Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BIOFARMASETIKA
“PENINGKATAN DISOLUSI KLARITROMISIN DENGAN
SISTEM DISPERSI PADAT”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Biofarmasetika
yang diampu oleh Dhanang Prawira N., S.Farm., Apt.

Oleh :
Bayu Irsan Setyadi (T1713206015)

STIKES KARYA PUTRA BANGSA


Prodi S-1 Farmasi
April 2018
DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................... 1
Kata Pengantar......................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi BCS............................................................................. 6
2.2 Sejarah dan Manfaat BCS.......................................................... 6
2.3 Klasifikasi BCS......................................................................... 7
2.4 Karakteristik Klaritromisin..................................................... 8
2.5 Klasifikasi Klaritromisin berdasar BCS............................ 9
2.6 Peningkatan Kelarutan BCS..................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................... 12
3.2 Saran.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 13
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
penyusunan makalah berjudul “Peningkatan Disolusi Klaritromisin dengan Sistem
Dispersi Padat ” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga
penulis berterima kasih kepada Dhanang Prawira Nugraha S.Farm.,Apt selaku Dosen
mata kuliah Biofarmasetika STIKes Karya Putra Bangsa yang telah memberikan tugas
ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai Biopharmaceutical Class System. Harapan
penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam percobaan ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya
kritik, saran dan usulan yang bersifat membangun dari pembaca. Akhir kata, semoga
percobaan ini bermanfaat bagi semua pihak

Tulungagung, April 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan
kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat
secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus
memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya :
1.2.1 Bagaimana Definisi dari BCS ?
1.2.2 Bagaimana Sejarah dan Manfaat dari BCS ?
1.2.3 Bagaimana Pembagian dan Klasifikasi dalam BCS ?
1.2.4 Bagaimana Karakteristik dari Klaritromisin ?
1.2.5 Bagaimana Klasifikasi Klaritromisin berdasarkan BCS ?
1.2.6 Bagaimana cara meningkatkan disolusi (kelarutan) dari Klaritromisin ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui Definisi dari BCS.
1.3.2 Untuk mengetahui Sejarah dan Manfaat dari BCS.
1.3.3 Untuk mengetahui Pembagian dan Klasifikasi dalam BCS.
1.3.4 Untuk mengetahui Karakteristik dari Klaritromisin.
1.3.5 Untuk mengetahui Klasifikasi Klaritromisin berdasarkan BCS.
1.3.6 Untuk mengetahui cara meningkatkan disolusi (kelarutan) dari Klaritromisin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System)
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan
kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat
secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus
memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).
Sistem Klasifikasi Biofarmasetika adalah suatu konsep untuk
mengklasifikasikan zat obat berdasarkan kelarutan air dan permeabilitas usus. Sistem
klasifikasi ini ditemukan oleh Amidon et al . Sistem klasifikasi biofarmasetik
(biopharmaceutical Classification System, BCS) ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut
secara cepat, mengandung bahan aktif yang sangat larut dan sangat permeable
(Goeswin, 2009).

2.2 Sejarah dan Manfaat BCS


BCS (Biopharmaceutical Classification System) pertama kali dibuat pada
tahun 1995, oleh Amidon et al. dan sejak itu telah menjadi patokan dalam regulasi
bioekivalensi produk obat oral. BCS berfungsi sebagai alat pemandu bagi para
ilmuwan formulasi, untuk merekomendasikan strategi untuk meningkatkan efisiensi
pengembangan obat dengan pemilihan bentuk sediaan yang tepat dan uji bioekivalen,
untuk merekomendasikan kelas bentuk sediaan padat rilis cepat (IR), yang mungkin
bioekuivalen dinilai berdasarkan tes disolusi in-vitro, dan untuk meletakkan efek
eksipien (s) pada permeabilitas obat (Dressman J,2001).
Amidon et al (1995), mengembangkan Dasar teoritis untuk menghubungkan
pelarutan obat in vitro dengan bioavailabilitas in vivo. Pendekatan ini didasarkan atas
kelarutan aqueous obat dan penembusan obat melalui saluran cerna. Dengan
menggunakan pendekatan ini, Amidon et al (1995) mempelajari karakteristik kelarutan
dan penembusan berbagai perwakilan obat dan mendapatkan suatu klasifikasi
biofarmasetika obat untuk meramalkan pelarutan obat in vitro dari produk obat oral
padat pelepasan segera dengan absorbsi in vivo. BCS mencirikan obat-obatan kedalam
empat kelas sesuai dengan kelarutan dan permeabilitas.

2.3 Pembagian dan Klasifikasi dalam BCS


Kelas SIStem Klasifikasi Biofarmasetika (Kunde, 2015)

1) Kelas I - Permeabilitas Tinggi, Kelarutan Tinggi:


Senyawa-senyawa tersebut terserap dengan baik dan mudah Tingkat
penyerapan biasanya lebih tinggi dari pada ekskresi. Obat kelas ini menunjukkan daya
serap yang tinggi nomor dan nomor pembubaran yang tinggi. Langkah pembatas laju
adalah pelarutan obat, dan jika pembubaran sangat cepat, maka tingkat pengosongan
lambung menjadi langkah penentu laju. Mereka larut cepat saat disajikan dalam bentuk
pelepasan segera, dan juga diangkut melintasi dinding usus. Contoh obat BCS kelas I:
Klorokuin, Diltiazem, Metoprolol, Parasetamol, Propranolol, Teofilin (Kunde, 2015)
2) Kelas II - Permeabilitas Tinggi, Kelarutan Rendah
Obat ini memiliki jumlah penyerapan yang tinggi namun a angka pembubaran
rendah Pembubaran obat in vivo kemudian merupakan langkah pembatas laju
penyerapan kecuali dengan dosis yang sangat tinggi. Obat ini menunjukkan
bioavailabilitas variabel dan kebutuhan peningkatan pembubaran untuk meningkatkan
ketersediaan hayati. Senyawa ini cocok untuknya desain formulasi SR dan CR.
Korelasi in vitro in vivo (IVIVC) biasanya diharapkan terjadi obat kelas II. Contoh
obat BCS kelas II: Carbamezapine, Danazol, Glibenclamide, Ketoconazole,
Nifedipine, Phenytoin (Kunde, 2015)
3) Kelas III - Permeabilitas Rendah, Kelarutan Tinggi.
Penyerapan dibatasi oleh tingkat permeasi Tapi obatnya terlarut dengan
sangat cepat. Permeabilitas obat adalah langkah membatasi laju penyerapan obat, Tapi
obat itu dilarutkan dengan sangat cepat. Obat-obatan ini menunjukkan variasi tingkat
dan tingkat yang tinggi penyerapan obat. Karena pembubarannya cepat, variasi tersebut
disebabkan oleh perubahan fisiologi dan permeabilitas membran daripada faktor
bentuk sediaan. Contoh obat BCS kelas III: Asiklovir, Atenolol, kaptopril, simetidin,
metformin, ranitidin (Kunde, 2015)
4) Kelas IV - Permeabilitas Rendah, Kelarutan Rendah.
Senyawa tersebut memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka
tidak terserap dengan baik di atas mukosa usus dan variabilitas tinggi diharapkan
terjadi. Obat golongan ini bermasalah untuk pemberian oral yang efektif. Untungnya,
ekstrim Contoh senyawa Kelas IV adalah pengecualian dan bukan aturannya, dan ini
jarang terjadi dikembangkan dan dipasarkan. Perpanjangan ke BCS (BCS Mengandung
Enam Kelas): Bergstrom merancang sebuah modifikasi Sistem Klasifikasi Biofarmasi,
di mana mereka mengkategorikan obat menjadi enam kelas berdasarkan kelarutan dan
permeabilitasnya. Kelarutannya diklasifikasikan sebagai "tinggi" atau "rendah" dan
permeabilitas diberikan sebagai "rendah", "menengah," atau "tinggi". Klasifikasi baru
ini adalah dikembangkan berdasarkan deskriptor permukaan permukaan yang dihitung
di satu sisi dan kelarutan dan permeabilitas di sisi lain. Permukaan daerah yang terkait
dengan bagian non-polar dari molekul menghasilkan prediksi bagus permeabilitas.
Dengan sementara disimpulkan bahwa model ini akan berguna untuk indikasi awal
berkenaan dengan profil penyerapan senyawa pada awal Tahapan penemuan obat
sehingga diperlukan modifikasi yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan parameter
farmakokinetik. Contoh obat BCS kelas IV: Cyclosporin A, Furosemida, Ritonavir,
Saquinavir, Taksol, Asam Ellagic (Kunde, 2015).

Parameter dan Batasannya dalam BCS


-Batasan kelarutan.
Didasarkan pada kelarutan produk dengan dosis maksimum. Suatu zat aktif
dikatakan sangat mudah larut bila dengan dosis maksimum, obat dapat larut di dalam
250 mL atau kurang air dengan rentang pH 1-7,5. Volume sebanyak 250 mL
ditentukan dari protocol studi bioekuivalen pada umumnya yang mengatur bahwa
penggunaan produk obat hanya dengan segelas air pada sukarelawan dengan kondisi
puasa.
-Batasan Permeabilitas.
Secara tidak langsung didasarkan pada banyaknya obat yang diabsorpsi dalam
tubuh manusia dan secara langsung pada pengukuran kecepatan transfer massa yang
melewati membrane usus manusia. Sistem lain yang tidak menggunakan manusia yang
dapat memprediksi absorpsi obat dalam tubuh manusia boleh digunakan ( seperti
metode kultur in vitro) . suatu zat aktif dikatakan sangat permeable bila jumlah obat
yang terabsorbsi di dalam tubuh yang diketahui > 90% atau lebih dosis yang digunakan,
berdasarkan keseimbangan massa atau dalam perbandingan dengan dosis intravena.
-Batasan Disolusi.
Suatu produk obat yang lepas segera dianggap cepat terdisolusi bila > 85 %
jumlah obat yang tertera dapat terdisolusi dalam waktu 15 menit menggunakan
Aparatus I Disolusi USP pada 100 RPM atau Aparatus II pada 50 RPM dalam larutan
media sebanyak 900 mL atau kurang. Larutan media terdiri dari 0,1N HCl atau cairan
lambung buatan atau larutan dapar pH 4,5 dan dapar pH 6,8 atau cairan usus buatan.
2.4 Karakteristik Klaritromisin
2.4.1 Uraian Bahan

Nama Kimia : 6-O-Metil-6-O-metileritromisin


Rumus Molekul : C38H69NO13
Bobot Molekul : 747,95
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih.
Kelarutan : Larut dalam aseton; sukar larut dalam etanol absolut, dalam
metanol, dalam asetonitril dan dalam dapar fosfat pH 2-5;
praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM, 2014).
2.4.2 Farmakologi klaritromisin
Antibiotik makrolida semisintesis ini menghambat sintesis protein bakteri
dengan cara berikatan dengan subunit ribosomal 50s organisme yang rentan dan
menghambat sintesis protein dalam proses translokasi aminoacyl transfer RNA (Kumar
et. al., 2012).
2.4.3 Farmakokinetik klaritromisin
a. Absorbsi: Klaritromisin larut dalam lemak dan sangat cepat diserap dalam
saluran pencernaan dengan bioavailabilitas sekitar 50-55%. Hal ini
dikarenakan efek metabolisme lintas pertama yang menghasilkan 14-
hidroksiklaritromisin (Fraschini et. al., 1993).
b. Distribusi dan Ikatan protein: Sekitar 42-50% klaritromisin akan berikatan
dengan protein plasma. Klaritromisin kan didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh kecuali ke sistem saraf pusat (Frashcini et. al., 1993).
c. Metabolisme: Klaritromisin di metabolisme di hati dan mengalami dimetilasi,
hidrosilasi, dan hidrolisis.
d. Ekskresi: Klaritromisin di ekskresi melalui ginjal yaitu sekitar 20-40%.
Konsentrasi klaritromisin yang di ekskresikan melalui empedu dan feses
hanyalah sedikit (Frashcini et. al., 1993).
2.5 Klasifikasi Ranitidin HCl berdasarkan BCS
Dalam klasifikasi obat berdasarkan sistem BCS (Biopharmaceutical
Classification System) yang mengklasifikasikan zat obat berdasarkan kelarutan dalam
air yang berhubungan dengan dosis pada tiga pH yang relevan dan permeabilitas usus,
maka zat aktif obat diklasifikasikan ke dalam : kelas I (kelarutan tinggi, permeabilitas
tinggi), kelas II (kelarutan rendah, permeabilitas tinggi), kelas III (kelarutan tinggi,
permeabilitas rendah, dan kelas IV ( kelarutan rendah, permeabilitas rendah). Dalam
klasifikasi BCS, klaritromisin masuk ke dalam kelas II (Kelarutan rendah,
permeabilitas tinggi) (Mohhamadi, dkk., 2014).

2.6 Peningkatan Disolusi (Kelarutan) Klaritromisin


2.6.1 Definisi Sistem Dispersi Padat
Sistem dispersi padat adalah dimana satu atau lebih zat aktif dalam suatu pembawa
inert dalam keadaan padat, dengan pembawa yang mudah larut diantaranya: polivinil
pirolidon, polietilenglikol,dan urea dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel,
meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yang tidak larut dalam air. Untuk
meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat ada beberapa cara seperti memperkecil
ukuran partikel, adanya pengaruh solubilisasi dengan surfaktan, modifikasi senyawa
dari garam dan solvat serta komplek inklusi.
Istilah dispersi padat mengacu kepada sekelompok produk padatan yang terdiri
setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik dan obat
hidrofobik. Matriks ini dapat berupa kristal atau amorf. Obat ini dapat terdispersi secara
molekuler, dalam partikel amorphous (kluster) atau dalam partikel kristal (Chiou dan
Reigelman, 1971).
Dispersi padat dapat didefenisikan sebagai sistem dispersi satu atau lebih bahan
aktif ke dalam suatu pembawa atau matriks inert dalam kondisi padat, yang dibuat
dengan cara peleburan, pelarutan, atau kombinasi dari peleburan dan pelarutan, dimana
masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing dan
disesuaikan dengan sifat bahan dan matriks yang akan didispersikan. Keuntungan dari
formulasi dispersi padat dibandingkan tablet/kapsul konvensional untuk peningkatan
disolusi dan biovailabilitas dari obat yang sukar larut dalam air (Chiou dan Rielgeman,
1971).
2.6.2 Metode Pembuatan Sistem Dispersi Padat
2.6.2.1 Metode pelelehan
Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk
membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air
dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan
dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Massa padat
dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut
biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu
kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).
2.6.2.2 Metode pelarutan
Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal
campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi
padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut
umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat
dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965),
sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969).
2.6.2.3 Metode pelarutan-pelelehan
Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang
sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah suhu
70º C, tanpa memisahkan pelarut. Metode ini terbatas untuk obat dengan dosis terapetik
yang rendah, misalnya dibawah 50 mg (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.6.3 Pembawa dispersi padat


Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah
luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG),
polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula,
poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).

2.6.4 Peningkatan Klaritromisin dengan Sistem Dispersi Padat


Pembuatan sistem dispersi padat Klaritromisin dilakukan dengan Metode
Pelarutan dengan menggunakan pelarut Eudragit L 100. Dibuat perbandingan :

Pembuatan campuran fisik klaritromisin-Eudragit L-100 dengan perbandingan 1:1 b/b,


dengan cara sebagai berikut : Klaritromisin dan Eudragit L 100 ditimbang dengan
perbandingan 1:1 b/b, masing-masing bahan dicampur dengan menggunakan spatula.
Campuran fisik yang terbentuk disimpan di dalam desikator vakum sebelum
digunakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem
klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang
mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi
tertentu.
b. BCS (Biopharmaceutical Classification System) pertama kali dibuat
pada tahun 1995, oleh Amidon et al. dan sejak itu telah menjadi
patokan dalam regulasi bioekivalensi produk obat oral.
c. BCS (Biopharmaceutical Classification System) dibagi ke dalam 4
kelas : kelas I (kelarutan tinggi, permeabilitas tinggi), kelas II
(Kelarutan rendah, Permeabilitas tinggi), kelas III (kelarutan tinggi,
permeabilitas rendah) dan kelas IV (kelarutan rendah, permeabilitas
rendah).
d. Klaritromisin merupakan salah satu antibiotik golongan makrolida,
yang memiliki sifat kelarutan rendah namun permeabilitasnya tinggi
sehingga digolongkan dalam BCS kelas II.
e. Untuk memperbaiki kelarutan dari Klaritromisin dapat digunakan
beberapa metode, salah satunya yaitu dengan sistem dispersi padat,
yaitu suatu sistem dengan satu zat aktif yang didispersikan ke dalam
suatu pembawa padatan.
3.2 Saran
Sebaiknya dilakukan pembelajaran lebih lanjut tentang BCS kelas
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai