Anda di halaman 1dari 15

makalah berpikir deduktif-induktif

MAKALAH
BERPIKIR INDUKTIF DAN DEDUKTIF
Disusun sebagai salah satu syarat mata kuliah Filsafat Ilmu

Oleh
Eriga
20112512005

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar
pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses
berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap
sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu
tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai “ pengkajian untuk berpikir secara sahih”. Terdapat bermacam-
macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang
memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama
hanya terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan yakni logika induktif dan deduktif.
Sementara menurut Jujun Suriasumantri, Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam
menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berfikir
penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana
berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain
menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat
analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada
hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio
atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran
mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta
yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran
mengembangkan paham empirisme.
B. Rumusan Makalah
Pada makalah ini pemakalah mengajukan beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa pengertian dari berpikir deduktif ?
2. Apa pengertian dari berpikir induktif ?
3. Bagaimana strategi penggunaan pola pikir induktif-deduktif dalam pembelajaran
matematika ?
C. Tujuan Makalah
Dari perumusan di atas , maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari berpikir deduktif .
2. Untuk mengetahui pengertian dari berpikir induktif .
3. Untuk mengetahui strategi penggunaan pola pikir induktif-deduktif dalam pembelajaran
matematika.

II. Pembahasan
A. Pengertian Berpikir Deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari
keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya
induksi (dikutip Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273 W.J.S.Poerwadarminta. Balai
Pustaka 2006)
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua
buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. ( dikutip :Filsafat Ilmu.hal 48-49
Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum
terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
(www.id.wikipedia.com).
B. Pengertian Berpikir Induktif
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus
untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 444
W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat
umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi
fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir
induktif. (www.id.wikipedia.com)
C. Strategi Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif Dalam Pembelajaran Matematika
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran
dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan
teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang
menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit
memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan
dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan
pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder,
2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new
learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua
pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajara sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan
menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika.
Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan
beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman
siswa tentang definisi yang disampaikan. Major (2006) memberi contoh pembelajaran
barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai pembelajaran dengan menulis definisi
dipapan tulis: ‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki beda sama’. Kemudian guru
menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru melanjutnya pembelajaran,
misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a + b, a + 2b + … + (a + (n –
1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh dan memberi soal untuk
dikerjakan siswa.

Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran


dengan pendekatan deduktif. Hal ini disebabkan siswa baru memahami generalisasi atau
kosep setelah disajikan berbagai contoh. Major (2006) menyarankan dalam pembelajaran
dengan pendekatan deduktif: (1) mulailah dengan menyatakan generalisasi secara jelas;
(2) tulis definisi dipapan tulis; (3) jelaskan istilah-istilah dalam definisi; (4) secara hati-hati
tekankan hubungan-hubungan sifat dalam generalisasi; (5) ilustrasikan dengan contoh; dan
(5) berilah kesempatan siswa memberi atau mengerjakan contoh berikutnya.

Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan


deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan
pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran
penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan
pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau
memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan
prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.

Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif


untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan
contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan
sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi.
Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada
abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase kegiatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah.
Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas
materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika
bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir
deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang
bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000:
16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan
menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara
berganti
III. Penutup
Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah secara bermakna, siswa dituntut
terampil memahami konsep-konsep matematika dari pola pikir induktif menuju deduktif.
Pembelajaran matematika beracuan pendekatan tertentu seperti konstruktivisme atau CTL
dengan melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif merupakan salah satu alternatif
pembelajaran matematika yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang berpusat
pada siswa.
Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan pola pikir induktif, kadang
deduktif, dan kadang keduanya. Dalam pemecahan masalah kadang sulit memisahkan
antara penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran
matematika beracuan konsruktivisme penggunaan pola pikir induktif dan deduktif keduanya
dapat digunakan untuk membangun misalnya suatu konsep matematika berdasar
pengalaman siswa sendiri.

Pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan


komunikasi, dan pemecahan masalah dapat diawali menggunakan pola pikir induktif melalui
pengalaman-pengalaman khusus yang dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak
mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola pikir induktif.
Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau
fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang
mungkin, dan kemudian jika memungkinkan siswa dapat diarahkan menyusun generalisasi
secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir
induktif-deduktif.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2007
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : PT gelora
Aksara Pratama, 1990
Rochmad, Ayatullah S. (2009). PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERACUAN
KONSTRUKTIVISME. Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan
Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus
Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal 16 Januari 2008 .Tersedia: http://rochmad-
unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html .Diakses : 16
November 2011

Santoso, Slamet. (2008). Kuliah : Metpen Kuantitatif. Tersedia :


http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html. Diakses :
15 Nopember 2011
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERACUAN KONSTRUKTIVISME
Oleh: Rochmad
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES Semarang

(Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi


Guru: Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES
Semarang, tanggal 16 Januari 2008)

Abstrak:
Ciri utama penalaran dalam matematika adalah deduktif, atau dengan perkataan lain
matematika bersifat deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh
sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau
pernyataan matematika bersifat konsisten. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran
matematika pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk mempelajari
konsep-konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran matematika dengan fokus
pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat
diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus yang
dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika
dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai
dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat
yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan kemudian siswa dapat diarahkan
menyusun generalisasi secara deduktif. Selanjutnya, jika memungkinkan siswa dapat
diminta membuktikan generalisi yang diperolehnya secara deduktif. Secara umum dalam
memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif. Dalam pemecahan
masalah, memecahkannya kadang hanya menggunakan salah satu pola pikir induktif atau
deduktif, namun banyak masalah dalam memecahkannya menggunakan keduanya pola
pikir induktif dan deduktif secara bergantian.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif, pola pikir
induktif-deduktif, pemecahan masalah.

A. Pendahuluan
Matematika merupakan pelajaran di sekolah yang dipandang penting dan dipelajari oleh
siswa di semua tingkat pendidikan. Matematika informal diberikan pada anak-anak
prasekolah, misalnya di “kelompok bermain atau play group” dan di Taman Kanak-Kanak
(TK). Mulai di sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) siswa mendapat pelajaran
matematika formal. Di TK misalnya, siswa mulai mengenal klasifikasi secara informal.
Anak-anak bermain memilih benda-benda berwarna merah dari sekelompok benda-benda
mainannya dapat dikatakan secara informal siswa melakukan pengelompokan, dan bahkan
secara informal pada diri siswa mulai tertanam “penalaran matematika”, misalnya siswa
menggunakan penalaran matematika ketika mengetahui mana benda-benda yang termasuk
dalam kelompok benda-benda berwarna merah dan yang bukan berwarna merah. Dalam
setiap pengelompokan tentu ada syarat tertentu, secara informal siswa dapat
mengklasifikasikan mana benda-benda yang menjadi anggota kelompoknya, syarat dalam
melakukan pengelompokan oleh anak dilakukan sendiri atau dilakukan dibawah bimbingan
guru.

Sejak siswa duduk di kelas 1 SD/MI, mulailah dikenalkan dengan matematika formal. Para
siswa mulai mengenal obyek dasar matematika yang bersifat abstrak misalnya fakta,
konsep, prinsip dan struktur matematika. Dalam mempelajari matematika siswa terlibat
dengan berpikir. Soedjadi (2000) menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya
diterima pola pikir deduktif. Meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir
deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola pikir
induktif.

Dewasa ini pembelajaran matematika konstruktivis menjadi perhatian para pemerhati


pendidikan untuk menggeser pembelajaran matematika tradisional yang hasil belajarnya
dipandang kurang optimal. Slavin (2000) menyatakan “students must construct knowledge
in their own mind”. Pembelajaran matematika tradisional berpusat pada guru dengan
metode ceramah sebagai metode pembelajaran utama. Di kelas siswa lebih banyak
sebagai pendengar dan menghafal aturan-aturan atau rumus-rumus matematika kurang
memahaminya (Suwarsono, 1999; Ratumanan, 2003; Jaeng, 2004). Marpaung (dalam
Ratumanan, 2003) berpendapat bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafal.

Pembelajaran matematika beracuan konstruktivieme berpusat pada siswa, guru berperan


sebagai fasilitator terciptanya suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan
menyenangkan. Guru menerapkan berbagai metode yang dipandang sesuai dengan
bahasan materi matematika yang sedang dipelajari. Siswa terlibat membangun ide-ide,
konsep-konsep, prinsip-prinsip dan struktur-struktur matematika berdasar pengalaman
siswa sendiri.
Fakta di lapangan guru matematika sekolah kebanyakan mengajar dengan cara tradisional
dengan pola: informasi-contoh soal-latihan sesuai contoh. Paradigma pembelajaran
matematika di Indonesia selama bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak
dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku, bukan paradigma belajar (Marpaung, 2003).
Menurut Ratumanan (2003) pembelajaran matematika di Indonesia beracuan behaviorisme
dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan. Guru mendominasi
kelas dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas aktif siswa,
interaksi siswa, negosiasi makna, dan konstruksi pengetahuan.

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika beracuan


behaviorisme selama ini kurang berhasil, oleh karena itu perlu dicari alternatif
”penggantinya”, misalnya pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme. Tulisan ini
membahas pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dan kaitannya dengan
penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Tulisan ini menyajikan salah satu alternatif
sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan
pola pikir induktif-deduktif.

B. Pembahasan
1. Penalaran Matematika
Fondasi dari matematika adalah penalaran (reasoning). Ross (dalam Lithner, 2000)
menyatakan bahwa salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah
mengajarkan kepada siswa penalaran logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar
tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi
yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui
maknanya.
Banyak penelitian yang dilakukan para psikolog dan pendidik berkaitan dengan penalaran.
Penalaran yang mula-mula dikenalkan oleh Aristotle adalah penalaran silogisme yang
idenya muncul ketika orang ingin mengetahui “apa yang terjadi dibenak” dalam
memecahkan masalah yang memuat logika. Lebih dari 2000 tahun yang lalu Aristotle
mengenalkan suatu sistem penalaran atau validasi argumen yang disebut silogisme.
Silogisme memuat tiga urutan argumen: sebuah premis utama (a major premise); sebuah
premis minor (a minor premise); dan sebuah kesimpulan (a conclusion). Suatu kesimpulan
yang dicapai berdasarkan penalaran silogisme dinilai “benar” atau “valid”, jika premis-
premisnya merupakan pernyataan yang benar dan disusun dalam bentuk yang benar.

Dalam belajar matematika memerlukan penalaran induktif dan deduktif. Copeland (1974)
mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif digunakan bila dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan
kebenaran untuk semua kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi
pikiran dan konsistensi logika yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme
benar dan bentuknya (format penyusunannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses
penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut penalaran
deduktif.
Peressini dan Webb (1999) di samping memandang penalaran matematika sebagai
konseptualisasi dinamik dari daya matematika (mathematically powerful) siswa, juga
memandang penalaran matematika sebagai aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman
mode berpikir. Daya matematika sebagai suatu integrasi dari berikut ini: (a) suatu
kecenderungan positip kepada matematika; (b) pengetahuan dan pemahaman terhadap
sifat-sifat matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-prosedur dan keterampilan-
keterampilan; (c) kecakapan melakukan analisis dan beralasan secara matematis; (d)
kecakapan menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan ide-ide; dan (e)
kecakapan menerapkan pengetahuan matematika untuk memecahkan masalah-masalah
dalam berbagai konteks dan disiplin ilmu (NCTM, 1989 dalam Perissini dan Webb, 1999).

Daya matematika siswa seyogyanya dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi supaya
mampu memunculkan berbagai metode matematika yang nantinya dapat membantu siswa
dalam memecahkan masalah tidak rutin dan dapat dijadikan panduan dalam menghadapi
perubahan kehidupan dalam masyarakat yang bergantung pada kemajuan ilmu, teknologi
dan informasi. Penalaran matematika dalam sudut pandang aktivitas dinamik melibatkan
keragaman mode berpikir, dan daya matematika dipandang sebagai komponen integral dari
berpikir matematika. Khususnya berpikir matematika yang melibatkan keragaman
matematika dalam keterampilan berpikir untuk memahami ide-ide, menemukan hubungan
antar ide-ide, dan mendukung gambaran atau kesimpulan tentang ide-ide dan hubungan-
hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah yang melibatkan ide-ide tersebut
(O’Daffer dan Thornquist dalam Perissini dan Webb, 1999).

Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses berpikir seseorang.
Penalaran matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur,
menetapkan generalisasi-generalisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan
(dan validasi) kesimpulan-kesimpulan logis berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya.
Untuk mencapai daya matematika berbagai mode penalaran matematika dilibatkan
misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive), bersyarat (conditional), perbandingan
(proporsional), grafik (graphical), keruangan (spatial) dan penalaran abstrak (abstract
reasoning).

2. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme


Salah satu dari prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak
dapat dengan mudah menanamkan pengetahuan pada diri siswa. Slavin (2000)
menyatakan bahwa siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya. Berkaitan
dengan hal ini, guru dapat menciptakan suasana pembelajaran sehingga informasi,
keterampilan dan konsep yang disampaikan menjadi bermakna dan relevan bagi siswa
dengan cara memberi kesempatan kepada para siswa untuk menemukan dan menerapkan
ide mereka sendiri; serta suasana pembelajaran yang mampu menjadikan siswa memiliki
keberanian dan dengan penuh kesadaran belajar menggunakan strateginya sendiri. Guru
dapat memberi tangga kepada siswa agar dapat digunakan untuk naik menuju ke
pemahaman yang lebih tinggi, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang memanjatnya.

Menurut Slavin (2000) proses mengajar belajar yang berpusat pada siswa dan menekankan
pada aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya sendiri dinamakan teori
pembelajaran konstruktivistik (constructivist theories of learning). Pembelajaran
konstruktivis mengkondisikan kegiatan siswa dalam interval waktu kerja yang tidak begitu
lama memeriksa informasi baru dan dibandingkan dengan aturan-aturan yang telah
diketahuinya, dan mungkin kemudian merevisi aturan-aturan tersebut. Karena
pembelajaran konstruktivis menekankan kepada para siswa agar belajar lebih aktif di kelas,
maka pembelajaran konstruktivis sering dinamakan pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme guru menjadi pembimbing dan
fasilitator. Inti dari pembelajaran konstruktivis adalah siswa secara individual menemukan
dan mentransformasi informasi yang begitu kompleks dalam benaknya.

Kenyataan bahwa para siswa sering mempelajari konsep-konsep dan prosedur-prosedur


matematika dengan kurang atau tidak memahaminya dikemukakan dalam National
Assessment of Educational Progress (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993). William A.
Brownel (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993) adalah salah seorang yang mula-mula
mengajukan teori pembelajaran matematika (aritmetika) secara bermakna (meaningful
learning) berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang efektif harus menyajikan
suatu pemahaman pada konsep-konsep, hubungan-hubungan, dan proses terjadinya
definisi aritmetika. Penelitian menunjukkan bahwa para siswa sering mempelajari prosedur-
prosedur dalam aljabar tanpa memahami makna apa yang mereka pelajari. Reed (dalam
Johnson, Johnson dan Stiff, 1993) menyatakan bahwa jika para siswa memahami struktur-
struktur yang mendasari masalah, susunan kata dalam masalah kurang memberi efek pada
kecakapan siswa dalam memecahkannya atau dalam mengkonstruksi alternatif
pemecahannya. Salah satu strategi penting untuk membantu siswa dalam memahami
masalah secara bermakna adalah meminta siswa menulis dan merumuskan kembali
masalah yang sedang dihadapi sebelum siswa menulis penyelesaianya.

Sampai saat ini, teori perkembangan intelektual anak yang sering menjadi acuan para
pemerhati pendidikan adalah teori perkembangan inelektual Piaget. Di awal kerjanya ia
mengidentifikasi adanya empat tahap perkembangan kognitif: sensori motor (sensorimotor),
preoperasional (preoperational), operasional konkret (concrete operational), dan operasi
formal (formal operational). Tetapi siswa jarang hanya berada pada satu sisi tahap
perkembangan. Para siswa pada jenjang pendidikan setingkat SMA (high school) sering
berada dan bergerak pada operasi konkret dan operasi formal jika mereka sedang
mempelajari keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip baru (Johnson,
Johnson dan Stiff, 1993).

Teori Piaget tentang perkembangan intelektual menaruh perhatian pada proses asimilasi
(assimilation) dan akomodasi (accommodation) informasi dalam skema mental siswa.
Asimilasi adalah suatu proses menempatkan informasi dan pengalaman baru dalam
struktur kognitif siswa. Akomodasi adalah hasil penyetrukturan kembali dalam skema
kognitif.
Assimilation is the process by which new experience and information are placed into the
cognitive structure of the leaner. […] Accomodation is the product of any restructuring of
that cognitive schema. (Stiff, Johnson, dan Johnson; 1993:3)

Pembelajaran beracuan konstruktivisme menekankan pada aktivitas siswa membangun


(construct) pengetahuan untuk “menyesuaikan” apa yang baru saja diketahui (atau
diyakini). Kadangkala penyesuaian atau adaptasi tidak dapat dengan mudah dilakukan.
Apabila siswa tidak dapat membaca asimilasi data baru dalam struktur mental yang ada,
maka siswa membangun skema-skema atau hubungan-hubungan baru agar dapat
mengakomodasi pengetahuan dalam benaknya. Untuk memperoleh pengalaman
membangun pengetahuan baru dalam benaknya siswa harus aktif terlibat dalam
merestruktur pengetahuan tersebut.
Sebagai contoh, dalam memperoleh keterampilan menyelesaikan sistem persamaan linear
dengan dua variabel misalnya mula-mula siswa terampil bekerja menggunakan cara
“eleminasi”. Dengan berdasar pengetahuan dan pengalaman siswa ini dimungkinkan
menghasilkan penyetrukturan kembali (restructuring) pemahaman mereka dalam
menyelesaikan sistem persamaan linear dengan dua variabel misalnya menyelesaikan
persamaan tersebut dengan menggunakan bantuan matriks.

Bruner (dalam Stiff, Johnson dan Johnson, 1993) merumuskan empat teorema belajar
matematika yang mengacu pada pandangan konstruktivisme. Teorema konstruksi
(construction theorem), teorema notasi (notation theorem), teorema kontras dan variasi
(contrast and variation theorem), dan teorema konektivitas (connectivity theorem).
Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa seyogyanya diberi kesempatan untuk
mengkonstruksi sendiri representasi konsep-konsep, aturan-aturan dan hubungan-
hubungannya. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas guru sering menyediakan dan
menggunakan bantuan benda-benda konkret atau benda-benda manipulatif untuk
membantu siswa dalam belajarnya. Teori notasi menyatakan bahwa penggunaan notasi
yang baik akan menyederhanakan proses kognisi dalam menangkap konsep-konsep,
aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Sebagai contoh, siswa akan lebih memahami
konsep “variabel” jika digunakan representasi ikonik misalnya 19 = __ + 7 dari pada
digunakan representasi baku 19 = x + 7.

Teorema kontras dan variasi menyatakan bahwa kemajuan dari representasi konsep-
konsep dari konkret ke bentuk abstrak bergantung pada pengalaman siswa dalam
membandingkan atribut-atribut suatu konsep dengan atribut-atribut konsep lain yang
serupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghadapi dan menyelesaikan berbagai
contoh. Teorema konektivitas menyatakan bahwa guru perlu mendemonstrasikan
hubungan antar keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika.
Teorema konektivitas ini dapat mengurangi isolasi antar topik dalam pembelajaran
matematika dan dapat mengantarkan siswa sampai pada tingkat intuisi dan penalaran
matematika yang lebih tinggi, yakni belajar matematika secara bermakna (meaningfull
mathematical learning).

3. Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematika


Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran
dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan
teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang
menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit
memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan
dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan
pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder,
2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new
learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua
pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.

Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan
menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika.
Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan
beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman
siswa tentang definisi yang disampaikan. Major (2006) memberi contoh pembelajaran
barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai pembelajaran dengan menulis definisi
dipapan tulis: ‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki beda sama’. Kemudian guru
menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru melanjutnya pembelajaran,
misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a + b, a + 2b + … + (a + (n –
1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh dan memberi soal untuk
dikerjakan siswa.

Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran


dengan pendekatan deduktif. Hal ini disebabkan siswa baru memahami generalisasi atau
kosep setelah disajikan berbagai contoh. Major (2006) menyarankan dalam pembelajaran
dengan pendekatan deduktif: (1) mulailah dengan menyatakan generalisasi secara jelas;
(2) tulis definisi dipapan tulis; (3) jelaskan istilah-istilah dalam definisi; (4) secara hati-hati
tekankan hubungan-hubungan sifat dalam generalisasi; (5) ilustrasikan dengan contoh; dan
(5) berilah kesempatan siswa memberi atau mengerjakan contoh berikutnya.

Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan


deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan
pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran
penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan
pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau
memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan
prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.

Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk
mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-
contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah
pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak
harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut
setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.

4. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme yang Melibatkan Penggunaan Pola


Pikir Induktif-Deduktif
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme masih sulit
menentukan pendekatan mana yang lebih baik; pembelajaran matematika dengan
pendekatan induktif atau dengan pendekatan deduktif. Menurut Prince dan Felder (2006),
guru yang baik adalah yang membantu siswa mempelajari keduanya. Menurut Dameus, A.
Tilley, D.S, Brant, M (2004) pendekatan pembelajaran dapat induktif atau deduktif, atau
kombinasi dari keduanya. Major (2006) berpendapat dalam pelaksanaan pembelajaran
lebih baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meskipun tak dapat dihindari
mana yang lebih dominan.
Berdasar uraian di atas dan mengacu pendapat dengan Prince dan Felder (2006), Dameus,
A. Tilley, D.S, Brant (2004), dan Major (2006); penulis berpendapat pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme dapat dirancang mengkombinasikan keduanya
memuat kegiatan induktif dan deduktif, sependapat dengan Major (2006) dalam
pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif
meski tak dapat dihindari salah satu dari kegiatan tersebut lebih dominan.

Dalam makalah ini dikembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme


yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Rancangan sintaks pembelajaran
dominan pada kegiatan induktif yang memuat kegiatan siswa mengkonstruksi pengetahuan
matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Siswa melakukan pengamatan pada hal-
hal khusus, misalnya contoh-contoh suatu konsep dan menuliskan konsep tersebut dengan
bahasa siswa sendiri. Dalam kegiatan induktif ini siswa belajar mengkonstruk pengetahuan
matematis menggunakan pola pikir induktif. Ketika siswa memecahkan masalah siswa
menggunakan pola pikir induktif atau deduktif secara bergantian. Dengan demikian
kegiatan deduktif tercakup dalam pemecahan masalah. Dalam pemecahan masalah siswa
terlibat dengan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.

Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang


melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif serta pembelajaran yang memungkinkan
mencakup kegiatan pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan
masalah sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase
kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan penutupan.

a. Fase kegiatan pembukaan


Kegiatan guru pada fase kegiatan pembukaaan pertama-tama guru membuka
pembelajaran. Menyampaikan tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa agar dapat lebih
siap dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Selanjutnya guru memeriksa pengetahuan
prasyarat misalnya dengan cara menanyakan hasil pekerjaan rumah, atau menanyakan
materi yang berkaitan dengan pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya.

Menurut Kemp (1994: 107) dapat disinyalir bahwa siswa mengalami kesulitan belajar
disebabkan siswa tidak mengetahui dengan pasti atau kurang jelas apa yang diharapkan
oleh guru dari siswa. Jika apa yang diharapkan guru tidak dibatasi dengan jelas, siswa
tentu tidak akan tahu dengan pasti apa yang akan dipelajari dan apa yang perlu dilakukan.
Oleh karena itu di awal pembelajaran guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai dan bagaimana cara belajar untuk mencapainya.

Tujuan pembelajaran perlu diketahui oleh siswa agar siswa mengetahui apa yang harus
dilakukan. Tujuan pembelajaran untuk suatu pokok bahasan harus diberikan pada saat
mereka mulai mempelajari pokok bahasan itu (Kemp, 1994). Dengan cara seperti ini, siswa
akan mengetahui apa yang diharapkan dari guru dalam mempelajari pokok bahasan
tersebut dan dapat mengatur tata cara belajarnya dengan baik. Kemp (1994: 130)
menyatakan terdapat bukti positif yang menunjukkan bahwa siswa yang diberi tahu tentang
tujuan pembelajaran yang harus mereka capai betul-betul mengalami kemajuan yang
memuaskan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan mencapai tingkat keberhasilan
yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi tahu.

Motivasi diperlukan oleh para siswa dalam belajar matematika. Ide awal penelitian Kazemi
dan Stipek (2002) adalah untuk menjawab tantangan bagaimana pentingnya guru memberi
motivasi kepada seluruh siswa agar para siswa bergairah dan terikat kuat dalam belajarnya.
Oleh karena itu dalam fase pembukaan ini guru perlu memberi motivasi kepada siswa agar
siswa tebih bergairah dan konsentrasi dalam belajarnya.
Agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan baik, guru perlu mengetahui
pengetahuan prasyarat siswa yaitu dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan yang
mendasari sub pokok bahasan pembelajaran yang akan disampaikan. Menurut Ausubel
(dalam Joice dan Weil, 1992: 184): “whether or not material is meaningful depends more on
the preparation of the learner and on the organization of the material than it does on the
method of representation”. Apakah materi yang dipelajari siswa bermakna atau tidak lebih
bergantung pada kesiapan siswa dan pengorganisasian materi dari pada metode penyajian.
Oleh karena itu, sebelum guru memulai pembelajaran perlu memeriksa pengetahuan
prasyarat siswa.

b. Fase kegiatan induktif.


Guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok yang akan
disampaikan. Guru mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan
pola pikir induktif, misalnya guru memberi beberapa contoh suatu konsep, siswa diminta
mengamati dengan cermat, dan meminta siswa menulis makna konsep tersebut dengan
bahasa siswa sendiri. Dalam fase ini kegiatan belajar siswa mengkonstruk pengetahuan
matematis dengan cara siswa sendiri berdasar hasil pengamatannya.

Dalam fase kegiatan induktif ini dibawah bimbingan dan arahan guru, siswa aktif belajar
matematika secara individu. Meskipun demikian, siswa diberi kesempatan berinteraksi
dengan temannya, misalnya bertukar pendapat dengan teman sebangkunya atau dengan
teman-teman di dekatnya. Kegiatan utama siswa adalah mengamati, memeriksa,
menyelidiki, menganalisis, atau memikirkan berdasarkan kemampuan masing-masing hal-
hal yang bersifat khusus dan mengkonstruk konsep atau generalisasi atau sifat-sifat umum
berdasar hal-hal khusus tersebut. Menurut Kemp (1994: 143) terdapat bukti yang
menunjukkan sebagian besar siswa dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara
yang paling memuaskan apabila siswa diberi kesempatan belajar menurut kemampuan
masing-masing.

Pada fase kegiatan induktif ini prinsip memuat prinsip pertama pembelajaran beracuan
konstruktivisme menurut Tadao (dalam Sa’dijah, 2006), yaitu fase kesadaran, anak
dihadapkan pada sumber yang membangkitkan kesadaran matematisnya dan mulai
mengkonstruksi pengetahuan matematis. Guru menyampaikan contoh-contoh atau kasus-
kasus khusus menjadi sumber untuk membangkitkan kesadaran siswa dan siswa
melakukan pengamatan secara hati-hati terhadap contoh atau kasus khusus yang diamati.

c. Fase diskusi kelas


Ada kelemahan jika pembelajaran di kelas hanya dengan belajar secara individu.
Kelemahan tersebut misalnya kurang terjadi interaksi antar siswa atau antara guru dan
siswa. Kemp (1994: 156) berpendapat bahwa dalam pembelajaran perlu direncanakan
kegiatan kelompok. Apabila hanya dipakai metode satu jalur, misalnya hanya kerja mandiri,
kegiatan belajar bisa membosankan dan tidak menarik. Kemp (1994: 151) juga
berbendapat bahwa akhir-akhir ini terdapat kecenderungan mengurangi waktu untuk pola
penyajian materi pembelajaran, lebih menyukai pola belajar mandiri dalam kegiatan
kelompok.

Berdasar pendapat Kemp (1994) dapat disinyalir bahwa kegiatan belajar siswa secara
individu dapat diperkuat melalui interaksi sosial, misalnya diskusi kelompok. Pertemuan
kelompok kecil ini dapat dipakai untuk mengecek kepahaman siswa tentang konsep dan
asas yang telah mereka peroleh sebelumnya (Kemp, 1994: 167). Dalam fase kegiatan
induktif siswa diberi kesempatan berdiskusi dengan teman sebangkunya atau diskusi dalam
kelompok dengan beberapa teman didekatnya. Dalam diskusi ini siswa berinteraksi satu
dengan lainnya dan bertukar pemikiran dan pengalaman dalam rangka mengkonstruk
pengetahuan secara individu.

Dalam fase diskusi kelas ini guru memimpin diskusi dalam rangka memperoleh kesimpulan
atau kesepakatan terhadap hasil-hasil konstruksi pengetahuan matematis awal siswa. Hasil
dikonstruksi pengetahuan matematis siswa mungkin berbeda-beda bergantung pada
pengetahuan awal masing-masing. Beberapa siswa diminta menyampaikan hasil kerjanya
secara lisan atau tertulis. Guru memberi ulasan atau komentar, dan selanjutnya memberi
kesimpulan atau kesepakatan terhadap makna konsep yang pelajari siswa. Dengan
demikian, siswa tidak semata-mata menghafal definisi suatu konsep tetapi siswa terlibat
dalam memperoleh definisi tersebut.

d. Fase kegiatan induktif-deduktif


Dalam fase kegiatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah.
Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas
materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika
bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir
deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang
bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000:
16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan
menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara
bergantian.

e. Fase kegiatan penutup


Pada fase kegiatan penutup ini kegiatan pembelajaran adalah memberi kuis (tes singkat)
secara individu, memberi tugas dikerjakan di rumah, dan menutup pembelajaran. Kuis (tes
singkat) berupa soal yang harus diselesaikan siswa dalam waktu yang relatif singkat. Untuk
melaksanakan kuis diperlukan alat penilaian. Alat penilaiaannya dapat tes tertulis atau
lisan. Tujuannya untuk mengukur seberapa jauh siswa telah menguasai pengetahuan
ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, atau pemecahan
masalah.
Guru memberi tugas dengan memberi soal-soal yang berkaitan dengan pokok bahasan
yang dibahas untuk dikerjakan di rumah. Tugas rumah diarahkan pada kegiatan
pemecahan masalah dengan tujuan siswa dapat lebih memahami konsep atau struktur
matematika yang dipelajari dan untuk melatih siswa terbiasa menggunakan pola pikir
induktif-dedukif dalam memecahkan masalah. Selanjutnya guru menutup pembelajaran.

C. Penutup
Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah secara bermakna, siswa dituntut terampil
memahami konsep-konsep matematika dari pola pikir induktif menuju deduktif.
Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dengan melibatkan penggunaan pola
pikir induktif-deduktif merupakan salah satu alternatif pembelajaran matematika yang
mampu menciptakan suasana pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan pola pikir induktif, kadang
deduktif, dan kadang keduanya. Dalam pemecahan masalah kadang sulit memisahkan
antara penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran
matematika beracuan konsruktivisme penggunaan pola pikir induktif dan deduktif keduanya
dapat digunakan untuk membangun misalnya suatu konsep matematika berdasar
pengalaman siswa sendiri.

Pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan


komunikasi, dan pemecahan masalah dapat diawali menggunakan pola pikir induktif melalui
pengalaman-pengalaman khusus yang dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak
mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola pikir induktif.
Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau
fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang
mungkin, dan kemudian jika memungkinkan siswa dapat diarahkan menyusun generalisasi
secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir
induktif-deduktif.

Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang


melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif sebagai berikut: (1) fase kegiatan
pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan
induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan penutupan.
http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html
http://vhyo17.wordpress.com/2010/03/13/berpikir-deduktif-dan-berpikir-induktif/
Maret 13, 2010 — vhyo17
http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html
Label: Kuliah : Metpen Kuantitatif
Diposkan oleh SLAMET SANTOSO di Sabtu, Agustus 09, 2008

Anda mungkin juga menyukai