BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radioaktivitas
2.1.1 Definisi Radioaktivitas
Radioaktivitas adalah sifat alami dari unsur kimia yang memiliki nomor
atom di atas 83 dan unsur lain yang mungkin saja terkena induksi. Radioaktivitas
merupakan pancaran korpuskular atau radiasi elektromagnetik sebagai akibat
Zubaidah dkk. (2015) menyatakan bahwa setiap inti atom yang tidak stabil
akan meluruh atau berubah menjadi inti atom lain yang lebih stabil dengan
memancarkan radiasi. Laju peluruhan tersebut ternyata tidak sama antara satu inti
atom dengan inti atom yang lain. Aktivitas peluruhan radiasi didefinisikan sebagai
jumlah peluruhan per detik. Aktivitas radiasi (A) suatu sumber atau zat radioaktif
ditentukan oleh jumlah inti radioaktif yang dikandungnya (N) dan konstanta
A= =λ ............................................................................... II.1
t
Konstanta peluruhan (λ) dari suatu inti radioaktif akan berbeda dengan inti
radioaktif lain. Satuan λ adalah per detik (detik-1) sedangkan satuan aktivitas
adalah Becquerel (Bq) atau Currie (Ci) dengan nilai sebagai berikut.
II-1
Persamaan di atas secara matematik dapat diturunkan lebih lanjut sehingga
diperoleh korelasi sebagai berikut.
Jumlah inti radioaktif yang dikandung oleh suatu zat radioaktif akan
berkurang
secara terus menerus mengikuti kurva eksponensial negatif, demikian
Terlihat pada Gambar II.1 di atas bahwa aktivitas zat radioaktif tidak tetap
radioaktif meluruh sampai “habis” sangat ditentukan oleh konstanta peluruhan (λ)
II-2
2.1.2 Radioaktif Alam dan Buatan
Zat
Radioaktif
terdiri atas
Alami Buatan
mengalami mengalami
Peluruhan Penangkapa
Peluruhan Peluruhan Peluruhan Peluruhan
+1e n -1e
dengan disertai pemancaran sinar alfa (peluruhan alfa), pemancaran sinar beta
a n e
Dari persamaan reaksi ini di atas dapat diketahui bahwa nilai nomor massa
di ruas kiri sama dengan jumlah nomor massa di ruas kanan. Demikian pula
sehingga berlaku:
a b
II-3
1) Peluruhan alfa
Peluruhan
alfa berlangsung dengan akibat pengurangan dua satuan nomor
massa dan pengurangan dua satuan nomor atom. Contoh peluruhan alfa sebagai
berikut.
h b
2) Peluruhan beta
Nomor atom suatu unsur radioaktif yang mengalami peluruhan beta bertambah
satu, sedangkan nomor massanya tetap. Contoh peluruhan beta sebagai berikut.
b i a
3) Peluruhan gamma
Sinar gamma dihasilkan bersamaan dengan peluruhan sinar alfa atau peluruhan
sinar gamma tidak mengubah nomor massa atau nomor atom nuklida.
Nuklida buatan berupa nuklida ringan (Z<83), biasanya hanya meluruh melalui
Cara peluruhan yang sama akan diikuti juga oleh isotop radioaktif ringan yang
Pemancaran positron:
Pemancaran elektron: e -
e i
II-4
b) Peluruhan nuklida ringan yang berada di atas pita kestabilan.
Pemancaran positron: e
Pemancaran elektron: p
5) Reaksi penembakan
Suatu
unsur dapat ditembak dengan suatu sinar radioaktif sehingga dihasilkan
suatu
unsur lain yang bersifat radioaktif serta pemancaran sinar pemancaran
sinar radioaktif yang lain pula. Berikut adalah contoh reaksi penembakan.
n a e
2008: 183-184).
radioaktif maka sering digunakan parameter baru, yaitu waktu paruh (t1/2) yang
didefinisikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan oleh suatu inti radioaktif
untuk meluruh menjadi setengah dari aktivitasnya semula. Nilai t1/2 itu sendiri
detik.
Waktu paruh suatu inti radioaktif sangat bervariasi mulai orde menit
II-5
waktu paruh 2,5 menit, iridium-192 selama 74 hari, kobalt-60 selama 5,27 tahun,
sedangkan amersium-241 selama 430 tahun.
Secara operasional, parameter waktu paruh ini lebih sering dan lebih
mudah untuk digunakan daripada konstanta peluruhan. Sebagai contoh, bila suatu
zat radioaktif iridium-192 pada hari ini mempunyai aktivitas 100 Ci maka
aktivitasnya
setelah 10 bulan tinggal 6,75 Ci karena telah melewati 4 kali t1/2 nya
(Zubaidah
dkk, 2015: 33-34).
Telurium memiliki nama latin tellus yang artinya bumi. Pertama kali
ditemukan pada tahun 1783 oleh Franz Joseph Müller von Reichenstein di Sibiu,
Romania. Pada tahun 1796, diberi nama telurium oleh Martin Klaporth di Berlin,
II-6
(AgAuTe) dan nagyagite (campuran dengan Pb, Au, Cu, Ag, Te) (Leddicote,
1961:4). Mineral yang mengandung telurium tersebar di Romania, Amerika,
Australia
bagian barat, Shizuoka-Jepang, dan Cina (Mineral Data, 2001).
senyawa
dengan oksigen, oksida asam, oksida halida, halida, komponen yang
mengandung hidrogen, basa kuat, sulfur dan organologam. Telurium dapat larut
dalam asam klorida (HCl) pekat atau asam nitrat (HNO 3) pekat, dan dapat
1961:4-5).
stabil. Terbentuk dari reaksi antara Te dan HNO3 pekat dalam kondisi dingin
(Leddicote, 1961). TeO2 berbentuk serbuk dan memiliki dua warna, yaitu putih
(tetragonal TeO2) dan kuning (orthorhombic TeO2) (AHP, 2011). Telurium oksida
larut dalam asam kuat pekat dan alkali hidroksida pekat, tidak larut dalam
ammonium hidroksida (NH4OH) serta dapat bereaksi dengan air membentuk asam
II-7
2.3 Iodin-131 (131I)
Isotop, yaitu unsur yang memiliki nomor atom sama namun nomor massa
berbeda.
Radioisotop merupakan isotop yang memancarkan radiasi
senyawa kimia dengan cara menembakan atom dalam suatu reaktor nuklir. Proses
tersebut
memancarkan radiasi alfa (), beta (), atau gamma ().
Unsur iodium ( I) memiliki 27 isotop, salah satunya adalah isotop iodin-
131 (131I) (Kahn, 1977:1-4). Radioisotop 131
I termasuk golongan nuklida 2 atau
golongan tingkat tokisitas tinggi (IAEA, 1971: 239). Memiliki waktu paruh 8,05
hari.
Radioisotop 131I dapat diproduksi dari reaksi fisi uranium (235U) dan reaksi
inti terhadap bahan sasaran telurium. Telurium yang digunakan sebagai bahan
131
sasaran dalam produksi I antara Te metal, TeO2, asam orto-telurat (H6TeO6)
(IAEA, 1971:239).
Berikut ini reaksi inti produksi radioisotop 131I dari bahan sasaran telurium.
130
Te(n, )131Te 131
I 131
Xe (stabil) (Kahn, 1977:32)
menit hari
berwujud padat pada suhu ruang. Iodin termasuk ke dalam senyawa halogen
dengan titik didih 184,35 oC, titik leleh 113,5oC, dan tekanan uap 1 mmHg pada
II-8
38,7oC. Namun, iodin mempunyai sifat khusus, yaitu dapat menyublim perlahan
di suhu ruang. Bau dari unsur ini menyengat dan uapnya sangat berbahaya bagi
mata
dan tenggorokan. Reaksi eksplosif dengan asetilen, bubuk antimoni, bubuk
hafnium, dan pemanasan, tembaga campuran tetraamin (II) sulfat dan etanol,
aluminium
dan dietil eter, dipropil merkuri, titanium. Akan berpijar bila bereaksi
dengan
sesium oksida (suhu di bawah 150oC), bromintrifluorida, dan karbida.
Iodin mempunyai bilangan oksidasi +7, +5, +3, +1, dan -1. Tidak cocok
dengan etanol, campuran etanol dan butadiena, campuran etanol dan fosforus,
campuran etanol, metanol, dan HgO, campuran formamida piridin dan sulfur
trioksida, formamida, halogen, merkuri oksida, logam (Al, Li, Mg), logam karbida,
Tabel II.1.
Reaksi Keterangan
4I- + O2 + 4H+ → 2I2 + 2H2O Laju reaksi dipengaruhi konsentrasi
ion H+. Laju reaksi bertambah seiring
dengan bertambah konsentrasi ion H+.
2I- + 2H+ + H2O2 → I2 + 2H2O Laju reaksi dapat dipercepat dengan
adanya molibdat (Mo).
2I- + 2Ce4+ → I2 + 2Ce3+ Reaksi terjadi dengan cepat dalam
suasana asam.
I2 + 5H2O2 → 2H+ + 2IO3- + 4H2O Reaksi terjadi dengan cepat dengan
adanya ion IO3-.
Sumber: Kahn, 1977:9
II-9
131 131
Dalam bentuk radioisotop I, I mudah hilang dari permukaan, kulit,
atau pakaian (jas lab) dengan dialiri air. Keberadaan iodida dalam sediaan yang
131 131
mengandung
I, berdampak pada peningkatan kontaminasi I. Untuk
mencegah adanya iodida, maka perlu ditambahkan sulfit atau tiosulfat sebagai
Radiokimia Na131I
2.3.3
131
Radioisotop I adalah radioisotop yang salah satunya tersedia dalam
bentuk senyawa natrium iodida (Na131I). Senyawa ini dihasilkan dari fisi uranium
dan hanya mengandung sejumlah kecil iodin-127 (127I) alamiah. Larutan Na131I
yang merupakan sediaan farmasi mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak
131
lebih dari 110,0% dari jumlah I sebagai iodida yang tertera pada etiket,
dinyatakan dalam MBq (Ci atau mCi) per mL ditetapkan pada saat kalibrasi
dilakukan. Radioaktivitas dalam bentuk kimia lain tidak lebih dari 5% dari
Larutan Na131I jernih dan tidak berwarna. Larutan dan wadah kaca dapat menjadi
131
gelap akibat pengaruh radiasi. Waktu paruh dari I adalah 8,05 hari.
bentuk larutan Na131I, untuk terapi kanker tiroid dengan tingkat keganasan tinggi.
II-10
131
Kemampuan I untuk mendiagnosis dan menghancurkan kanker tiroid berbasis
sifat alamiah iodin sebagai unsur yang banyak diserap oleh kelenjar tiroid
131
(Setiawan,
2015). Sinar beta yang dipancarkan selama peluruhan I dapat
gondok
dan untuk mendeteksi jaringan kanker pada otak (Sutresna, 2008:189).
2.4 Distilasi
suatu cairan akan meningkat seiring dengan bertambahnya temperatur, dan titik di
mana tekanan uap sama dengan tekanan eksternal cairan disebut sebagai titk didih
(Anonim, tt).
komponen berdasarkan perbedaan titik didih yang tidak begitu jauh. Pada
II-11
pemasanan secara bertahap dengan suhu yang berbeda-beda setiap platnya.
Pemanasan berbeda-beda ini bertujuan untuk pemurnian distilat yang lebih dari
plat-platnya
(Putra, 2014).
3. Distilasi vakum digunakan untuk memisahkan komponen yang tidak stabil atau
tekanan
dikurangi menggunakan aspirator (Putra, 2014).
2.5 Pemisahan 131I dari Bahan Sasaran Te secara Distilasi Basah
131
Terdapat beberapa metode pemisahan dalam produksi radioisotop I,
antara lain dengan metode ditilasi kering, distilasi basah, kromatografi kolom,
Inggris dan Norwegia. Bahan sasaran yang digunakan adalah TeO 2. Setelah
diiradiasi, TeO2 dipanaskan pada suhu 600-800oC. Terbentuklah 131I dalam bentuk
gas I2 yang kemudian ditangkap oleh larutan NaOH (IAEA, 1971:240). Metode
ini memiliki kelebihan, yaitu limbah radioaktif yang sedikit karena tidak
memerlukan banyak pereaksi dan kemurnian produk yang tinggi mudah diperoleh.
Namun, pemakaian suhu yang tinggi perlu disesuaikan dengan alat yang
digunakan serta kondisi laboratorium yang memadai. Dan kondisi tersebut belum
tentu tersedia di beberapa negara. Oleh karena itu, metode alternatif menggunakan
Canada dan India. Te yang sudah diiradiasi dilarutkan dalam campuran CrO3 dan
II-12
131
H2SO4 untuk mengoksidasi I menjadi bentuk iodat. Iodat direduksi oleh
penambahan asam oksalat membentuk I2. Gas I2 terdistilasi dan ditangkap oleh
larutan
alkali yang mengandung sulfit atau tiosulfat (IAEA, 1971:240).
Terdapat metode distilasi basah lainnya, yaitu dengan bahan sasaran TeO 2.
Metode ini diterapkan di Hungaria, Polandia dan Romania. Bahan sasaran yang
sudah diiradiasi dilarutkan dalam pelarut basa (biasanya NaOH). Kemudian
dicampurkan dengan H2O2 dan H2SO4 pekat. Gas I2 yang terbentuk terdistilasi dan
ditangkap
oleh larutan alkali yang mengandung sulfit atau tiosulfat (IAEA,
1971:240).
131
Adapun reaksi yang terjadi selama proses pemisahan I adalah sebagai
berikut (El-Absy dkk, 2009).
1. Pelarutan
TeO2 (s) + 2 NaOH (aq) → Na2TeO2 (aq) + H2O (l)
I- (s) + NaOH (aq) NaI (aq) + OH- (aq)
2. Refluks
NaI (s) + H2SO4 (aq) → NaHSO4 (aq) + HI (aq) (pada kondisi dingin)
2 NaI (s) + H2SO4 (aq) Na2SO4 (aq) + 2 HI (aq) (pada saat pemanasan)
3. Distilasi
2 HI (aq) + H2SO4 (aq) → I2 (g) + SO2 (g) + H2O (l)
2 HI (aq) + H2O2 (aq) I2 (g) + 2 H2O (l)
I2 (g) + NaOH (aq) NaI + OH- (aq)
II-13
diterapkan pada penentuan kondisi optimum distilasi basah maupun pada
131
pemisahan I dari Te yang sudah diaktivasi. Pada penentuan kondisi optimum
distilasi
basah, pengerjaannya menggunakan Te yang tidak aktif. Oleh karena itu,
sedangkan
penentuan %yield dengan bahan Te aktif dengan menggunakan
instrumen
dose calibrator.
pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada
terbagi pada 3 daerah panjang gelombang, yaitu daerah UV (200-380 nm), daerah
dengan struktur kimia berbeda adalah tidak sama sehingga spektra absorbsinya
juga berbeda. Dengan demikian, spektra dapat digunakan sebagai informasi yang
II-14
sehingga spektra absorbsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
(Gandjar, 2007:225).
ketebalan
medium yang mengabsorbsi”. Sedangkan hukum eer menyatakan
bahwa,
“Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan
bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut”. Oleh karena itu
larutan sampel”. Konsentrasi dari sampel di dalam larutan bisa ditentukan dengan
II-15
Menurut Dachriyanus (2004), Hukum Lambert-Beer terbatas karena sifat
kimia dan faktor instrumen. Penyebab non linearitas ini adalah:
Deviasi
koefisien ekstingsi pada konsentrasi tinggi (>0,01 M), yang disebabkan
oleh interaksi elektrostatik antara molekul karena jaraknya yang terlalu dekat.
Flouresensi
atau fosforesensi sampel.
Berubahnya
indeks bias pada konsentrasi yang tinggi.
Pergeseran kesetimbangan kimia sebagai fungsi dari konsentrasi.
Kehilangan cahaya.
maksimum 340 nm. Berdasarkan nilai kadar I- dalam distilat, maka %yield
II-16
Penentuan Kadar Te secara Spektrofotometri UV
Menurut Abdul dkk. (2010) menyatakan bahwa penentuan kadar telurium
dianalisis
menggunakan spektrofotometer UV. Telurium direaksikan dengan 2-
merkaptoetanol pada kondisi asam (pH = 2). Oleh karena itu, ada penambahan
buffer Britton-Robinson pH 2 yang terbuat dari campuran asam borat, asam asetat
glasial
dan asam orto-fosfat 85%.
TeO2 + 4 C2H6OS → Te(C2H5OS)4 + 2 H2O (Abdul dkk., 2010)
Reaksi tersebut dapat berlangsung pada kondisi pH = 2 dan pemanasan
pada suhu 50oC selama 20 menit. Absorbansi dapat terukur pada panjang
kamar pengion (detektor isian gas). Dinding detektor dihubungkan kutub negatif
sumber tegangan yang bermuatan negatif dan berfungsi sebagai elektroda negatif
atau katoda. Sedangkan kawat di tengah tabung dihubungkan dengan kutub positif
sumber tegangan dan bermuatan positif dan sebagai elektroda positif atau anoda.
Kemudian elektron akan berkumpul pada kutub positif pada detektor. Perbedaan
potensial antara kutub positif dan negatif pada detektor akan menghasilkan arus
yang kemudian diukur oleh alat lalu ditampilkan pada display dengan satuan mCi
(Hidayanti, 2016).
II-17
Gambar II.4 Alat ukur dose calibrator
(sumber: dokumentasi penulis)
Pengotor radionuklida ini dapat terbentuk akibat reaksi nuklir terhadap pengotor
kimia dari target atau juga karena proses fisi yang terjadi dalam reaktor nuklir.
131
Nilai batas kemurnian radionuklida I menurut Farmakope Indonesia V
dalam larutan Na131I mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari
II-18
131
110,0% dari jumlah I sebagai iodida, dan pengotor radionuklida lainnya tidak
boleh lebih dari 5% dari radioaktivitas total. Sedangkan menurut IAEA
(1971:273),
nilai batas kemurnian radionuklida 131I, yaitu di atas 99,9%.
Analyzer-MCA).
MCA merupakan alat untuk menganalisis radioisotop pemancar
sinar
gamma baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap radioisotop
memancarkan sinar gamma yang khas yang dapat dilihat dari energi sinar gamma
pada energi spektrum spesifik yang dihasilkan. Jenis unsur yang terkandung pada
yang dihasilkan dari interaksi antara radiasi dengan materi detektor. Detektor yang
digunakan adalah detektor HPGe (High Purity Germanium). Detektor ini dibuat
II-19
dari bahan germanium (Ge) yang tercangkok dalam litium (Li) sehingga
membentuk detektor semikonduktor Ge(Li) yang tersedia dalam berbagai ukuran
dan bentuk, dengan volume hingga beberapa puluh cm3. Energi celah (Eg) pada
germanium yang cukup rendah (0,67 eV), menyebabkakan bahan ini dapat
berfungsi sebagai pemantau radiasi hanya pada temperatur yang sangat rendah.
Untuk
keperluan pendinginan biasanya diperlukan nitrogen cair, sehingga
pemantau
Ge(Li) beroperasi pada temperatur -196oC. Meski seperti itu, detektor
ini banyak dimanfaatkan untuk spektrometri radiasi gamma karena memiliki Z
(nomor atom) yang cukup tinggi. Ge memiliki kepekaan yang cukup baik
terhadap radiasi gamma. Kelebihan lain dari detektor ini adalah linearitasnya pada
II-20
yang terdapat dalam radioisotop tersebut (Hidayanti, 2016). Pengujian kemurnian
radiokimia dapat ditentukan dengan metode kromatografi kertas.
lebih dari 95,0%, dengan identifikasi spesi IO4- pada Rf 0,00; spesi IO3 - pda R f
0,50 dan spesi I- pada Rf 0,75. Begitu pun menurut Farmakope Indonesia V,
kemurnian
radiokimia Na131I tidak kurang dari 95,0%.
2.6.3.1 Kromatografi Kertas
kertas dengan menggunakan pembanding periodat (IO4-) dan iodat (IO3-), dan
menggunakan eluen metanol 75% (IAEA, 1971:244). Fasa diam yang dapat
digunakan diantaranya kertas whatman no.1 dan kertas whatman 30 mm. Prinsip
tinggi pulsa intensitas radiasi pada setiap kanal energi yang digunakan. Alat SCA
digunakan untuk mengukur jumlah radiasi dalam selang energi tertentu (Hidayanti,
2016).
II-21
Gambar II.8 Single Channel Analyzer
(sumber: dokumentasi penulis)
Prinsip kerja SCA, yaitu apabila suatu radiasi mengenai detektor maka
akan membangkitkan sebuah pulsa keluaran. Jika pulsa masukan berada antara
batas bawah (LLD-low limit detection) dan batas atas (ULP-upper limit detection)
beberapa jenis bahan sintilator, antara lain kristal NaI(Tl), ZnS(Ag), LiI(Eu), dan
II-22
menggunakan detektor berbahan NaI(Tl). Mekanisme pendeteksian radiasi pada
detektor terdiri dari 2 tahap, yaitu radiasi yang mengenai detektor akan diubah
menjadi
percikan cahaya di dalam bahan sintilator, kemudian percikan cahaya
dkk, 2015:50).
pencacahan diferensial. Fungsi komponen ini untuk menyaring pulsa listrik yang
akan diteruskan ke counter. Apabila pulsa listik yang dikeluarkan amplifier lebih
dari batas bawah namun kurang dari batas atas, maka pulsa listrik tersebut
diteruskan ke counter.
pulsa listrik yang memasukinya. Selang waktu pencacahan dapat lakukan secara
II-23
manual maupun otomatis menggunakan timer, yaitu alat yang memberikan sinyal
untuk counter memulai dan menghentikan cacahan selama waktu tertentu.
II-24