Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegunaan teknologi saat ini telah mencakup hampir di semua bidang ilmu,

tidak terkecuali dibidang kesehatan. Perkembangan bidang teknologi sangat

berkembang pesat dan berdampak pada perkembangan berbagai macam aspek

kehidupan manusia. Dewasa ini dunia kesehatan modern telah memanfaatkan

perkembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam

pelaksanaanya. Pelayanan kesehatan berbasis teknologi tengah mendapat banyak

perhatian dunia, terutama disebabkan oleh janji dan peluang bahwa teknologi

mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Kini banyak sekali penerapan

teknologi dalam bidang kesehatan khususnya pada peleyanan keperawatan.

Tenaga perawat sebagai salah satu tenaga yang mempunyai kontribusi besar

bagi pelayanan kesehatan, mempunyai peran penting untuk meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan. Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

seorang perawat harus mampu melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standart,

yaitu dari mulai pengkajian sampai dengan evaluasi dan yang penting adalah

disertai dengan sistem pendokumentasian yang baik.

Pelayanan kesehatan memiliki tantangan untuk menyediakan layanan

berkualitas tinggi, mampu menanggapi perubahan kebutuhan dan kesejahteraan

kesehatan individu dan masyarakat pada masa depan. Tenaga medis khususnya

perawat memikul tanggung jawab dalam meningkatkan jumlah kunjungan pasien

pada rumah sakit tempat mereka (Michelle, Natasha, & Sandra, 2014). Pelayanan
2

keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang mempunyai daya

ungkit yang besar dalam mencapai tujuan layanan kesehatan. Huber (2006)

menyatakan 90% dari pelayanan kesehatan adalah pelayanan keperawatan yang

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasien selama 24 jam.

Perawat merupakan salah satu tenaga kerja di rumah sakit yang memiliki

interaksi dan kontak langsung yang paling tinggi dengan pasien dan keluarganya,

dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya. Peran perawat sangat dibutuhkan

dalam rumah sakit untuk memahami sifat, sikap dan harapan dari pasien agar bisa

merawat pasien dengan baik dan dapat bekerja dengan sungguh-sungguh, karena

yang dilayani adalah manusia dan bukan barang sehingga diperlukan kasih sayang

dan keswaspadaan dalam pemberian tindakan pelayanan (Adya, 2010).

Perawat memainkan peranan yang sangat besar dalam upaya meningkatkan

kualitas rumah sakit (Marsono, 2012). Tingginya tuntutan dari pasien, perubahan

tugas, adanya berbagi kebijakan, pengaturan internal rumah sakit dan kadang

tekanan dari pihak manajemen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas

dapat berdampak terhadap lingkungan kerja yang pada akhirnyaakan

mempengaruhi kinerja perawat (Rosnaniar dkk, 2013).

Perawat memiliki tanggung jawab di dalam memberikan perawatan kepada

semua orang, baik dalam keadaan sakit ataupun sehat. Untuk itulah pihak rumah

sakit menyediakan jasa perawat yang bekerjasama dengan dokter dan para medis

lainnya untuk merawat dan memulihkan kesehatan pasien (Awases et al, 2013).

American Nursing Association (ANA) mengatakan bahwa keperawatan adalah

bagian dasar dari pengaturan perawatan rumah sakit dan fungsi utama
3

keperawatan adalah promosi kesehatan, pencegahan penyakit, merawat pasien

yang mengalami sakit fisik dan mental di rumah sakit (Parveen, 2017).

Pada saat ini, perawat sedang menghadapi masalah praktik yang

menyebabkan situasi menjadi terganggu dan menegangkan. Masalah yang paling

umum dihadapi oleh perawat adalah moral distress. Permasalahan moral distress

sudah dialami perawat sejak beberapa dekade terakhir. Moral distress di dalam

keperawatan pertama kali diperkenalkan oleh Andrew Jameton pada tahun 1984

(Epstein et al, 2010 dalam Reuvers 2017). Moral distress merupakan suatu

keadaan dimana seorang perawat mengetahui hal yang benar untuk dilakukan,

akan tetapi karena ada kendala maka tidak dapat bertindak sesuai dengan yang

seharusnya dilakukan (Epstein et al, 2010 dalam Reuvers 2017).

American Nursing Association (ANA, 2015) menjelaskan bahwa moral

distress sebagai suatu kondisi dimana perawat mengetahui hal yang benar untuk

dilakukan secara moral, akan tetapi menghadapi kendala secara institusional,

prosedural ataupun sosial sehingga tidak mungkin untuk melakukan hal yang

benar tersebut karena mengancam nilai inti dan nilai moral integritas. Moral

distress terjadi akibat penilaian perawat bahwa kemampuan diri atau

keyakinannya dilanggar dalam melakukan suatu tindakan. Hal ini menyebabkan

perawat merasa frustasi, marah, merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri

(Epstein et al. 2009). Dickerson dalam Parveen (2017) menyatakan bahwa moral

distress disebabkan oleh beberapa hal yang membuat terjadinya

ketidakseimbangan emosi, ketika perawat tidak mampu memberikan perawatan

yang tepat untuk pasien.


4

Berprofesi sebagai tenaga kesehatan dituntut untuk dapat membuat suatu

keputusan penting di bawah tekanan waktu, membantu pasien yang berada dalam

kondisi darurat dan menghadapi interaksi yang menuntut emosi. Bagi perawat

khususnya bila dibandingkan dengan dokter, bekerja di rumah sakit lebih

menuntut karena perawat memiliki otonomi kerja yang lebih sedikit, peluang

pengembangan karir dan jenjang karir yang lebih sedikit (Aiken et al. dalam

Montgomery et al, 2015). Profesi sebagai perawat merupakan salah satu profesi

yang paling sering terpajan pada ketegangan kerja dengan konsekuensi negatif

terhadap kesehatan fisiologis dan kesejahteraan psikologis perawat (Aiken et al.

dalam Montgomery et al, 2015).

Moral distress telah menjadi permasalahan dalam keperawatan selama lebih

dari dua dekade dan telah menjadi fokus penelitian dalam bidang keperawatan.

Para ahli berpendapat bahwa moral distress memiliki efek jangka panjang. Moral

distress memiliki implikasi untuk kepuasan, rekrutmen dan retensi penyedia

layanan kesehatan dan implikasi untuk keamanan dan kualitas perawatan pasien

(Pauly et al, 2012).

Moral distress hanya dapat dirasakan oleh individu yang mengalaminya.

Menurut Browning (2013), moral distress dapat terjadi ketika seorang perawat

tidak mampu melakukan apa yang mereka yakini benar atau tepat secara etika.

Moral distress merupakan konsep payung yang menggambarkan penderitaan

psikologis, emosional dan fisiologis yang mungkin dialami ketika kita bertindak

dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika yang dipegang teguh,

prinsip atau komitmen moral (McCarthy, 2013). Sehingga, moral distress


5

mengarah ke penderitaan yang dirasakan akibat pertentangan nilai individu dan

keputusan tindakan yang diambil.

Menurut Burston (2015) terdapat sekitar 11% perawat di Inggris yang

mengalami moral distress. Menurut Lerkiatbundit dan Borry (2009),

menunjukkan hasil yang sama bahwa di negara Thailand terdapat sebanyak 33%-

80% perawat di yang mengalami moral distress. Ohnishi et al, 2010 telah

melakukan survey terhadap 80 orang perawat jiwa di Rumah Sakit Jiwa di Jepang.

Dari survey tersebut diperoleh hasil bahwa banyak perawat kesehatan jiwa yang

mengalami moral distress. Berdasarkan hasil penelitian tersebut semakin

menjelaskan tingginya angka kejadian moral distress pada perawat.

Beberapa pengalaman moral distress yang dialami perawat berupa

kemarahan, perasaan bersalah, kehilangan harga diri, mimpi buruk, penderitaan,

dendam, kesedihan, kecemasan, kepasrahan dan ketidakberdayaan (Lazzarin et al,

2012). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Maluwa et al. 2012, moral distress

sering sekali dimanisfestasikan dengan perasaan-perasaan seperti ketakutan,

menarik diri, kemarahan, merasa bersalah, kesedihan, kediaman, tidak mau

mengambil risiko, dan kecemasan. Sehingga, perawat yang mengalami moral

distress sering merasakan gangguan berupa gangguan alam perasaan.

Selain moral distress, work engagement juga merupakan salah yang menjadi

isu penting di dalam keperawatan terkait dengan prediksi komitmen dan intensi

untuk tinggal dalam perusahaan maupun profesinya (Tsai, dkk. 2015). Lodha dan

Kenjer (1965) dalam Rizki (2016) menjelaskan bahwa keterlibatan kerja

merupakan identifikasi seseorang secara psikologis terhadap pekerjaannya,


6

berpartisipasi aktif dan pekerjaan dianggap sebagai bagian yang penting dalam

kehidupannya.

Ching (2015) menyatakan bahwa keterlibatan kerja merupakan tingkat

pekerjaan yang dialami karyawan yang mempengaruhi harga diri dan kinerja.

Saxena (2015) menjelaskan bahwa keterlibatan kerja berkaitan dengan psikologi

individu yang penting bagi citra individu. Keterlibatan kerja terkait karakteristik

pribadi serta sifat dan tugas yang dapat meningkatkan faktor sosial seperti kerja

tim, pertisipasi pengambilam keputusan, seberapa besar karyawan mendukung

tujuan organisasi, menunjukkan prestasi kemajuan dalam pekerjaanya.

Menurut Schaufeli et al, dalam Sierra (2016), keterlibatan kerja

berhubungan erat dengan hasil pekerjaan (kinerja), perilaku organisasi dan

kepuasan kerja akan tetapi berpengaruh negatif terhadap niat berpindah pekerjaan.

Keterlibatan kerja memiliki tiga dimensi, yaitu daya tarik, motivasi dan

pengabdian. Dalam dimensi daya tarik, seorang individu terlibat dalam kerja

keras, sedemikian rupa sehingga memberikan pengalaman yang sangat

menyenangkan dan merujuk pada satu konsentrasi ke dalam karyanya. Hal ini

menyebabkan individu tersebut sulit untuk keluar dari pekerjaannya.

Seorang perawat yang memiliki kertelibatan kerja yang tinggi akan berusaha

memberikan yang terbaik, bekerja dengan maksimal dan dengan senang hati

mengikuti kode etik profesi dan kebijakan rumah sakit. Hal ini di dukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Lee, dkk dalam Rizki (2016) terhadap 76 sampel

yang profesional maupun non profesional dengan menggunakan meta analysis


7

menunjukkan adanya hubungan antara komitmen profesi dengan keterlibatan

kerja dan kepuasan kerja.

Dasgupta (2016) menyatakan bahwa hubungan keterlibatan kerja dan

dukungan sosial dari rekan kerja, umpan balik pengawasan, umpan balik kinerja

dan kontrol terhadap pekerjaan. Keterlibatan kerja merupakan hal yang menular.

Kinerja karyawan akan meningkat apabila ada keterlibatan rekan kerja di dalam

bekerja.

Kinerja perawat merupakan faktor yang sangat penting bagi suatu rumah

sakit. Kinerja merupakan perwujudan perilaku kerja seorang perawat yang

ditampilkan sebagai prestasi kerja sesuai dengan peranannya dalam sebuah rumah

sakit. Hai ini disebabkan karena kinerja perawat sebagai penentu keberhasilan

serta kelangsungan hidup rumah sakit. Dalam setiap organisasi, manusia

merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam menghidupkan

organisasi tersebut. Hal ini harus sejalan dengan kinerja yang baik pula, karena

tanpa kinerja yang baik organisasi tidak akan mencapai tujuannya

(Mangkunegara, 2013).

Sunyoto (2012), menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan hasil kerja

yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya. Kinerja karyawan meliputi kualitas dan kuantitas output serta

keandalan dalam bekerja. Karyawan dapat bekerja dengan baik bila memiliki

kinerja yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kerja yang baik pula.

Penurunan kinerja perawat berpengaruh terhadap mutu pelayanan

kesehatan. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Keperawatan dan


8

Keteknisian Medik Depkes RI bekerjasama dengan WHO pada tahun 2000 di 4

provinsi di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan

Kalimantan Timur menemukan bahwa sebanyak kurang dari 50% perawat belum

memiliki uraian tugas secara tertulis, lebih dari 50% perawat tidak pernah

mengikuti pelatihan dalam 3 tahun terakhir, kurang dari 50% perawat masih

melaksanakan tugas non keperawatan, serta belum dikembangkannya sistem

monitoring dan evaluasi kinerja perawat (Hasanbasri, 2007). Pada tahun 2005

ditemukan kinerja perawat dengan kategori baik 50%, kinerja perawat dengan

kategori sedang 34,37% dan kinerja perawat dengan kategori kurang 15,63%.

Kinerja keperawatan di rumah sakit dikatakan baik bila kinerja perawat > 75%

(Maryadi, 2006).

Van Bogaert et al. (2014) dalam Mudallal (2017) mengemukakan bahwa

lingkungan kerja perawat seperti kolaborasi perawat-dokter dan manajemen

perawat pada tingkat unit dan rumah sakit sangat berpengaruh terhadap penilaian

perawat. Menurut Montgomery et al, (2015), rumah sakit pada dasarnya

merupakan organisasi yang penuh dengan tekanan.

Bakri (2014) mengatakan bahwa banyak ditemukan fenomena-fenomena

di rumah sakit tentang adanya perawat yang tidak sabar, suka marah, berbicara

ketus dengan pasien dan keluarga pasien, bahkan terjadi kelelaian dalam bekerja

seperti kesalahan dalam pemberian obat dan keterlambatan dalam melakukan

injeksi. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan tugas dan kewajiban sebagai

seorang perawat yang harus memberikan pelayanan prima kepada pasien.


9

Kualitas keperawatan dimediasi oleh karakteristik kerja perawat. Kinerja

perawat profesional berkaitan erat dengan produktivitas dan kualitas penyediaan

perawatan dalam organisasi kesehatan. Pentingnya manajemen kinerja dalam

tenaga kerja kesehatan dianggap sebagai peningkatan efisiensi, produktivitas dan

kualitas perawatan. Penilaian kinerja adalah proses mengamati dan mengevaluasi

kinerja pegawai, merekam penilaian, dan memberikan umpan balik kepada

pegawai (Bezuidenhout et al, 2011). Manajemen kinerja dalam konteks

manajemen staf adalah tentang hal membantu orang lain untuk bekerja lebih

efektif meningkatkan kinerja individu dan tim, secara keseluruhan meningkatkan

produktivitas suatu organisasi (PSMPC, 2000) dalam (Awases et al, 2013).

Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang merupakan salah satu Rumah

Sakit milik pemerintah yang ada di Kabupaten Deli Serdang. Rumah sakit ini

bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan yang senantiasa berperan aktif dalam

upaya mendukung program peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Untuk

dapat mempertahankan eksistensi pelayanan yang bermutu maka saat ini rimah

sakit telah mendapatkan akreditasi B.

Berdasarkan data yang diperoleh pada saat survey awal yang dilakukan oleh

peneliti di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang maka di dapat data bahwa

nilai Bed Occupancy Ratio (BOR) untuk tahun 2017 adalah sebesar 86,98%.

Average Length Of stay (ALOS) untuk tahun 2017 adalah sebesar 4,29 hari. Bed

Turn Over (BTO) untuk tahun 2017 adalah sebesar 60,69 kali. Turn Over Internal

(TOI) untuk tahun 2017 adalah sebesar 0,78 hari.


10

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada saat survei

awal di Rumah Sakit Umum daerah Deli Serdang, dari 20 perawat yang telah

diwawancarai diperoleh hasil sebanyak 14 orang perawat mengalami Moral

Distress sewaktu bekerja dan sebanyak 6 orang perawat tidak mengalami Moral

Distress sewaktu bekerja. Dari 14 perawat yang mengalami Moral Distress

merasakan pernah memberikan perawatan yang salah pada pasien, melaksanakan

pekerjaan tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan, menghindar dari pasien ataupun

keluarga pasien, memarahi pasien, dan memiliki emosi yang tidak stabil. Moral

distress yang dialami perawat disebabkan karena perawat mampu melakukan hal

yang benar sesuai prosedur tetapi perawat melanggar prosedur walaupun

mengetahui yang dia lakukan adalah salah. hal ini mengakibatkan terjadinya

gangguan alam perasaan pada diri perawat.

Hasil wawancara dengan 20 perawat tentang Work Engagement juga

masih rendah, dari 20 perawat 13 diantaranya merasa bahwa pekerjaanya adalah

hal yang biasa, tidak memiliki daya tarik, tidak antusisa dalam melaksanakan

pekerjaa, merasa tidak berenergi saat memulai pekerjaanya dan pekerjaanya tidak

meberikan inspirasi, menganggap pekerjaan adalah rutinitas biasa yang harus

dikerjakan setap harinya dan bukan merupakan suatu tantangan. Perawat yang

mengalami Moral Distress dan Rendahnya Work Engagement sangat berpengaruh

terhadap kinerja perawat di Rumah Sakit.

Produktivitas kerja bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil

kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas kinerja yang perlu diperhatikan

(Mardiah, 2013). Kinerja pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah


11

Deli Serdang Lubuk Pakam masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari belum

seluruhnya perawat melakukan tahapan-tahapan proses keperawatan yang menjadi

standar praktik keperawatan dalam bertugas. Nursalam (2014) menyatakan bahwa

standar praktik keperawatan mengacu pada tahapan proses keperawatan yang

meliputi ; (1) Pengkajian, (2) Diagnosis Keperawatan, (3) Perencanaan, (4)

Implementasi dan (5) Evaluasi. Pemberian asuhan keperawatan yang optimal

diharapkan dapat memenuhi harapan konsumen untuk memperoleh pelayanan

yang terbaik selama dirawat di rumah sakit dan secara tidak langsung mendukung

tujuan rumah sakit.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Moral Distress dan Work Engagement

terhadap Kineja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk

Pakam.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah di

dalam penelitian ini adalah bagaimana Pengaruh Moral Distress dan Work

Engagement terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli

Serdang Lubuk Pakam.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis Pengaruh Moral Distress dan

Work Engagement terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli

Serdang Lubuk Pakam.


12

Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi Moral Distress yang terjadi pada perawat.

2. Untuk mengidentifikasi Work Engagement yang terjadi pada perawat.

3. Untuk mengidentifikasi Kinerja Perawat.

4. Menganalisis pengaruh Moral Distress terhadap Kinerja Perawat.

5. Menganalisis pengaruh Work Engagement terhadap Kinerja Perawat.

Hipotesis

Terdapat pengaruh signifikan Moral Distress dan Work Engagement

terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk

Pakam.

Manfaat Penelitian

Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Rumah

Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam berupa informasi – informasi

tentang upaya yang tepat dalam melihat Moral Distress dan Work Engagement

untuk meningkatkan kualitas kinerja perawat.

Pendidikan Keperawatan

Berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam

ilmu sumber daya manusia dan hasil penelitian ini dapat memberi informasi baru

atau menujang untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.

Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan

berkaitan dengan Moral Distress dan Work Engagement terhadap peningkatan


13

Kinerja Perawat sehingga dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam bidang

manajemen sumber daya manusia khususnya bagi peneliti selanjutnya.


14

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Perawat

Defenisi Perawat

Perawat adalah orang yang mengasuh dan merawat orang lain yang

mengalami masalah kesehatan. Namun pada perkembangannya saat ini, definisi

perawat semakin meluas. Kini, pengertian perawat merujuk pada posisinya

sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara profesional. Perawat merupakan tenaga profesional yang

mempunyai kemampuan, tanggungjawab dan kewenangan dalam melaksanakan

dan memberikan perawatan kepada pasien yang mengalami masalah kesehatan

(Nisya, 2013).

Menurut International Council of Nurses dalam Pakpahan (2014), bahwa

perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan

keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan

dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta

pelayanan terhadap pasien. Perawat merupakan seseorang yang telah lulus

pendidikan tinggi keperawatan baik di dalam maupun luar negeri yang diakui oleh

pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU RI No. 38 Tahun

2014).

Peran Perawat

Menurut Doheny, Cook dan Stopper (1982) yang dikutip oleh Nisya (2013)

menyatakan peran pokok dari seorang perawat antara lain sebagai berikut :
15

1. Care giver (pengasuh)

Peran sebagai pengasuh dilakukan dengan memperhatikan keadaan

kebutuhan dasar manusia melalui pemberian pelayanan keperawatan.Pelayanan

keperawatan dilakukan mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling

kompleks, sesuai dengan kebutuhan pasien.

2. Client Advocate (Advokad Klien)

Peran sebagai advokad klien berorientasi membantu/melayani pasien dalam

menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam

pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan.

3. Counselor (Konselor)

Peran perawat sebagai konselor yaitu pada saat pasien menjelaskan

perasaannya dan hal-hal yang berkaitan dengan keadaannya.

4. Educator (Pendidik)

Peran perawat sebagai pendidik yaitu membantu pasien dalam

meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan

yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan

pendidikan kesehatan.

5. Coordinator (Koordinator)

Perawat melakukan koordinasi yaitu mengarahkan, merencanakan

pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan

dapat mengerti dan melakukan praktik sesuai dengan kebutuhan pasien.


16

6. Collaborator (Kolaborator)

Peran perawat bekerja bersama dan/atau melalui tim kesehatan yang terdiri

dari tenaga kesehatan, seperti dokter, perawat dan lain sebagainya. Bersama-sama

berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang dibutuhkan pasien.

7. Consultan (Konsultan)

Peran perawat sebagai konsultan yaitu sebagai tempat bertanya dan

berkonsultasi. Dengan mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang

sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

Fungsi Perawat

Fungsi perawat adalah membantu pasien baik dalam kondisi sakit maupun

sehat, untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui layanan keperawatan. Dalam

menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi, yaitu di

antaranya :

1. Fungsi Independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana

perawat dalam menjalankan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan

sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau

instruksi dari perawat lain.

3. Fungsi Interdependen

Merupakan fungsi yang dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling

ketergantungan di antara tim satu dengan yang lain (Nisya, 2013).


17

Tahapan Proses Keperawatan

Asuhan keperawatan menggunakan metode proses keperawatan yaitu proses

pemecahan masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau memelihara

pasien sampai taraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk

mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan pasien. Proses keperawatan adalah

proses yang terdiri dari 5 tahap yang spesifik, yaitu :

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua

data data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien

saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan asfek

biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual klien. Tujuan pengkajian adalah

untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode utama

yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan

pemeriksaan fisik serta diagnostik (Asmadi, 2012).

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual

atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin

dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien

didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan

medis klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya

dikumpulkan selama pengkajian (Potter & Perry, 2010).


18

3. Perencanaan

Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat, klien,

keluarga dan orang terdekat klien untukmerumuskan rencana tindakan

keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami klien. Perencanaan ini

merupakan suatu petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana

tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya

berdasarkan diagnosis keperawatan. Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti

atau pokok dari proses keperawatan sebab perencanaan merupakan keputusan

awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan,

termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan

keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk

klien, keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi,

2012).

4. Implementasi

Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah

katagori dari prilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk

mencapai tujuan dan hasil yang dipekirakan dari asuhan keperawatan dilakukan

dan diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan

mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di

banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara

langsung setelah pengkajian (Potter & Perry, 2010).


19

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan

perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan

tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan

secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.

Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa

keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali

ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara

umum, evaluasi ditujukan untuk: 1) Melihat dan menilai kemampuan klien dalam

mencapai tujuan. 2) Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau

belum. 3) Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai

(Asmadi, 2012).

Moral Distress

Pengertian Moral Distress

Moral Distress adalah fenomena konkret, memiliki kendala yang dapat

diidentifikasi, karakateristik psikologis dan penyebabnya. Moral Distress muncul

ketika sesorang tahu hal yang benar untuk dilakukan, tetapi kendala institusional

membuat hampir mustahil untyk melakukan tindakan yang benar (Jameton, 1984

di dalam Chen, 2016).

Moral Distress adalah relasional pengalaman yang dibentuk oleh berbagai

konteks, termasuk konteks lingkungan kerja (Varcoe, 2012). Moral Distress

terjadi ketika integritas moral seseorang sangat dikompromikan, baik karena


20

merasa bertindak tidak sesuai dengan nilai- nilai dan kewajiban, atau upaya yang

dilakukan gagal untuk mencapai hasil yang diinginkan (Hamric, 2014).

Moral Distress adalah respon psikologis terhadap situasi moral yang

menantang seperti kendala moral atau konflik moral atau bahkan keduanya

(Fouri, 2015). Chen, (2016) menyatakan bahwa Moral Distress dalah bagian yang

tidak dapat dihindari dari proses pengembangan etika dalam praktik keperawatan

dan mungkin mencegah perawat dari atau memperlambat perawat dalam

mengembangkan kematanagan etik yang diperlukan. Perspektif tentang tekanan

moral yang ada diantara staf perawat dalam situasi klinis.

Dampak Moral Distress

Menurut McCarthy (2015) Study tentang tekana moral hingga saat ini

sebagaian besar berfokus pada pengalaman perawat selama bekerja. Studi ini

menunjukkan bahwa situasinya yang menimbulkan tekanan moral biasanya

melibatkan :

a. Pengobatan agresif dan sia-sia,

b. Melakukan tes yang tidak perlu,

c. Kurangnya perawatan,

d. Manajemen nyeri yang buruk,

e. Tidak kompeten atau tidak menyamakan perawatan,

f. Penipuaan,

g. Ketidakseimbangan kekuatan diantara para profesional kesehatan, dan

h. Kurangnya dukungan kelembagaan.

Work Engagement
21

Pengertian Work Engagement

Konsep engagement pertama sekali diperkenalkan oleh Khan (1990), yang

mendefinisikan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran

mereka dalam pekerjaan, dimana mereka akan mengikat diri dengan

pekerjaannya, kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik,

kognitif dan emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif

mengacu pada keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi

pekerjaan. Aspek emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah

positif atau negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya, sedangkan aspek fisik

mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan

perannya.

Brown (2003) dalam Mujiasih, dkk., (2012) mendifnisikan work

engagement yaitu dimana seorang pekerja dikatakan memiliki work engagement

dalam pekerjaannya apabila pekerja tersebut dapa mengidentifikasikan diri secara

psikologis dengan pekerjaannya dan menganggap kinerjanya penting untuk

dirinya serta untuk organisasi. Pekerja dengan work engagement yang tinggi

dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar

peduli dengan jenis pekerjaan itu.

Schaufeli et.al (2001) mendefinisikan work engagement sebagai positivitas,

pemenuhan kerja dari pusat pikiran yang memiliki dimensi yaitu vigor, dedication

dan absorption. Vigor adalah level energi yang tinggi, adanya kemauan untuk

investasi tenaga, persistensi, tidak mudah lelah. Dedication adalah keterlibatan

yang kuat ditandai oleh antusiasme, rasa bangga dan inspirasi. Absorption adalah
22

keadaan terjun total (total immersion) pada pekerja yang dikarakteristikkan oleh

cepatnya waktu berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari pekerjaannya.

Menurut Development Dimension International (2005) dalam Mujiasih,

dkk., (2012), work engagement terjadi ketika seseorang merasa bernilai,

menikmati dan percaya pada pekerjaan yang mereka lakukan. Institute of

Employee Studies (2004) dalam Mujiasih, dkk., (2012) mendefinisikan employee

work engagement sebagai suatu sikap positif dari pekerja terhadap bisnis

organisasi dan bekerja secara tim untuk meningkatkan performa organisasi.

Berdasarkan uraian teori tersebut, maka dapat disimpulkan work

engagement merupakan positifitas dalam pemenuhan kerja dengan

mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan emosional.

Dimensi Work Engagement

Schaufeli et.al (2001) menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam

work engagement, yaitu :

1) Vigor

Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian

untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan tekun

dalam menghadapi kesulitan kerja.

2) Dedication

Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa

kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.


23

3) Absorption

Dalam bekerja, pekerja selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu

pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan

kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.

Dimensi work engagement yang dikemukakan oleh Schaufeli et.al (2001)

juga didukung oleh Lockwood (2007), yang menyatakan bahwa work engagement

memiliki tiga dimensi yang merupakan perilaku utama, aspek tersebut mencakup :

1) Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan

mereferensikan organisasi tersebut pada pekerja dan pelanggan potensial.

2) Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut,

meskipun terdapat kesempatan untuk bekerja di tempat lain.

3) Memberikan upaya dan menunjukkan perilaku yang keras untuk

berkontribusi dalam keseuksesan organisasi.

Ciri-ciri Work Engagement

Karyawan yang memiliki work engagement terhadap organisasi/perusahaan

memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik

karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan

dalam berbagai literatur, diantaranya Federman (2009) yang mengemukakan

bahwa karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi memiliki ciri-ciri

sebagai berikut :

1) Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang

berikut.
24

2) Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar

daripada mereka sendiri.

3) Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat

sebuah lompatan dalam pekerjaan.

4) Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku

yang dewasa.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Lockwood (2007) engagement merupakan konsep yang kompleks

dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah budaya di dalam tempat

bekerja, komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan

dan penghargaan serta kepemimpinan yang dianut dan reputasi perusahaan itu

sendiri. Engagement juga dipengaruhi karakteristik organisasional, seperti

reputasi untuk integritas, komunikasi internal yang baik dan inovasi budaya.

Menurut Luthans (2006) tiga kondisi psikologis yang meningkatkan

kemungkinan keterlibatan individu dalam pekerjaan, sebagai berikut :

1. Perasaan berarti

Perasaan berarti secara psikologis adalah perasaan diterima melalu energi

fisik, kongnitif, dan emosional. Perasaan berarti adalah merasakan

pengalaman bahwa tugas yang sedang dikerjakan adalah berharga, berguna

dan atau bernilai.

2. Rasa aman

Rasa aman secara psikologis muncul ketika individu mampu menunjukan

atau bekerja tanpa rasa takut atau memiliki konsekuensi negatif terhadap
25

citra diri, status, dan atau karier. Perasaan aman dan percaya dibangun

dengan situasi yang telah diperkirakan, konsisten jelas tanpa ancaman.

3. Perasaan ketersediaan

Perasaan ketersediaan secara psikologis berarti individu merasa bahwa

sumbersumber yang memeberikan kecukupan fisik personal, emosional, dan

kongnitif tersedia pada saat-saat yang dibutuhkan.

Faktor pendorong work engagement yang dijabarkan oleh Perrins (2003)

meliputi 10 hal yang dijabarkan secara berurutan :

1. Senior Management yang memperhatikan keberadaan karyawan

2. Pekerjaan yang memberikan tantangan

3. Wewenang dalam mengambil keputusan

4. Perusahaan/ organisasi yang fokus pada kepuasan pelanggan

5. Memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk berkarier

6. Reputasi perusahaan

7. Tim kerja yang solid dan saling mendukung

8. Kepemilikan sumber yang dibutuhkan untuk dapat menunjukkan performa

kerja yang prima

9. Memiliki kesempatan untuk memberikan pendapat pada saat pengambilan

keputusan.

10. Penyampaian visi organisasi yang jelas oleh senior management mengenai

target jangka panjang organisasi.

Faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja menurut Demerouti (dalam

Puspita, 2012) adalah :


26

1. Job Demands (Tuntutan Kerja)

Tuntutan kerja merupakan aspekaspek fisik, sosial, maupun organisasi dari

pekerjaan yang membutuhkan usaha terus-menerus baik secara fisik maupun

psikologis demi mencapai atau mempertahankannya. Tuntutan kerja meliputi

empat faktor yaitu:

a. Beban kerja yang berlebihan (work overload)

b. Tuntutan emosi (emotional demands)

c. Ketidaksesuaian emosi (emotional dissonance)

d. Perubahan terkait organisasi (organizational changes).

2. Job Resources (Sumber Daya Pekerjaan)

Keterikatan kerja juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu

aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk

mencapai tujuan pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga, baik secara

fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi

pertumbuhan dan perkembangan personal individu. Sumber daya pekerjaan

meliputi empat faktor yaitu: otonomi (autonomy), dukungan sosial (social

support), bimbingan dari atasan (supervisory coaching), dan kesempatan untuk

berkembang secara profesional (opportunities for professional development).

3. Personal Resources (Sumber Daya Pribadi)

Karakteristik pribadi yang berperan penting dalam Work Engagement

adalah usia, kebutuhan yang kuat akan pertumbuhan dan kepercayaan etis

pekerjaan. Dan karakteristik pekerjaan yang berperan penting dalam keterlibatan

kerja adalah pekerjaan yang kuat: pekerjaan yang memiliki otonomi, kebergaman,
27

identitas tugas, umpan balik dan partisipasi kerja yang tinggi. Selain itu faktor

sosial dari pekerjaan juga dapat mempengaruhi work engagement yaitu:

a. Karakteristik Pribadi

1. Usia

Karyawan yang berusia lebih tua, biasanya akan lebih terlibat

dalam kerjanya daripada karyawan yang muda. Hal ini mungkin

disebabkan pada karyawan yang lebih tua bertanggung jawab dalam

menyelesaikan tugasnya.

2. Kebutuhan yang kuat akan pertumbuhan

Keterlibatan kerja berhubugan dengan keyakinan bahwa pekerjaan

dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, kebutuhan tersebut

adalah kebutuhan yang terpuaskan melalui proses bekerja itu sendiri.

3. Adanya kepercayaan dalam etnik pekerjaan yang lama

Adanya rasa percaya terhadap keberagaman keterampilan yang

dimiliki oleh setiap individu di dalam bekerja.

b. Faktor Sosial

Faktor sosial dalam pekerjaan juga dapat mempengaruhi Work

Engagement. Indidvidu yang bekerja didalam sebuah kelompok

menunjukkan adanya keterlibatan kerja yang lebih kuat dibandingkan

dengan individu yang bekerja sendiri.

c. Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik Pekerjaan yang memperlihatkan kaitannya dengan

keterlibatan kerja yaitu :


28

1. Kebergaman keterampilan

Banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaan.

Dengan mengaplikasikan keterampilan yang dimiliki karyawan itu lebih

banyak terlibat pada pekerjaannya.

2. Jati diri tugas

Sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan keseluruhan yang

berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagaian dari pekerjaan yang lebih

besar membuat karyawan bekerja tanpa keraguan.

3. Tugas yang penting

Rasa pentingnya tugas bagi seseorang, jika tugas dirasakan penting

dan berarti oleh tenaga kerja. Maka ia cenderung memiliki keterlibatan

yang tinggi.

4. Otonomi

Pekerjaan yang memberikan kebebasan, ketidakgantungan dan

peluang mengambil keputusan akan lebih mempengaruhi keterlibatan

kerja karyawan terhadap tugas yang dikerakan.

5. Umpan balik

Pemberian balikan pada pekerjaan yang membantu meningkatkan

keterlibatan kerja karyawan sehingga dapat menguntungkan bagi kedua

belah pihak.

d. Karakteristik Kondisi Kerja yangt menunjang


29

Bekerja dalam ruangan kera yang sempit, panas, yang cahaya lampunya

menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan (uncomfortable)

akan menimbulkan kengganan untuk bekerja sehingga dengan kondisi

seperti ini tidak adanya keterlibatan kerjanya. Namun, jika kondisi kera

yang memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi tentunya akan

mempengaruhi keterlibatan kerjanya.

e. Karakteristik Organisasi

Karakteristik organisasi seperti sifat-sifat dan perilaku pemimpin

berhubungan dengan keterlibatan kerja. Pemimpin yang dilihat kemampuan

dalam kedudukannya sebagai pengawas bawahan, kecerdasan, ketegasan,

penuh kepercayaan diri, inisiatif dan memiliki team kerja yang baik dengan

bawahan, maka akan meningkatkan keterlibatan kerja yang tinggi.

Kinerja

Istilah kinerja berasal dari kata Job performance atau performance yang

berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang

(Mangkunegara, 2013). Menurut Moeheriono (2009) dalam Ekary (2015) Kinerja

atau performance merupakan gambaran mengetahui tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran,

tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis

suatu organisasi.
30

Hasibuan (2013) mengemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja

yang dicapai seorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta

waktu. Dengan kata lain bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh

seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan

kriteria yang ditetapkan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja seorang karyawan dengan karyawan yang lainnya dalam perusahaan

tentunya berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Rasa puas yang di dapatkan karyawan disaat mereka bekerja, dapat membuat

mereka bekerja secara maksimal dan menunjukkan hasil terbaik. Hal tersebut

merupakan wujud timbal balik yang diberikan karyawan kepada perusahaan.

Selain memberikan kepuasan kepada karyawan, kegairahan kerja dengan

memberikan motivasi perlu diciptakan agar karyawan bekerja dengan efektif.

Menurut Hasibuan (2013) ada dua variabel yang mempengaruhi kinerja, yaitu:

1. Variabel individual yaitu meliputi sikap, karakteristik, kepribadian, sifat-

sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pendidikan

serta faktor individual lainnya.

2. Variabel situasional yaitu terdiri dari :

a. Faktor fisik pekerjaan meliputi metode kerja, kondisi dan desain

perlengkapan kerja, penataan ruang, lingkungan fisik (penyinaran,

temperatur dan ventilasi).


31

b. Faktor sosial dan organisasi meliputi peraturan organisasi, jenis latihan,

dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.

Menurut Mangkunegara (2013), faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :

a. Faktor Kemampuan Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri

dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill).

Artinya pegawai yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) dengan

pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam

mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai

kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada

pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.

b. Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai

dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi

yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan

organisasi.

Penilaian Kinerja

Evaluasi kinerja dalaam organisasi sebuah perusahaan merupakan kunci

dalam pengembangan karyawan. Evaluasi kinerja pada prinsipnya merupakan

manifestasi dari bentuk penilaian kinerja seorang karyawan. Penilaian kinerja

merupakan suatu proses organisasi dalam menilai kinerja karyawannya. Penilaian

kinerja memberikan gambaran tentang keadaan karyawan dan sekaligus dapat

memberikan feedback (umpan balik) bagi para karyawan (Sulistiyani, 2011).


32

Pada prinsipnya penilaian kinerja merupakan cara pengukuran kontribusi-

kontribusi dari individu di dalam perusahaan yang dilakukan terhadap perusahaan

tersebut. Nilai penting dari penilaian kinerja adalah menyangkut penantuan

tingkat kontribusi individu atau kinerja yang diekspresikan dalam menyelesaikan

tugastugas yang menjadi tanggungjawabnya (Rosidah, 2014).

Kinerja (kualitas pelayanan keperawatan) terhadap pasien dinilai dari

standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan

oleh PPNI yang mengacu pada tahapan proses keperawatan yang meliputi ; (1)

Pengkajian, (2) Diagnosis Keperawatan, (3) Perencanaan, (4) Implementasi dan

(5) Evaluasi (Nursalam, 2014).

Kinerja Perawat

Menurut et al (2012) menyatakan bahwa mengukur produktifitas perawat

tidak dapat dilakukan secara matematis, artinya hasil ukur tidak bernilai

kuantitatif karena pelayanan jasa perawat berbeda dengan produksi barang.

Produktivitas dalam keperawatan dihubungkan dengan efisiensi, yaitu

penggunaan alat keperawatan klinis dalam pemberian asuhan keperawatan untuk

menghindarkan pemborosan dan efektifitas yaitu berkaitan dengan kualitas asuhan

keperawatannya.

Dalam penilaian kualitas pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien

digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat

dalam melaksanakan asuhan keperawatan telah dijabarkan oleh PPNI (2010) yang
33

mengacu dalam tahapan proses keperawatan, yang meliputi pengkajian

keperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

1. Standar I : Pengkajian Keperawatan

Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan pasien secara

sistematis menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan. Kriteria

pengkajian keperawatan meliputi pengumpulan data dilakukan dengan cara

anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik serta dan pemeriksaan penunjang.

Sumber data adalah pasien, keluarga atau orang yang terkait, tim kesehatan,

rekam medis, dan catatan lain.data yang dikumpulkan, difokuskan untuk

mengidentifikasi status kesehatan pasien pada masa lalu, status kesehatan

pasien saat ini, status biologis, psikologis, sosial, spiritual, respon terhadap

terapi, harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal, resiko tinggi

penyebab masalah.

2. Standar II: Diagnosis Keperawatan.

Perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan diagnosis

keperawatan,.Kriteria proses meliputi analisis data, intrepretasi data,

identifikasi masalah pasien, dan perumusan diagnosis keperawatan.

3. Standar III: Perencanaan Keperawatan.

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah

dan peningkatan kesehatan pasien. Kriteria prosesnya, penetapan prioritas

masalah, tujuan dan rencana tindakan keperawatan. Bekerjasama dengan

pasien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan. Perencanaan


34

bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan pasien,

mendokumentasikan rencana keperawatan.

4. Standar IV: Implementasi Tindakan Keperawatan.

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam

rencana asuhan keperawatan. Kriteria proses meliputi bekerjasama dengan

pasien dalam melaksanakan tindakan keperawatan, kolaborasi dengan tim

kesehatan lain, melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah

pasien, memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga

mengenai konsep. Keterampilan asuhan diri serta membantu pasien

memodifikasi lingkungan yang digunakan, mengkaji ulang dan merevisi

pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respons pasien.

5. Standar V: Evaluasi Keperawatan.

Perawat mengevaluasi kemajuan pasien terhadap tindakan keperawatan

dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan yang

sudah ada. Adapun kriteria prosesnya adalah menyusun perencanaan

evaluasi hasil dan intervensi secara komprehensif, tepat waktu dan terus

menerus, menggunakan data dasar dan respons pasien dalam mengukur

perkembangan kearah pencapaian tujuan, melakukan validasi dan

menganalisis data baru dengan teman sejawat, bekerjasama dengan pasien

dan keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan, melakukan

pendokumentasian hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.

Indikator Kinerja
35

Indikator kinerja merupakan aspek-aspek yang menjadi ukuran dalam

menilai kinerja. Adapun mengenai indikator yang menjadi ukuran kinerja menurut

Siagian (2012) adalah sebagai berikut:

a. Kuantitas

Merupakan jumlah yang dihasilkan, dinyatakan dalam istilah seperti jumlah

unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan karyawan, dan jumlah

aktivitas yang dihasilkan.

b. Kualitas

Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan

yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap ketrampilan dan

kemampuan karyawan.

c. Ketepatan waktu

Ketepatan waktu diukur dari persepsi karyawan terhadap suatu aktivitas

yang diselesaikan di awal waktu sampai menjadi output.

d. Kehadiran

Kehadiran karyawan di perusahaan baik dalam masuk kerja, pulang kerja,

izin, maupun tanpa keterangan yang seluruhnya mempengaruhi kinerja

karyawan itu.

e. Kemampuan bekerjasama

Kemampuan bekerja sama adalah kemampuan seseorang tenaga kerja untuk

bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan

pekerjaan yang telah ditetapkan sehingga mencapai daya guna dan hasil
36

guna yang sebesar-besarnya. Dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan

hasil yang dicapai oleh seseorang berdasarkan standar atau kriteria yang

telah ditetapkan sebelumnya. Atau karena organisasi pada dasarnya

dijalankan oleh manusia, maka kinerja sesungguhnya merupakan perilaku

manusia dalam memainkan peran yang mereka lakukan di dalam suatu

organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar

membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan, sehingga indikator yang

digunakan pada variabel kinerja adalah kuantitas, kualitas, ketepatan waktu,

kehadiran, kemampuan bekerjasama.

DAFTAR PUSTAKA

Huber, L. D. 2006. Leadership and nursing care management fitht edition.

Philadelphia : Saunders Elsevier.455 hal.


37

Rosnaniar., Sangkala Rewa., Noor Bahri Noer. 2013. Pengaruh Iklim Organisasi

Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD

Ince Abdul Moeis Samarinda. pasca.unhas.ac.id/jurnal diakses tanggal 20

Mei 2018 Pukul 22.45 WIB

Awases, M.H., Bezuidenhout, M.C., and Roos, J.H. 2013. Factors Affecting The

Performance of Proffesional Nurses in Namibai.

Perveen, K., Afzal, M., Abid, S., Majeed, I., Husain, M. 2017. Impact of Moral

Distress on Nurse’s Performance.

Reuvers, J. A. 2017. Moral Distress and Resilience in Nursing : The Code is the

Cor

American Nurses Association .2015. Code of Ethics for Nurses with Interpretive

Statement

Epstein, E., Hamric, A.B. 2009. Moral distress, moral residue and the crescendo

effect.

Pauly. B.M, Varcoe. C., Storch. J. 2012. Framing the Issues : Moral Distress in

Health Care

Browning, A. M. 2013. Moral distress and Psychological Empowerment in

critical care nurses caring for adults at end of life.

McCarthy. J., Deady. R. 2013. Moral Distress Reconsidered

Burston. A.S, Tuckett. A.G. 2015. Moral Distress in Nursing : Contributing

factors, outcomes and interventions.

Lerkiatbundit. S., Borry. P. 2009. Moral Distress Part I : Critical Literature

Review on Defenition, Magnitude, Antecedents and Consequence.


38

Hamaideh et al, 2014. Moral Distress and its correlates among mental health

nurses in Jordan.

Lazzarin. M., Blondi. A., Mauro. S. D. 2012. Moral distress in nurses in oncology

and haematology units.

Maluwa. V. M., Andre. J., Ndebele. P., Chilemba. E. 2012. Moral Distress in

nursing practice in Malawi

Riski. 2016. Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja dan Keterlibatan Kerja Terhadap

Komitmen Profesi dengan Budaya Kolektivisme sebagai Variabel

Moderating

Ching Sheu FU. 2015. The Effect of Emotional Labor on Job Involvement in

Preschool Teacher : Verifying the Mediating Effect of Psychological

Capital

Saxena. S. 2015. Impact of Job Involvement and Organizational Commitment on

Organizational Citizenship Behavior

Sierra. R. G. 2016. Work Engagement in nursing : an integrative review of the

literature

Dasgupta. P. 2016. Work engagement of Nurses in Private Hospitals : A study of

Its Antecedent and Mediators

Mangkunegara. A. P. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.

Remaja Rosdakarya. Bandung

Sunyoto. D. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : CAPS


39

Hasanbasri. (2007). Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat dan Bidan

Evaluasi Pelatihan di Kulon Progo. Diambil pada tanggal 10 Maret 2018

dari http://www.kinerjaklinik-perawatbidan.or.id/home/index.php

Maryadi. 2006. Hubungan Kepuasan Kompensasi Jasa Pelayanan dengan

Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Sleman

Tahun 2006. Thesis. Universitas Diponegoro

Bezuidenhout. M.C., Muller. M.E., Jooste.K. 2011. Healthcare Service

Manahement.

Nisya Rifiani. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Keperawatan. Dunia Cerdas. Jakarta.

Fourie, C. 2015. Moral Distress and Moral Conflict in Clinical Ethics. Bioethics,

29, 91-97.

Varcoe C, Pauly B, Webster G, Storch J. Moral distress: tensions as springboards

for action. HEC Forum. 2012.

Hamric B, Ann. A Case Study of Moral Distress. Ethics Nursing. 2014.

Ekary, A.O. 2015. Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Perawat Di Unit

Rawat Inap Rumah sakit sari Mutiara Lubuk Pakam Tahun 2015. FKM

USU.

McCarthy, J. & Gastmans, C. (2015). Moral distress: A review of the argument

based nursing ethics literature. Nursing Ethics, 22(1), 131-152.


40

PENGARUH MORAL DISTRESS DAN WORK ENGAGEMENT


TERHADAP KINERJA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DELI SERDANG LUBUK PAKAM

PROPOSAL TESIS

Oleh
SARI DESI ESTA ULINA SITEPU
167046017 / KEPERAWATAN ADMINISTRASI

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Anda mungkin juga menyukai