Anda di halaman 1dari 8

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BURN OUT

PADA PERAWAT RAWAT INAP DI RS MAYAPADA JAKARTA

DISUSUN OLEH:

NAMA: RINA AFRIANI


NIM: 11192125

S1 KEPERAWATAN NON REGULER MAYAPADA HOSPITAL

STIKES PERTAMEDIKA JAKARTA

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Rumah sakit merupakan salah satu bentuk organisasi jasa. Rumah sakit
sebagai penyedia layanan kesehatan memiliki karakteristik yang berbeda dengan
organisasi lainnya. Adanya karakteristik tersebut mempengaruhi iklim organisasi
dalam rumah sakit. Demi kelangsungan organisasinya, rumah sakit harus dapat
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya menjadi keunggulan kompetitif.
Sumber daya tersebut dapat berupa sumberdaya finansial, sumberdaya manusia,
kemampuan teknologi dan sistem (Asi, 2013).
Semakin berkembangnya berbagai penyakit, maka kebutuhan masyarakat
akan pelayanan kesehatan semakin meningkat. Rumah sakit sebagai salah satu
sarana kesehatan dan tempat penyelenggaraan upaya kesehatan berusaha untuk
meningkatkan kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya Kesehatan
diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan, Kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kreatif), dan
pemeliharaan kesehatan (rehabilitative), yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan.
Perawat merupakan anggota tim kesehatan garda depan yang berperan
menghadapi masalah kesehatan pasien selama 24 jam secara terus-menerus. Data
yang tercatat dalam WHO (World Health Organization) melaporkan bahwa
sekarang ada lebih dari 9 juta perawat dan bidan di 141 negara hal ini menjelaskan
juga bahwa dari banyaknya jumlah perawat bila dibandingkan dengan disiplin
ilmu lainnya (Inawaty, 2007). Profesi perawat memegang peranan yang sangat
besar dalam bidang pelayanan kesehatan dan dituntut bekerja secara profesional
dalam memberikan pelayanan cukup menunjang kesembuhan pasien (Nursalam,
2002).
Selain itu Dikatakan oleh Fransiska Niken (2001) bahwa perawat
merupakan salah satu tenaga kesehatan yang banyak dibutuhkan dan sedang
ditingkatkan kualitas keprofesiannya. Seiring dengan perkembangan jaman, telah

1
terjadi pergeseran peran perawat, dimana perawat tidak lagi dipandang sebagai
pembantu dokter melainkan sebagai rekan kerja dokter. Dengan demikin semakin
dituntut adanya tenaga-tenaga perawat yang berkualitas untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.
Perawat kesehatan dituntut untuk mampu menyesuaikan dengan
perubahan
yang terjadi, tuntutan itu karena pekerjaan yang bersifat human service atau
bidang pekerjaan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan
tanggung jawab dan mebutuhkan ketrampilan yang tinggi, sehingga bila tidak
mampu berdaptasi akan sulit melepaskan diri dari tekanan yang dihadapi sehingga
menimbulkan stress.
Banyaknya tanggung jawab dan tuntutan yang harus dijalani oleh
perawatan menunjukkan bahwa profesi perawat rentan sekali mengalami burnout
terhadap pekerjaannya. Kejenuhan yang dialami terjadi karena berlebihnya
pekerjaan yang harus dilakukan dan banyaknya pasien yang harus dilayani
sedangkan tenaga kerja perawat yang ada sangat sedikit, sehingga membuat beban
kerja perawat menjadi berlebihan dan akan menyebabkan kelelahan pada perawat.
Hal ini dapat berdampak kepada penilaian pasien terhadap pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit.
Ketidakmampuan perawat untuk memenuhi harapan dan tuntutan di
tempat
kerja akan mengakibatkan stres pada perawat. Stres kerja terjadi ketika ada
ketidakseimbangan antara tuntutan, dengan sumber daya atau kemampuan yang
dimiliki perawat untuk memenuhinya.
Perawat yang mengalami stres akan selalu diliputi perasaan cemas, tegang,
mudah tersinggung dan frustrasi serta adanya keluhan psikosomatis. Hal tersebut
terjadi karena terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami terus
menerus dalam pekerjaannya sebagai perawat, maka dalam kondisi itulah burnout
pertama kali muncul (Haryanto F. Rosyid, 1995). Istilah burnout pertama kali
dikemukakan oleh Freudenberg, seorang ahli psikologi klinis pada tahun 1974.
Burnout adalah suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang akibat stres yang
disertai kegagalan meraih harapan dalam jangka waktu yang relative panjang.

2
Burnout banyak ditemui dalam profesi human service, yaitu orang-orang yang
bekerja pada bidang yang berkaitan langsung dengan banyak orang dan
melakukan pelayanan kepada masyarakat umum, seperti guru, perawat, polisi,
konselor, dokter dan pekerja sosial. Meskipun tidak menutup kemungkinan akibat
burnout dapat terjadi juga pada profesi non human service.
Baron & Greenberg (1997) mengatakan bahwa burnout adalah suatu
sindrom kelelahan emosional, fisik dan mental, berhubungan dengan rendahnya
perasaan harga diri, disebabkan penderitaan stres yang intens dan berkepanjangan
Pekerja yang mengalami burnout menjadi berkurang energi dan ketertarikannya
terhadap pekerjaan. Mereka mengalami kelelahan emosional, apatis, depresi
mudah tersinggung, dan merasa bosan. Mereka menemukan kesalahan pada
berbagai aspek, yakni lingkungan kerja mereka, hubungan dengan rekan kerja,
dan bereaksi secara negatif terhadap saran yang ditujukan kepada mereka (Schultz
& Schultz, 2002).
Maslach (dalam Anrilia Ema, 2004) mengungkapakan burnout berdampak
bagi individu, orang lain, dan organisasi. Dampak pada individu terlibat adanya
gangguan fisik seperti sulit tidur, rentan terhadap penyakit, munculnya gangguan
psikosomatis maupun gangguan psikologis yang meliputi penilaian yang buruk
terhadap diri sendiri yang dapat mengarahkan pada terjadinya depresi. Dampak
burnout yang dialami individu terhadap orang lain dirasakan oleh penerima
pelayanan dan keluarga. Selanjutnya dampak burnout bagi organisasi adalah
meningkatnya frekuensi tidak masuk kerja, berhenti dari pekerjaan atau job
turnover, sehingga berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi kerja dalam
organisasi (Cherniss, dalam Anrilia Ema, 2004).
Burnout yang terjadi pada diri seorang perawat tentu saja akan
menghambat
kinerja perawat tersebut. Hal yang menarik dalam fenomena burnout adalah
bahwa burnout merupakan sindrom dalam dunia kerja yang justru mengenai orang
yang berprestasi dam berdedikasi dalam pekerjanya. Hal ini juga diungkap oleh
Kreitner dan Knicki (2006) yaitu bahwa burnout dapat terjadi pada orang orang
yang berprestasi tinggi.

3
Dari sebuah studi di Amerika Serikat, menemukan bahwa 49% dari
perawat yang berusia dibawah 30 tahun 40% perawat berusia diatas 30 tahun yang
berpengalaman mengalami burnout. Menurut sebuah studi dalam Journal of
American Medical Association, bahwa setiap penambahan pasien per perawat,
menambah resiko terjadi tingkat kelelahan sebesar 23%, dan terjadi penuru an
sebesar 15% dalam kepuasan kerja. (“Departement for Proffesional Employees”,
2012).
Menurut Kleiber & Ensman (Prestiana, 2012), bibliografi terbaru yang
memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43% burnout
dialami pekerja kesehatan dan sosial (perawat), 32% dialami guru (pendidik), 9%
dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan
kepolisian, dan 2% dialami pekerja lainnya. Dari persentase di atas dapat dilihat
bahwa profesi perawat menempati urutan tertinggi sebagai profesi yang paling
banyak mengalami burnout. Hampir setengah dari jumlah keseluruhan pekerja
yang mengalami burnout adalah perawat. Hal ini menunjukkan kurangnya
perhatian dari berbagai pihak terhadap profesi perawat. Padahal apabila semakin
banyak perawat yang mengalami burnout maka semakin rendah kualitas
pelayanan yang diberikan. Hal ini tentu berdampak buruk bagi masyarakat karena
akan memperoleh kualitas pelayanan yang kurang maksimal (Prestiana, 2012).
National Safety Council (NSC) tahun 2004 dalam Maharani (2012),
mengatakan bahwa kejenuhan kerja merupakan akibat stres kerja dan beban kerja
yang paling umum, gejala khusus pada kejenuhan kerja ini antara lain kebosanan,
depresi, pesimisme, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan,
keabsenan, dan kesakitan atau penyakit.
Hasil penelitian tentang burnout diantara staf keperawatan di dua rumah
sakit Finish di Finlandia, dengan sampel 723 perawat, dapat menggambarkan
bahwa setengah dari jumlah perawat memperlihatkan indikasi frustasi atau
burnout, kejadiannya meningkat sesuai pertambahan umur.
Peran ganda sebagai pekerja maupun ibu rumah tangga mengakibatkan
tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap wanita karena terkadang para wanita
menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam mengurus rumah tangga dibandingkan
dengan pasangannya yang bekerja pula. Penelitian yang dilakukan oleh Tera dan

4
Eko (2009) menunjukkan bahawa wanita pekerja yang menikah cenderung lebih
tinggi mengalami kelelahan kerja (burnout) dibanding wanita pekerja yang masih
lajang.
Perawat dengan pengalaman kerja pendek dan perawat yang mempunyai
kesempatan melanjutkan pendidikan, mengalami burnout rendah, melanjutkan
pendidikan keperawatan profesional merupakan salah satu faktor untuk mencegah
burnout (Koivula, Paunonen dan Laippala, 1999).
Di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan oleh Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (2006) terdapat 50,9% perawat mengalami stress kerja,
menyatakan keluhan sering merasa pusing, kecapekan, karena beban kerja yang
terlalu tinggi dan menyita waktu (Khotimah, 2010).
Menurut survey PPNI yaitu sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat
propinsi mengalami stres kerja, sering pusing, tidak bisa istirahat karena beban
kerja yang terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah tanpa diikuti
insentif yang memadai. Tetapi keadaan yang paling mempengaruhi stres perawat
adalah kehidupan kerja (PPNI, 2008).
Semakin tinggi beban kerja perawat maka, kinerja perawat kurang baik.
demikian pula sebaliknya. Kapasistas atau beban kerja tinggi yang dialami oleh
perawat, dapat menimbulkan burnout pada perawat(Astriana, 2014).

B. Perumusan Masalah
Burnout dapat terjadi pada setiap perawat baik disadari ataupun tidak
disadari ataupun tidak disadari. Dessler (1992) mengatakan bahwa burnout
dipengaruhi faktor internal seperti jenis kelamin, harga diri, karakteristik individu.
Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kurangnya
kesempatan untuk promosi, tuntutan pekerjaan, dukungan sosial, kurangnya gaji,
pekerjaan yang monoton dan repetitive.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maslach dan Jackson pada pekerja-
pekerja yang memberikan bantuan kesehatan yang dibedakan antara perawat
perawat dan dokter-dokter menunjukkan bahwa pekerja kesehatan ini beresiko
mengalami emotional exhaustion (kelelahan emosi). Rating tertinggi dari burnout
ditemukan pada perawat-perawat yang bekerja di dalam lingkungan kerja yang

5
penuh dengan stres, yaitu perawat yang bekerja pada instansi intensive care (ICU),
emergency (UGD), terminal care dan rawat Inap (Windayanti, 2007).
Perawat yang mengalami burnout akan cenderung bersikap sinis terhadap
orang lain dan pasien, merasa lelah sepanjang waktu, merasa tidak mampu
melakukan pekerjaan dengan benar dan mulai enggan bekerja. Pada kondisi yang
sudah parah akan muncul keinginan untuk beralih ke profesi lain. Padahal profesi
perawat yang dinamis dan menuntut keterlibatan kerja yang mendalam.
Jika perawat mengalami burnout, tentu saja akan menghambat kinerja
perawat dan menjadi tidak selaras dengan visi dan misi rumah sakit dalam
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan. Lebih dari itu akan merusak
citra profesi perawat.
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu : “Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan Burnout
pada perawat Rawat Inap di Mayapada Hospital Jakarta Selatan?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan Burnout pada
perawat Rawat Inap di Mayapada Hospital Jakarta Selatan.
2. Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout
perawat ditinjau dari umur
2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout
perawat ditinjau dari jenis kelamin
3) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout
perawat ditinjau dari pendidikan terakhir
4) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout
perawat ditinjau dari masa kerja
5) Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout
perawat ditinjau dari status perkawinan

D. Manfaat Penelitian

6
1. Bagi pelayanan keperawatan
Dapat dijadikan sebagai bahan pengetahuan bagi perawat Mayapada
Hospital Jakarta Selatan guna mencegah kelalaian dalam bekerja dan
masukan bagi pihak manajemen Mayapada Hospital Jakarta Selatan, untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout perawat
sehingga dapat dilakukan upaya dalam hal pencegahan maupun perbaikan
dalam sistem manajemen rumah sakit.
2. Perkembangan ilmu keperawatan
Dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian
lebih lanjut tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan burnout di
Mayapada Hospital Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai