LP Asma
LP Asma
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Gawat Darurat Profesi Ners
Dosen Pembimbing Akademik Ns. Nuri Sukraeni, S.Kep, MNS
DISUSUN OLEH :
HERRY WAHYUDI
G3A017106
Tim Pembimbing :
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran
napas yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga
apabila terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi
tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan
mukus, dan meningkatnya proses radang (Almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Asma
dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi
umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun
dan orang dewasa pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).
2. Klasifikasi
Berdasarkan kegawatan asma, maka asma dapat dibagi menjadi :
a. Asma bronkhiale
Asma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap
bebagai macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan
saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat
berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan
b. Status asmatikus
Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang
konvensional status asmatikus merupakan keadaan emergensi dan
tidak langsung memberikan respon terhadap dosis umum
bronkodilator (Depkes RI, 2007).
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa
pernapasan wheezing, ronchi ketika bernapas (adanya suara bising
ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored
(perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher, hipoksemia,
respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir
dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka
suara wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya
gagal pernapasan
c. Asthmatic Emergency
Yakni asma yang dapat menyebabkan kematian
3. Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor
yang menjadi pencetus asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya
saluran pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan
peradangan. Triggerdianggap menyebabkan gangguan pernapasan
akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma
jenis intrinsik.
Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu
cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan
relatif mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran
pernapasan akan bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah
ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya pemicu yang
mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan cuaca, suhu udara,
polusi udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan, gangguan emosi,
dan olahraga yang berlebihan.
b. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan
sekaligus hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran
pernapasan. Inducerdianggap sebagai penyebab asma yang
sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat
menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung lebih lama
(kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah
alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang masuk ke
tubuh melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh
melalui hidung atau mulut), dan alergen yang didapat melalui
kontak dengan kulit ( VitaHealth, 2006).
5. Manifestasi klinik
Gambaran klasik penderita asma berupa sesak nafas, batuk-batuk dan
mengi (whezzing) telah dikenal oleh umum dan tidak sulit untuk diketahui.
Batuk-batuk kronis dapat merupakan satu-satunya gejala asma dan
demikian pula rasa sesak dan berat didada.
Tetapi untuk melihat tanda dan gejala asma sendiri dapat digolongkan
menjadi :
a. Asma tingkat I
Yaitu penderita asma yang secara klinis normal tanpa tanda dan
gejala asma atau keluhan khusus baik dalam pemeriksaan fisik
maupun fungsi paru. Asma akan muncul bila penderita terpapar faktor
pencetus atau saat dilakukan tes provokasi bronchial di laboratorium.
b. Asma tingkat II
Yaitu penderita asma yang secara klinis maupun pemeriksaan fisik
tidak ada kelainan, tetapi dengan tes fungsi paru nampak adanya
obstruksi saluran pernafasan. Biasanya terjadi setelah sembuh dari
serangan asma.
c. Asma tingkat III
Yaitu penderita asma yang tidak memiliki keluhan tetapi pada
pemeriksaan fisik dan tes fungsi paru memiliki tanda-tanda
obstruksi. Biasanya penderita merasa tidak sakit tetapi bila
pengobatan dihentikan asma akan kambuh.
d. Asma tingkat IV
Yaitu penderita asma yang sering kita jumpai di klinik atau rumah
sakit yaitu dengan keluhan sesak nafas, batuk atau nafas berbunyi.
Pada serangan asma ini dapat dilihat yang berat dengan gejala-
gejala yang makin banyak antara lain :
1) Kontraksi otot-otot bantu pernafasan, terutama sternokliedo
mastoideus
2) Sianosis
3) Silent Chest
4) Gangguan kesadaran
5) Tampak lelah
6) Hiperinflasi thoraks dan takhikardi
e. Asma tingkat V
Yaitu status asmatikus yang merupakan suatu keadaan darurat medis
beberapaserangan asma yang berat bersifat refrakter sementara
terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Karena pada dasarnya asma
bersifat reversible maka dalam kondisi apapun diusahakan untuk
mengembalikan nafas ke kondisi normal
6. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala –
gejala yang timbul saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik
dan perawatan pemeliharaan keehatan optimal yang umum. Tujuan
utama dari berbagai macam pengobatan adalah pasien segera
mengalami relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
1) Memberikan oksigen pernasal
2) Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5
mg atau terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian
yang dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian
antagonis beta 2 adrenergik dapat secara subcutan atau intravena
dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan dekstrose 5%
3) Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan
obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan
setengah dosis.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada
respon segera atau dalam serangan sangat berat
5) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk
didalamnya golongan beta adrenergik dan anti kolinergik.
b. Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis
Menurut Doenges (2010) penatalaksanaan nonfarmakologis asma
yaitu:
1) Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk
mengeluarkan sputum dengan baik
2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
3) Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
4) Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
5) Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
6) Hindarkan pasien dari faktor pencetus
7. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul
adalah :
a. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura
yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini
dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat
menyebabkan kegagalan napas.
b. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga
dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana
udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene
Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi
lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau
usus ke dalam rongga dada .
c. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
d. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh
jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat.
Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ
lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai
untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
e. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap
karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
f. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan
bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil
(bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi
peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa
perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara
menjadi sempit oleh adanya lendir.
g. Fraktur iga
6. Patofisiologi
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus
reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu
kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran
yang melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain
itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental,
banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara
terperangkap didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE)
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine,
bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan
mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari
sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik
dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor
β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-
adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat
(cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang
mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-
sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi
dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa
penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya,
asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan
konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2009).
B. Pathway
C. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
1) Peningkatan sekresi pernafasan
2) Bunyi nafas krekles, ronchi, weezing
b. Breathing
1) Distress pernafasan : pernafasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, retraksi.
2) Menggunakan otot aksesoris pernafasan
3) Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, latergi, takikardi
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah
4) Papiledema
5) Urin output meurun
d. Dissability
Mengetahui kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status
umum dan neurologi dengan memeriksa atau cek kesadaran, reaksi
pupil.
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan NIC :
nafas tidak keperawatan selama ± 30 menit, Airway Management
efektif pasien mampu : 1. Buka jalan nafas,
berhubungan 1. Respiratory status : 2. Posisikan pasien untuk
dengan Ventilation memaksimalkan ventilasi
tachipnea, 2. Respiratory status : Airway 3. Identifikasi pasien perlunya
peningkatan patency pemasangan alat jalan nafas
produksi 3. Aspiration Control, buatan
mukus, Dengan kriteria hasil : 4. Pasang mayo bila perlu
kekentalan 1. Mendemonstrasikan batuk 5. Lakukan fisioterapi dada jika
sekresi dan efektif dan suara nafas yang perlu
bronchospasme bersih, tidak ada sianosis dan 6. Keluarkan sekret dengan batuk
dyspneu (mampu atau suction
mengeluarkan sputum, 7. Auskultasi suara nafas, catat
mampu bernafas dengan adanya suara tambahan
mudah, tidak ada pursed lips) 8. Lakukan suction pada mayo
2. Menunjukkan jalan nafas 9. Berikan bronkodilator bila perlu
yang paten (klien tidak 10. Berikan pelembab udara Kassa
merasa tercekik, irama nafas, basah NaCl Lembab
frekuensi pernafasan dalam 11. Atur intake untuk cairan
rentang normal, tidak ada mengoptimalkan keseimbangan.
suara nafas abnormal) 12. Monitor respirasi dan status O2
3. Mampu mengidentifikasikan
dan mencegah factor yang
dapat menghambat jalan nafas
2 Pola Nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Airway Management
efektif keperawatan selama ± 30 menit, 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
berhubungan pasien mampu : chin lift atau jaw thrust bila perlu
dengan 1. Respiratory status : 2. Posisikan pasien untuk
penyempitan Ventilation memaksimalkan ventilasi
bronkus 2. Respiratory status : Airway 3. Identifikasi pasien perlunya
patency pemasangan alat jalan nafas
3. Vital sign Status buatan
Dengan Kriteria Hasil : 4. Pasang mayo bila perlu
1. Mendemonstrasikan batuk 5. Lakukan fisioterapi dada jika
efektif dan suara nafas yang perlu
bersih, tidak ada sianosis 6. Keluarkan sekret dengan batuk
dan dyspneu (mampu atau suction
mengeluarkan sputum, 7. Auskultasi suara nafas, catat
mampu bernafas dengan adanya suara tambahan
mudah, tidak ada pursed 8. Lakukan suction pada mayo
lips) 9. Berikan bronkodilator bila perlu
2. Menunjukkan jalan nafas 10. Berikan pelembab udara Kassa
yang paten (klien tidak basah NaCl Lembab
merasa tercekik, irama 11. Atur intake untuk cairan
nafas, frekuensi pernafasan mengoptimalkan keseimbangan.
dalam rentang normal, tidak 12. Monitor respirasi dan status O2
ada suara nafas abnormal)
3. Tanda Tanda vital dalam Terapi Oksigen
rentang normal (tekanan 1. Bersihkan mulut, hidung dan
darah, nadi, pernafasan) secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik
pertukaran gas keperawatan selama ± 30 menit, chin lift atau jaw thrust bila perlu
berhubungan pasien mampu : 2. Posisikan pasien untuk
dengan 1. Respiratory Status : Gas memaksimalkan ventilasi
perubahan exchange 3. Identifikasi pasien perlunya
membran 2. Respiratory Status : pemasangan alat jalan nafas
kapiler – ventilation buatan
alveolar Dengan kriteria hasil : 4. Pasang mayo bila perlu
1. Mendemonstrasikan 5. Lakukan fisioterapi dada jika
peningkatan ventilasi dan perlu
oksigenasi yang adekuat 6. Keluarkan sekret dengan batuk
2. Memelihara kebersihan paru atau suction
paru dan bebas dari tanda 7. Auskultasi suara nafas, catat
tanda distress pernafasan adanya suara tambahan
3. Mendemonstrasikan batuk 8. Lakukan suction pada mayo
efektif dan suara nafas yang 9. Berika bronkodilator bial perlu
bersih, tidak ada sianosis dan 10. Barikan pelembab udara
dyspneu (mampu 11. Atur intake untuk cairan
mengeluarkan sputum, mengoptimalkan keseimbangan.
mampu bernafas dengan 12. Monitor respirasi dan status O2
mudah, tidak ada pursed lips)
4. Tanda tanda vital dalam
rentang normal
Almazini, P. (2012). Bronchial thermoplasty pilihan terapi baru untuk asma berat.
Jakarta : FK Universitas Indonesia
Departemen Kesehatan RI. (2009). Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta : Depkes RI
Doenges M.E, Moorhouse M.F, Murr A.C. (2010). Nursing Care Plans: Guidlines
for Individualizing Client Care Acroos the Lifespan (8th ed). Philadelphia: F.A.
GINA (Global Initiative for Asthma). (2006). Pocket Guide for Asthma
Management and Prevension In Children. Dimuat dalam
www.Ginaasthma.org.
Lewis, Heitkemper, & Dirksen. (2000). Medical Surgical Nursing: Assasement and
Management of Clinical Problem. United State of America: Mosby. Inc.
Mansjoer, A dkk. (2007). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Purnomo. (2008). Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Asma Bronkial Pada Anak. Semarang: Universitas Diponegoro
Saheb, A. (2011). Penyakit Asma. Bandung: CV medika
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth ( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.