Motif batik truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III),
bermakna cinta yang tumbuh kembali. Beliau menciptakan motif ini sebagai simbol cinta yang tulus
tanpa syarat, abadi, dan semakin lama terasa semakin subur berkembang (tumaruntum). Kain motif
truntum biasanya dipakai oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan. Harapannya adalah agar
cinta kasih yang tumoruntum ini akan menghinggapi kedua mempelai. Kadang dimaknai pula bahwa
orang tua berkewajiban untuk “menuntun” kedua mempelai untuk memasuki kehidupan baru.
Ada kepercayaan bahwa bila orang sakit menggunakan kain ini sebagai selimut, maka ia akan cepat
sembuh. Tambal artinya menambah semangat hari. Dengan semangat baru itu diharapkan harapan baru
akan muncul sehingga kesembuhan mudah didapat. Selain itu, dengan kehadiran para penjenguk,
diharapkan si sakit tidak merasa ditinggalkan dan memiliki banyak saudara sehingga keinginan untuk
sembuh semakin besar.
Motif ini mengandung makna ketabahan dan harus tahan menjalani hidup prihatin biarpun dilanda
hujan dan panas. Orang yang berumah tangga, apalagi pengantin baru, harus berani dan mau hidup
prihatin ketika banyak halangan dan cobaan. Ibaratnya tertimpa hujan dan panas, tidak boleh mudah
mengeluh. Segala halangan dan rintangan itu harus bisa dihadapi dan diselesaikan bersama-sama. Suami
atau istri merupakan bagian hidup di dalam rumah tangga. Jika salah satu menghadapi masalah, maka
pasangannya harus ikut membantu menyelesaikan, bukan justru menambahi masalah. Misalkan, bila
suami sedang mendapat cobaan tergoda oleh perempuan lain, maka sang istri harus bisa bijak mencari
solusi dan mencari penyelesaian permasalahan. Begitu pula sebaliknya, jika sang istri mendapat godaan
dari lelaki lain, tentu suami harus bersikap arif tanpa harus menaruh curiga yang berlebihan sebelum
ditemukan bukti.
Slobog bisa juga berarti lobok atau longgar. Kain ini biasa dipakai untuk melayat, dengan tujuan agar
yang meninggal tidak mengalami kesulitan menghadap Yang Maha Kuasa. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh prinsip-prinsip keagamaan bahwa setelah kematian ada kehidupan lain yang harus dipertanggung
jawabkan, yaitu menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
Nasihat tersebut termaktub di dalam asta brata (delapan keutamaan bagi seorang pemimpin), yaitu:
1. Endabrata, yaitu pemberi kemakmuran dan pelindung dunia. Dilambangkan dengan pohon hayat.
2. Yamabrata, yaitu menghukum yang bersalah secara adil. Dilambangkan dengan awan atau meru
(gunung).
3. Suryabrata, yaitu watak matahari yang bersifat tabah. Dilambangkan dengan garuda.
4. Sasibrata, yaitu watak rembulan yang bersifat menggembirakan dan memberi hadiah kepada yang
berjasa. Dilambangkan dengan ornamen binatang.
5. Bayubrata, yaitu watak luhur. Dilambangkan dengan ornamen burung.
6. Dhanababrata atau kuwerabrata, yaitu watak sentosa dan memberi kesejahteraan pada bawahan.
Dilambangkan dengan ornamen bintang.
7. Pasabrata, yaitu berhati lapang tetapi berbahaya bagi yang mengabaikan. Dilambangkan dengan kapal
air.
8. Agnibrata, yaitu kesaktian untuk memberantas musuh. Dilambangkan dengan ornamen lidah api.
Kata meru berasal Gunung Mahameru. Gunung ini dianggap sebagai tempat tinggal atau singgasana bagi
Tri Murti, yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma, dan Sang Hyang Siwa. Tri Murti ini dilambangkan
sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran, dan segala sumber kebahagiaan hidup di
dunia. Oleh karena itu, meru digunakan sebagai motif batik agar si pemakai selalu mendapatkan
kemakmuran dan kebahagiaan.
Batik motif cuwiri biasa digunakan pada saat acara mitoni, sebuah tradisi memperingati tujuh bulan usia
bayi. Cuwiri artinya kecil-kecil. Diharapkan pemakainya terlihat pantas dan dihormati oleh masyarakat.
Sejak kecil, manusia di Jawa sudah memiliki banyak aturan sesuai dengan falsafah hidupnya dengan
tujuan mendapatkan kemakmuran dan kebaikan.
Motif ciptoning ini biasanya dipakai oleh orang yang dituakan maupun pemimpin. Dengan memakai
motif ini, pemakainya diharapkan menjadi orang bijak dan mampu memberi petunjuk jalan yang benar
pada orang lain yang dipimpinnya. Makna filosofis di balik motif ini sebenarnya bukan hanya untuk
pemimpin, tetapi juga untuk setiap orang agar mampu memimpin (menempatkan) dirinya sendiri di
tengah masyarakatnya.
Gurda berasal dari kata garuda. Seperti diketahui, garuda merupakan burung besar. Dalam pandangan
masyarakat Jawa, burung garuda mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda ini
terdiri dari dua buah sayap (lar) dan di tengahnya terdapat badan dan ekor. Motif batik gurda ini juga
tidak lepas dari kepercayaan masa lalu. Garuda merupakan tunggangan Batara Wisnu yang dikenal
sebagai Dewa Matahari. Garuda menjadi tunggangan Batara Wisnu dan dijadikan sebagai lambang
matahari. Oleh masyarakat Jawa, garuda selain sebagai simbol kehidupan juga sebagai simbol
kejantanan.
Bentuk dasar ragam hias motif burung merak atau huk adalah seekor anak burung yang baru menetas,
menggeleparkan kedua sayapnya yang masih lemah, berusaha lepas dari cangkang telurnya, serta
separuh badan dan kedua kakinya masih berada di dalam cangkang. Motif burung huk juga sering
disebut dengan motif burung merak. Ide dasarnya adalah pandangan hidup tentang kemana jiwa
manusia sesudah mati. Dan gambaran tersebut disimpulkan bahwa kematian hanyalah kerusakan raga,
sedangkan jiwanya tetap hidup menemui Sang Pencipta. Keunikan motif ini adalah ia selalu hadir
bersama dengan motif lainnya, misalnya ceplokan sebagai selingan motif parang, dalam bentuk yang
berbaur dengan motif lainnya.
Motif Ceplok
Bentuk pola ceplok sangat kuno adalah pola kawung. Pola dengan motif-motif ceplok ini terinspirasi oleh
bentuk buah kawung (buah atap atau buah aren) yang dibelah empat. Keempat bagian buah bersama
intinya itu melambangkan empat arah (penjuru) utama dalam agama Budha. Pada dasarnya, ceplok
merupakan kategori ragam hias berdasarkan pengulangan bentuk geometri, seperti segi empat, empat
persegi panjang, bulat telur, atau pun bintang. Ada banyak varian lain dari motif ceplok, misalnya ceplok
sriwedari dan ceplok kecil. Batik truntum juga masuk kategori motif ceplok. Selain itu, motif ceplok juga
sering dipadupadankan dengan berbagai bentuk motif lainnya untuk mendapat corak dan motif batik
yang lebih indah.
Motif Batik Parang Kusuma, bermakna hidup harus dilandasi dengan perjuangan untuk mencari
kebahagiaan lahir dan batin, ibarat keharuman bunga (kusuma). Contohnya, bagi orang Jawa, yang
paling utama dari hidup di masyarakat adalah keharuman (kebaikan) pribadinya tanpa meninggalkan
norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin. Mereka
harus mematuhi aturan hidup bermasyarakat dan taat kepada perintah Tuhan. Kondisi ini memang tidak
mudah untuk direalisasikan, tetapi umumnya orang Jawa berharap bisa menemukan hidup yang
sempurna lahir batin. Mereka akan rnengusahakan banyak hal untuk mencapai kehidupan bahagia lahir
dan batin. Di zaman yang serba terbuka sekarang ini, sungguh sulit untuk mencapai ke tingkat hidup
seperti yang diharapkan karena banyak godaan. Orang pun lebih cenderung mencari nama harum
dengan cara membeli dengan uang yang dimiliki, bukan dari tingkah laku dan pribadi yang baik.
Batik parang atau lereng menurut pakemnya hanya boleh digunakan oleh sentono dalem (anak dari
ratu). Lereng berasal dari kata mereng (lereng bukit). Sejarah motif ini diawali dari pelarian keluarga
kerajaan dari Keraton Kartasura. Para keluarga raja terpaksa bersembunyi di daerah pegunungan agar
terhindar dari bahaya. Mereka berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau musuh. Motif ini berarti
juga topo broto para raja yang dilakukan di lereng-lereng pegunungan untuk mendapatkan wahyu atau
wangsit. Dalam tapa brata itulah mereka dapat melihat pemandangan gunung dan pegunungan yang
berderet-deret sehingga menyerupai pereng atau lereng.
Motif Kawung
Motif kawung bermakna keinginan dan usaha yang keras akan selalu membuahkan hasil, seperti
rejekinya berlipat ganda. Orang yang bekerja keras pasti akan menuai hasil, walaupun kadang harus
memakan waktu yang lama. Contohnya, seorang petani yang bekerja giat di sawah, jika tidak ada hama
yang mengganggu, tentu dia akan memanen hasil padi yang berlipat di kemudian hari.
Kerja keras untuk menghasilkan rejeki berlipat akan lebih bermakna jika dibarengi dengan sikap hemat,
teliti, cermat, dan tidak boros. Namun sayang, budaya kerja keras untuk menuai hasil maksimal tidak
dilakukan oleh semua orang. Apalagi di zaman sekarang, di mana banyak orang ingin serba instan, orang
ingin cepat kaya tanpa harus bekerja keras. Oleh karena itu, ada saja mereka yang melakukan hal-hal
tercela untuk mendapatkan keinginannya.
Hal itu kemudian berkembang keluar untuk mencari jati diri (belajar atau menjalani kehidupan sosial
agama). Pada akhirnya, membawa dirinya memasuki dunia baru menuju ke dalam penyatuan diri setelah
melalui pasang surut (naik dan turun) dan pada akhirnya kembali ke asalnya (sunnatullah). Dengan
demikian, kita bisa lihat bentuk mega mendung selalu terbentuk dari lengkungan kecil yang bergerak
membesar keluar dan pada akhirnya harus kembali lagi menjadi putaran kecil, tetapi tidak boleh
terputus.
Terlepas dari makna filosofis bahwa mega mendung melambangkan kehidupan manusia secara utuh
sehingga bentuknya harus menyatu, sisi produksi memang mengharuskan bentuk garis lengkung mega
mendung bertemu pada satu titik lengkung berikutnya agar pewarnaan bisa lebih mudah.