Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001)
bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan
bantuan luar biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan
kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena.
Jenis-jenis banjir menurut penyebabnya di Indonesia. Di Indonesia,
banjir adalah sebuah bencana alam yang mudah terjadi. Hal ini karena
letak Indonesia pada daerah tropis yang memungkinkan curah hujan yang
tinggi setiap tahunnya. Banjir di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis,
yaitu : Banjir bandang, Banjir Hujan Ekstrim, Banjir Luapan Sungai /
Banjir Kiriman, Banjir Pantai (ROB), Banjir Hulu
Banjir bandang adalah banjir besar yang terjadi secara tiba-tiba dan
berlangsung hanya sesaat yang yang umumnya dihasilkan dari curah hujan
berintensitas tinggi dengan durasi (jangka waktu) pendek yang
menyebabkan debit sungai naik secara cepat. Banjir jenis ini biasa terjadi
di daerah dengan sungai yang alirannya terhambat oleh sampah.
Ini biasanya terjadi hanya dalam waktu 6 jam sesudah hujan lebat
mulai turun. Biasanya banjir ini ditandai dengan banyaknya awan yang
menggumpal di angkasa serta kilat atau petir yang keras dan disertai
dengan badai tropis atau cuaca dingin. Umumnya banjir ini akibat
meluapnya air hujan yang sangat deras, khususnya bila tanah bantaran
sungai rapuh dan tak mampu menahan cukup banyak air.
Jenis banjir ini biasanya berlangsung dalam waktu lama dan sama
sekali tidak ada tanda-tanda gangguan cuaca pada waktu banjir melanda

42
dataran – sebab peristiwa alam yang memicunya telah terjadi berminggu-
minggu sebelumnya. Jenis banjir ini terjadi setelah proses yang cukup
lama. Datangnya banjir dapat mendadak. Banjir luapan sungai ini
kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama
berhari- hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Banjir ini biasanya
terjadi pada daerah-daerah lembah.
Banjir yang disebabkan angin puyuh laut atau taifun dan
gelombang pasang air laut. Banjir ini terjadi karena air dari laut meresap
ke daratan di dekat pantai dan mengalir ke daerah pemukiman atau karena
pasang surut air laut. Banjir ini biasanya terjadi di daerah pemukiman yang
dekat dengan pantai. Contoh daerah yang biasanya terkena ROB adalah
Semarang.
Banjir yang terjadi di wilayah sempit, kecepatan air tinggi, dan
berlangsung cepat dan jumlah air sedikit. Banjir ini biasanya terjadi di
pemukiman dekat hulu sungai. Terjadinya banjir ini biasanya karena
tingginya debit air yang mengalir, sehingga alirannya sangat deras dan bisa
berdampak destruktif.
Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan yang biasanya kering
karena peningkatan volume air yang diakibatkan dari tingginya curah
hujan, meluapnya air sungai atau laut, dan pecahnya bendungan. Banjir
bandang adalah banjir yang terjadi secara tiba-tiba karena terisinya air
pada daerah yang tanahnya kering /sukar meresap air ketika hujan turun,
air sukar meresap ke dalam tanah dan akhirnya terjadi banjir bandang.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tindakan untuk mengurangi banjir, dampak serta
cara penanggulangan banjir bandang
2. Untuk mengetahui hal-hal yang harus dilakukan dalam
penatalaksanaan setiap tahap siklus bencana banjir bandang
3. Untuk mengetahui sejauh mana peran perawat dalam penatalaksanaan
tahapan bencana banjir bandang

C. Rumusan Masalah
1. Apa tindakan yang harus dilakukan dalam mengurangi banjir bandang,
dampak serta cara penanggulangan banjir bandang ?

42
2. Apa saja hal-hal yang harus dilakukan dalam penatalaksanaan setiap
tahap siklus bencana banjir ?
3. Apa saja peran perawat dalam penatalaksanaan tahapan bencana banjir
bandang ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. TINDAKAN UNTUK MENGURANGI DAMPAK BANJIR


Ada beberapa tindakan yang bisa mengurangi dampak resiko
penanggulangan banjir, diantaranya yaitu :
 Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan.

42
 Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian
sungai yang sering menimbulkan banjir.
 Tidak membangun rumah dan pemukiman di bantaran sungai serta
daerah banjir.
 Tidak membuang sampah ke dalam sungai.
 Program penghijauan daerah hulu sungai harus selalu dilaksanakan
serta mengurangi aktifitas di bagian sungai rawan banjir.

B. DAMPAK YANG TIMBUL AKIBAT BANJIR


 Dampak fisik
Kerusakan pada sarana-sarana umum, kantor-kantor pelayanan
publik yang disebabkan oleh banjir.
 Dampak sosial
Mencakup kematian, risiko kesehatan, trauma mental, menurunnya
perekonomian, terganggunya kegiatan pendidikan (anak-anak tidak
dapat pergi ke sekolah), terganggunya aktivitas kantor pelayanan
publik, kekurangan makanan, energi, air, dan kebutuhan-kebutuhan
dasar lainnya.
 Dampak ekonomi
Mencakup kehilangan materi, gangguan kegiatan ekonomi (orang
tidak dapat pergi kerja, terlambat bekerja, atau transportasi komoditas
terhambat, dan lain-lain).

 Dampak lingkungan
Mencakup pencemaran air (oleh bahan pencemar yang dibawa oleh
banjir) atau tumbuhan disekitar sungai yang rusak akibat terbawa
banjir.
 Dampak ancaman wabah penyakit
Setelah banjir pada saat dan sesudah banjir, seperti penyakit diare,
penyakit yang disebabkan oleh nyamuk.

C. CARA PENANGGULANGAN BANJIR


Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap, dari pencegahan
sebelum banjir penanganan saat banjirdan pemulihan setelah banjir.
Tahapan tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan
banjir yang berkesinambungan. Kegiatan penanggulangan banjir mengikuti

42
suatu siklus (life cycle) yang dimulai dari banjir, kemudian mengkajinya
sebagai masukan untuk pencegahan sebelum bencana banjir terjadi kembali.
Pencegahan dilakukan secara menyeluruh, berupa kegiatan fisik
seperti pembangunan pengendali banjir di wilayah sungai sampai wilayah
dataran banjir dan kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna lahan
sampai sistem peringatan dini bencana banjir.

D. TAHAPAN PENANGGULANGAN BENCANA


 Tahap Tanggap Darurat
- Pengkajian secara cepat dan tepat lokasi, kerusakan dan sumber
daya. Meliputi : tempat kejadian, jumlah korban, sarana prasarana
- Penentuan status keadaan darurat bencana
- Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
- Pemenuhan kebutuhan dasar
- Perlindungan terhadap kelompok rentan
- Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

 Tahap Pasca Darurat


a. Tahap Rehabilitatif ( Pemulihan )
- Memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar fisik, pendidikan,
kesehatan, kejiwaan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan,
lingkungan, prasarana transportasi, penyusunan kebijakan dan
pembaharuan struktur penanggulangan bencana di
pemerintahan.

b. Tahap Rekonstruksi ( pembangunan berkelanjutan )


- Membangun prasarana dan pelayanan dasar fisik, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, lingkungan,
pembaharuan rencana tata ruang wilayah, sistem pemerintahan
dan lainnya yang memperhitungkan faktor risiko bencana.
- Pemulihan psiko-sosial
- Peningkatan fungsi pelayanan kesehatan

 Tahap Pencegahan & Mitigasi


a. Pencegahan
Pencegahan adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan
sama sekali atau mengurangi ancaman.
Misalnya :

42
1. Pencegahan penebangan liar
2. Tidak membuang sampah sembarangan
b. Mitigasi
Mitigasi atau pengurangan adalah upaya untuk mengurangi atau
meredam risiko. Yaitu dengan membuat bendungan, tanggul, kanal
untuk mengendalikan banjir, pembangunan tanggul sungai dan
lainnya.
1. Kenali Penyebab Banjir
 Curah hujan tinggi
 Permukaan tanah lebih rendah dibanding permukaan air laut
 Terletak di suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan
dengan pengaliran air keluar sempit
 Banyak permukiman yang dibangun di dataran sepanjang
sungai
 Aliran sungai tidak lancar karena banyaknya sampah serta
bangunan di pinggir sungai.
 Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.
2. Tindakan untuk mengurangi dampak banjir
 Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai
fungsi lahan
 Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini di
bagian sungai yang sering menimbulkan banjir
 Tidak membangun rumah dan permukiman di bantaran
sungai
 Tidak membuang sampah ke dalam sungai dan rutin
mengadakan program pengerukan sungai
 Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari
permukaan laut
 Program penghijauan daerah hulu sungai harus selalu
dilaksanakan, dibarengi pengurangan aktivitas di bagian
sungai rawan banjir
3. Yang harus dilakukan sebelum terjadi banjir
 Bersama aparat terkait dan pengurus RT/RW terdekat,
membersihkan lingkungan sekitar, terutama di saluran air
atau selokan, dari timbunan sampah
 Tentukan lokasi posko banjir yang tepat untuk mengungsi,
lengkap dengan fasilitas dapur umum dan MCK, berikut

42
pasokan air bersih melalui koordinasi dengan aparat terkait
dan pengurus RT/RW
 Bersama pengurus RT/RW, segera bentuk tim
penanggulangan banjir di tingkat warga, salah satunya
mengangkat penanggung jawab posko banjir
 Koordinasikan melalui RT/RW, dewan kelurahan setempat,
dan LSM untuk pengadaan tali, tambang, perahu karet, dan
pelampung guna evakuasi
 Pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna
memudahkan mencari informasi, meminta bantuan, atau
melakukan konfirmasi
 Simak informasi terkini melalui TV, radio, atau peringatan
tim warga tentang curah hujan dan kondisi air
 Lengkapi diri dengan peralatan keselamatan, antara lain radio
baterai, senter, korek gas, dan lilin
 Siapkan bahan makanan mudah saji dan persediaan air bersih
 Siapkan obat-obatan darurat
 Amankan dokumen penting
4. Yang harus dilakukan saat banjir
 Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN
untuk mematikan aliran listrik di wilayah yang terkena
bencana
 Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air
masih memungkinkan untuk diseberangi
 Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari
terseret arus banjir, serta segera amankan barang-barang
berharga ketempat yang lebih tinggi
 Jika air terus meninggi, hubungi instansi terkait
5. Yang harus dilakukan setelah banjir
 Secepatnya membersihkan rumah, terutama bagian lantai,
lalu gunakan antiseptik untuk membunuh kuman
 Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya
penyakit diare yang sering mewabah setelah kejadian banjir
 Waspadai kemungkinan binatang berbisa atau binatang
penyebar penyakit
 Usahakan selalu waspada apabila kemungkinan terjadi banjir
susulan

42
 Tahap Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah upaya menghadapi situasi darurat serta
mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pada
saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih
baik untuk menghadapi bencana.
Tindakan kesiapsiagaan:
- Pembuatan sistem peringatan dini, misalnya dengan dibuat tanda
antisipasi siaga 1 penanda bencana
- Membuat sistem penyebaran peringatan ancaman, misalnya Simak
informasi terkini melalui TV, radio atau peringatan Tim warga
tentang curah hujan dan posisi air pada pintu air
- Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: senter, selimut,
tikar, jas hujan, ban karet bila ada
- Pembuatan rencana evakuasi
- Membuat tempat dan sarana evakuasi
- Penyusunan rencana darurat, rencana siaga
- Memasang rambu evakuasi dan peringatan dini jika diperlukan

 Tahap Tanggap Darurat


Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera setelah bencana
terjadi untuk mengurangi dampak bencana, seperti penyelamatan jiwa
dan harta benda. Tindakan tanggap darurat:
- Evakuasi
- Pencarian dan penyelamatan
- Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
- Pengkajian cepat kerusakan dan kebutuhan
- Penyediaan kebutuhan dasar seperti air dan sanitasi, pangan,
sandang, papan, kesehatan, konseling
- Pemulihan segera fasilitas dasar seperti telekomunikasi,
transportasi, listrik, pasokan air untuk mendukung kelancaran
kegiatan tanggap darurat

E. PERAN PERAWAT DALAM PENANGANAN BENCANA


a. Peran perawat dalam keadan darurat (Impact Phase)

42
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan
tepat setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-
masing bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap
kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim
kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk
memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi”
pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif (Triase).

 TRIASE

1. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam


kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma
dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, luka bakar derajat I-II.

2. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury


dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena
dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama
30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel,
fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat
II.

3. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur


tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan
dislokasi.

4. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat


selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

b. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana


1. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari.
2. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.

42
3. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS.
4. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
5. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan
khusus bayi, peralatan kesehatan.
6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa.
7. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
8. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
9. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater.
10. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.

c. Peran perawat dalam fase postimpact


Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial,
dan psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu
masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit
dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk
normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.

 LOGISTIK
a. Selimut
b. Roti
c. Beras
d. Gula
e. Teh
f. Kopi
g. Susu
h. Softex
i. Pampers
j. Pasokan air bersih

42
k. Pakaian

F. KOORDINASI

 Saat dan Pascabencana


Pada saat terjadi bencana perlu diadakan mobilisasi SDM
Kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang
meliputi Tim Gerak Cepat, Tim Penilaian Cepat Kesehatan (Tim RHA)
dan Tim Bantuan Kesehatan. Koordinator Tim dijabat oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi/Kasbupaten/Kota (mengacu Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1653/Menkes/SK/XII/2005).
Kebutuhan minimal tenaga untuk masing-masing tim tersebut,
antara lain:
l. Tim Gerak Cepat, yaitu tim yang diharapkan dapat segera bergerak
dalam waktu 0-24 jam setelah ada informasi kejadian bencana. Tim
Gerak Cepat ini terdiri atas :
 Pelayanan medis :
- Dokter umum / BSB = 1 orang
- Dokter Spesialis Bedah = 1 orang
- Dokter Spesialis Anastesi = 1 orang
- Perawat mahir (perawat bedah, gawat darurat) = 2 orang
- Tenaga DVI = 1 orang
- Apoteker / asisten apoteker = 1 orang
- Supir ambulance = 1 orang
 Surveilans = 1 orang
- Ahli epidemiologi / Sanitarian
 Petugas komunikasi = 1 orang
Tenaga-tenaga di atas harus dibekali minimal pengetahuan umum
mengenai bencana yang dikaitkan dengan bidang pekerjaannya masing-
masing.

2. Tim RHA, yaitu tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan


TimGerak Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam.
Tim iniminimal terdiri atas:
 Dokter umum = 1 orang
 Ahli epidemiologi = 1 orang
 Sanitarian = 1 orang

42
3. Tim Bantuan Kesehatan, yaitu tim yang diberangkatkan
berdasarkan kebutuhan setelah Tim Gerak Cepat dan Tim RHA
kembali dengan laporan dengan hasil kegiatan mereka di lapangan.
Tim Bantuan Kesehatan tersebut terdiri atas :
No Jenis Tenaga Kompetensi Tenaga
1 Dokter umum PPGD/
GELS/ATLS/ACLS
2 Apoteker dan Asisten Apoteker Pengelolaan Obat dan
Alkes
3 Perawat Emergency
(D3/sarjanaKeperawatan Nursing/PPGD/
BTLS/PONED
(Pelayanan Obsterik dan
Neonatal Emergensi
Dasar) /PONEK/ICU
4 Perawat Mahir Anastesi/Emergency
Nursing
5 Bidan ( D3 Kebidanan) APN dan PONED
6 Sanitarian ( D3 Kesling/sarjana Penanganan Kualitas Air
Kesmas) Bersih dan Kesling
7 Ahli Gizi (D3/D4 Kesehatan/ Penanganan Gizi darurat
Sarjana Kesmas)
8 Tenaga Surveilens (D3/D4 Surveleliens Penyakit
Kesehatan/ Sarjana Kesmas)
9 Ahli Entomologi (D3/D4 Pengendalian Vektor
Kesehatan/ Sarjana kesmas/
sarjana Biolog

No Jenis bencana Jenis Tenaga Kompetensi Jumlah


Tenaga
1. Banjir Dokter Bedah umum Sesuai _.
bandang Spesialis Penyakit kebutuhan/
dalam rekomendasi
Anestesi dan tim RHA

42
ahli
intensive care
Bedah plastik
Forensik
Dental
forensik
Kesehatan
Jiwa
D3 Perawat Anestesi dan Sesuai
Mahir perawat kebutuhan/
mahir gawat rekomendasi
darurat tim RHA
(emergency
nursing)
dasar dan
lanjutan serta
perawat
mahir jiwa,
OK/ICU
Radiografer Rontgen Sesuai
kebutuhan/
rekomendasi
tim RHA

G. KOORDINASI PELAKSANAAN

a. Organisasi
1. Tingkat Pusat
a. Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana
serta penanganan pengungsi di tingkat Pusat adalah Menteri
Kesehatan dibantu oleh seluruh Pejabat Eselon 1 dan Kepala Badan

42
POM serta berkoordinasi dengan instansi terkait dan selalu
berpedoman pada petunjuk Ketua Bakornas PB yang diketuai
olehWakil Presiden.
b. Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana
dilingkungan Departemen Kesehatan dikoordinasi oleh Sekretaris
Jenderal melalui Pusat Penanggulangan Krisis (PPK).

2. Tingkat Provinsi
a. Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana
serta penanganan pengungsi di Provinsi adalah Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi. Bila diperlukan dapat meminta bantuan kepada
Departemen Kesehatan. Dalam melaksanakan tugas Kepala Dinkes
Provinsi dibawah Satkorlak PB yang diketuai oleh Gubernur.
b. Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana
dilingkungan Dinas Kesehatan Provinsi dikoordinasi oleh pejabat
yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan.

3. Tingkat Kabupaten/Kota
a. Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana
serta penanganan pengungsi di Kabupaten/Kota adalah Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Bila diperlukan dapat meminta
bantuan kepada Provinsi. Dalam melaksanakan tugas, Kepala
Dinkes Kabupaten/Kota berada dibawah Satlak PB yang diketuai
oleh Bupati/Walikota.
b. Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana
dilingkungan Dinas Kesehatan Provinsi dikoordinasi oleh pejabat
yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan.

4. Di Lokasi Kejadian
Pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan
pengungsi di lokasi kejadian dibawah tanggung jawab Kepala Dinas

42
Kesehatan sedangkan Kepala Puskesmas sebagai pelaksana tugas Dinas
Kesehatan.

Tabel 2.3. Koordinasi serta pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam
pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada penanggulangan bencana.
Institu
N Tingkat Koordina Institusi yang si Tahapan
O Koordinasi tor Dikoordinasi Terkai Bencana
t
1. Kabupaten/ Dinas Pustu,Puskesmas,In BPBD KesiapsiagaanTa
Kota Kesehata stalasi Kab/K nggap
n Farmasi ota darurat
Kabupaten/Kota BPBD Rehabilitasi,
Pos Kesehatan, Kab/K rekonstruksi
Pustu, ota
Puskesmas, BPBD
Instalasi Kab/K
Farmasi ota
Kabupaten/Kota,
RSU, RS Swasta,
RS TNI, RS
POLRI dan LSM
Pustu, Puskesmas,
InstalasiFarmasi
Kabupaten/Kota
2. Provinsi Dinas Dinas Kesehatan BPBD Kesiapsiagaan
Kesehata Kabupaten/Kota Provin Tanggap
n Dinas Kesehatan si darurat
Kabupaten/Kota, BPBD Rehabilitasi,
RSU, RS Provin rekonstruksi
TNI, RS POLRI si
tingkat BPBD

42
Provinsi, RS Provin
Swasta di kota si
Provinsi, BPOM
Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota,
RSU
Provinsi

3. Nasional PPK Ditjen PP&PL, BNPB Kesiapsiagaan


dengan Ditjen Bina Tanggap
Leading Yanmedik, Ditjen darurat
Program Bina Rehabilitasi,
Ditjen Kesmas, BPOM rekonstruksi
Binfar
dan Alkes

b. Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana Serta


Penanganan Pengungsi
1. Prabencana
Kegiatan yang dilaksanakan:
a. Tingkat Pusat
1) Membuat, menyebarluaskan dan memutakhirkan pedoman
pelayanan kesehatan pada penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi.
2) Membuat standar-standar penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi.
3) Membuat peta geomedik serta mengadakan pelatihan, bagi
setiap unit dan petugas yang terlibat dalam penanggulangan
bencana, dilanjutkan dengan gladi posko dan gladi lapang.

42
4) Inventarisasi sumber daya kesehatan pemerintah dan swasta
termasuk LSM.
5) Membuat standar dan mekanisme penerimaan bantuan dari
dalam dan luar negeri.
6) Inventarisasi jenis dan lokasi kemungkinan terjadinya bencana
di wilayahnya dengan mengupayakan informasi Early Warning
atau peringatan dini.
7) Membentuk Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana.
8) Mengembangan mitigasi dan kesiapsiagaan penanggulangan
bencana (sarana dan prasarana).
9) Mengadakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
penanggulangan bencana.
10) Mengembangan sistem komunikasi dan informasi.
11) Koordinasi lintas program dan lintas sektor meliputi
sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana dari pusat
sampai daerah.
12) Kegiatan bimbingan teknis.

b. Tingkat Provinsi
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan kegiatan:
1) Membuat peta geomedik daerah rawan bencana.
2) Membuat rencana kontinjensi (Contingency Plan).
3) Menyusun dan menyebarluaskan pedoman penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi.
4) Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana.
5) Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat.
6) Menyelenggarakan pelatihan gladi posko dan gladi lapang
dengan melibatkan semua unit terkait.
7) Membentuk Pusdalops penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi.

42
8) Melengkapi sarana/fasilitas yang diperlukan termasuk
mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di daerah
tersebut.
9) Mengadakan koordinasi lintas program dan lintas sektor
meliputi sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana
dengan pusat dan kabupaten/kota.
10) Melakukan evaluasi dan memutakhirkan protap yang ada
sesuai kebutuhan.
11) Kegiatan bimbingan teknis.

c. Tingkat Kabupaten/Kota
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan kegiatan:
1) Membuat peta geomedik daerah rawan bencana.
2) Membuat rencana kontinjensi (Contingency Plan).
3) Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana.
4) Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat.
5) Membentuk Pusdalops penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi.
6) Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi, mencakup:
a. Jumlah dan lokasi Puskesmas.
b. Jumlah ambulans.
c. Jumlah tenaga kesehatan.
d. Jumlah RS termasuk fasilitas kesehatan Iainnya.
e. Obat dan perbekalan kesehatan.
f. Unit transfusi darah.
7) Mengadakan koordinasi lintas program dan lintas sektor
meliputi sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana
dengan provinsi dan Kecamatan.
8) Kegiatan bimbingan teknis.

42
d. Tingkat Kecamatan
Kepala Puskesmas melakukan kegiatan:
1) Membuat jalur evakuasi dan mengadakan pelatihan.
2) Mengadakan pelatihan triase.
3) Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi
4) Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan
dini(earlywarning system) untuk kesiapsiagaan bidang
kesehatan.
5) Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam
Satgas.
6) Mengadakan koordinasi lintas sektor.

2. Saat bencana
a. Tingkat Pusat
Koordinasi pada saat bencana adalah Sekretaris Jenderal Depkes.
Sedangkan Direktorat-direktorat Jenderal mempunyai tugas sebagai
berikut:
1) Dirjen Bina Pelayanan mengkoordinasikan daerah darurat
medik di lapangan dan pelayanan kesehatan rujukan di rumah
sakit serta mobilisasi SDM Kesehatan pada fase tanggap
darurat.
2) Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan
(P2dan PL) berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi
untuk menggerakkan kinerja surveilans epidemiologi
kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit, logistik
dan peralatan kesehatan lapangan dalam rangka pencegahan
KLB penyakit menular di tempat penampungan pengungsi dan
lokasi sekitarnya.
3) Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
mengkoordinasikan bantuan obat, bahan habis pakai dan

42
perbekalan kesehatan yang diperlukan. Sementara itu, Kepala
Badan POM mengawasi kualitas obat dan makanan bantuan
untuk korban.
4) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat berkoordinasi dengan
Dinas Kesehatan Provinsi untuk memberikan dukungan
pelayanan kesehatan dan gizi, kesehatan reproduksi, promosi
kesehatan dan penanggulangan penyakit akibat kerja.
5) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang)
membantu Dirjen terkait dan PPK Setjen Depkes sesuai tugas
dan fungsinya agar pelayanan medik pada penanggulangan
bencana lebih efektif dan efisien.
6) Inspektur Jenderal melakukan pengawasan kegiatan yang
terkait dalam penanggulangan bencana.
7) Kepala Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Setjen Depkes
sebagai pelaksana koordinasi mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. Mengaktifkan Pusdalops penanggulangan bencana.
b. Mengadakan koordinasi lintas sektor untuk angkutan
personil, peralatan, bahan bantuan, dan lain-lain.
c. Mengkoordinasikan bantuan swasta dan sektor lain.
d. Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk
mempersiapkan bantuan bila diperlukan.
e. Berkoordinasi dengan Tim Identifikasi Nasional untuk
mengidentifikasi korban meninggal massal.
8) Dalam keadaan darurat, Departemen Kesehatan dapat
memanfaatkan potensi dan fasilitas kesehatan yang berada
diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (misalnya
Pertamina, PTP, BUMN, Swasta, dll.).

b. Tingkat Provinsi
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi melakukan kegiatan :

42
1) Melapor kepada Gubernur dan menginformasikan kepada PPK
Setjen Depkes tentang terjadinya bencana atau adanya
pengungsi.
2) Mengaktifkan Pusdalops Penanggulangan Bencana tingkat
Provinsi.
3) Berkoordinasi dengan Depkes cq. PPK, bila ada kebutuhan
bantuan obat dan perbekalan kesehatan. Pengelolaan obat dan
perbekalan kesehatan.
4) Berkoordinasi dengan Rumah Sakit Provinsi untuk
mempersiapkan penerimaan rujukan dari lokasi bencana atau
tempat penampungan pengungsi. Bila diperlukan, menugaskan
Rumah Sakit Provinsi untuk mengirimkan tenaga ahli ke lokasi
bencana atau tempat penampungan pengungsi.
5) Berkoordinasi dengan Rumah Sakit rujukan (RS Pendidikan)
diluar Provinsi untuk meminta bantuan dan menerima rujukan
pasien.
6) Berkoordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk melakukan "Re-Rapid Health
Assessment" atau evaluasi pelaksanaan upaya kesehatan.
7) Memobilisasi tenaga kesehatan untuk tugas perbantuan
kedaerah bencana.
8) Berkoordinasi dengan sektor lain terkait untuk penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi.
9) Menuju lokasi terjadinya bencana atau tempat penampungan
pengungsi.
10) Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah
Provinsi,koordinator pelayanan kesehatan pada
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dipegang
oleh Sekjen Depkes.
Direktur Rumah Sakit Provinsi melakukan kegiatan:

42
1) Mengadakan koordinasi dengan Rumah Sakit Kabupaten/Kota
untuk mengoptimalkan sistem rujukan.
2) Menyiapkan instalasi gawat darurat dan instalasi rawat inap
untuk menerima penderita rujukan dan melakukan pengaturan
jalur evakuasi.
3) Mengajukan kebutuhan obat dan peralatan lain yang
diperlukan.
4) Mengirimkan tenaga dan peralatan ke lokasi bencana bila
diperlukan.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah menerima berita
tentang terjadinya bencana dari Kecamatan, melakukan kegiatan:
1) Berkoordinasi dengan anggota Satlak PB dalam
penanggulangan bencana.
2) Mengaktifkan Pusdalops Penanggulangan Bencana Tingkat
Kabupaten/Kota.
3) Berkoordinasi dengan RS Kabupaten/Kota termasuk denganRS
Swasta Rumkit TNI dan POLRI untuk mempersiapkan
penerimaan penderita yang dirujuk dari lokasi bencana dan
tempat penampungan pengungsi.
4) Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, obat dan
perbekalan kesehatan ke lokasi bencana.
5) Menghubungi Puskesmas di sekitar lokasi bencana untuk
mengirimkan dokter, perawat dan peralatan yang diperlukan
termasuk ambulans ke lokasi bencana.
6) Melakukan Penilaian Kesehatan Cepat Terpadu (Integrated
Rapid Health Assessment).
7) Melakukan penanggulangan gizi darurat.
8) Memberikan imunisasi campak di tempat pengungsian bagi
anak-anak di bawah usia 15 tahun.
9) Melakukan surveilans epidemiologi terhadap penyakit
potensial wabah, pengendalian vektor serta pengawasan
kualitas air dan lingkungan.

42
10) Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah
Kabupaten/ Kota, penanggung jawab upaya penanggulangan
bencana adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Direktur Rumah Sakit Kabupaten/Kota melakukan kegiatan:


1) Menghubungi lokasi bencana untuk mempersiapkan instalasi
gawat darurat dan ruang perawatan untuk menerima rujukan
penderita dari lokasi bencana dan tempat penampungan
pengungsi.
2) Menyiapkan instalasi gawat darurat dan instalasi rawat inap
untuk menerima rujukan penderita dari lokasi bencana atau
tempat penampungan pengungsi dan melakukan pengaturan
jalur evakuasi.
3) Menghubungi RS Provinsi tentang kemungkinan adanya
penderita yang akan dirujuk.
4) Menyiapkan dan mengirimkan tenaga dan peralatan ke lokasi
bencana bila diperlukan.

d. Tingkat Kecamatan
Kepala Puskesmas di lokasi bencana melakukan kegiatan:
1) Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa
peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan
memberikan pertolongan pertama.
2) Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang
terjadinya bencana.
3) Melakukan Initial Rapid Health Assessment (Penilaian Cepat
Masalah Kesehatan Awal)
4) Menyerahkan tanggung jawab pada Kadinkes Kabupaten/ Kota
apabila telah tiba di lokasi.
5) Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah
kecamatan, penanggung jawab upaya penanggulangan bencana
adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

42
Kepala Puskesmas di sekitar lokasi bencana melakukan kegiatan:
1) Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/
alat transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat
penampungan pengungsi.
2) Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta
pelayanan kesehatan pengungsi.

3. Pascabencana
a. Tingkat Pusat
1) Koordinasi lintas program untuk:
a. Evaluasi dampak bencana guna menanggulangi kemungkinan
timbulnya KLB penyakit menular.
b. Upaya pemulihan kesehatan korban bencana.
c. Berkoordinasi dengan, program terkait dalam upaya
rekonsiliasi, khususnya untuk wilayah yang mengalami
konflik dengan kekerasan.
d. Penyelesaian administrasi dan pertanggungjawaba nanggaran
yang telah dikeluarkan selama berlangsungnya pelayanan
kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan
pengungsi.
2) Koordinasi lintas sektor untuk:
a. Pemulihan (rehabilitasi) prasarana/sarana kesehatan yang
mengalami kerusakan.
b. Pemulihan (rehabilitasi) kehidupan masyarakat ke arah
kehidupan normal.
c. Relokasi masyarakat pengungsi.
d. Rekonsiliasi masyarakat yang terlibat bencana konfliksosial
dengan kekerasan.
e. Pembangunan kembali (rekonstruksi)
prasarana/saranakondisi yang permanen.

42
f. Pemantauan, evaluasi dan analisis dampak bencana serta
penanganan pengungsi.

b. Tingkat Provinsi
1) Mendukung upaya kesehatan dalam pencegahan KLB penyakit
menular dan perbaikan gizi di tempat penampungan lokasi
sekitar dengan kegiatan surveilans epidemiologi, kesehatan
lingkungan, dan pemberantasan penyakit.
2) Jika terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk, segera
mengirimkan tenaga ahli yang relevan ke lokasi bencana atau
tempat penampungan pengungsi.
3) Melakukan evaluasi dan analisis dampak bencana terhadap
kesehatan lingkungan/KLB.
4) Membantu upaya rekonsiliasi khusus untuk konflik dengan
tindak kekerasan dapat dilakukan rekonsiliasi antara pihak-pihak
yang bertikai dengan mediasi sektor kesehatan, yaitu kesehatan
sebagai jembatan menuju perdamaian dengan kegiatan berupa:
a. Pelatihan bersama dengan melibatkan pihak-pihak yang
bertikai.
b. Sosialisasi netralitas petugas kesehatan untuk menjalankan
profesinya kepada pihak yang bertikai.
c. Kerja sama petugas kesehatan dari pihak-pihak yang bertikai
dalam menyusun program kesehatan bagi korban kerusuhan.
d. Pelayanan kesehatan terpadu antara pihak bertikai tanpa
membedakan perbedaan (azas netralitas).
5) Memantau, mengevaluasi dan melaksanakan kegiatan Post
Trauma Stress Disorder (PTSD).

c. Tingkat kabupaten
1) Mengirimkan tenaga surveilans dan tenaga kesehatan
lingkungan untuk membantu upaya kesehatan dalam

42
pencegahan KLB penyakit menular di lokasi bencana dan
tempat penampungan pengungsi maupun lokasi sekitarnya
dengan kegiatan surveilans, kesehatan lingkungan dan
pemberantasan penyakit.
2) Jika terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk, segera
lakukan upaya pemberantasan penyakit dan perbaikan gizi serta
melaporkannya ke dinas kesehatan provinsi.
3) Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap upaya
penanggulangan yang dilakukan.
4) Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi
setelah rapid assessment dilakukan, merencanakan kebutuhan
pangan untuk suplemen gizi dan menyediakan paket bantuan
pangan (ransum) yang cukup, mudah dikonsumsi oleh semua
golongan usia.
5) Menyediakan pelayanan kesehatan, pengawasan kualitas air
bersih dan sanitasi lingkungan bagi penduduk di penampungan
sementara.
6) Memulihkan kesehatan fisik, mental dan psikososial korban
berupa :
a. Promosi kesehatan dalam bentuk konseling ( bantuan
psikososial) dan lain-lain kegiatan diperlukan agar para
pengungsi dapat mengatasi psikotrauma yang dialami.
b. Pencegahan masalah psiko-sosial untuk menghindari
psikosomatis.
c. Pencegahan berlanjutnya psiko-patologis pasca pengungsian.

d. Tingkat kecamatan
Puskesmas kecamatan tempat terjadinya bencana:
1) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar dipenumpangan
dengan mendirikan Pos Kesehatan Lapangan.

42
2) Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih danpengawasan
sanitasi lingkungan.
3) Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang
mungkin timbul.
4) Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota bila
terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk.
5) Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat
kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat
luas,bimbingan pada kelompok yang berpotensi mengalami
gangguan stres pascatrauma.
6) Merujuk penderita yang tidak dapat ditangani dengan konseling
awal dan membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau
penanganan lebih spesifik. Kecamatan di sekitar terjadinya
bencana mengirim tenaga dokter dan perawat ke pos kesehatan
lapangan (bila masih diperlukan).

H. PELAYANAN KESEHATAN SAAT BENCANA


1. Pelayanan Kesehatan Korban
Pelayanan kesehatan pada saat bencana bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah atau mengurangi kecacatan dengan
memberikan pelayanan yang terbaik bagi kepentingan korban. Untuk
mencapai tujuan tersebut,penanganan krisis kesehatan saat bencana
dalam pelaksanaannya melalui lima tahap pelaksanaan, yaitu tahap
penyiagaan, upaya awal, perencanaan operasi, operasi tanggap darurat
dan pemulihan darurat serta tahap pengakhiran misi.
Pelaksanaan kelima tahap di lingkungan kesehatan dikoordinasi
oleh Pusat Pengendali Kesehatan (Pusdalkes) dinas kesehatan setempat
yang diaktivasi sesaat setelah informasi kejadian bencana diterima.

 Pusat pengendali kesehatan (Pusdalkes)


Pusat pengendali kesehatan (pusdalkes) merupakan organisasi
komando tanggap darurat bencana yang memiliki struktur terdiri dari :

42
a. Ketua pusdalkes
Ketua bertugas dan bertanggungjawab untuk :
1) Mengaktifkan pusat pengendalian kesehatan (pusdalkes);
2) Membentuk pos pengendali kesehatan di lokasi bencana;
3) Membuat rencana strategis dan taktis,
mengorganisasikan,melaksanakan dan mengendalikan operasi
kesehatan saat tanggap darurat bencana;
4) Melaksanakan komando dan pengendalian untuk pengerahan
sumberdaya manusia kesehatan, peralatan dan logistik
kesehatan serta berwenang memerintahkan para pejabat yang
mewakili instansi/lembaga/organisasi yang terkait dalam
memfasilitasi aksesibilitas penanganan tanggap darurat
bencana.

b. Bidang operasi
Bidang operasi bertugas dan bertanggung jawab atas penilaian
cepat masalah kesehatan, pelayanan kesehatan pra rumah sakit dan
rumah sakit, evakuasi medis, perlindungan kesehatan pengungsi,
serta pemulihan prasarana dan sarana kesehatan dengan cepat,
tepat, efisien dan efektif berdasarkan satu kesatuan rencana
tindakan penanganan tanggap darurat bencana.
c. Bidang perencanaan
Bidang perencanaan bertugas dan bertanggung jawab atas
pengumpulan,analisis data dan informasi yang berhubungan
dengan masalah kesehatan saat penanganan tanggap darurat
bencana dan menyiapkan dokumen rencana serta laporan tindakan
operasi tanggap darurat.
d. Bidang logistik dan peralatan
Bidang logistik dan peralatan bertugas dan bertanggung jawab:

42
1) Menyediakan fasilitas, jasa, dan bahan‐bahan serta
perlengkapan untuk pelayanan kesehatan saat masa tanggap
darurat;
2) Melaksanakan koordinasi, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian dan transportasi bantuan logistik dan peralatan
kesehatan;
3) Melaksanakan penyelenggaraan dukungan, air bersih dan
sanitasi umum;
e. Bidang administrasi keuangan;
Bidang Administrasi Keuangan bertugas dan bertanggungjawab:
1) Melaksanakan administrasi keuangan;
2) Menganalisa kebutuhan dana dalam rangka penanganan
tanggap darurat bencana di bidang kesehatan;
3) Mendukung keuangan yang dibutuhkan dalam rangka
komando tanggap darurat bencana yang terjadi.

 Tahap penyiagaan
Tahap ini bertujuan untuk menyiagakan semua sumber daya baik
manusia maupun logistik yang sudah disiapkan pada masa sebelum
terjadi bencana. Tahap ini dimulai sejak informasi kejadian bencana
diperoleh hingga mulai tahap upaya awal. Tahap ini mencakup
peringatan awal, penilaian situasi dan penyebaran informasi kejadian.
Peringatan awal berupa informasi kejadian bencana dapat berasal
dari laporan masyarakat, media massa, perangkat pemerintah daerah
atau berbagai sumber lainnya. Sesaat setelah terjadi bencana, petugas
kesehatan yang berada di lokasi bencana segera melakukan penilaian
awal (initialassessment) untuk mengidentifikasi krisis kesehatan.
Penilaian awal ini berupa informasi singkat yang segera dilaporkan
ke Pusdalkes. Contoh format penilaian awal dapat dilihat pada Form
B1. Jika informasi kurang memadai, segera dikirim Tim Rapid Health
Assessment (RHA) untuk memastikan kejadian, menilai besarnya

42
dampak kejadian dan kebutuhan yang harus segera dipenuhi yang
kurang atau tidak tersedia di lokasi bencana. Informasi kurang memadai
yang diakibatkan karena kerusakan infrastruktur yang ditandai dengan
putusnya jalur komunikasi harus direspon sebagai tanda peringatan
bahaya sehingga Tim Reaksi Cepat (TRC) dapat disiapkan untuk segera
dikirim ke lokasi bersama dengan Tim RHA. Tim RHA dan TRC
dimobilisasi dalam waktu 0 – 24 jam setelah kejadian.
Setelah memastikan kejadian bencana, Pusdalkes segera
menyebarkaninformasi kejadian ke tingkat yang lebih tinggi dan
memobilisasi sumber daya sesuai kebutuhan. Informasi kejadian harus
bersirkulasi mengikuti perkembangan dan disampaikan dengan
menggunakan media komunikasi dari lokasi kejadian sampai ke tingkat
pusat.

 Tahap upaya awal (initial action)


RHA merupakan salah satu upaya awal saat tanggap darurat yang
dilakukan untuk mengetahui besar masalah, potensi masalah kesehatan
yang mungkin terjadi saat bencana serta kebutuhan sumber daya yang
harus segera dipenuhi agar penanganan bencana dapat berdaya guna
dan berhasil guna.
Tim RHA melakukan serangkaian aktivitas untuk memastikan
kejadian bencana, waktu dan lokasi kejadian, mengetahui jumlah
korban, potensi risiko krisis kesehatan, dan kebutuhan sumber daya
yang harus segera dipenuhi. Hasil akhir dari kegiatan RHA adalah
sebuah rekomendasi bagi pengambil keputusan untuk menentukan
langkah‐langkah dalam penangana suatu bencana. Kompetensi dan
jumlah anggota tim tergantung kepada jenis bencana dan luasnya
dampak bencana.
Aspek yang dinilai pada kegiatan RHA meliputi aspek medis,
epidemiologis dan kesehatan lingkungan. Anggota tim sebaiknya
memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidangnya, memiliki

42
integritas dan mampu bekerja dalam situasi bencana. Apabila dampak
bencana sangat luas, dapat dibentuk beberapa tim.
Aspek medis yang dinilai meliputi masalah serta kebutuhan
pelayanan medis korban pra rumah sakit, rumah sakit dan rujukan.
Penilaian ini harus dilakukan dan dilaporkan sesegera mungkin untuk
penanganan yang cepat dan tepat. Kegiatan ini harus dilakukan oleh
orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang
kegawatdaruratan medis. Aspek yang dinilai antara lain :
a. Mengidentifikasi lokasi bencana, meliputi daerah pusat bencana,
akses transportasi dan komunikasi dari dan ke lokasi, lokasi pos
medis lapangan(dapat berupa puskesmas atau tenda perawatan
sementara) dan sumber daya yang berada di lokasi;
b. Mengidentifikasi pos medis depan beserta sumber dayanya, yaitu
rumah sakit terdekat, yang akan dijadikan sebagai tempat rujukan
awal. Data mengenai rumah sakit setempat seharusnya sudah
tersedia sebelum terjadi bencana;
c. Mengidentifikasi pos medis belakang beserta sumber dayanya,
yaitu rumah sakit rujukan bagi korban yang memerlukan perawatan
lebih lengkap. Data mengenai sumber daya rumah sakit rujukan ini
seharusnya sudah tersedia sebelum terjadi bencana;
d. Mengidentifikasi pos medis sekunder, yaitu rumah sakit lainnya
seperti rumah sakit TNI, Polri atau swasta yang dapat dijadikan
sebagai tempat rujukan bagi korban yang memerlukan perawatan
lebih lengkap. Pos medis sekunder ini untuk mengantisipasi
banyaknya jumlah korban yangdirujuk ke pos medis belakang;
e. Mengidentifikasi alur evakuasi medis dari lokasi sampai pos medis
depan, pos medis belakang dan pos medi sekunder.

Identifikasi‐identifikasi di atas memungkinkan semua tim bantuan


untuk mencapai lokasi yang merupakan daerah kerja mereka secara
cepat dan efisien. Salah satu cara terbaik untuk proses identifikasi ini

42
adalah dengan membuat suatu peta sederhana lokasi bencana yang
mencantumkan topografi utama daerah tersebut, seperti jalan raya,
batas‐batas wilayah alami dan artifisial, sumber air, sungai, bangunan,
dan lain‐lain.
Dengan petaini dapat dilakukan identifikasi daerah‐daerah risiko
potensial, daerah lokalisasi korban, akses untuk mencapai lokasi, dan
untuk menetapkan area kerja. Hasil penilaian tersebut harus dilakukan
dan dilaporkan dengan cepat.

 Tahap rencana operasi


a. Menyusun rencana operasi
Rencana operasi tanggap darurat dan pemulihan darurat harus
merujuk pada hasil rekomendasi RHA dan informasi penting
lainnya dari sektor terkait, seperti masalah keamanan, pencemaran
bahan‐bahan berbahaya dan lain‐lain. Kompetensi tenaga medis
dan perlengkapan yang disiapkan harus sesuai dengan rekomendasi
RHA. Jika dalam rekomendasi diperlukan dokter spesialis bedah
dan anestesi untuk penanganan korban luka berat yang memerlukan
pembedahan, TRC atau tim bantuan kesehatan minimal harus
terdiri dari dokter bedah, dokter anestesi, dokter umum, perawat
mahir bedah dan UGD. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah
perkiraan kasus bedah dan ketersediaan tenaga medis di lokasi
bencana. Perlu disiapkan tim penolong terlatih untuk melakukan
perawatan medis pra rumah sakit secara baik di lapangan. Tim
medis lapangan ini memiliki kemampuan untuk :
1) Memberikan pertolongan life support;
2) Melakukan triase dengan baik;
3) Melakukan komunikasi radio dengan baik.
Sebelum TRC dan Tim Bantuan Kesehatan bertugas, dilakukan
briefing untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi di lokasi
bencana dan menetapkan kegiatan‐kegiatan yang akan dilakukan di

42
lokasi bencana. Ditetapkan pula perlengkapan yang perlu dibawa
untuk mendukung kegiatan‐kegiatan yang akan dilakukan.

b. Keselamatan
Dalam semua tahap operasi, keamanan dan keselamatanmerupakan
faktor paling utama yang harus diperhatikan semua petugas
kesehatan. Perlu dilakukan koordinasi dengan sektor terkait untuk
memastikan keamanan dan keselamatan petugas di lokasi agar
petugas dapat bekerja dengan optimal.
Tindakan keselamatan diterapkan untuk memberi perlindungan
kepada tim penolong, korban dan masyarakat yang terpapar dari
segala risiko yang mungkin terjadi dan dari risiko potensial yang
diperkirakan dapat terjadi (meluasnya bencana, material berbahaya,
kemacetan lalu lintas, dan lain‐lain). Langkah‐langkah
penyelamatan yang dilakukan,antara lain:
1) Aksi langsung yang dilakukan untuk mengurangi risiko,
misalnya dengan cara memadamkan kebakaran, isolasi material
berbahaya, penggunaan pakaian pelindung, dan evakuasi
masyarakat yang terpapar oleh bencana;
2) Aksi pencegahan yang mencakup penetapan area larangan
berupa:
a) Daerah pusat bencana terbatas hanya untuk tim penolong
profesional yang dilengkapi dengan peralatan memadai
b) Area sekunder hanya diperuntukan bagi petugas yang
ditugaskan untuk operasi penyelamatan korban, perawatan,
komando dankontrol, komunikasi, keamanan/keselamatan, pos
komando, posmedis sekunder, pusat evakuasi dan tempat
parkir bagi kendaraanyang dipergunakan untuk evakuasi dan
keperluan teknis
c) Area tersier media massa diijinkan untuk berada di area ini,
area juga berfungsi sebagai “penahan” untuk mencegah

42
masyarakat memasuki daerah berbahaya. Luas dan bentuk area
larangan ini bergantung pada jenis bencana yang terjadi (gas
beracun, material berbahaya, kebakaran, kemungkinan
terjadinya ledakan), arah angin dan topografi. Langkah
pengamanan diterapkan dengan tujuan untuk mencegahcampur
tangan pihak luar dengan tim penolong dalam melakukan
upaya penyelamatan korban. Akses ke setiap area
penyelamatan dibatasi dengan melakukan kontrol lalu‐lintas
dan keramaian. Langkah pengamanan ini mempengaruhi
penyelamatan dengan cara :
1) Melindungi tim penolong dari campur tangan pihak luar;
2) Mencegah terjadinya kemacetan dalam alur evakuasi korban
dan mobilisasi sumber daya;
3) Melindungi masyarakat dari kemungkinan risiko terpapar
oleh kecelakaan yang terjadi.

 Tahap operasi tanggap darurat dan pemulihan darurat


a. Pencarian dan penyelamatan
Kegiatan pencarian dan penyelamatan terutama dilakukan oleh
TimSAR (Basarnas atau Basarda) dan dapat berasal dari tenaga
suka rela bila dibutuhkan. Tim ini akan:
1) Melokalisasi korban;
2) Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat
pengumpulan/penampungan;
3) Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian);
4) Memberi pertolongan pertama jika diperlukan;
5) Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika diperlukan.
Bergantung pada situasi yang dihadapi seperti gas beracun atau
bahan/material berbahaya, tim ini akan menggunakan pakaian
pelindung dan peralatan khusus. Jika tim ini bekerja di bawah
kondisi yang sanga tberat, penggantian anggota tim dengan tim
pendukung harus lebih sering dilakukan. Pada situasi tertentu,

42
lokalisasi korban sulit dilakukan seperti korban yang terjebak
dalam bangunan runtuh, pembebasan korban akan membutuhkan
waktu yang lebih lama. Jika kondisi korban memburuk, pimpinan
Tim SAR, melalui Pos Komando dapat meminta bantuan timmedis
untuk melakukan stabilisasi korban selama proses pembebasan
dilakukan. Tenaga medis yang melakukan prosedur ini harus sudah
dilatih khusus untuk itu, dan prosedur ini hanya boleh dilakukan
pada situasi-situasi yang sangat mendesak. Jika daerah pusat
bencana cukup luas mungkin perlu untuk membaginya menjadi
daerah‐daerah yang lebih kecil dan menugaskan satu tim untuk
setiap daerah tersebut. Dalam situasi seperti ini, atau jikadaerah
pusat bencana tidak aman bagi korban, tim dapat membuat suatu
tempat penampungan di dekat daerah pusat bencana dimana
korbanakan dikumpulkan sebelum pemindahan selanjutnya.

b. Triase
Triase lapangan dilakukan pada tiga tingkat, yaitu:
1. Triase di tempat;
Triase dilakukan di tempat korban ditemukan atau tempat
penampungan korban sementara di lapangan. Karena terbatasnya
tenaga medis dan akses, triase lapangan dapat dilakukan oleh
tenaga awam terlatih yang lebih dahulu berada di lokasi, seperti
polisi dan pemadam kebakaran. Para awam terlatih ini diharapkan
minimal mampu mengidentifikasi kelompok korban gawat darurat
(merah dankuning) dan non gawat darurat (hijau).
Setiap korban diberi tanda sesuai tingkat kegawatdaruratannya
yang dapat berupa pita berwarna(merah untuk gawat darurat, hijau
untuk non gawat darurat dan hitam untuk korban meninggal).

2. Triase medik;
Triase ini dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih serta
berpengalaman di pos medis lapangan dan pos medis depan dengan
tujuan untuk menentukan tingkat perawatan yang dibutuhkan oleh

42
korban. Prioritas perawatan sesuai dengan tingkat kedaruratannya
ditandai dengan kartu triase warna merah (untuk korban yang
membutuhkan stabilisasi segera), kuning (untuk korban yang
memerlukan pengawasan ketat tetapi perawatan dapat ditunda
sementara), hijau (untuk korban yang tidak memerlukan
pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda) dan hitam
(korban yang meninggal dunia).

3. Triase evakuasi.
Triase ini ditujukan pada korban yang membutuhkan perawatan
lebih lanjut di rumah sakit dengan sarana yang lebih lengkap atau
pos medis belakang. Rumah sakit tersebut sudah harus disiapkan
untuk menerima korban massal dan apabila daya tampungnya tidak
mencukupi karena jumlah korban yang sangat banyak, perlu
disiapkan rumah sakit rujukan alternatif.
Tenaga medis di pos medis lapangan, pos medis depan dan pos
medis belakang harus terus berkomunikasi sesuai jenjang rujukan
untuk berkonsultasi mengenai kondisi korban yang akan
dievakuasi, rumah sakit tujuan dan jenis kendaraan yang akan
digunakan saat evakuasi.

c. Pertolongan pertama

Pertolongan pertama dilakukan oleh para sukarelawan


terlatih,petugas pemadam kebakaran, polisi terlatih, SAR, tim medis
gawat darurat. Pertolongan pertama dapat diberikan di lokasi
bencana (pos medis lapangan), sebelum korban dipindahkan, tempat
penampungan sementara (pos medis depan), pada “tempat hijau” di
pos medis belakang serta dalam ambulans saat korban dipindahkan
ke fasilitas kesehatan.

42
Pos medis lapangan adalah tempat pertolongan pertama di lokasi
bencana, dapat berupa tenda perawatan dan puskesmas. Pemilahan
korban (triase) dilakukan di pos medis lapangan dan dikelompokkan
sesuai tag (warna) tingkat kegawatdaruratan.
Pos medis depan adalah fasilitas kesehatan terdekat dengan lokasi
bencana, dapat berupa rumah sakit atau puskesmas rawat inap.
Korban yang membutuhkan stabilisasi segera dan pengawasan
intensif dapat dirawat di pos medis depan sebelum di rujuk ke pos
medis belakang.
Apabila pos medis depan adalah rumah sakit yang memiliki fasilitas
lengkap maka pos medis belakang menjadi rujukan sekunder jika
jumlah korban melampaui kapasitas pos medis depan.
Pertolongan pertama yang diberikan pada korban di setiap pos dapat
berupa kontrol jalan nafas, fungsi pernafasan dan
jantung,pengawasan posisi korban, kontrol perdarahan, imobilisasi
fraktur,pembalutan dan usaha‐usaha untuk membuat korban merasa
lebih nyaman. Hal‐hal penting yang harus diingat apabila korban
masih berada di lokasi adalah memindahkan korban sesegera
mungkin, membawa korban gawat darurat ke fasilitas kesehatan
sambil melakukan usaha pertolongan pertama, seperti
mempertahankan jalan nafas dan kontrol perdarahan.
Resusitasi kardiopulmoner (jantung dan paru) tidak boleh dilakukan
di lokasi bencana pada bencana massal karena membutuhkan waktu
dan tenaga. Pos medis belakang didirikan sebagai upaya untuk
menurunkan jumlah kematian dengan memberikan perawatan efektif
(stabilisasi)terhadap korban secepat mungkin. Upaya stabilisasi
korban mencakup intubasi, trakeostomi, pemasangan drain thorax,
pemasangan ventilator,penatalaksanaan syok secara medikamentosa,
analgesia, pemberianinfus, fasiotomi, imobilisasi fraktur, pembalutan
luka, pencucian lukabakar. Fungsi pos medis lanjutan ini dapat
disingkat menjadi “Three ‘T’rule” (Tag, Treat, Transfer) atau hukum

42
tiga (label, rawat, evakuasi). Pada beberapa keadaan tertentu,
misalnya adanya paparan material berbahaya, pos medis didirikan di
tempat yang aman, diusahakan untuk didirikan sedekat mungkin
dengan daerah bencana.

d. Evakuasi pos medis sekunder


Pada beberapa keadaan tertentu seperti jika daya tampung rumah
sakit terlampaui, atau korban membutuhkan perawatan khusus
(mis.bedah saraf), korban harus dipindahkan ke rumah sakit lain
yang menyediakan fasilitas yang diperlukan penderita. Pemindahan
seperti ini dapat dilakukan ke rumah sakit lain dalam satu wilayah,
ke daerah atau provinsi lain, atau bahkan ke negara lain. Pelayanan
medis spesialistik, seperti bedah saraf, mungkin tersedia pada rumah
sakit di luar area bencana. Namun, evakuasi medis semacam ini
harus dengan hati‐hati dikontrol dan terbatas bagi pasien yang
memerlukan penanganan spesialistik yang tidak tersedia pada area
bencana. Kebijakan mengenai evakuasi harus distandarisasi antara
tenaga kesehatan yang memberikan bantuan pemulihan di area
bencana dan rumah sakit yang akan menerima pasien.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia
atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala
tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena. Bencana terbagi menjadi dua jenis yaitu bencana alam seperti

42
banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah,
serangga dan lainnya dan bencana ulah manusia (man made disaster)
seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara,
sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan
transportasi dan lainnya.
Banjir bandang adalah banjir besar yang terjadi secara tiba-tiba dan
berlangsung hanya sesaat yang yang umumnya dihasilkan dari curah hujan
berintensitas tinggi dengan durasi (jangka waktu) pendek yang
menyebabkan debit sungai naik secara cepat. Peran perawat dalam
menghadapi banjir bandang meliputi pra bencana, saat bencana dan pasca
bencana.

2. Saran
Ada beberapa tindakan yang bisa mengurangi dampak resiko
penanggulangan banjir, diantaranya yaitu :
 Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan.
 Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian
sungai yang sering menimbulkan banjir.
 Tidak membangun rumah dan pemukiman di bantaran sungai serta
daerah banjir.
 Tidak membuang sampah ke dalam sungai.
DAFTAR PUSTAKA

Carter, W.N. (1991) Disaster Management: A disastermanager’s handbook.


Manila, Asian DevelopmentBank.

Makhfudli, F. E. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: teori dan praktik


dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

http://bnpb.go.id

http://lintasberita.com

http://rapi-nusantara.net/info-penting/artikel- banjir.html

42
http://bebasbanjir2025.wordpress.com/artikel-tentang-banjir/

42

Anda mungkin juga menyukai