Makalah Berpikir Deduktif
Makalah Berpikir Deduktif
MAKALAH
BERPIKIR INDUKTIF DAN DEDUKTIF
Disusun sebagai salah satu syarat mata kuliah Filsafat Ilmu
Oleh
Eriga
20112512005
II. Pembahasan
A. Pengertian Berpikir Deduktif
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari
keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya
induksi (dikutip Kamus Umum Bahasa Indonesia hal 273 W.J.S.Poerwadarminta. Balai
Pustaka 2006)
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua
buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. ( dikutip :Filsafat Ilmu.hal 48-49
Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum
terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
(www.id.wikipedia.com).
B. Pengertian Berpikir Induktif
Induksi adalah cara mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus
untuk menentukan hukum yang umum (Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 444
W.J.S.Poerwadarminta. Balai Pustaka 2006)
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat
umum (filsafat ilmu.hal 48 Jujun.S.Suriasumantri Pustaka Sinar Harapan. 2005)
Berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi
fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir
induktif. (www.id.wikipedia.com)
C. Strategi Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif Dalam Pembelajaran Matematika
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran
dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan
teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang
menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit
memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan
dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan
pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder,
2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new
learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua
pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajara sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan
menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika.
Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan
beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman
siswa tentang definisi yang disampaikan. Major (2006) memberi contoh pembelajaran
barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai pembelajaran dengan menulis definisi
dipapan tulis: ‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki beda sama’. Kemudian guru
menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru melanjutnya pembelajaran,
misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a + b, a + 2b + … + (a + (n –
1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh dan memberi soal untuk
dikerjakan siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2007
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : PT gelora
Aksara Pratama, 1990
Rochmad, Ayatullah S. (2009). PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERACUAN
KONSTRUKTIVISME. Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan
Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus
Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal 16 Januari 2008 .Tersedia: http://rochmad-
unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html .Diakses : 16
November 2011
Abstrak:
Ciri utama penalaran dalam matematika adalah deduktif, atau dengan perkataan lain
matematika bersifat deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh
sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau
pernyataan matematika bersifat konsisten. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran
matematika pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk mempelajari
konsep-konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran matematika dengan fokus
pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat
diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus yang
dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika
dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai
dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat
yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan kemudian siswa dapat diarahkan
menyusun generalisasi secara deduktif. Selanjutnya, jika memungkinkan siswa dapat
diminta membuktikan generalisi yang diperolehnya secara deduktif. Secara umum dalam
memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif. Dalam pemecahan
masalah, memecahkannya kadang hanya menggunakan salah satu pola pikir induktif atau
deduktif, namun banyak masalah dalam memecahkannya menggunakan keduanya pola
pikir induktif dan deduktif secara bergantian.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif, pola pikir
induktif-deduktif, pemecahan masalah.
A. Pendahuluan
Matematika merupakan pelajaran di sekolah yang dipandang penting dan dipelajari oleh
siswa di semua tingkat pendidikan. Matematika informal diberikan pada anak-anak
prasekolah, misalnya di “kelompok bermain atau play group” dan di Taman Kanak-Kanak
(TK). Mulai di sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) siswa mendapat pelajaran
matematika formal. Di TK misalnya, siswa mulai mengenal klasifikasi secara informal.
Anak-anak bermain memilih benda-benda berwarna merah dari sekelompok benda-benda
mainannya dapat dikatakan secara informal siswa melakukan pengelompokan, dan bahkan
secara informal pada diri siswa mulai tertanam “penalaran matematika”, misalnya siswa
menggunakan penalaran matematika ketika mengetahui mana benda-benda yang termasuk
dalam kelompok benda-benda berwarna merah dan yang bukan berwarna merah. Dalam
setiap pengelompokan tentu ada syarat tertentu, secara informal siswa dapat
mengklasifikasikan mana benda-benda yang menjadi anggota kelompoknya, syarat dalam
melakukan pengelompokan oleh anak dilakukan sendiri atau dilakukan dibawah bimbingan
guru.
Sejak siswa duduk di kelas 1 SD/MI, mulailah dikenalkan dengan matematika formal. Para
siswa mulai mengenal obyek dasar matematika yang bersifat abstrak misalnya fakta,
konsep, prinsip dan struktur matematika. Dalam mempelajari matematika siswa terlibat
dengan berpikir. Soedjadi (2000) menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya
diterima pola pikir deduktif. Meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir
deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola pikir
induktif.
B. Pembahasan
1. Penalaran Matematika
Fondasi dari matematika adalah penalaran (reasoning). Ross (dalam Lithner, 2000)
menyatakan bahwa salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah
mengajarkan kepada siswa penalaran logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar
tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi
yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui
maknanya.
Banyak penelitian yang dilakukan para psikolog dan pendidik berkaitan dengan penalaran.
Penalaran yang mula-mula dikenalkan oleh Aristotle adalah penalaran silogisme yang
idenya muncul ketika orang ingin mengetahui “apa yang terjadi dibenak” dalam
memecahkan masalah yang memuat logika. Lebih dari 2000 tahun yang lalu Aristotle
mengenalkan suatu sistem penalaran atau validasi argumen yang disebut silogisme.
Silogisme memuat tiga urutan argumen: sebuah premis utama (a major premise); sebuah
premis minor (a minor premise); dan sebuah kesimpulan (a conclusion). Suatu kesimpulan
yang dicapai berdasarkan penalaran silogisme dinilai “benar” atau “valid”, jika premis-
premisnya merupakan pernyataan yang benar dan disusun dalam bentuk yang benar.
Dalam belajar matematika memerlukan penalaran induktif dan deduktif. Copeland (1974)
mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif digunakan bila dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan
kebenaran untuk semua kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi
pikiran dan konsistensi logika yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme
benar dan bentuknya (format penyusunannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses
penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut penalaran
deduktif.
Peressini dan Webb (1999) di samping memandang penalaran matematika sebagai
konseptualisasi dinamik dari daya matematika (mathematically powerful) siswa, juga
memandang penalaran matematika sebagai aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman
mode berpikir. Daya matematika sebagai suatu integrasi dari berikut ini: (a) suatu
kecenderungan positip kepada matematika; (b) pengetahuan dan pemahaman terhadap
sifat-sifat matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-prosedur dan keterampilan-
keterampilan; (c) kecakapan melakukan analisis dan beralasan secara matematis; (d)
kecakapan menggunakan bahasa matematika untuk mengkomunikasikan ide-ide; dan (e)
kecakapan menerapkan pengetahuan matematika untuk memecahkan masalah-masalah
dalam berbagai konteks dan disiplin ilmu (NCTM, 1989 dalam Perissini dan Webb, 1999).
Daya matematika siswa seyogyanya dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi supaya
mampu memunculkan berbagai metode matematika yang nantinya dapat membantu siswa
dalam memecahkan masalah tidak rutin dan dapat dijadikan panduan dalam menghadapi
perubahan kehidupan dalam masyarakat yang bergantung pada kemajuan ilmu, teknologi
dan informasi. Penalaran matematika dalam sudut pandang aktivitas dinamik melibatkan
keragaman mode berpikir, dan daya matematika dipandang sebagai komponen integral dari
berpikir matematika. Khususnya berpikir matematika yang melibatkan keragaman
matematika dalam keterampilan berpikir untuk memahami ide-ide, menemukan hubungan
antar ide-ide, dan mendukung gambaran atau kesimpulan tentang ide-ide dan hubungan-
hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah yang melibatkan ide-ide tersebut
(O’Daffer dan Thornquist dalam Perissini dan Webb, 1999).
Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses berpikir seseorang.
Penalaran matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur,
menetapkan generalisasi-generalisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan
(dan validasi) kesimpulan-kesimpulan logis berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya.
Untuk mencapai daya matematika berbagai mode penalaran matematika dilibatkan
misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive), bersyarat (conditional), perbandingan
(proporsional), grafik (graphical), keruangan (spatial) dan penalaran abstrak (abstract
reasoning).
Menurut Slavin (2000) proses mengajar belajar yang berpusat pada siswa dan menekankan
pada aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya sendiri dinamakan teori
pembelajaran konstruktivistik (constructivist theories of learning). Pembelajaran
konstruktivis mengkondisikan kegiatan siswa dalam interval waktu kerja yang tidak begitu
lama memeriksa informasi baru dan dibandingkan dengan aturan-aturan yang telah
diketahuinya, dan mungkin kemudian merevisi aturan-aturan tersebut. Karena
pembelajaran konstruktivis menekankan kepada para siswa agar belajar lebih aktif di kelas,
maka pembelajaran konstruktivis sering dinamakan pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme guru menjadi pembimbing dan
fasilitator. Inti dari pembelajaran konstruktivis adalah siswa secara individual menemukan
dan mentransformasi informasi yang begitu kompleks dalam benaknya.
Sampai saat ini, teori perkembangan intelektual anak yang sering menjadi acuan para
pemerhati pendidikan adalah teori perkembangan inelektual Piaget. Di awal kerjanya ia
mengidentifikasi adanya empat tahap perkembangan kognitif: sensori motor (sensorimotor),
preoperasional (preoperational), operasional konkret (concrete operational), dan operasi
formal (formal operational). Tetapi siswa jarang hanya berada pada satu sisi tahap
perkembangan. Para siswa pada jenjang pendidikan setingkat SMA (high school) sering
berada dan bergerak pada operasi konkret dan operasi formal jika mereka sedang
mempelajari keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip baru (Johnson,
Johnson dan Stiff, 1993).
Teori Piaget tentang perkembangan intelektual menaruh perhatian pada proses asimilasi
(assimilation) dan akomodasi (accommodation) informasi dalam skema mental siswa.
Asimilasi adalah suatu proses menempatkan informasi dan pengalaman baru dalam
struktur kognitif siswa. Akomodasi adalah hasil penyetrukturan kembali dalam skema
kognitif.
Assimilation is the process by which new experience and information are placed into the
cognitive structure of the leaner. […] Accomodation is the product of any restructuring of
that cognitive schema. (Stiff, Johnson, dan Johnson; 1993:3)
Bruner (dalam Stiff, Johnson dan Johnson, 1993) merumuskan empat teorema belajar
matematika yang mengacu pada pandangan konstruktivisme. Teorema konstruksi
(construction theorem), teorema notasi (notation theorem), teorema kontras dan variasi
(contrast and variation theorem), dan teorema konektivitas (connectivity theorem).
Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa seyogyanya diberi kesempatan untuk
mengkonstruksi sendiri representasi konsep-konsep, aturan-aturan dan hubungan-
hubungannya. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas guru sering menyediakan dan
menggunakan bantuan benda-benda konkret atau benda-benda manipulatif untuk
membantu siswa dalam belajarnya. Teori notasi menyatakan bahwa penggunaan notasi
yang baik akan menyederhanakan proses kognisi dalam menangkap konsep-konsep,
aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Sebagai contoh, siswa akan lebih memahami
konsep “variabel” jika digunakan representasi ikonik misalnya 19 = __ + 7 dari pada
digunakan representasi baku 19 = x + 7.
Teorema kontras dan variasi menyatakan bahwa kemajuan dari representasi konsep-
konsep dari konkret ke bentuk abstrak bergantung pada pengalaman siswa dalam
membandingkan atribut-atribut suatu konsep dengan atribut-atribut konsep lain yang
serupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghadapi dan menyelesaikan berbagai
contoh. Teorema konektivitas menyatakan bahwa guru perlu mendemonstrasikan
hubungan antar keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika.
Teorema konektivitas ini dapat mengurangi isolasi antar topik dalam pembelajaran
matematika dan dapat mengantarkan siswa sampai pada tingkat intuisi dan penalaran
matematika yang lebih tinggi, yakni belajar matematika secara bermakna (meaningfull
mathematical learning).
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan
menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika.
Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan
beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman
siswa tentang definisi yang disampaikan. Major (2006) memberi contoh pembelajaran
barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai pembelajaran dengan menulis definisi
dipapan tulis: ‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki beda sama’. Kemudian guru
menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru melanjutnya pembelajaran,
misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a + b, a + 2b + … + (a + (n –
1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh dan memberi soal untuk
dikerjakan siswa.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk
mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-
contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah
pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak
harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut
setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Menurut Kemp (1994: 107) dapat disinyalir bahwa siswa mengalami kesulitan belajar
disebabkan siswa tidak mengetahui dengan pasti atau kurang jelas apa yang diharapkan
oleh guru dari siswa. Jika apa yang diharapkan guru tidak dibatasi dengan jelas, siswa
tentu tidak akan tahu dengan pasti apa yang akan dipelajari dan apa yang perlu dilakukan.
Oleh karena itu di awal pembelajaran guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai dan bagaimana cara belajar untuk mencapainya.
Tujuan pembelajaran perlu diketahui oleh siswa agar siswa mengetahui apa yang harus
dilakukan. Tujuan pembelajaran untuk suatu pokok bahasan harus diberikan pada saat
mereka mulai mempelajari pokok bahasan itu (Kemp, 1994). Dengan cara seperti ini, siswa
akan mengetahui apa yang diharapkan dari guru dalam mempelajari pokok bahasan
tersebut dan dapat mengatur tata cara belajarnya dengan baik. Kemp (1994: 130)
menyatakan terdapat bukti positif yang menunjukkan bahwa siswa yang diberi tahu tentang
tujuan pembelajaran yang harus mereka capai betul-betul mengalami kemajuan yang
memuaskan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan mencapai tingkat keberhasilan
yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi tahu.
Motivasi diperlukan oleh para siswa dalam belajar matematika. Ide awal penelitian Kazemi
dan Stipek (2002) adalah untuk menjawab tantangan bagaimana pentingnya guru memberi
motivasi kepada seluruh siswa agar para siswa bergairah dan terikat kuat dalam belajarnya.
Oleh karena itu dalam fase pembukaan ini guru perlu memberi motivasi kepada siswa agar
siswa tebih bergairah dan konsentrasi dalam belajarnya.
Agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan baik, guru perlu mengetahui
pengetahuan prasyarat siswa yaitu dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan yang
mendasari sub pokok bahasan pembelajaran yang akan disampaikan. Menurut Ausubel
(dalam Joice dan Weil, 1992: 184): “whether or not material is meaningful depends more on
the preparation of the learner and on the organization of the material than it does on the
method of representation”. Apakah materi yang dipelajari siswa bermakna atau tidak lebih
bergantung pada kesiapan siswa dan pengorganisasian materi dari pada metode penyajian.
Oleh karena itu, sebelum guru memulai pembelajaran perlu memeriksa pengetahuan
prasyarat siswa.
Dalam fase kegiatan induktif ini dibawah bimbingan dan arahan guru, siswa aktif belajar
matematika secara individu. Meskipun demikian, siswa diberi kesempatan berinteraksi
dengan temannya, misalnya bertukar pendapat dengan teman sebangkunya atau dengan
teman-teman di dekatnya. Kegiatan utama siswa adalah mengamati, memeriksa,
menyelidiki, menganalisis, atau memikirkan berdasarkan kemampuan masing-masing hal-
hal yang bersifat khusus dan mengkonstruk konsep atau generalisasi atau sifat-sifat umum
berdasar hal-hal khusus tersebut. Menurut Kemp (1994: 143) terdapat bukti yang
menunjukkan sebagian besar siswa dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara
yang paling memuaskan apabila siswa diberi kesempatan belajar menurut kemampuan
masing-masing.
Pada fase kegiatan induktif ini prinsip memuat prinsip pertama pembelajaran beracuan
konstruktivisme menurut Tadao (dalam Sa’dijah, 2006), yaitu fase kesadaran, anak
dihadapkan pada sumber yang membangkitkan kesadaran matematisnya dan mulai
mengkonstruksi pengetahuan matematis. Guru menyampaikan contoh-contoh atau kasus-
kasus khusus menjadi sumber untuk membangkitkan kesadaran siswa dan siswa
melakukan pengamatan secara hati-hati terhadap contoh atau kasus khusus yang diamati.
Berdasar pendapat Kemp (1994) dapat disinyalir bahwa kegiatan belajar siswa secara
individu dapat diperkuat melalui interaksi sosial, misalnya diskusi kelompok. Pertemuan
kelompok kecil ini dapat dipakai untuk mengecek kepahaman siswa tentang konsep dan
asas yang telah mereka peroleh sebelumnya (Kemp, 1994: 167). Dalam fase kegiatan
induktif siswa diberi kesempatan berdiskusi dengan teman sebangkunya atau diskusi dalam
kelompok dengan beberapa teman didekatnya. Dalam diskusi ini siswa berinteraksi satu
dengan lainnya dan bertukar pemikiran dan pengalaman dalam rangka mengkonstruk
pengetahuan secara individu.
Dalam fase diskusi kelas ini guru memimpin diskusi dalam rangka memperoleh kesimpulan
atau kesepakatan terhadap hasil-hasil konstruksi pengetahuan matematis awal siswa. Hasil
dikonstruksi pengetahuan matematis siswa mungkin berbeda-beda bergantung pada
pengetahuan awal masing-masing. Beberapa siswa diminta menyampaikan hasil kerjanya
secara lisan atau tertulis. Guru memberi ulasan atau komentar, dan selanjutnya memberi
kesimpulan atau kesepakatan terhadap makna konsep yang pelajari siswa. Dengan
demikian, siswa tidak semata-mata menghafal definisi suatu konsep tetapi siswa terlibat
dalam memperoleh definisi tersebut.
C. Penutup
Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah secara bermakna, siswa dituntut terampil
memahami konsep-konsep matematika dari pola pikir induktif menuju deduktif.
Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dengan melibatkan penggunaan pola
pikir induktif-deduktif merupakan salah satu alternatif pembelajaran matematika yang
mampu menciptakan suasana pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan pola pikir induktif, kadang
deduktif, dan kadang keduanya. Dalam pemecahan masalah kadang sulit memisahkan
antara penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran
matematika beracuan konsruktivisme penggunaan pola pikir induktif dan deduktif keduanya
dapat digunakan untuk membangun misalnya suatu konsep matematika berdasar
pengalaman siswa sendiri.