pemberian turf angan tersebut dimulailah hubrurgan keuangan
antara pusat dan dabrah. Jumlah tunj angan diperhituurgkan dari j umlah ruta-
rata pengeltramn selama limatahurterak*rir. Sementara itu, daerahjuga diberi
hak untuk melakukan pungutan-pungutan pajak danjWa melakukan piqiaman
untuk menutupi pengeluaran yang terus bertambah. Resesi tahun 1922
menyebabkan dana yang disediakan untuk membantu pemerintah daerah
mentrnrn. Untuk menghadapi keadaan tersebut maka dikeluarkan aturan banr
dengan meniadalcan pemberian tunjangan kepada daerah dan menggantinya
dengan sistem sluitpost (Kristiadi, 1985).

55
Keuangan Daerah di Indones

Hubungan keuangan pusat-daerah di Indonesia yang diatur secara


khusus dimulai pada tahun iq:S dengan adanyafinaiciele verhouding
sebagai keharusan dari perluasan tugas daerah-daerah otonom. Pada *u*
itu' perimbangan keuangan arfiarapusat dan daerah tetap dilakukan dengan
sistem sluitposl. dimana pemerintah pusat menyerah[an subsidi keplOa
pemerintah daerah sebesar selisih arfiararencana penerimaan daerah dengan
rencana pengeluarannya. Pada masa awal kemerdekaan tahun lg4l,,sistirn
sluitposl tersebutjuga masih dilaksanakan, namun sudah tidak secara penuh
lagi karena pemerintahpusat tidak tagi memberikan subsidi pada daerah sebesar
selisih antara rencana penerimaan dengan rencana penerimaanny4 melainkan
denganj umlah tertentu yang tergantung dmi kebij aksaanaan Departemen Dalam
Negeri. Sistem ini dikenal pula dengan nama quasi-sluitposi.Karena sistem
tersebut menyulitkan daerah dalam menyusun dan melaksanakan anggaxanny4
maka kemudian timbul dorongan untuk membuat aturan tersendiri-i.ng.rrui
hubungan keuangan pusatdaerah yang dianggap sesuai dengan kondisi nEg*u
pada masa itu.

Lahirnya-h1llungan keuangan pusat dan daerah di Indones iapada


kurun waktu setelah kemerdekaan diawali dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No. 32 tatrun 1956 tentang Perimbangan Keuangan arttaraNegaia
dengan Daerah-daerah yang Berhak untuk Mengurus Rumah Tangginya
Sendiri. Undang-undangtersebut mengatur empat aspek mengenai t ub""gan
keuangan pusat
9-u"ph, yang sekaligus dapat dipandangiebaga i poEok
pikiran mengenai hubungan keuangan pusat daerah, yal<ni sumbir-sumber
pendapatan dagrah, penyerahan sejumlah pajak pusat kepada daerah,
penyerahan sebagian pendapatan pemerintah usat kepada daerah (tax
sharing), serta pemberian subsidi kepada daerah. Berikut ini diuraikan
feempat pokok pikiran tersebut dikaitkan dengan perkembangan hubungan
keuangan pusat daerah hingga saat ini.

S umber-S umber Pendapatan Daerah


zUU No. 32 tahun lglldinyatakan bahwa pendapatan
Pada pasal
pokok dari daerah adalah (a) Pajak Daerah; (b) Retribusi bu"ruh,
1";
Pendapatan Negara yartg diserahkan kepada Daerah, dan (d) rraiii
Perusahaan Daerah. Selain itu iuga dinyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu
pada daerah dapat diberikan g*J**, subsidi maupun sumbangan. Bagian
yang mengatur mengenai sumber-sumber pandapatan daerah tersebut

56
-- - . * Keuongan Daerah di lndonesia

diprtegas kembali dalam Undang-Undzurg- No. 5 trhun lgT4tentang pokok-


Pokok Pernerintahan di Daerah. Pasal 56 UU No. 5 tahun lgT4menyatakan
bahwa sumber pendapatan daerah adalah :

a. Pendapatan Asli Daerah rendiri, yafigterdiri dari hasil pajak Daeral:, hasil
-
retribusi daerah, hasil perusahaan daemh, dan lain-lain usaha daeratr yang
sah.
b. Pendapatan yangberasal dari pemberian Pemerintah yang terdiri dari
sumbangan pemerintah dan sumbangan-sumbangan lain,yang diat ur
dengan peraturan perundang-undangan.
c. Lain lain pendapatan yang sah.

Sedangkan menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintatran


Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Kiuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dinyatakan batrwa sumber-sumber pendapatan
daerah terdiri dari pendapatan asli daeratr eAD), danaperimbangan, pinjiman
daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan asii tiaeratr
(PAD) sendiri terdiri dari penerimaan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
qaerah,
lasil perusatraan daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Sedangkan dana perimbangan terdiri dari bagian daerahdari
penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanatr dan
bangunaq danpenerimaandari sunrber &yaalanu danaalokasi umum serta
dana alokasi khusus. Pembahasan lebih lanjut mengenai berbagai sumber
pendapatan daeratr tersebut akan disajikan puOu UafUaU berikrinrya.

Dengan membandingkan isi dari pasal 2UU No. 32 tahun 1956


dengan pasal 56 UU No. 5 tahun 1974 serta isi pasal 79 dan80 UU No. 22
tatrun I 999 tersebt4 dapat disimpulkan bahwa ketentuan-kebnnnn mengenai
sumber-zumber pendapatan daerah yang terdapat dalam ketiga UU tersebut
sebenarnya memiliki pokok pikiran atau prinsip-prinsip yangsama. Namun
demikian UU terakhir mengkategorikan dan menyebutkan secrra lebih tegas
apa-apayang menjadi hak dacrah untuk menjadi sumber pendapatan daeratr.
Pada UU sebelumnyahal tersebut masih belum dikemukakan srcara eksplisit.

Penyerahan Sejumlah Pojak Pusat Pada Daeralt

Penyerahan sejunlah pajak pusat rurtuk menjadi milik daeratr diatur


padapasal 3 ayat 1 UU No. 32 tahun 1956. Pajak-pajak tersebut adalah

57
Keuangan Daerah di lndonesia

P-aiak Verponding (Ordonnansi Verponding I 928), Pajak Yerponcling In-


donesia (ordonnansi verponding Indonesia), paiik Rumah raigga
(Ordonnansi Pajak Rumah Tangga 1908), Pajak Kendaraan Bermolo,
(Ordonnansi Pajak Kendaraaan Bermoto r 1934:), PajakJalan (adonnansi
Pajak Jalan 1942), Pajak Potong (ordonnansi pajak potong 1936), pajak
Kopra (uu Negara Indonesia Timur No. 16 tahun D4A), dan riiatc
Pembangunan (UU Pajak Pembangunan I, UU Republik Indonesia No. t+
tahun 1947). Selanjutnyz,ayat2pasal3 UU tersebut menyatakan bahwa
pengaturan kepada siapa (kepada daerah tingkat mana) pajak-pajak tersebut
diseratrkan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Setelah diberlakukannya UU No. 32 tahun 1956 Jit"t.rurtan pula


Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 tahun 1957 tentang penyerahan fa3at<
Negara kepada
!ryrah sebagai tindak lanjut dari pasil3 ayat I dan ZUU
No. 32 tahun 1956. Dalam PP No. 3 tahun 1957 teriebut diatur secara tegas
pujuk mana saja yang diseratrkan pada Dati I (sekarang daerah Propinsi) j,*
Pajut mana yang diserahkan pada Dati II (sekarang daJrah Kabupaie
Pembagiannya adalah sebagai berikut : "tqot"l
' Kepada Dati I diserahkan Pajak Rumah Tangga, Pajak Kendaraan
B ermotor, dan_Paj ak verponding (ordonnansi virponding I gzg).
o Kepada Dati II diserahkan Pajak Potong, Pajak Pimbang.rrr*, pajak
Verponding Indonesia, Pajak Jalan, dan pajak Kopra.
Melalui dua {-IU Danma! yaitu UU Danmat No. I I ta}run lg1Ttentang
Peraturan Umum Pajak Daeratr dan UU Darurat No. 12 tahun lgST tentan[
Peraturan Umum Retribusi Daerah, Pemerintah Pusat menyerahkan lagf
pajak pada Dati I dan Dati II serta menetapkan sejumlah retribusi
1e:umlah
daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah
eaO). Jlnis-jenis pajak
tersebut antara lain_adalah,kepada Dati I diserahkan Pajak Untuk Menangkap
-sekolah
Ikan di Perairan Umum di dalam wilayatr ny&,Pajak
, opsenuit"il
lujut Kekayaan danopsen untuk Pajak (cukai) nen;ualan Bensin.'sedangkan
kepada Dati II diserahkan Pajak atas Pertunjukkan dan Keramaian Unium,
Pajak atas Reklilme di Luar Majalah (radio dantelevisi), PajakAnjing, pajak
3jas]jin Penjualan atau Pembuatan Petasan dan Kembang api, palak atas
Ij in Penj ualan Minuman Yarrg Mengandung Alkohol, Paj ak kendaraan
Tidak
Bermoto-r, Pajak atas Ijin mengadakan perjudian, pajak Atas Tanda
Kemewahan Mengenai Luas dan Hiasan Kuburan, dan bederapajenis pajak
lain ditamb ahopsenatas beberapajenis pajak yang dipungut otetr p"*.ri.it f,

58
euangdtn Daerah di Indonesia

Pada
tingkat y'ffiLglebih tinggi. Sedangkan retribusi yang diserahkan antara
lain adalah uang leges, uang tol, bea jalan, bea pingkalan dan bea
penambangaq bea pembantaian dan perneriksaaarl uang sempadan dan i.iin
bangunan, retribusi atas pemakaian tanah, dan bea peng-uburan. Kemudian
pada tahun 1968 diserahkan lagi suatujenis pajak kepada Dati I yaitu pajak
bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan kepada Dati Itr diserairkan najat
Bangsa Asing dan Pajak Radio melalui LJU No. l0 tahun 1969.

Melalui berbagai peraturan perundangan (UU dan PP) pemerintah


pusat telah menyerahkan sejumlah Pajak dan Retribusi kepada Dati I dan
Dati II. Tetapi dalam perkembangannya kemudian dilakukan pula pencabutan
kernbali atau pelghapusan sejumiah pajak Daerah. pajak daerah yang
dihapuskan tersebut adalah Pajak Kekayaan dan Pajak Rumah fangga.
Kemudian sebagai penggantinya telah ditetapkan PajakBumi dan Ban$ilan
sebagai pajak Pelnerintah pus?!. Jenis pajak lain yang dicabut adalatr pajak
V9+onding dan Pajak Verponding Indonesi4 yang dicabut dengan UUNI.S
tahun 1960 (Legge, 196l; shaw, 1980; Devas, 1989; Davey l9g9; worl
Bank 1988). Sejak dekade tahun 60-an sampai sekarang pemerintah pusat
tidak pernatr lagi menyerahkan suatujenis pajak tertentu liepada daerah.

Saat ini pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah


dilakukan dengan uu No. 34 tahun 2000 yang menggantikan uU No. l g
tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Atas dasar UU
tersebut pemerintah daerah Propinsi memiliki 4 (empat) jenis pajak daerah
dan pemda Kabupaten/Kota memiliki 7 (tujuh) jenis pajak daeiah. pajak-
pajak untuk daerah propinsi adalah Pajak Kendaiain Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permuk iun.
Sedangkan pajak-pajak daerah Kabupaten dan Kota adalah Pajak Hotel,
Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
fujut Pengambilan Bahan Galian Golongan C, serta Pajak Parkir. D1 samping
itu pemda Propinsj nulupurl Kabupaten dan Kotajuga memiliki kewenanga;
ytuk mgmungut berbagai jenis retribusi daerah, yang digolongkan meqiiai
Retibusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usatra dan Retibusi Peri ,tnanTertehtu.

Namun demikian karena perbedaan kondisi masing-masing daeratr


sebagian pajak dan retribusi daeratr tersebut bisajadi potensial bagi suatu

59
Keuangctn Daerah di lndones

daerah namun tidak potensial bagi daerah iainnya. Hal yang lebih menonjol
adalah kenyataan bahwajenis-jenis pajak dan retribusi tersebut merupakan
pajak-pajak dan retribusi yang kurang bouyant dan kuran glulvatifsehingga
hanya mampu menghasilkan pendapatan yang sangat terbatas bagi daerah.
Akibatnya adalah daerah hanya dapat membiayai sebagian kecil dari total
anggaran pengeluaannya dan selebihnya masih tetap harus dibiayai oleh subsidi
yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pembahasan lebih lanjut mengenai pajak
daerah dan retribusi daerah akan disajikan padabab tersendiri.

Penyercrhan sebagian Pendapatan Pemerintah Pusat Kepada Daerah


(Tax Sharing)

Pokok pikiran ketiga yang diaflr dalam UU No. f Z tahun lg56adalah


mengenai penyerahan sebagian pendapatan dari pajak-pajak tertentu kepada
daeratr. Menurut UU tersebut kepada daerah diberikan sebagian pendapatan
pajak-pajak pusat tertentu dengan pengaturan sebagai berikut:
o Untuk Pajak Peralihan, Pajak Upal, dan Pajak Meterai besarnyajumlah
pendapatanyang diseratrkan kepada daerah adalah minimum 70Yo dan
maksimum 90%.
. Untuk Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan bersarnya persentase yang
diserahkan kepada daerah ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan
Pemerintah.
Selain itu kepada daerah diserahkan pula sebagian pendapatan dari
bea masuk, bea keluar dan cukai. Khususnya bagai daerah yang
menghasilkannya akan diberikan bagian tanrbahan dari penerimaan bea masuk
dan bea keluar yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan. Adapun
besarnya bagaian yang akan diterima daerah setiap tahunnya didasarkan atas
8 (delapan) faktor yang dianggap mencerminkan kebutuhan daerah. Kedelapan
faktor tersebut adalah luas daerah, jumlah penduduk, potensi perekonomian,
tingkat kecerdasan, tingkat kemahalan, panjang jalan yang diurus oleh daerah,
panjang saluran pengairan yangdiurus oleh daerah, serta keadaan geografi
daerah (apakah suatu daerah terdiri dari kepulauan atau tidak).
Pada tahtur 1957 dikeluarkan pula Peraturan PemerintahNo. 1 2 tatrun
1957 tentang Penetapan Persentase Dari Penerimaan Negara yang Diserahkan
kepada Daerah. Penyerahan sebagian penerimaan negara kepada daerah
dilakukan dengan pengaturan sebagai berikut :

60
uangan Daerah di lndonesia

Kepada Daerah Tingkat I diserahkan sebagian dari Pajak Peralihan (tr/o),


Pajak Meterai (g0%o),Pajak Kekayaan (7syo),pajak Ferseroan (75o
),
Bea Masuk {s$%),dan Bea Keluar (5A%).
Kepada Da€rah Ingkat U diseratrkan sebagian dari Pajak Peralihan (30yo,
penetapan besar), Pajak Peralihan (g}yo,penetapan kecil) dan pajak
Upah (e0%).

Pengaturan mengenai bagi hasil pajak yang didasarkan padatlU No.


32 tahun 1956 pada masa pemerintah Orde Baru dalam prakteknya tidak
dilaksanakan. Hal ini terutama disebabkan karena sangat sulitnya untuk
menetapkan bagian yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan ke delapan faktor yang disebutkan di atas (NUDS, I gg4).
Kesulitan-kesulian yang muncul adalah sebagai berikut:

a. Faktor-faktor yang digurtakan dalam menetapkan pmbagian dana kepada


daerah tidak dapat merefleksikan kebutuhan darah yang sebenarnyi.
b. Penentuan bobot untuk setiap faktor tidak disandarkanlada dasar yang
jelas.
c. Rumus perhitungan seb agai dasar pembagian dana kepada daerah
berdasarkan faktor-fbktor diatas dirasakan terlalu rumit.
d. Data yang diperoleh untuk menghitung rumus bagi penentuan persentase
yang akan diterima oleh daerah, baikdata p"r"r1*aan negara maupun
datakedelapan faktor diatas, tidak mudah diperoleh, serta membututrkan
pekerjaan dan waktu yang tidak sedikit.
Prosedur pelaksanaannya sulit dilaksanakan.

Dengan demikirur secara pembagian dana dengan **prti-U*gk*


ke delapan faktor di atas sangat sulit untuk dilaksanakan secari administratif.
Akibatny a adalahpembagian dana kepada daeratr seringkali menimbulkan
keterlambatan yang pada akhimya menimbulkan reaksi Aa"rat, tenrtama daeratr
yang belum mempunlai infiastr*tur yang memadai dan secara ekonomi belum
berkembang. Daerah-daerah seperti ini bahkan tidak mampu membiayai
anggaran rutinnya untuk keperluan membayar gaji pega*iirryu. Seteiah
bgrlakunya UU No. 22 darlzs tahun 1999, jenis pajak y*g p"rr.rimaannya
dibagihasilkan kepada daeratr adalah Pajak Bumi aan eangunar, (pBB) dan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHAIB). Pembahasan iebih
lanjut mengenai bagi hasil pajak dan bukan pajak akan disajikan pada bab
yang membahsa alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah.

6t
Reuctngan Daerah di Indonesia

Subsidi

Berdasarkan UU No. 32 tahun lg56kepada daerah dapat diberikan


subsidi, ganjaran atau sumbangan. Pada dasarnya ketiga hal diatas memiliki
maksud yang sama, yaitu bantuan dari pemerintatr pusat kepada daeratr karena
daerah tidak memiliki sumber-stunber kerxmgan yang cukup turtuk membiayai
pelaksanaan tugas/fungsinya. Pada saat pemerintahan Orde Baru, bentuk
pemberian subsidi mempunyai pola yang sangat berbeda dengan pola yang
digunakan sebelumnya. Sebagai akibat tidak dapat dilaksanakannya UU No.
32 tahun 1956, maka selama masa berlakunya UU No. 5 tatrun 197 4 tentang
-
Po kok-poko k Pemerintahan di D aerah, ciikeluarkan berb agai kebij aksanarul
dalam rangka mengisi kekosongan aftran perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah, diant arany aadalah kebij aksanaan pemberian subsidi kepada
daerah seperti dalam bantuk subsidi perimbangan keuangan, cess,bantuan
pembangunan daerah, sumbangan darurat, dan sebagainya. Subsidi yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah pada dekade tahun l970an
dan l980an merupakan dampak dari melimpahnya rejeki minyak (oil bo-
nanza) pada masa itu sebagai akibat dari tingginya harga minyak bumi di
pasar intemasional. Secara umum subsidi yang diberikan kepada daerah pada
masa inr dapat dibagi mer{adi duabagian besar yakni sebagai berikut (I-egge,
I 961 ; Devas, 1989):

a. Subsidi bagi pengeluaran rutin,yaitu subsidi yang diperuntukkan bagi


pembayaran gaji pegawai daeratr. Subsidi ini disebut pula sebagai Subsidi
Daerah Otonom (SDO).
b. Subsidi bagi pengeluaran pembangunan yang masih dapat dibagi
menj adi dua bagian yaitu:
(l ) Subsidi dalam bentuk yang mendekati block grant (Davey, 1989)
yang disebut pula sebagai Inpres Dati I untuk Dati I, Inpres Dati II
untuk Dati II dan Inpres Bantuan Desa untuk Desa. Pada
kenyataannya subsidi dalam bennrk inpres ini bukanlah subsidi dalam
bentuk block grant yang murni karena penggunaannya sudah
+ ditetapkan dan diaratrkan.
(2) Subsidi dalam bentuk specific grant (Davey, 1989). Termasuk di
dalam kategori ini adalah dalam bentuk Inpres Sekolah Dasar, Inpres
Kesehatan, Inpres Jalan dan Jembatan, Inpres Penghijauan dan
Reboisasi.

62
euangan Daerah di lndonesia

S-"^@gk* padamasaperalihanmenuju berlakunya UUNo. 22 dan


- .
25 tahun 1999, ywrpdiberikan t eeaAadr.rat,
Walokasi di**utu, dengan
DanaAlokasi Rutindan DanaAlokasi Pembangrman, yang digunakan
untuk
l9mbgyai pengeluaran rutin dan pengeluaran p"*Uu"gur*r"d*ulr. Sementara
dalam UU No- 22 dan25 tahun 1999 dana atbt<asi dtamakan dengan
Dana
Alokasi Umum(DAIJ) dan DanaArokasi Khusus (DAK).

C. IMPLIKASI HUBUNGAN KEUANGAN


PUSAT-DAERAH DI INDONESIA
, Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, salah
aspek yang paling penting
satu
tHrtuk dipersiapkan oleh pemerintatr d**h d"lrh
Tpet<
keuangan daerah. Keuangan daerah diperlukan agarpemerintah
daeratr
fapat menjalankan mesin pemerintahan dan meriUiayui urusan atau
kewenangan
Yang dimilikinyu. Pemerintah daerah hanya akan dapat
melaksanakan kewenganannya secara efektif bila memiliki sumb"r-r,r-L",
kguangan yang cukup. Persoalan mendasar dalam hal ini adalatr
bagaimana
sistem hubungan atau perimbangan keuangan antara pe*"ri"tun pu*T
a"rrg*
pemerintah daelalr. Hubungan keuangan antara pimerintah p;; J"d;
pemerintatr daerah kemudian tergantungdari bagaimana cu* p"*oirrt
tr pirut
memandang pemerintah daerah. Apabila pernerintah pusat melihat
bahwa
pemerintatr daerah merupakan pesaing pusat, makapisat akan
r"ra"*"I
ytuk mgnghalangi usaha-usaha daerah dalam meningkatkan pendapatannyi
(Lim, I 981). Dari aspek keuangan ini terdapat beberala persoalan *"rd*ir,
rykni sejauhmana daerah memiliki sumber-sumber pendapatan yang lukratif.
Dayey ( I 989) menyatakan bahwa kemampuan keuangan daeratr ditentukan
oleh adanya surnber-sumberpendapatan daerah danting[at hkr:atifirya
Ti"gk t
lukratiftidaknyl sumber pendapatan daerah ditentuik; oleh sejauhmana
d],ar
paj ak responsif terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk
dan pertumbuhan
ekonomi. Secara univg-r1al, gejala yang terlihat adalah dalam negara-n
egara
yanq menerapkan politik desentral isasi, umumnya negara-negaru
cenderung mernberikan kewenangan yang lebih Ur* kelada daerah -i3.r,
untuk
mengelola sumber-seumber pendapatan yang lukratif. Hal yang sebaliknya
terjadi di negara berkembang dimana sunrber keuangan yangf,rm#f
r**yu
dikuasai o-leh pusa! sedangkan akses pemerintah d**i, *ilgut terbatas
padasumber-sumber keuangan yang ktrang potensial *rtit
n*iiu
menghasilkan
pendapatan.

63
Keuangan Daerah di lndonesia

Berdasarkan uraian sebelumnya j elas bahwa hubungan keuangan


pusat-daerah di Indonesia mencakup seluruh sumber keuangan daerah, tidak
hanya sebatas berapa besarnya bantuan atau transfer dana dari pemerintah
pusat kepada daerah tetapi juga berkaitan dengan seluruh sumber penerimaan
daeratr lainnya. Aplikasi hubungan keuangan pusat daerah sesuai dengan LIIJ
No. 32 tahun 1956 maupun UU No. 5 tahun 197 4 juga mengindikasikan hal
tersebut. Pengertian keuangan daerah dalam kedua Undang-Undang tersebut
mencakup baik sumber-sumber keuangan daerah sendiri (PAD) maupun bans-
fer dana yang berasal dari pemerintah pusat (alokasi) yang sejalan dengan
pengertian kedua diatas. Indikasi lain adalah pada penggunaan ketig a azas
pemerintahan secara bersama-sama. Meski terdapat azasdesentalisasi dalarn
penyelanggaraan azas pemerintahan, namun ternyata dalam prakteknya
penyelen ggaraan azas dekonsentrasi lebih menonj ol. Ini berarti pemerintah
pusat lebih menganggap pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangannya
dalam menjalankan tugas-tugasnya dari pada sebagai pembawa aspirasi
masyarakat daeratr.
Relitas hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintatr daerah di Indonesia ditandai oleh dua ciri utam4 yakni rendahnya
pendapatan asli daeratr dan besarnya ketergantungan daerah terhadap pusat
(Kuncoro, I 995 ). Indikatornya adalah rendahnya proporsi PAD terhadap
total pendapatan daerah dibandingkan dengan besarnya subsidi atau bantuan
yang diberikan oleh pusat. Penerimaan terbesar pemerintah daerah berasal
dari bantuan dan sumbangan pusat, baru diikuti dengan bagi hasil pajak dan
bukan pajak. Keadaan ini menunjukkan betapa rendahrrya kemampuan daerah
dalarn menggali sumber-sumber pendapatannya sendiri, yang secara tidak
langsung menuj ukkan bahwa kemarnpuuln menyelenggarakan otonomi daerah
masih rendah.

Terdapat beberapa penyebab rendahnya PAD yang kemudian


menyebabkan tingginya ketergantungan fi skal pemerintah daerah. Kuncoro
(1995) menyebutkan lima penyebab utama rendahnya PAD yang
menyebabkan tingginya ketergantungan fiskal tersebut, yakni kurang
berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah,
tingginya derajat sentralisasi perpajakan, hanya sebagian pajak daerah yang
dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan daeratr, kekhawatiran terjadinya
disintegrasi dan sparatisme, sertakelemahan dalam sistem pemberian subsidi
dari pusat kepada daerah. Karena itu, kemudian diperlukan suatu sistem

64
uangan Daerah di lndonesia

hubungal'r keuangan pusat-daeruh y drlgdidasari oleh pembagian


kewenangan
yang jelas antaraPlsat dengan darah dan mampu
mernbirikan
mengenai seberapa luas kewenangan yang dimiliki daerahdalu*
r.":.fui*
*Lrrgg4i
sumber-sumber pendapatannya dan memanfaatkannya sesuai
O.I[u"
kebutuhan dan keinginan masyarakat daerah,seberapa t*r
kebebas;;t"
untuk men gadakan pun gutan -p ungutan, menetapkan tari f, dan
ketentuan
penetapan sanksi-sanksinya, serta seberapa luas kebebasan
daerahdalam
penentuan besar maupun arah pengeluarannya.

Padatatatankebijakan, hubungan keuangan pusat daerah di lndone-


sia diatur deqgan undang-undzurg, Undang-*Ourig
No :Z tatrun lgsstentang
Ferimbangaur Keuangzur Anlala Ngeara Dengan tf-aerah-daerah yang g.rhut

!ryggairya Send.iri *.*pui.* peraturan perundanlan yang


Mengatur Rumah
pertama mengenai keuangan daerah setelah masa kemerdekaanl
Meski
kemudian undang-Ild*g ini tidak digunakan secarapenulu
rurmun pokok-
pokok pikiran yangdikandungnya hingga kini masih .,*up
rAevan, vri*i, I r I
Daeratr mempuryai sumber-sumber pendapatarurya sendiri.
Sumber-r*b.,
pendapatan te199bt1t adalah yang berasal dari pajak daerah,
retribusi daerah
perusahaan milik daerah dandari
pendapatan daerah lainnya
Adanya bagi.has,il sejumlah pajak pusat kepada a""rurr.-(ll"aa*y"
yffir*, A;
penyerahan seJumlah paiakdan retribusi menjadipajak
dan retribusi daerah,
dan(4) Adany.l subsidi bryi pemerintah daeiah, yui*i *j"*iurr;;il;
meruqlkan selisih antaru jumlah anggaran daerah Aengan j umlah
yang disediakan oleh daerah. v r ugg*ui
Hubungg pusat-daerah di Indonesia pada kurun waktu
!!"*gan
,berlakunya UU No- 32 talun tg56dan UU No. 5 tahun Diq Mprtdikatakan
9:{*gtung tanpa didasari oleh aturan yang bersifat khusus. 1-,;ry. No 5 taSun
1974 secara tegas menyebutkan perlunya *a*g-undang yang
secara khusus
mengatur hubungan ketrangan antara pemerintah pu" atiandieratr.
Undang-
undang tglsebut
9{*t"nyataannyi tiaak pernah ada hinjga UU tersebut
tidak berlaku lag, dan diganti dengan tru N;. 22 ta}nn 1gg5'
danUU No. 25
tahun 1999- Meskipun UU No. lz tatun l956tidak dicabut padamasa
berlakunya UU No. 5 tahun lg74 namun UU terseUut dipanaang
tidak
akomodatif dengan perkembangan yang berlangsung pada
mils4 itu terutama
hal bagi lmsil pajak sehingga tru N". 32 tahun-1956 ssffia
{4q" operasional
tiqak pernah dilaksanakan. Karena itu, pada masa berlakunya
UU No. 5
tahun 1974 sebenarnya te{adi kekosongan aturan *.ng"rrui
hubungan

65
K.euangan Daerah di Indones

keuangan pusat-daerah. Aplikasi hubungan keuangan pusatdaeratr kemudian


diatur dengan berbagai kebijakan yang bersifat sementara (ad hoc). Aturan-
aturan sementara itulah yang kemudian meqiadi dasar bagi hubungan keuangan
pusat daerah pada masa itu. Beberapakebijakan tersebut diantaranya adalah
(Sidik, 1994; Kuncoro,1994; Kuncoro, 1995): Pertama, diserahkannya
tarnbahan tiga pajak negara kepada daerah, yakni bea balik nama kendaraan
bermotor, pajak radio dan pajak bangsa asing (UU No. tahun 1968). Keduo,
diberikannya subsidi kepada daerah yang berupa Subsidi Daerah Otonom
(SDO) untuk menutupi belanja rutin daerah terutama untuk membay ar gaji
pegawai daerah (sejak 1965). SDO ini diberikan sebagai pengganti dari bagi
hasil pajak yang tidak dapat dilaksanakan. Ketiga,diperkenalkannya pro-
grarrr Ilrpres (sebagairnana disebutkan diatas) sejak tahun i969 kepada daerah-
sebagai pengganti subsidi, ganjaran dan bantuan . Keempatrdiperkenalkannya
pinjaman kepada daerah, yang dimulai denganBantuan Uang Muka (BUM)
IPEDA pada tahun 1969 ,Inpres Pasar pada tahun 197 6 , pinj aman untuk
PDAM dan pir{aman lainnya pada tahun 197 S,serta Rekening Pembangruran
Daerah (RPD). Kelima,bagi hasil penerimaan non pajak yakni royalty/li-
cence fee pertambangan dan kehutanan (sejak tahun 1970).

Dilihat dari kinerja hubungan keuangan pusat daerah fakta


menturiukkan bahwa dengan aturan-aturan yang ada tersebut secara kuantitatif
pendekatan yang dilakukan selama ini berhasil dengan memuaskan (Sidik,
1994).yang terbukti dengan dicapainya kemajuan ekonomi di daerah. Namun
demikian. bila diamati lebihjauh akan terlihat bahwa sebenarnya hubungan
keuangan pusat-daerah di Indonesia masih mengandung masalah. Masalah
yang menonjol dan menjadi ciri dalam hubungan keuangan pusat-daerah di
Indonesia bagaikan dua sisi dari satu mata uang logam, dimana yang satu
tidak dapat dilepaskan dari yang lain, yakni rendalrrya Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan dominannya transfer dari pusat (Kuncoro, 1995). Hal itu
mengindikasikan bahwa hubungan keuangan pusat daerah masih sangat
didominasi oleh pemerintah pusat, terbukti dengan masih besarnya
ketergantungan pemerintah daeratr dalam bidang keuangan kepada pemerintah
pusat.

Berdasarkan data terakhir diketahui bahwa bagian terbesar


penerimaan daerah baik Propinsi maupun Kabupaten dan Kota adalah berasal
dari sumbangan pemerintah pusat. Proporsi penerimaan yang berasal dari

66
eucrngan Daerah di lndonesiu

pusat untukdaerah Fropinsi masih lebih da{i60%sementara untuk daerah


Kabupaten dan Kota lebih dari79Yo. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
porsi penerimaan daerah yang berasal dari PAD masih sangat kecil bila
dibandingkan dengan penerimaan yang krasal dari pemerintah pusat. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintatr daerah terhadap
pemerintah pusat dalam bidang keuangan masih sangat tinggi. Tingginya
ketergantungan keuangan tersebut menurut Kuncoro ( 1995) disebabkan oleh
beberapa hal, yakni kurang berperannya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
sebagai sumber pendapatan daerah, tingginya derajat sentralisasi di bidang
perpajakan, kurang nulmpunya pajak daeratr tmtuk diandalkan sebagai surnber
pendapatan daerah, alasan politis agar daerah tetap dikendalikan oleh pusat,
dan kelematran dalam sistem pemberian subsidi kepada daerah yang
dilaksanakan selama ini.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan batrwa kemampuan


daeratl dalam menggali stunber-sumber pendapatannya sendiri masih sangat
rendatr. Dikaitkan &ngan penyelenggaraan tugas-tugas daeratr selaku daeratr
otonom, maka dapat dikatakan pula bahwa kemampuan daerah dalam
penyelenggarumlt tugas-tugas atau un$an-urusiuln yang menj adi tanggung
jawabnyajuga masih rendah. Hal-hal yang perlu meqiadi perhatian dalam hal
ini adalah mengenai keadaan keuangan daeratr Kabupaten dan Kota sebagai
titik berat pelaksanaan otonomi daeratr. Tingkat ketergantungan keuangan
daerah Kabupaten dan Kotaterhadap pusat lebih tinggi bila dibandingkan
dengan tingkat ketergantungan daerah Propinsi, padahal sesuai dengan titik
berat otonomi daeratr pada daeratr Kabupaten dan Kota sehanrsnya daeratr
Kabupaten dan Kota memiliki ketergantungan keuangan yang lebih rendah
terhadappusatdansebaliknyamemiliki ketrangan yanglebihtinggi.
Karena itu yang perlu dilakukan adalatr upaya untuk memperkuat posisi
keuangan daeratr Kabupaten dan Kota sebagai ujung tombak pelaksanaan
otonomi daerah agar tidak lagi sangat tergantung dari pusat. Dengan demikian
daerah Kabupaten dan Kota akan lebih mampu menjalankan tugas-tugas,
firngsi maupun tanggug jawabnya dalam pelaksanaan pembangunan maupurl
pemberian pelayanan kepada seltnuh masyarakat.

Hubungan keuangan Pusat Daerah berdasarkan


UU No. 25 tohan 1999
Sesuai denganfimtutan reformasi, daeratr diberi otonomi yang lebih
besar dalam mengelola urusan-urusan pemerintahan sestni dengan prakarsa

67
Keuangan Daerah di lndonesia

sendiri dan kepentingan misyarakatnya. Dalam bidang keuangan, daerah.iuga


diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sumber Myakeuangan
yang lebih besar. Salah satu prasyarat dalam penyelen ggaraankewenangan
pemerintatran adalatr kewenangan dalarn menggali sumber-sumber keuangan
sendiri. Kewenangan pemerintatran yang didasarkan pada azasdesentralisasi
mempersyaratkan kewenangan keuangan yang dicerminkan oleh Fendapatan
Asli Daeratr. Selain itu diperspratkan pula adanya dukungan sumber keuangan
yang berasal dari perimbangan keuangan.

Dalam konsiderans UU No 25 tahun 1999 dinyatakan bahwa


perimbangan keuarigan diatur berdasarkan pembagian kewenang&tr, tugas
dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Ketentuan ini
mengisyaratkan adanyakejelasan terlebih dahulu mengenai tugas agregat yang
harus dilaksanakan oleh pemda baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota.
Dikaitkan dengan UU No 22 tahun 1999 pemda Propinsi melaksanakan
prinsip desenftalisasi, dekonsentasi dan tugas pembantuan, sedangkan pemda
Kabupaten atau Kota melaksanakan prinsip-desentralisasi dan tugas
pembantuan. Masing-masing prinsip tersebut akan berimplikasi kepada biaya
dan pihak mana yang harus menanggungnya, apakatr harus ditanggung oleh
daerah sendiri atau harus ditanggung oleh pemerintah pusat.

selain itu, sesuai dengan pasal I ayat I UU No 25 tahun 1999,


dinyatakan batrwaperimbangan keuangan antara pemerintatr Pusat dan Daerah
merupakan suatu sistem pembiyaan pemerintahan dalam rangka negara
kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. ketentuanlni
mengisyaratkan batrwa perimbangan keuangan didasarkan atas kebutuhan
nyata daeratr dan potensi serta kondisi daerah. Kebutuhan nyata daerah
tercermin dari isi otonomi daeratr. Hal ini berarti batrwa daerah harus
menentukan secara tegas urusan-unsan mana saja yang akan menjadi isi
runah tangganya Urusan otonomi tersebut tmruslah mencerminkan kebutuhan
nyata yang dirasakan oleh masyarakat daeratr tersebut. Potensi dan kondisi
daerah mengisyaratkan bahwa perimbangan keuangan didasarkan atas
seberapa besarpotensi yang dimiliki oleh daerah tersebut dan dari potensi ini
akan ditentukan berapa besar proporsi yang akan menjadi hak daerah dan
berapa besar yang akan menjidi hak pusat. Dana peiimbangan tersebut

68
euangan D{}erah di Indonesia

kemudian akan dialokasikan kepada daerah dari APBN dalarn rangka


pe I aksanaan desentralisasi.

Berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 22 tahun lgggdinyatakan


bahwa sumber penerimaan daerah untuk melaksanakan azas desentrali sasi
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangffi, Pinjaman Daerah
dan Lain-lain Penerimaan Daerah Yang Sah. Ketentuan tersebut
mengtndikasikan bahwa di luar dari sumber-sumber penerirnaan daerah yang
telah dikenal selama ini (PAD) terdapat pula suurber penerimaan daerah yang
baru yang berupa Dana Perimbangan. Pada pasal 6 dan 7 dikemukakan pula
balrwa dana perimbangan yang akan diterima tersebut berasahdari bag, hasil
penerimaan dari sumber daya-alam serta dana aloknsi umum dan dana
alolrasi khusus. Besarnya dana perimbangan tersebut ditetapkan pada setiap
tahun anggaran dalam APBN.

Bagi hasil dari penerimaan sumber dayaalam dialokasikan kepada


daeratr dengan pembagiantertentu. Untuk Pajak Bumi dan Banguuul (PBB)
pemerintah pusat memperoleh l0% yang kemudian dialokasikan kembali
kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota, sedangkan daerah memperoleh
bagian sebesar g}%penerimaan PBB. Penerimaan dari Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangulan dialokasikan kepada pemerintah pusat sebesar
20%dan kepada pemerintatr daeratr sebesar 80%. Sebagaimana dengan PBB,
penerim aan pemerintah pusat yang besarny a 20o/o tersebut kemudian
dialokasikan kembali kepada seluruh daerah

Pada'penerimaan sumber daya alam sektor Kehutanan,


Pertambangan Umum dan Perikanan, pemerintah pusat memperoleh bagian
sebesar 2Mo sedangkan pemerintah daerah memperoleh bagian sebesar 80%.
Sedangkan dari penerimaan daerah dari sektor kehutanan sebesar 80%
tersebut, bila penerimaan tersebut berasal dari penerimaan Iuran Hak
Pengusahaan Hutan maka pembagiannya adalah sebesar 160/o untuk
pemerintah propinsi dan sebes ar &o/ountuk pemerintah kabupaten atau kota
penghasil. Sedangkan penerimaan yang berasal dari Provisi Sumber Daya
Hutan, jumlah bagian daerah yang $}%kemudian dibagi kepada propinsi
sebesar 1606, kepada daerah kabupaten/kota penghasil sebesar 32o/o dan
kepada daeratr kabupaten/kota lainnya dalam propinsi tersebut sebesar 32%.

69
Keuangun Daerah di lndone

Pada penerimzum sektor pertambangan, dari penerimaan Iuran Tetap


(landrente)bagiandaerah sebesar 80% dibagi menjadi l6oh untuk daerah
propinsi dan64oh untuk daerah kabupaten atau kota penghasil. Sedangkan
dari penerimaan hran Eksploitasi dan Iuran Eksplorasi bagian daerah kemudian
dibagi kepada daerah propinsi sebesar 16% dan daerah kabupaten atau kota
penghasil sebesar 32% dan daerah kabupaten atau kota lainnya di dalam
wilayah propinsi sebesar 32% pula. Secara sederhana rumusan persentase
bagi hasil penerimaan sumber daya alam dapat digambarkan pada tabel berikut
ini
Thbel 3
Bagi Hasil Pajak dan Penerimaan Dari Sumber
Alam
o/o Basian Daerah
Bagian Bagian
Daerah Daerah Daerah
No .lenis Penerimaan SDA Pusat Daerah
Propinsi Kabupaten/ Kabupaten/
Kota Kota
Penghasil Lainnya

I Pa.iak llumi dan Bangunan (PBB) lOYoll 9OYo

2 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan 20o/"rl SOVo

Bangunan (BPHATB)

3 Sektor kehutanan. pertambangan umum 20%#) 80Yo


dan perikanan
Penerinraan IHPH
l6Yo 64%
l6Yo 32% 32%
Penerimaan Provisi SDH
Penerimaan dari iuran tetap (landrente) t6% 64Yo
t6% 32% 32%
Penerinraan dari royaltv

4 Sektor Migas (hasil bersih setelah


dikurangi pajak)
Minyak bumi 85% t5% 3% 6Yo 6Yo

Gas alarrr 70Yo 30Y" 604 l2o/" l2o/"

Sunrber: UU No.25 tahun 1999.


Catatan: *) dibagikan kembali kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota
#) untuk penerimaan dari sektor perikanan dibagikan kembali kepada seluruh
daerah Kabupaten/Kota secara merata

70
eua.ngan Daerah di lndonesia

Dari penerimaan Sumber Daya AIam sektor Kehutanan,


Pertambangan Umum dan Perikanan ,llohhasil pertambangan minyak bumi
(setelah dipotong pajak), dan 3A%hasil pertambangan gas alam (setelah
dipotong pajak). Sedangkan dana alokasi umum ditetapkan sebes ar Z|yo
dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam ApgN yang dibagi
menjadi dua bagiaa fi% untuk daerah Propinsi dan 90% untukdaerah
Kabupaten atau Kota. Sedangkan dana alokasi khusus diberikan kepada
pemda untuk membantu membiayai kebututran khusus ataupun kebutuhan
yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Pembahasan mengenai
alokasi dan berbagaibentukny4 termasuk Dana Alokasi Umum dan bana
Alokasi Khust-s akan disajikan pada satu bab khusus.

Berkaitan dengan pemb iay aandesentnalisasi, dekonsentrasi dan tugas


pembantua& ing pembi ayaafinyadiatur dalam angaran tersendlri.
Anggaran untuk melaksanakan urusan desentralisasi diatur dalam APBD,
sedangkan unhrk melaksanakan un$an dekonsentrasi diatur dalam anggElriul
dekonstentrasi, serta un$an untuk melaksartakan tugas pembantuan Jiatur
dalam anggaran tugas pembantuan. Hal tersebut mengindikasikan adanya
pemisahan anggaran untuk pernbiayaan urusan y*g berbeda prinsip
pelaksanaannya

Dampak hubungon keuongan pusat daerah terhadap penyelenggaraan


*ewenamgan
Baik secarateoritis maupun empiritqrendahnya keuangan
daerall akan sering menimbulkan siklus efek negatifl yakni rendaturya ti"gt ut
pelayanan masyarakat yang pada gilirannya akan mengurdang campur tangan
pusat atau bahkan dalam bentuk ekstrim dapat menyebabkan diaiihkannya
sebagian fungsi pemerintatr daeratr ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
ataupun kepada instansi-instansi vertikal yang merupakan urit dekonsennasi
pemerintah pusat. Kelemahan finansial pemdajuga akan dapat menyebabkan
terjadinya fustasi bagi pejabat+ejabat pemda yang dapat menghambat kinerja
mereka.

Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya kondisi tersebut,


seperti kerancuan pola penyeratran urusan-urusan otonomi, sistem kontrol
pemerintatran yang berlebihan, kondisi perekonomian daerah yang rendah,

7t
Keuangan Daerah di lndone

dan sebagainya. Pada umumnya, negara yang menekankan pada sistem


desentralisasi akan memberikan otonomi keuangan yang tinggi dengan
memberikan diskresi kepada pemda untuk menentukan dan memungunt pajak-
pajak daerah dan menentukan pola penggunaannyasendiri. Namun pada
negara-negara yang lebih menitikberatkan pada sistem sentralisasi atau
dekonsentrasi terdapat kecenderungan unfuk membatasi otonomi keuangan
yang sering menyebabkan ketergantungan daeratr yang tinggr terhadap subsidi
dari pusat.

Salah satu masalah utama dalam keuangan daerah adalah kesulitan


dalam penentuan kebutuhan keuangan (need assessment) pemda secara
objektif dan rasional. Faktor yang menentukan need assessment adalah
urusan-urusan yang hanrs dilaksanakan pemda dalam rangka otonomi daeratr.
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan pemda seyogyanya responsif dengan
turtutan dan kebutuhan masyarakat. Interpretasi dari tuntutan dan kebutuhan
ini ditentukan oleh berbagai faktor, seperti kontol politikpusat terhadap daeratL
tekanan ekonomi dan finansial termasuk inflasi, faktor fisik dan demografi
daerah, serta harapan atau ekspektasi masyarakat. Atas dasar ini maka personil
pemda terutama pada tingkat pr:ncak dituntut untuk mampu mengelola konflik
kepentingan yang timbul dalam menentukan pengeluaran keuangan mereka.
Apabila pembagian tugas atau urusan antar tingkat pemerintatran tidakjelas
maka akan sulit untuk menghitung kebutuhan keuangan pemda. Adanya
kej elasan urusan-urusan yang harus dilaksanakan pemda dan sumber-sumber
pembiayiumnya akan dapat menghindari terj adinya fragmentasi pembiayaan
dan kekaburan tanggung jawab. Oleh karena itu, pertama sekali perlu
dilakukan suatu analisis mengenai fungsi-fungsi apa $ayang menjadi tanggung
jawab pemda dan berapabiayayangdibutuhkan untuk menjalankan baik
urusan rutin maupun pembangunan berkaitan dengan pelaksanaan fungsi atau
umsan-urusan tersebut.

Selama ini belum ditemukan suatu formulayang dapat menghitung


secara tepat kebutuhan agregat pemda dibidang keuangan. Hal ini karena
luas dau kompleksnya urussn-wuson yang secara riil harus dilaksanakan pemda
sebagai akibat dari pelaksaniuul azasdesentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembanfuan secarabers€unuuul, meskipun unsan otonomi sebenamya terbatas.
Di samping itu, tidak adanya standar pelayanan (standard of service)
mengakibatkan tidak jelasnya jumlah biaya yang dibutuhkan untuk

72
uangan Daerah di Indonesia

melaksanakan sratu unrsan di sampingjuga mengaburkan alerntabilitas. Dengan


luas dan kompleksnya urusiul yang harus dilaksanakan pemda maka pemda
akan menyerap berapapun dana yang tersedia atau dilimpalrkan kepadanya.
Dalam kondisi seperti itu maka sulituntuk menciptakanperinnbangan keuangan
yang objektif antara pemerintah pusat dan daerah maupun diantara sesama
pemda.
-otetr
Selain itu, luas dan kompleksnya urusan yang h*T dilaksanakan
pemda membuat pemda tidak dapat memfokuskan perhatian pada 9ruyn-
urusan yang menj adi tugas utailuurya agar pelayanan yang diberikan berkualitas
tinggi. Urusan-urusan atau pelayanan kemudian dilaksanakan dengan apa
adanyatanpa merasa perlu memperhatikan kepuasan pengguna layanan.
Akibatnya unit-unit pelayanan Pemda lebih berperan sebagai unit yang
menguras keuangan Pemda (cost centre), padahal sebenarnya unit-unit
pelaJanan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi unit yang dapat
m"righusilkan pendapatan (profit centre) apabila pelayanan yang diberikan
dapat memenuhi harapan penggunanya

E. LATIHAI\

1. Pokok-pokok apa sajakah yang terdapat dalam UU No. 32 tahun 1956?


2. Berdasarkan UU tersebut, apa sajakah yang mer{adi sumber pendapatan
daerah?
3. Apakah perbedaan antara sumber pendapatan daerah dengan sumber
pendapatan asli daaerah?
4. t t"rgupakah UU No. 32 tahun 1956 tidak dapat dilaksanakan dalam
prakteknya? Jelaskan.
5. Iiebij akan-kebij akan apakah yang diambil pemerintah Indonesia dalam
mengatasi yang timbul sehubungan dengan tidak digunakannya UU No.
32 tahun 1956?

73

Anda mungkin juga menyukai