Anda di halaman 1dari 4

Jika kamu sedang ditindas atau dibully orang, aku sedikit banyak bisa memahami

penderitaanmu. Aku juga ingin meminta maaf atas nama mereka yang telah menindasmu.

Aku sendiri pernah menjadi pelaku sekaligus korban bully. Tumbuh sebagai seorang anak
yang aneh—gendut, berkacamata, dan tidak pernah merasa diterima di mana-mana—aku
menjadi sasaran empuk bagi para bully. Tanpa kusadari, pengalaman dibully membuatku
kemudian melampiaskan emosi negatif itu kepada orang lain.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengumbar pengalaman pahitku tetapi untuk
membagikan pengharapan bagi kamu yang ada di tengah situasi serupa. Karena pernah
menjadi pelaku sekaligus korban bully, aku bisa memahami masalah ini dari dua sisi dan
dapat membagikan pengalamanku dalam mengatasinya. Sebagai tambahan, aku juga
akan membagikan pandanganku sebagai seorang pengikut Kristus, dan menyarankan
beberapa cara lain (yang dulu tidak terpikir olehku) untuk keluar dari masalah ini.

Salah satu caraku meresponi tindakan bully yang kualami adalah dengan menyerang
orang lain secara fisik. Malu sekali rasanya mengingat tindakanku itu. Begitu melihat orang
yang pernah kusakiti itu sebelas tahun kemudian, tak ayal aku berbalik dan segera lari
menghindarinya. Meski lama tidak bertemu, aku tak bisa melupakan sosoknya, karena ia
memiliki tangan yang cacat dan kaki yang timpang. Memalukan memang. Aku telah
memukul seorang penderita cerebral palsy dan meninggalkannya seorang diri, menangis
di tengah derai hujan.

Jika kamu adalah korban bullying dan tindakanku membuatmu muak—dengan tidak
berperasaan aku telah menindas yang lemah—kumohon kamu tidak langsung menutup
halaman web ini. Teruslah membaca kisahku ini sedikit lagi. Tanpa ingin membenarkan
diri, aku ingin menjelaskan situasi di balik tindakanku. Well, aku pun telah dibully juga. Aku
dipukul dan dikucilkan. Aku berusaha mengatasi rasa sakit hatiku dengan
melampiaskannya kepada orang lain. Sebuah mekanisme pertahanan diri.
Kecenderungan yang kadang-kadang masih kulakukan hingga sekarang.

Dengan menertawakan dan menghina kelemahan orang lain, aku merasa akhirnya bisa
diterima sebagai bagian dari sebuah kelompok. Dengan mempermainkan dan
merendahkan seorang anak yang cacat, aku bisa—paling tidak untuk sementara
waktu—mengabaikan masalah-masalahku (kelebihan berat badan, penampilan yang
buruk, dsb), dan merasa bisa mengendalikan orang lain.

Kupikir setelah lulus aku bisa lepas dari masalah bully ini, tetapi ternyata saat menginjak
usia 15-16 tahun, aku harus sekelas lagi dengan orang-orang yang dulu menyakitiku.

Cara bully mereka sedikit berbeda sekarang, tidak lagi banyak menyerang secara fisik,
tetapi secara mental. Sangat menyakitkan ketika mereka mengucilkan dan mengabaikan
keberadaanku. Aku berupaya diterima dalam kelompok mereka dengan cara
menunjukkan bahwa aku juga bisa mempermainkan orang lain. Upayaku membuat
mereka lebih bersahabat, tetapi tidak menyelesaikan masalah.

Karena tidak punya banyak teman, aku akhirnya menyibukkan diri dengan bermain game.
Ketika asyik bermain, untuk sesaat aku bisa melupakan kebencianku terhadap suasana di
sekolah. Sungguh keputusan yang bodoh. Jika waktu bisa diputar kembali, betapa aku
ingin menjalani masa-masa itu dengan cara yang berbeda.

Well, aku harap kamu sekarang bisa memahami, mengapa aku membully orang.
Sebagaimana yang kujanjikan di awal tulisan, berikut ini aku coba mendaftarkan beberapa
hal yang dapat kamu lakukan untuk mengatasi bullying.

1. Membaca dan bermain.


Membaca memberiku banyak pencerahan. Pada saat itu, aku belum mengenal Kristus
dan belum pernah membuka yang namanya Alkitab karena aku dibesarkan dengan
kepercayaan lain. Jika aku sudah menjadi pengikut Kristus saat itu, tentu aku sudah
membaca Alkitab. Syukurlah, ada sejumlah bacaan karya para penulis Kristen (seperti
Enid Blyton, Roald Dahl, dan C.S.Lewis) yang menolongku melewati masa-masa sulit itu.

Saat ini teknologi komputer memungkinkan kita bermain sekaligus menjalin persahabatan
secara online. Tentu saja, kita harus bijak dalam menggunakannya. Aku tidak
menyarankan kamu menghabiskan sepanjang hari hanya untuk bermain komputer.
Karena sifatnya yang menarik dan interaktif, komputer lebih berpotensi membuat kita
kecanduan dibandingkan buku.

2. Berhentilah berupaya untuk diterima.


Mungkin nasihat ini tidak diperlukan oleh sebagian pembaca, namun aku tetap ingin
menuliskannya untukmu: berhentilah berupaya untuk diterima. Aku telah berupaya keras
untuk diterima dengan cara membully orang lain. Aku berusaha ikut melakukan apa yang
dianggap “keren” oleh teman-temanku. Kami (atau setidaknya aku sendiri) tidak memiliki
rasa aman dalam diri sehingga kami melakukan segala sesuatu yang dapat membuat
kami bisa merasa diterima oleh orang lain. Memiliki banyak teman jauh lebih
menyenangkan daripada hidup sendirian. Namun, meski kita semua memiliki
kecenderungan alami untuk ingin dihargai orang lain, kita seharusnya tidak melakukan
sesuatu yang jahat demi mendapat penghargaan orang. Kita harus menyelaraskan diri
dengan kehendak Allah lebih daripada manusia. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan
dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu …” (Roma 12:2).

3. Terapkan kelemahlembutan.
Kamu mungkin pernah mendengar tentang memberikan pipi kiri ketika pipi kananmu
ditampar orang (Lukas 6:9; Matius 5:39). Ayat-ayat ini tidak berbicara tentang membiarkan
orang memperlakukan kita seenaknya, tetapi lebih tentang melepaskan hak kita untuk
mengikut Yesus. Markus 8:34-35 berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau
menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan
nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.”

David Roper, seorang pendeta, suatu kali pernah menulis, “Kelemahlembutan bukanlah
sebuah kelemahan, melainkan kekuatan dalam pengendalian diri. Roh yang lemah lembut
mengatasi hati yang keras dan kehendak yang sulit dengan penuh kesabaran.”
Kelemahlembutan adalah salah satu karakter Kristus. Dengan bala tentara malaikat-Nya,
Kristus bisa melakukan apa pun yang Dia mau. Tetapi, bukannya menghajar para orang
Farisi yang telah menyiksa dan mengolok-olok-Nya, Kristus memilih untuk tetap bersikap
lemah lembut, mengendalikan kekuatan-Nya. Kelemahlembutan bukanlah sebuah
kelemahan. Kita harus bisa membedakan kedua hal ini.

4. Ambillah sikap yang tegas bagi dirimu sendiri dan bagi kebenaran.
Poin ini mungkin tampak bertolak belakang dengan poin sebelumnya, namun izinkan aku
menjelaskannya. Tuhan Yesus tidak memberikan pipi kiri-Nya kepada penjaga yang
menampar-Nya karena tidak menjawab pertanyaan Imam Besar dengan “sikap yang
seharusnya” (Yohanes 18:19-23). Dia justru bertanya kepada penjaga itu,”Jikalau kata-Ku
itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau
menampar Aku?” Kita belajar dari Tuhan Yesus bahwa kita dapat bersikap tegas sekaligus
tetap lemah lembut dalam menegur mereka yang memperlakukan kita dengan
semena-mena.

5. Berbicaralah dengan orang yang memegang otoritas.


Mengambil sikap yang tegas bagi diri kita dan bagi kebenaran tidak berarti kita harus
menyerang balik. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus tidak datang untuk mengutuk atau
menghina orang-orang Farisi. Dia mengendalikan kekuatan-Nya, membela kebenaran
tanpa menyakiti orang lain. Bagi orang yang menjadi korban bully, bawalah masalahmu
kepada orang yang memegang otoritas.
Dalam Roma 13:3-4 Paulus memberitahu kita bahwa pemerintah (atau orang yang
memegang otoritas) ditetapkan oleh Allah untuk “mendatangkan hukuman” kepada orang
yang “berbuat jahat”.

6. Kasihilah mereka yang menyakitimu dan berdoalah bagi mereka.


Aku sengaja menuliskan ini paling akhir karena inilah nasihat yang sangat sering diberikan
oleh sesama orang Kristen, sehingga terdengar klise dan kerap kehilangan maknanya.
Aku juga sengaja menggabungkan kasih dan doa dalam poin ini.

Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu, berbuat baiklah kepada orang yang membenci
kamu” (Lukas 6:27). Bersikap lemah lembut dan mengendalikan kekuatan kita ketika
direndahkan orang lain sudah cukup sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa kita masih
diminta untuk mengasihi musuh kita? Mustahil rasanya! Namun, setelah membaca
kisahku tadi, aku berharap kamu bisa memahami bahwa para bully sebenarnya tidak
seperti penampilan luar mereka. Mereka bukanlah orang-orang tanpa perasaan—atau
bahkan sadis—sebagaimana yang kita pikirkan. Mereka adalah orang-orang yang
berusaha mengatasi rasa sakit hati dengan cara yang keliru. Dan, tidak seperti aku atau
kamu yang memiliki Kristus untuk membimbing hidup kita, mereka mungkin belum
mengenal Kristus. Atau, jika mereka sudah mengenal-Nya, mereka mungkin tidak memiliki
hubungan pribadi yang dekat dengan-Nya. Kasihilah mereka, karena seperti kamu,
mereka juga telah banyak terluka. Kasihilah musuhmu dengan berdoa bagi mereka
(Matius 5:44), dan lihatlah bagaimana Tuhan berkarya!

Anda mungkin juga menyukai