Anda di halaman 1dari 3

Kamu Pernah Minder Karena

Penampilanmu Diejek
Teman? Aku Pernah. Inilah
Kisahku.
Oleh Grace Anindya, Jakarta
Aku terlahir dengan rambut yang keriting. Tapi, jangan bayangkan ikal besar
seperti rambut boneka. Rambutku cenderung kasar, dan terkadang kusut
seperti kabel telepon yang jarang dipakai.

Sewaktu duduk di kelas 2 atau 3 SD, aku menganggap rambut keritingku ini
mirip seperti rambut para putri kerajaan yang sering muncul di dalam film
kartun. Jadi, dengan percaya diri, aku senang membuat rambutku tergerai.
Tapi, teman-temanku tidak menganggapnya demikian. Bagi mereka, dengan
rambut seperti itu, aku lebih mirip seperti singa yang sedang kelaparan
daripada putri kerajaan. Awalnya aku bersikap biasa saja dengan candaan itu,
namun lama kelamaan aku jadi merasa tidak nyaman.

Ketika aku duduk di bangku SMP, ada seorang guru yang suka memberikan
julukan kepada murid-muridnya berdasakan kondisi fisik yang dia lihat. Dia
menjulukiku dengan panggilan “Si Kribo”, “Si Keriting”, “Si Rambut Mi”, dan
masih banyak nama lain. Teman-temanku menganggap julukan itu sebagai
hal yang lucu, jadi mereka pun ikut-ikutan. Julukan yang terus menerus
disematkan kepadaku itu membuatku makin merasa tidak nyaman dengan
rambut keriting yang kumiliki.

Puncak kekesalanku tiba tatkala ada seseorang yang menempelkan kertas


penuh double-tapebertuliskan “Aku orang gila” di rambutku. Awalnya aku tidak
menyadari apapun. Tapi, aku merasa aneh karena semua orang tertawa
apabila menaptaku. Ketika aku menyadari bahwa ada kertas itu di rambutku,
aku menangis sejadi-jadinya. Rambutku rontok karena ada begitu
banyak double-tape yang menempel. Bukannya permintaan maaf yang kudapat,
teman-temanku malah menuntutku supaya tidak marah. Bagi mereka, apa
yang dilakukan itu hanyalah sebuah candaan sehingga aku tidak boleh
cengeng.
Semenjak peristiwa itu, aku jadi semakin minder. Aku jadi sensitif dengan
candaan, tetapi aku juga takut apabila tidak punya teman. Aku merasa diriku
tidak berharga ketika teman-teman menganggapku tidak asyik karena aku
sering tersinggung jika diajak bercanda. Tak kupungkiri, aku juga menaruh
rasa dendam kepada teman-teman yang pernah membuatku menangis.
Bukan perasaan dendam ingin balik menyakiti mereka, tetapi dalam hati aku
bertekad supaya suatu hari aku bisa membuktikan pada mereka kalau aku
pun bisa sukses dan mereka “berlutut” di hadapanku.

Ketika aku masuk SMA, aku jadi semakin membenci rambutku. Berbagai
perawatan rambut sudah kucoba lakukan. Mulai dari memakai sampo dan
kondisioner terbaik, hingga mencoba berbagai produk pelurus lambut. Tetapi
pada akhirnya rambutku selalu kembali lagi menjadi keriting. Aku putus asa.
Alih-alih menjadi bagus, segala perawatan itu malah membuat rambutku
menjadi kering dan rontok banyak. Selain itu, rasa minderku membuatku
merasa kalau aku tidak memberikan kesan yang baik ketika aku pertama kali
bertemu dengan orang lain. Banyak yang menganggapku terlalu pendiam
bahkan sombong, padahal sebenarnya aku hanya malu dan tidak cukup
percaya diri untuk memulai percakapan.

Singkat cerita, di tengah pergumulanku untuk bangkit dari rasa minder, aku
bertemu dengan sebuah komunitas di gereja. Bermula dari sekolah minggu,
lalu aku mengikuti kebaktian remaja. Di sana, aku diajak untuk bergabung
dengan kelas pembinaan dan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Awalnya
aku sempat merasa ragu. Aku masih merasa takut diejek karena rambut
keritingku. Tapi, seiring berjalannya waktu aku merasakan sesuatu yang
berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasa diterima. Untuk pertama kalinya
aku merasa punya sahabat dan bertemu dengan orang-orang yang tidak
memandang bentuk fisikku sebagai sebuah hal yang bisa dijadikan ejekan.

Selain mendapatkan relasi yang baik, dalam kelas pembinaan dan KTB ini
juga aku banyak belajar tentang kebenaran firman Tuhan. Aku masih ingat
dengan jelas bahwa tema yang dibahas pada pertemuan pertamaku adalah
tentang penciptaan dan gambar diri manusia dari kitab Kejadian. Tuhan
menciptakan segala sesuatu sungguh amat baik (Kejadian 1:31), termasuk
juga manusia. Oleh karena itu, tidak seharusnya kita menghina ciptaan Tuhan
yang unik, apalagi sesama manusia.

Aku juga diingatkan akan begitu besar kasih Allah bagi dunia ini. Ketika Yesus
datang ke dunia, tidak semua orang mau menerima-Nya. Tetapi, Yesus tidak
marah apalagi menaruh dendam. Padahal, jika dipikir dengan pola pikir dunia,
bisa saja Yesus marah dan membinasakan semua orang yang menolak-Nya.
Tetapi, karena kasih-Nya, Yesus tidak melakukan itu. Yesus memberi diri-Nya
mati di kayu salib untuk menebus semua manusia, termasuk orang-orang
yang juga menghina-Nya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Aku begitu tertegur. Hinaan dan celaan yang aku terima jelas tidak ada apa-
apanya jika dibandingkan dengan apa yang Yesus terima. Setelah aku
menerima kebenaran ini, aku belajar untuk tidak lagi menaruh dendam
kepada teman-temanku. Aku belajar untuk tidak menganggap ejekan-ejekan
teman-temanku itu sebagai sesuatu yang menjatuhkanku, tetapi merupakan
sebuah sarana untuk aku belajar bijaksana merespons dan mengikuti teladan
yang Tuhan Yesus berikan.

Kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti perlahan melatih diriku untuk
percaya diri dan menerima keadaan diriku apa adanya. Akhirnya, aku bisa
menerima bahwa dilahirkan dengan rambut keriting bukanlah suatu
kesalahan, tetapi sebuah anugerah yang Tuhan berikan untukku. Yang perlu
aku lakukan adalah merawat rambutku supaya tetap sehat, bukan
memodifikasinya supaya disukai orang lain. Rambut keriting ini adalah bagian
dari desain Tuhan yang sempurna atas tubuhku, oleh sebab itu aku tak perlu
lagi malu jika bertemu dengan orang banyak.

Aku bersyukur karena lewat kelas pembinaan dan KTB yang aku ikuti, Tuhan
menyadarkanku bahwa tidak seharusnya aku bersedih hati karena bentuk
fisikku berbeda dari standar orang lain. Perlakuan yang kurang
menyenangkan di masa lalu juga bukan jadi alasanku untuk bersedih, tetapi
jadi pembelajaran buatku bahwa aku tidak boleh melakukan yang sama. Aku
belajar untuk tidak menjadikan bentuk fisik orang lain sebagai bahan ejekan
yang bisa menyakiti hati mereka.

Akhir kata, aku amat bersyukur bisa mengenal Tuhan di masa mudaku
melalui komunitas yang menguatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
dengan diriku bila waktu itu aku tidak mengenal-Nya. Mungkin, aku akan terus
menerus menyesali keadaanku. Melalui pengalaman ini, aku sadar bahwa
ketika Tuhan menjadikan sesuatu yang seolah tampak tidak menyenangkan,
sejatinya Dia sedang melatih imanku. Tuhan ingin aku mampu bersikap
bijaksana dan memandang hanya kepada-Nya saja.

Anda mungkin juga menyukai