Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Rumah sakit merupakan salah satu sektor kesehatan yang mempunyai misi

memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat.

Oleh karena itu rumah sakit didaerah dituntut untuk memperbaiki manajemen,

mengembangakn sumber pembiayaan sendiri, agar dapat secara otonomi berupaya

meningkatkan mutu pelayanan dan melakukan pemberdayaan terhadap semua

potensi yang ada termasuk sumber daya manusia karena mutu pelayanan sangat

tergantung pada kemampuan sumber daya manusia (Purwanto, 2011).

Perawat merupakan seseorang yang telah lulus pendidikan perawat dan

memiliki kemampuan serta kewenangan melakukan tindakan keperawatan

berdasarkan bidang keilmuan yang dimiliki dan memberikan pelayanan kesehatan

secara holistic dan profesional untuk individu sehat maupun sakit, perawat

berkewajiban memenuhi kebutuhan pasien meliputi bio-psiko-sosio dan spiritual.

Profesi perawat bekerja ditempat pelayanan-pelayanan kesehatan, baik di instansi

pemerintah maupun di instansi swasta.

Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan profesional yang

merupakan bagian integral dari layanan ksehatan yang di dasarkan pada ilmu dan

kiat keperawatan. Fungsi utama perawat adalah membantu klien, baik dalam

kondisi sakit maupun sehat, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal

1
melalui layanan keperawatan. Layanan keperawatan diberikan karena adanya

kelemahan fisik, mental, dan keterbatasan pengetahuan (Amadi, 2008).

Perawat profesional merupakan perawat yang memberikan asuhan

keperawatan yang berkualitas dalam rangka memenuhi kebutuhan pasienn dan

untuk mencapai tingkat kesehatan pasien berdasarkan standar dan kompetensi

(Simamora, 2008). Perawat profesional berperan bukan saja sebagai pemberi

asuhan keperawatan, melaikan sebagai pendidik, advokat, konsultan,

komunikator, dan sebagai manajer (Potter & Perry, 2005). Perawat profesional

juga harus mampu bekerja di semua unit kerja di rumah sakit dengan berbagai

macam pasien dan karakteristik lingkungan kerja yang berbeda (Brunner &

Suddarth, 2002)

Kualitas pelayanan keperawatan tidak terlepas dari peran klasifikasi pasien

diruang rawat inap, karena dengan klasifikasi tersebut pasien merasa lebih di

hargai sesuai haknya dan dapat diketahui bagaimana kondisi dan beban kerja

perawat dimasing-masing ruang rawatan. Kondisi kerja berupa situasi kerja yang

mencakup fasilitas, peraturan yang diterapkan, hubungan sosial kerjasama antar

petugas yang dapat mengakibatkan ketidak nyamanan bagi pekerja. Demikian

juga dengan beban kerja baik secara kuantitas dimana tugas-tugas yang harus

dikerjakan terlalu banyak/sedikit maupun secara kualitas dimana tugas yang harus

dikerjakan membutuhkan keahlian. Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan

kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia maka akan

menjadi sumber stres (Ilyas, 2002)

2
Stres merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap

tuntutan atau beban kerja atasnya. Stres dapat muncul apabila seseorang

mengalami beban atau tugas berat dan orang tersebut tidak dapat mengatasi tugas

yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap

tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stres (Selye, 1950 dalam

Hidayat, 2011). Stres kerja perawat dapat terjadi apabila perawat dalam bertugas

mendapatkan beban kerja yang melebihi kemampuannya sehingga perawat

tersebut tidak mampu memenuhi atau menyelesaikan tugasnya, maka perawat

tersebut dikatakan mengalami stres kerja. Manifestasi dari stres kerja perawat

antara lain akibat karakterisasi pasien, pengkajian terhadap pasien, dan aspek

lingkungan kerja yang mengganggu merupakan langkah awal dalam menangani

masalah-masalah yang datang mengenai tingkat kepadatan ruangan emergency,

efisiensi pelaksanaan tugas, serta adanya tuntutan untuk menyelamatkan pasien

(Levin et al, 2004).

Penyebab stres yang terjadi pada petugas kesehatan meliputi kerja shift, jam

konflik peran, dan terpaparnya petugas kesehatan terhadap infeksi dan substansi

kesehatan terhadap infeksi dan substansi bahaya lainnya yang ada di rumah sakit.

Beberapa penelitian tentang stres kerja terhadap perawat juga telah dilakukan

berhubungan dengan beban kerja berlebih (Work overload), tuntutan waktu

pengerjaan tugas yang cepat, tidak adanya dukungan sosial dalam bekerja

(khususnya dari supervisor, kepala perawat dan managerial keperawatan yang

lebih tinggi), terpapar penyakit infeksi, tertusuk jarum, dan berhubungan dengan

3
pasien sulit atau kondisi sulit pasien yang serius (NIOSH, 2008 dalam

Mutmainah, 2012)

Perawat yang rentan mengalami stres pada pekerjaan yaitu perawat yang

bekerja di Unit Gawat Darurat (UGD) atau Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena

merupakan bagian dari rumah sakit yang menjadi tujuan pertama kali pasien yang

mengalami keadaan darurat agar segera mendapatkan pertolongan pertama. Bukan

hanya melakukan pertolongan pertama, perawat bagian IGD juga melakukan

proses pencatatan kasus dan tindakan yang dilakukan di IGD serta proses

pemindahan pasien dari IGD ke rawat inap jika memang pasien membutuhkan

perawatan intensif dan diharuskan melakukan rawat inap. Tanggung jawab

perawat tersebut juga sangat besar sehingga mengharuskan perawat yang bertugas

di IGD selalu ada setiap saat karena pasien atau orang yang membutuhkan

pelayanan di IGD dapat datang setiap waktu.

Kemampuan maksimum stres mencapai titik puncak yang kira-kira sesuai

dengan kemampuan maksimum kinerja perawat maka pada titik ini stres yang

dialami perawat terlalu besar, maka kinerja akan mulai menurun, karena stres

tersebut mengganggu pelaksanaan kerja perawat dan akan kehilangan kemampuan

untuk mengendalikannya atau menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan,

akibatnya kinerja akan menjadi nol, perawat mengalami gangguan, menjadi sakit,

dan tidak kuat lagi untuk bekerja, menjadi putus asa, keluar dan menolak bekerja

(Munandar, 2008 dalam Haryanti, dkk 2013).

4
Fenomena stres kerja sudah menjadi masalah didunia. Hal ini bisa di lihat dari

kejadian stres di Inggris terhitung ada 285.000 kasus, di Wales 11.000 sampai

26.000 kasus (Health & Safty Exercutive, 2013). Dari empat puluh kasus stres

kerja, stres kerja pada perawat berada diurutan paling atas dan perawat juga dapat

berpeluang mengalami minor psyciatric disorder dan depresi (American national

association for occupational Health, 2009)

Hasil penelitian Labour Force Survey pada tahun 2014 menemukan adanya

440.000 kasus stres akibat kerja di Inggris dengan angka kejadian sebanyak 1.380

kasus per 100.000 pekerja yang mengalami stres akibat kerja. Stres kerja pada

perawat terjadi di Indonesia. Sebesar 51,5% perawat di Rumah Sakit Internasional

MH. Thamrin Jakarta, 54% perawat di Rumah Sakit PELNI “Pertamburan”, serta

51,2% perawat di Intersive Care Unit (ICU) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD)

Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi mengami stres kerja dengan penybab yang

beragam (Lelyana, 2004; Utomo, 2004; Yuniarti; 2007).

Penelitian yang di lakukan oleh PPNI sekitar 50,9% perawat yang bekerja di

empat provinsi mengalami stres kerja, sering pusing, tidak bisa istirahat karena

beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah tanpa di ikuti

intensif yang memadai, tetapi keadaan yang paling mempengaruhi stres perawat

adalah kehidupan kerja (PPNI, 2008 dalam Desima, 2013).

Sektor kesehatan merupakan salah satu sektor dengan prevalensi stress kerja

paling tinggi (ILO, 2016). Menurut Perwitasari et al (2016), bahwa seluruh tenaga

professional dirumah sakit memiliki risiko stress, namun perawat memiliki tingkat

5
stress yang lebih tinggi. Angka prevalensi stress kerja perawat di Vietnam sebesar

18,5% (Tran et al. 2017), sementara di Hongkong mencapai 41,1% (Cheung and

Yip, (2015). PPNI pada tahun 2006 menyebutkan, bahwa 50,9% perawat

Indonesia pernah mengalami stress kerja (Herqutanto et al, 2017). Menurut

American National Association for Occupational Health, bahwa stress kerja

perawat menempati ranking empat puluh kasus teratas stress pada pekerja (Fuada

et al, 2017).

Permasalahan beban kerja perawat dapat dilihat dari banyaknya kegiatan

perawat yang harus berkolaborasi dengan profesi lain, seperti pengiriman resep

dan pengambilan obat, pengiriman pasien ke radiologi dan laboratorium,

mengambil diet makanan pasien dan masih banyak lagi (Kurniadi, 2013).

Permasalahan ini bisa terjadi salah satunya karena kurangnya tenaga keperawatan

yang dapat membuat beban kerja perawat bertambah (Tjandra YP 2017 dalam

Megarista Aisyana, dkk 2016). Menurut Suyanto (2008), faktor lain yang

mempengaruhi beban kerja salah satunya adalah stres kerja.

Perawat dalam melayani klien dituntut untuk memberikan waktu dan tenaga

dalam memenuhi setiap kebutuhan dasar klien. Dengan adanya tanggung jawab

akan berdampak dan mempengaruhi pada beban kerja perawat. Beban kerja

perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang

perawat selama bertugas oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit

pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2004 dalam Mastini 2013).

Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi beban kerja perawat adalah kondisi

pasien yang selalu berubah, jumlah rata-rata jam perawatan yang dibutuhkan

6
untuk memberikan pelayanan langsung pada pasien, serta banyaknya tugas

tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang perawat (Kusmiati 2003, dalam

Gian 2010).

Menurut munandar (2008), stres kerja sangat berkaitan dengan beban kerja

karena dengan meningkatkatnya emosi perawat yang tidak sesuai dengan

keinginan pasien.

Ilyas (2004) mengatakan beban kerja perawat yang tinggi dapat menyebabkan

keletihan, kelahan. Lebih lajut Ilyas menyebutkan keletihan, kelelahan perawat

terjadi bila perawat bekerja lebih dari 80% dari waktu kerja mereka. Dengan kata

lain waktu produktifitas perawat adalah kurang lebih 80%, jika lebih maka beban

kerja perawat dikatakan tinggi atau tidak sesuai dan perlu dipertimbangkan untuk

menambah jumlah tenaga perawat di ruang perawatan tersebut.

Beban kerja penting untuk mengidentifikasi penyabab stres di rumah sakit,

dan setiap perawat pasti mempunyai cara yang berbeda dalam menahan ataupun

mengatasi stres tergantung lama dan frekuensi stres yang di alami oleh perawat

(Lilis Dian Prihatini, 2008). Dari berbagai uraian diatas maka sangatlah

diperlukan suatu tindakan untuk mengurangi masalah tersebut yaitu dengan cara

menumbuhkan kemampuan dalam mengatasi tekanan, beradaptasi dengan

lingkungan dan beban kerja yang dapat menyebabkan stres (Haryanti, 2013).

Hasil penelitian Fansiska Dewi tahun 2013 terdapat hubungan yang signifikan

antar beban kerja perawat terhadap stres kerja perawat. Beban kerja perawat

dirumah sakit meliputi beban kerja fisik meliputi mengangkat pasien,

7
memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, dan sebagainya.

Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift

atau bergiliran pagi, siang, malam, kompleksitas pekerjaan, mempersiapkan

mental dan rohani pasien dan keluarga terutama bagi yang akan memerlukan

operasi atau dalam keadaan kritis.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor merupakan rumah sakit

milik Pemerinta Kota Bogor, yang terletak di Kelurahan Menteng Kecamatan

Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya RSUD merupakan

rumah sakit swasta yaitu Rumah Sakit Karya Bhakti dibawah pengelolan yayasan

Karya Bhakti bekerjasama dengan pemerinta Kota Bogor memanfaatkan asetmilik

pemerintah Kota Bogor selama 30 (tiga puluh) tahun menjadi Rumah Sakit yang

tertuang dalam suatu perjanjian nomor 22/SPB/VIII/1984 dan Nomor

Kep.3/YKB/Kes/8/84 tanggal 6 Agustus 1984 sampai dengan 6 Agustus 2014.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah

dalam enelitian ini adalah “Hubungan Beban Kerja dengan Tingkat Stress pada

Perawat di Ruang IGD RSUD Kota Bogor”

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk di ketahuinya Hubungan Beban Kerja dengan Tingkat Stress pada

Perawat di Ruang IGD RSUD Kota Bogor

2. Tujuan Khusus

8
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat stress kerja perawat di

Ruang IGD RSUD Kota Bogor.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi beban kerja perawat di Ruang IGD

RSUD Kota Bogor.

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi beban kerja dengan tingkat stress

perawat Di Ruang IGD RSUD Kota Bogor

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan peningkatan informasi dan

keilmuan serta menambah referensi mengenai penelitian terkait dan juga

sebagai bahan pembanding yang akan dilakukan setelahnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan yang

bermanfaat bagi tempat pelayanan kesehatan guna meningkatkan

pelayanan keperawatan.

b. Bagi Perawat

Diharapkan dengan penelitian ini dapat menambah wawasan bagi perawat

dalam menjalankan tugas di Ruang Rawat Inap

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

9
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal dan

masukan pengembangan penelitian selanjutnya.

D. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Materi

Materi dalam penelitian ini adalah “Hubungan Beban Kerja dengan Tingkat

Stress pada Perawat di Ruang IGD RSUD Kota Bogor”

2. Ruang Lingkup Responden

Subyek penelitian yang diteliti adalah semua perawat di Ruang IGD RSUD

Kota Bogor

3. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di Ruang IGD RSUD Kota Bogor

4. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2020

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No Nama Peneliti Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian

Penelitian

1. Murni Kurnia Pengaruh Jenis penelitian Berdasarkan hasil

Kasmarani Beban Kerja ini adalah penelitian,

(2012) Fisik dan penelitian karakteristik

Mental explanatory responden di

Terhadap research dengan ketahui memiliki

Stres Kerja desain cross umur 25-29 tahun

10
Pada Perawat sectional dengan sebesar 46,2%,

di Instalasi menggunakan uji masa kerja <6

Gawat korelasi Rank tahun 73,1%,

Darurat Spearman dan pendidikan D3

(IGD) RSUD Pearson Product 96,2%, jenis

Cianjur Moment serta kelamin laki-laki

regresi linier 73,1. Perawat

sederhana. dengan beban

Sampel ini di kerja ringan

ambil secara 96,2%, beban

purposive kerja mental

sampling dengan tinggi 70,1% dan

23 responden. tidak mengalami

stres kerja 70,1%.

2. Patriot Cahyo Hubungan Penelitian ini Penelitian ini

Pambudi Beban Kerja menggunakan menghasilkan

(2018) Dengan metode analitik temuan bahwa

Tingkat Stres korelasi dengan sebagian besar

Perawat Di pendekatan cross perawat di ruang

Ruang sectional. Sampel Intensive Care

Intensive dalam penelitian Unit (ICU) RSUD

Care Unit ini adalah 30 dr. Soedirman

(ICU) RSUD orang perawat Kebumen dengan

11
dr. yang diambil beban kerja

Soedirman secara kategori berat.

Kebumen consecutive Sebagian besar

sampling. Data di perawat di ruang

analisa Intensive Care

menggunakan Unit (ICU) RSUD

analisa deskriptif dr. Soedirman

dan korelatif Kebumen dengan

menggunakan uji tingkat stres

korelasi kendal kategori ringan.

tau.

3. Shieva Nur Hubungan Desain penelitian Hasil penelitian

Azizah Ahmad Beban Kerja ini Deskriptif menunjukan

(2019) dengan Korelasi dengan beban kerja berat

Tingkat Stres menggunakan dengan tingkat

Kerja pendekatan Cross stres kerja berat

Perawat di Sectional. Sampel sebanyak 15

Instalasi pada penelitian responden

Gawat ini sebanyak 40 (88.2%). Hasil uji

Darurat RSU responden Chi Square

Kabupaten perawat IGD menunjukan p-

Tangerang menggunakan value 0.002 (ɑ <

metode Non 0.05) sehingga

12
Probability Ho di tolak dan

Sampling denan Ha di terima yang

teknik Purposive artinya terdapat

Sampling sesuai hubungan antara

dengan kriteria beban kerja

inklusi dan dengan tingkat

eksklusi. stres kerja

Intrumen dalam perawat di

penelitian ini Instalasi Gawat

menggunakan Darurat RSU

kuesioner pada Kabupaten

beban kerja dan Tangerang.

tingkat stres kerja.

4. Haryanti Hubungan Metode penelitian Hasil penelitian di

(2013) Antara Beban yang di gunakan dapatkan beban

Kerja Dengan adalah Deskriptif kerja perawat

Stres Kerja Korelasi. Populasi sebagian besar

Perawat Di pada penelitian adalah tinggi

Instalasi ini adalah perawat yaitu sebanyak 27

Gawat di IGD RSUD responden

Darurat Kabupaten (93,1%). Stres

RSUD Semarang. kerja perawat

Kabupaten Sampel di sebagian besar

13
Semarang gunakan tehnik adalah sedang

total populasi sebanyak 24

sebanyak 29 responden

responden. Alat (82,8%). Terdapat

ukur hubungan antara

menggunakan beban kerja

daily log study dengan stres kerja

untuk beban kerja perawatdi RSUD

dan alat ukur stres Kabupaten

kerja. Analisis Semarang, p

data di lakukan value 0,000 (ɑ:

dengan uji 0,05)

Kendall Tau

1.2 Perbedaan dan Persamaan Pada Penelitian

1) Pada penelitian yang dilakukan oleh Murni Kurnia Kasmarani dengan

judul Pengaruh Beban Kerja Fisik dan Mental Terhadap Stres Kerja Pada

Perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Cianjur

a) Persamaannya adalah terletak pada judul

b) Perbedaannya adalah pada tempat penelitian, waktu penelitian, dan

total responden penelitian

14
2) Pada penelitian yang dilakukan oleh Patriot Cahyo Pambudi dengan judul

Hubungan Beban Kerja Dengan Tingkat Stres Perawat di Ruang Intensive

Care Unit (ICU) RSUD dr. Soedirman Kebumen

a) Persamaannya adalah terletak pada judul

b) Perbedaannya adalah pada tempat penelitian, waktu penelitian, dan

total responden penelitian

3) Pada penelitian yang dilakukan oleh Shieva Nur Azizah Ahmad dengan

judul Hubungan Beban Kerja dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di

Instalasi Gawat Darurat RSU Kabupaten Tangerang

a) Persamaannya adalah terletak pada judul

b) Perbedaannya adalah pada tempat penelitian, waktu penelitian, dan

total responden penelitian

4) Pada penelitian yang dilakukan oleh Haryanti dengan judul Hubungan

Antara Beban Kerja dengan Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat

Darurat RSUD Kabupaten Semarang

a) Persamaannya adalah terletak pada judul

b) Perbedannya adalah pada tempat penelitian, waktu penelitian, dan

total responden penelitian

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BEBAN KERJA

1. Definisi Beban Kerja

Beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing

pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja meliputi beban kerja fisik

maupun mental. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan baik

didalam maupun diluar negeri sesuai dengan peraturan Undang-Undang.

Perawat juga dapat diartikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan dan

kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang

dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.

Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang

dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas disuatu unit pelayanan

keperawatan. Beban kerja (workload) diartikan sebagai patient days yang

merujuk pada sejumlah prosedur dan pemeriksaan saat dokter berkunjung ke

pasien. Beban kerja juga dapat diartikan jumlah total waktu keperawatan baik

secara langsung atau tidak langsung dalam memberikan pelayanan

keperawatan yang diperlukan oleh pasien dan jumlah perawat yang diperlukan

untuk memberikan pelayanan tersebut.

16
Beban kerja bisa bersifat kuantitatif bila yang dihitung berdasarkan

banyak dan jumlah tindakan keperawatan yang diberikan untuk memenuhi

kebutuhan pasien. Beban kerja bersifat kualitatif bila pekerjaan keperawatan

menjadi tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bila beban

kerja perawat yang berat dikhawatirkan pula dapat menurunkan ketepatan dan

kecepatan perawat dalam memberikan perawatan kepada pasien.

Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban tersebut

tergantung bagaimana orang tersebut bekerja sehingga disebut beban kerja.

Jadi, definisi beban kerja perawat adalah kemampuan tubuh perawat dalam

menjalani tugas serta menjalin kontak langsung dengan pasien yang tingkat

keparahanya tidak dapat diprediksi setiap harinya. Beban dapat berupa fisik

dan mental. Beban fisik seperti jenis pekerjaan yang dilakukan sedangkan

beban mental dapat berupa tingkat keahlian atau prestasi antar individu.

Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik

Maupun keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stres

yang kemungkinan akan menimbulkan emosi perawat yang tidak sesuai

terhadap harapakan pasien serta menurunkan kecepatan dalam memberikan

pertolongan yang memadai kepada penderita gawat darurat.

2. Klasifikasi Beban Kerja

a. Beban berlebih kuantitatif

Beban berebih secara fisik ataupun mental akibat terlalu banyak

melakukan kegiatan merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan.

Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif adalah desakan

17
waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin

secara tepat dan cermat.

b. Beban terlalu sedikit kuantitatif

Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi

kesejahteraan psikologis seseorang, pada pekerjaan yang sederhana,

dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan.

c. Beban berlebih kualitatif

Kemajuan teknologi mengakibatkan sebagian pekerjaan yang

selama ini dikerjakan secara manual oleh manusia/tenaga kerja diambil

alih oleh mesin-mesin atau robot, sehingga pekerjaan manusia beralih titik

beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan semkin menjadi majemuk

sehingga mengakibatkan adanya beban berlebih kualitatif.

d. Beban terlalu sedikit kualitatif

Merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang

untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk

mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu

sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat

dan motivasi yang rendah untuk bekerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa

ia “tidak maju-maju”, dan merasa tidak bisa memperlihatkan bakat dan

keterampilannya.

3. Aspek Beban Kerja

18
1) Aspek Fisik

Analisa beban kerja dapat dilihat dari aspek seperti tugas-tugas yang

dijaankan berdasarkan fungsi tugasnya. Beban kerja fisik yang dilakukan

oleh perawat bukan hanya terdiri dari tindakan keperawatan langsung

seperti mengangkat, memindahkan, tetapi juga tindakan keperawatan tak

langsung seperti mengambil dan mengirim alat-alat medis kebagian lain,

selain itu banyaknya jumlah psien tidak sesuai dengan jumlah perawat.

2) Aspek Psikologis

Aspek psikologis lebih menekankan pada hubungan intrapersonal antara

perawat dengan kepala ruang, perawat dengan perawat lainnya. Perawat

henadaknya memahami kepribadian pasien, kepribadian keluarga pasien

dan teman sejawat sehingga tidak menjadi beban dalam menjajakan

tugasnya. Adanya kerja sama antara perawat dengan perawat, dan perawat

dengan kepala ruang serta kerja sama antara perawat dengan psien yang

dirawatnya. Akibat beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik

yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang perawat menderita

gangguan atau penyakit akibat kerja.

3) Aspek Waktu

Aspek waktu (waktu kerja) lebih mempertimbangkan pada aspek

penggunaan waktu untuk bekerja. Waktu kerja berkaitan dengan waktu

yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan jam kerja

yang berlangsung setiap hari. Waktu kerja dalam observasi adalah jumlah

jam kerja produktif yang digunakan oleh perawat untuk mengerjakan tugas

19
utamanya sesuai dengn uraian tugas perawat, maupun tugas-tugas

tambahan yang dikerjakannya yang tidak tercantum dalam uraian tugas

perawat. Menurut Depkes RI waktu kerja normal perhari adalah 8 jam (5

hari kerja) dengan waktu efektif tiap perawat adalah 6,4 jam perhari.

4. Sumber – Sumber Beban Kerja

Menurut carayon (Dalam Prawitasari, 2009) model sistem kerja yang dapat

digunakan dalam menjelaskan sumber-sumber beban kerja dan keterikatan

dalam beban kerja. Adapun sistem kerja tersebut terdiri dari 5 elemen antara lain

a) Individu perawat

b) Variasi tugas yang harus dilaksanakan

c) Penggunaan alat-alat dan teknologi yang bervariasi

d) Lingkungan fisik (ruangan psien dan ruang perawat)

e) Kondisi khusus organisasi (jadwal dinas, manajemen keperawatan, kerja

tim, komunikasi dengan dokter dari tenaga kesehatan lainnya.)

Kerja fisik biasanya akan berhubungan dengan tugas-tugas dan

karakteristik fisik dari tugas. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor

organisasi dan aspek lingkungan kerja lainnya dapat memperngaruhi beba

kerja.

5. Faktor- faktor Beban Kerja

Beban kerja perawat tiap waktu akan berubah. Perubahan ini dapat

disebabkan oleh faktor intern (jumlah pasien dalam ruang rawat) atau faktor

eksternal (diluar Rumah Sakit)

20
a) Faktor Eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti :

1) Tugas-tugas yang bersifat fisik, seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat

kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, dan tugas-tugas

yang bersifat psikologis, seperti komplesitas pekerjaan, tingkat

kesulitan, tanggung jawab pekerjaan.

2) Organisasi kerja, seperti lainnya waktu bekerja, waktu istirahat, shift

kerja, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi,

pelimpahan tugas dan wewenang.

3) Lingkungan kerja adalah lingkungannya yang dapat menambah beban

tambahan kepada perawat yaitu :

a. Lingkungan kerja fisik seprti : Mikroklimat (suhu udara, kelembapan

udara, kecepatan aliran udara, intensitas penerangan, dan intensitas

kebisingan)

b. Lingkungan kerja kimiawi seperti : debu, gas – gas pencemaran

udara)

c. Lingkungan kerja biologis seperti : bakteri, virus dan parasit, (jamur).

d. Lingkungan kerja psikologis seperti : Pemilihan dan penempatan

perawat, hubungan antara perawat dengan perawat, perawat dengan

atasan, perawat dengan keluarga pasien dan lingkungan sosial yang

berdampak kepada beban kerja perawat.

b) Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri

akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Faktor internal meliputi faktor

21
somatis (jenis kelamin, usia, ukuran tubuh, status gizi, dan kondisi

kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan

dan kepuasan).

6. Penilaian Beban Kerja

Beban kerja adalah frekuensi kegiatan dari masing-masing pekerjaan

dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja meliputi :

a. Aspek fisik, yaitu tugas-tugas yang dijalankan berdasarkan fungsi utamanya

seperti jumlah pasien yang harus dirawat dobandingkan dengan jumlah

perawat dan tugas-tugas tambahan

b. Aspek psikologis yang berkaitan dengan hubungan perawat dengan perawat

lain, atasan dan denan pasien

c. Aspek waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugasnya sesuai dengan

jam kerja yang berlangsung setiap hari.

7. Kelebihan Beban Kerja

Semakin berat beban kerja dapat menyebabkan ketidakpuasan bekerja

yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya kinerja dan mutu pelayanan

keperawatan. Adapun beban kerja yang dirasakan perawat yaitu :

a. Harus melakukan observasi ketat jam kerja

b. Terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan

keselamatan pasien

c. Jenis pekerjaan yang beragam yang harus dilakukan

d. Kontak langsung perawat dengan pasien selama 24 jam

e. Kurangnya jumlah perawat dibandingkan jumlah pasien

22
f. Tuntutan keluarga untuk keselamatan pasien

g. Tanggung jawab dalam melaksanakan asuhan keperawatan

h. Menghadapi karakteristik pasien dengan tingkat keparahan yang berbeda.

Salah satu untuk mengurangi beban kerja perawat yang terlalu tinggi

adalah dengan menyediakan tenaga keperawatan yang cukup baik kuantitats

maupun kualitasnya sesuai dengan tuntutan kerja. Semakin banyak pasien

yang ditangani perawat maka semakin berat atau besar beban kerja perawat

tersebut. Pelayanan keperawatan yang bermutu dapat dicapai salah satunya

tergantung pada seimbangnya jumlah tenaga perawat dengan beban kerja di

Rumah Sakit.

8. Dampak Beban Kerja

Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik

fisik atau psikis sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana

pekerjaan yang terjadi karena pengulangan gerak akan menimbulkan

kebosanan. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau

pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada

pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja.

Dampak negatif dari kelebihan beban kerja yang tidak sesuai dengan

kemampuan tenaga kerja dapat menimbulkan dampak negatif bagi pegawai.

Dampak negatif tersebut adalah :

a. Kualitas Kerja Menurun

23
Beban kerja yang terlalu berat tidak diimbangi dengan kemampuan tenaga

kerja, kelebihan beban kerja akan mengakibatkan menurunnya kualitas

kerja.

b. Keluhan Pelanggan

Keluhan pelanggan timbul karena hasil kerja yaitu karena pelayanan yang

diterima tidak sesuai dengan harapan seperti harus menunggu lama, hasil

layanan yang tidak memuaskan.

c. Kenaikan Tingkat Absensi

Beban kerja yang terlalu banyak bisa juga mengakibatkan pegawai terlalu

lelah atau sakit. Hal ini akan berakibat buruk bagi kelancaran kerja

organisasi karena tingkat absensi terlalu tinggi, sehingga dapat

mempengaruhi terhadap kinerja secara keseluruhan.

B. TINGKAT STRESS

1. DEFINISI STRES

Kata stress didengar baik dikalangan ilmuwan maupun dimasyarakat

umum, namun artinya berbeda-beda. Stres mungkin diartikan sebagai

kejadian yang tidak menyenangkan yang atau mungkin dianggap penyakit.

Dalam masyarakat umum, stres diartikan bingung, takut, susah. Dunia tanpa

stresor tidak mungkin, seperti jugadunia tanpa kuman juga tidak mungkin.

Masalahnya bukan menghindari stres, tetapi begaimana mengadapi stres.

Stres merupakan pengalaman subyektif yang didasarkan pada persepsi

seseorang terhadap situasi yang dihadapinya. Stres berkaitan dengan

kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan.

24
Kondisi ini mengakibatkan perasaan cemas, marah, dan frustasi. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada 2 pengertian stress :

1) Gangguan kekacauan mental dan emosional

2) Tekanan

Secara teknik psikologik, stres didefinisikan sebagai suatu respons

penyesuaian seseorang terhadap situasi yang dipersepsinya menantang atau

mengancam kesejahteraan orang bersangkutan.

Stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang

menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan.

2. SUMBER STRES

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber,

dalam istilah yang lebih umum disebut stresor. Stresor adalah keadaan atau

situasi, objek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Secara umum,

stresor dapat dibagi menjadi tiga, yaitu stresor fisik, sosial dan psikologis.

1) Stresor Fisik

Bentuk dari stresor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising,

polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimiawi).

2) Stresor Sosial

a. Stresol soaial, ekonomi dan politik, misalnya tingkat inflasi yang

tinggi, tidak ada pekerjaan, pajak yang tinggi, perubahan tekhnologi

yang cepat, kejahatan.

25
b. Keluarga, misalnya peran seks, iri, cemburu, kematian anggota

keluarga, msalah keuangan, perbedaan gaya hidup dengan pasangan

atau anggota keluarga yang lain.

c. Jabatan dan karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang

kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.

d. Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosal

yang terlalu tinggu, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang

buruk.

3) Stresor Psikologis

a. Frustasi

Frustasi adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada

hambatan.

b. Ketidakpastian

Apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan merasa tidak

pasti mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau merasa tidak

pasti menganai masa depan atau pekerjaannya. Atau merasa selalu

bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan inferior.

3. GEJALA STRES

Gejala terjadinya stres secara umum terdiri dari 2 (dua) gejala :

a. Gejala Fisik

Beberapa bentuk gangguan fisik yang sering muncul pada stres adalah

nyeri dada, diare selama beberapa hari, sakit kepala, mual, jantung

berdebar, lelah, sukar tidur, dan lain-lain.

26
b. Gejala Psikis

Sementara bentuk gangguan psikis yang sering terlihat adalah cepat

marah, ingatan melemah, tak mampu berkonsentrasi, tidak mampu

menyelesaikan tugas, perilaku impulsive, reaksi berlebihan terhadap hal

sepele, daya kemampuan berkurang, tidak mampu santai pada saat yang

tepat, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain, dan emosi tidak

terkendali.

4. TAHAPAN STRES

Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena

perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan, baru dirasakan

bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya

sehari-hari baik dirumah, ditempat kerja ataupun di lingkungan sosialnya.

Dalam penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut :

1) Stres tahap 1

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya

disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut :

a. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting)

b. Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasa

c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun

tanpa disadari cadangan energi dihabiskan (all uot) diserti rasa gugup

yang berlebihan pula.

d. Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah

semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.

27
2) Stres Tahap II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”

sebagaimana diuraikan pada tahap I diatas mulai menghilang, dan timbul

keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup

waktu untuk istirahat. Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup

bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang

mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh

seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut :

a. Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar

b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang

c. Lekas merasa capai menjelang sore hari

d. Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman

e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar)

f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang

g. Tidak bisa santai

3) Stres Tahap III

Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa

menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres tahap II

tersebut diatas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-

keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu :

a. Gangguan lambung dan usus semakin nyata ; misalnya keluhan “maag”

(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare)

b. Ketegangan otot-otot semakin terasa

28
c. Perasaan ketidaktenagngan dan ketegangan emosiaonal semakin

meningkat

d. Gangguan pola tidur (insomnia)

e. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau

pingsan).

4) Stres Tahap IV

Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter

sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III diatas, oleh dokter

dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada

organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus

memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres

tahap IV akan muncul :

a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit

b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan

menjadi membosankan dan terasa lebih sulit

c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan

d. Kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)

e. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan

f. Daya konsentrasi dan saya ingat menurun

g. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan

apa penyebabnya.

5) Stres Tahap V

29
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V

yang ditandai dengan hal-hal berikut :

a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam

b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan

dan sederhana

c. Ganggguan sistem pencernaan semakin berat

d. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat,

mudah bingung dan panik.

6) Stres Tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan

panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang

mengalami stres tahap VI ini berulang kali dibawa ke Unit Gawat Darurat

bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak

ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah

sebagai berikut :

a. Debaran jantung teramat keras

b. Susah bernafas (sesak dan megap-megap)

c. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran

d. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan

e. Pingsan atau kolaps

5. TINGKAT DAN BENTUK STRES

Sress sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Mungkin tidak ada

manusia biasa yang belum pernah merasakan stress. Stress kini menjadi

30
manusiawi selama tidak berlarut-larut berkepanjangan. Berdasarkan

gejalanya, stress dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :

1. Stress Ringan

Stress ringan adalah stresor yang dihadapi setiap orang secara

teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari

atasan. Situasi seperti ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam.

Stresor ringan biasanya tidak disertai timbulnya gejala.

Ciri-cirinya yaitu semangat meingkat, penglihatan tajam, energi

meningkat namun cadangan energinya menurun, kemampuan

menyelesaikan pelajaran meningkat, sering merasa letih tanpa sebab,

kadang-kadang terdapat gangguan sistem seperti pencernaan, otot,

perasaan tidak santai. Stress yang ringan berguna karena dapat memacu

seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih tangguh menghadapi

tantangan hidup.

2. Stress Sedang

Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari.

Situasi perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan, anak yang

sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga merupakan

penyebab stress sedang. Ciri-cirinya yaitu sakit perut, mules, otot-otot

terasa tegang, perasaan tegang, gangguan tidur, badan terasa ringan.

3. Stress Berat

Adalah situasi yang lama dirasakan oleh seseorang dapat

berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, seperti

31
perselisihan perkawinan secara terus menerus, kesulitan financial yang

berlangsung lama karena tidak ada perbaikan, berpisah dengan keluarga,

berpindah tempat tinggal mempunyai penyakit kronis dan termasuk

perubahan fisik, psikologis, sosial pada usia lanjut. Makin sering dan

makin lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang

ditimbulkan. Stres yang berkepanjnagan dapat mempengaruhi

kemampuan untuk menyelesaikan tugas perkembangan.

Ciri-cirinya yaitu sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial, sulit tidur,

negativistik, penurunan konsesntrasi, takut tidak jelas, keletihan

menigkat, tidak mampu melakukan pekerjaan sederhana, gangguan

sistem meningkat, perasaan takut meningkat.

Istilah stres yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-

hari umumnya mengacu pada perasaan atau reaksi negatif terhadap suatu

peristiwa. Sebenrnya stres bukan hanya sesuatu hal yang “buruk” karena

hal yang “baik” pun. Istilah yang dapat membedakan tipe stres, yaitu :

a. Distress merupakan stres yang berbahaya dan merusak keseimbangan

fisik, psikis atau sosial individu.

b. Eustress merupakan stres yang menguntungkan dan konstruktif bagi

kesejahteraan individu. Anthonovsky (dalam Sherridan dan

Radhmacher, 1992) menambahkan bahwa stres juga dapat bersifat

netral yaitu tidak memberikan efek buruk maupun baik. Ini terjadi bila

intensitas atau durasi stresor sangat kecil atau kemampuan adaptasi

individu sangat baik sehingga stresor dapat dikendalikan.

32
Dampak akibat stres, faktor-faktor yang memperngaruhi reaksi

terhadap stresor adalah sebagai berikut :

a. Pengalaman sebelumnya.

Seseorang yang pernah mengalami situasi stressfull pada umumnya

mampu menghadapi dengan baik jika situasi yang menyebabkan stres

muncul lagi.

b. Informasi.

Informasi mengenai suatu peristiwa stressfull dapat memberikan

persiapan kepada seseorang untuk menerima keadaan tersebut sehingga

mengurangi intensitas dari stres

c. Perbedaan Individu

Sebagian orang berusaha untuk melindungi diri meraka dari dampak stres

seperti penyangkalan atau melepaskan diri dari situasi tersebut.

d. Dukungan Sosial

Dampak dari peristiwa stres dipengaruhi sistem sosial. Dukungan dan

empati dari orang lain sangat membantu mengurangi tingkat stres

e. Kontrol

Kepercayaan seseorang unuk mengontrol situasi yang menyebabkan stres

dapat mengendalikan situasi akibat stres.

6. DAMPAK STRES

Dampak stres dibedakan dalam 3 kategori, yakni : dampak fisiologik, dampak

psikologik, dan dampak perilaku, behavioral

1. Dampak Fisiologik

33
Secara umum orang yang mengalami stress mengalami sejumlah gangguan

fisik seperti : mudah masuk angin, mudah pening-pening, kejang otot

(kram), mengalami kegemukan atau menjadi kurus yang tidak dapat

dijelaskan, juga bisa menderita penyakit yang lebih serius seperti

cardiovaskuler, hypertensi, dst.

Secara rinci dapat diklasifikasi sebagai berikut :

a. Gangguan pada organ tubuh hiperaktif dalam salah satu system tertentu

- Muscle myopathy : otot tertentu mengencang/melemah

- tekanan darah naik : kerusakan jantung dan arteri

- sistem pencernaan : mag, diare

b. Gangguan pada sistem reproduksi

- Amenorrhea : tertahannya menstruasi

- Kegagalan ovulasi pada wanita, impoten pada pria, kurang produksi

semen pada pria

- Kehilangan gairah sex

c. Gangguan lainnya, seperti pening (migrane), tegang otot, rasa bosan,

dst.

2. Dampak Psikologik :

a. Keletihan emosi, jenuh, penghayatan ini merupakan tanda pertama dan

punya peran sentral bagi terjadinya burn – out’

b. Kewalahan/keletihan emosi, kita dapat melihat ada kecendrungan yang

bersangkutan.

34
c. Pencapaian pribadi yang bersangkutan menurun, sehingga berakibat

pula menurunnya rasa kompeten & rasa sukses.

3. Dampak Perilaku

a. Manakala stress menjadi distress, prestasi belajar menurun dan sering

terjadi tingkah laku yang tidak yang tidak diterima oleh masyarakat

b. Level stress yang cukup tinggi berdampak negative pada kemampuan

mengingat informasi, mengambil keputusan, mengambil langkah tepat.

c. Stress yang berat seringkali banyak membolos atau tidak aktif mengikuti

kegiatan pembelajaran.

7. FAKTOR-FAKTOR STRES KERJA

A. Faktor Pekerjaan

Faktor pekerjaan merupakan faktor yang meliputi lingkungan dan faktor dari

pekerjaan itu sendiri. Menurut HSE (2014) dan ILO (2016), karakteristik

pekerjaan yang dapat menyebabkan stres terdiri dari beban kerja, variasi beban

kerja, kemampuan yang tidak digunakan, ketaksaan peran, ketidakpastian

pekerjaan, shift kerja, konflik peran, kurangnya kontrol, dan konflik

interpesonal.

Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing faktor tersebut :

A. Beban Kerja.

35
Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan

pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban

kerja berlebih/terlalu sedikit kuntitatif, yang timbul sebagai akibat dari

tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk

diselesaikan dalam waktu tertentu.

Beban kerja berlebih kuantitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk

bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber

tambahan dari stres (Munandar, 2001). Beban kerja yang berlebihan

(overload) akan menjadi sumber munculnya stres kerja pada perawat, baik

pada tingkat yang ringan maupun sedang, hal ini tergantung dari mekanisme

koping yang dimiliki setiap individunya (Lasima, 2014). Berbagai penelitian

menunjukan adanya hubungan antara beban kerja dengan stres kerja,

penelitian tersebut dilakukan oleh Sumarni (2011) dengan nilai probabilitas

sebesar 0,003, Haryanti (2013) dengan P-value sebesar 0,000, Aiska (2014)

yang menghasilkan P-value sebesar 0,002, Suratmi (2015), Abdillah (2011),

serta Pratama (2014) yang sama-sama menghasilkan nilai probabilitas

sebesar 0,000.

B. Variasi Beban Kerja

Variasi beban kerja berkaitan dengan beragam jenis pekerjaan yang

diberikan kepada pekerja dengan tuntutan kemampuan yang berbeda-beda.

Variasi beban kerja dapat menjadi salah satu penyebab stres pada pekerja.

Hal ini terjadi ketika pekerja merasa tidak mampu melaksanakan tugas

tersebut. Karena ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas dapat

36
mempengaruhi penialaian diri seseorang terhadap dirinya. Tuntutan tugas

yang beragam dan tidak sesuai dengan kompetensi serta skill yang dimiliki

karyawan akan berdampak pada stres kerja (Soegiono, 2008). Hasil

penelitian Sumarni (2011) menunjukkan bahwa beban kerja fisik

(kuantitatif) dan mental (kualitatif) berpengaruh terhadap peningkatan beban

kerja perawat di bangsal bedah RSUD dr. R. Goeteng Tarunadibrata

Purbalingga sehingga sebagian besar perawat tergolong memiliki beban

kerja seperti banyaknya dan beragamnya pekerjaan yang harus dilakukan.

C. Kemampuan yang Tidak Digunakan

Kemampuan pekerja yang tidak digunkaan dapat menimbulkan stres bagi

pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja

memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan

tetapi, kemampuan tersebut tidak digunakan karena sudah menggunakan

alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi

pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapaat

menyebabkan ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada

timbilnya stres (Ross & Almaier, 2000)

D. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran adalah kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak-hak

istimewa, dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan

pekerjaan. Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak

memiliki cukup informasi untuk dapat melakukan tugasnya, atau tidak

mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran

37
tertentu (Munandar, 2001). Semakin tidak jelas peranan seseorang maka

semakin rendah pemanfaatan keahlian intelektual, pengetahuan, dan

keahlian kepemimpinan orang tersebut.

Menurut Tantra (2016), faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan

berupa tanggung jawab yang ambigu, prosedur kerja tidak jelas,

pengharapan pemberi tugas yang tidak jelas, dan ketidakpastian tentang

produktifitas kerja. Ketidakjelasan sasaran mengarah pada ketidakpuasan

pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa harga

diri menurun, depresi, motivasi rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan

darah dan denyut nadi, dan kecendrungan untuk meninggalkan pekerjaan.

Hal ini merupakan tanda stres dalam bekerja. Hubungan positif antara

ketaksaan peran dengan stres kerja ditunjukkan oleh penelitian Karimi

(2014), Rosaputri (2012), dan yongkang (2014).

E. Ketidakpastian Pekerjaan

Ketakutan kehilangan pekerjaan dan ancaman bahwa pekerjaannya

dianggap tidak diperlukan lagi merupakan hal-hal biasa yang dapat terjadi

dalam kehidupan kerja. Hal ini terjadi karena adanya reorganisasi untuk

menghadapi perubahan lingkungan seperti penggunaan teknologi baru yang

membutuhkan keterampilan kerja yang baru. Setiap reorganisasi

menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang

potensial (Munandar, 2001). Pengembangan karir merupakan pembangkit

38
stres yang potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan (Siringoringo,

2013).

Ketidakpastian dalam organisasi dapat berupa pekerjaan yang tidak jelas,

adanya peluang kehilangan pekerjaan, ada kemungkinan pekerjaan yang

dilakukan tidak dilakukan lagi, ketidakjelasan jenjang karir, kecilnya

peluang promosi dan kenaikan jabatan, peran yang tidak jelas sehingga

kebebasan dalam pengambilan keputusan tidak didapatkan. Ketidakpastian

dalam organisasi ini akan membuat karyawan bingung dan mengganggu

kinerja karyawan. Hal ini yang paling rentan dan paling sering terjadi adalah

terjadinya stress kerja (Indrawan, 2009). Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Zyl (2013) yang menyatakan bahwa ketidakpastian pekerjaan

berhubungan dengan stres kerja.

F. Shift Kerja

Shift kerja merupakan pola pengaturan jam kerja sebagai pengganti atau

tambahan kerja siang hari sebagaimana yang biasa dilakukan, shift kerja

biasanya dibagi atas kerja pagi, sore dan malam. Shift kerja menjadi salah

satu tuntutan tugas yang memiliki konsekuensi terhadap kesehatan dan

keselamatan pekerja. Karena dapat merubah ritme dan pola istirahat tubuh.

Pekerja harus dilatih untuk menghadapi efek stres yang ditimbulkan akibat

kerja shift dengan merencanakan waktu tidur, kontak sosial, dan kontak

dengan keluarga sehingga efek dari stres dapat diminimalkan (Strank,

2005).

39
Secara umum yang dimaksud dengan shift kerja adalah semua

pengaturan jam kerja, sebagai pengganti atau tambahan kerja siang hari

sebagaimana yang biasa dilakukan (Indah, 2010). Menurut Firmana (2022),

para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan

perut daripada pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap

kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan perut. Hasil

penelitian Marchelia (2014) menunjukkan bahwa aa perbedaan stres kerja

yang signifikan ditinjau dari shift kerja pada karyawan (P-value = 0,000)

G. Konflik Peran

Konflik peran dapat menjadi penekan (stressor) yang penting bagi

sebagian orang. Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami

adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan yan menurut

pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-

tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan-nya, atau orang lain

yang dinilai penting bagi dirinya, serta pertentangan dengan nilai-nilai dan

keyakina pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya (Munandar,

2001). Hasil peelitian pada perawat ruang rawat inap disalah satu rumah

sakit Yogyakarta menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

konflik peran ganda dengan stres kerja pada perawat (P-value = 0,000),

semakin tinggi konflik peran ganda maka semakin tinggi stres kerja yang

dialami perawat (Masitoh, 2011). Pengaruh positif antara konflik peran

dengan stres kerja sejalan dengan penelitian Indrawan (2009) yang memiliki

nilai probabilitas sebesar 0,048. Selain itu, adanya hubungan antara konflik

40
peran dengan stres kerja ditunjukkan oleh beberapa penelitian lain

diantaranya Karimi (2014) dan rosaputri (2012).

H. Kurangnya Kontrol

Kontrol pekerjaan memaikan peran penting dala mengatur kardiovaskular

dan respon afektif selama hari kerja, dan respon ini dapat menyebabkan

peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (Teptoe, 2004). Kontrol kerja

merupakan kombinasi antara tuntutan dlam suatu pekerjaan dengan

kebijaksanaan dalam menggunakan kemampuan yang dimiliki. Kombinasi

antara tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan rendahnya kontrol kerja dapat

menimbulkan tekanan yang tinggi dan menebabkan timbulnya berbagai

masalah kesehatan.

Perawat merupakan salah satu pekerja yang dianggp memiliki risiko

mengalami tekanan yang tinggi (Landy, 2010). Hasil penelitian Berland

(2008) menunjukkan bahwa rendahnya kontrol terhadap tuntutan

dilingkungan kerja berhubungan dengan stres kerja dan dapat memberikan

efek terhadap keselamatan pasien.

I. Konflik Interpersonal

Dalam melaksanakan tugasnya secara profesional perawat harus

berinteraksi dengan pihak-pihak lain seperti halnya dokter untuk

memberikan pelayanan yang baik pada individu, keluarga, kelompok

maupun masyarakat dengan menggunakan komunikasi yang baik

(Rahmawati, 2008). Konflik interpersonal terjadi sebagai hasil gangguan

41
interaksi sosial antara oekerja dengan orang lain seperti rekan kerja, pasien,

keluarga pasien, dan atasan. Gangguan ini terjadi akibat adanya

ketidaksepakatan antar personal terhadap kebutuhan atau keinginan personal

yang seharusnya dipenuhi (Liliweri, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Laelasari (2016) menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki

hubungan interpersonal kurang baik akan cenderung mengalami stres kerja

sebanyak 9,4 kali dibanding pegawai yang memiliki hubungan interpersonal

yang baik (P-value = 0,018). Hubungan interpersonal yang buruk dapat

meningkatkan stres kerja pada perawat instalasi intensif di RSD dr.

Soebandi Jember (Martha, 2016). Selain itu, hasil penelitian Dewi (2016)

menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif konflik interpersonal terhadap

stres kerja pada Kantor Sekretariat Daerah Kota Denpasar. Hal ini

disebabkan karena kurangnya komukasi antara pegawai dalam

melaksanakan tugas yang diberikan dan adanya perbedaan pendapat karena

unsur pemikran dan budaya yang berbeda antara pegawai.

B. FAKTOR DILUAR PEKERJAAN

Faktor diluar pekerjaan merupakan faktor yang berhubungan dengan

lingkungan diluar pekerjaan yang dapat mempengaruhi stres kerja pada

seseorang. Aktivitas diluar pekerjaan merupakan kategori pembangkit stres

potensial mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat

berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja didalam satu

organisasi, dan dengan demikian memberi tekanan pada individu. Isu-isu

tentang keluarga, krisis kehidupan, kesuitan keuangan, keyakinan-keyakinan

42
pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga

dan tuntutan prusahaan, smuanya dapat merupakan tekanan pada individu

dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai

dampak yang negatif pada kehudipan keluarga dan pribai. Namun demikian,

peristiwa kehidupan pribadi/dukungan sosial dapat meringankan akibat dari

pembangkit stres orgasnisasi dan kepuasan kerja dapat membantu individu

untuk menghadapi kehidupan pribadi yang penuh stres (Munandar, 2001).

Hasil penelitian Musangadah (2015) menunjukkan bahwa tuntutan dari kuar

pekerjaan berpengaruh positif terhadap stres kerja. Apabila tuntutan dari

luar mengalami peningkatan maka akan menyebabkan peningkatan pada

stres kerja.

C. PERAWAT

a. Definisi Perawat

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan,

baik didalam maupun diluar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan (UU No 38 tahun 2014 tentang

keperawatan).

Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan

berweang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri atau

berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya.

(Depkes RI, 2002).

43
b. Peran Perawat

Peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam

praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan

diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung

keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional.

Peran perawat menurut Doheny meliputi :

1. Care Giver

Pada peran ini perawat diharapkan mampu :

a. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok

atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah

yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks.

b. Memprhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien, perawat

harus memprhatikan klien berdasarkan kebutuhan significan dari klien.

c. Memberikan pelayanan/asuhan keperawatan, perawat harus memperhatikan

individu sebagai makhluk yang holistik dan unik

Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi

diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik sampai pada masalah

psikologis.

2. Care Advocate (Pembela Klien)

44
Perawat juga berperan sebagai advokat atau pelindung klien, yaitu

membantu untuk mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan

mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi

klien dari efek yang tidak diinginkan yang berasal dari pengobatan atau

tindakan diagnostik tertentu. Peran inilah yang belum tampak dikebanyakan

institusi kesehatan di Indonesia, perawat lain tanpa mempertimbangkan

akibat dari tindakan yang akan dilakukannya apakah aman atau tidak bagi

kesehatan klien.

Manajer kasus juga merupakan salah satu peran yang dapat dilakoni

oleh perawat, disini perawat betugas untuk mengatur jadwal tindakan yang

akan dilakukan terhadap klien oleh berbagai profesi kesehatan yang ada

disuatu rumah sakit untuk meminimalisasi tindakan penyembuhan yang

saling tumpang tindih dan memaksimalkan fungsi terapeutik dari semua

tindakan yang akan dilaksanakan terhadap klien.

Tugas perawat :

a. Bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam

menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan

dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil

persetujuan (inform concern) atas tindakan keperawatan yang diberikan

kepadanya.

b. Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan

karena klien yang sakit dan dirawat dirumah sakit akan berinteraksi

45
dengan banyak petugas kesehatan. Perawat adalah anggota tim

kesehatan yang paling lama kontak dengan klien, sehingga diharapkan

perawat harus mampu membela hak-hak klien.

c. Seseorang pembela klien adalah pembela dari hak-hak klien. Pembelaan

termasuk didalamnya peningkatan apa yang terbaik untuk klien,

memastikan kebutuhan klien terpenuhi dan melindungi hak-hak klien.

Hak-Hak Klien antara lain :

 Hak atas pelayanan yang sebaik-baiknya

 Hak atas informasi tentang penyakitnya

 Hak privacy

 Hak untuk menentukan nasibnya sendiri

 Hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian tindakan

Hak-Hak Tenaga Kesehatan antara lain :

 Hak atas informasi yang benar

 Hak untuk bekerja sesuai standart

 Hak untuk mengakhiri hubungan dengan klien

 Hak untuk menolak tindakan yang kurang cocok

 Hak atas rahasia pribasi

 Hak atas balas jasa

3. Conselor

46
Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan

mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun

hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan

seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelekstual.

Peran Perawat :

a. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat

sakitnya.

b. Perubahan pola interaksi merupakan “Dasar” dalam merencanakan

metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya.

c. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu atau

keluarga dalam mengintegrasi pengalaman kesehatan dengan

pengalaman yang lalu.

d. Pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan.

4. Educator

Sebagai pendidik klien, perawat membantu klien meningkatkan

kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan

keperawatan dan tindakan medic yang diterima sehingga klien/keluarga

dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahui. Sebagai

pendidik, perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada

kelompok keluarga yang berisiko tingig, kader kesehatan dan lain

sebagainya.

47
5. Collaborator

Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim

kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan

berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan

termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan

selanjutnya.

6. Coordinator

Sebagai pembaru, perawat mengadakan baik materi maupun kemampuan

klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan

maupun tumpang tindih.

Dalam menjalankan peran sebagai coordinator perawat dapat melakukan

hal-hal berikut :

a. Mengkoordinasi seluruh pelayanan keperawatan

b. Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas

c. Mengembangkan system pelayanan keperawatan

d. Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan

keperawatan pada sarana kesehatan.

7. Change Agent

Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir,

bersikap, bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan klien/keluarga

48
agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama,

perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan klien dan cara

memberikan perawatan kepada klien.

8. Consultant

Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien

terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan

peran ini dapat dikatakan, perawat adalah sumber informasi yang berkaitan

dengan kondisi spesifik klien.

Peran perawat :

1. Pelaksana pelayanan keperawatan

Peran ini dikenal dengan peran perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada klien sebagai

individu, kelurga dan masyarakat dengan metoda pendekatan

pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan.

2. Pengelola pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan

Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam

mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan

manajemen keperawatan dalam rangka paradigma keperawatan.

Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan menjamin

49
kualitas asuhan keperawatan atau pelayanan keperawatan serta

mengorganisasikan dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan.

Secara umum, pengetahuan perawat tentang fungsi, posisi, lingkup

kewenangan dan tanggung jawab sebagai pelaksana belum maksimal.

3. Pendidik dlam keperawatan

Sebagai pendidik, perawat berperan dalam mendidik indiviu, keluarga,

kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada dibawah

tanggung jawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada pasien,

maupun bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan.

4. Peneliti dan pengembang keperawatan

Sebagai peneliti dan pengembangan dibidang keperawatan, perawat

diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan

prinsip dan metode peneltian, serta memanfaatkan hasil penelitian

untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan

keperawatan. Penelitian didalam bidang keperawatan berperan dalam

mengurangi kesenjangan penguasaan teknologi dibidang kesehatan,

karena temuan penelitian lebih mmungkinkan terjadinya transformasi

ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam

memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi keperawatan.

c. Fungsi Perawat

Ruang lingkup dan fungsi keperawatan semakin berkembang dengan

focus manusia sebagai sentral pelayanan keperawatan. Bentuk asuhan yang

50
menyeluruh dan utuh, dilandasi keyakinan tentang manusia sebagai makhluk

bio-psiko-sosio-spiritual yang unik dan utuh.

Pengertian fungsi keperawatan independen, dependen dan

interdpenden kerap dipergunakan untuk menggambarkan suatu tindakan

keperawatan atau strategi keperawatan yang diperankan oleh perawat :

1. Fungsi Independent

Merupaan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain,

dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri

dengan kputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka

memenuhi kebutuhan dsar manusia seperti pemenuhan kebutuhan

fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan

dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuuhan

aktifitas dan lan-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan,

pemenuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan

aktualisasi diri.

Dalam hal ini perawat menentukan bahwa klien membutuhkan

intervensi keperawatan yang pasti, salah satunya adalah membantu

memecahkan masalah yang dihadapi atau mendelegasikan pada anggota

keperawatan yang lain dan bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan

(akuntabilitas). Contoh dari tindakan keperawatan mandiri adalah

seseorang perawat merencanakan dan mempersiapkan perwatan pada

mulut klien setelah mengkaji keadaan mulut pasien.

51
2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatan atas

pesan atau instruksi dari perawat lain atau dokter. Sehingga sebagian

tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini bisasanya dilakukan oleh

perawat spesialis kepada perawat umum atau dari perawat primer ke

perawat pelaksana atau dari dokter ke perawat pelaksana. Contoh dari

tindakan fungsi ketergantungan adalah memberikan injeksi antibiotik.

3. Fungsi Interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling

ketergantungan diantara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat

terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam

pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada

penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat

diatasi dengan tim peawat saja melainkan juga dari dokter ataupun yang

lainnya.

d. Perbedaan Perawat diRuang Khusus dan Umum

Jika dilihat dari segi pengertian dan tugas pelaksananya ada perbedaan

antara perawat yang jaga diruangan khusus dan umum, yaitu sebagai berikut ini

52
1. Perawat di Ruang Khusus, yaitu seorang tenaga kesehatan yang memiliki

kemampuan dan keterampilan khusus dalam menangani pasien yang

memerlukan penanganan khusus ataupun darurat, seperti perawat diruangan

hemodialisa, ICU, IGD, dan HCU.

2. Perawat di Ruang Umum, yaitu seorang tenaga kesehatan yang memiliki

kemampuan dan keterampilan secara umum atau belum memiliki

keterampilan secara khusus dengan tujuan memulihkan seprti keadaan

semula, perawat tersebut berada diruangan rawat inap.

e. Tinjauan Mengenai Instalasi Gawat Darurat

A. Pegertian Instalasi Gawat Darurat

Pengertian Intalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit adalah salah satu

bagian dari rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien

yang menderita sakit dan cidera, yang dapat mengancam kelangsungan

hidupnya. Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan mengenai

Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit yang tertuang dalam

Kepmenkes RI No.856/Menkes/SK/IX/2009 untuk mengatur standarisasi

pelayanan gawat darurat di Rumah Sakit. Guna meningkatkan kualitas IGD

di Indonesia perlu komitmen Pemerintah Daerah untuk membantu

Pemerinta Pusat dengan ikut memberikan sosialisasi kepada masyarakat

bahwa dalam penanganan kegawatdaruratan dan life saving tidak ditarik

uang muka dan penanganan gawat darurat dilakukan 5 (menit) setelah

pasien sampai IGD.

53
Ilyas (2002) juga menyatakan bahwa Kualitas pelayanan keperawatan

tidak terlepas dari peran klasifikasi pasien diruang rawat inap, karena

dengan klasifikasi tersebut pasien merasa lebih dihargai sesuai haknya dan

dapat diketahui bagaimana kondisi dan beban kerja perawat di masing-

masing ruang rawatan. Kondisi dan beban kerja di instalasi gawat darurat

(IGD) perlu diketahui agar dapat ditentukan kebutuhan kuantitas dan

kualitas tenaga perawat yang diperlukan dalam ruangan IGD sehingga tidak

terjadi beban kerja yang tidak sesuai yang akhirnya menyebabkan stres

kerja. Kondisi kerja berupa situasi kerja yang mencakup fasilitas, peraturan

yang ditetapkan, hubungan sosial kerjasama antar petugas yang dapat

mengakibatkan ketidaknyamanan bagi pekerja. Demikian juga dengan

beban kerja baik secara kuantitas dimana tugas-tugas yang harus dikerjakan

terlalu banyak/sedikit maupun secara kualitas dimana tugas yang harus

dikerjakan membutuhkan keahlian. Bila banyaknya tugas tidak sebanding

dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia

maka akan menjadi sumber stres.

B. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat

Prinsip umum pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Rumah Sakit

adalah : Kepmenkes RI Nomor 856 Tahun 2009, sebagai berikut :

1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang

memiliki kemampuan : melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus

gawat darurat dan melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving)

54
2. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus memberikan

pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.

3. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani

kasus gawat darurat.

4. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah

sampai di IGD

5. Organisasi IGD didasarkan pada organisasi multi-disiplin, multi-profesi,

dan terintegritasi struktur organisasi fungsional (unsur pimpinan dan

unsur pelansana) yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan

pelayanan terhadap pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat

(IGD), dengan wewenang penuh yang dipimpin oleh dokter.

6. Setiap Rumah Sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan

gawat daruratnya minimal sesuai klasifikasi.

55

Anda mungkin juga menyukai