Anda di halaman 1dari 13

BAB II

USAHA DAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN

2.1 USAHA PERASURANSIAN

2.1.1 Jenis Usaha Perasuransian

Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi
dan usaha penunjang usaha asuransi.

Dalam Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 yang menentukan :

“ Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang di dalamnya melakukan penghimpunan dana
masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti
atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang . “

Pasal 2 huruf (b) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 menentukan :

“ Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan,
penilaian kerugian asuransi, dan jasa aktuaria. “

Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 usaha asuransi yang dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

a. Usaha asuransi kerugiannya itu memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat, dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari
peristiwa tidak pasti.
b. Usaha asuransi jiwa yaitu memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang di pertanggungkan.
c. Usaha reasuransi yaitu memberikan jasa dalam asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi
oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa.

Dalam Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, usaha penunjang usaha
asuransi dikelompokkan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu:
a. Usaha
pialangasuransiyaitumemberikanjasakeperantaraandalampenutupanasuransidanpenan
gananpenyelesaiangantikerugianasuransidenganbertindakuntukkepentingantertanggu
ng.
b. Usaha pialang reasuransi yaitu memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan
reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan bertindak
untuk kepentingan Perusahaan Asuransi.
c. Usaha penilai kerugian asuransi yaitu memberikan jasa penilai kerugian terhadap
kerugian terhadap kerugian pada objek asuransi yang di pertanggungkan.
d. Usaha konsultan aktuaria yaitu memberikan jasa konsultasi aktuaria.
e. Usaha agen asuransi yaitu memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran
jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Usaha asuransi dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya di bagi 2


(dua) kelompok, yaitu:

a. Usaha asuransi social dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Social


yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan Undang-Undang dan memberikan
perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
b. Usaha asuransi komersial dalam rangka penyelenggaran Program Asuransi
Kerugian dan Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan
kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi ).

2.1.2 Bentuk Hukum Usaha Perasuransian


Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992, usaha perasuransian hanya dapat di lakukan oleh badan hukum yang
berbentuk :
a. Perusahaan Persero ( Persero )
b. Koperasi
c. Perseroan Terbatas ( PT )
d. Usaha Bersama (Mutual )
2.1.3 Izin Usaha Perasuransian

Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh izin usaha
dari Menteri Keuangan, kecuali bai Badan Usaha Milik Negara yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial tidak perlu memperoleh usaha dari
Menteri Keuangan.

Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin usaha :


a. Anggaran Dasar
b. Susunan Organisasi
c. Permodalan
d. Kepemilikan
e. Keahlian di bidang perasuransian
f. Kelayakan rencana kerja
g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung keperluan usaha perasuransian
secara sehat ( pasal 9 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1992 ).

Keahlian di bidang perasuransian ini adalah mencakup keahlian di bidang aktuaria,


underwriting, manajemen risiko, penilai kerugian asuransi, dan sebagainya sesuai
dengan kegiatan usaha perasuransian yang di jalankan.
Adapun hal kepemilikan oleh pihak asing, maka untukk meperoleh izin usaha
wajib di penuhi persyaratan mengenai ketentuan baatas kepemilikan dan
kepengurusan pihak asing.
Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam 2 ( tahap) :
Pemberian persetujuan prinsip
Pemberian izin usaha

2.1.4 Pengadaan Asuransi Atas Objek Asuransi


Pengadaan asuransi atas objek asuransi harus dilakukan dengan memperhatikan
daya tampung. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi di dalam negeri
( pasal 6 ayat (2)UU Nomor 2 Tahun 1992).

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992, objek asuransi di Indonesia


hanya dapat di asuransikan pada Perusahaan Asuransi yang mendapat izin usaha
dari Menteri Keuangan. Akan tetapi dalam hal :
a. Tidak ada Perusahaan Asuransi di Indonesia baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama yang memiliki kemampuan menanggung risiko
asuransi dari objek yang bersangkutan.
b. Tidak ada Perusahaan Asuransi yan bersedia melakukan pengaduan
asuransi atas objek yang bersangkutan
c. Pemilik objek asuransi yang bersangkutan bukan warga negra indonesia
atau bukan badan hukum Indonesia.maka pengadaan asuransinya di
mungkinkan dilakukan oleh Perusaaan asuransi diluar negeri

Menurut ketentuan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992


bahwa setiap Agen Asuransi hanya dapat menjadi agen dari 1 ( satu)
Perusahaan Asuransi. Agen Asuransi waib memiliki perjanjian keagenan
dengan Perusahaan Asuransi yang di ageni dan harus memberikan
keterangan yang benar dan jelas kepada calon tertangung tentang program
asuransi yang dipasarkan dan ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak
dan kewajiban calon tertanggung.

2.2 PERUSAHAAN PERASURANSIAN

2.2.1 Jenis Perusahaan Perasuransian


Perusahaan Perasuransian meliputi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penunjang
Asuransi. Dalam Pasal 4 UU Nomor 2 Tahuun 1992, ada 3 jenis perusahaan asuransi
dengan ruang ligkup kegiatannya :
a. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha
dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi.
b. Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam
bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan
asuransi anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai
dengan peraturan perundang – undangan dana pension yang berlaku.
c. Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi
ulang.

Setiap usaha penunjang usaha asuransi dijlankan oleh perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi. Dalam Pasal 5 Undang – Undang Nomor2 Tahun 1992 Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi dikelompokan menjadi 5 (lima) Jenis dengan lingkup kegiatannya
sebagai berikut:

a. Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menyclenggarakan usaha


dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang
berkaitan dengan kontrak asuransi.
b. Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha
dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi
yang berkaitan dengan kontrak reasuransi.
c. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi hanya dapat menyelenggarakan
usaha jasa penilaian kerugian atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi
pada obyek asuransi kerugian.
d. Perusahaan Konsultan Akturia hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa
di bidang akturia.
e. Perusahaan Agen Asuransi hanya dapat memberikan jasa pemasaran
asuransi bagi satu perusahaan asuransi yang memiliki izin usaha dari
Menteri.

2.2.2 Persyaratan Umum Perusahaan Perasuransian

Dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya, Perusahaan Perasuransian harus


memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Dalam Anggaran Dasar dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian


perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian,
dan perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham.
b. Susunan organisasi perusahaan sekurang-kurangnya meliputi fungsi-
fungsi sebagai berikut:

(1) Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi


pengelolaan risiko,pengelolaan keuangan,pelayanan.
(2) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan pelayanan.
(3) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis
bidang jasa yang diselenggarakannya.
c. Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana diteteapkan dalam
peraturan perundang – undangan yang berlaku
d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah
yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya.
e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah ini, yang sekurang-kurangnya didukung dengan:
(1) Sistem pengembangan sumber daya manusia;
(2) Sistem administrasi;
(3) Sistem pengelolaan data

2.2.3 Kepemilikan Perusahaan Perasuransian

Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992,
Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh:

a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang


sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia;
b. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.

Dalam pasal 8 ayat (2) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan bahwa
Perusahaan Perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
(b) harus merupakan:

a. Perusahaan Perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dengan


kegiatan usaha dari Perusahaan perasuransian yang mendirikan atau
memilikinya;
b. Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, yang para
pendiri atau pemilik perusahaan tersebut adalah Perusahaan Asuransi
Kerugian dan atau Perusahaan Reasuransi.

Perusahaan Perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh Perusahaan Perasuransian


dalam negeri bersama Perusahaan Perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha
sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha
perasuransian lebih professional.

2.2.4 Modal Perusahaan Perasuransian

Besarnya jumlah modal Perusahaan Perasuransian ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan


Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Modal disetor bagi perusahaan yang seluruh
pemiliknya warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau
mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, untuk masing-masing Perusahaan
Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut :

a. Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi


Kerugian.
b. Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), bagi perusahaan Asuransi Jiwa.
c. Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) bagi perusahaan Reasuransi.
d. Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang
Asuransi.
e. Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang
Reasuransi.

Dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor untuk masing-
masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut :

a. Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah), bagi Perusahaan


Asuransi Kerugian.
b. Rp. 4.500.000.000,- (empat milyar lima ratus juta rupiah), bagi
Perusahaan Asuransi Jiwa.
c. Rp. 30.000.000.000,- (tiga puluh milyar rupiah), bagi Perusahaan
Reasuransi.
d. Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang
Asuransi.
e. Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang
Reasuransi.

Pada saat pendirian perusahaan, penyertaan langsung pihak asing dalam Perusahaan
Perasuransian paling banyak 80%. Perusahaan Perasuransian harus memiliki perjanjian
antar pemegang saham yang memuat kesepakatan mengenai rencana peningkatan
kepemilikan saham pihak Indonesia.

Pada awal pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus


menempatkan sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor yang di persyaratkan, dalam
bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada Bank Umum di
Indonesia yang bukan afilasi dan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
bersangkutan. Deposito tersebut merupakan jaminan dalam rangka melindungi
kepentingan pemegang polis. Penempatan deposito tersebut:

a. Harus atas nama Menteri Keuangan untuk kepentingan perusahaan yang


bersangkutan.
b. Harus disesuaikan dengan perkembangan volume usaha yang besarnya
ditetapka oleh Menteri Keuangan dengan ketentuan besarnya deposito
dimaksud tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian.
c. Dapat dicarikan atas persetujuan Menteri Keuangan atas permintaan (1)
likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; (2) Perusahaan yang
bersangkutan dalam hal izin usahanya di cabut atas permintaan yang
bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan .

2.3 PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

2.3.1 Program Asuransi Kerugian/Jiwa


Dalam setiap pemasaran program asuransi harus diungkapkan informasi yang relevan,
tidak ada yang bertenangan dengan persyaratan yang dicantumkan dalam polis, dan
tidak menyesatkan. Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 menentukan
bahwa Perusahaan Asuransi harus lebih dahulu melaporkan kepada Menteri Keuangan
setiap program asuransi baru yang dipasarkan. Perusahaan Asuransi dilarang
memasarkan program asuransi baru yang tidak memenuhi ketentuan pasal 19 dan pasal
20.

Dalam pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992, Premi harus ditetapkan
pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara
diskriminatif. Tingkat premi dinilai tidak mencukupi apabila:

a. Sedemikian rendah sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang


diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan.
b. Penetapan tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan tingkat
solvabilitas perusahaan.
c. Penerapan tingkat premi secara berkenlanjutan akan dapat merusak iklim
kompetisi yang sehat.

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang


dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan
penyelesaian atau pembayaran klaim. Tertanggung dalam melakukan pengurusan
penyelesaian klaim dapat menunjuk pihak lain, termasuk Perusahaan Pialang Asuransi
yang dipergunakan jasanya oleh tertanggung dalam penutupan asuransi yang
bersangkutan (Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992).

2.3.2 Program Asuransi Sosial

Program Asuransi Sosial merupakan program asuransi yang diselenggarakan secara


wajib berdasarkan undang – undang. Program Asuransi Sosial hanya dapat
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara uang dibentuk khusus itu (Pasal 32
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992). Perusahaan Asuransi yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial dilarang menyelenggarakan program
asuransi lain selain Program Asuransi Sosial, Perusahaan Asuransi yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial dalam menyelenggarakan usahanya wajib
memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah beserta peraturan pelaksanaannya (Pasal 33
– Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992).

2.4 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

2.4.1 Lingkup Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian dilakukan oleh Menteri
Keuangan. Setiap Perusahaan Perasuransian wajib memelihara kesehatan keuangan
serta melakukan usaha sesuai dengan prinsip – prinsip asuransi yang sehat. Dalam Pasal
11 ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 1992 ditentukan bahwa pembinaan dan
pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi:

a. Kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan


Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasurani yang terdiri dari:
(1) Batas tingkat solvabilitas;
(2) Retensi diri;
(3) Reasuransi
(4) Investasi
(5) Cadangan teknik dan;
(6) Ketentuan – ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan
keuangan.
b. Penyelenggaraan usaha yang terdiri dari:
(1) Syarat –syarat polis asuransi;
(2) Tingkat premi
(3) Penyelesaian klaim
(4) Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan
(5) Ketentuan – ketentuan lain yang berhubungan dengan
penyelenggaraan usaha.

Batas tingkat solvabilitas (solvency margin) merupakan tolak ukur kesehatan keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini
merupakan selisih antara kekayaan dan kewajiban, yang perhitungannya didasarkan
pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam
hal ini merupakan bagian pertanggungjawaban yang menjadi beban atau tanggung
jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan.

Reasuransi merupakan bagian asuransi yang dipertanggungkan ulang pada Perusahaan


Asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi,
yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian,
Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya
pada jenis investasi yang aman dan produktif.

Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu,
maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan
Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan diperlukan berdasarkan
pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang
bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis.
Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi
harus menjaga pertimbangan yang sehat antara jumlah premi neto dengan jumlah premi
bruto, dan pertimbangan antara jumlah premi neto dengan modal sendiri. Perusahaan
Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan program asuransi kecelakaan diri dan program
asuransi kesehatan harus menjaga perimbangan yang sehat antara jumlah premi neto
dengan jumlah premi bruto yang berasal dari program termaksud, dan perimbangan
antara jumlah premi neto yang berasal dari program termaksud dengan modal sendiri
(Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992).

Premi bruto adalah premi penutupan langsung ditambah premi penutupan tidak
langsung, setelah masing – masing dikurangi komisi. Premi neto adalah premi bruto
dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah premi reasuransi dibayar tersebut dikurangi
komisinya.

Dalam rangka pembinaan dan Pengawasan terhadap Perusahaan Perasuransian, undang


– undang melarang Perusahaan Penunjang Asuransi seperti diatur dalam pasal 12
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 1992 sebagai berikut:

a. Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi


kepada suatu Perusahaan Asuransi yang merupakan afilasi dari
Perusahaan Pialan Asuransi yang bersangkutan kecuali apabila calon
tertanggung telah lebih dahulu diberi tahu secara tertulis dan menyetujui
mengenai adanya afilasi tersebut.
b. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dilarang melakukan penilaian
kerugian atas objek asuransi yang diasuransikan kepada Perusahaan
Asuransi Kerugian yang merupakan afiliasi dari Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi yang bersangkutan.
c. Perusahaan Konsultan Aktuaria dilarang memberikan jasa kepada
Perusahaan Asuransi Jiwa atau Dana Pensiun yang merupakan afiliasi dari
Perusahaan Konsultan Aktuaria yang bersangkutan.
d. Perusahaan Agen Asuransi dilarang bertindak sebagai agen dari
Perusahaan Asuransi yang tidak mempunyai izin usaha.

2.4.2 Pemeriksaan Berkala

Pemeriksaan dimaksud untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang


disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktik penyelenggaraan
usaha, sesuai dengan ketentuan undang – undang.

Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan


Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib
menyampaikan neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelasannya
kepada Menteri Keuangan dan wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi
perusahaan dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.

Selain kewajiban kewajiban tersebut, setiap Perusahaan Asuransi Jiwa wajib


menyampaikan laporan investasi kepada Menteri Keuangan. Bentuk, susunan dan
jadwal penyampaian laporan serta pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi
perusahaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 16 Undang – Undang Nomor 2
Tahun 1992).

2.4.3 Terjadi Pelanggaran

Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini atau
peraturan pelaksanaannya, Menteri dapat melakukan tindakan berupa pemberian
peringatan, pembatasan kegiatan usaha, atau pencabutan izin usaha. Tindakan tersebut
ditetapkan dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut:

a. Pemberian peringatan;
b. Pembatasan kegiatan usaha;
c. Pencabutan izin usaha.

Sebelum pencabutan izin usaha, Menteri dapat memerintahkan perusahaan yang


bersangkutan untuk menyusun rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari
pembatasan kegiatan usahanya (Pasal 17 Nomor 2 Tahun 1992).

Namun, terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program


Asuransi Sosial, ketentuan pasal 17 tentang Pembatasan Kegiatan Usaha dan
Pencabutan Izin Usaha tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat apabila terjadi hal –
hal yang dapat mengganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara
tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang – undangan
tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan.

Bergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri Keuangan
dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenaran
dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenaran
dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti
perkembangannya secara terus – menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap
perusahaan ataupun tertanggung.
2.4.4 Pencabutan Izin Usaha dan Kapailitan

Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri dalam surat kabar harian di Indonesia
yang memiliki peredaran yang luas (Pasal 18 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992).
Akan tetapi, apabila perusahaan perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam
rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 4
(empat) bulan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali
(Pasal 19 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992).

Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal
terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri,
berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan
yang bersangkutan dinyatakan pailit. Hak pemegang polis atas pembagian harta
kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang
dilikuidasi merupakan hak utama (Pasal 20 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992).

Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan diberi
wewenang berdasarkan undang – undang ini untuk meminta pengadilan agar
Perusahaan Asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan
perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan
tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis.

2.5 SANKSI ADMINISTRATIF DAN PIDANA

2.5.1 Pengenaan Sanksi Administratif

Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan


Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian serta peraturan pelaksanaannya yang berkenan dengan:

a. Perizinan usaha;
b. Kesehatan keuangan;
c. Penyelenggaraan usaha;
d. Penyampaian laporan
e. pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi, atau tentang pemeriksaan
langsung, dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha,
dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 Undang – Undang Nomor 73
Tahun 1992).
Tanpa mengurangi ketentuan pasal 37, maka terhadap:

a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak


menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional
tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi,
sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda
administratip Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan.
b. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang
tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional
tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda
administratip Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan (Pasal 38 Undang – Undang Nomor 73 Tahun 1992).

Pengenaan denda administratip berakhir pada saat pembayaran denda ke Kantor


Perbendaharaan dan Kas Negara yang diikuti dengan penyampaian laporan keuangan
tahunan dan atau laporan operasional tahunan dan atau pengumuman neraca dan
perhitungan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selambat-lambatnya dalam
2 (dua) hari kerja. Dalam hal laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional
tahunan telah disampaikan dan atau neraca dan perhitungan laba rugi telah diumumkan
tetapi perusahaan yang bersangkutan belum membayar denda administratif, denda
tersebut dinyatakan sebagai hutang kepada negara yang harus dicantumkan dalam
neraca perusahaan yang bersangkutan (Pasal 39 Undang – Undang Nomor 73 Tahun
1992).

2.5.2 Pengenaan Sanksi Pidana

Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam pasal 21
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 berikut ini:

a. Terhadap pelaku utama

Orang yang menjalankan atau menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa


izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

b. Terhadap Pelaku Pembantu


Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual
kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut di atas yang
diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang tersebut adalah kekayaan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

c. Terhadap Pemalsuan Dokumen


Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas
dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas
nama suatau badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum,
maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang
memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya (Pasal 24
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992).

Anda mungkin juga menyukai