Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia merupakan peradangan pada parenkhim paru yang disebabkan


oleh infeksi bekteri atau virus. Penyakit ini umum terjadi pada bayi dan anak,
walaupun dapat juga terjadi pada semua usia. Pneumonia adalah penyakit infeksi
yang menyebabkan peradangan akut parenkim paru-paru dan pemadatan eksudat
pada jaringan paru. Pada anak-anak yang mengalami pneumonia akan
memeperlihatkan tanda dan gejala seperti demam, batuk, anak akan memperlihatkan
kesulitan bernapas, seperti sesak napas, retraksi interkosta, nyeri dada, nyeri
abdomen, krakles, penurunan bunyi napas, pernapasan cuping hidung, sianosis,
batuk kering kemudian berlanjut ke batuk produktif, adanya ronkhi basah, halus dan
nyaring, adanya takipnea ( frekuensi pernapasan > 50 x/menit ), penurunana nafsu
makan dan nyeri lambung. (Marni, 2014), kadang-kadang disertai muntah dan diare
sehingga menyebabkan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada anak yang
mengalami pneumonia. (Riyadi & Sukarmin, 2009)

Menurut (WHO, 2016) Pneumonia adalah penyakit infeksi yang terbesar


tunggal kematian pada anak-anak di seluruh dunia. Pneumonia menewaskan 920
136 anak di bawah usia 5 tahun 2015, akuntansi untuk 16% dari semua kematian
anak di bawah lima tahun. Pneumonia mempengaruhi anak-anak dan keluarga di
mana-mana, tetapi yang paling umum di Asia Selatan dan Afrika subSaharan. Anak-
anak dapat dilindungi dari pneumonia, dapat dicegah dengan intervensi sederhana,
dan diperlakukan dengan lowwcost, obat-obatan lowtech dan perawatan.

Prevalensi pneumonia anak balita di Indonesia menurut data Riset


Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 adalah 1,6%. Indonesia masih menjadi salah satu
dari 15 negara yang berkontribusi pada 65% morbiditas dan 74% mortalitas yang
disebabkan oleh pneumonia di seluruh dunia. Berdasarkan kelompok umur
penduduk, prevalensi pneumonia yang tinggi terjadi pada 2 kelompok umur 1-4

1
2

tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meningkat pada
kelompok umur berikutnya. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar
pada anak di seluruh dunia.

Menurut profil kesehatan Jawa Timur (2016), Target penemuan kasus


pneumonia tahun 2016 ditetapkan sebesar 70%, dengan angka cakupan penemuan
pneumonia tahun 2016 sebesar 79,61%. Sehingga cakupan penemuan kasus
pneumonia Provinsi Jawa Timur sudah di atas target yang ditetapkan. Pada tahun
2016, dari 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, semua Kabupaten/Kota sudah
mencapai target penemuan yang ditetapkan Nasional sebesar 4,45% yaitu Kota
Madiun, Kota Pasuruan,Kabupaten Gresik, kabupaten Mojokerto, Kabupaten
Lamongan,Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso,
Kota Mojokerto, Kabupaten Bangkalan, Kota Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten
Jember, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Pacitan, Kota Malang, kabupaten Blitar,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Kediri, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan,
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten
Tuban, kabupaten Jombang, Kabupaten Tulungagung, Kota Surabaya, Kabupaten
Malang, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Probolinggo, Kota Batu, Kota
Probolinggo,, kabupaten Sumenep dan Kabupaten Sampang.

Dalam profil kesehatan Ponorogo (2016), di Kabupaten Ponorogo


penemuan kasus pneumonia pada balita mengalami penurunan di tahun 2016.
Penemuan dan penanganan pneumonia tahun 2015 sebesar 994 penderita turun
menjadi 628 kasus di tahun 2016. Untuk mengatasi itu Dinas Kesehatan melakukan
kegiatan supervisi dan refreshing untuk pengelola Program Puskesmas, Perawat
Ponkesdes dan bidan koordinator di KIA. Selain itu juga diupayakan untuk
melibatkan Rumah Sakit untuk melaporkan kasus pneumonia ini. Penemuan kasus
Pneumonia pada balita di Ponorogo dari tahun 2012-2016 yaitu pada tahun 2012
ditemukan sebanyak 1202 anak yang menderita penyakit Pneumonia, pada tahun
2013 kasus Pneumonia pada anak menurun menjadi 832 anak. Pada tahun 2014
3

kasus Pneumonia pada anak semakin turun menjadi 764 anak yang menderita
penyakit Pneumonia, namun pada tahun 2015 kasus Pneumonia pada anak
meningkat lagi menjadi 994 dan turun menjadi 628 kasus di tahun 2016.

Mikroorganisme penyebab pneumonia dapat berupa virus, bakteri dan


jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan
oleh bakteri, terutama Streptococcus pneumonia dan Hemophilus influenza tipe B.
Pemeriksaan mikroorganisme penyebab pneumonia pada balita masih belum
sempurna karena balita sulit memproduksi sputum dan tindakan invasif seperti
aspirasi paru atau kultur darah sulit dilakukan.7 Faktor risiko yang selalu ada
(definite risk factor) pada pneumonia meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah,
tidak mendapatkan ASI, polusi udara dalam ruang, dan pemukiman padat. Balita
dengan gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko terjadinya pneumonia pada
balita. (Nurnajiah & dkk, 2016)

Bakteri atau virus masuk kedalam tubuh, akan menyebabkan gangguan/


peradangan pada terminal jalan napas dan alveoli. Proses tersebut akan
menyebabkan infiltrate yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadi
destruksi sel dengan menanggalkan debris cellular ke dalam lumen yang
mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan napas. Pada kondisi akut
maupun kronik seperti AIDS, cystic fibrosis, aspirasi benda asing dan kongenital
yang dapat meningkatkan resiko pneumonia. (Marni, 2014)

Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran pernafasan dari


atas untuk mencapai bronchioles dan kemudian alveolus sekitarnya. Kelainan yang
timbul berupa bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-paru, lebih banyak
pada bagian basal. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke
bronkioli dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan
cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Setelah
edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus maka membran dari alveolus akan
mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses diffusi osmosis
4

oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah
oksigen yang dibawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis penderita
mengalami pucat sampai sianosis, selain itu penderita akan mengalami hipertermi
karena proses infeksi tersebut sehingga menyebabkan peningkatan metabolisme
menyebabkan kebutuhan bahan energi meningkat sehingga menyebabkan
kekurangan nutrisi jika intake tidak di tingkatkan dan juga terjadi kekurangan
nutrisi. (Riyadi & Sukarmin, 2009)

Gejala klinis yang paling banyak ditemukan pada pasien pneumonia anak
yang dirawat yaitu demam 92,7% dengan suhu rata rata 37,6oC, kemudian diikuti
batuk 92,1% dan muntah 39,3%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di Nigeria, didapatkan 99,8% anak dengan pneumonia mengalami batuk,
lalu diikuti oleh demam 94,4% dan pilek 40,4%. Penelitian yang dilakukan oleh
Nurjannah juga menemukan batuk sebagai gejala klinis yang paling banyak
dijumpai pada pneumonia anak sebesar 94,4%. (Monita & dkk, 2015)

Apabila penyakit pneumonia ini tidak mendapat penanganan yang tepat,


maka akan timbul komplikasi yang bisa membahayakan tubuh anak tersebut,
misalnya gangguan pertukaran gas, obstruksi jalan napas, gagal napas, efusi pleura
yang luas, syok dan apnea rekuren (Marni, 2014). Selain komplikasi tersebut ,
pneumonia yang tidak segera ditangani dengan tepat akan menyebabkan empiema
yang memerlukan antibiotik dalam waktu lama (Astuti & Rahmat , 2010).

Untuk menghindari terjadinya pneumonia pada anak solusinya yaitu


menurut (WHO, 2016) melindungi anak-anak dari pneumonia termasuk
mempromosikan pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan yang
memadai, mencegah pneumonia dengan vaksinasi, mencuci tangan dengan sabun,
mengurangi polusi rumah tangga udara, pencegahan HIV dan profilaksis
kotrimoksazol untuk HIV infected dan anak-anak terkena, serta mengobati
pneumonia fokus pada memastikan bahwa setiap anak yang sakit memiliki akses ke
tempat perawatan yang baik dari petugas kesehatan berbasis masyarakat, atau di
5

fasilitas kesehatan jika penyakit parah dan bisa mendapatkan antibiotik dan oksigen
yang mereka butuhkan untuk sembuh.

Masalah keperawatan yang sering muncul dari penyakit pneumonia adalah


bersihan jalan nafas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, hipertermi,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dan intoleransi aktivitas.
Dampak yang dapat ditimbulkan dari masalah keperawatan Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh yaitu pasien mengeluh lemah, berat badan
anak mengalami penurunan, kulit tidak kencang, dan nilai laboratorium seperti Hb
kurang dari 9% (normal usia 1 tahun keatas 9-14 gr%). (Riyadi & Sukarmin, 2009)

Peran perawat untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan nutrisi pada


anak yang menderita Pneumonia yaitu memberikan asuhan keperawatan secara
komperhensif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Menurut NOC yaitu status
nutrisi dengan kriteria hasil berat badan meningkat, berat badan ideal dengan tinggi
badan, mampu megidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada mual-muntah, tidak ada
tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan. (Moorhead,dkk,3013).

Intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh menurut NIC yaitu Manajemen nutrisi yang meliputi :
menentukan status nutrisi, pemilihan makanan, tentukan jenis kalori, jenis nutrisi
dan monitor jumlah nutrisi dan jumlah kalori. Monitoring nutrisi yang meliputi :
timbang berat badan, monitor kecenderungan kenaikan atau penurunan berat badan,
monitor mual dan muntah, perubahan nafsu makan, aktivitas sehari-hari, monitor
pucat, anemis dan turgor kulit. (Moorhead,dkk,2013).

Melihat angka kejadian Pneumonia pada anak begitu tinggi dan juga banyak
faktor resiko yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh maka peneliti tertarik untuk memberikan Asuhan Keperawatan
pada anak yang mengalami penyakit Pneumonia dengan masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di wilayah kerja RSUD Dr.
Harjono Ponorogo.
6

1.2 Batasan Masalah


Asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia
dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di
wilayah kerja RSUD Dr. Harjono Ponorogo.

1.3 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Amak yang mengalami Pneumonia
dengan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di wilayah kerja
RSUD Dr. Harjono Ponorogo ?

1.4 Tujuan Penulisan


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum studi kasus ini adalah untuk melaksanakan Asuhan
Keperawatan pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia dengan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di wilayah kerja
RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia
dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
di wilayah kerja RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
b. Menetapkan diagnose pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia
dengan masalah ketidakseimbagan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di
wilayah kerja RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
c. Menyusun intervensi pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia
dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
di wilayah kerja RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
7

d. Melaksanakan implementasi pada Anak yang mengalami penyakit


Pneumonia dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh di wilayah kerja RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
e. Melakukan evaluasi pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia
dengan masalah nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh di wilayah kerja
RSUD Dr. Harjono Ponorogo.

1.5 Manfaat Penulisan


1.5.1 Manfaat Teoritis
Dapat menerapkan konsep-konsep ilmu pengetahuan, umunya dalam bidang
asuhan keperawatan pada Anak yang mengalami penyakit Pneumonia
dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
a. Studi kasus ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang
perkembangan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Anak yang
mengalami Pneumonia.
1.5.2 Manfaat Praktis
a. Bagi RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
Diaharapkan karya tulis ilmiah ini dapat memperkaya bahasan dalam
bidang pelayanan kesehatan pada Anak yang mengalami penyakit
Pneumonia dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh di RSUD Dr. Harjono Ponorogo.
b. Bagi Perawat
Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai baan
masukan bagi upaya pelaksanaan implementasi keperawatan pada Anak
yang mengalami penyakit Pneumonia dengan masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
c. Bagi Pasien dan Keluarga
Karya tulis ilmiah ini dapat memberikan wawasan kepada pasien tentang
penyakit dan cara memanajemen kesehatan dengan baik dana man.
d. Bagi Penulis
8

Penulis dapat menerapkan ilmu ataupun teori pada waktu masa


perkuliahan yang digunakan untuk karya tulis ilmiah ini. Selain itu, karya
tulis ilmiah ini juga dapat menambah wawasan bagi penulis tentang
mengimplementasi tindakan keperawatan pada Anak yang mengalami
penyakit Pneumonia dengan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh.
9

BAB II

TUJAUAN PUSTAKA

2.1. KONSEP PNEUMONIA


2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang
terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat
yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda-benda
asing. (Muttaqin, 2012)
Pneumonia adalah suatu proses peradangan di mana terdapat
konsolidasi yang disebabkan pengisisan rongga alveoli oleh eksudat.
Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami
konsolidasi, begitupun dengan aliran darah di sekitar alveoli, menjadi
terhambat dan tidak berfungsi maksimal. Hipoksemia dapat terjadi,
bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang sakit. (Somantri,
2012)
Pneumonia adalah suatu peradangan paru-paru biasanya
disebabkan oleh bacterial (staphylococcus, Pneumococcus, atau
Streptococcus) atau infeksi viral (Respiratory Syncytial Virus). (Astuti
& Rahmat , 2010)
Pneumonia adalah radang parenkim paru yang dapat disebabkan
oleh mikroorganisme tetapi kadang juga sejumlah penyebab non
infeksi. (Astuti & Rahmat , 2010)

2.1.2 Klasifikasi
a. Berdasarkan Klinis dan epidemiologi
1. Pneumonia yang di dapat di masyarakat (CAP) disebabkan
pneumokokus

9
10

2. Pneumonia yang dapat di RS (Hospital Acquaired Pneumonia/


Nosokomial Pneumonia) biasanya disebabkan bakteri gram
negative dan angka kematian lebih tinggi
3. Pneumonia aspirasi, sering pada bayi dan anak
4. Pneumonia berulang, terjadi bila punya penyakit penyerta
b. Berdasarkan Kuman Penyebab
1. Pneumonia bakterialis/topical, dapat terjadi pada semua usia,
beberapa kuman tendensi menyerang seseorang yang peka, misal :
a. Klebsiela pada orang alkoholik
b. Stapilokokus pada influenza
2. Pneumonia atipikal, sering mengenai anak dan dewasa muda dan
disebabkan oleh mycoplasma, clamidia dan coxlella
3. Pneumonia karena virus, sering pada bayi dan anak
4. Pneumonia karena jamur, sering disertai infeksi sekunder terutama
pada orang dengan daya tahan lemah dan pengobatannya lebih sulit
c. Berdasarkan Prediksi Infeksi
1. Pneumonia lobaris mengenal satu lobus atau lebih, disebabkan
karena obstruksi bronkus, misalnya aspirasi benda asing, proses
keganasan
2. Bronkopneumonia, adanya bercak-bercak infiltrat pada paru dan
disebabkan oleh virus atau bakteri (Ridha, 2014)
2.1.3 Anatomi Sistem Pernafasan

Sumber : (Tracey, 2014)


Gambar 1.1 Anatomi Pernapasan
11

Anatomi saluran pernafasan terdiri atas saluran pernapasan


bagian atas (rongga hidung, sinus paranasal dan faring), saluran
pernapasan bagian bawah (laring, trekhea, bronchus, dan aveoli)
A. Saluran pernapasan bagian atas
1. Rongga hidung
Hidung terdiriatas dua nostril yang merupakan pintu
masuk menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal
sempit yang satu sama lainya di pisah oleh septum. Dinding
rongga hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel epitel
batang, bersilia dan berlapis semu. Mukosa tersebut menyaring,
meghangatkan dan melembabkan udara yang masuk melalui
hidung. Vestibulum merupakan bagian dari rongga hidung yang
berambut dan berfungsu menyaring partikel-partikel asing
berukuran besar agar tidak masuk kesaluran pernafasan bagian
bawah. Dalam hidung juga terdapat saluran-saluran yang
menghubungkan saluran hidung dengan kelenjar air mata,
bagian ini dikenal dengan kantung nasolakrimalis. Kantung
nasolakrimalisini berfungsi mengalirkan air melalui hidung
yang berasal dari kelenjar air mata jika seseorang menangis.
(Muttaqin, 2012)
2. Sinus paranasal
Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mucus,
membantu pengaliran air mata melalui saluran nasolakrimalis,
dan membantu dalam menjaga permukaan rongga hidung tetapi
bersih dan lembap. (Muttaqin, 2012)
3. Faring
Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari
dasar tengkorang dan berakir sampai persambunganya dengan
esofagus dan batas tulang rawan kirkoid. Faring terfiri atas tiga
bagian yang dinamai berdasarkan letaknya, yakni nasofaring(di
12

belakang hidung), orofaring (dibelakang mulut), dan


laringofaring (dibelakang laring). (Muttaqin, 2012)
B. Saluran pernapasan bagian bawah
1. Laring
Laring (tenggorokan) terletak diantara faring dan
trachea. Berdasarkan letak vertebra servikalis, laring berada
diruas ke-4 atau ke-5 dan berakir di vertebra servikalis ruas ke-
6. Laring disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligament
dan otot rangka pada tulang hyoid da bagian atas dan trachea
di bawahnya. (Muttaqin, 2012)
2. Pita suara
Pita suara terletak di dalam laring. Ujung posterior pita
suara melebar pada kartilago arytenoid. Pergerakan kartilago
dilakukan otot laryngeal yang membuat pita suara dpat
menegang dan mengendur sehingga menimbulan beragam
tekanan. (Muttaqin, 2012)
3. Trachea
Trachea adalah sebuah tabung yang berdiameter 2,5 cm
dengan panjang 11 cm. trachea terletak setelah laring dan
memanjang kebawah setara dengan vertebra torakalis ke-5.
Ujung trachea bagian bawah bercabang menjadi dua bronkus
(bronkhi) kanan dan kiri. Percabagan bronkus kanan dan kiri
dikenal sebagai karina (carina). Trachea tersusun atas 16-20
kartilago hialin berbentuk huruf C yang melekat pada dinding
trachea dan berfungsi untuk melindungi jalan udara. Kartilagi
ini juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kolaps atau
ekspansi berlebihan akibat perubahan tekanan udara yang
terjadi dalam system pernapasan bagian terbuka dari bentuk C
kartilago trachea ini saling berhadapan secara posterior kea rah
13

esofagus dan disatukan oleh ligament elastis dan otot polos.


(Muttaqin, 2012)
4. Bronchus
Bronchus mempunyai struktur serupa dengan trachea.
Bronchus kiri dan kanan tidak simetris. Bronchus kanan lebih
pendek, lebih lebar dan arahnya hamper vertical dengan
trachea. Sebaliknya, bronchus kiri lebih panjang, lebih sempit
dan sudutnya pun lebih runcing. Bentuk anatomi yang khusus
ini memiliki implikasi klinis tersendiri seperti jika ada benda
asing yang terinhalasi, maka benda itu lebih memungkinkan
berada di bronchus kanan dibangdingkan dengan broonkhus
kiri karena arah dan lebarnya. (Muttaqin, 2012)
5. Bronchus pulmonaris
Bronchus pulmonaris bercabang beranting sangat
banyak. Vabang utama bronchus memiliki struktur serupa
trachea. Dinding bronchus dan cabang-cabangnya dilapisi
epitelium batang bersilia dan berlapis semu. Saluran yang
semakin kecil menyebabkan jenis peitelium bronchus
mengalami penyesuaian sesuai dengan fungsinya. (Muttaqin,
2012)
Bronkhiolus terminalis disebut saluran penghantar udara
karena fungsi utamanya adalah menghantarkan udara ke tempat
pertukaran gar di paru. Selain bronkhiolus terminalis terdapat
pula asinus yang merupakan unti fungsional paru sebagian
tempat pertukaran gas. Asinus terdiri atas bronkhiolus
respiratorius dan duktus alveolaris (alveolar duct) yang
seluruhnya dibatasi alveoli dan sakus alveolus terminalis yang
merupakan struktur akhir paru. (Muttaqin, 2012)
14

6. Duktus alveolaris dan alveoli


Bronkhiolus respiratorius terbagi dan bercabang menjadi
beberapa duktus alveolaris dan berakhir pada kantung udara
berdinding tipis yang disebut alveoli. Beberapa alveoli
bergabung membentuk sukus alveolaris. Setiap paru terdiri atas
skitar 150 juta alveoli (sukus alveolaris). Kepadatan sukus
alveolaris inilah yang memberi bentuk pada paru tampak
seperti spons. Jaringan kapiler darah mengelilingi alveoli
ditahan oleh serat elastis. Jaringan elastis ono menjaga posisi
antara alveoli dengan bronchus respiratorius. Adanya daya
rektoril dari serat ini selama ekspirasi akan mengurangi ukuran
alveoli dan membantu mendorong udara agar keluar dari paru.
(Muttaqin, 2012)
7. Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga torak, berbentuk kerucut
denganapeks berada diatas tulang iga pertama dan dasarnya
pada diagfragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus,
sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus
ini merupakan lobus yang terlihat, setiap paru-paru dapat
dibagi lagi menjadi beberapa sub-bagian menjadi sekitar
sepuluh unit terkecil yang disebut bronkopulmonari segmen.
(Somantri, 2012)
Kedua paru dipisahkan oleh ruang yang disbut
mediastinum. Jantung, aorta, vena kava, pembuluh paru-paru,
segofagus, bagian dari trakea, bronkus, dan kelenjar timus
terdapat di mediastinum ini. (Somantri, 2012)
8. Torak, diagfragma, dan pleura
Rongga torak berfungsi melindungi paru-paru, jantung
dan pembuluh darah besar. Bagian luar rongga torak terdiri atas
dua belas(12) pasang tulang iga (kosta). Pada bagan atas torak
15

di daerah leher terdapat dua otot tabahan inspirasi yaitu


skeleneus dan sternokleidomastoideus. Otot skaleneus
menaikkan tulang iga ke-1 dan ke-2 selama inspirasi untuk
memperluas rongga dada atas dan manstabilkan dinding dada.
Otot sternokleidomastoideus mengangkatsternum. Otot
parasternal, trapezeus dan pektolaris juga merupakan otot
tambahan inspirasi yang berguna untuk meningkatkan keja
napas. (Somantri, 2012)
Diantara tulang iga terdapat otot intercostal. Otot
intercostal eksternus yang menggerakkan tulang iga ke atas dank
e depan, sehingga dapat meningkatkan diameter anteroposterior
dari dinding dada. (Somantri, 2012)
Diagfragma terletak di bawah rongga torak. Pada
keadaan relaksasi. Diagfragma ini berbentuk kubah. Pengaturan
saraf diagfragma (nervus frenikus) terdapat pada tulang
belakang (spinal cord) di servikal C-3, maka akan menyebabkan
gangguan ventilasi. (Somantri, 2012)
Pleura merupakan membrane serosa yang menyelimuti
paru. Terdapat dua macam pluar, yaitu pleura parietal yang
melapisi rongga torak dan pleura viserl yang menutupi setiap
paru-paru. Diantara kedua pleura tersebut terdapat cairan pleura
seperti selaput tipis yang memungkinkan dedua permukaan
tersebut bergesekan satu sama lain selama respirasi, dan
mencegah pemisahan torak dan paru-paru. Tekanan rongga
pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir sehingga mevegah
terjadinya kolaps paru. Jika pleura bermasalah seperti
mengalami peradangan, maka udara atau cairan dapat masuk ke
dalam rongga pleura. Hal tersebut dapat menyebabkan paru-
paru tertekan dan kolaps. (Somantri, 2012)
16

9. Sirkulasi pulmoner
Suplai dara ke paru-paru dalam beberapa hal merupakan
sesuatu yang sangat unik. Pertma, paru-paru mempunyai dua
sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dab arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan dara teroksigenasi
dari sirkulasi sistemik yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronkialis
berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding
posterior bronkus. Vena bronkialis yang lebih besar akan
mengalirkan darahnya yang bermuara pada vena kava superior
dan mengembalikan darah ke antriumkanan. Vena bronkialis
yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis.
(Somantri, 2012)
Arteri pulmonalis berasal dari ventrikel kanan
mengalirkan darah vena ke paru-paru, di mana daerah tersebut
mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalina kapiler paru-
paru yang hals mengitari dan menutupi alveolus, merupakan
kontak yang diperlukan untuk pertukaran gas antara alveolus
dan darah. (Somantri, 2012)

2.1.4 Fisiologi Sistem Pernapasan


Sistem pernapasan dapat disebut juga dengan sistem respirasi
yang berarti bernafas kembali. Sistem ini berperan menyediakan
‫ ﮾‬yang di ambil dari atmosfer dan mengeluarkan
oksigen (O₂)
karbondioksida (CO₂) dari sel-sel (tubuh) menuju ke udara bebas.
Proses pernafasan terdiri dari tiga bagian, yaitu ventilasi, difusi
gas, dan transportasi gas. Berikut tabel Volume Normal pada paru :
17

Tabel 1.1 Tabel Volume Normal Paru

Singkatan Volume Pengertian Nilai


normal

Vital Volume udara 4.800


VC Capacity maksimal setelah ml
(Kapasitas inspirasi
Vital) maksimal
Inspiratory Volume udara 3.600
IC capacity maksimal setelah ml
(Kapasitas ekspirasi normal
Inspirasi)
Inspiratory Volume udara 3.300
IRV reserve maksimal setelah ml
Volume inspirasi
(volume maksimal
cadangan
inspirasi)
Expiratory Volume udara 1.000
ERV reserve maksimal setelah ml
volume ekspirasi normal
(volume
cadangan
ekspirasi)
Functional Volume gas 2.400
FRC residual dalam paru pada ml
capacity tahap ekspirasi
(volume istirahat
residu
fungsional)
Residual Volume udara 1.200
RV volume yang tersisa ml
(volume setelah ekspirasi
Residual) maksimal
Total lung Volume udara 6.000
TLC eapacity dalam paru ml
(kapasitas setelah inspirasi
paru normal) maksimal
18

Tidal Volume udara 500 ml


VT Volume yang dihirup dan
(Volume dihembuskan
alun nafas) pada setiap kali
bernafas.

Sumber : (Muttaqin, 2012)

2.1.5 Etiologi
a. Infeksi
1. Virus pernapasan yang paling sering dan lazim yaitu mycoplasma
pneumoniae yang terjadi pada usia beberapa tahun pertama dan
anak sekolah dan anak yang lebih tua.
2. Bakteri Streptococcus pneumoniae, S.pyogenes, dan
Staphylococcus aureus yang lazim terjadi pada anak normal.
3. Haemophilus influenza tipe b menyebabkan pneumonia bakteri
pada anak muda, dan kondisi akan jauh berkurang dengan
penggunaan vaksin efektif rutin.
4. Virus non-respirasik, bakteri enteric gram negatif, mikobakteria,
Chlamydia spp, Ricketsia spp, Coxiella, Pneumocytis carinii, dan
sejumlah jamur.
5. Virus penyebab pneumonia yang paling lazim adalah virus sinsitial
pernapasan (respiratory syncytial virus/ RSV), parainfluenzae,
influenza dan adenovirus.
b. Non Infeksi
1. Aspirasi makanan dan/atau asam lambung
2. Benda asing
3. Hidrokarbon dan bahan lipoid
4. Reaksi hipersensitifitas dan pneumonitis akibat obat atau radiasi
5. Penyebab pneumonia karena bakteri cenderung menimbulkan
infeksi lebih berat daripada agen non bakteri.
19

2.1.6 Faktor Predisposisi


Beberapa keadaan mengganggu mekanisme pertahanan tersebut
sehingga timbul infeksi paru misalnya kesadaran menurun, usia tua,
trakeostomi, pipa endotracheal, nyeri akibat operasi terutama setelah
operasi abdomen atau trauma pada dada atau abdomen, penyakit
neuromuscular, deformitas pada dada seperti kifoskoliosis yang berat dan
PPOM sehingga mengurangi kemampuan batuk efektif. Infeksi virus pada
saluran pernapasan menyebabkan nekrosis, deskuamasi, peningkatan
secret dan jumlah bakteri pathogen dalam secret, serta menyebabkan
gangguan pada gerakan silia dan mukus.
Table 1.2 Tabel faktor predisposisi pnemonia

Tipe Etiologi Faktor Risiko Tanda dan


Gejala
Sindrom Streptococcus Penyakit Sickle-cell, Onset mendadak
tipikal pneumonia, tanpa hipogamaglobulinema, dingin,
penyulit. dan multipel mieloma. menggigil, deman
Streptococcus (39-
pneumonia 40℃), nyeri dada
dengan penyulit pleuritis, batuk
(empyema produktif, sputum
penyebaran hijau dan
infeksi). purulent, dan
mungkin
mengandung
bercak darah
“berkarat”,
hidung
kemerahan,
retraksi
intercostal,
penggunaan otot
bantu napas, dan
timbul sianosis.

Sindrom Haemophilus Usia tua, COPD, dan


atipikal influenza, dan influenza terakhir.
20

Staphylococcus
aureus.

Penyebab umum : Anak-anak dan dewasa Onset bertahap


mycoplasma muda. dalam 3-5 hari,
pneumonia dan malaise, neyeri
virus patogen. kepala, nyeri
tenggorokan,
batuk kering, dan
nyeri dada karena
batuk.

Penyebab tak ISN terbaru influenza. Seperti diatas


umum : legionella ditambah nyeri
pneumophilia. abdomen, diare,
suhu >40℃, dan
distress
pernapasan.

Pneumcystic Transplantasi ginjal,


carinii. penyakit autoimun,
deficit imunologi, dan
debilitas.

Sindrom Aspirasi: bakteri Alkoholisme debilitas, Anaerob


aspirasi gram negative, perawatan (misal campuran :
Kleibsela, infeksi nosocomial), mulanya onset
Pseudomonas, dan gangguan perlahan, demam
Serratis, kesadaran. rendah, batuk,
Enterobacter, dan sputum
Escherichia produksi/bau
proteus, bakteri busuk. Rontgen :
gram positif, jaringan
Stophylococcus, interstitial yang
dan aspirasi asam terkena
lambung. tergantung dari
bagian parunya.
Infeksi gram
positif/negatif.
Gambaran klinis
mungkin sama
dengan
pneumonia
klasik, distress
21

respirasi
mendadak,
dyspnea berat,
sianosis, batuk,
hipoksemia, dan
diikiuti tanda-
tanda infeksi
sekunder.

Hematogen Aspirasi zat inert: Kateter intravena yang Gejala pulmonal


air, barium, bahan infeksi, endocarditis, timbul minimal
makanan. Hal ini penyalahgunaan obat, jika dibandingkan
terjadi bila bakteri sabses intraabdomen, gejala septicemia.
pathogen pionefrosis, dan Batuk
menyebar ke paru empyema kandung nonproduktif dan
melalui aliran kemih. nyeri pleuritik
darah, sama seperti pada
staphylococcus, emboli paru
E.coli, dan bakteri merupakan
anaerob enteric. keluhan tersering.

Sumber : (Mutaqqin, 2012)

2.1.7 Patofisisologi
Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran
pernafasan dari atas untuk mencapai bronchioles dan kemudian alveolus
sekitarnya. Kelainan yang timbul berupa bercak konsolidasi yang tersebar
pada kedua paru-paru, lebih banyak pada bagian basal.
Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada
udara, aspirasi organisme dari nasofarinks atau penyebaran hematogen dari
fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas
masuk ke bronkioli dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan
menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan
interstitial. Kuman pneumokokus dapat meluas melalui porus kohn dari
alveoli ke seluruh segmen atau lobus. Eritrosit mengalami perembesan dan
beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Alveoli dan septa menjadi penuh
22

dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit
leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi tidak
berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut,
aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit
eritrosit. Kuman pneumokokus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu
resolusi berlangsung, makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan
leukosit bersama kuman pneumokokus di dalamnya. Paru masuk dalam
tahap hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan. Secara
perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin di buang dari
alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa
kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas.
Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat berlangsung
dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus
maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat
mengakibatkan gangguan proses diffusi osmosis oksigen pada alveolus.
Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang
dibawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis penderita mengalami
pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent pada alveolus juga
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru, selain dapat
berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar juga
mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan berusaha
melawan tingginya tekanan tersebut menggunakan otot-otot bantu
pernafasan (otot interkosta) yang dapat menimbulkan peningkatan retraksi
dada.
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkus.
Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel radang akut,
terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh
dengan netrofil (bagian leukosit yang banyak pada saat awal peradangan
dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan
23

mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat


timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat dapat terjadi karena
absorbs yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh,
mengandung banyak kuman penyebab (treptokokus, virus dan lain0lain).
Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulent, dan menyebabkan
sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi
asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas.
Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan
mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan
silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan reflek batuk.
Perjalanan patofisiologi di atas bisa berlangsung sebaliknya yaitu
didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang
menjadi infeksi pada paru. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
24

2.1.8 Pathway
Bagan 2.1 pathway Pneumonia
(Riyadi & Sukarmin, 2009)
Bakteri Virus Penyebab
Bakteri Bakteri

Gram negative : Respiratorik 1. Mycoplasma


Gram positif : syncytial
1. Haemophilus 2. Aspirasi
1. Sthapylococu influenza 3. Benda asing
s anerus 2. Klebsiella 4. Jamur
2. Streptococus pneumonia
3. Mycobacterium
tuberculosis

Pneumonia
Bakteri

Bakteri masuk saluran pernapasan atas

Bronchiolus
Bakteri

Alveoli

Menimbulkan reaksi peradangan hebat dalam


Peningkatan suhu
Alveoli dan septa alveoli, jaringan interstitial dan meluas ke
seluruh segmen lobus tubuh
genuh dengan cairan
berisi eritrosist, fibrin, Hipertermi
dan secret.
Edema dan eksudat

Metabolisme
Obstruksi jalan napas
Alveolus mengalami kerusakan meningkat

Asupan oksigen
Gangguan difusi osmosis oksigen pada alveoli Ketidakseimba
berkurang
ngan nutrisi
Ketidakefektifan Gangguan pertukaran gas kurang dari
bersihan jalan napas eksudat kebutuhan
Suplai jaringan oksigen menurun dan terjadi kelemahan tubuh
eksudat
Intoleransi aktivitas
25

2.1.9 Manifestasi Klinis


Demam, kesulitan bernafas, dan >1 manifestasi berikut : takipnea,
batuk, napas cuping hidung, retraksi, crackle, penurunan bunyi napas
1. Dapat disertai pula dengan letargi, nafsu makan yang buruk, atau nyeri
local pada dada atau abdomen
2. Mengi dan hiperinflasi mengindikasikan bahwa penyakit disebabkan
oleh virus pada anak yang berusia lebih muda, dan Mycoplasma pada
anak yang lebih tua
(Lalani & Schneeweiss Suzan, 2011)
3. Dingin
4. Malaise
5. Nyeri pleural
6. Kadang dyspnea dan hemoptysis
7. Sel darah putih berubah (> 10.000/mm³ atau < 6.000/mm³)
(Astuti & Rahmat , 2010)
8. Produksi sputum mucoid, purulent, warna seperti karat
9. Pusing, anoreksia, malaise, mual sampai muntah
(Ridha, 2014)

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan untuk menengakkan
diagnose pneumonia adalah :
a) Pemeriksaan fisik
b) Sekresi respirasi
c) Radiologi dada/foto thorax menunjukkan infiltrat mungkin lobus
tunggal paru (pneumonia lobar) atau mungkin lebih difus (bronco-
pnemonia) (Astuti & Rahmat , 2010).
d) Penilaian oksigenasi merupakan indikasi derajat keparahan yang cukup
baik diunakan.
26

e) Aspirat nasofaring (Nasopharyngeal Aspirate, NPA) untuk deteksi


antigen virus biasanya tidak direkomendasikan secara rutin (Lalani &
Schneeweiss , 2011)
f) Biasanya didapatkan jumlah leukosit 15.000-40.000/mm³. Dalam
keadaan leukopenia, laju endap darah biasanya meningkat hingga 100
mm/jam. (Mutaqqin, 2012)
g) Pemeriksaan WBC (white blood cells) biasanya akan didapatkan kurang
dari 20.000 cells mm³
h) Pemeriksaan perwarnaan gram pada dahak, biasanya terdapat organisme
(Marni, 2014).
i) Kultur darah direkomendasikan pada semua pasien rawat inap pada
kultur darah hanya positif pada 10-30 % kasus. Jika kultur darah positif
maka akan terjadi laju endap darah. (Lalani & Schneeweiss , 2011)

2.1.11 Penatalaksanaan
1. Antibiotik diberikan sesuai penyebarannya
2. Ekspetoran yang dapat dibantu dengan postural drainase
3. Rehidrasi yang cukup dan adekuat
4. Latihan nafas dalam dan batuk efektif sangat membantu
5. Oksigenansi sesuai dengan kebutuhan dan yang adekuat
6. Isolasi pernafasan sesuai dengan kebutuhan
7. Diet tinggi kalori dan tinggi protein
(Ridha, 2014)
8. Kebersihan pulmonary yang baik, seperti : napas dalam, batuk, terapi
fisik pada dada (Astuti & Rahmat , 2010)

2.1.12 Komplikasi
Komplikasi menurut (Ridha, 2014) adalah :
1. Efusi pleura dan emfiema
2. Komplikasi sistemik
27

3. Hipoksemia
4. Pneumonia kronik
5. Bronkietasis
Apabila penyakit ini tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka
akan timbul komplikasi yang bisa membahayakan tubuh anak tersebut,
misalnya gangguan pertukaran gas, obstruksi jalan napas, gagal napas, efusi
pleura yang luas, syok dan apnea rekuren. (Marni, 2014)

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2.2.1 PENGKAJIAN 13 DOMAIN NANDA
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar dari proses keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan
atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual. Kemampuan perawat yang diharapkan
dalam melakukan pengkajian adalah mempunyai kesadaran/ tilik diri,
kemampuan mengobservasi dengan akurat, kemampuan berkomunikasi
terapeutik dan senantiasa mampu berespon secara efektif.
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan
subjektif dari klien. (Bararah & Jauhar, 2013)
a. PENGKAJIAN
Biodata : pneumonia lobaris sering terjadi secara primer pada
orang dewasa, sedangkan pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
primer lebih sering terjadi pada anak-anak. Ketika seorang dewasa
mempunyai penyakit bronkopneumonia, kemungkinan besar ada
penyakit yang mendahuluinya. Pneumonia pada orang dewasa paling
sering disebabkan oleh bakteri (yang tersering yaitu bakteri
Streptococcus pneumoniae pneumococcus), sedangkan pada anak-anak
penyebabnya adalah virus pernapasan. Penting diketahui bahwa usia 2-
3 tahun, merupakan usia puncak pada anak-anak untuk terserang
pneumonia. Pada usia sekolah, pneumonia paling sering disebabkan
28

oleh bakteri Mycoplama pneumoniae. Bayi dan anak-anak lebih rentan


terhadap penyakit ini karena respons imunitas mereka masih belum
berkembang dengan baik. Pneumonia sering kali menjadi infeksi
terakhir (sekunder) pada orang tua dan orang yang lemah akibat
penyakit tertentu. (Somantri, 2012)
a. HEALTH PROMOTION
1. Kesehatan Umum
a. Alasan MRS/ Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan
pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan adalah sesak
napas, batuk, dan peningkatan suhu tubuh/demam. (Mutaqqin,
2012)
b. Vital sign
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada anak dengan
pneumonia biasanya didapatkan :
1. Frekuensi nadi : takikardi
2. Frekuensi pernapasan : takipnea, dyspnea progesif,
pernafasan dangkal, penggunaan otot bantu pernafasan,
pelebaran nasal.
3. Suhu tubuh : hipertermi akibat penyebaran toksik
mikroorganisme yang direspon oleh hipotalamus. (Riyadi &
Sukarmin, 2009)
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada awalnya keluhan batuk tidak produktif, tapi selanjutnya
akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulent
kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, kecoklatan dan kemerahan,
dan sering kali berbau busuk. Klien biasanya mengeluh megalami
demam tinggi dan menggigil ( onset mungkin tiba-tiba dan
berbahaya). Adanya keluhan nyeri dada pleuritis, sesak napas,
29

peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan nyeri kepala.


(Mutaqqin, 2012)
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian diarahkan pada waktu sebelumnya, apakah klien
pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan
gejala seperti luka tenggorok, kongesti nasal, bersin, dan demam
ringan. (Mutaqqin, 2012)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit infeksi, TBC, pneumonia, dan penyakit
infeksi saluran napas lainnya.
b. NUTRITION
Anak dengan pneumonia sering muncul anoreksia (akibat respon
sistemik melalui kontrol saraf pusat), mual dan muntah ( karena
peningkatan rangsangan gaster sebagai dampak peningkatan toksik
mikroorganisme). (Riyadi & Sukarmin, 2009)
Gejala : mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan. (Mutaqqin, 2012), Tanda : hiperaktif bunyi usus, kulit
kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrisi. (Wijayaningsih ,
2013)
c. ALIMINATION AND CHANGE
Penderita sering mengalami penurunan produksi urin akibat
perpindahan cairan melalui proses evaporasi karena demam. (Riyadi &
Sukarmin, 2009)
d. ACTIVITY/REST
Data yang sering muncul adalah anak mengalami kesulitan tidur
karena sesak nafas. Penampilan anak terlihat lemah, sering menguap,
mata merah, anak juga sering manangis pada malam hari karena
ketidaknyamanan tersebut. Anak tampak menurun aktivitas dan
latihannnya sebagai dampak kelemahan fisik. Anak tampak lebih
30

banyak minta digendong orangtuanya atau bedrest. (Riyadi &


Sukarmin, 2009)
Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan
ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. (Mutaqqin, 2012)
e. PERCEPTION/COGNITION
Penurunan kognitif untuk mengingat apa yang pernah
disampaikan biasanya sesaat akibat penurunan asupan nutrisi dan
oksigen pada otak. Pada saat di rawat tampak bingung kalua ditanya
tentang hal-hal baru disampaikan. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
f. SELF PERCEPTION
Tampak gambaran orang tua terhadap anak diam kurang
bersahabat, tidak suka bermain, ketakutan terhadap orang lain
meningkat. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
g. ROLE RELATIONSHIP
Anak tampak malas kalua diajak bicara baik dengan teman sebaya
maupun yang lebih besar, anak lebih banyak diam dan selalu bersama
dengan orang terdekat yaitu orang tua. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
h. SEXUALITY
Pada kondisi sakit dan anak kecil masih sulit terkaji. Pada anak
yang sudah mengalami pubertas mungkin terjadi gangguan menstruasi
pada wanita tetapi bersifat sementara dan biasanya penundaan. (Riyadi
& Sukarmin, 2009)
i. COPING/STRESS TOLERANCE
Aktifitas yang sering tampak saat mengahdapi stress adalah anak
sering menangis, kalua sudah remaja saat sakit yang dominan adalah
mudah tersinggung dan suka marah. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
j. LIFE PRINCIPLES
Tidak ada masalah
31

k. SAFETY/PROTECTION
Gejala yang timbul dari penyakit pneumonia yaitu riwayat
gangguan sistem imun, demam, sakit kepala, nyeri dada meningkat dan
batuk myalgia, atralgia.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin
pada kasus rubella/varisela. (Wijayaningsih , 2013)
l. COMFORT
Pernafasan cepat dan dangkal dengan disertai pernafasan cuping
hidung, gelisah. (Riyadi & Sukarmin, 2009)
Gejala : riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dyspnea, pernafasan
dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal.
Tanda : sputum merah muda, berkarat atau purulent. (Wijayaningsih ,
2013)
m. GROWTH/DEVELOPMENT
Pertumbuhan dan perkembangan : pertumbuhan paru dikaitkan
dengan masa kehamilan, berat badan dan pajanan semasa anak-anak.

2.2.2 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


a. Pemeriksaan fisik
b. Sekresi respirasi
c. Radiologi dada/foto thorax menunjukkan infiltrat mungkin lobus
tunggal paru (pneumonia lobar) atau mungkin lebih difus (bronco-
pnemonia) (Astuti & Rahmat , 2010)
d. Penilaian oksigenasi merupakan indikasi derajat keparahan yang
cukup baik diunakan.
e. Aspirat nasofaring (Nasopharyngeal Aspirate, NPA) untuk deteksi
antigen virus biasanya tidak direkomendasikan secara rutin (Lalani &
Schneeweiss , 2011)
32

2.2.3 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


a) Biasanya didapatkan jumlah leukosit 15.000-40.000/mm³. Dalam
keadaan leukopenia, laju endap darah biasanya meningkat hingga 100
mm/jam. (Mutaqqin, 2012)
b) Pemeriksaan WBC (white blood cells) biasanya akan didapatkan kurang
dari 20.000 cells mm³
c) Pemeriksaan perwarnaan gram pada dahak, biasanya terdapat organisme
(Marni, 2014).
d) Kultur darah direkomendasikan pada semua pasien rawat inap pada
kultur darah hanya positif pada 10-30 % kasus. Jika kultur darah positif
maka akan terjadi laju endap darah. (Lalani & Schneeweiss , 2011)

2.2.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Menurut (Riyadi & Sukarmin, 2009) diagnosa yang muncul pada
pasien Pneumonia adalah :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
b. Gangguan pertukaran gas
c. Hipertermi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
e. Intoleransi aktivitas

2.2.5 INTERVENSI
Intervensi keperawatan terhadap diagnosa yang muncul pada pasien
dengan Pneumonia, berdasarkan NOC NIC adalah sebagai berikut :
Tabel 1.3 Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC

1 Ketidakefektifan NOC : Respiratory status : Airway managemen :


bersihan jalan napas Airway patency
1. Buka jalan nafas dengan
Definisi : Setelah dilakukan tindakan teknik chin lift atau jaw trusht.
keperawatan selama 2 X 24 jam 2. Posisikan pasien untuk
maka diharapkan bersihan jalan memaksimalkan ventilasi.
33

Ketidakmampuan nafas akan efektif dengan 3. Identifikasi kebutuhan aktual/


untuk membersihkan kriteria hasil : potensial pasien untuk
sekresi atau obstruksi memasukkan alat membuka
dari saluran napas 1. Mendemonstrasikan batuk jalan nafas.
untuk efektif suara napas yang 4. Masukkan alat nasopharyngeal
mempertahankan bersih airway atau oropharyngeal
bersihan jalan napas. 2. Tidak ada dyspnea ( mampu airway.
mengeluarkan sputum, 5. Lakukan fisioterapi dada.
Batasan mampu bernapas dengan 6. Buang secret dengan
Karakteristik : mudah ). memotivasi pasien untuk
melakukan batuk atau
1) Suara nafas
pengisapan lendir.
tambahan
7. Memotivasi klien untuk
2) Perubahan
bernapas pelan dan dalam.
frekuensi napas
8. Gunakan teknik
3) Perubahan irama
menyenangkan untuk
nafas
memotivasi bernafas dalam.
4) Sianosis
9. Intruksikan cara batuk efektif.
5) Dyspnea
6) Sputum dalam
jumlah yang
berlebihan
7) Gelisah
Faktor yang
berhubungan :
Lingkungan obstruksi
jalan napas ( spasme
jalan napas, mucus
dalam jumlah
berlebihan )

2 Hipertermi NOC : Thermoregulasi Fever Treatment :

Definisi : Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda vital


keperawatan selama 2x24 jam 2. Longgarkan atau lepaskan
Suhu inti tubuh diatas maka diharapkan suhu tubuh pakaian pasien
kisaran normal diurnal akan normal dengan kriteria 3. Berikan metode pendinginan
karena kegagalan hasil : eksternal (misal kompres
termoregulasi. dingin pada leher, abdomen,
1. Menunjukkan suhu tubuh kulit kepala, ketiak) sesuai
Batasan yang normal kebutuhan
Karakteristik : 2. Kulit normal (tidak kering 4. Hentikan aktivitas fisik
dan tidak kemerahan) 5. Monitor suhu tubuh
1. Apnea
3. Tanda-tanda vital dalam menggunakan alat yang sesuai
2. Gelisah
rentang normal
3. Kejang
34

4. Kulit kemerahan
5. Kulit terasa
hangat
6. Takikardi
7. Takipnea

Faktor yang
berhubungan :
1. Dehidrasi
2. Peningkatan laju
metabolisme
3. Pakaian yang tidak
sesuai
4. Penurunan
pespirasi penyakit

3 Ketidakseimbangan NOC : Status Nutrisi Manajemen status nutrisi


nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pemeriksaan TTV
keperawatan selama 7 x 24 Jam 2. Lakukan pemeriksaan BB
Definisi : diharapkan nutrisi sesuai dengan pasien
kebutuhan tubuh dengan kriteria 3. Lakukan anamnesa tentang
Asupan nutrisi tidsk hasil : keluhan tidak nafsu makan
cukup untuk 4. Kaji status nutrisi pasien
memenuhi kebutuhan 1. Menunjukkan asupan gizi 5. Identifikasi dan kaji adanya
metabolik. yang normal alergi makanan
2. Asupan makanan normal 6. Motivasi keluarga tentang diet
Batasan 3. Asupan cairan normal yang tepat
karakteristik :
7. Beri informasi yang tepat
1. BB kurang dari tentang kebutuhan nutrisi
20% atau lebih 8. Pantau kandungan nutrisi dan
dibawah berat kalori pada catatan asupan
badan ideal 9. Ajarkan pada pasien dan
2. Asupan makanan keluarga tentang makanan
kurang dari bergizi dan tidak mahal
kebutuhan 10. Pantau porsi habis makanan
metabolic setiap hari
3. Kehilangan berat 11. Pantau cairan masuk klien
badan dengan 12. Tentukan dengan kolaborasi
asupan mkanan dengan ahli gizi jika diperlukan
adekuat. tentang jumlah kalori, dan jenis
Faktor yang zat gizi yang dibutuhkan untuk
berhubungan : memenuhi kebutuhan nutrisi
35

1. Ketidakmampuan 13. Kolaborasi dengan dokter


untuk menelan untuk pemberian terapi
2. Ketergantungan zat
kimia
3. Penyakit kronis
kesulitan mnelan
4. Faktor ekonomi
5. Kurang
pengetahuan hilang
nafsu makan mual
muntah
6. Gangguan
psikologis

4 Gangguan NOC : Respiratory Status : Gas NIC : Respiratory Monitoring


pertukaran gas Exchange
1. Posisikan pasien untuk
Definisi : Setelah dilakukan tindakan memaksimalkan ventilasi
Kelebihan atau defisit keperawatan selama 1 X 24 jam 2. Monitor rata-rata, kedalaman,
oksigenasi dana tau/ maka diharapkan gangguan irama dan usaha respirasi
eliminasi karbon pertukaran gas dapat teratasi 3. Catat pergerakan dada, amati
dioksida pada dengan kriteria hasil : kesimetrisan, penggunaan otot
membran alveolar- tambahan, retraksi otot
1. AGD dalam batas normal supraclavicular dan intercostal
kapiler.
2. Saturasi oksigen dalam batas 4. Monitor suara nafas
normal 5. Auskultasi suara nafas, catat
Batasan karakteristik 3. Keseimbangan ventilasi dan area penurunan/ tidak adanya
:
perfusi normal ventilasi dan suara tambahan
1. Dispnea
2. Gas darah arteri 6. Tentukan kebutuhan suction
abnormal
3. Hipoksia
4. Napas cuping
hidung
5. Penurunan karbon
dioksida
6. pH arteri abnormal
7. Pola pernapasan
abnormal (mis,
kecepatan, irama,
kedalaman)

Faktor Yang
Berhubungan :
36

1. Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Perubahan
membran alveolar-
kapiler

5 Intoleransi aktivitas NOC : Toleransi Terhadap NIC : Intoleran Aktivitas


Definisi : Aktivitas
Ketidakcukupan 1. Kaji adanya faktor yang
energi psikologis atau 1. Berpartisipasi dalam menyebabkan kelelahan
fisiologis untuk aktivitas fisik tanpa disertai 2. Monitor nutrisi dan sumber
mempertahankan atau peningkatan tekanan darah, energi yang adekuat
menyelesaikan nadi dan RR 3. Monitor pasien akan adanya
aktivitas kehidupan 2. Mampu melakukan aktivitas kelelahan fisik dan emosi
sehari-hari yang harus sehari-hari (ADLs) secara secara berlebihan
atau yang ingin mandiri 4. Bantu klien untuk
dilakukan. 3. Keseimbangan aktivitas dan mengidentifikasi aktivitas
istirahat yang mampu dilakukan
Batasan 5. Monitor respon fisik, emosi,
karakteristik : sosial dan spiritual
1. Dyspnea setelah
beraktivitas
2. Keletihan
3. Ketidaknyamanan
setelah beraktivitas

Faktor yang
berhubungan :
1. Gaya hidup kurang
gerak
2. Imobilisasi
3. Ketidakseimbangan
antara suplai dan
kebutuhan oksigen
4. Tirah baring

(Herdman & Kamitsuru, 2015), (Moorhed & dkk, 2013), (Bulechek & dkk, 2013)
37

2.2.6 IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan
pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/
kolaborasi, dan tindakan rujukan/ ketergantungan. (Bararah & Jauhar,
2013)
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Jenis tindakan pada implementasi terdiri dari
tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan tindakan
rujukan/ketergantungan. (Bararah & Jauhar, 2013)

2.2.6 EVALUASI
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada
tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses
keperawatan dapat berhasil atau gagal. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam evaluasi ini adalah :
1) Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan
yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari
rencana keperawatan dapat diterima.
2) Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.
3) Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien
untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau
intervensi keperawatan.
4) Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah
keputusan bersama antara perawat dan klien.
5) Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu
sendiri. Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam
menetapkan rencana asuhan keperawatan, termasuk pengetahuan
mengenai standar asuhan keperawatan, respons klien yang normal
38

terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan konsep teladan dari


keperawatan. (Bararah & Jauhar, 2013)

2.3 KONSEP KEKURANGAN NUTRISI


2.3.1 Pengertian Kekurangan Nutrisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
matabolik. (NANDA, 2015)
Kekurangan nutrisi adalah suatu keadaan dimana seseorang
dalam keadaan tidak puasa (normal) atau berisiko kekurangan berat
badan akibat ketidak cukupan asupa nutrisi untuk kebutuhan tubuh
untuk melakukan metabolisme. (Ernawati, 2012)

2.3.2 Tanda klinis kekurangan nutrisi


a. Berat badan 10-20% di bawah normal
b. Tinggi badan dibawah ideal
c. Lingkar kulit trisep lengan tengah kurang dari 60% ukuran standar
d. Adanya kelemahan dan nyeri tekan pada otot
e. Adanya penurunan albumin serum
f. Adanya penurunan tranfein (Ernawati, 2012)

2.3.3 Etiologi kekurangan nutrisi


a. Meningkatnya kebutuhan kalori dan kesulitan dalam mencerna
kalori akibat infeksi atau kanker
b. Disfagia akibat kelainan persarafan
c. Penurunan absorbsi nutrisi akibat penyakit cronh atau intoleransi
laktosa
d. Nafsu makan menurun (Ernawati, 2012)
39

2.3.4 Faktor Resiko


Menurut (NANDA, 2015) :
a. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal
b. Bising usus hiperaktif
c. Ketidakmampuan memakan makanan
d. Kurang minat pada makanan
e. Membrane mukosa pucat
f. Nyeri abdomen
g. Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat

2.3.5 Faktor yang berhubungan


Menurut (NANDA, 2015) :
a. Faktor biologis
b. Faktor ekonomis
c. Gangguan psikososial
d. Ketidakmampuan makan
e. Ketidakmampuan mencerna makanan
f. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
g. Kurang asupan makanan

2.3.6 Macam-macam Nutrien


a. Karbohidrat
karbohidrat tersusun atas karbon, hydrogen, dan oksigen.
Rasio antara hydrogen dan oksigen pada umumnya 2:1.
Karbohidrat dikelompokkan menjadi karbohidrat sederhana dan
kompleks. Karbohidrat sederhana tersusun atas gula sederhana, dan
karbohidrat kompleks tersusun lebih dari dua unit gula sederhana di
dalam satu molekul.
Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi utama tubuh,
karbohidrat juga memberikan rasa manis pada makanan terutama
40

monosakarida dan disakarida. Karbohidrat juga berperan dalam


menghemat penggunaan protein, mencegah terjadinya oksidasi
lemak yang tidak sempurna, membantu mengeluarkan feses dengan
mengatur peristaltik usus dan memberikan bentuk pada feses.
Bentuk karbohidrat meliputi Monosakarida yaitu gula paling
sederhana. Kelompok monosakarida antara lain glukosa, fruktosa,
dan galaktosa. Jumlah monosakarida dalam keadaan normal sangat
sedikit pada makanan. Disakarida yaitu ikatan dua gula yang
jumlahnya juga sedikit di dalam makanan dan yang terakhir adalah
polisakarida, jenis polisakarida yang penting adalah pati, dekstrin,
glikogen, dan polisakarida nonpati atau serat. Pati terdapat dalam
padi-padian, biji-bijian, dan umbi-umbian. (Rosdahl & Kowalski,
2014)
b. Protein
Protein adalah dasar semua sel tubuh dan merupakan satu-
satunya zat gizi yang membentuk dan memperbaiki jaringan. Tanpa
adanya protein dalam diet, tubuh mulai menggunakan protein dari
aliran darah, otot, dan organ untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Setiap organ utama/besar, kecuali otak, akan menyusut selama
terjadinya defisiensi protein dalam waktu lama. Protein tersusun
atas asam amino, yang terdiri atas karbon, hydrogen, oksigen, dan
nitrogen. (Rosdahl & Kowalski, 2014)
c. Lemak
Lemak (lipid) merupakan nutrisi yang paling berkalori
sekitar 9 kkal/gram dalam tubuh. Lipid tersusun dari karbon,
hydrogen dan oksigen. Tapi proporsi setiap elemen berbeda dari
karbohidrat. Lemak (lipid) dasar disusun dari trigliserida dan asam
lemak.
a. Trigiserida yang bersikulasi melalui aliran darah yang dibentuk
oleh tiga asam yang melekat pada gliserol.
41

b. Asam lemak tersusun dari rantai atom karbon dan atom


hydrogen dengan kelompok asam pada satu ujung rantai dan
kelompok metil pada ujung lain.

Proses selama asam lemak disintesis disebut lipogenesis.


Asam lemak dapat jenuh, diaman tiap karbon dalam rantai memiliki
dua atom hydrogen yang melekat dengan yang lain dengan ikatan
ganda. Asam lemak tidak jenuh tunggal memiliki dua atau lebih
ikatan ganda, sedangkan asam lemak tidak jenuh ganda memiliki
dua ikatan ganda karbon atau lebih. Beragam tipe asam lemak
memiliki kepentingan untuk kesehatan dan timbulnya penyakit.

Pencernaan lemak dimulai dalam lambung (meskipun hanya


sedikit), karena dalam mulut tidak ada enzim pemecah lemak.
Lambung mengeluarkan enzim lipase untuk mengubah sebagian
kecil lemak menjadi asam lemak dan gliserin, kemudian diangkut
melalui getah bening dan selanjutnya masuk ke dalam peredaran
darah untuk kemudian tiba dihati. Sintesis kembali terjadi dalam
saluran getah bening, mengubah lemak gliserin menjadi lemak
seperti aslinya. (Ernawati, 2012)
Tabel 1.4 Tabel kebutuhan energi per hari
Umur Berat Badan Tinggi Badan Energi (kkal)

0-6 bulan 5,5 60 560


7-12 bulan 8,5 71 800
1-3 tahun 12 89 1220
4-6 tahun 18 108 1720
7-9 tahun 23,5 120 1860
42

d. Mineral
Unsur mineral adalah unsur kimia lain yang dibutuhkan
tubuh selain karbon, hydrogen dan nitrogen. Di dalam makanan
unsur-unsur mineral banyak terdapat dalam bentuk garam-garam
organic seperti, natrium dan klorida. Tetapi, ada juga unsur-unsur
mineral dalam bentuk senyawa seperti sulfur dan fosfor. Sekitar 4%
dari tubuh manusia terdiri dari mineral. Unsur-unsur mineral seperti
fosfor dan kalsium terdapat dalam jumlah yang besar pada tubuh
manusia. Mineral lain yang dengan jumlah yang relative sedikit yang
terdapat dalam tubuh manusia dikenal dengan kelumit (trace
element). (Ernawati, 2012)
Tabel 1.5 Unsur mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
Unsur mineral utama Unsur Kelumit

Kalsium Kromium
Klorin Timah
Besi Tembaga
Magnesium Fluorinlodin
Fosfor Mangan
Kalium Molibdenum
Natrium Selenium
Sulfur Zink

e. Air
Sekitar 60% berat badan orang dewasa dan hingga 80%
berat badan banyi adalah air. Selain itu, orang dewasa kehilangan
sekitar 2,37 l air per hari melalui keringat, berkemih, dan
mengeluarkan napas. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan
dalam sel tubuh, kehilangan cairan harus diganti. Makanan
memberikan beberapa cairan, tetapi harus ditambah dengan
meminum air dan cairan lainnya. Sebagian besar pihak sepakat
bahwa rata-rata orang dewasa memerlukan 6 hingga 8 gelas cairan
per hari.
43

Air merupakan penyusun terbesar sel. Darah


mendistribusikan zat gizi ke sel, air adalah salah satu komponen
esensial dalam darah, air adalah pelarut tempat terjadinya perubahan
kimiawi penting dalam tubuh dan juga diperlukan untuk
mengendalikan suhu tubuh. Tidak ada organ tubuh yang dapat
berfungsi tanpa air. (Rosdahl & Kowalski, 2014)
f. Vitamin
Vitamin merupakan subtansi organik dalam jumlah kecil
pada makanan yang esensial untuk metabolism normal. Tubuh tidak
mampu mensintesis vitamin dalam jumlah yang dibutuhkan dan
bergantung pada asupan diet. Walaupun vitamin terkadang dibanyak
makanan juga dipengaruhi oleh proses, penyimpanan, persiapan.
Kandungan vitamin tertinggi biasanya terdapat pada makanan segar
yang digunakan dengan cepat setelah terpapar panas, udara dan air
yang minimal. Vitamin diklasifikasikan sebagai yang larut air dan
lemak. Secara umum, vitamin dibagi menjadi dua kelompok, yakni
vitamin larut lemak dan vitamin larut dalam air.

1. Vitamin larut dalam air


Vitamin larut air adalah vitamin C dan vitamin B kompleks, yang
terdiri dari delapan vitamin. Vitamin yang larut air tidak dapt
disimpan dalam tubuh dan harus tersedia sebagai asupan makanan
setiap hari. Hipervitaminosis adalah kondisi yang disebabkan oleh
asupan vitamin yang berlebihan, jarang terjadi pada vitamin yang
larut dalam air. Meskipun demikian, dosis besar dengan
pemberian vitamn C dan piridoksin (B6) mengarah kepada
toksisitas. Vitamin adalah zat kimia yang digunakan sebagai
katalis dalam reaksi biokimia. Jika kebutuhan vitamin dalam
tubuh sebagai katalis sudah terpenuhi, maka kelebihan vitamin
44

pada tubuh akan menjadi kimia bebas dan menjadi toksik untuk
tubuh.
2. Vitamin yang larut dalam lemak
Jenis vitamin yang larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E dan
K. vitamin ini disimpan dalam tubuh kecuali vitamin D yang
disediakan melalui asupan diet. Vitamin yang larut dalam lemak
bisa mengakibatkan toksisitas dan hal ini sudah diketahui sejak
bertahun-tahun yang lalu. Toksisitas vitamin jenis ini bisa terjadi
apabila dengan asupan yang berlebih yang bisa didapat dari
makanan sintetik, jumlah yang berlebihan dari makanan yang
diperkaya dan diet yang mencakup benyaknya minyak hati ikan.
(Ernawati, 2012)
Tabel 1.6 Jenis vitamin, sumber dan fungsi
Jenis Sumber Fungsi
Vitamin
Vitamin A Lemak hewani, mentega, Membantu dalam
keju, kuning telur, susu pertumbuhan sel tubuh,
legkap, mineral hati ikan, penglihatan, rambut kulit
daunan hijau, buah yang yang sehat, integritas
kuning dan sayuran. membrane epitel,
mencegah xerophtalmia.
Vitamin B1 Ikan, daging ayam dan tak Metabolisme
(Thiamin) berlemak, kacang-kacangan karbohidrat, membantu
larut dalam dan susu. kelancaran sistem
air persarafan, mencegah
beri-beri atau penyakit
yang ditandai neuritis.
Vitamin B2 Telur, sayuran daun hijau, Membantu dalam
(Riboflavin) daging tak berlemak, susu, pembentukan enzim
larut dalam bijian lengkap. pertumbuhan, membantu
air adaptasi cahaya dalam
mata.
Vitamin B3 Daging tak berlemak, hati Metabolisme
(Niacin) ikan, kacang-kacangan, karbohidrat, lemak dan
bijian lengkap, telur dan protein, komponen
hati. enzim, mencegah
45

menurunnya nafsu
makan.
Vitamin B6 Biji-bijian, sayuran, daging, Membantu kesehatan
(Pyridoksin) pisang. gusi dan gigi,
pembentukan sel darah
merah, metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein.
Vitamin Hati dan ginjal, susu, Metabolisme protein,
B12 daging tidak berlemak, pembentukan sel darah
(Cyanocoba susu, ikan dan kerang laut. merah, kesehatan
lamin) jaringan, mencegah
anemia.
Vitamin C Buah, jus jeruk, tomat, buah Kesehatan tulang, gigi
(Asam berry, kubis, sayuran hijau dan gusi, pembentukan
Ascorbut) dan kentang. dinding pembuluh darah
dan pembuluh kapiler,
kesembuhan jaringan dan
tulang, memudahkan
penyerapan zat besi dan
asam folik.
Vitamin D Minyak hati ikan, susu, Penyerapan kalsium dan
kunig telur, mentega, hati, posfor, mencegah
kerang. rachitis.
Vitamin E Sayuran daun hijau Pembentukansel darah
(Alpha merah, melindungi asam
Tecopherol) amino utama.
Vitamin Kuning telur, sayuran hijau, Kegiatan enzim,
(biotin) susu, hati dan ginjal. metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein.
Vitamin K Hati, telur, sayuran daun Produksi protombin.
hijau.
46

2.2.8. Teori Oral Hygiene


a. Definisi

Oral hygiene adalah tindakan yang ditujukan untuk menjaga


kontinuitas bibir, lidah dan mukosa mulut, mencegah infeksi dan
melembabkan membrane mulut dan bibir. Sedangkan menurut (Hidayat
dan Iliyah 2012), oral hygiene merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan pada pasien yang tidak mampu mempertahankan kebersihan
mulut dan gigi secara mandiri atau dengan bantuan perawat. ( Yuliana
& Raule, 2017)
Oral hygiene merupakan salah satu tindakan keperawatan yang
diperlukan agar kondisi rongga mulut tetap bersih dan segar sehingga
terhindar dari infeksi, tetapi perawat gigi belum melaksanakan tindakan
oral hygiene secara optimal pada pasien rawat inap. (Fatmala Eni, 2018)
b. Tujuan
Menurut (Hidayat, 2010) tujuan dari tindakan oral hygiene
adalah sebagai berikut :
1. supaya mulut dan gigi tetap sehat, bersih/ tidak berbau
2. mencegah infeksi mult (stomatitis), kerusakan gigi (karies)
3. memberikan perasaan senang dan segar pada klien
4. meningkatkan daya tahan tubuh
5. melaksanakan kebersihan perorangan sebagai salah satu usaha
penyuluhan kesehatan masyarakat
6. Memperbaiki fungsi mulut untuk meningkatkan nafsu makan
(Hidayat & Uliyah, 2008)
c. Indikasi Oral Hygiene
Klien tidak dapat melakukan sendiri, misalnya :
1. Klien tidak sadar
2. Kilen anak – anak
3. Klien patah tulang lengan, tulang rahang, dll
47

4. Klien pasca operasi yang masih puasa (Hidayat A. A., 2010)


d. Prosedur Pelaksanaan
1. bawa peralatan ke dekat klien
2. pakai sarung tangan
3. pasang pengalas/ handuk di bawah dagu dan pipi pasien
4. letakkan bengkok dibawah dagu klien agar air bekas kumur dapat
ditampung
5. berikan air kumjur-kumur pada klien
6. berikan sikat gigi yang sudah diberi pasta gigi secukupnya dan telah
dibasahi air oleh klien
7. berikan kesempatan klien untuk menyikat giginya sampai bersih
selanjutnya sarankan untuk kumur-kumur dengan air bersih,
tampung air dalam bengkok
8. masukkan sikat gigi ke dalam gelas yang telah kosong
9. angkat gelas dan bengkok/ kom dan letakkan di atas kain
10. keringkan bibir dan sekitarnya dengan menggunakan handuk/ tissue
11. angkat handuk atau pengalas, lepas sarung tanggan lalu masukkan
dalam bengkok kosong
12. rapikan/ atur kembali posisi dan sikap klien dengan nyaman
13. bereskan peralatan dan kembalikan ke tempat semula
14. perawat mencuci tangan
15. dokumentasikan tindakan

2.2.9. Cara meningkatkan Nafsu Makan Pada Pasien Rawat Inap


Tata laksana kesulitan makan bersifat individual bagi masing-
masing anak, namun pada dasarnya mencakup tiga aspek, yaitu identifikasi
faktor penyebab, evaluasi dampak yang telah terjadi, serta upaya
memperbaiki nutrisi dan faktor penyebab.
Berdasarkan ketiga hal tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah :
48

1. Mengatasi faktor penyebab (organik, neuromotor, infeksi, dan


psikologik)
2. Menangani dampak yang telah terjadi (malnutrisi atau defisiensi nutrien
tertentu)
3. Melakukan upaya nutrisi dengan memperbaiki asupan makanan
4. Reedukasi tentang perilaku makan pada anak maupun orangtua/keluarga
ataupun pengasuh anak.
5. Fisioterapi bagi anak yang mengalami kesulitan mengunyah/menelan
baik karena faktor neurologik ataupun karena pembinaan keterampilan
makan yang tidak adekuat. ( Soedibyo & Mulyani, 2017)
6. Penyajian makanan dalam jumlah kecil dan jangan terlalu sering diberi
minum (Sudjatmoko, 2016)
7. Faktor psikologi menjadi salah satu faktor internal seseorang dalam
memilih makanan. Salah satu macam psikologis yaitu depresi yang
merupakan tekanan hasil reaksi kejiwaan seseorang terhadap stressor
yang di alami dan jika berkelanjutan akan mempengaruhi kesehatan.
Semakain tinggi depresi semakin tinggi pula makanan yang tersisa.
Untuk mengurangi tingkat stressor pada anak yang mengalami
hospitalisasi dapat dilakukan terapi bermain untuk anak-anak. (Habiba
& Adriani, 2017)
8. Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang
sempit dan kurang nyaman tingkat kebersihan kurang, dan pencahayaan
yang terlalu terang atau terlalu redup dapat menimbulkan stessor pada
anak yang mengalami hospitalisasi sehingga memengaruhi pola makan
anak. Terapi bermain dapat mengurangi tingkat stressor anak, biarkan
anak memegang spuit, vial, swab alkohol, dan berikan injeksi pada boneka
atau binatang mainan serta bermain menyuapi boneka untuk pemenuhan
nutrisi. (Noverita, Mulyadi, & Mudatsir, 2017)
9. Peningkatan Kualitas Cita Rasa Makanan pada Menu Rumah Sakit
Terhadap Konsumsi Makanan, Asupan Zat Gizi, dan Status Kesehatan
49

Pasien. pasien yang mendapatkan makanan yang lebih baik kualitas cita
rasanya mengalami peningkatan berat badan (1.3±1 kg), IMT (0.5±0.4),
dan lama perawatan (15.7±9.8 hari) yang lebih singkat 4.5 hari. (Liber,
Andarwulan, & Adawiyah, 2016)
10. Anak yang sedang sakit akan mengalami penurunan selera makan dan
asupan makanan. Gastroesophageal reflux, dan alergi terhadap makanan
tertentu dapat mengakibatkan perasaan mual atau tidak nyaman sehingga
anak mendapatkan persepsi negative terhadap makanannya. Teman
sebaya sangat berpengaruh dalam pemilihan dan sikap makan anak.
Dengan makan dalam kelompok, anak akan makan dengan variasi menu
yang bergizi dan porsi yang lebih banyak dibanding menyantapnya
seorang diri. Jadi untuk meningkatkan nafsu makan pada anak yang
sedang sakit dapat dilakukan dengan cara makan bersama dengan teman
sebaya yang sedang mengalami hospitalisasi juga. (Sudjatmoko, 2016)
11. Bila anak menolak menghabiskan porsi makan mereka, sebaiknya piring
makan diangkat tanpa disertai komentar. Tidakan tersebut merupakan
hal tersulit bagi orangtua dibanding anak mereka. Diharapkan pada jam
makan berikutnya anak akan menikmati menu yang disajikan karena
perut yang lapar. (Sudjatmoko, 2016)

2.2.10. Indikator Nutrisi


Indikator pada pasien Pneumonia dengan masalah ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berdasarkan NOC (Moorhead, Johnson,
Maas, & Swanson, 2016).
Tabel 1.7 Indikator Nutrisi
Nilai
No Indikasi Jml
1 2 3 4 5

1. Asupan Tidak ada Menghab Menghab Menghabisk Menghabisk


makanan asupan iskan 1/8 iskan ¼ an ½ porsi an 1 porsi
makanan makan makanan
50

sama porsi porsi


sekali makan makan
2. Asupan Tidak ada 500 cc 1 liter 1-1,3 liter 1-1,5 liter
cairan asupan sehari sehari sehari sehari
cairan
sama
sekali
3. Berat BB BB BB BB BB normal
badan menurun menurun menurun menurun
ideal <20% <15% <10% <5%
(IMT)
IMT =
BB (kg)
TB (m)
4. Menyatak Sangat Kurang Cukup (3 Baik (4 Baik sekali
an nafsu kurang (hanya 2 sendok sendok) (>4 sendok)
makan (menolak sendok makan) mau makan makan
makan) makan) sedikit bila disuruh mandiri
susah, dipaksa tanpa
harus disuruh
dengan
bujukan
5. Haemoglo 3-6 gr/dl 7-9,15 9,16- 11,6-13,4 13,5-17
bin (Hb) gr/dl 11,5 gr/dl gr/dl
gr/dl
6. Serum 1-1,9 g/dl 1,3-1,6 1,7-2 2,1-2,4 g/dl 2,5 gr/dl
Albumin g/dl g/dl
Total

Peneliti menganalisis data berdasar lembar observasi terdapat 6


indikator. Nilai terbaik adalah 30, selanjutnya peneliti mengklasifikasi
nutrisi pasien dengan rentang nilai sebagai berikut :

a. Tidak ada gangguan : skore 30


b. Gangguan ringan : skore 23-29
c. Gangguan sedang : skore 15-22
d. Gangguan berat : skore 7-14
51

e. Gangguan sangat berat : skore 6


Apabila albumin dan hemoglobin tidak diperiksa setiap hari maka nilai
terbaik 20, dengan rentang nilai sebagai berikut :
a. Tidak ada gangguan : 20
b. Gangguan ringan : 14-19
c. Gangguan sedang : 10-13
d. Gangguan berat : 5-9
e. Sangat berat :4
52

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penetian ini di rancang dengan penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan
rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara intensif
misalnya satu klien, keluarga, kelompok, komunitas, atau institusi. Riwayat dan
pola perilaku sebelumnya biasanya dikaji secara rinci. Keuntungan yang paling
besar dari rancangan ini adalah pengkajian secara rinci meskipun jumlah
respondennya sedikit, sehingga akan didapatkan gambaran satu unit subjek secara
jelas (Nursalam, 2015).
Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan
keperawatan pada klien yang mengalami Penyakit Pnemonia Dengan
Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan di RSUD Dr, Harjono
Ponorogo.

3.2 Batasan Istilah


Batasan istilah dalam studi kasus ini adalah asuhan keperawatan pada klien
yang mengalami Penyakit Pnemonia Dengan Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang
Dari Kebutuhan di Ruang Delima RSUD Dr Harjono Ponorogo.
Pasien Pneumonia adalah pasien yang mengalami gangguan pernapasan yang
ditandai oleh batuk, sesak napas, hipertermi, sedangkan ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan suatu keadaan dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan matabolik yang ditandai dengan mual, muntah serta
penurunan berat badan.

3.3 Partisipan
Partisipan pada studi kasus ini adalah klien Pnemonia dengan
Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan. Subjek yang digunakan

52
53

adalah 1 klien. Klien yang kooperatif dan sadar dengan kriteria pasien anak umur
1-12 tahun dan dengan penurunan nafsu makan.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi
Lokasi studi kasus ini rencananya akan dilaksanakan di Ruang Delima
RSUD Dr. Harjono Ponorogo-Pacitan, Kab. Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.

2. Waktu Penelitian
Proses pembuatan studi kasus ini dimulai pada bulan Oktober 2018
yang dimulai dari pengajuan judul, penyusunan Proposal BAB I, II, III pada
bulan November sampai desember dan ujian proposal dilaksanakan pada
tanggal 28 Desember 2018. Pengambilan data dan penyusunan data dimulai
pada bulan februari sedangkan sidang studi kasus dilaksanakan pada bulan
Maret 2019. (sesuai dengan jadwal yang terlampir)

3.5 Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian.
Langkah-Langkah dalam pengumpulan data bergantung pada rancangan penelitian
dan teknik instrument yang digunakan. Selama proses pengumpulan data, peneliti
memfokuskan pada penyediaan subjek, melatih tenaga pengumpulan data (jika
diperlukan), memerhatikan prinsip-prinsip validitas dan rehabilitas, serta
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi agar data dapat terkumpul sesuai
dengan rencana yang telah di tetapkan. (Nursalam, Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pendekatan Praktis, 2016)

1. Prosedur Penelitian
a. Pengajuan judul kepada Pembimbing
b. Membuat latar belakang masalah
54

c. Mengumpulkan referensi data tentang kasus Pneumonia.


d. Melakukan survei di ruang Delima RSUD Dr.Harjono Ponorogo.
e. Membuat Proposal yaitu Bab I sampai dengan Bab III serta mengonsulkan
kepada Pembimbing.
2. Metode pengumpulan data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Langkah – langkah pengumpulan data bergantung rancangan
penelitian dan teknik instrumen yang digunakan. Selama proses pengumpulan
data, peneliti memfokuskan pada penyediaan subjek, melatih tenaga pengumpul
data (jika diperlukan), memperhatikan prinsip – prinsip validasi dan rehabilitas,
serta menyelesaikan masalah – masalah yang terjadi agar data dapat terkumpul
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. (Nursalam, 2016)
a. Wawancara
Wawancara merupakan cara mengumpulkan informasi dari klien.
Wawancara ini juga dapat disebut sebagai riwayat keperawatan. Jika
wawancara tidak dilakukan ketika klien masuk keperawatan fasilitas
kesehatan, wawancara ini dapat disebut sebagai wawancara saat masuk.
Ketika seorang dokter mengumpulkan informasi ini maka disebut sebagai
riwayat medis. Pada beberapa area, perawat terdaftar mengkaji riwayat
keperawatan, dengan dibantu oleh mahasiswa keperawatan. Mengkaji data
dan bekerja sama dengan tim untuk memformulasi diagnosis keperawatan
dan merencanakan asuhan.
Setiap fasilitas memiliki format kesehatannya sendiri untuk
dilengkapi bersama dengan klien dan tim kesehatan lainnya. Format dapat
disusun menurur kebutuhan khusus pasien atau sesuai dengan sistem tubuh.
Asuhan jangka panjang, layanan kesehatan di rumah dapat menggunakan
format sesuai dengan kebutuhan khusus klien. Menggunakan wawancara
dan mendokumentasikan informasi kedalam catatan perkembangan
keperawatan.
55

Selama wawancara berlangsung perawat dapat memandu


percakapan dengan pertanyaan langsung. Untuk lebih efektif dan efiensi
maksimal, dapat direncanakan wawancara sebelum bertemu klien.
Memberitahu klien bahwa tujuan wawancara adalah untuk merencanakan
asuhan yang efektif yang akan memenuhi kebutuhan klien.
Ketika mengumpulkan informasi, semua metode komunikasi harus
dilakukan. Pengumpulan data dan pengkajian adalah pertanyaan terbuka,
pertanyaan terperinci, keterampilan observasi dan taktil. Klien memiliki
hak untuk menolak menjawab pertanyaan yang menurut mereka terlalu
pribadi. Pada beberapa kasus, mungkin perlu dibicarakan dengan anggota
keluaraga karena kebanyakan dari pasien biasanya bingung untuk berespon.
Harus melindungi kerahasiaan pasien, jangan pernah mengungkapkan
informasi yang sebelumnya tidak diketahui oleh anggota keluarga tanpa
persetujuan dari klien sendiri.
Pada studi kasus ini wawancara yang akan dilakukan adalah untuk
menanyakan data subjektif pada pasien Pneumonia mengenai
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Diharapkan
dengan wawancara diperoleh suatu yang lebih valid seperti keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyait
dahulu, kemampuan pasien dalam mengontrol kesehatan, seperti pola
hidup dan yang dilakukan untuk mengurangi rasa sakit yang diderita,
riwayat pengobatan, riwayat pola tidur sehari-hari, dan genogram / anggota
keluarga yang semua akan ditanyakan pada pasien dan dilakukan oleh
peneliti dan menggunakan alat berupa pedoman wawancara / format
pengkajian.
b. Observasi
Observasi adalah perangkat pengkajian yang berstandar pada
penggunaan lima indra (penglihatan, sentuhan, pendengaran, penciuman
dan pengecapan) untuk mencari informasi mengenai klien. (Rosdahl &
Kowalski, 2014)
56

a. Observasi Visual
Penglihatan memberi banyak petunjuk yang harus diproses
secara terus menerus ketika menkaji klien. Beberapa contoh yang harus
dipertimbangkan adalah gerakan tubuh, penampilan umum, tata krama,
ekspresi wajah, gaya berpakaian, komunikasi non verbal, tampilan
serta kebersihan. Untuk mengumpulkan data subjektif, seperti ketika
memperhatikan ekspresi wajah dan bahasa tubuh klien. Observasi
visual juga dapat mengumpulkan data objektif.
b. Observasi Auditori
Mendengarkan klien dan keluarga secara aktif ketika sedang
berinteraksi dengan perawat dan tim kesehatan lain. Perawat juga dapat
mengumpulkan data dengan cara auskultasi.
c. Observasi Olfaktori dan Gusatori
Indra penciuman mengidentifikasikan bau yang mungkin
spesifik dengan kondisi atau status kesehatan klien. Observasi
olfaktorius mencakup mencatat bau badan, nafas yang buruk atau
asidosis metabolic.
Pada studi kasus ini observasi yang perlu dilakukan pada klien
Pneumonia adalah sebagai berikut :
1. Observasi TTV
2. Observasi status nutrisi pasien
3. Observasi mual muntah
4. Observasi berat badan pasien
Data hasil observasi akan di catat di lembar pengkajian.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah sarana yang digunakan oleh penyedia
layanan kesehatan yang membedakan struktur dan fungsi tubuh yang
normal dan abnormal. Peneliti dalam studi kasus ini akan menggunakan
pemeriksaan fisik dengan empat cara yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi,
57

dan perkusi. Hal itu dilakukan untuk menunjang dan memperoleh data
objektif.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada klien Pnemonia pada
studi kasus ini adalah pada paru/thorax sebagai berikut :
1. Inspeksi : frekuensi irama, kedalaman dan upaya bernafas antara lain :
takipnea, dyspnea progresif, pernafasan dangkal, pectus ekskavatum
(dada burung), barrel chest.
2. Palpasi : adanya nyeri tekan, massa, penigkatan vocal femitus pada
daerah yang terkena.
3. Perkusi : pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya timpani
(terisi udara) resonansi.
4. Auskultasi : suara pernafasan yang meningkat intensitasnya :
a) Suara bronkovesikuler atau bronchial pada daerah yang terkena.
b) Suara pernafasan tambahan ronli inspiratory pada sepertiga akhir
inspirasi
d. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi keperawatan untuk menunjang hasil penelitian
melalui 2 cara yaitu status klien selama keperawatan meliputi pengkajian
sampai dengan evaluasi, dan juga studi literature utuk menyusun konsep
penyakit

3.6 Analisa Data


Peneliti dalam studi kasus ini menggunakan teknik analisa data dengan cara
observasi dengan deret waktu selama 7 hari oleh peneliti dan studi dokumentasi
yang menghasilkan data untuk selanjutnya di interprestasikan dan di bandingkan
teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi
tersebut.
Dalam studi kasus ini akan di sajikan dalam bentuk naratif, tabel dan grafik,
kemudian akan di bandingkan DS dan DO sebelum dan sesudah intervensi, dan akan
di bahas dengan tinjauan teori.
58

Dalam studi kasus ini akan di observasi dan di ukur menggunakan tabel
indikator nutrisi dengan indikator asupan makanan, asupan cairan, dan menyatakan
nafsu makan. Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan
dengan kondisi klien sebelum melakukan latihan terapi dengan kondisi klien
sesudah melakukan latihan terapi. Penarikan kesimpulan dengan membandingkan
hasil observasi sebelum dan sesudah latihan terapi. Dari kesimpulan berdasarkan
NOC (Status nutrisi) dengan indikator dari status nutrisi : asupan gizi, asupan
makanan, asupan cairan, energi baik, berat badan dalam rentan normal. Skor dari
indikator tersebut dibagi menjadi 6 dengan nilai terbaik 30 yaitu jika total skore 30
berarti tidak ada gangguan, 23-29 berarti gangguan ringan, 15-22 berarti gangguan
sedang, 7-14 gangguan berat dan skore 6 berarti gangguan sangat berat. Apabila
albumin dan hemoglobin tidak diperiksa setiap hari maka nilai terbaik 20, dengan
rentang nilai jika skore 20 berarti tidak ada gangguan, 14-19 gangguan ringan, 10-
13 gangguan sedang, 5-9 gangguan berat dan skore 4 berarti gangguan sangat berat.

3.7 Etik Penelitian


Menurut Nursalam (2015), menyatakan bahwa secara umum prinsip etika
dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu
prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.
1. Prinsip manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada
subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus(Nursalam, 2015).
b. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindari dari keadaan yang
tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya
dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan
dipengaruhi dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apa
pun (Nursalam, 2015).
59

c. Resiko (benefits ratio)


Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang
akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan (Nursalam, 2015).
2. Prinsip menghargai Hak Asasi Manusia (respect human dignity):
a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden (right to self determinated)
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa
adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika
mereka seorang klien (Nursalam, 2015).
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perilaku yang diberikan (right to full
disclosure)
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada subjek (Nursalam,
2015).
c. Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent juga
perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan
untuk mengembangkan ilmu (Nursalam, 2015).
3. Prinsip keadilan (right to justice)
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan
sesudah keikut sertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian
(Nursalam, 2015).
b. Hak dijaga kerahasiannya (right to privacy)
Subjek mepunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia
(confidentiality) (Nursalam, 2015)
60

Daftar Pustaka

Astuti , H. W., & Rahmat , A. S. (2010). Asuhan Keperawatan Anak Dengan


Gangguan Sistem Pernapasan . Jakarta : CV. trans Info Media.
Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi
Perawat Profesional. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Bulechek, G. M., & dkk. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).
Yogyakarta: Elsevier.
Dinarti, & Mulyani, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan . jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Ernawati. (2012). Konsep Dan Aplikasi Keperawatan Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Manusia . Jakarta: CV. Trans Info Media.
Farida, Y., & dkk. (2017). Study of Antibiotic Use on Pneumonia Patient in
Surakarta. Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research, 46.
Fatmala Eni, L. M. (2018). GAMBARAN PERILAKU BERDASARKAN
SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, PERSEPSI TERKAIT ORAL
HYGIENE PADA MAHASISWA KESEHATAN DAN NON KESEHATAN
UNIVERSITAS UDAYANA. ODONTO Dental Journal. Volume 5. Nomer 1,
19.
Habiba, R. A., & Adriani, M. (2017). Hubungan depresi, Asupan, dan Penampilan
Makanan dengan Sisa Makan Pagi Pasien Rawat Inap (Studi di Rumah Sakit
Islam Jemursari Surabaya). SA License, Vol 13, No. 3, 202.
Herdman , T. H., & Kamitsuru, S. (2015). NANDA Diagnosis Keperawatan Definisi
& Klasifikasi Edisi 10. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Hidayat, A. A. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A. A., & Uliyah, M. (2008). Kebutuhan Dasar Manusia, Buku Saku
Praktikum. Jakarta: EGC.
Kristianto, W., & dkk. (2018). Red-Cell Distribution Width (RDW) dan Mean
Platelet Volume (MPV) sebagai Biomarker Keparahan Pneumonia Anak. Sari
Pediatri, Vol. 19, No. 6, 336.
Lalani , A., & Schneeweiss Suzan. (2011). Kegawatdaruratan Pediatri (The Hospital
for Sick Children Handbook of Pediatric Emergency Medicine). Jakarta:
EGC.
61

Liber, Andarwulan, N., & Adawiyah, D. R. (2016). Peningkatan Kualitas Cita Rasa
Makanan Rumah Sakit untuk Mempercepat Penyembuhan Pasien. Jurnal
Mutu Pangan, Vol. 1(2), 83.
Marni. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit Dengan Gangguan
Pernapasan . Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Monita, O., & dkk. (2015). Profil Pasien Pneumonia Komunitas di Bagian Anak
RSUP DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas,
221.
Moorhed, S., & dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC) . Yogyakarta:
Mosby Elsevier.
Mutaqqin, A. (2012). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
pernafaan . Jakarta: Salemba Medika .
Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA.
Noverita, Mulyadi, & Mudatsir. (2017). Terapi Bermain Terhadap Tingkat
Kecemasan Pada Anak Usia 3–5 Tahun Yang Berobat Di Puskesmas. Jurnal
Ilmu Keperawatan, 15.
Nurnajiah, M., & dkk. (2016). Hubungan Status Gizi dengan Derajat Pneumonia pada
Balita di RS. Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2.
Nursalam. (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis
Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis.
Jakarta: Salemba Medika.
Ridha, H. N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riyadi, S., & Sukarmin. (2009). Asuahan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar Edisi 10
Vol. 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Siregar, & dkk. (2017). HUBUNGAN FAKTOR HOST DENGAN KEJADIAN
PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS CIMAHI SELATAN.
Prosiding Seminar Nasional IKAKESMADA “Peran Tenaga Kesehatan
Dalam Pelaksanaaan SDGs", 7.
62

Soedibyo, S., & Mulyani, R. L. (2017). Kesulitan Makan pada Pasien Survei di Unit
Pediatri Rawat Jalan. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, 80.
Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien denagn Gangguan sistem
pernapasan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Sudjatmoko. (2016). MASALAH MAKAN PADA ANAK. Damianus Journal of
Medicine, 37.
Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogjakarta: GAVA
MEDIA.
Sujarweni, W. (2014). Metode Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gava Media.
Tracey, H. (2014). Intisari Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
WHO. (2016). Word Health Organization. Pneumonia, 1.
Wijayaningsih , K. S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Yuliana, M. N., & Raule, J. H. (2017). PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN
GIGI TERHADAP PENINGKATAN KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT
PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PANCARAN KASIH
MANADO. e-Journal , 9.

Anda mungkin juga menyukai