BAB I
PENDAHULUAN
1
2
tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meningkat pada
kelompok umur berikutnya. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar
pada anak di seluruh dunia.
kasus Pneumonia pada anak semakin turun menjadi 764 anak yang menderita
penyakit Pneumonia, namun pada tahun 2015 kasus Pneumonia pada anak
meningkat lagi menjadi 994 dan turun menjadi 628 kasus di tahun 2016.
oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah
oksigen yang dibawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis penderita
mengalami pucat sampai sianosis, selain itu penderita akan mengalami hipertermi
karena proses infeksi tersebut sehingga menyebabkan peningkatan metabolisme
menyebabkan kebutuhan bahan energi meningkat sehingga menyebabkan
kekurangan nutrisi jika intake tidak di tingkatkan dan juga terjadi kekurangan
nutrisi. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
Gejala klinis yang paling banyak ditemukan pada pasien pneumonia anak
yang dirawat yaitu demam 92,7% dengan suhu rata rata 37,6oC, kemudian diikuti
batuk 92,1% dan muntah 39,3%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di Nigeria, didapatkan 99,8% anak dengan pneumonia mengalami batuk,
lalu diikuti oleh demam 94,4% dan pilek 40,4%. Penelitian yang dilakukan oleh
Nurjannah juga menemukan batuk sebagai gejala klinis yang paling banyak
dijumpai pada pneumonia anak sebesar 94,4%. (Monita & dkk, 2015)
fasilitas kesehatan jika penyakit parah dan bisa mendapatkan antibiotik dan oksigen
yang mereka butuhkan untuk sembuh.
Melihat angka kejadian Pneumonia pada anak begitu tinggi dan juga banyak
faktor resiko yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh maka peneliti tertarik untuk memberikan Asuhan Keperawatan
pada anak yang mengalami penyakit Pneumonia dengan masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di wilayah kerja RSUD Dr.
Harjono Ponorogo.
6
BAB II
TUJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Klasifikasi
a. Berdasarkan Klinis dan epidemiologi
1. Pneumonia yang di dapat di masyarakat (CAP) disebabkan
pneumokokus
9
10
9. Sirkulasi pulmoner
Suplai dara ke paru-paru dalam beberapa hal merupakan
sesuatu yang sangat unik. Pertma, paru-paru mempunyai dua
sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dab arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan dara teroksigenasi
dari sirkulasi sistemik yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronkialis
berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding
posterior bronkus. Vena bronkialis yang lebih besar akan
mengalirkan darahnya yang bermuara pada vena kava superior
dan mengembalikan darah ke antriumkanan. Vena bronkialis
yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis.
(Somantri, 2012)
Arteri pulmonalis berasal dari ventrikel kanan
mengalirkan darah vena ke paru-paru, di mana daerah tersebut
mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalina kapiler paru-
paru yang hals mengitari dan menutupi alveolus, merupakan
kontak yang diperlukan untuk pertukaran gas antara alveolus
dan darah. (Somantri, 2012)
2.1.5 Etiologi
a. Infeksi
1. Virus pernapasan yang paling sering dan lazim yaitu mycoplasma
pneumoniae yang terjadi pada usia beberapa tahun pertama dan
anak sekolah dan anak yang lebih tua.
2. Bakteri Streptococcus pneumoniae, S.pyogenes, dan
Staphylococcus aureus yang lazim terjadi pada anak normal.
3. Haemophilus influenza tipe b menyebabkan pneumonia bakteri
pada anak muda, dan kondisi akan jauh berkurang dengan
penggunaan vaksin efektif rutin.
4. Virus non-respirasik, bakteri enteric gram negatif, mikobakteria,
Chlamydia spp, Ricketsia spp, Coxiella, Pneumocytis carinii, dan
sejumlah jamur.
5. Virus penyebab pneumonia yang paling lazim adalah virus sinsitial
pernapasan (respiratory syncytial virus/ RSV), parainfluenzae,
influenza dan adenovirus.
b. Non Infeksi
1. Aspirasi makanan dan/atau asam lambung
2. Benda asing
3. Hidrokarbon dan bahan lipoid
4. Reaksi hipersensitifitas dan pneumonitis akibat obat atau radiasi
5. Penyebab pneumonia karena bakteri cenderung menimbulkan
infeksi lebih berat daripada agen non bakteri.
19
Staphylococcus
aureus.
respirasi
mendadak,
dyspnea berat,
sianosis, batuk,
hipoksemia, dan
diikiuti tanda-
tanda infeksi
sekunder.
2.1.7 Patofisisologi
Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran
pernafasan dari atas untuk mencapai bronchioles dan kemudian alveolus
sekitarnya. Kelainan yang timbul berupa bercak konsolidasi yang tersebar
pada kedua paru-paru, lebih banyak pada bagian basal.
Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada
udara, aspirasi organisme dari nasofarinks atau penyebaran hematogen dari
fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas
masuk ke bronkioli dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan
menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan
interstitial. Kuman pneumokokus dapat meluas melalui porus kohn dari
alveoli ke seluruh segmen atau lobus. Eritrosit mengalami perembesan dan
beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Alveoli dan septa menjadi penuh
22
dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit
leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi tidak
berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut,
aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit
eritrosit. Kuman pneumokokus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu
resolusi berlangsung, makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan
leukosit bersama kuman pneumokokus di dalamnya. Paru masuk dalam
tahap hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan. Secara
perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin di buang dari
alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa
kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas.
Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat berlangsung
dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus
maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat
mengakibatkan gangguan proses diffusi osmosis oksigen pada alveolus.
Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang
dibawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis penderita mengalami
pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent pada alveolus juga
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru, selain dapat
berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar juga
mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan berusaha
melawan tingginya tekanan tersebut menggunakan otot-otot bantu
pernafasan (otot interkosta) yang dapat menimbulkan peningkatan retraksi
dada.
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkus.
Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel radang akut,
terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh
dengan netrofil (bagian leukosit yang banyak pada saat awal peradangan
dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
23
2.1.8 Pathway
Bagan 2.1 pathway Pneumonia
(Riyadi & Sukarmin, 2009)
Bakteri Virus Penyebab
Bakteri Bakteri
Pneumonia
Bakteri
Bronchiolus
Bakteri
Alveoli
Metabolisme
Obstruksi jalan napas
Alveolus mengalami kerusakan meningkat
Asupan oksigen
Gangguan difusi osmosis oksigen pada alveoli Ketidakseimba
berkurang
ngan nutrisi
Ketidakefektifan Gangguan pertukaran gas kurang dari
bersihan jalan napas eksudat kebutuhan
Suplai jaringan oksigen menurun dan terjadi kelemahan tubuh
eksudat
Intoleransi aktivitas
25
2.1.11 Penatalaksanaan
1. Antibiotik diberikan sesuai penyebarannya
2. Ekspetoran yang dapat dibantu dengan postural drainase
3. Rehidrasi yang cukup dan adekuat
4. Latihan nafas dalam dan batuk efektif sangat membantu
5. Oksigenansi sesuai dengan kebutuhan dan yang adekuat
6. Isolasi pernafasan sesuai dengan kebutuhan
7. Diet tinggi kalori dan tinggi protein
(Ridha, 2014)
8. Kebersihan pulmonary yang baik, seperti : napas dalam, batuk, terapi
fisik pada dada (Astuti & Rahmat , 2010)
2.1.12 Komplikasi
Komplikasi menurut (Ridha, 2014) adalah :
1. Efusi pleura dan emfiema
2. Komplikasi sistemik
27
3. Hipoksemia
4. Pneumonia kronik
5. Bronkietasis
Apabila penyakit ini tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka
akan timbul komplikasi yang bisa membahayakan tubuh anak tersebut,
misalnya gangguan pertukaran gas, obstruksi jalan napas, gagal napas, efusi
pleura yang luas, syok dan apnea rekuren. (Marni, 2014)
k. SAFETY/PROTECTION
Gejala yang timbul dari penyakit pneumonia yaitu riwayat
gangguan sistem imun, demam, sakit kepala, nyeri dada meningkat dan
batuk myalgia, atralgia.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin
pada kasus rubella/varisela. (Wijayaningsih , 2013)
l. COMFORT
Pernafasan cepat dan dangkal dengan disertai pernafasan cuping
hidung, gelisah. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
Gejala : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dyspnea, pernafasan
dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal.
Tanda : sputum merah muda, berkarat atau purulent. (Wijayaningsih ,
2013)
m. GROWTH/DEVELOPMENT
Pertumbuhan dan perkembangan : pertumbuhan paru dikaitkan
dengan masa kehamilan, berat badan dan pajanan semasa anak-anak.
2.2.5 INTERVENSI
Intervensi keperawatan terhadap diagnosa yang muncul pada pasien
dengan Pneumonia, berdasarkan NOC NIC adalah sebagai berikut :
Tabel 1.3 Intervensi Keperawatan
4. Kulit kemerahan
5. Kulit terasa
hangat
6. Takikardi
7. Takipnea
Faktor yang
berhubungan :
1. Dehidrasi
2. Peningkatan laju
metabolisme
3. Pakaian yang tidak
sesuai
4. Penurunan
pespirasi penyakit
Faktor Yang
Berhubungan :
36
1. Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Perubahan
membran alveolar-
kapiler
Faktor yang
berhubungan :
1. Gaya hidup kurang
gerak
2. Imobilisasi
3. Ketidakseimbangan
antara suplai dan
kebutuhan oksigen
4. Tirah baring
(Herdman & Kamitsuru, 2015), (Moorhed & dkk, 2013), (Bulechek & dkk, 2013)
37
2.2.6 IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan
pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/
kolaborasi, dan tindakan rujukan/ ketergantungan. (Bararah & Jauhar,
2013)
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Jenis tindakan pada implementasi terdiri dari
tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan tindakan
rujukan/ketergantungan. (Bararah & Jauhar, 2013)
2.2.6 EVALUASI
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada
tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses
keperawatan dapat berhasil atau gagal. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam evaluasi ini adalah :
1) Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan
yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari
rencana keperawatan dapat diterima.
2) Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.
3) Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien
untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau
intervensi keperawatan.
4) Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah
keputusan bersama antara perawat dan klien.
5) Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu
sendiri. Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam
menetapkan rencana asuhan keperawatan, termasuk pengetahuan
mengenai standar asuhan keperawatan, respons klien yang normal
38
d. Mineral
Unsur mineral adalah unsur kimia lain yang dibutuhkan
tubuh selain karbon, hydrogen dan nitrogen. Di dalam makanan
unsur-unsur mineral banyak terdapat dalam bentuk garam-garam
organic seperti, natrium dan klorida. Tetapi, ada juga unsur-unsur
mineral dalam bentuk senyawa seperti sulfur dan fosfor. Sekitar 4%
dari tubuh manusia terdiri dari mineral. Unsur-unsur mineral seperti
fosfor dan kalsium terdapat dalam jumlah yang besar pada tubuh
manusia. Mineral lain yang dengan jumlah yang relative sedikit yang
terdapat dalam tubuh manusia dikenal dengan kelumit (trace
element). (Ernawati, 2012)
Tabel 1.5 Unsur mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
Unsur mineral utama Unsur Kelumit
Kalsium Kromium
Klorin Timah
Besi Tembaga
Magnesium Fluorinlodin
Fosfor Mangan
Kalium Molibdenum
Natrium Selenium
Sulfur Zink
e. Air
Sekitar 60% berat badan orang dewasa dan hingga 80%
berat badan banyi adalah air. Selain itu, orang dewasa kehilangan
sekitar 2,37 l air per hari melalui keringat, berkemih, dan
mengeluarkan napas. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan
dalam sel tubuh, kehilangan cairan harus diganti. Makanan
memberikan beberapa cairan, tetapi harus ditambah dengan
meminum air dan cairan lainnya. Sebagian besar pihak sepakat
bahwa rata-rata orang dewasa memerlukan 6 hingga 8 gelas cairan
per hari.
43
pada tubuh akan menjadi kimia bebas dan menjadi toksik untuk
tubuh.
2. Vitamin yang larut dalam lemak
Jenis vitamin yang larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E dan
K. vitamin ini disimpan dalam tubuh kecuali vitamin D yang
disediakan melalui asupan diet. Vitamin yang larut dalam lemak
bisa mengakibatkan toksisitas dan hal ini sudah diketahui sejak
bertahun-tahun yang lalu. Toksisitas vitamin jenis ini bisa terjadi
apabila dengan asupan yang berlebih yang bisa didapat dari
makanan sintetik, jumlah yang berlebihan dari makanan yang
diperkaya dan diet yang mencakup benyaknya minyak hati ikan.
(Ernawati, 2012)
Tabel 1.6 Jenis vitamin, sumber dan fungsi
Jenis Sumber Fungsi
Vitamin
Vitamin A Lemak hewani, mentega, Membantu dalam
keju, kuning telur, susu pertumbuhan sel tubuh,
legkap, mineral hati ikan, penglihatan, rambut kulit
daunan hijau, buah yang yang sehat, integritas
kuning dan sayuran. membrane epitel,
mencegah xerophtalmia.
Vitamin B1 Ikan, daging ayam dan tak Metabolisme
(Thiamin) berlemak, kacang-kacangan karbohidrat, membantu
larut dalam dan susu. kelancaran sistem
air persarafan, mencegah
beri-beri atau penyakit
yang ditandai neuritis.
Vitamin B2 Telur, sayuran daun hijau, Membantu dalam
(Riboflavin) daging tak berlemak, susu, pembentukan enzim
larut dalam bijian lengkap. pertumbuhan, membantu
air adaptasi cahaya dalam
mata.
Vitamin B3 Daging tak berlemak, hati Metabolisme
(Niacin) ikan, kacang-kacangan, karbohidrat, lemak dan
bijian lengkap, telur dan protein, komponen
hati. enzim, mencegah
45
menurunnya nafsu
makan.
Vitamin B6 Biji-bijian, sayuran, daging, Membantu kesehatan
(Pyridoksin) pisang. gusi dan gigi,
pembentukan sel darah
merah, metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein.
Vitamin Hati dan ginjal, susu, Metabolisme protein,
B12 daging tidak berlemak, pembentukan sel darah
(Cyanocoba susu, ikan dan kerang laut. merah, kesehatan
lamin) jaringan, mencegah
anemia.
Vitamin C Buah, jus jeruk, tomat, buah Kesehatan tulang, gigi
(Asam berry, kubis, sayuran hijau dan gusi, pembentukan
Ascorbut) dan kentang. dinding pembuluh darah
dan pembuluh kapiler,
kesembuhan jaringan dan
tulang, memudahkan
penyerapan zat besi dan
asam folik.
Vitamin D Minyak hati ikan, susu, Penyerapan kalsium dan
kunig telur, mentega, hati, posfor, mencegah
kerang. rachitis.
Vitamin E Sayuran daun hijau Pembentukansel darah
(Alpha merah, melindungi asam
Tecopherol) amino utama.
Vitamin Kuning telur, sayuran hijau, Kegiatan enzim,
(biotin) susu, hati dan ginjal. metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein.
Vitamin K Hati, telur, sayuran daun Produksi protombin.
hijau.
46
Pasien. pasien yang mendapatkan makanan yang lebih baik kualitas cita
rasanya mengalami peningkatan berat badan (1.3±1 kg), IMT (0.5±0.4),
dan lama perawatan (15.7±9.8 hari) yang lebih singkat 4.5 hari. (Liber,
Andarwulan, & Adawiyah, 2016)
10. Anak yang sedang sakit akan mengalami penurunan selera makan dan
asupan makanan. Gastroesophageal reflux, dan alergi terhadap makanan
tertentu dapat mengakibatkan perasaan mual atau tidak nyaman sehingga
anak mendapatkan persepsi negative terhadap makanannya. Teman
sebaya sangat berpengaruh dalam pemilihan dan sikap makan anak.
Dengan makan dalam kelompok, anak akan makan dengan variasi menu
yang bergizi dan porsi yang lebih banyak dibanding menyantapnya
seorang diri. Jadi untuk meningkatkan nafsu makan pada anak yang
sedang sakit dapat dilakukan dengan cara makan bersama dengan teman
sebaya yang sedang mengalami hospitalisasi juga. (Sudjatmoko, 2016)
11. Bila anak menolak menghabiskan porsi makan mereka, sebaiknya piring
makan diangkat tanpa disertai komentar. Tidakan tersebut merupakan
hal tersulit bagi orangtua dibanding anak mereka. Diharapkan pada jam
makan berikutnya anak akan menikmati menu yang disajikan karena
perut yang lapar. (Sudjatmoko, 2016)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3 Partisipan
Partisipan pada studi kasus ini adalah klien Pnemonia dengan
Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan. Subjek yang digunakan
52
53
adalah 1 klien. Klien yang kooperatif dan sadar dengan kriteria pasien anak umur
1-12 tahun dan dengan penurunan nafsu makan.
2. Waktu Penelitian
Proses pembuatan studi kasus ini dimulai pada bulan Oktober 2018
yang dimulai dari pengajuan judul, penyusunan Proposal BAB I, II, III pada
bulan November sampai desember dan ujian proposal dilaksanakan pada
tanggal 28 Desember 2018. Pengambilan data dan penyusunan data dimulai
pada bulan februari sedangkan sidang studi kasus dilaksanakan pada bulan
Maret 2019. (sesuai dengan jadwal yang terlampir)
1. Prosedur Penelitian
a. Pengajuan judul kepada Pembimbing
b. Membuat latar belakang masalah
54
a. Observasi Visual
Penglihatan memberi banyak petunjuk yang harus diproses
secara terus menerus ketika menkaji klien. Beberapa contoh yang harus
dipertimbangkan adalah gerakan tubuh, penampilan umum, tata krama,
ekspresi wajah, gaya berpakaian, komunikasi non verbal, tampilan
serta kebersihan. Untuk mengumpulkan data subjektif, seperti ketika
memperhatikan ekspresi wajah dan bahasa tubuh klien. Observasi
visual juga dapat mengumpulkan data objektif.
b. Observasi Auditori
Mendengarkan klien dan keluarga secara aktif ketika sedang
berinteraksi dengan perawat dan tim kesehatan lain. Perawat juga dapat
mengumpulkan data dengan cara auskultasi.
c. Observasi Olfaktori dan Gusatori
Indra penciuman mengidentifikasikan bau yang mungkin
spesifik dengan kondisi atau status kesehatan klien. Observasi
olfaktorius mencakup mencatat bau badan, nafas yang buruk atau
asidosis metabolic.
Pada studi kasus ini observasi yang perlu dilakukan pada klien
Pneumonia adalah sebagai berikut :
1. Observasi TTV
2. Observasi status nutrisi pasien
3. Observasi mual muntah
4. Observasi berat badan pasien
Data hasil observasi akan di catat di lembar pengkajian.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah sarana yang digunakan oleh penyedia
layanan kesehatan yang membedakan struktur dan fungsi tubuh yang
normal dan abnormal. Peneliti dalam studi kasus ini akan menggunakan
pemeriksaan fisik dengan empat cara yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi,
57
dan perkusi. Hal itu dilakukan untuk menunjang dan memperoleh data
objektif.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada klien Pnemonia pada
studi kasus ini adalah pada paru/thorax sebagai berikut :
1. Inspeksi : frekuensi irama, kedalaman dan upaya bernafas antara lain :
takipnea, dyspnea progresif, pernafasan dangkal, pectus ekskavatum
(dada burung), barrel chest.
2. Palpasi : adanya nyeri tekan, massa, penigkatan vocal femitus pada
daerah yang terkena.
3. Perkusi : pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya timpani
(terisi udara) resonansi.
4. Auskultasi : suara pernafasan yang meningkat intensitasnya :
a) Suara bronkovesikuler atau bronchial pada daerah yang terkena.
b) Suara pernafasan tambahan ronli inspiratory pada sepertiga akhir
inspirasi
d. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi keperawatan untuk menunjang hasil penelitian
melalui 2 cara yaitu status klien selama keperawatan meliputi pengkajian
sampai dengan evaluasi, dan juga studi literature utuk menyusun konsep
penyakit
Dalam studi kasus ini akan di observasi dan di ukur menggunakan tabel
indikator nutrisi dengan indikator asupan makanan, asupan cairan, dan menyatakan
nafsu makan. Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan
dengan kondisi klien sebelum melakukan latihan terapi dengan kondisi klien
sesudah melakukan latihan terapi. Penarikan kesimpulan dengan membandingkan
hasil observasi sebelum dan sesudah latihan terapi. Dari kesimpulan berdasarkan
NOC (Status nutrisi) dengan indikator dari status nutrisi : asupan gizi, asupan
makanan, asupan cairan, energi baik, berat badan dalam rentan normal. Skor dari
indikator tersebut dibagi menjadi 6 dengan nilai terbaik 30 yaitu jika total skore 30
berarti tidak ada gangguan, 23-29 berarti gangguan ringan, 15-22 berarti gangguan
sedang, 7-14 gangguan berat dan skore 6 berarti gangguan sangat berat. Apabila
albumin dan hemoglobin tidak diperiksa setiap hari maka nilai terbaik 20, dengan
rentang nilai jika skore 20 berarti tidak ada gangguan, 14-19 gangguan ringan, 10-
13 gangguan sedang, 5-9 gangguan berat dan skore 4 berarti gangguan sangat berat.
Daftar Pustaka
Liber, Andarwulan, N., & Adawiyah, D. R. (2016). Peningkatan Kualitas Cita Rasa
Makanan Rumah Sakit untuk Mempercepat Penyembuhan Pasien. Jurnal
Mutu Pangan, Vol. 1(2), 83.
Marni. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit Dengan Gangguan
Pernapasan . Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Monita, O., & dkk. (2015). Profil Pasien Pneumonia Komunitas di Bagian Anak
RSUP DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas,
221.
Moorhed, S., & dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC) . Yogyakarta:
Mosby Elsevier.
Mutaqqin, A. (2012). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
pernafaan . Jakarta: Salemba Medika .
Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA.
Noverita, Mulyadi, & Mudatsir. (2017). Terapi Bermain Terhadap Tingkat
Kecemasan Pada Anak Usia 3–5 Tahun Yang Berobat Di Puskesmas. Jurnal
Ilmu Keperawatan, 15.
Nurnajiah, M., & dkk. (2016). Hubungan Status Gizi dengan Derajat Pneumonia pada
Balita di RS. Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2.
Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis
Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis.
Jakarta: Salemba Medika.
Ridha, H. N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riyadi, S., & Sukarmin. (2009). Asuahan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar Edisi 10
Vol. 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Siregar, & dkk. (2017). HUBUNGAN FAKTOR HOST DENGAN KEJADIAN
PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS CIMAHI SELATAN.
Prosiding Seminar Nasional IKAKESMADA “Peran Tenaga Kesehatan
Dalam Pelaksanaaan SDGs", 7.
62
Soedibyo, S., & Mulyani, R. L. (2017). Kesulitan Makan pada Pasien Survei di Unit
Pediatri Rawat Jalan. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, 80.
Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien denagn Gangguan sistem
pernapasan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Sudjatmoko. (2016). MASALAH MAKAN PADA ANAK. Damianus Journal of
Medicine, 37.
Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogjakarta: GAVA
MEDIA.
Sujarweni, W. (2014). Metode Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gava Media.
Tracey, H. (2014). Intisari Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
WHO. (2016). Word Health Organization. Pneumonia, 1.
Wijayaningsih , K. S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Yuliana, M. N., & Raule, J. H. (2017). PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN
GIGI TERHADAP PENINGKATAN KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT
PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PANCARAN KASIH
MANADO. e-Journal , 9.