Anda di halaman 1dari 24

 

 
BAB II
 

  TINJAUAN PUSTAKA
 

 
2.1 Radioaktivitas
 
2.1.1 Definisi Radioaktivitas
 
Radioaktivitas adalah sifat alami dari unsur kimia yang memiliki nomor
 
atom di atas 83 dan unsur lain yang mungkin saja terkena induksi. Radioaktivitas
 
merupakan pancaran korpuskular atau radiasi elektromagnetik sebagai akibat

peluruhan inti suatu atom (Danis, 2010).

Zubaidah dkk. (2015) menyatakan bahwa setiap inti atom yang tidak stabil

akan meluruh atau berubah menjadi inti atom lain yang lebih stabil dengan

memancarkan radiasi. Laju peluruhan tersebut ternyata tidak sama antara satu inti

atom dengan inti atom yang lain. Aktivitas peluruhan radiasi didefinisikan sebagai

jumlah peluruhan per detik. Aktivitas radiasi (A) suatu sumber atau zat radioaktif

ditentukan oleh jumlah inti radioaktif yang dikandungnya (N) dan konstanta

peluruhan dari inti radioaktif tersebut (λ).

A= =λ ............................................................................... II.1
t

Konstanta peluruhan (λ) dari suatu inti radioaktif akan berbeda dengan inti

radioaktif lain. Satuan λ adalah per detik (detik-1) sedangkan satuan aktivitas

adalah Becquerel (Bq) atau Currie (Ci) dengan nilai sebagai berikut.

1 Ci = 3,7 x 1010 peluruhan per detik

II-1
 
 

 
Persamaan di atas secara matematik dapat diturunkan lebih lanjut sehingga
 
diperoleh korelasi sebagai berikut.
 

  N = N0 e-λt .................................................................................... II.2

  A = A0 e-λt .................................................................................... II.3

  Jumlah inti radioaktif yang dikandung oleh suatu zat radioaktif akan

berkurang
  secara terus menerus mengikuti kurva eksponensial negatif, demikian

pula  radioaktivitasnya sebagaimana ditunjukkan pada persamaan II.2 dan II.3.


 
Gambar II.1 menunjukkan peluruhan aktivitas suatu sumber atau zat radioaktif.

Gambar II.1 Grafik peluruhan aktivitas suatu zat radioaktif


(sumber: Zubaidah dkk, 2015)

Terlihat pada Gambar II.1 di atas bahwa aktivitas zat radioaktif tidak tetap

melainkan berkurang terus dengan berjalannya waktu. Kecepatan suatu zat

radioaktif meluruh sampai “habis” sangat ditentukan oleh konstanta peluruhan (λ)

nya (Zubaidah dkk., 2015: 32-33).

II-2
 
 

 
2.1.2 Radioaktif Alam dan Buatan
 

 
Zat
Radioaktif
 

  terdiri atas
Alami Buatan
 
mengalami mengalami
 
Peluruhan Penangkapa
Peluruhan  Peluruhan  Peluruhan  Peluruhan 
+1e n -1e
 

Gambar II.2 Peta konsep radioaktif

Sutresna (2008) menyebutkan bahwa zat radioaktif alami dapat meluruh

dengan disertai pemancaran sinar alfa (peluruhan alfa), pemancaran sinar beta

(peluruhan beta), atau pemancaran sinar gamma (peluruhan gamma). Berikut

adalah prinsip persamaan reaksi inti.

a n e

Dari persamaan reaksi ini di atas dapat diketahui bahwa nilai nomor massa

di ruas kiri sama dengan jumlah nomor massa di ruas kanan. Demikian pula

halnya dengan jumlah nomor atom.

Jumlah angka di ruas kiri = jumlah angka di ruas kanan

Persamaan ini dapat digambarkan sebagai berikut.


a b
d e f

sehingga berlaku:

a b

II-3
 
 

 
1) Peluruhan alfa
 
Peluruhan
  alfa berlangsung dengan akibat pengurangan dua satuan nomor

  massa dan pengurangan dua satuan nomor atom. Contoh peluruhan alfa sebagai

  berikut.

 
h  b 
 
2) Peluruhan beta
 
Nomor atom suatu unsur radioaktif yang mengalami peluruhan beta bertambah

satu, sedangkan nomor massanya tetap. Contoh peluruhan beta sebagai berikut.

b i  a 

3) Peluruhan gamma

Sinar gamma dihasilkan bersamaan dengan peluruhan sinar alfa atau peluruhan

sinar gamma tidak mengubah nomor massa atau nomor atom nuklida.

4) Peluruhan nuklida buatan

Nuklida buatan berupa nuklida ringan (Z<83), biasanya hanya meluruh melalui

3 cara, yaitu pemancaran beta, pemancaran positron, dan penangkapan elektron.

Cara peluruhan yang sama akan diikuti juga oleh isotop radioaktif ringan yang

terdapat di alam. Beberapa contoh peluruhan nuklida buatan sebagai berikut.

a) Peluruhan nuklida ringan yang berada di bawah pita kestabilan.

Pemancaran positron: 

Pemancaran elektron: e -
e i

II-4
 
 

 
b) Peluruhan nuklida ringan yang berada di atas pita kestabilan.
 

  Pemancaran positron: e

 
Pemancaran elektron: p
 

  5) Reaksi penembakan

Suatu
  unsur dapat ditembak dengan suatu sinar radioaktif sehingga dihasilkan

suatu
  unsur lain yang bersifat radioaktif serta pemancaran sinar pemancaran

  sinar radioaktif yang lain pula. Berikut adalah contoh reaksi penembakan.

n a e

Penulisan reaksi inti tersebut dapat disingkat menjadi ne a (Sutresna,

2008: 183-184).

2.1.3 Waktu Paruh (t1/2)

Untuk mempermudah penggambaran terhadap kecepatan peluruhan zat

radioaktif maka sering digunakan parameter baru, yaitu waktu paruh (t1/2) yang

didefinisikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan oleh suatu inti radioaktif

untuk meluruh menjadi setengah dari aktivitasnya semula. Nilai t1/2 itu sendiri

berbanding terbalik dengan konstanta peluruhan sehingga mempunyai satuan

detik.

t1/2 = ..................................................................................... II.4


λ

Waktu paruh suatu inti radioaktif sangat bervariasi mulai orde menit

sampai tahun bahkan ratusan tahun. Sebagai contoh, barium-137 mempunyai

II-5
 
 

 
waktu paruh 2,5 menit, iridium-192 selama 74 hari, kobalt-60 selama 5,27 tahun,
 
sedangkan amersium-241 selama 430 tahun.
 

  Secara operasional, parameter waktu paruh ini lebih sering dan lebih

  mudah untuk digunakan daripada konstanta peluruhan. Sebagai contoh, bila suatu

  zat radioaktif iridium-192 pada hari ini mempunyai aktivitas 100 Ci maka

aktivitasnya
  setelah 10 bulan tinggal 6,75 Ci karena telah melewati 4 kali t1/2 nya

(Zubaidah
  dkk, 2015: 33-34).
 

2.2 Telurium (Te)

Telurium memiliki nama latin tellus yang artinya bumi. Pertama kali

ditemukan pada tahun 1783 oleh Franz Joseph Müller von Reichenstein di Sibiu,

Romania. Pada tahun 1796, diberi nama telurium oleh Martin Klaporth di Berlin,

yang berhasil mengisolasi unsur tersebut (AHP, 2011).

Gambar II.3 TeO2 kuning


(sumber: dokumentasi penulis)

2.2.1 Keberadaan Telurium di Alam

Keberadaan telurium di bumi sangat sedikit. Dapat ditemukan dalam

bentuk mineral hessite (Ag2Te), altaite (PbTe), coloradoite (HgTe), sylvanite

II-6
 
 

 
(AgAuTe) dan nagyagite (campuran dengan Pb, Au, Cu, Ag, Te) (Leddicote,
 
1961:4). Mineral yang mengandung telurium tersebar di Romania, Amerika,
 
Australia
  bagian barat, Shizuoka-Jepang, dan Cina (Mineral Data, 2001).

  2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia Telurium

  Telurium memiliki bilangan oksidasi +2, +4 dan +6. Dapat membentuk

senyawa
  dengan oksigen, oksida asam, oksida halida, halida, komponen yang
 
mengandung hidrogen, basa kuat, sulfur dan organologam. Telurium dapat larut

dalam asam klorida (HCl) pekat atau asam nitrat (HNO 3) pekat, dan dapat

mengendap jika bereaksi dengan SO2 membentuk endapan TeO2 (Leddicote,

1961:4-5).

2.2.3 Telurium Oksida (TeO2)

Telurium dioksida (TeO2) merupakan bentuk oksida telurium yang paling

stabil. Terbentuk dari reaksi antara Te dan HNO3 pekat dalam kondisi dingin

(Leddicote, 1961). TeO2 berbentuk serbuk dan memiliki dua warna, yaitu putih

(tetragonal TeO2) dan kuning (orthorhombic TeO2) (AHP, 2011). Telurium oksida

larut dalam asam kuat pekat dan alkali hidroksida pekat, tidak larut dalam

ammonium hidroksida (NH4OH) serta dapat bereaksi dengan air membentuk asam

telurius (H2TeO3) (Leddicote, 1961:7-8).

II-7
 
 

 
2.3 Iodin-131 (131I)
 
Isotop, yaitu unsur yang memiliki nomor atom sama namun nomor massa
 
berbeda.
  Radioisotop merupakan isotop yang memancarkan radiasi

  elektromagnetik. Radioisotop diperoleh melalui proses pemecahan suatu inti

  senyawa kimia dengan cara menembakan atom dalam suatu reaktor nuklir. Proses

tersebut
  memancarkan radiasi alfa (), beta (), atau gamma ().
 
Unsur iodium ( I) memiliki 27 isotop, salah satunya adalah isotop iodin-
 
131 (131I) (Kahn, 1977:1-4). Radioisotop 131
I termasuk golongan nuklida 2 atau

golongan tingkat tokisitas tinggi (IAEA, 1971: 239). Memiliki waktu paruh 8,05

hari.

2.3.1 Produksi Radioisotop 131I

Radioisotop 131I dapat diproduksi dari reaksi fisi uranium (235U) dan reaksi

inti terhadap bahan sasaran telurium. Telurium yang digunakan sebagai bahan
131
sasaran dalam produksi I antara Te metal, TeO2, asam orto-telurat (H6TeO6)

(IAEA, 1971:239).

Berikut ini reaksi inti produksi radioisotop 131I dari bahan sasaran telurium.
130
Te(n, )131Te 131
I 131
Xe (stabil) (Kahn, 1977:32)
menit hari

2.3.2 Sifat Fisika dan Kimia 131I

Iodin berbentuk kristal rombik metalik berwarna ungu kehitaman dan

berwujud padat pada suhu ruang. Iodin termasuk ke dalam senyawa halogen

dengan titik didih 184,35 oC, titik leleh 113,5oC, dan tekanan uap 1 mmHg pada

II-8
 
 

 
38,7oC. Namun, iodin mempunyai sifat khusus, yaitu dapat menyublim perlahan
 
di suhu ruang. Bau dari unsur ini menyengat dan uapnya sangat berbahaya bagi
 
mata
  dan tenggorokan. Reaksi eksplosif dengan asetilen, bubuk antimoni, bubuk

  hafnium, dan pemanasan, tembaga campuran tetraamin (II) sulfat dan etanol,

  trioksigen difluorida. Bereaksi membentuk produk eksplosif dengan asetaldehid,

aluminium
  dan dietil eter, dipropil merkuri, titanium. Akan berpijar bila bereaksi

dengan
  sesium oksida (suhu di bawah 150oC), bromintrifluorida, dan karbida.
 
Iodin mempunyai bilangan oksidasi +7, +5, +3, +1, dan -1. Tidak cocok

dengan etanol, campuran etanol dan butadiena, campuran etanol dan fosforus,

campuran etanol, metanol, dan HgO, campuran formamida piridin dan sulfur

trioksida, formamida, halogen, merkuri oksida, logam (Al, Li, Mg), logam karbida,

oksigen, piridin, natrium hidrida, dan sulfida (Lewis, 2002:649).

Adapun reaksi redoks iodin dengan beberapa pereaksi dijelaskan dalam

Tabel II.1.

Tabel II. 1 Reaksi redoks iodin dengan berbagai pereaksi

Reaksi Keterangan
4I- + O2 + 4H+ → 2I2 + 2H2O Laju reaksi dipengaruhi konsentrasi
ion H+. Laju reaksi bertambah seiring
dengan bertambah konsentrasi ion H+.
2I- + 2H+ + H2O2 → I2 + 2H2O Laju reaksi dapat dipercepat dengan
adanya molibdat (Mo).
2I- + 2Ce4+ → I2 + 2Ce3+ Reaksi terjadi dengan cepat dalam
suasana asam.
I2 + 5H2O2 → 2H+ + 2IO3- + 4H2O Reaksi terjadi dengan cepat dengan
adanya ion IO3-.
Sumber: Kahn, 1977:9

II-9
 
 

 
131 131
Dalam bentuk radioisotop I, I mudah hilang dari permukaan, kulit,
 
atau pakaian (jas lab) dengan dialiri air. Keberadaan iodida dalam sediaan yang
 
131 131
mengandung
  I, berdampak pada peningkatan kontaminasi I. Untuk

  mencegah adanya iodida, maka perlu ditambahkan sulfit atau tiosulfat sebagai

  reduktor dalam sediaan 131I.

  Radiokimia Na131I
2.3.3
131
  Radioisotop I adalah radioisotop yang salah satunya tersedia dalam
 
bentuk senyawa natrium iodida (Na131I). Senyawa ini dihasilkan dari fisi uranium

atau penembakan telurium dengan neutron sedemikian hingga bebas pengemban

dan hanya mengandung sejumlah kecil iodin-127 (127I) alamiah. Larutan Na131I

yang merupakan sediaan farmasi mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak
131
lebih dari 110,0% dari jumlah I sebagai iodida yang tertera pada etiket,

dinyatakan dalam MBq (Ci atau mCi) per mL ditetapkan pada saat kalibrasi

dilakukan. Radioaktivitas dalam bentuk kimia lain tidak lebih dari 5% dari

radioaktivitas jumlah. Larutan dapat mengandung bahan pengawet atau penstabil.

Larutan Na131I jernih dan tidak berwarna. Larutan dan wadah kaca dapat menjadi
131
gelap akibat pengaruh radiasi. Waktu paruh dari I adalah 8,05 hari.

(KEMENKES RI, 2014).

2.3.4 Kegunaan 131I dalam Bidang Medis


131
Radioisotop I merupakan salah satu radioisotop utama dalam bidang

kedokteran nuklir Indonesia (Setiawan, 1999). Radioisotop ini digunakan dalam

bentuk larutan Na131I, untuk terapi kanker tiroid dengan tingkat keganasan tinggi.

II-10
 
 

 
131
Kemampuan I untuk mendiagnosis dan menghancurkan kanker tiroid berbasis
 
sifat alamiah iodin sebagai unsur yang banyak diserap oleh kelenjar tiroid
 
131
(Setiawan,
  2015). Sinar beta yang dipancarkan selama peluruhan I dapat

  mengakibatkan denaturasi DNA sel kanker tiroid.

  Larutan Na131I dapat digunakan secara oral atau intravena (KEMENKES


131
RI,   2014). Umumnya I digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada kelenjar

gondok
  dan untuk mendeteksi jaringan kanker pada otak (Sutresna, 2008:189).
 

2.4 Distilasi

2.4.1 Definisi Distilasi

Distilasi adalah proses pemisahan komponen-komponen suatu campuran

berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen. Tekanan uap

suatu cairan akan meningkat seiring dengan bertambahnya temperatur, dan titik di

mana tekanan uap sama dengan tekanan eksternal cairan disebut sebagai titk didih

(Anonim, tt).

2.4.2 Jenis-jenis Distilasi

Berikut ini jenis-jenis distilasi dan penjelasannya.

1. Distilasi sederhana, yaitu distilasi berdasarkan perbedaan titik didih atau

volatilitas. Distilasi ini dilakukan pada tekanan atmosfer (Saputri, tt).

2. Distilasi bertingkat atau distilasi fraksionasi, yaitu pemisahan komponen-

komponen berdasarkan perbedaan titik didih yang tidak begitu jauh. Pada

distilasi ini menggunakan kolom fraksionasi. Di dalam kolom terjadi

II-11
 
 

 
pemasanan secara bertahap dengan suhu yang berbeda-beda setiap platnya.
 
Pemanasan berbeda-beda ini bertujuan untuk pemurnian distilat yang lebih dari
 
plat-platnya
  (Putra, 2014).

  3. Distilasi vakum digunakan untuk memisahkan komponen yang tidak stabil atau

  mudah terdekomposisi ketika mendekati titik didihnya. Oleh karena itu,

tekanan
  dikurangi menggunakan aspirator (Putra, 2014).
 

 
2.5 Pemisahan 131I dari Bahan Sasaran Te secara Distilasi Basah
131
Terdapat beberapa metode pemisahan dalam produksi radioisotop I,

antara lain dengan metode ditilasi kering, distilasi basah, kromatografi kolom,

elektrolisis dan ekstraksi (IAEA, 1971:239).

Metode distilasi basah diterapkan di beberapa negara seperti Jepang,

Inggris dan Norwegia. Bahan sasaran yang digunakan adalah TeO 2. Setelah

diiradiasi, TeO2 dipanaskan pada suhu 600-800oC. Terbentuklah 131I dalam bentuk

gas I2 yang kemudian ditangkap oleh larutan NaOH (IAEA, 1971:240). Metode

ini memiliki kelebihan, yaitu limbah radioaktif yang sedikit karena tidak

memerlukan banyak pereaksi dan kemurnian produk yang tinggi mudah diperoleh.

Namun, pemakaian suhu yang tinggi perlu disesuaikan dengan alat yang

digunakan serta kondisi laboratorium yang memadai. Dan kondisi tersebut belum

tentu tersedia di beberapa negara. Oleh karena itu, metode alternatif menggunakan

metode distilasi basah.

Metode distilasi basah dengan bahan sasaran Te metal, diterapkan di

Canada dan India. Te yang sudah diiradiasi dilarutkan dalam campuran CrO3 dan

II-12
 
 

 
131
H2SO4 untuk mengoksidasi I menjadi bentuk iodat. Iodat direduksi oleh
 
penambahan asam oksalat membentuk I2. Gas I2 terdistilasi dan ditangkap oleh
 
larutan
  alkali yang mengandung sulfit atau tiosulfat (IAEA, 1971:240).

  Terdapat metode distilasi basah lainnya, yaitu dengan bahan sasaran TeO 2.
Metode ini diterapkan di Hungaria, Polandia dan Romania. Bahan sasaran yang
 
sudah diiradiasi dilarutkan dalam pelarut basa (biasanya NaOH). Kemudian
 
dicampurkan dengan H2O2 dan H2SO4 pekat. Gas I2 yang terbentuk terdistilasi dan
ditangkap
  oleh larutan alkali yang mengandung sulfit atau tiosulfat (IAEA,
  1971:240).
131
Adapun reaksi yang terjadi selama proses pemisahan I adalah sebagai
berikut (El-Absy dkk, 2009).
1. Pelarutan
TeO2 (s) + 2 NaOH (aq) → Na2TeO2 (aq) + H2O (l)
I- (s) + NaOH (aq) NaI (aq) + OH- (aq)
2. Refluks
NaI (s) + H2SO4 (aq) → NaHSO4 (aq) + HI (aq) (pada kondisi dingin)
2 NaI (s) + H2SO4 (aq) Na2SO4 (aq) + 2 HI (aq) (pada saat pemanasan)

3. Distilasi
2 HI (aq) + H2SO4 (aq) → I2 (g) + SO2 (g) + H2O (l)
2 HI (aq) + H2O2 (aq) I2 (g) + 2 H2O (l)
I2 (g) + NaOH (aq) NaI + OH- (aq)

2.6 Analisis Radioisotop 131I

2.6.1 Persen (%) Yield Pemisahan 131I


131
Penentuan persen (%) yield pemisahan I untuk mengetahui seberapa
131
banyak I yang dapat terdistilasi pada kondisi distilasi tertentu. Nilai %yield

pemisahan ini berdasarkan persentase I - yang terdistilasi. Penentuan %yield ini

II-13
 
 

 
diterapkan pada penentuan kondisi optimum distilasi basah maupun pada
 
131
pemisahan I dari Te yang sudah diaktivasi. Pada penentuan kondisi optimum
 
distilasi
  basah, pengerjaannya menggunakan Te yang tidak aktif. Oleh karena itu,

  terdapat perbedaan penentuan %yield pemisahannya. Penentuan %yield dengan

  bahan Te non-aktif dengan menggunakan metode spektrofotometer visible,

sedangkan
  penentuan %yield dengan bahan Te aktif dengan menggunakan

instrumen
  dose calibrator.
 

2.6.1.1 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri merupakan metode analisis berdasarkan pada

pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada

panjang gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi

difraksi dengan detektor phototube (Hidayanti, 2016). Analisis spektrofotometri

terbagi pada 3 daerah panjang gelombang, yaitu daerah UV (200-380 nm), daerah

visible (380-700 nm) dan daerah inframerah (700-3000 nm).

Serapan cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi

elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital

keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Transisi elektronik suatu molekul

dengan struktur kimia berbeda adalah tidak sama sehingga spektra absorbsinya

juga berbeda. Dengan demikian, spektra dapat digunakan sebagai informasi yang

bermanfaat untuk analisis kualitatif. Banyaknya serapan sinar pada panjang

gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi,

II-14
 
 

 
sehingga spektra absorbsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
 
(Gandjar, 2007:225).
 

  Prinsip kerja spektofotometri berdasarkan Hukum Lambert-Beer. Hukum

  ambert menyatakan bahwa “ ila suatu sinar monokromatik melewati medium

  transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya

ketebalan
  medium yang mengabsorbsi”. Sedangkan hukum eer menyatakan

bahwa,
  “Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan
 
bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut”. Oleh karena itu

berdasarkan kedua hukum tersebut lahirlah hukum Lambert-Beer yang

menyatakan bahwa “Hubungan linearitas antara absorban dengan konsentrasi

larutan sampel”. Konsentrasi dari sampel di dalam larutan bisa ditentukan dengan

mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan

hukum Lambert-Beer. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis dengan:

A = .b.c ...................................................................................... II.5

dengan A = absorbansi (serapan) b = tebal kuvet (cm)

= koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1) c = konsentrasi (M)

Pada beberapa buku ditulis juga:

A = E.b.c ..................................................................................... II.6

dengan E = koefisien ekstingsi spesifik (mL.g-1.cm-1)

c = konsentrasi (g/100 mL)

II-15
 
 

 
Menurut Dachriyanus (2004), Hukum Lambert-Beer terbatas karena sifat
 
kimia dan faktor instrumen. Penyebab non linearitas ini adalah:
 
 Deviasi
  koefisien ekstingsi pada konsentrasi tinggi (>0,01 M), yang disebabkan

  oleh interaksi elektrostatik antara molekul karena jaraknya yang terlalu dekat.

   Hamburan cahaya karena adanya partikel dalam sampel.

 Flouresensi
  atau fosforesensi sampel.

 Berubahnya
  indeks bias pada konsentrasi yang tinggi.
 
 Pergeseran kesetimbangan kimia sebagai fungsi dari konsentrasi.

 Radiasi non-monokromatik; deviasi bisa digunakan dengan menggunakan

bagian datar pada absorban, yaitu pada panjang gelombang maksimum.

 Kehilangan cahaya.

Penentuan Kadar I- secara Spektrofotometri Visible

Penentuan kadar iodida (I-) dilakukan dengan menggunakan reaksi

Sandell-Kolthoff yang dianalisis secara spektroskopi. Reaksi Sandell-Kolthoff

merupakan reaksi reduksi terhadap degradasi warna kuning serium IV (Ce4+)

menjadi serium III (Ce3+) dengan adanya I- dalam suasana asam.

2I- + 2Ce4+ → I2 + 2Ce3+ (Kahn, 1977:9)

Sejumlah larutan sampel akan direaksikan dengan laruan Ce 4+ dan setelah

didiamkan selama 1 menit, absorbansi dapat diukur pada panjang gelombang

maksimum 340 nm. Berdasarkan nilai kadar I- dalam distilat, maka %yield

pemisahan dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini.

massa - pada distilat


%yield pemisahan I- = x 100% ............................. II.7
massa - awal

II-16
 
 

 
Penentuan Kadar Te secara Spektrofotometri UV
 
Menurut Abdul dkk. (2010) menyatakan bahwa penentuan kadar telurium
 
dianalisis
  menggunakan spektrofotometer UV. Telurium direaksikan dengan 2-

  merkaptoetanol pada kondisi asam (pH = 2). Oleh karena itu, ada penambahan

  buffer Britton-Robinson pH 2 yang terbuat dari campuran asam borat, asam asetat

glasial
  dan asam orto-fosfat 85%.

 
TeO2 + 4 C2H6OS → Te(C2H5OS)4 + 2 H2O (Abdul dkk., 2010)
 
Reaksi tersebut dapat berlangsung pada kondisi pH = 2 dan pemanasan

pada suhu 50oC selama 20 menit. Absorbansi dapat terukur pada panjang

gelombang 254 nm.

2.6.1.2 Dose Calibrator

Dose calibrator merupakan alat ukur aktivitas yang menggunakan detektor

kamar pengion (detektor isian gas). Dinding detektor dihubungkan kutub negatif

sumber tegangan yang bermuatan negatif dan berfungsi sebagai elektroda negatif

atau katoda. Sedangkan kawat di tengah tabung dihubungkan dengan kutub positif

sumber tegangan dan bermuatan positif dan sebagai elektroda positif atau anoda.

Prinsip kerja instrumen ini adalah jika suatu senyawa radioaktif

dimasukkan ke dalam alat akan menyebabkan elektron pada detektor tereksitasi.

Kemudian elektron akan berkumpul pada kutub positif pada detektor. Perbedaan

potensial antara kutub positif dan negatif pada detektor akan menghasilkan arus

yang kemudian diukur oleh alat lalu ditampilkan pada display dengan satuan mCi

(Hidayanti, 2016).

II-17
 
 

 
Gambar II.4 Alat ukur dose calibrator
 
(sumber: dokumentasi penulis)
 

Gambar II.5 Skema kerja detektor isian gas


(sumber: Zubaidah dkk, 2015:50)

2.6.2 Uji Kemurnian Radionuklida 131I

Kemurnian radioisotop adalah besarnya persentase perbandingan antara

keberadaan radioisotop yang dibutuhkan terhadap radioaktivitas total (Hidayanti,

2016). Keberadaan pengotor akan mempengaruhi radiasi yang dihasilkan.

Pengotor radionuklida ini dapat terbentuk akibat reaksi nuklir terhadap pengotor

kimia dari target atau juga karena proses fisi yang terjadi dalam reaktor nuklir.
131
Nilai batas kemurnian radionuklida I menurut Farmakope Indonesia V

dalam larutan Na131I mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari

II-18
 
 

 
131
110,0% dari jumlah I sebagai iodida, dan pengotor radionuklida lainnya tidak
 
boleh lebih dari 5% dari radioaktivitas total. Sedangkan menurut IAEA
 
(1971:273),
  nilai batas kemurnian radionuklida 131I, yaitu di atas 99,9%.

  Pengujian kemurnian radioisotop dilakukan dengan alat spektroskopi

  gamma dengan menggunakan alat analisis saluran ganda (Multi Channel

Analyzer-MCA).
  MCA merupakan alat untuk menganalisis radioisotop pemancar

sinar
  gamma baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap radioisotop

 
memancarkan sinar gamma yang khas yang dapat dilihat dari energi sinar gamma

pada energi spektrum spesifik yang dihasilkan. Jenis unsur yang terkandung pada

sampel kemudian diidentifikasi berdasarkan puncak-puncak energi yang terdapat

pada spektrum energi radiasi yang dipancarkan.

Gambar II.6 Multi Channel Analyzer


(sumber: dokumentasi penulis)

Analisis dilakukan dengan mengamati spektrum karateristik radioisotop

yang dihasilkan dari interaksi antara radiasi dengan materi detektor. Detektor yang

digunakan adalah detektor HPGe (High Purity Germanium). Detektor ini dibuat

II-19
 
 

 
dari bahan germanium (Ge) yang tercangkok dalam litium (Li) sehingga
 
membentuk detektor semikonduktor Ge(Li) yang tersedia dalam berbagai ukuran
 
dan  bentuk, dengan volume hingga beberapa puluh cm3. Energi celah (Eg) pada

  germanium yang cukup rendah (0,67 eV), menyebabkakan bahan ini dapat

  berfungsi sebagai pemantau radiasi hanya pada temperatur yang sangat rendah.

Untuk
  keperluan pendinginan biasanya diperlukan nitrogen cair, sehingga

pemantau
  Ge(Li) beroperasi pada temperatur -196oC. Meski seperti itu, detektor
 
ini banyak dimanfaatkan untuk spektrometri radiasi gamma karena memiliki Z

(nomor atom) yang cukup tinggi. Ge memiliki kepekaan yang cukup baik

terhadap radiasi gamma. Kelebihan lain dari detektor ini adalah linearitasnya pada

daerah energi yang sangat lebar (Zubaidah, dkk., 2015).

Gambar II.7 Skema kerja MCA


(sumber: e-learning BATAN)

2.6.3 Uji Kemurnian Radiokimia Na131I

Kemurnian radiokimia adalah besarnya persentase radioisotop

(radioaktivitas) dalam bentuk kimia yang diinginkan. Kemurnian radiokimia

menyatakan seberapa murni suatu radioisotop atau seberapa banyak pengotor

II-20
 
 

 
yang terdapat dalam radioisotop tersebut (Hidayanti, 2016). Pengujian kemurnian
 
radiokimia dapat ditentukan dengan metode kromatografi kertas.
 

  Menurut IAEA (1971:267), syarat kemurnian radiokimia Na131I sebesar

  lebih dari 95,0%, dengan identifikasi spesi IO4- pada Rf 0,00; spesi IO3 - pda R f

  0,50 dan spesi I- pada Rf 0,75. Begitu pun menurut Farmakope Indonesia V,

kemurnian
  radiokimia Na131I tidak kurang dari 95,0%.
 

 
2.6.3.1 Kromatografi Kertas

Pengujian kemurnian radiokimia menggunakan metode kromatografi

kertas dengan menggunakan pembanding periodat (IO4-) dan iodat (IO3-), dan

menggunakan eluen metanol 75% (IAEA, 1971:244). Fasa diam yang dapat

digunakan diantaranya kertas whatman no.1 dan kertas whatman 30 mm. Prinsip

kromatografi kertas pada pengujian kemurnian radiokimia ini adalah berdasarkan

perbedaan kecepatan migrasi radiokimia dan pengotornya dalam suatu sistem

kromatografi kertas. Hasilnya diamati dengan pencacahan radioaktif

menggunakan instrumen Single Channel Analyzer (SCA) (Hidayanti, 2016).

2.6.3.2 Single Channel Analyzer (SCA)

Single Channel Analyzer (SCA) merupakan instumen yang menganalisis

tinggi pulsa intensitas radiasi pada setiap kanal energi yang digunakan. Alat SCA

ini menerapkan sistem pencacahan diferensial, yaitu sistem pencacahan yang

digunakan untuk mengukur jumlah radiasi dalam selang energi tertentu (Hidayanti,

2016).

II-21
 
 

 
Gambar II.8 Single Channel Analyzer
 
(sumber: dokumentasi penulis)
 

Prinsip kerja SCA, yaitu apabila suatu radiasi mengenai detektor maka

akan membangkitkan sebuah pulsa keluaran. Jika pulsa masukan berada antara

batas bawah (LLD-low limit detection) dan batas atas (ULP-upper limit detection)

pada diskriminator, maka pulsa keluaran tersebut akan diteruskan ke pencacahan

(counter) untuk dihitung jumlah cacahannya.

Gambar II.9 Skema kerja SCA


(sumber: e-learning BATAN)

Detektor yang digunakan pada SCA adalah detektor sintilasi. Detektor

sintilasi terdiri dari bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Terdapat

beberapa jenis bahan sintilator, antara lain kristal NaI(Tl), ZnS(Ag), LiI(Eu), dan

sintilator organik. Instrumen SCA yang digunakan pada penelitian ini

II-22
 
 

 
menggunakan detektor berbahan NaI(Tl). Mekanisme pendeteksian radiasi pada
 
detektor terdiri dari 2 tahap, yaitu radiasi yang mengenai detektor akan diubah
 
menjadi
  percikan cahaya di dalam bahan sintilator, kemudian percikan cahaya

  tersebut diubah menjadi pulsa listrik di dalam tabung photomultiplier (Zubaidah

  dkk, 2015:50).

Gambar II.10 Skema kerja detektor sintilasi


(sumber: Zubaidah dkk, 2015:51)

Amplifier memiliki fungsi utama mengubah pulsa eksponensial menjadi

pulsa Gaussian dan memperkuatnya apabila diperlukan. Sebab detektor sintilasi

menghasilkan pulsa listrik yang relatif sangat kecil.

Diskriminator merupakan ciri khas komponen dalam instrumen sistem

pencacahan diferensial. Fungsi komponen ini untuk menyaring pulsa listrik yang

akan diteruskan ke counter. Apabila pulsa listik yang dikeluarkan amplifier lebih

dari batas bawah namun kurang dari batas atas, maka pulsa listrik tersebut

diteruskan ke counter.

Counter adalah alat yang digunakan untuk menentukan jumlah cacahan

pulsa listrik yang memasukinya. Selang waktu pencacahan dapat lakukan secara

II-23
 
 

 
manual maupun otomatis menggunakan timer, yaitu alat yang memberikan sinyal
 
untuk counter memulai dan menghentikan cacahan selama waktu tertentu.
 

II-24
 

Anda mungkin juga menyukai