Anda di halaman 1dari 16

MEMANGGIL ROH TUA

30 Dec 2016
spritualitas gedeprama 0 Comments

Sulit mengingkari kalau di zaman ini hadir banyak kegelapan. Di satu sisi memang
sangat menakutkan, tapi di lain sisi ia mengundang roh-roh tua untuk segera
berbagi cahaya. Untuk itu, mesti ada yang berani memberi tanda-tanda serta
pedoman bertindak agar para roh tua yang sudah terlahir punya nyali untuk berbagi
cahaya.
Tanda-Tanda
1. Sebagai anak kecil, Anda merasa tidak nyaman. Ada perasaan mau cepat-cepat
menjadi dewasa. Pada saat yang sama, Anda jarang tertarik untuk bergaul dengan
teman-teman yang seumur. Sementara kebanyakan anak-anak takut dengan
kesendirian, Anda merasa nyaman dalam kesendirian.
2. Di masa kecil Anda sering mimpi terbang. Ia tanda kalau Anda adalah mahluk
langit yang turun ke bumi. Terkadang mimpi telanjang sebagai pengingat agar Anda
selalu memiliki pikiran yang telanjang (baca: bebas dari penghakiman dan
permusuhan).
3. Sebagai remaja, Anda lebih tertarik untuk melihat hal-hal yang sama diantara
orang-orang, bukannya hal-hal yang berbeda. Saat berinteraksi dengan orang lain,
dengan mudah Anda bisa melihat sudut pandang orang lain.
4. Tatkala belajar spiritual, Anda merasa sangat mudah. Jauh lebih mudah
dibandingkan dengan menghafalkan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dan salah satu
pelajaran di sekolah dasar yang sangat menarik minat Anda adalah sejarah.

5. Tanpa perlu belajar ilmu psikologi, Anda mudah mengenali orang-orang yang bisa
membahayakan. Tanpa bisa dijelaskan, secara alami Anda akan menjauh dari
mereka. Kapan saja ada hal-hal yang membahayakan, tiba-tiba saja di dekat Anda
ada orang atau kejadian yang bisa membuat Anda selamat.
6. Kehidupan duniawi lengkap dengan uang dan kekuasaannya, cepat sekali
membosankan. Ia digantikan oleh rasa serba berkecukupan. Pada saat yang sama
timbul kerinduan untuk melakukan tugas-tugas pelayanan.
7. Pintu spiritual Anda mulai terbuka karena dipanggil oleh peristiwa-peristiwa
kemanusiaan yang menyentuh hati seperti bom teroris, kekerasan membawa nama
agama, penderitaan manusia di mana-mana.
8. Begitu pintu spiritual terbuka, Anda mulai merasakan hadirnya kebetulan-
kebetulan terpola sekaligus penuh dengan makna. Kadang-kadang melihat tulisan
di alam, kadang-kadang mendengar suara yang sangat berwibawa dan berkarisma.
9. Setelah cahaya makna mulai terbuka, Anda mulai bisa melihat Cahaya di langit.
Dari yang indah sampai dengan yang sangat indah. Cuma, Anda cenderung
menyimpannya di dalam hati. Tidak tertarik untuk menceritakannya ke siapa saja.
10. Dibimbing oleh Cahaya dari langit, Anda mulai tertarik dengan praktik spiritual
yang mendalam seperti meditasi, yoga, doa, dll. Pada saat yang sama, di sekeliling
Anda muncul orang-orang yang tertarik dengan pembicaraan Anda.
11. Di kedalaman doa atau mimpi berkali-kali, pelan perlahan mulai terlihat siapa
Guru manusia yang sebaiknya Anda datangi dan layani dengan penuh bakti.
12. Perjumpaan antara Guru suci dalam bentuk manusia dengan Guru suci di alam
rahasia memunculkan keyakinan di dalam. Ternyata tempat suci yang sejati ada di
dalam diri. Bersamaan dengan itu, kekuatan-kekuatan penjaga di alam ini mulai
memperlihatkan dirinya.
13. Begitu Anda tumbuh dewasa dan bercahaya, Guru rahasia akan memperlihatkan
wajahnya dalam wujud yang sangat mengagumkan sekaligus sangat menakutkan.
Ia tanda kalau Anda sudah memasuki tingkat Advaita (melampaui semua dualitas
seperti buruk-baik, salah-benar, kotor-suci).
Tugas Berikutnya
Setiap sahabat yang mengalami sekurang-kurangnya empat tanda di atas,
sebaiknya cepat belajar spiritualitas mendalam. Terutama dengan menjumpai
empat jenis Guru yakni Guru hidup, Guru buku suci, Guru simbolik, Guru rahasia.
Lebih-lebih yang mengalami delapan tanda ke atas. Jika panggilannya tidak diikuti,
seseorang akan terus dikejar bahaya. Termasuk bisa wafat di usia muda.
Jika ada banyak halangan, setidak-tidaknya cepat melakukan tugas pelayanan.
Sebagai pedoman, di zaman kita pernah lahir roh-roh tua yang sangat bercahaya
lengkap dengan intisari ajarannya:
Roh Tua & Intisari ajarannya
Nelson Mandela : Memaafkan
Bunda Teresa : Pelayanan
Mahatma Gandhi : Ketulusan
YM Dalai Lama : Belas kasih
Dirangkum menjadi satu, jika Anda punya luka jiwa, sembuhkan diri dengan cara
memaafkan. Kemudian cepat lakukan tugas pelayanan setulus-tulusnya. Yang bisa
menulis silahkan menulis, yang bisa melukis silahkan melukis, yang suka mengajar
silahkan mengajar. Apa pun wajah pelayanannya, ingat untuk melakukannya
dengan penuh belas kasih (banyak menolong, kurangi menyakiti). Dengan langkah
seperti ini, di sepanjang jalan Anda akan menemukan tuntunan.

MEMAAFKAN SEBAGAI PENCAPAIAN


23 Dec 2016

spritualitas gedeprama 1 Comments

Di sana-sini terlihat manusia marah yang menimbulkan


banyak musibah. Yang paling menyentuh adalah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Suriah. Jutaan manusia
dihabisi nyawanya. Dalam kadar yang berbeda, negeri lain juga serupa. Dan sejarah manusia yang penuh
kemarahan ini sudah berlangsung sangat lama.

Tembok besar China yang dibangun selama 2.000 tahun adalah monumen kemarahan orang China kepada orang
Mongol. Kendati kisahnya sudah berlangsung lama sekali, sampai hari ini keturunan orang China dan keturunan
orang Mongol di berbagai belahan dunia sulit nyambung. Kalau tidak mau dikatakan bermusuhan.

Belum lagi ditambah dengan sejarah kekinian yang tidak jauh berbeda. Di tahun 2001 gedung kembar bertingkat
tinggi dihajar pesawat teroris di AS, di tahun berikutnya Bali terkena bom teroris hingga dua kali. Tanpa tahu
sebabnya apa, sebuah Vihara di Jakarta terkena bom teroris. Sahabat-sahabat di Gereja berkali-kali harus menahan
marah karena kegiatan keagamaan mereka dilarang oleh kelompok tertentu. Belum lama berselang, sebuah Gereja
di Samarinda bahkan dilempari bom molotov.

Dirangkum menjadi satu, banyak sekali hal dalam kehidupan kekinian yang bisa menimbulkan kemarahan. Jika tidak
melengkapi diri dengan kecerdasan memaafkan, ada banyak jiwa yang akan mengalami luka. Dan luka jiwa ini tidak
saja menyebar dalam bentuk kekerasan ke mana-mana, tapi juga bisa diwariskan ke generasi berikutnya dalam
bentuk kekerasan yang lebih berbahaya.
Itu sebabnya, di kelas-kelas meditasi sering dibagikan pesan seperti ini: sudah cukup mengumpulkan pengetahuan
spiritual, sudah saatnya mengolah pengetahuan spiritual menjadi pencapaian spiritual. Dan di zaman ini,
pencapaian spiritual yang paling dibutuhkan adalah memaafkan. Kita dilukai orang tua. Orang tua tua dilukai kakek
dan nenek. Kakek dan nenek juga dilukai oleh orang tua mereka.

Dan mata rantai saling melukai ini bisa diputus oleh kecerdasan memaafkan. Itu sebabnya, salah satu cahaya besar
dan indah yang pernah lahir di zaman kita bernama Nelson Mandela. Kendati dipenjara selama 27 tahun, beliau
dengan tulus memaafkan orang kulit putih di Afrika Selatan. Tidak ada kemarahan dan dendam di sana. Pesan di
balik cahaya indah Nelson Mandela sederhana: kalau mau memiliki jiwa bercahaya di zaman ini, ingat selalu untuk
belajar memaafkan.

Tidak mudah tentu saja. Dan kekuatan besar di dalam yang membuat memaafkan menjadi tidak mudah adalah
keakuan. Semakin besar ego dan keakuan maka semakin sulit memaafkan. Seorang sahabat mantan presiden
direktur perusahaan dengan ribuan karyawan, menghabiskan waktu bertahun-tahun terbang ke berbagai negara
menggunakan penerbangan kelas satu untuk tujuan mengajar, lulus dari sekolah bisnis papan atas dunia bercerita,
kalau kesehariannya di umur tua adalah menyapu, mengepel, merapikan sampah, memberi makan pada binatang
liar, serta melayani banyak orang.

Tatkala ditanya alasannya kenapa, dengan terang ia mengatakan kalau ia sedang belajar mengecilkan ego dan
keakuan. Dengan kata lain, ego dan keakuan bisa diperkecil dengan cara melakukan hal-hal yang dianggap rendah
oleh orang kebanyakan. Mungkin itu sebabnya, GA Buddha setiap hari mengajak ribuan muridnya mengemis
semangkok makanan ke masyarakat. Mungkin itu juga sebabnya, kenapa Paus harus mencuci kaki pelayan-pelayan
dekatnya.

Dan memaafkan sebagai pencapaian spiritual tidak bisa dicapai dengan membaca buku atau mendengarkan
ceramah. Ia hanya bisa dicapai melalui tindakan-tindakan keseharian yang penuh pelayanan. Bunda Teresa
menghabiskan waktu puluhan tahun merawat orang miskin dan sakit di Kalkuta sana. Mahatma Gandhi
meninggalkan seluruh kemewahannya sebagai pengacara di Afrika Selatan, kemudian menyatu dengan penderitaan
rakyat India yang ditindas penjajah ketika itu.

Pesannya sederhana, tindakan-tindakan keseharian yang penuh pelayanan, itulah nutrisi kejiwaan yang membuat
seseorang bisa memiliki kemampuan untuk memaafkan. Setiap sahabat yang sudah sampai di tingkat memaafkan
sebagai pencapaian spiritual, bukan memaafkan sebagai pengertian di kepala, akan mengerti kalau di balik
kekerasan itu bukan agama. Melainkan jiwa-jiwa yang luka. Luka jiwa di dalam diri merekalah yang membuat mereka
melakukan kekerasan.

Seorang kawan dekat pernah bertanya: apa tanda kalau kita sudah bisa memaafkan. Lihat ke dalam saat ada yang
bercerita kalau orang yang pernah melukai ternyata hidupnya sukses dan bahagia. Kalau seseorang bisa diam,
senyum, tidak terbakar di dalam, itulah tanda kalau ia sudah bisa memaafkan. Yang lebih indah lagi kalau seseorang
bisa bahagia mendengar bahwa orang yang pernah melukai ternyata bahagia. Sebuah pencapaian spiritual yang
sangat langka di zaman ini. Dan manusia jenis inilah yang bisa memutus mata rantai penderitaan yang sudah
berumur ribuan tahun. Untuk kemudian istirahat di rumah indah bernama kedamaian.

KHOTBAH TERINDAH
16 Dec 2016

spritualitas gedeprama 2 Comments


Di tahun 1980an pernah ada ahli strategi dari Jepang
bernama Kenichi Ohmae yang meramalkan akan datangnya era desa global (global village). Saat itu tidak kebayang
bagaimana wajah desa global. Sekarang, dengan demikian majunya social media, mulai kelihatan wajah desa global.
Dan sebagaimana terjadi sejak dulu, setiap berkah selalu membawa musibah.

Social media memang membawa banyak berkah. Tapi sulit diingkari, banyak musibah yang muncul kemudian akibat
social media. Banyak orang Indonesia yang sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti urusan suku Rohingya di
Myanmar, tiba-tiba ada Vihara terkena bom teroris. Tidak sedikit sahabat di Gereja yang tidak tahu menahu kalau
ada calon presiden di AS yang berkampanye anti agama tertentu di sana. Tapi sebuah pertemuan keagamaan di
Bandung terpaksa dibatalkan karena dilarang dilakukan oleh sekelompok orang di sana, sebuah Gereja di
Samarinda bahkan dilempari bom molotov.

Berita terkini yang membuat hati sangat sedih dan tersentuh, seorang wanita di Jakarta ditangkap oleh aparat
keamanan karena mau meledakkan istana kepresidenan Republik Indonesia dengan cara bom bunuh diri. Sedih
karena kekerasan bertumbuh dengan cara demikian pesatnya. Tersentuh karena wanita yang diberkahi energi
feminim (lembut, halus, penyayang) bisa berubah menjadi demikian maskulin (panas dan ganas).

Pekerjaan rumahnya kemudian, dibandingkan menyalahkan keadaan, mari melakukan apa-apa yang bisa dilakukan.
Dan jika didalami jejaring kerumitan di balik kekerasan, tentu saja faktornya ada banyak. Namun sulit untuk
membuang sebuah faktor penting yang bernama perbedaan. Kemajuan social media khususnya, mau tidak mau
membuat manusia bisa melihat dan merasakan semakin banyaknya perbedaan di mana-mana.

Bagi pikiran yang sempit dan picik, apa lagi fanatik, perbedaan itu sangat berbahaya. Namun bagi pikiran yang luas,
lebih-lebih sangat mendalam, perbedaan itu berkah kehidupan yang bisa diolah menjadi pelangi indah kedamaian.
Itu sebabnya, ke banyak anak muda sering dibagikan pesan, di balik kekerasan bukan agama, melainkan pikiran
yang sempit dan picik. Dan pikiran picik itu ada di semua agama.

Oleh karena itu, dibandingkan membenci agama orang, mari belajar memperlebar ruang-ruang pengertian di dalam
pikiran. Untuk direnungkan bersama, Tuhan menyukai perbedaan. Oleh karena itu beliau melahirkan lebih dari satu
agama. Oleh karena sebab yang sama, manusia dilahirkan ke dalam jenis kelamin yang berbeda, suku bangsa yang
berbeda, bahasa yang berbeda, serta sejuta perbedaan lainnya.

Pekerjaan rumah yang tersisa kemudian, kapan saja orang lain terlihat berbeda, jangan buru-buru menyebutnya
salah, apa lagi menyebutnya sesat. Cepat lihat kembali semua kerangka yang ada di dalam pikiran. Dalam bahasa
sederhana Confucius: Jika orang terlihat baik, tauladani mereka. Jika orang terlihat jahat, periksa kembali pikiran
Anda sendiri.

Dengan kata lain, begitu di dalam ada tanda-tanda berbahaya seperti mau melakukan kekerasan, periksa kembali
seluruh arsitektur pikiran di dalam. Di saat orang terlihat aneh, berbeda, apa lagi terlihat menjengkelkan, tidak selalu
sebabnya ada di orang lain. Sering terjadi, akar terpentingnya terletak pada pikiran yang belum berhasil untuk
sepenuhnya mengerti.
Seorang sahabat yang mulai menua dan pernah kaya bercerita. Saat ia muda dulu, ia tidak mengerti kenapa orang-
orang kaya kalau berbicara ke orang-orang di bawah seperti supir dengan muka yang tanpa senyuman dan tanpa
keramahan. Setelah ia pernah kaya, memimpin perusahaan dengan ribuan karyawan, di sana ia baru mengerti
kenapa banyak orang kaya dan pemimpin yang berbicara dengan muka yang miskin senyuman.

Hal yang sama terjadi tatkala manusia berinteraksi dengan pihak lain yang belum berhasil dimengerti. Tidak perlu
buru-buru menyebutnya sesat. Seperti menerima hadiah buku yang belum bisa dimengerti. Simpan saja dulu, mana
tahu suatu hari tatkala bertumbuh dewasa, buku itu bisa berubah wajah menjadi buku yang penuh dengan cahaya
makna.

Melalui pendekatan seperti ini, tidak saja lebih sedikit kekerasan yang dilakukan. Tapi juga lebih banyak kasih sayang
yang bisa dibagikan. Anehnya, jika uang dibagikan membuat seseorang jumlah kekayaannya berkurang. Bila kasih
sayang dibagikan, ia membuat jumlah kekayaan di dalam malah semakin bertambah. Namun ini mungkin terjadi
kalau manusia tekun untuk melatih diri bahwa perbedaan bukan ancaman. Perbedaan adalah kekayaan kehidupan.
Dan di tengah riuhnya social media oleh kekerasan, layak diendapkan lagi dan lagi, diantara semua khotbah tidak
ada yang lebih indah dari sikap yang indah.

Penulis: Gede Prama.

LIBUR SELAMA-LAMANYA
9 Dec 2016

spritualitas gedeprama 1 Comments

Jiwa-jiwa yang terus menerus berkejaran ke masa


depan, itu ciri banyak sekali manusia kekinian. Anak sekolah berkejaran agar cepat lulus. Yang sudah lulus
berkejaran agar cepat bekerja. Yang sudah bekerja berkejaran agar cepat naik pangkat. Orang biasa berkejaran agar
cepat kaya. Orang kaya berkejaran agar lebih kaya lagi. Sebagai akibatnya, di sana-sini terlihat jiwa-jiwa yang lelah,
resah dan gelisah.

Pencari-pencari jenis ini mirip dengan anak sekolah yang tidak pernah libur. Jenuh, bosan, serba salah, gelisah,
sedikit-sedik marah, itu teman mereka dalam keseharian. Kaya salah miskin apa lagi. Punya uang gelisah, punya
hutang apa lagi. Dipuji orang marah-marah, dicaci apa lagi. Bagi jiwa-jiwa jenis ini, semakin keras mereka berusaha
dan bekerja, semakin banyak bibit-bibit penyakit yang ditanam di dalam. Terutama karena setiap hari mereka
mengalami kebocoran dan defisit energi.

Sebelum cerita sedih ini mengunjungi Anda, mari belajar meliburkan pikiran. Salah satu ciri dominan pikiran yang
tidak pernah libur, mereka penuh dengan kerangka yang serba harus dan serba mesti. Semua aliran kehidupan
dipaksa harus sama dengan kerangka pikiran. Karena pikiran sempit sedangkan kehidupan maha luas, ujungnya
mudah ditebak, manusia jenis ini mudah kecewa. Kemudian jiwanya masuk jurang yang berbahaya.

Ada tiga cerita sebagai bahan renungan untuk meliburkan pikiran. Terutama agar orang-orang belajar meliburkan
pikiran. Bagi tukang taman, rumput liar adalah tumbuhan yang sangat mengganggu. Namun bagi kelinci, rumput liar
adalah makanan enak dan sedap. Hal yang sama juga terjadi dengan keseharian kehidupan. Bagi orang tertentu,
sebuah kejadian itu musibah. Tapi bagi orang yang lain, kejadian yang sama bisa menjadi sumber berkah.

Bayangkan Anda bangun di sebuah pagi dan tiba-tiba menemukan di depan pintu kamar ada sekantong plastik yang
berisi kotoran sapi. Bagi pikiran yang pemarah, kotoran sapi ini bisa menjadi awal perkelahian. Namun bagi hati yang
pemurah, kotoran sapi bisa menjadi bunga indah kalau diletakkan di bawah pohon bunga. Dengan kata lain, buruk
dan baik tidak datang dari kejadian di luar. Namun buah dari kebersihan pikiran seseorang di dalam.

Tatkala hujan turun, ayam berteduh di bawah pohon. Akan tetapi bebek mencemplungkan dirinya di kolam.
Keduanya mengambil jalan yang bersebrangan. Namun keduanya bahagia apa adanya. Bagi jiwa-jiwa yang gelisah,
orang-orang sekitar dipaksa harus sama. Perbedaan dianggap sumber musibah. Namun bagi jiwa-jiwa yang indah,
perbedaan itu berkah. Ia adalah warna-warni yang melukis pelangi yang indah.

Tanda-tanda awal pikiran yang mulai sehat sekaligus mulai belajar libur sederhana, cengkraman pikiran mulai
melonggar. Ia ditandai oleh jauh lebih sedikit penghakiman, jauh lebih sedikit keluhan, jauh lebih sedikit perkelahian.
Akibatnya, ada jauh lebih sedikit energi yang bocor. Sekaligus, lebih banyak energi yang tersedia untuk
menyembuhkan diri.

Dan bagi jiwa-jiwa yang sudah sembuh, apa lagi utuh, mereka akan tersenyum dengan ungkapan sederhana namun
mendalam ini: Seperti air di alam. Musim hujan tidak melakukan penambahan, musim kering tidak melakukan
pengurangan. Dengan cara yang sama, kesenangan tidak melakukan penambahan, kesedihan tidak melakukan
pengurangan.

Sesampai di sini, seseorang sudah mengalami keadaan libur selama-lamanya. Ada yang menyebut ini sebagai
keheningan. Ada yang memberinya sebutan kesempurnaan. Dan untuk diendapkan dalam-dalam, keheningan
bukanlah kawannya ketidakpedulian. Sekali lagi bukan. Keheningan adalah sahabat dekatnya kasih sayang.

Itu sebabnya, jiwa-jiwa yang hening bening bukannya lari dari keramaian. Tapi memancarkan cahaya di tengah
keramaian. Yang bisa menulis terus menulis. Yang bisa melukis terus melukis. Yang bertumbuh di dunia kerja terus
bekerja. Dan ada satu hal yang sama diantara mereka, apa pun gerak kesehariannya dari menulis hingga melukis
semuanya memancarkan cahaya.

Di tingkat pencapaian seperti ini, manusia bisa mengatakan selamat tinggal pada keseharian yang terus menerus
berkejaran ke masa depan. Kemudian bisa istirahat di saat ini apa adanya. Inilah yang disebut dengan libur selama-
lamanya. Sekaligus, inilah rumah indah jiwa-jiwa yang indah. Dalam bahasa yang singkat sekaligus padat,
sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami keheningan adalah membimbing
jiwa-jiwa agar menjadi jiwa yang indah.

Penulis: Gede Prama.

TRANSMISI SPIRITUAL
1 Dec 2016

spritualitas gedeprama 1 Comments


Seperti lilin yang terus menerus menyalakan lilin-lilin
yang lain, melalui pikiran, ucapan dan tindakan para pembawa cahaya juga terus menerus berusaha menyalakan lilin
banyak orang. Sedihnya, sangat-sangat sedikit ada manusia di zaman ini yang punya lilin di dalam dirinya (baca:
punya minat untuk belajar spiritual). Kalau pun ada manusia yang membawa lilin, ia sulit sekali untuk dinyalakan.
Terutama karena faktor ketidaktahuan dan ketidakpercayaan.

Kendati demikian keadaannya, para pembawa cahaya tidak gampang menyerah. Itu sebabnya, di semua zaman
lahir pembawa cahaya. Dan sangat sedikit diantara mereka yang diperbolehkan membawa sebutan Avatara, Buddha,
Mahatma, Nabi. Sebagian lebih diantara mereka bebannya lebih ringan kalau mengenakan segala sesuatu yang
serba biasa. Akan tetapi, cahaya terus menerus dibagikan sesuai dengan tantangan unik setiap zaman.

Di zaman dulu, transmisi spiritual (baca: menyalakan lilin orang lain) dilakukan kebanyakan melalui upacara. Di Bali
ada upacara mawinten, yang ditujukan untuk mempersiapkan seseorang agar siap belajar ajaran suci. Di agama
Buddha dikenal upacara mengambil sila, terutama agar perjalanan spiritual seseorang terjaga baik oleh keseharian
yang indah dan luhur seperti tidak menyakiti dan tidak berbohong.

Sejalan dengan bertumbuhnya zaman, transmisi spiritual kebanyakan dilakukan secara lisan. Itu sebabnya
kebanyakan Guru di zaman ini mencoba mentransfer ajaran-ajaran suci ke murid-murid dengan cara berceramah,
menulis dan hal-hal lain yang banyak menggunakan suara dan kata-kata. Dan jujur harus dikemukakan di sini, cara
lisan saja tidak akan pernah membuat jiwa bertumbuh menjadi jiwa yang dalam.

Oleh karena itulah, untuk murid-murid yang sudah bertumbuh dewasa digunakan cara transmisi spiritual yang lain
yang jauh lebih dalam. Ada transmisi simbolik (symbolical transmission), ada transmisi dari bathin ke bathin (mind to
mind transmission), ada transmisi dari hati ke hati (heart to heart transmission), ada transmisi rahasia (secret
transmission). Dan cara transmisi ini ditempuh kalau muridnya sudah mulai tumbuh dewasa, serta hubungan murid-
Guru sudah mulai mendalam.

Kisah GA Buddha yang diam hening sambil memegang bunga lotus di depan ribuan Bhiksu adalah contoh transmisi
simbolik. Diantara lebih dari seribu Bhiksu hanya satu orang yang mengerti yakni Mahakasyapa. Tradisi zen
khususnya mengambil garis ajaran dari transmisi spiritual yang dilakukan dari GA Buddha ke Mahakasyapa
sebagaimana diceritakan di sini.

Cerita orang suci dari India yang mendapatkan cahaya di Indonesia di zaman Sriwijaya adalah contoh transmisi dari
bathin ke bathin. Setelah melalui cobaan yang sangat dahsyat di tengah samudra, Lama Atisha sampai di Indonesia
menjumpai Guru yang beliau cari yakni YA Dharmakirti. Setelah mengabdi kepada Gurunya selama bertahun-tahun,
suatu malam bantal mereka berdua bersentuhan. Di sana terjadi transmisi dari bathin ke bathin.

Vivekananda bertumbuh dalam lingkungan intelektual ala Barat yang mementingkan intelek. Sehingga tidak mudah
baginya untuk mengerti Guru Tantra bernama Rama Krisna. Oleh Gurunya Rama Krisna ditunjukkan berbagai
keajaiban, tetap saja ia mengalami kesulitan untuk mengerti. Namun kesetiaan Vivekananda kepada Guru terus
bertumbuh. Disuruh apa saja ia tidak pernah menolak. Suatu hari tatkala Vivekananda sudah terlihat dewasa, hanya
dengan disentuh menggunakan tangan oleh Rama Krisna, Vivekananda mengalami keadaan seperti kena stroom
listrik. Saat itu ia mengalami transmisi dari hati ke hati (heart to heart transmission).
Jetsun Milarepa mengalami transmisi rahasia yang sangat langka. Dalam seribu tahun belum tentu terjadi transmisi
spiritual seperti ini di muka bumi. Setelah kesalahan berbahaya Milarepa dibersihkan secara berdarah-darah oleh
Gurunya Marpa, Milarepa diminta meditasi bertahun-tahun di gua-gua di Tibet. Ketekunan dan ketulusannya yang
sangat hebat, membuat Milarepa mengalami transmisi rahasia.

Tatkala kisah transmisi rahasia ini diceritakan ke Gurunya Marpa, segera Marpa pergi ke India menjumpai Gurunya
Naropa. Mendengar kisah transmisi rahasia ini Naropa menghormat sujud ke arah Tibet diikuti oleh sejumlah pohon
besar di sekitarnya. Sampai sekarang pun masih ada sejumlah pohon besar di Himalaya yang merunduk hormat
mengarah ke Tibet.

Sejumlah sahabat keluarga spiritual Compassion yang sudah diajak melayani masyarakat selama bertahun-tahun
secara tulus dan polos juga mengalami transmisi spiritual. Kedalaman transmisinya berbeda sesuai dengan
kedalaman baktinya kepada Guru. Untuk konsumsi publik pemula, salah satu ciri seseorang mengalami transmisi
spiritual, keyakinannya pada Guru suci dan ajaran suci meningkat terus. Pada saat yang sama ketertarikan pada hal-
hal duniawi seperti uang dan kekuasaan menurun. Satu-satunya dahaga yang tersisa adalah dahaga untuk melayanj
banyak jiwa agar pulang ke rumah cinta, kebaikan dan kasih sayang.

Penulis: Gede Prama.

BERJUMPA GURU SEJATI


25 Nov 2016

spritualitas gedeprama 2 Comments

Apa dan siapa itu Guru sejati?, demikian pertanyaan yang kerap
diungkapkan oleh banyak pencari. Tidak mudah menjawabnya. Sederhananya, bagi orang biasa yang belum
tercerahkan, Guru sejati ada di luar. Bagi pencari yang baru tercerahkan, Guru sejati ada di dalam. Namun bagi ia
yang sudah mengalami pencerahan sempurna, Guru sejati itu melampaui luar dan dalam.

Di Barat yang bahasanya lugas, ada yang mendefinisikan Guru sejati sebagai the unobscured suchness. Artinya,
kepolosan yang memancar secara terang benderang. Guru sejati dalam kerangka berfikir ini jauh dari penghakiman.
Pikirannya selalu polos memandang semuanya apa adanya. Namun dari kepolosan itu memancar cahaya yang
indah menawan.

Namun di Timur yang bahasanya halus, para pencari sering diberi nasehat seperti ini. Tidak perlu mengejar kupu-
kupu, cukup membuat bunga mekar indah menawan. Kalau bunga mekar indah menawan, secara alamiah kupu-
kupu datang. Dengan cara yang sama, tidak perlu mengejar Guru sejati. Konsentrasikan energi untuk melaksanakan
kesejatian (baca: tulus, halus, ikhlas). Ia yang di dalamnya kesejatian, secara alamiah akan bisa melihat Guru sejati.

Sejujurnya, di setiap putaran waktu ada Guru sejati. Sedihnya, sangat-sangat sedikit ada pencari yang bisa
menemukan Guru sejati. Ada tipe pencari yang mirip laron yang mendekati api. Begitu ia dekat dengan Guru sejati,
hidupnya terbakar berbahaya. Bahkan ada yang kehilangan nyawa. Ada pencari yang serupa sendok di tengah sop.
Ia berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Guru sejati, tapi ia tidak merasakan apa-apa. Ada pencari yang
mirip batu yang nyemplung ke air. Ia hanya basah (baca: mengerti) di permukaan saja. Yang paling diberkahi adalah
pencari yang menyerupai gula pasir yang dimasukkan ke air. Ia larut sepenuhnya dengar Guru sejati. Dan pada saat
yang sama menghadirkan rasa manis bagi diri Guru sejati.

Para sahabat yang tipe laron, yang terbakar saat dekat dengan Guru sejati, disarankan belajar tatakrama berjumpa
Guru sejati. Terutama sebelum kehidupan betul-betul terbakar secara menyedihkan. Pencari yang mirip sendok di
tengah sop memerlukan kecerdasan dan kepekaan yang jauh lebih dalam. Pencari yang serupa batu di dalam air
diundang untuk memahami semakin dalam. Terutama dengan melaksanakan apa yang diajarkan dalam keseharian.

Dan kualitas yang membuat seseorang bernasib sangat beruntung seperti gula pasir yang larut ke dalam air
bernama bakti yang sempurna. Bentuk bakti kepada Guru sejati ada bermacam-macam. Tergantung pada seberapa
dekat hubungan seseorang dengan Guru sejati. Untuk konsumsi publik pemula, bentuk bakti yang disarankan adalah
melaksanakan inti sari ajaran dalam keseharian. Sampai suatu hari bisa melihat kehadiran Guru sejati di mana-
mana.

Segelintir sahabat dekat di keluarga spiritual Compassion sering diberi nasehat seperti ini: biasakan sejak awal
untuk berkomunikasi dengan Guru tidak menggunakan bahasa manusia, melainkan menggunakan bahasa cahaya.
Maksudnya sederhana, selalu pandang Guru bukan sebagai manusia, tapi sebagai wakil alam cahaya yang hadir di
sini untuk menerangi jiwa.

Sebagaimana telah dialami oleh pencari-pencari tingkat tinggi di Tantra, cara memandang Guru seperti ini membawa
dampak penerangan ke dalam diri yang di luar dugaan. Sekaligus di luar apa yang bisa dimengerti pikiran orang
biasa. Sering terjadi, tiba-tiba saja seorang pencari sudah sampai di tingkat ketinggian yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Ini mirip dengan konsep self-fulfilling prophecy di psikologi, yang mengajarkan bahwa
manusia bisa menjadi sebagaimana yang mereka yakini.

Dan untuk sampai di tingkat seperti ini, di kedua belah pihak (Guru dan murid) harus cerdas. Kapan saja kehadiran
Guru sejati membuat hidup jadi panas (mudah marah, mudah gelisah, mudah resah), itu tanda seseorang terlalu
dekat. Jika kehadiran Guru sejati membuat seseorang jadi semakin gelap (bingung, canggung), itu tanda seseorang
jaraknya terlalu jauh.

Dalam keadaan demikian, pintar-pintarlah membuka dan menutup jendela jiwa. Seperti membuka jendela rumah,
pagi-pagi jendela dibuka agar udara segar. Saat siang yang panas jendela ditutup. Dengan cara yang sama, kalau
panas menjauh dari Guru sejati. Kalau gelap, belajar mendekat. Tanda kalau jarak seseorang dengan Guru sejati itu
tepat dan pas, jiwa bernasib seperti seorang bayi yang dekat dengan ibu kandungnya. Ada rasa aman, nyaman dan
tentram di sana.

Penulis: Gede Prama

BENIH-BENIH CAHAYA
18 Nov 2016

spritualitas gedeprama 1 Comments


Di zaman ini, Guru simbolik yang sangat menghaluskan
jiwa adalah anak-anak di rumah. Terutama karena anak-anak tidak memberikan pilihan lain selain merawat mereka.
Jika tidak cocok dengan pasangan hidup, seseorang bisa cerai. Jika tidak cocok dengan atasan, yang bersangkutan
bisa pindah tempat kerja. Tapi kalau tidak cocok dengan anak, Anda mau lari ke mana?

Dan panggilan hidup merawat anak-anak bisa diolah menjadi perjalanan spiritual mendalam, kalau seseorang tidak
memandang anak-anak sebagai beban kehidupan. Cara pandang yang disarankan adalah memandang anak-anak
seperti nelayan memandang lautan, seperti petani memandang sawah.

Tanpa lautan, nelayan tidak bisa bekerja. Tanpa sawah, petani tidak bisa berkarya. Dengan cara yang sama, tanpa
kehadiran anak-anak, khususnya anak-anak yang bermasalah, maka orang tua jiwanya tidak akan bisa bertumbuh
dewasa, tidak akan pernah bercahaya.

Itu sebabnya, di kelas-kelas meditasi berkali-kali dibagikan pesan, anak-anak bukan milik orang tua. Anak-anak
adalah benih-benih cahaya yang dikirimkan oleh masa depan. Siapa saja yang berhasil merawat benih-benih cahaya
ini, merekalah yang akan memiliki jiwa yang bercahaya.

Dalam logika yang sederhana namun dalam, ada dua cara untuk memancarkan cahaya. Pertama, menjadi cahaya.
Kedua, menjadi cermin jernih dan bersih yang memantulkan cahaya. Setiap sahabat yang sudah merawat anak-anak
secara indah lebih dari seperempat abad mengerti, kalau orang tua bersih dan jernih memandang anak-anak,
persoalan waktu jiwa orang tuanya bercahaya.

Konkritnya, izinkan anak-anak bertumbuh sesuai dengan panggilan alami mereka. Bukan memperlakukan mereka
sebagai boneka orang tua. Belajar peka membaca tanda-tanda anak sejak kecil. Entah kesenangannya, kawan
mainnya, rapotnya di sekolah, komentar Gurunya, bagaimana anak-anak menghabiskan waktu senggang, sampai
jenis rekreasi yang mereka sukai.

Di bidang psikologi ada pendekatan yang disebut not knowing approach of therapy. Belajar untuk tidak menggunakan
ukuran dan kerangka di tempat lain untuk mengukur anak-anak. Misalnya, anak-anak tetangga kelihatannya cocok
belajar komputer, kemudian jangan memaksa anak-anak di rumah harus belajar komputer juga.

Lebih bagus lagi kalau orang tua bisa berbicara dalam keseharian dengan bahasa anak-anak. Kalau mereka
bermain, ikut bermain bersama mereka. Kalau anak-anak sedang bernyanyi, ikut bernyanyi. Kalau anak-anak suka
menari, ikut menari. Dengan cara ini, orang tua bisa masuk ke dunia anak-anak secara sangat dalam.

Tanda penting kalau orang tua bisa masuk ke dunia anak-anak secara dalam, mereka sering membuka hal-hal
pribadi yang bersifat rahasia ke orang tua. Dari mimpi basah hingga naksir pacar mereka ceritakan. Untuk memantau
perkembangan anak agar tidak berbahaya, penting untuk memeriksa tong sampah mereka. Apa yang diminum,
dimakan, dibaca biasanya tanpa anak-anak sadari bisa kelihatan di tong sampah. Dan di atas semuanya, selalu ingat
bahwa ukuran terindah cinta adalah mencintai tanpa pernah mengukurnya.
Melalui pendekatan seperti ini, orang tua tidak saja sedang menyelamatkan anak-anak, tapi juga sedang
mempersiapkan masa tua yang bercahaya. Di studi-studi kematian sering disebutkan, yang dipindahkan dari satu
tubuh ke tubuh lain di saat kematian adalah energi kebiasaan. Dan siapa saja yang membiasakan diri untuk merawat
benih-benih cahaya yang ada di anak-anak, lebih-lebih memiliki kebiasaan sering berbagi cahaya, ada kemungkinan
ia akan terlahir di alam cahaya.

Penulis: Gede Prama.

KECIL ITU INDAH


11 Nov 2016

spritualitas gedeprama 2 Comments

Suatu hari YA Mogalana (salah satu murid dekat GA Buddha) menggunakan


kekuatan siddhi-nya untuk berjalan-jalan di neraka. Betapa terkejutnya beliau, ternyata di neraka ada sejumlah Guru
spiritual. Sebagian diantara mereka bahkan titip pesan ke murid-muridnya di bumi agar tidak melanjutkan ajaran
yang pernah diajarkan. Terutama karena semakin keras muridnya melaksanakan apa yang pernah diajarkan,
semakin menderita ia di neraka.

Di zaman tatkala ada Buddha dan Avatara saja, ada sejumlah Guru spiritual yang mengalami kejatuhan spiritual
dengan cara terlahir di alam neraka. Tidak kebayang, apa yang terjadi di waktu lain dan di tempat lain. Dan belajar
dari pengalaman sejumlah kelompok spiritual di Barat yang mengalami keruntuhan, ada beberapa titik kritis yang
membuat kelompok spiritual itu roboh.

Sejalan dengan bertumbuhnya kualitasi spiritual seorang Guru, biasanya berdatangan banyak murid lengkap dengan
berbagai bentuk penghormatannya. Dari mereka yang mau cium kaki, memuji, sampai dengan yang membawa
barang dan uang. Jika tidak membekali diri dengan kewaspadaan yang cukup, berbagai bentuk penghormatan orang
ini membuat ego menaik. Dan dari sinilah muncul benih-benih kejatuhan spiritual.

Keakuan yang bertumbuh dalam diri seorang Guru ini kemudian mengundang datangnya banyak pengikut yang
aneh-aneh. Sejauh yang bisa dipantau di Barat, keluarga spiritual yang roboh umumnya jatuh karena alasan seks
atau uang. Dalam cerita sejumlah kelompok spiritual dengan pengikuti berlimpah dan kemudian bubar, di sana
bahkan terjadi pesta narkoba yang berbahaya.

Kelompok spiritual yang dipimpin oleh George Gurdjieff termasuk yang langka. Keluarga spiritual yang dibimbing J.
Krisnamurti lebih langka lagi. Kebanyakan keluarga spiritual di Barat roboh sebelum mereka sempat berbagi banyak
cahaya kepada dunia. Sebagian dari Guru mereka bahkan mengalami sejumlah kejadian menyentuh yang tidak
layak diceritakan di ruang-ruang publik.

Belajar dari kisah-kisah seperti inilah, maka keluarga spiritual Compassion hati-hati sekali dalam melangkah. Menjadi
besar adalah arah pertumbuhan yang sangat dihindari dalam hal ini. Terutama karena menjadi besar adalah menjadi
rumit. Menjadi rumit adalah awal dari banyak penyakit.

Itu sebabnya, ada sahabat pengusaha dari Jakarta, ada sahabat pengusaha dari salah satu negeri di Eropa,
kedunya berniat sangat mulya mau mendirikan Ashram atau pusat meditasi untuk keluarga spiritual Compassion.
Dan keduanya ditolak dengan sangat halus. Khususnya karena bangunan yang megah menuntut perawatan yang
mahal. Ini mau tidak mau memaksa kami untuk mencari uang. Akibatnya, kami bisa kehilangan kekayaan spiritual
yang paling mulya di zaman ini yakni ketulusan.

Itu sebabnya, keluarga spiritual Compassion tidak pernah punya bangunan, bahkan uang kas kecil pun kami tidak
punya. Terutama karena semua sumbangan dari peserta didonasikan sepenuhnya ke pihak Vihara di mana kami
berbagi cahaya selama bertahun-tahun. Ada efek negatifnya tentu saja, tidak sedikit sahabat yang harus kecewa
dalam hal ini.

Sejumlah dokter terpaksa tidak diterima sebagai anggota team medis kelompok spiritual Compassion, karena jumlah
dokter sudah lebih dari cukup. Banyak sahabat dari jauh yang memohon agar bisa menjadi dharma workers
(pelayan) di kelompok spiritual Compassion. Ini pun ditolak karena jumlah pelayan sudah terlalu banyak.

Semua ini dilakukan bukan karena teman-teman punya kesalahan, bukan juga karena kami arogan. Tapi karena kami
ingin belajar dari salah satu pemikir Inggris yang berpengaruh di tahun 1980-an yakni EF Schumacher, yang menulis
buku Small Is Beautiful (kecil itu indah). Satu spirit dengan ini, tatkala dipergoki naik kereta api kelas tiga, murid-
murid Mahatma Gandhi bertanya heran kenapa Gurunya naik kereta api kelas murahan. Dengan enteng pria kurus
tidak berrambut ini menjawab: karena tidak ada kelas empat. Ia seperti mau menyampaikan pesan mendalam:
kesederhanaan adalah selimut jiwa yang paling hangat. Sebagaimana sering dikemukakan di sesi penutupan
meditasi di malam bulan purnama, tolong bantu kami keluarga spiritual Compassion agar bisa memancarkan cahaya
lebih lama, tidak dengan cara memberi kami uang. Melainkan dengan cara mengizinkan kami tumbuh dalam
kesederhanaan dan ketulusan.

Penulis: Gede Prama.

RUMAH CAHAYA
4 Nov 2016

gede prama gedeprama 1 Comments


Seorang sahabat yang baru pulang mengunjungi kerabat dekat
membawa cerita yang sangat menyentuh hati. Dalam bayangan orang kebanyakan, di masa tua anak-anaklah yang
lebih pantas merawat orang tuanya. Namun yang terjadi pada keluarga yang baru dikunjungi ini terbalik, orang
tuanya yang sudah tua renta, yang menggendong tubuhnya sendiri saja sudah berat, malah harus merawat anaknya
yang masih muda yang mengalami gangguan kejiwaan.

Jika orang tuanya bisa menjalani keseharian seperti ini dengan tulus dan ikhlas, ia bisa menjadi bekal yang sangat
meyakinkan untuk pulang ke alam setelah kematian. Dan apa yang terjadi pada orang tua di atas terbalik, setiap hari
ia marah-marah pada anaknya yang menimbulkan beban yang sangat berat di usia tua.

Pertanyaan menyentuh yang muncul kemudian sederhana, ke mana jiwa dibawa setelah kematian kalau di umur tua
seseorang hidup demikian gelapnya? Dan bukan tugas tulisan ini untuk menghakimi orang. Tugas tulisan ini hanya
menghadirkan sejumlah tumpukan renungan agar banyak jiwa yang bisa diselamatkan.

Setelah mempelajari sejumlah keluarga yang bernasib merana di usia tua, ternyata masa tua yang jauh dari cahaya
ini adalah hasil tumpukan dari masa lalu yang kurang cerdas. Dalam kisah orang tua jenis ini, anak-anak digunakan
sebagai tong sampah tempat orang tua membuang semua stres dan ketidakpuasan. Tatkala sampah kejiwaan ini
menumpuk, di sana anak-anak bertumbuh ke arah yang sangat berbahaya.

Belajar dari sini, sangat-sangat penting untuk direnungkan berulang-ulang sebelum menumpahkan sampah dan
sumpah ke anak-anak. Dunia kerja memang berat, dunia pergaulan memang tidak ringan, dunia persaingan memang
penuh beban, namun menumpahkan sampah dan sumpah ke anak-anak sama dengan memindahkan musibah ke
masa tua.

Itu sebabnya, pada para sahabat yang anak-anaknya masih kecil sering dibagikan pesan seperti ini: jauh lebih
mudah merawat anak-anak tatkala badan kita masih sehat, dibandingkan dengan menggendong orang dewasa yang
jiwanya terlanjur rusak di usia yang sudah renta. Ia semacam persiapan menuju masa tua yang bercahaya.

Bertumbuh di atas bahan-bahan renungan seperti ini, layak dipikirkan ulang untuk bergaul di lingkungan yang penuh
persaingan berlebihan. Persaingan berlebihan membuat seseorang membawa banyak sampah dan sumpah ke
rumah. Bersamaan dengan itu, tatap anak-anak sebagai taman jiwa tempat bertumbuh di usia tua. Seperti merawat
pohon-pohon kecil, kalau anak-anak tumbuh sehat maka mereka bisa menjadi tempat berteduh yang indah di usia
tua.

Terinspirasi dari sini, memiliki cita-cita yang tinggi untuk anak-anak itu baik, berharap agar kesalahan yang terjadi di
orang tua agar tidak terulang pada anak-anak juga baik, namun jangan pernah menggunakan anak-anak sebagai
tong sampah. Jangan pernah memperkosa anak-anak agar sepenuhnya sama dengan orang tua. Ia sama dengan
mengirim api berbahaya ke usia tua.

Langkah yang paling disarankan, belajar seawal mungkin untuk memperlakukan anak-anak sebagai anak-anak.
Bukan memaksa mereka agar sesuai dengan selera orang tua. Saat mereka bermain, izinkan mereka bermain. Jika
anak-anak suka menggambar, izinkan mereka menggambar. Manakala anak-anak menyukai olah raga, berikan
mereka waktu untuk berolahraga.

Dalam bahasa sederhana namun dalam, anak-anak bukan harta kepemilikan orang tua. Anak-anak adalah benih-
benih cahaya yang dikirimkan oleh masa depan. Tugas orang tua sederhana, yakni merawat benih-benih cahaya ini
agar bertumbuh menjadi cahaya indah nantinya saat anak-anak menjadi dewasa. Jika itu betul-betul terjadi, maka
usia tua berubah wajah menjadi rumah cahaya. Sebentuk masa tua yang indah sekaligus penuh berkah. Seperti air
sungai yang secara alami mengalir ke samudra yang tidak berhingga, ia yang menemukan rumah cahaya di usia tua,
maka setelah kematian secara alami akan pulang ke sumber segala cahaya.

Penulis: Gede Prama.

SENYUMAN SEBAGAI KECERDASAN


28 Oct 2016

spritualitas spiritualitas gedeprama 1 Comments

Suatu hari ada anak kecil sedang menggali pasir di pinggir pantai
menggunakan tangannya yang juga kecil. Tatkala ditanya apa yang ia lakukan, dengan polos anak kecil ini
menjawab: saya mau memasukkan semua air samudera ke dalam sumur bikinan saya sendiri.

Seperti itulah nasib banyak manusia di zaman ini. Kehidupan dan Tuhan seluas samudera. Tapi pikiran manusia
mirip dengan sumur kecil. Sedihnya, majunya pendidikan membuat sebagian manusia demikian percaya dirinya
seolah-olah bisa mengerti semuanya dengan pikiran semata. Ujungnya mudah ditebak, di mana-mana terlihat mata
manusia yang bercerita, kalau mereka terasing atau tidak betah dalam tubuh mereka sendiri.

Seorang sahabat yang menghabiskan waktu puluhan tahun menjadi konsultan sejumlah perusahaan besar, serta
mengerti isi perut banyak organisasi korporasi bercerita, tidak sedikit orang yang pikirannya terlalu kuat yang
menimbulkan kekeliruan-kekeliruan berbahaya. Tidak saja membuat organisasi yang ia pimpin merana, tapi juga
membuat sebuah bangsa menderita.

Sebagian dari orang-orang yang pikirannya terlalu kuat itu bahkan harus wafat di usia muda. Serta menyisakan
banyak luka jiwa pada orang-orang sekitar. Pikiran yang terlalu kuat mudah membatu. Sebagai akibatnya, mudah
menimbulkan benturan di sana-sini. Dalam kisah sejumlah organisasi profesi yang diisi banyak orang dengan pikiran
terlalu kuat, setiap kali mereka rapat setiap kali itu juga ada yang lempar kursi.
Angka bunuh diri yang menaik di mana-mana, tingkat perceraian yang juga menaik, korban narkoba yang meningkat
di seluruh penjuru dunia, semuanya memiliki kaitan dengan pikiran yang terlalu kuat. Salah satu ciri penting pikiran
yang terlalu kuat, ia diisi oleh harapan yang demikian mencengkram, terutama agar orang lain berperilaku sesuai
dengan apa yang mereka harapkan.

Di sesi-sesi meditasi sering terbuka rahasianya. Sahabat-sahabat yang pernah mencoba bunuh diri berkali-kali,
terkena penyakit berbahaya seperti kanker dan stroke, semuanya ditandai oleh pikiran sangat kuat sekaligus sangat
mencengkram. Pikiran seperti ini tidak saja berbenturan ke luar, tapi juga berbenturan ke dalam. Sebagai akibatnya,
seseorang jadi kehabisan banyak energi sehingga mudah sakit.

Dan sebelum kehidupan terjun ke jurang berbahaya, mari belajar melatih pikiran agar lebih lentur dan lebih luwes.
Seperti air yang luwes dan lentur. Tidak saja lebih sedikit benturan yang terjadi dengan orang lain, tapi juga lebih
sedikit energi yang terbuang percuma. Tidak saja badan jadi lebih sehat, tapi jiwa juga menjadi lebih bercahaya.

Salah satu kualitas penting dalam hal ini yang layak dikembangkan adalah penghargaan akan perbedaan. Meminjam
pesan sebuah buku suci: Ekam sat vipra bahudha vadanthi. Kebenaran itu satu, tapi orang-orang suci memberinya
banyak nama. Perhatikan kotoran sapi. Bagi orang kota yang tidak mengenal pertanian, kotoran sapi adalah kotoran
yang harus dibuang. Namun bagi petani di desa, kotoran sapi adalah pupuk yang mempersubur tanaman.

Hal yang sama terjadi dengan perbedaan pandangan, perbedaan gagasan, perbedaan disiplin ilmu, perbedaan latar
belakang serta perbedaan-perbedaan lainnya. Jika pikiran yang terlalu kuat meletakkan perbedaan sebagai musuh
yang berbahaya, pikiran yang luwes dan lentur melihat perbedaan sebagai benih-benih yang bisa membuat jiwa jadi
bercahaya. Jika pikiran terlalu kuat mengambil yang benar dan membuang yang salah, pikiran yang luwes
mensintesakan salah-benar, buruk-baik menjadi benih-benih cahaya. Mirip dengan apa yang terjadi dengan cahaya
listrik sebagai hasil sintesis negatif-positif.

Sebagai langkah keseharian yang mudah dicerna dan mudah dilaksanakan, senyuman sangat membantu dalam hal
ini. Manakala seseorang tekun berlatih tersenyum, otot-otot keras di dalam pikiran semakin lentur. Pada saat yang
sama, lebih sedikit energi yang terbuang. Senyuman juga sejenis sintesa negatif-positif di dalam diri yang mudah
memunculkan cahaya. Dan di puncak senyuman, jiwa tidak menemukan apa-apa selain kedamaian.

Penulis: Gede Prama.

Anda mungkin juga menyukai