Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang ditandai dengan edema anasarka,
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Penyebab primer
sindrom nefrotik biasanya digambarkan oleh histologi, yaitu sindroma nefrotik kelainan
minimal (SNKM) yang merupakan penyebab paling umum dari sindrom nefrotik pada
anak dengan umur rata-rata 2,5 tahun. Meskipun sindrom nefrotik dapat menyerang siapa
saja namun penyakit ini banyak ditemukan pada anak- anak usia 1 sampai 5 tahun. Selain
itu kecenderungan penyakit ini menyerang anak laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan anak perempuan.
Angka kejadian SN pada anak tidak diketaui pasti, namun laporan dari luar negeri
diperkirakan pada anak usia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun
pada setiap 100.000 anak. Menurut Raja Syeh angka kejadian kasus sindroma nefrotik di
Asia tercatat 2 kasus setiap 10.000 penduduk. Sedangkan kejadian di Indonesia pada
sindroma nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14
tahun. Untuk kejadian di Jawa Tengah sendiri mencapai 4 kasus terhitung mulai dari
tahun 2006.
Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya sendiri
maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom nefrotik
adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan pertumbuhan,
hiperlipidemia dan anemia. Infeksi merupakan penyulit yang mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang bermakna. Bentuk infeksi yang sering dijumpai pada sindrom
nefrotik adalah peritonitis, infeksi saluran kemih, dan sepsis. Obat-obat yang digunakan
untuk terapi penyakit ini pada umumnya sangat toksik seperti kortikosteroid dan
imunosupresant. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu yang lama dapat
menekan sistem imun (imunocompromised) dan menimbulkan berbagai efek samping
yang merugikan seperti munculnya infeksi sekunder. Infeksi yang tidak ditangani

1
sebagaimana mestinya akan mengakibatkan kekambuhan dan resisten terhadap steroid
(Arcana, 2000). Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi
berdasakan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan
responnya terhadap pengobatan. Namun sejak diperkenalkannya kortikosteroid,
mortalitas keseluruhan sindrom nefrotik telah menurun drastis dari lebih dari 50%
menjadi sekitar 2-5%. (Wirya, 2002)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. .Untuk mengetahui sindrom nefrotik.
2. Apa etiologi dari sindrom nefrotik.
3. Apa epidemiologi sindrom nefrotik.
4. Apa gejala klinis dari sindrom nefrotik.
5. Apa patofisiologi dari sindrom nefrotik.
6. Untuk mengetahuipemeriksaan laboratorium sindrom nefrotik.
7. Bagaimana komplikasi sindrom nefrotik.
8. Untuk mengetahuipengobatan sindrom nefrotik.
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui sindrom nefrotik.
2. Untuk mengetahui etiologi dari sindrom nefrotik.
3. Untuk mengetahui epidemiologi sindrom nefrotik.
4. Untuk mengetahui gejala klinis dari sindrom nefrotik.
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari sindrom nefrotik.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium sindrom nefrotik.
7. Untuk mengetahui komplikasi sindrom nefrotik.
8. Untuk mengetahui pengobatan sindrom nefrotik.

2
https://hellosehat.com/penyakit/sindrom-nefrotik/

A. DEFINISI
Sindrom Nefrotik (SN) ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia
dan hiperkolesterolemia.
Dasar diagnosa sindroma Nefrotik ;
1. Edema
2. Proteinuria berat (0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr)
3. Hipoalbuminemia berat (< 2,5 gr %)
4. Hiperkolesterolemia (> 220 mg %)

B. ETIOLOGI
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, jadi merupakan reaksi antigen antibodi.
Umunya pada ahli membagi etiologi SN menjadi :
1. SN Primer / idiopatik
Yaitu SN yang tidak diketahui sebabnya atau tidak disebabkan oleh penyakit sistemik.
2. SN Sekunder
Yaitu SN yang disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik, antara lain:
- Malaria kuartana atau parasit lain

3
- Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus, purpura aniafilaktoid
- Glamerulonefritris akut atau kronis, trombosit vena renalis
- Bahkan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilimin, gram emas, sengatan lebah, air
raksa.
- Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membran oprolifaratif
hipokomplementemik.
3. SN Bawaan
Yaitu SN yang diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Pada kasus ini, etiologinya digolongkan SN idiopatik. Hal ini berdasarkan alloanemnesa dengan
ibu penderita bahwa orang tua atau anggota keluarga penderita tidak ada yang sakit seperti ini
dan ibu penderita menyangkal bahwa penderita pernah menderita penyakit-penyakit lain atau
penyakit-penyakit atau mengkonsumsi zat-zat yang dapat menyebabkan SN sekunder seperti
yang disebutkan

C. EPIDEMIOLOGI
SN pada umumnya dapat muncul sejak pertama kehidupan, tetapi biasanya mulai dari
umur 2 tahun, dan angka kejadian SN terbanyak pada anak berumur antara 3 – 4 tahun dengan
rasio lelaki dan perempuan 2 : 1.
Hal tersebut juga sesuai dengan kasus ini, penderita adalah seorang anak laki-laki
berumur 3 tahun, anak tersebut juga pernah sakit seperti ini dan dirawat di RS saat berumur 2
tahun, kemudian sembuh dan sekarang kambuh lagi.

D. GEJALA KLINIS
SN ditandai dengan onset yang mendadak, dimana sembab / edema merupakan gejala
yang menonjol, yang akan mulai terlihat secara klinik bila retensi cairan melebihi 3 – 5 % berat
badan. Edema di pengaruhi oleh gravitasi, terkumpul pada ekstremitas bawah pada posisi berdiri
dan pada bagian dorsal tubuh pada posisi berbaring. Edema bersifat pitting, menyisakan bekas
akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan. Kadang-kadang edema dapat mencapai 40 % dari
berat badan dan didapatkan anasarka. Edema periorbital akan membatasi pembukaan mata dan
dapat dijumpai edema skrotum dan penis atau labia.

4
Pada kasus ini didapatkan gejala yang menonjol yaitu edema / sembab. Dari anamnesa
didapatkan bahwa edema terjadi secara mendadak pada pagi hari. Edema dimulai dari kelopak
mata, kemudian menyebar ke tangan, kaki dan seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
edema pada palpebra, skrotum, ekstremitas dan seluruh tubuh. Edema bersifat pitting,
menyisakan bekas akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan.

E. PATOFISIOLOGI
Sindrom nefrotik biasanya karena kerusakan pada pembuluh darah kecil pada ginjal
(glomeruli). Glomeruli menyaring darah ketika darah mengalir melalui ginjal. Glomeruli yang
sehat menyimpan protein darah (terutama albumin – zat yang berguna untuk mempertahankan
jumlah cairan di dalam tubuh) dan menyaring produk sampah di dalam urin yang keluar dari
dalam tubuh. Jika rusak, keping darah tidak mampu menyimpan protein darah yang tersaring
keluar dari dalam tubuh, mengakibatkan sindrom nefrotik.Berbagai masalah ginjal ini mungkin
mengakibatkan sindrom nefrotik, paling umum adalah radang ginjal yang disebut
glomerulonefritis. Selain itu, diabetes adalah salah satu penyebab sindrom nefrotik.
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi Natrium dan Edema pada sindrom
nefrotik
1. Hipotesis “UNDERFILL”
Menurut hipotesis ini proteinuria masih menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia dan
tekanan onkotik plasma menurun. Cairan berpindah dari intravaskuler ke jaringan interstisial
sehingga terjadi edema dan hipovolemia. Hipovolemia merangsang sistem saraf simpatis,
sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS). Aldosteron akan mereabsorpsi garam dan air
di tubulus ginjal, dengan tujuan menambah volume cairan intravaskular, tetapi karena tekanan
onkotik plasma tetap rendah maka cairan di kapiler akan berpindah lagi ke interstisial
sehingga edema makin bertambah. Dalam proses ini akibat adanya hipovolemia juga terjadi
perangsangan terhadap hormon antidiuretik (ADH) dan peptida natriuretik atrial (ANP =
Atrial Natriuretic peptide). ADH meningkat hingga menambah retensi air, ANP menurun
dengan akibat terjadi retensi Natrium di tubulus. (lihat gambar 1).

5
2. Hipotesis “OVERFILL”
Pada hipotesis ini mekanisme utama adalah defek tubulus primer di ginjal (intra renal).
Di tubulus distal terjadi restensi natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan
edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstisial. Pada hipotesis
overfill karena terjadi hipervolemia, sistem RAAS (aldosteron) akan menurun. Demikian pula
ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi
Na tetap berlangsung dengan akibat terjadi edema (lihat gambar 2).
Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi SN
kelainan minimal. Pada keadaan ini retensi Na dan air bersifat sekunder, terhadap
hipovolemia dan kadar renin dan aldosteron menurun, ANP rendah atau normal. Kelompok
kedua (overfill) disebut tipe Nefritik biasanya dijumpai pada SN bukan kelainan (BKM) atau
glomerulonefritis kronik.

6
SN BKM pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia
juga sering dijumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP
tinggi.

F. LABORATORIUM
1. Urin
a. Protein
Pada SN terjadi proteinuria dimana urin mengandung protein 0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr.
Proteinuria bisa selektif, yang hanya terdiri dari albumin saja dengan berat molekul rendah atau
non selektif dimana proteinuria terdiri dari berbagai protein dari yang berberat molekul rendah
sampai yang berberat molekul tinggi yaitu IgG.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat proteinuria +++ (positif 3).

7
b. Sedimen
Hematuria makroskopik jarang, biasanya merupakan petunjuk adanya kelainan
glomerulonefritis yang lebih parah, Hematuria mikroskopik di dapatkan pada 25 % kasus SN
sensitive-steroid tipe kelainan minimal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat sediment yaitu leukosit 2 – 4/ LPB, eritrosit 0 – 1/
LPB, dan epitel penuh/ LPK.
c. Elektrolit
Ekskresi natrium urin rendah (< 5 mmol / 24 jam), berhubungan dengan retensi natrium
dan edema, ekskresi kalium urin bervariasi sesuai intake.
2. Darah
a. Protein
Protein serum bermakna, sedangkan lipid serum biasanya meningkat. Kadar albumin
biasanya turun di bawah 2 gr / dl dan bahkan dapat < 1 gr / dl. Elektroforesis menunjukkan
tidak hanya terjadi penurunan kadar albumin saja, tetapi juga terjadi peningkatan 2-globulin dan
peningkatan ringan β-globulin serta penurunan α-globulin.IgG menurun bermakna, IgA
menurun sedikit, IgM meningkat, sementara IgE normal atau meningkat. Tidak selalu
didapatkan kelainan kadar komplemen C3 dan C4. Biasanya kadar komplemen C3 menurun
pada tipe bukan kelainan minimal. Kadar antithrombin III plasma menurun oleh karena
terbuang melalui urin, merupakan salah satu penyebab hiperkoagulobilitas pada anak dengan
sindrom nefrotik. Kadar beberapa komponen protein dalam kaskade koagulasi meningkat,
sehingga menimbulkan risiko trombosis.
Pada kasus ini didapatkan protein total serum 3,8 mg/100 mL dan albumin 2,0 mg/100 mL.
b. Lemak
Hiperlipidemia merupakan konsekuensi dari :
- Meningkatnya sintesis hepatik kolesterol, trigliserid dan lipoprotein.
- Penurunan katabolisme lipoprotein karena penurunan aktivitas lipase lipoprotein.
- Penurunan aktivitas reseptor LDL dan peningkatan lepasnya HDL melalui urin.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat cholesterol total 361 mg/100 mL.

8
c. Urea, Kreatinin, Elektrolit
Kadar urea dan kreatinin plasma pada awalnya biasanya normal, tetapi pada beberapa
kasus dapat meningkat. Elektrolit serum biasanya tetap dalam batas normal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat ureum 35,2 mg/100 mL dan creatinin 0,16 mg/100
mL.
d. Hematologi
Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat menurun atau meningkat dalam korelasi terbalik
dengan volume plasma. Dapat terjadi anemia. Umumnya terjadi peningkatan jumlah trombosit.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat Hb 11,8 gr/dL, trombosit 591.000/mm3, Ht 35%,
leukosit 13.100/mm3 dan LED 80mm/jam.

G. KOMPLIKASI
1. Gagal ginjal akut
Fungsi ginjal biasanya dalam batas normal. Penurunan laju filtrasi glomerulus yang
tersering adalah karena hipovolemia. Penyebab lain gagal ginjal akut adalah trombosis vena
renalis bilateral dan nefritis interstisial yang dapat disebabkan oleh efek toksik furosemid.
2. Gagal ginjal kronik
Sindrom nefrotik resisten – steroid lebih cenderung mengalami gagal ginjal terminal
dibandingkan sindrom nefrotik resisten – steroid di mana lebih dari 50% anak dengan sindrom
nefrotik resisten – steroid akan jatuh menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun,
sedangakan sindrom nefrotik sensitif – steroid hanya 3%.
3.Gangguan pertumbuhan
Pertumbuhan sangat terpengaruh pada anak dengan sindrom nefrotik. Terbuangnya
hormon melalui urin menyebabkan terjadinya pelambatan pertumbuhan. Telah diketahui bahwa
hipotiroid terjadi karena terbuangnya iodinated protein dalam urin. Kadar insulin-like growth
factor-I (IGF–I) dan IGF-II dalam plasma berkorelasi dengan lepasnya protein pembawa
(carrier proteins) dalam urin.
4. Infeksi
Infeksi kuman sering menyerang anak – anak sindrom nefrotik. Kuman penyebab infeksi
yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae. Kuman lain yang juga sering ditemukan
adalah Eschericia coli, Sterptococcus B hemolitikus, Haemophilus influenzae dan kuman gram

9
negatif lainnya. Beberapa faktor yang mempermudah anak sindrom nefrotik mengalami infeksi
kuman adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya factor B
dalam urin, dan tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B adalah cofactor dari C3b dalam
jalur alternatif dari komplemen, yang berperan penting dalam opsonisasi kuman.
5.Trombosis
Pasien sindrom nefrotik berisiko mengalami komplikasi tromboembolik. Faktor yang
berperan adalah keadaan hiperkoagulabilitas, hipovolemia, imobilisasi dan infeksi. Kelainan
faal hemostatik yang terjadi adalah a.) peningkatan agregasi trombosit, b.) peningkatan
fibrinogen, factor V, VII, VIII, X dan XIII, serta penurunan kadar antithrombin III, kofaktor
heparin, protein C, protein S dan factor XII dan XII, dan c.) peningkatan komponen sistem
fibrinolitik.

H. PENGOBATAN
1. Istirahat cukup sampai edema tinggal sedikit.
2. Dietetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi
karena dapat menambah beban ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit
protein normal 2 g/kgBB. Bila diberikan diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam hanya
diperlukan selama anak menderita edema. Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang
berat.
3. Diuretik
Diuretik tiazid kurang memberi efek. Biasanya diberikan “Loop” diuretik seperti
furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton (antagonis
aldosteron) 2-3 mg/kgBB/hari. Kadang-kadang furosemid dikombinasikan dengan metolazon
0,2-0,4 mg/kgBB/hari untuk menginduksi diuresis, tetapi perlu dipantau terhadap kelainan
elektrolit darah.
4. Kortikosteroid
Sesuai dengan anjuran ISKDC diberikan predniso dengan dosis 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgBB (maksimal 80 mg/hari) untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai

10
dengan berat badan ideal (berat terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Pada pemberian 2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak
80 % dan pada 4 minggu 94 %. Kemudian dilanjutkan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 (2/3 dosis awal), 1 x sehari setelah sarapan pagi. Secara intermiten (3 hari dalam 1
minggu) atau selang sehari (alternating). Bila remisi terjadi pada 4 minggu kedua pengobatan
alternating dilanjutkan menjadi 8 minggu kemudian dihentikan. Bila selama pemberian 8
minggu tidak terjadi remisi, pasien dianggap sebagai resisten steroid.
5. Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bila ada infeksi, sedangkan pemberian antibiotika profilaksis
tidak dianjurkan.

11
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
1. Identitas :
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi
pada usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah
endemik malaria banyak mengalami komplikasi nefrotic syndrome.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering dikeluhkan adalah adanya bengkak pada wajah atau kaki.
3. Riwayat Penyakit Sekarang ( RPS )
Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal berikut: Kaji
berapa lama keluhan adanya perubahan urine output, kaji onset keluhan bengkak pada wajah
dan kaki apakah disertai dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah, kaji adanya
anoreksia pada klien, kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien
pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes
melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
5. Riwayat Pada pengkajian psikososiokultural
Adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak akan memberikan dampak
rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien
6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran
biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.
a. Sistem pernapasan.
Frekuensi pernapasan 15 – 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit, efusi pleura karena distensi
abdomen
b. Sistem kardiovaskuler.

12
Nadi 70 – 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg, hipertensi ringan bisa dijumpai.
c. Sistem persarafan.
Dalam batas normal.
d. Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e. Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat,
hernia umbilikalis, prolaps anii.
f. Sistem muskuloskeletal.
Dalam batas normal.
g. Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
h. Sistem endokrin
Dalam batas normal
i. Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
a. B1 (breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas walau secara
frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering
didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap
edema pulmoner dan efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respon sekunder dari peningkatan beban volume.
c. B3 (Brain)
Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status neurologis
mengalami perubahan sesuai tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
d. B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola.
e. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.

13
f. B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema tungkai dari
keletihan fisik secara umum
7. Pemeriksaan diagnostic
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin.
Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membran glomerulus.
8. Pengkajian penatalaksanaan medis
Tujuan terapi adalah menceah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan
resiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut, meliputi
hal-hal berikut
a. Tirah baring
b. Diuretik
c. Adenokortikosteroid, golongan prednison
d. Diet rendah natrium tinggi protein
e. Terapi cairan. Jika klien dirawat dirumah sakt , maka intake dan output diukur secara
cermat dan dicatat. Cairan diberikan untk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan
harian.

DIAGNOSA KRITERIA HASIL (NOC) INTERVENSI (NIC)


KEPERAWATAN
(NANDA)
1. Perubahan nutrisi  Pasien dapat asupan  Ajarkan dan dukung
kurang dari makanan secara oral konsep nutrisi yang
kebutuhan tubuh  Pasien dapat asupan baik dengan klien
berhubungan dengn makanan secara tube  Monitor asupan kalori
kehilangan nafsu feeding makanan harian
makan (anoreksia)  Pasien dapat asupan (manajemen gangguan
cairan secara oral makanan)
(status nutrisi : Asupan  Tentukan status gizi
makanan dan nutrisi) pasien dan

14
kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan
gizi
 Tentukan apa yang
menjadi preferensi
makanan bagi pasien
(manajemen nutrisi)
 Bantuan peningkatan
berat badan
 Timbang pasien pada
jam sama setiap hari
2. Resiko kehilangan  Pasien dapat cairan  Monitor dengan ketat
volume cairan intravena risiko terjadinya
intravaskuler  Pasien dapat cairan pendarahan pada
berhubungan dengan secara oral pasien
kehilangan cairan dan (status nutrisi : Asupan  Monitor tanda dan
edema. makanan dan nutrisi) gejala pendarahan
menetap
 Lindungi pasien dari
trauma yang
menyebabkan
pendarahan
(pencegahan pendarahan)
 Berikan suplemen
elektrolit
 Lakukan pengukuran
untuk mengontrol
kehilangan cairan
berlebih.
(manajemen elektrolit)

15
 Monitor edema
perifer
(manajemen hipovelemi)

3. Ansietas berhubungan  Pasien mendapat  Bantu pasien dalam


dengan kurang pengetahuan tentang mengidentivikasikan
pengetahuan pentingnya perawatan informasi yang dia
tindak lanjut dapatkan
 Pasien mendapat  Bantu pasien untuk
tindakan-tindakan mengatasi
darurat keterbatasan dalam
(pengetahuan : Sumber- mengelola kebutuhan
sumber kesehatan) gaya hidup
(peningkatan koping)
 Sertakan anggota
keluarga dalam
perencanaan,
pemberian, dan
evaluasi perawatan
sejauh yang
diinginkan.
(manajemen dimensia)
 Berikan aktivitas
pengganti untuk
mengurangi tekanan
 Instruksikan klien
untuk menggunakan
teknik relaksasi
(pengurangan kecemasan)

IMPLEMENTASI

16
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan.
Sumber: Setiadi (2012), Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat memberikan intervensi
keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien.
Sumber: Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7 th Edition.
EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien.
Sumber: Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7 th Edition.
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses kepweawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
Sumber: Hidayat A. Aziz Alimul (2007), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:
Salemba Medika.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sindrom Nefrotik (SN) ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Sindroma nefrotik (SN) adalah keadaan klinis
yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang
ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia,
dan lipiduria. Penyebab primer sindrom nefrotik biasanya digambarkan oleh histologi, yaitu
sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM) yang merupakan penyebab paling umum dari
sindrom nefrotik pada anak dengan umur rata-rata 2,5 tahun. Meskipun sindrom nefrotik
dapat menyerang siapa saja namun penyakit ini banyak ditemukan pada anak- anak usia 1
sampai 5 tahun. Selain itu kecenderungan penyakit ini menyerang anak laki-laki dua kali
lebih besar dibandingkan anak perempuan.
4.2 Saran
Perawat disarankan untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu keperawatan, mengingat
ilmu keperawatan merupakan ilmu terapan yang selalu berubah mengikuti perkembangan
zaman dan perawat disarankan untuk bersikap profesional dalam memberikan perawatan
kepada pasien. Kami selaku penyusun makalah berharap mendapat saran, dan semoga
dengan tugas ini dapat bermanfaat.

18

Anda mungkin juga menyukai