Anda di halaman 1dari 75

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

304/MENKES/PER/III/2010 bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat.

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit penting dalam

operasional suatu rumah sakit yaitu sebagai pintu masuk bagi setiap

pelayanan yang beroperasi selama 24 jam. Tuntutan beban kerja yang tingi

dalam lingkungan kegawat daruratan menyebabkan perawat IGD berisiko

terhadap terjadinya stress yang nantinya akan menyebabkan burnout

syndrome (Kurnianingsih, 2013 dalam Latif Dharmahari 2016). Beban kerja

dan tingkat stress yang tinggi tidak hanya terjadi di IGD, tetapi juga terjadi di

ICU. Menurut Menteri Kesehatan Nomer: 1778/MenKes/SK/XII/2010

menyatakan bahwa ICU merupakan suatu bagian dari rumah sakit dengan staf

dan perlengkapan khusus. Hal ini di tunjukkan untuk mengobservasi dan

memberikan terapi pasien yang menderita penyakit, cidera atau yang

mengancam nyawa, sehingga perawat ICU dituntut untuk memiliki

kemampuan khusus dibanding dengan perawat di unit lain.

1
2

Perawat merupakan salah satu profesi atau pekerjaan yang dapat

memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Harley (Sudarman, 2008, Hlm

30) menjelaskan seorang perawat yaitu pada dasarnya seseorang yang

berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi

seseorang karena sakit, terluka dan proses penuaan. Sedangkan dilihat dari

sisi intensitas interaksi dengan pasien, perawat merupakan tenaga kesehatan

yang paling tinggi interaksinya dengan pasien (Sudarman, 2008, Hlm 30).

Pada kenyataannya tidak semua perawat mampu menjalankan tugas

dan fungsinya dengan baik, sering kali mereka mengalami kelelahan mental

dan emosional akibat tugasnya yang harus selalu siap memberikan pelayanan

yang maksimal bagi orang lain. Hal ini, apabila tidak segera diatasi oleh

pihak rumah sakit, maka akan menguras stamina dan emosi perawat, serta

menimbulkan tekanan yang mengakibatkan perawat mengalami burnout atau

kejenuhan kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Moreira et al (2009) pada perawat

yang bekerja pada rumah sakit besar di Brasil Selatan menunjukkan bahwa

prevalensi perawat yang mengalami burnout sebanyak 35,7% dari 151

responden. Al-Turki et al (2010) juga melakukan penelitian terkait burnout

syndrome pada perawat yang berjudul “Burnout Syndrome among

Multinational Nurses Working in Saudi Arabia” menunjukkan hasil 89% staf

perawat mengalami emotional exhaustion, 42% mengalami

depersonalization, dan 71,5% mengalami low personal accomplishment.

Berdasarkan hasil survei dari PPNI tahun 2006, sekitar 50,9% perawat
3

yang bekerja di 4 propinsi di Indonesia mengalami stres kerja, sering pusing,

lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita

waktu, gaji rendah tanpa insentif memadai (Rachmawati, 2008 dalam Dian

Yunita Sari, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Ana Damayanti 2017 tentang faktor

yang berhubungan dengan kejadian burnout syndrome pada perawat IGD dan

ICU RSUD Ulin Banjarmasin. Penelitian terhadap 70 responden perawat IGD

dan ICU menunjukkan mayoritas kejadian burnout responden yang terbanyak

adalah burnout rendah sebanyak 39 orang atau sebesar 55,7%.

Studi Pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 04

Desember 2017 di dua ruangan yaitu IGD dan ICU. Didapatkan jumlah

perawat pelaksana di IGD sebanyak 23 orang dan perawat di ICU sebanyak

16 orang. Dari hasil wawancara peneliti dengan kepala ruang IGD beliau

mengatakan ada beberapa perawat yang pernah mengeluh kepada beliau

bahwa perawat tersebut ada keinginan untuk pindah ruangan karena beberapa

perawat mengatakan sudah terlalu lama bekerja di IGD. Kinerja perawat di

IGD menurut beliau sudah baik karena perawat menjalankan prosedur sesuai

SOP.

Peneliti juga mewawancarai 5 orang perawat yang sedang bekerja di

ruang IGD. 5 perawat tersebut mengatakan bosan dan lelah selama bekerja, 3

perawat beralasan karena sudah terlalu lama bekerja di IGD dan ingin pindah

ruangan dari IGD sedangkan 2 perawat beralasan beban kerja yang tinggi

sebagai stresor dan faktor lingkungan.


4

Peneliti juga mewawancarai kepala ruang ICU, beliau mengatakan ada

sekitar 3-4 orang yang pernah mengeluh kepada beliau ada keinginan untuk

pindah ruangan dikarenakan jenuh dengan rutinitas kerja ICU yang beban

kerja yang sangat fluktuatif. Kinerja perawat di ICU baik, namun tergantung

individu masing-masing kadang ada perawat yang rajin dan ada juga yang

tidak. Beliau juga mengatakan untuk pelatihan ditahun 2017 ada sekitar 3 kali

pelatihan yang mengikutkan beberapa perawat ruang ICU.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan 5 orang perawat ICU. 5

perawat mengatakan ada persaan bosan dan lelah selama bekerja di ICU. 3

perawat beralasan karena beban kerja yang tinggi dan sudah terlalu lama

bekerja di ICU sehingga ada keinginan untuk pindah ruangan. 2 perawat

beralasan karena rutinitas dan suasana lingkungan yang monoton. 4 perawat

ditahun 2017 telah mengikuti 1-2 kali pelatihan.

Burnout Syndrome adalah suatu kondisi psikologis pada seseorang

yang tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga dapat menyebabkan stres

berkepanjangan yang nantinya akan mengakibatkan beberapa gejala seperti

kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mental, redahnya

penghargaan terhadap dirinya sendiri (Nursalam 2016). Pengertian lain

menurut Maslach, 2003 dalam Nursalam 2015 mendefinisikan Burnout

sebagai jumlah energi psikologis dan fisik, bertambah dan berkurangnya

kelelahan tergantung pada faktor stres pribadi dan juga stres organisasi.

Burnout syndrome memiliki tiga dimensi, yaitu emotional and

physical exhaustion (keterlibatan emosi yang menyebabkan energi dan


5

sumber- sumber dirinya terkuras oleh satu pekerjaan), depersonalization

(sikap dan perasaan negatif terhadap pasien atau orang lain), dan perceive

inadequacy of professional accomplishment (penilaian diri negatif dan

perasaan tidak puas dengan performa pekerjaan) (Maslach, 1993 dalam

Nursalam 2016). Pangastiti (2011) dalam Dian Yunita Sari 2016 menyatakan

burnout syndrome banyak ditemukan pada profesi yang bersifat human

service salah satunya adalah perawat, karena perawat merupakan profesi yang

sifatnya melayani manusia atau orang lain.

Menurut Maslach, 2001 dalam Nursalam 2015 menyatakan faktor-

faktor yang mempengaruhi burnout syndrome dibagi menjadi 2 faktor yaitu

faktor personal dan faktor lingkungan, Faktor personal terdiri dari

kepribadian, harapan, demografi atau karakteristik (usia, tingkat pendidikan,

masa kerja), control focus, tingkat efisiensi, sedangkan untuk faktor

lingkungan yaitu terdiri dari beban kerja, stress kerja, penghargaan, control

kepemilikan, keadilan dan nilai. Apabila burnout syndrome pada perawat ini

tidak diatasi secara tepat maka akan berdampak pada kinerja perawat yang

nantinya akan menyebabkan kualitas pelayanan rumah sakit menurun.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti

“Hubungan karakteristik dan stress kerja perawat terhadap burnout syndrome

pada perawat pelaksana di IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura”.
6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas rumusan

permasalahan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan

karakteristik dan stress kerja perawat terhadap burnout syndrome pada

perawat pelaksana di ruang IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan karakteristik dan stress kerja perawat

teradap burnout syndrome pada perawat pelaksana di ruang IGD dan ICU

RSUD Ratu Zalecha Martapura.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran usia perawat IGD dan ICU di RSUD Ratu

Zalecha Martapura.

b. Mengidentifikasi gambaran tingkat pendidikan perawat IGD dan ICU

di RSUD Ratu Zalecha Martapura.

c. Mengidentifikasi gambaran masa kerja perawat IGD dan ICU di

RSUD Ratu Zalecha Martapura.

d. Mengidentifikasi gambaran stress kerja perawat IGD dan ICU di

RSUD Ratu Zalecha Martapura.

e. Mengidentifikasi gambaran kejadian burnout syndrome perawat IGD

dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.


7

f. Menganalisis hubungan karakteristik usia perawat terhadap burnout

syndrome perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

g. Menganalisis hubungan tingkat pendidikan perawat terhadap burnout

syndrome perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

h. Menganalisis hubungan masa kerja perawat terhadap burnout

syndrome perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

i. Menganalisis hubungan stress kerja terhadap burnout syndrome

perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu

bahan pemikiran dan masukan ilmu pengetahuan untuk menunjang

peningkatan pengetahuan tentang hubungan karakteristik dan stress kerja

perawat terhadap burnout syndrome pada perawat pelaksana di IGD dan

ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

2. Secara praktis

a. Bagi Penulis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengalaman dalam pembuatan skripsi, sebagai sarana dalam

pengembangan ilmu yang didapatkan selama pendidikan dengan cara

mengaplikasikannya pada kenyataan yang ada di lapangan khususnya di

rumah sakit dalam hal kejenuhan perawat.


8

b. Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai tambahan ilmu bagi tenaga kesehatan, khususnya agar

perawat memahami tentang burnout syndrome yang dialaminya,

sehingga dapat meningkatkan semangat dan motivasi kerja perawat

IGD dan ICU dalam bekerja agar kualitas pelayanan di Rumah Sakit

lebih baik lagi.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi

mengenai hubungan karakteristik dan stress kerja perawat terhadap

burnout syndrome pada perawat pelaksana di ruang IGD dan ICU

RSUD Ratu Zalecha Martapura. Selain itu diharapkan dapat dijadikan

bahan studi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

d. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan agar penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan

bagi rumah sakit dalam memperhatikan syndrome burnout yang dialami

pada perawat pelaksana di IGD dan ICU Ratu Zalecha Martapura.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori

1. Burnout syndrome
a. Definisi

Burnout syndrome adalah keadaan lelah atau frustasi yang

disebabkan oleh terhalangnya pencapaian harapan (Nursalam 2016).

Pines dan Aronson dalam Nursalam 2016 melihat bahwa

mengemukakan bahwa Burnout syndrome sebagai suatu perubahan

sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis

dari pekerjaan. Dengan kata lain Burnout syndrome merupakan

kelelahan secara fisik, emosi, dan mental karena berada dalam situasi

yang menuntut emosional.

Burnout syndrome adalah suatu kondisi psikologis pada

seseorang yang tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga

menyebabkan stres berkepanjangan dan mengakibatkan beberapa

gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mental,

dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (Nursalam,2015).

Menurut Poerwandari, 2010 ( dalam dian yunita sari 2016)

burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan

kehilangan energy psikis maupun fisik. Biasanya burnout dialami

dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terus

9
10

menerus. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah

ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat

berkonsentrasi, gampang sakit) dan biasanya bersifat kumulatif,

maka kadang persoalan tidak demikian mudah diselesaikan.

Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa

burnout merupakan suatu bentuk kelelahan fisik, mental maupun

emosi yang dialami oleh seseorang karena adanya tuntutan pekerjaan

secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama sehingga

menyebabkan penarikan diri dari lingkungan organisasi dan

menurunnya pencapaian prestasi kerja.

b. Etiologi

Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi

faktor personal dan alau faktor lingkungan. Faktor personal

diantaranya kepribadian, harapan, demografi, control fokus dan

tingkat efisiensi. Faktor lingkungan yang berperan di antaranya

adalah beban kerja, penghargaan, kontrol, kepemilikan, keadilan, dan

nilai (Cavus, 2010).

1) Faktor Individu

Faktor individu ini meliputi faktor demografik dan faktor

kepribadian.

a) Faktor Demografik

Hal pertama yang dapat mempengaruhi burnout yang

berkaitan dengan faktor individu adalah faktor demografik.


11

Faktor demografik terdiri dari beberapa baigan seperti jenis

kelamin, usia, status perkawinan, lama kerja dan tingkat

pendidikan.

b) Faktor kepribadian

Kepribadian atau personality pada dasarnya merupakan

sebuah karakteristik psikologi dan perilaku yang dimiliki

individu yang bersifat permanent yang dapat membedakan

antara individu yang satu dengan induvidu yang lainnya.

Adapun faktor kepribadian di bagi menjadi beberapa bagian

diantaranya :

1. Konsep diri rendah

Maslach (Dalam Nursalam 2016) menunjukkan

bahwa individu yang memiliki konsep diri rendah

rentan terhadap burnout. Individu dengan konsep diri

rendah mempunyai karakteristik tidak percaya diri

dan memiliki penghargaan diri yang rendah.

2. Perilaku tipe A

Individu yang memiliki perilaku tipe A

cenderung menunjukkan kerja keras, kompetitif dan

gaya hidup yang penuh dengan tekanan waktu.

Individu dengan perilaku tipe A lebih memungkinkan

untuk mengalami burnout dari pada individu yang

lainnya.
12

3. Individu yang introvert

Individu yang introvert akan mengalami

ketegangan emosional yang lebih besar saat

menghadapi konflik, mereka cenderung menarik diri

dari kerja dan hal ini akan menghambat efektivitas

penyelesaian konflik.

4. Locus of control eksternal

Individu dengan locus of control eksternal

meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang

dialami disebabkan oleh kekuatan dari luar diri.

Mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya

terhadap situasi menekan sehingga mudah

menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis

terhadap pekerjaan.

5. Individu yang fleksibel

Individu yang fleksibel rentan terhadap konflik

peran karena mereka kesulitan untuk mengatakan

tidak terhadap peran yang datang dengan tuntutan

ekstra yang dapat mempengaruhi munculnya

burnout.

2) Faktor Lingkungan

Maslach dan Leiter (2008) menjabarkan terdapat enam

domain utama dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan


13

individu burnout antara lain :

a) Beban Kerja (Workload)

Beban kerja dapat menjadikan individu burnout ketika

tuntutan pekerjaan melebihi batas kemampuan individu. Hal

yang paling berpengaruh adalah dimensi kelelahan.

Berdasarkan berbagai macam penelitian kuantitatif maupun

kualitatif membuktikan bahwa beban kerja yang melebihi

batas kemampuan individu dapat menyebabkan seseorang

merasa kelelahan dan apabila individu tidak bisa

menanggulanginya maka akan terjadi burnout.

b) Stress Kerja

Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan

bersifat menetap dalam jangka waktu yang lama, maka akan

menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak

mampu membangun kembali kemampuannya untuk

menghadapi pemicu stres.

c) Kontrol (Control)

Hal yang menjadi pokok utama kontrol dapat

memunculkan burnout ketika terjadi konflik peran antar

individu dan terjadi ambiguitas peran. Setiap individu

memiliki kenanpuan untuk berfikir dan memecahkan suatu

permasalahan dan menginginkan.


14

d) Penghargaan (Reward)

Burnout dapat terjadi ketika penghargaan atau

reward tidak diberikan dengan baik dan memadai baik dari

segi finansial, institusional maupun sosial. Reward dapat

membangkitkan semangat individu dalam bekerja. Terdapat

dua macam reward yaitu eksternal dan internal. Reward

dalam bentuk eksternal dapat diberikan dengan gaji dan

beberapa bonus, sedangkan reward secara internal dapat

berupa pujian yang diberikan ketika individu mampu

bekerja sesuai dengan target, dan memastikan bahwa

pekerjaannya selesai dengan baik.

e) Komunitas (Community)

Hal kelima yang dapat menjadi sumber burnout adalah

kurangnya dukungan sosial dari atasan, rekan kerja dan

keluarga sehingga dapat menyebabkan kurangnya rasa

pencapaian personal. Individu yang tergabung dalam suatu

komunitas akan merasa lebih dihargai, nyaman, bahagia dan

memiliki selera humor yang tinggi ketika orang lain

memperhatikannya. Berbeda dengan seorang yang suka

menyendiri dari lingkungan sosial dan tidak suka dengan

kontak sosial akan menyebabkan seseorang merasa kelelahan

dan burnout.
15

f) Keadilan (Fairness)

Ketidakadilan merupakan faktor terjadinya burnout.

Konsep adil dapat dimanifestasikan saling menghargai dan

menerima perbedaan antara satu individu dengan individu

lain. Adanya rasa saling menghargai akan menibulkan rasa

ketertarikan dengan suatu lingkungan kerja. Ketidakadilan

sering dialami oleh individu pada proses pengambilan

keputusan saat masa promosi jabatan atau ketika individu

itu disalahkan ketka mereka tidak melakukan kesalahan.

g) Nilai (Values)
Apabila terjadi konflik dalam pekerjaan, berarti

melibatkan kesenjangan antara nilai individu dengan

organisasi. Seperti pekerja harus melakukan sesuatu yang

tidak sesuai dengan nilai yang ada didalam dirinya untuk

memenuhi tujuan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh

Maslach dan Leiter (2005) meunjukan bahwa konflik nilai

terkait dengan dimensi-dimensi burnout dan dapat

memungkinkan tingginya tingkat burnout.

Terlepas dari beberapa faktor tersebut di atas, ada beberapa

faktor yang dianggap mempunyai hubungan yang signifikan yaitu

status perkawinan, lamanya pekerjaan, dukungan sosial, struktur


16

keluarga, tanggung jawab, kejelasan stabilitas emosional, dan

kelelahan.

c. Dimensi

Sudah dijelaskan di atas, bahwa Burnout syndrome tidak

hanya terkait dengan faktor tunggal, melainkan muncul sebagai hasil

dari interaksi antara beberapa faktor yang ada. Burnout syndrome

pada seseorang muncul sebagai akibat dari kelelahan emosional yang

meningkat, depersonalisasi dan penurunan prestasi diri (Pouncet,

2007).

1) Kelelahan emosional

Kelelahan emosional merupakan sisi yang

mengekspresikan kelelahan fisik dan emosional yang dialami

sebagai dasar dan dimulainya Burnout syndrome. Kelelahan

emosional, sebagian besar berhubungan dengan stres pekerjaan

(Nursalam 2016). Hasil dari kelelahan emosional yang dialami

oleh seseorang, orang tersebut tidak responsif terhadap orang-

orang yang mereka layani, dan juga merasa bahwa pekerjaannya

sebagai penyiksaan karena ia berpikir bahwa dirinya sendiri tidak

mampu menanggung hari-hari berikutnya dan selalu merasa

tegang ( Nursalam 2016).


17

2) Depersonalisasi

Depersonalisasi merupakan sikap yang menunjukan

perilaku keras/kasar, perilaku negatif dan acuh tak acuh terhadap

orang lain. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa beberapa

orang menunjukan perilaku seperti kehilangan tujuan bekerja dan

kehilangan antusiasme sebagai akibat dari semakin menjauh dari

dirinya sendiri dan pekerjaannya.

3) Rendahnya prestasi diri

Rendahnya prestasi diri menjadi dimensi evaluasi diri dari

Burnout syndrome, timbul fakta bahwa orang mulai melihat

dirinya sebagai seseorang yang tidak berhasil. Dengan kata lain,

seseorang cenderung mengevaluasi dirinya sendiri sebagai hal

yang negatif (Maslach, 2003). Orang yang mengalami

kecenderungan ini berpikir bahwa mereka tidak membuat

kemajuan dalam pekerjaan mereka, sebaliknya mereka berpikir

bahwa mereka jatuh ke belakang, pekerjaan mereka tidak berhasil

dan tidak memberikan kontribusi pada perubahan lingkungan

mereka (Nursalam 2016).

d. Ciri-ciri burnout syndrome

Menurut Pines & Aronson (1989) dalam Nursalam 2016 ciri-


ciri umum burnout, yaitu:

1) Kelelahan fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam,

sakit punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering

flu, susah tidur, rasa letih yang kronis.


18

2) Kelelahan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah

tersinggung, sinisme, suka marah, gelisah, putus asa,

sedih, tertekan, dan tidak berdaya.

3) Kelelahan mental dicirikan seperti acuh tak acuh pada

lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri

yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, merasa tidak

berharga.

Burnout syndrome adalah situasi yang sangat sulit dihindari.

Namun, tingkat keparahan Burnout syndrome dapat dikurangi dengan

aplikasi pribadi maupun perubahan aplikasi pada organisasi tempat

melaksanakan tugas. Pada tingkat organisasi dilakukan dengan

pernyataan tugas yang jelas, partisipasi pemula untuk program

orientasi dan on the job training perencanaan personal yang efisien

dalam hubungannya dengan departemen, pertemuan tim regular

dengan saran dan kritik, akses ke dukungan sosial dan lingkungan

partisipatif dapat membantu dalam mencegah Burnout syndrome

(Kacmaz et al dalam Nursalam 2016). Pada tingkat pribadi dengan

cara mendorong karyawan untuk mengambil tujuan yang lebih

realistis, sehingga membantu mereka untuk menurunkan ekspektasi

diri agar dapat membantu dalam menurunkan Burnout syndrome.

Burnout syndrome dibedakan menjadi bentuk lain dari stres

karena merupakan satu set respon ke tingkat tinggi tuntutan pekerjaan

yang kronis, meliputi kewajiban pribadi dan tanggung jawab yang


19

sangat penting. Oleh karena karakteristik dari profesi kesehatan

seperti kecenderungan untuk fokus pada masalah, kurangnya umpan

balik positif, tingkat stres emosional, dan kemungkinan merasakan

perubahan sikap terhadap beberapa orang tempat bekerja, profesi

kesehatan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami burnout

syndrume (Maslach Jackson, 1982 dalam Nursalam 2016).

Bukti empiris menunjukan bahwa Burnout syndrome dapat

menimbulkan dampak negatif di berbagai tingkatan termasuk tingkat

individu, organisasi, dan pelayanan. Pada tingkat individu, Burnout

syndrome dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan fisik dan

mental negatif. Konsekuensi emosional termasuk konflik dan

kerusakan perkawinan hubungan keluarga dan sosial. Pada tingkat

organisasi, dapat menyebabkan penurunan komitmen organisasi dan

kepuasan kerja. Pada perawat dapat terjadi tingginya angka turnover

dan ketidakhadiran, kecenderungan untuk menarik diri dari pasien

dan beristirahat panjang termasuk kinerja secara keseluruhan yang

menurun dalam kualitas dan kuantitas kinerja. Dengan demikian,

organisasi dapat mengalami pemborosan sumber daya dan penurunan

produktivitas. Pada tingkat pelayanan, penelitian menunjukan bahwa

Burnout syndrome dapat mengarah ke penurunan kualitas perawatan

atau pelayanan dari pasien (Maslach dan Jackson, 1981 dalam

Nursalam 2016). Pelayanan pelanggan yang buruk dapat


20

menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengakibatkan turunnya

kemampuan untuk mempertahankan pelanggan.

e. Alat Ukur Burnout Syndrome

MBI (Maslach Burnout Inventory) merupakan instrument

yang terdiri atas 22 item yang digunakan untuk mengukur frekuensi

dari tiga aspek Burnout syndrome, kelelahan emosional,

depersonalisasi dan yang terakhir adalah penurunan prestasi diri.

Dimensi kelelahan emosional menggambarkan perasaan kelelahan,

terkurasnya energinya, dan perasaan kosong yang berkepanjangan.

Dimensi depersonalisasi berhubungan dengan sikap sinis dan

menarik diri terhadap orang lain dalam bekerja. Sedangkan, dimensi

penurunan personal accomplishment menggambarkan perasaan tidak

berdaya dan tidak kompeten pada pekerjaannya (Nursalam 2016).

MBI-HSS terdiri atas 22 butir pernyataan dimana tiap butir

mengandung 7 pilihan jawaban yaitu 0 (tidak pernah), 1 (berapa kali

dalam setahun), 2 (satu bulan sekali atau kurang), 3 (beberapa kali

dalam sebulan), 4 (satu minggu sekali), 5 (beberapa kali dalam

seminggu), dan 6 (setiap hari). Kuesioner yang dibagikan berisi butir-

butir pernyataan positif dan negatif. Jumlah item pernyataan positif

adalah delapan buah yaitu pada pernyataan 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,

dan 22. Sedangkan item pernyataan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

dan 14 merupakan pernyataan negatif. Skor untuk pernyataan positif

dibalik dengan pernyataan negatif yaitu 6 (tidak pernah), 5 (berapa


21

kali dalam setahun), 4 (satu bulan sekali atau kurang), 3 (beberapa

kali dalam sebulan), 2 (satu minggu sekali), 1 (beberapa kali dalam

seminggu), dan 0 (setiap hari).Pernyataan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,

dan 9 termasuk dalam pernyataan kelelahan fisik dan emosional.

Penyataan nomor 10, 11, 12, 13, dan 14 merupakan pernyataan

depersonalisasi. Sedangkan pernyataan nomor 15, 16, 17, 18, 19, 20,

21, dan 22 termasuk dalam pernyataan pencapaian prestasi diri.

Apabila responden menjawab 9 pernyataan kelelahan

emosional dengan poin 6 maka 9x6 = 54, apabila responden

menjawab 5 pernyataan depersonalisasi dengan poin 6 maka 5x6 =

30, apabila responden menjawab 8 peryataan pencapaian prestasi diri

dengan 6 poin maka 8x6 = 48.

Untuk skor burnout peneliti mengelompokan data dalam 3

kategori. Menurut Maslach, Jockson, & Leiter (1996) dalam Azwar

2009 kategorisasi burnout dikelompokkan dalam tiga kategori tinggi,

sedang, rendah dengan menggunakan skor Z. secara lebih rinci dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Kategorisasi Burnout Syndrome

Kategorisasi Rentang Skor


Tinggi Z ≥0
Rendah Z <0
22

Kategorisasi data ini menggunakan rumus skor Z dengan

bantuan perhitungan software SPSS. Adapun rumus untuk mencari

skor Z (Normal deviate) sebagai berikut :

( X −M )
Z=
S

Keterangan :

Z = Skor z (Normal deviate)

X = Skor mentah

M = Rata rata skor mentah

S = Standar deviasi

2. Karakteristik Perawat

a. Definisi

Nursalam (2015) mengungkapkan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi Burnout Syndrome pada perawat adalah

demografi atau karakteristik perawat yang meliputi usia, lama kerja,

dan tingkat pendidikan. Dari pendapat beberapa ahli di simpulkan

karakteristik perawat merupakan faktor yang berasal dari diri

individu yang berpengaruh terhadap burnout.


23

1) Usia

Usia adalah lama waktu hidup atau ada, sejak dilahirkan

atau diadakan (Hoetomo, 2005). Sumawidanta (2013) dalam Dian

Yunita Sari 2016 mengungkapkan perawat yang lebih tua

biasanya lebih menguasai pekerjaan yang mereka lakukan dan

keinginan agar mencapai kinerja lebih baik dari pada perawat

yang berusia lebih muda juga lebih tinggi. Tuntutan dalam diri

perawat yang berusia lebih tua cenderung membuat stres hingga

terjadinya kelelahan fisik, emosional dan psikologi.

Menurut Maslach, Schaufeli, Leither (2001) usia di bagi

menjadi 2 yaitu usia muda < 30 tahun dan usia tua > 30 tahun.

Namun sebaliknya dari pernyataan di atas Usia lebih muda dari

30 tahun akan mengalami burnout lebih tinggi dari pada usia

perawat yang lebih tua dari 30 tahun.

2) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang ilmu pengetahuan

yang di dapat dari lembaga pendidikan formal terakhir. Tingkat

pendidikan merupakan suatu proses jangka panjang yang

menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir

(Mangkunegara, 2003).

Seseorang dengan pendidikan sarjana paling berisiko

mengalami Burnout syndrome dibandingkan tingkat pendidikan

lainnya. Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan


24

atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika dihadapkan pada

kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncul

kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan Burnout

syndrome. Tingkat pendidikan perawat terdiri dari SPK, DIII, S1,

serta S2 keperawatan (Fatmawati 2012, dalam Dian YS 2016).

3) Masa Kerja

Masa bekerja adalah suatu kurun waktu atau masanya

tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat (Handoko, 2007). Masa

kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-

masing pekerjaan atau jabatan. Semakin lama masa kerja individu

maka pengalaman yang diperolehnya semakin bertambah

(Siagian, 2009, dalam Dian Yunita Sari 2016).

Masa kerja dalam penelitian Ana Damayanti (2017)

dikategorikan menjadi dua, meliputi :

(a) Masa kerja kategori baru <5 tahun

(b) Masa kerja kategori lama =/≥ 5 tahun

Walaupun dengan masa kerja yang lama seorang perawat

mendapatkan pengalaman kerja yang banyak, namun pola

pekerjaan perawat yang monoton dan bersifat human service

justru menimbulkan kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang

mengarah pada Burnout syndrome, sehingga semakin lama

seseorang bekerja maka semakin tinggi resiko Burnout syndrome

(Pangastiti, 2011).
25

3. Stres Kerja Perawat

a. Definisi

Menurut Sondang P.Siagian (2009), stres merupakan

kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan

pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak diatasi

dengan baik biasanya akan berakibat pada ketidak mampuan

seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik

dalam arti lingkungan pekerjaan maupun diluarnya. Artinya

karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala

negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.

Menurut Handoko (2008), stres kerja adalah suatu

ketegangan yang mempengaruhi proses berpikir, emosi, dan

kondisi seseorang, hasilnya stres yang terlalu berlebihan dapat

mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi

lingkungan dan pada akhirnya akan mengganggu pelaksanaan

tugas-tugasnya.

Perawat yang mengalami stres menjadi nervous dan

merasakan kekuatiran kronis sehingga mereka sering marah-

marah, agresif, tidak dapat relaks atau memperlihatkan sikap

yang tidak kooperatif (Hasibuan, 2012). Stres yang berlanjut dan

tidak teratasi nantinya dapat mengakibatkan burnout syndrome.


26

b. Jenis-jenis Stres

Quick dan Quick (1984) dalam Siti Nurhendar 2007

mengkategorikan jenis stres menjadi dua yaitu:

1) Eustress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat,

positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut

termasuk kesejahteran individu dan juga organisasi yang

diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan

adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.

2) Distress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak

sehat, negative, dan destruktif (bersifat merusak). Hal ini termasuk

konsekuensi individu dan juga organisasi, seperti penyakit

kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang

tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan

kematian.

c. Penyebab Stres Kerja

Menurut Hasibuan (2012) faktor-faktor penyebab stres

perawat antara lain sebagai berikut:

1) Beban kerja yang sulit atau berlebihan.

2) Tekanan dan sikap pemimpin yang kurang adil dan wajar.

3) Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.

4) Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja.

5) Balas jasa yang terlalu rendah

6) Masalah-masalah keluarga seperti anak, mertua, dan lain-lain.


27

Menurut Robbins (2008) ada tiga kategori potensi pemicu

stres kerja yaitu:

1) Penyebab Organisasi: kurangnya otonomi dan kreativitas, harapan,

tenggat waktu, kuota yang tidak logis, relokasi pekerjaan,

kurangnya pelatihan, karier yang melelahkan, (downsizing)

bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahannya gaji.

2) Penyebab Individual: pertentangan antara karier dan tanggung

jawab keluarga, ketidakpastian ekonomi, kurangnya penghargaan

dan pengakuan kerja, ketidakpuasan kerja, kebosanan,

perawatan anak yang tidak adekuat, konflik dengan rekan

kerja.

3) Penyebab Lingkungan: buruknya kondisi lingkungan kerja

(pencahayaan, kebisingan, ventilasi, suhu,dan lain-lain),

diskriminasi ras, kekerasan ditempat kerja, kemacetan saat

berangkat dan pulang kerja.

d. Dampak dan Akibat Stres Kerja

Menurut P.Anoraga (2009), ada 3 (tiga) kategori umum

akibat stres kerja antara lain:

1) Stres Biologis

Sakit kepala, nafsu makan menurun, mual muntah,

keringat dingin, gangguan pola tidur, jantung berdebar, dan

badan terasa capek.


28

2) Stres Psikologis

Pelupa mudah marah, cemas, was-was, khawatir,

mimpi buruk, mudah menangis, pandangan putus asa, dan

lain sebagainya.

3) Stres Sosial

Makin banyak merokok, menarik diri dari pergaulan

sosial, mudah bertengkar, dan lain sebagainya.

e. Alat Ukur Stres Kerja


Instrumen stres kerja menggunakan kuesioner yang sudah

baku, yang diambil dari Nursalam 2016. Terdiri dari 35 pernyataaan

dengan 3 dimensi stres yaitu stres biologis, stres psikologis, dan stres

sosial. Dimana tiap butir pernyataan berisi mengandung 4 pilihan

jawaban yaitu 1 (tidak pernah), 2 (kadang-kadang), 3 (sering), dan 4

(selalu).

Skor untuk pernyataan dalam instrumen ini 4 untuk pernyataan

(selalu), 3 untuk (sering), 2 untuk (kadang-kadang), dan 1 untuk

(tidak pernah). Jumlah skor tertinggi adalah 35x4= 140 (100%) dan

jumlah skor terendah adalah 35x1= 35 (25%).

Penentuan skoring menggunakan pendekatan skala Likert

untuk menentukan kategori stres kerja yang dialami responden. Range

skor ini adalah 100-25= 75% , dengan 3 kategori ringan, sedang, dan

berat. Interval skor ini adalah 75/3 = 25% maka penetapan skoring

dengan interval 25% sehingga didapatkan kriteria kategorisasi skor

yaitu:
29

Tabel 2.2 Kategorisasi Stres Kerja

Kategori Skor
Berat 76-100%
Sedang 51-75%
Ringan 25-50%

Dengan rumus sebagai berikut:

Skor mentah yang diperoleh


Skor = x 100%
Skor tertinggi

B. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah konsep yang dipakai sebagai landasan berpikir

dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2015).


30

Faktor Individu Faktor Lingkungan

Faktor Faktor 1. Beban kerja


Demografik Kepribadian 2. Stress kerja
1. Jenis kelamin 1. Konsep diri 3. Control (control)
2. Usia rendah 4. Penghargaan
3. Status 2. Perilaku tipe A 5. Komunitas
perkawinan 3. Individu yang 6. Keadilan
4. Lama kerja introvert 7. Nilai
5. Tingkat 4. Locus of
pendidikan control
eksternal
5. Individu yang
fleksibel

BURNOUT SYNDROME

Maslach Burnout Inventory (MBI)


1. Kelelahan emosional
2. Depersonalisai/sinisme
3. Rendahnya Prestasi pribadi

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Bunrout Syndrome. (Nursalam 2016).


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep Penelitian

Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antar variabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti).

Kerangka konsep adalah konsep yang dipakai sebagai landasan berpikir

dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2016).

Dukungan
Sosial

Faktor lingkungan Penghargaan

Stres Kerja

Usia/umur Burnout
Karakteristik/demografi
Syndrome
Lama Kerja

Faktor individu Tingkat


Pendidikan

Kepribadian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Karakteristik dan

Stres Kerja Perawat Terhadap Burnout Syndrome

Keterangan : Diteliti

Tidak diteliti

31
32

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesa adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau

dalil sementara, yang kebenaranya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut

(Notoatmodjo, 2010). Jenishipotesa dalam penelitian ini adalah hipotesa

korelatif.

1. Ha : Ada hubungan antara usia perawat terhadap kejadian burnout

syndrome.

H0 : Tidak ada hubungan antara usia perawat terhadap kejadian

burnout syndrome.

2. Ha : Ada hubungan antara tingkat pendidikan perawat terhadap

kejadian burnout syndrome.

H0 : Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan perawat terhadap

kejadian burnout syndrome.

3. Ha : Ada hubungan antara lama kerja perawat terhadap kejadian

burnout syndrome.

H0 : Tidak ada hubungan antara lama kerja perawat terhadap kejadian

burnout syndrome.

4. Ha : Ada hubungan antara stres kerja perawat terhadap kejadian

burnout syndrome.

H0 : Tidak ada hubungan antara stres kerja perawat terhadap kejadian

burnout syndrome.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian

correlational yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan korelatif

antarvariabel.Penelitian ini menggunakan pendektan cross sectional yaitu

jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel

independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2016).

Dengan menggunakan metode ini, diharapkan akan mendapatkan

informasi yang sistematis dan akurat tentang hubungan karakteristik dan stres

kerja dengan burnout syndrome pada objek yang diteliti. Sehingga, tersaji

data-data tersebut secara mendetail dan tergambar jelas serta dapat

menggambarkan suatu masalah yang ingin dideskripsikan.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia;

perawat) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2016).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang bertugas di IGD

dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura yang berjumlah 39 perawat

terdiri dari 23 perawat IGD dan 16 perawat ICU.

33
34

2. Sampel

Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,

2015).Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 39 responden.

3. Sampling

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik total sampling.

Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel

sama dengan populasi. Alasan mengambil total sampling karena menurut

Sugiyono (2010) jumlah populasi yang kurang dari 100 seluruh populasi

dijadikan sampel penelitian semuanya.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan diIGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura yang beralamat di Jalan Menteri Empat Martapura, Kalimantan

Selatan.

2. Waktu Penelitian

Tabel 4.1 Kegiatan Penelitian


Okt / Nov / Des / Jan / Feb / Mar / Apr / Mei / Jun / Jul /
No Kegiatan
2017 2017 2017 2018 2018 2018 2018 2018 2018 2018

1 Identifikasi
Masalah
2
Studi Pendahuluan

3 Penyusunan
Proposal
4
Ujian Proposal

5
Ujian Etik
35

6 Pengumpulan
Data
7 Tabulasi dan
Pengolahan Data
8 Penyusunan
Laporan Hasil

9 Ujian Hasil
Penelitian

10 Penyerahan
Laporan

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai

beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Soeparto, Putra, &

Haryanto, 2000 dalam Nursalam, 2015). Variabel mengandung pengertian

ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang

berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain (Notoatmodjo,

2010). Variabel yang dipakai dalam penelitian ini yaitu :

a. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya

ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2015).Variabel dependen

dalam penelitian iniadalah burnout syndromepada perawat pelaksana

di IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

b. Variabel Independen (bebas)

Variabel Independen adalah variabel yang memengaruhi atau

nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2015).Variabel

independen yang pertamadalam penelitian ini adalah karakteristik


36

perawat meliputiusia, lama kerja, dan tingkat pendidikan.Variabel

independen yang kedua adalah stres kerja perawat.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat

diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat

diamati artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang

kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2015).

Tabel 4.2
Variabel, Definisi Operasional, Skala Pengukuran, dan Alat Ukur
Definisi
Variabel Parameter Alat Ukur Skala Kategori
Operasional
Variabel
Dependen:

Kejadian Kelelahanfisik,m - Tingkat Kuesioner Ordinal 1. Tinggi


Burnout entalmaupun kelelahan Maslach Z ≥0)
syndrome pada emosi yang emosional Burnout 2. Rendah
perawat dialamioleh - Tingkat Inventory Z <0
pelaksana perawat di IGD depersonalisasi (MBI)
dan ICU RSUD - Tingkat
Ratu Zalecha pencapaian
Martapura. prestasi diri
Variabel
Independen :

Karakteristik Faktoryang - Usia Kuesioner


perawat : berasaldaridirip - Jenis kelamin
erawat di IGD - Status
dan ICU RSUD pernikahan
Ratu Zalecha - Masa kerja
Martapura. - Tingkat
pendidikan
37

1. Usia Lama waktu Kuesioner Nominal 1. Usia


hidup sejak Terhitung pada - Tua (≥30
dilahirkan ulang tahun tahun)
hingga terakhir dalam - Muda ( <30
sekarang. hitungan tahun. tahun)

2. Lama Kuesioner Nominal 2. Masa kerja


kerja Suatu kurun Terhitung sejak - Lama (≥ 5
waktu atau pertama kali tahun)
masanya tenaga bekerja di IGD/ICU - Baru (< 5
kerja itu bekerja hingga sekarang. tahun)
di suatu tempat

3. Tingkat Ditentukan sesuai Kuesioner Ordinal 3. Tingkat


Pendidika Jenjangilmupen ijazah terakhir pendidikan
n getahuanyang yang dimiliki. - SPK
didapatdari - Perguruan
lembaga Tinggi
pendidikanform
alterakhir

1. Berat (76 -
Stres kerja - Stres biologis Kuesioner Ordinal 100%)
perawat suatu - Stres psikologis 2. Sedang (51 -
ketegangan - Stres sosial 75%)
yang 3. Ringan (25 -
mempengaruhi 50%)
proses berpikir,
emosi, dan
kondisiperawat
di IGD dan ICU
RSUD Ratu
Zalecha
Martapura.

E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis Instrument

Jenis instrumen penelitian yang dapat dipergunakan pada ilmu

keperawatan dapat diklasifikasikan menjadi 5 bagian, yang meliputi


38

pengukuran (1) biofisiologis, (2) observasi, (3) wawancara, (4) kuesioner,

dan (5) skala(Nursalam, 2015).

Instrumen penelitian variabel dependen yaitu burnout syndrome

yang diadopsi dari teori maslach dalam Nursalam 2015. Instrument yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar kuesioner yang meliputi data

demografi karakteristik (usia, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat

pendidikan), dan beberapa kuesioner yang berisi tentang penilaian burnout

syndromedan stress kerja. Instrumenyang digunakan adalah maslach

burnout inventory (MBI) dan instumen stres kerja dari Nursalam 2016yang

telah dilakukan uji validitas oleh beberapa peneliti sebelumnya yang

dinyatakan valid dengan melampirkan nilai r serta alpha cronbach. Data

yang diperoleh kemudian dianalisis univariat dengan distribusi frekuensi,

bivariat menggunakan uji kendal tau dengan ketetentuan nilai p < α (p<

0,05)berarti Ha diterima yang artinya terdapat hubungan antara variabel

independent dengan variabel dependent. sehingga tidak dilakukan uji

validitas dan reabilitas.

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada

rancangan penelitian dan teknik instrumenyang digunakan (Burns dan

Grove, 1999 dalam Nursalam 2015).


39

a. Jenis data yang dikumpulkan, yaitu :

1.) Data Primer

Dalam penelitian ini data primer dikumpulkan melalui

instrumen lembarkuesioner yang langsung diberikan kepada

respondenyaituperawat pelaksana di IGD dan ICU RSUD Ratu

Zalecha Martapura.

2.) Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diambil secara tidak

langsung.Data sekunder dikumpulkan sebagai data pelengkap

yang mendukung penelitian ini. Data yang dikumpulkan

adalahdata milik ruang IGD dan ICU berupa jumlah perawat serta

identitas perawat pelaksana di IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura.

b. Prosedur pengumpulan data

Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1) Menyampaikan izin penelitian kepada direktur RSUD Ratu

Zaleha Martapura

2) Menyampaikan izin dengan kepala ruangan IGD dan ICURSUD

Ratu Zaleha Martapura


40

3) Bekerjasama dengan perawat yang berdinas pada hari penelitian

dilakukan

4) Membagikan kuesioner penelitian kepada sebagian perawat

pelaksana IGD dan ICU dengan menjawab langsung ditempat dan

kuesioner langsung dikumpulkan pada hari itu juga.

F. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

a. Variabel Burnout Syndrome

Burnout menggunakan kuesioner dengan 22 pernyataan

yang terdiri dari 3 dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi

dan pencapaian prestasi diri. Setiap dimensi memiliki jumlah

pertanyaan yang berbeda.Dimensi kelelahan emosional berjumlah 9

pernyataan, depersonalisasi 5 pernyataan dan pencapaian prestasi diri

8 pernyataan.

Apabila responden menjawab 9 pernyataan kelelahan

emosional dengan poin 6 maka 9x6 = 54, apabila responden

menjawab 5 pernyataan depersonalisasi dengan poin 6 maka 5x6 =

30, apabila responden menjawab 8 peryataan pencapaian prestasi diri

dengan 6 poin maka 8x6 = 48.

Tabel 4.3 Kategori penilaian dimensi burnout syndrome

No Dimensi Jumlah Poin Total


pernyataan
1. Kelelahan emosional 9 6 54
2. Depersonalisasi 5 6 30
3. Pencapaian prestasi diri 8 6 48
Jumlah 132
41

Tabel 4.4 Kategorisasi rentang skor burnout syndrome

Kategorisasi Rentang Skor


Tinggi Z ≥1
Rendah Z <0

Kategorisasi data ini menggunakan rumus skor Z dengan

bantuan perhitungan software SPSS. Adapun rumus untuk mencari

skor Z (Normal deviate) sebagai berikut :

( X −M )
Z=
S

Keterangan :

Z = Skor z (Normal deviate)

X = Skor mentah

M = Rata rata skor mentah

S = Standar deviasi

b. Variabel Karakteristik

Variabel Karakteristik diukur melalui kuesioner yang diisi oleh

responden sendiri dengan memberikan kuesioner yang sudah

disediakan kolom data demografi/karakterstik yang berisi tentang usia,

jenis kelamin, status perkawinan, lama kerja, dan tingkat pendidikan

dari responden. Kategori variabel karakteristik sebagai berikut:


42

Tabel 4.5 Kategori Variabel Karakteristik

Data demografi/karakteristik Kategori


Usia - Tua (≥30 tahun)
- Muda < 30 tahun
Lama kerja - Lama ≥ 5 tahun)
- Baru (< 5 tahun)
Tingkat pendidikan - SPK
- Perguruan Tinggi

c. Variabel Stres Kerja

Instrumen stres kerja menggunakan kuesioner yang sudah

baku, yang diambil dari Nursalam 2016. Terdiri dari 35 pernyataaan

dengan 3 dimensi stres yaitu stres biologis, stres psikologis, dan stres

sosial.Dimana tiap butir pernyataan berisi mengandung

4pilihanjawabanyaitu1(tidakpernah),2(kadang-kadang),3 (sering), dan

4(selalu).

Skor untuk pernyataan dalam instrumen ini 4 untuk pernyataan

(selalu), 3 untuk (sering), 2 untuk (kadang-kadang), dan 1 untuk

(tidakpernah). Jumlah skor tertinggi adalah 35x4= 140 (100%) dan

jumlah skor terendah adalah 35x1= 35 (25%).

Penentuan skoring menggunakan pendekatan skala Likert

untuk menentukan kategori stres kerja yang dialami responden. Range

skor ini adalah 100-25= 75% , dengan 3 kategori ringan, sedang, dan

berat. Interval skor ini adalah 75/3 = 25% maka penetapan skoring
43

dengan interval 25% sehingga didapatkan kriteria kategorisasi skor

yaitu:

Tabel 4.6 Kategorisasi Stres Kerja

Kategori Skor
Berat 76-100%
Sedang 51-75%
Ringan 25-50%

Dengan rumus sebagai berikut:

Skor mentah yang diperoleh


Skor = x 100%
Skor tertinggi

Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang

harus di tempuh, yaitu :

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan.Pada penelitian ini, editing

dilakukan setelah data terkumpul.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pada penelitian ini

coding dilakukan setelah proses editing data dilakukan.

Adapun pengkodean berdasarkan kategori jawaban yang

digunakan adalah sebagai berikut:


44

Tabel 4.7 Kategorisasi Jawaban Kuesioner Burnout Syndrome

Kategorisasi Jawaban Kode


Tidak pernah 0
Beberapa kali dalam setahun 1
Satu bulan sekali/kurang 2
Beberapa kali dalam sebulan 3
Satu minggu sekali 4
Beberapa kali dalam seminggu 5
Setiap hari 6

Tabel 4.8 Kategorisasi Jawaban Kuesioner Stres Kerja

Kategorisasi Jawaban Kode


Selalu 4
Sering 3
Kadang-kadang 2
Tidak pernah 1

Setelah semua data responden dalam pertanyaan diberi kode,

maka langkah berikutnya adalah menyusun buku kode. Buku kode ini

sebagai pedoman untuk memindahkan kode jawaban responden dalam

kuesioner ke lembaran kode, yang kemudian juga akan berguna

sebagai pedoman peneliti dalam mengidentifikasi variabel penelitian

yang akan digunakan dalam analisis data (membaca tabulasi data).

c. Tabulasi Data

Tabulasi data merupakan proses pengolahan data yang

dilakukan dengan cara memasukan data ke dalam tabel. Atau dapat

dikatakan bahwa tabulasi data adalah penyajian data dalam bentuk


45

tabel atau daftar untuk memudahkan dalam pengamatan dan

evaluasi.Hasil tabulasi data ini dapat menjadi gambaran tentang hasil

penelitian, karena data-data yang diperoleh dari lapangan sudah

tersusun dan terangkum dalam tabel-tabel yang mudah dipahami

maknanya.

2. Analisis Data

Analisis dilakukan dalam 2 jenis analisis yaitu analisis

univariat dan analisis bivariat, yaitu:

a. Analisis Univariat

Analisisunivariat yaitu variabel dalam penelitian ini disusun

secara deskriptif dengan tabel distribusi frekuensi.Tabel distribusi

frekuensi memuat karakteristik dan stres kerja perawat terhadap

kejadian burnout syndrome pada perawat di IGD dan ICU RSUD

Ratu Zalecha Martapura.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisa yang dilakukan

terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi

(Notoatmodjo, 2010). Analisis bivariat dengan menganalisa

datauntuk mengetahui hubungan antara satu variabel independen dan

satu variabel dependen yaitu mengetahui hubungan karakteristik

(usia, lama kerja dan tingkat pendidikan) dengan kejadian burnout

syndrome dan mengetahui hubungan stres kerja dengan kejadian

burnout syndrome.
46

Analisa bivariat digunakan peneliti adalah uji Chi-Square,

degan tingkat kemaknaan(α) = 0,05. Apabila hasil uji

statistikdidapatkan (p) < 0,05 maka Ho ditolak yang bearti ada

hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.

Sebaliknya apabila hasil uji statistik (p) > 0,05 maka Ho diterima

yang berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen.

G. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang

sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan

berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus

diperhatikan. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain, sebagai

berikut:

1. Informed Concent

Subjek mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan serta berhak untuk berpartisipasi atau

menolak menjadi responden.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan nama

responden pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi nomor

kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentiality (kerahasiaan)
47

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai

hasil riset.
BAB V
HASIL PENELITIAN

Penelitian yang telah dilakukan di IGD dan ICU RSUD Ratu

Zalecha Martapura pada tanggal 9 April 2018 sampai dengan 26 Juni 2018.

Saya akan menguraikan hasil penelitian berdasarkan lembar kuesioner yang

diisi oleh perawat. Responden dalam penelitian ini berjumlah 39 orang yang

terdiri dari 23 perawat IGD dan 16 perawat ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura.

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha Martapura merupakan

Rumah Sakit milik Pemerintah Kabupaten Banjar yang berada di Provinsi

Kalimantan Selatan. RSUD Ratu Zalecha Martapura beralamatkan di jalan

Menteri Empat Martapura. Berdiri sejak tahun 1963 namun cikal bakal rumah

sakit ini sudah ada sejak tahun 1943.

1. Gambaran Umum Ruang IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura

Ruang IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura adalah fasilitas yang

melayani pasien yang berada dalam keadaan gawat dan terancam

nyawanya yang membutuhkan pertolongan secepatnya. Lokasi IGD RSUD

Ratu Zalecha Martapura ini terletak di bagian depan sebelah kanan gedung

utama rumah sakit. Pelayanan IGD dapat memberikan pelayanan 24 jam

secara terus menerus 7 hari dalam seminggu. Jumlah tempat tidur yang

dimiliki IGD Ratu Zalecha sekitar 15 tempat tidur.

2. Gambaran Umum Ruang ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura


47
48

Ruang ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura berada pada level 1

dengan klasifikasi kemampuan pelayanan pada ICU primer, ICU Rumah

Sakit Ratu Zalecha Martapura memiliki jumlah ketenagaan sesuai sesuai

dengan syarat ICU primer serta memiliki sarana dan prasarana yang

cukup. Adapun tujuan pelayanan keperawatan ruang ICU memberikan

tindakan keperawatan yang mengacu pada standar asuhan keperawatan,

melaksanakan tindakan keperawatan sesuai protap, melaksanakan

tindakan-tindakan pencegahan terjadinya infeksi nosokomial, menciptakan

lingkungan kerja yang kondusif dalam melaksanakan bmbingan dan

menghargai harkat dan martabat/privasi pasien tidak sadar. ICU RSUD

Ratu Zalecha Martapura memiliki 6 tempat tidur.

3. Visi Misi RSUD Ratu Zalecha Martapura

a) Visi “Rumah Sakit kelas B rujukan regional pilihan di Kalimantan

Selatan”.

b) Misi

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang mutu sesuai standar

akreditasi rumah sakit.

2) Meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan akses bagi

pengguna pelayanan khususnya masyarakat umum.

3) Meningkatkan kualitas kuantitas fasilitas rumah sakit rujukan

regional.

B. Gambaran Hasil Penelitian Hubungan Karakteristik Perawat (Usia,

Lama Kerja, dan Tingkat Pendidikan) dan Stres Kerja terhadap


49

kejadian Burnout Syndrome perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura tahun 2018

1. Gambaran Karakteristi Responden

a. Berdasarkan Usia

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi usia perawat IGD dan ICU RSUD Ratu
Zalecha Martapura tahun 2018
No. Batasan Usia Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Tua (≥30 tahun) 27 69,23
2. Muda (<30 tahun) 12 30,77
Jumlah 39 100
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian
Tabel 5.1 menunjukkan mayoritas usia responden terbanyak yaitu

usia tua (≥30 tahun) sebanyak 27 orang (69,23%).

b. Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi tingkat pendidikan perawat IGD dan ICU
RSUD Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
No. Tingkat Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%)
1. SPK 2 5,12
2. Perguruan Tinggi 37 94,88
Jumlah 39 100
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian
Tabel 5.3 menunjukkan mayoritas tingkat pendidikan responden

yang terbanyak adalah D3 sebanyak 37 orang (94,88%).

c. Berdasarkan Lama Kerja

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi lama kerja perawat IGD dan ICU RSUD
Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
No. Lama Kerja Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Lama (≥ 5 tahun) 29 74,35
2. Baru (< 5 tahun) 10 25,65
Jumlah 39 100
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian
Tabel 5.2 menunjukkan mayoritas lama kerja responden yang

terbanyak adalah lama (≥ 5 tahun) sebanyak 29 orang (74,35%).

2. Gambaran Stres Kerja


50

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi stres kerja perawat IGD dan ICU RSUD
Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
No. Stres Kerja Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Sedang (51% - 75%) 7 17,95
2. Ringan (25% - 50%) 32 82,05
Jumlah 39 100
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian
Tabel 5.4 menunjukkan mayoritas stres kerja responden yang

terbanyak adalah ringan (25% - 50%) sebanyak 32 orang (82,05%).

3. Gambaran Kejadian Burnout Syndrome

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi kejadian burnout syndrome perawat IGD


dan ICURSUD Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
No. Kejadian Burnout Syndrome Frekuensi (f) Persentase (%)
1. Tinggi (Z ≥0) 18 46,15
2. Rendah (Z <0) 21 53,95
Jumlah 39 100
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian
Tabel 5.5 menunjukkan mayoritas kejadian burnout syndrome

responden yang terbanyak adalah rendah (Z <0 ) sebanyak 21 orang

(53,95%).

4. Hubungan usia dengan kejadian burnout syndrome pada perawat

IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Tabel 5.6 dari 39 responden yang diteliti pada usia tua (≥ 30

tahun) cenderung mengalami burnout rendah yaitu sebanyak 15 orang

(55,6%), namun usia muda (< 30 tahun) cenderung sama-sama

mengalami burnout rendah dan tinggi yaitu sebanyak 6 orang (50%). Saat

dilakukan hasil uji statistic ( x 2) diperoleh p-value pada Continuity

Correction adalah 1,000 dengan demikian p-value (1,000) > α (0,05)

sehingga Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara usia dengan

kejadian burnout syndrome pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu
51

Zalecha Martapura. Hal ini berarti baik perawat dengan usia tua maupun

usia muda sama-sama mengalami kejadian burnout yang rendah dan

tinggi. Peneliti menyimpulkan bahwa usia tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan untuk terjadinya kejadian burnout.

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi usia dengan kejadian burnout syndrome perawat
IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
Kejadian Burnout p-value
Usia Tinggi Rendah Total 2
)
(Z ≥ 0 ) (Z <0)
Tua 12 44,4% 15 55,6% 27 100%  
(≥ 30 tahun) 1,000
Muda 6 50% 6 50% 12 100%  
(< 30 tahun)  
Jumlah 18 46,2% 21 53,8% 39 100%  

5. Hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian burnout syndrome

pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi tingkat pendidikan dengan kejadian burnout


syndrome perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
Kejadian Burnout p-value
Tingkat
Tinggi Rendah Total 2
)
Pendidikan
(Z ≥ 0 ) (Z <0)
SPK 0 0% 2 100% 2 100%  
0,490
Perguruan 18 48,6% 19 51,4% 37 100%  
Tinggi  
Jumlah 18 46,2% 21 53,8% 39 100%  

Tabel 5.8 dari 39 responden yang diteliti pada tingkat

pendidikan SPK cenderung mengalami burnout rendah yaitu sebanyak

2 orang (100%), tingkat pendidikan perguruan tinggi juga cenderung

mengalami burnout rendah yaitu sebanyak 19 orang (51,4%). Saat


52

dilakukan hasil uji statistic ( x 2) diperoleh p-value pada Fisher’s Exact

Test adalah 0,490 dengan demikian p-value (0,490) > α (0,05)

sehingga Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian burnout syndrome pada perawat IGD dan

ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura. Hal ini berarti baik perawat

dengan tingkat pendidikan SPK, dan perguruan tinggi sama-sama

mengalami kejadian burnout yang rendah. Maka dari itu peneliti

menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan untuk terjadinya kejadian burnout.

6. Hubungan lama kerja dengan kejadian burnout syndrome pada

perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi lama kerja dengan kejadian burnout syndrome
perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
Kejadian Burnout p-value
Lama Kerja Tinggi Rendah Total 2
)
(Z ≥ 0 ) (Z <0)
Lama 12 41,4% 17 58,6% 29 100%  
(≥ 5 tahun) 0,465
Baru 6 60% 4 40% 10 100%  
(< 5 tahun)  
Jumlah 18 46,2% 21 53,8% 39 100%  

Tabel 5.7 dari 39 responden yang diteliti pada lama kerja

yang lama (≥ 5 tahun) cenderung mengalami burnout rendah yaitu

sebanyak 17 orang (58,6%), lama kerja yang baru (< 5 tahun) juga

cenderung mengalami burnout tinggi yaitu sebanyak 6 orang (60%).

Saat dilakukan hasil uji statistic ( x 2) diperoleh p-value pada Fisher’s


53

Exact Test adalah 0,465 dengan demikian p-value (0,465) > α (0,05)

sehingga Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara lama

kerja dengan kejadian burnout syndrome pada perawat IGD dan ICU

RSUD Ratu Zalecha Martapura. Dilihat dari tabel tabulasi silang

perawat dengan lama kerja yang lama kecenderungan mengalami

burnout yang rendah sedangkan lama kerja yang baru cendrung

mengalami kejadian burnout yang tinggi, tetapi dari hasil uji statistic

tidak bermakna. Maka dari itu peneliti menyimpulkan bahwa usia

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk terjadinya

kejadian burnout.

7. Hubungan stres kerja dengan kejadian burnout syndrome pada

perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Stres Kerja dengan kejadian burnout syndrome
perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura tahun 2018
Kejadian Burnout p-value
Stres Kerja Tinggi Rendah Total 2
)
(Z ≥ 0 ) (Z <0)
Sedang 4 57,1% 3 42,9% 7 100%  
0,682
Ringan 14 43,8% 18 56,3% 32 100%  
 
Jumlah 18 46,2% 21 53,8% 39 100%  

Tabel 5.9 dari 39 responden yang diteliti pada stres kerja

yang sedang cenderung mengalami burnout tinggi yaitu sebanyak 4

orang (57,1%), namun stres kerja yang ringan cenderung mengalami

burnout rendah yaitu sebanyak 18 orang (56,3%). Saat dilakukan hasil

uji statistic ( x 2) diperoleh p-value pada Fisher’s Exact Test adalah


54

0,682 dengan demikian p-value (0,682) > α (0,05) sehingga Ho

diterima yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan kejadian burnout syndrome pada perawat IGD dan ICU RSUD

Ratu Zalecha Martapura. Dilihat dari tabel tabulasi silang perawat

dengan stres kerja yang sedang kecenderungan mengalami burnout

yang tinggi sedangkan stres kerja yang ringan cenderung mengalami

kejadian burnout yang rendah, tetapi dari hasil uji statistic tidak

bermakna. Maka dari itu peneliti menyimpulkan bahwa stres kerja

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk terjadinya

kejadian burnout.
BAB VI
PEMBAHASAN

A. Identifikasi karakteristik perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura

1. Berdasarkan Usia

Pada tabel 5.1 terlihat bahwa distribusi frekuensi usia perawat IGD

dan ICU mayoritas berada pada usia tua (≥30 tahun) sebanyak 27 orang

(69,23%) dan usia muda (< 30 tahun) sebanyak 12 (30,77%).Berdasarkan

statistik ini dapat disimpulkan lebih dari separu populasi perawat IGD dan

ICU berusia lebih dari 30 tahun.

Sumawidanta (2013) dalam Dian Yunita Sari 2016

mengungkapkan perawat yang lebih tua biasanya lebih menguasai

pekerjaan yang merekalakukan dan keinginan agar mencapai kinerja lebih

baik dari pada perawat yang berusia lebih muda juga lebih tinggi.

Tuntutan dalam diri perawat yang berusia lebih tua cenderung membuat

stres hingga terjadinya kelelahan fisik, emosional dan psikologi. Di

Amerika burnout syndrome banyak dialami oleh mereka yang berada pada

usia (>30 tahun) dengan pengalaman kerja yang relatif sedikit.

2. Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pada Tabel 5.2 terlihat bahwa distribusi frekuensi tingkat

pendidikanperawat IGD dan ICU mayoritas yaitu perguruan tinggi

sebanyak 37 orang (94,88%), sedangkan SPK hanya sebanyak 2 orang


55
56

(5,12%). Dari statistik ini dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan

perguruan tinggi mendominasi di IGD dan ICU Ratu Zalecha Martapura.

Menurut (Fatmawati 2012 dalam Dian YS 2016) seseorang

dengan pendidikan sarjana paling berisiko mengalami burnout syndrome

dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Profesional yang berpendidikan

tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika

dihadapkan pada kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncul

kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout

syndrome.

3. Berdasarkan Lama Kerja

Pada tabel 5.3 terlihat bahwa distribusi frekuensi lama kerja

perawat IGD dan ICU mayoritas lama kerja yang lama (≥ 5 tahun)

sebanyak 29 orang (74,35%) dan lama kerja yang baru (< 5 tahun)

sebanyak 10 (25,65%). Berdasarkan statistik ini dapat disimpulkan lebih

dari separu pupulasi perawat IGD dan ICU memili lama kerja yang lama

≥5 tahun.

Masa bekerja adalah suatu kurun waktu atau masanya tenaga kerja

itu bekerja di suatu tempat (Handoko, 2007). Menurut (Pangastiti, 2011)

seseorang dengan masa kerja yang lama akan mendapatkan pengalaman

kerja yang banyak, namun pola pekerjaan perawat yang monoton dan

bersifat human service justru menimbulkan kelelahan fisik, emosi dan

psikologi yang mengarah pada Burnout syndrome, sehingga semakin lama

seseorang bekerja maka semakin tinggi resiko Burnout syndrome.


57

B. Identifikasi Stres Kerja Perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura

Pada tabel 5.4 terlihat bahwa distribusi frekuensi stres kerja perawat

IGD dan ICU mayoritas mengalamistres kerja ringanyaitu sebanyak 32 orang

(82,05%). Sedangkan sebanyak 7 orang (17,95%) responden mengalami stres

kerja sedang. Berdasarkan statistik deskriptif dapat disimpulkan bahwa yang

lebih dari separuh populasi perawat IGD dan ICU yang diteliti mengalami

stres kerja yang ringan.

Menurut Sondang P.Siagian (2009), stres merupakan kondisi

ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik

seseorang. Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya akan berakibat pada

ketidakmampuan seseorang berinteraksi secara positif dengan

lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun diluarnya.

Artinya karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala

negative yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja Perawat yang

mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis sehingga

mereka sering marah-marah, agresif, tidak dapat relaks atau memperlihatkan

sikap yang tidak kooperatif (Hasibuan, 2012). Stres yang berlanjut dan tidak

teratasi nantinya dapat mengakibatkan burnout syndrome.

Hasil penelitian menunjukan bahwa stress kerja perawat IGD dan ICU

yang menjadi responden, sebanyak 32 orang (82,05%) responden mengalami

stres kerja yang ringan. Hal ini didukung dari hasil rekapitulasi data jawaban

sebagian besar responden pada kuesioner stres kerja mendapat skor terendah
58

(1 = tidak pernah) yaitu pada pertanyaan nomor 14 yaitu merasa tertekan

dengan pekerjaan, nomor 15 yaitu menyalahkan diri sendiri, nomor 16 yaitu

merasa tidak cocok dengan pekerjaan, nomor 30 yaitu keiniginan

meninggalkan pekerjaan, nomor 34 yaitu mudah marah tanpa sebab yang

berarti, dan nomor 35 yaitu merasa tidak suka dengan pekerjaan. Hasil

rekapitulasi data tersebut peneliti menyimpulkan bahwa lebih dari separuh

populasi perawat IGD dan ICU tidak pernah merasakan hal tersebut.

C. Identifikasi Burnout Syndrome Perawat IGD dan ICU RSUD Ratu

Zalecha Martapura

Tabel 5.5 terlihat bahwa distribusi frekuensi kejadian burnout perawat

IGD dan ICU mayoritas burnout rendah yaitu sebanyak 21 orang

(53,95%).Sedangkan sebanyak 18 orang (46,15%) responden yang

memilikiburnout tinggi. Berdasarkan statistik deskriptif dapat disimpulkan

bahwa yang lebih dari separuh populasi perawat IGD dan ICU yang diteliti

mengalami burnout rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian burnout perawat IGD

dan ICU yang menjadi responden, sebanyak 21 orang (53,95%) mengalami

kejadian burnout rendah. Hal ini didukung oleh hasil rekapitulasi data

jawaban sebagian besar responden pada kuesioner Burnout Syndrome

mendapatkan skor terendah (0 = tidak pernah) yaitu pada pertanyaan nomor 6

yaitu saya merasa frustasi dengan pekerjaan saya selama menjalani praktik

profesi, nomor 10 yaitu saya merasa memperlakukan pasien sebagai objek

yang tidak perlu dipahami secara personal (yang penting saya bisa
59

mendapatkan kompetensi), dan nomor 13 yaitu saya tidak perduli dengan apa

yang dialami pasien dan hanya menjalankan tugas saya seperlunya

saja.Berdasarkan hasil rekapitulasi data tersebut peneliti menyimpulkan

bahwa lebih dari separuh populasi perawat IGD dan ICU tidak pernah

merasakan hal tersebut.

Hasil penelitian burnout pada perawat IGD dan ICU menunjukan

burnout rendah dikarenakan adanya dukungan dari rekan kerja dan dokter

yang baik yaitu ketika jumlah pasien menumpuk rekan kerja yang lain

senantiasa sigap untuk membantu dan memberikan dukungan dalam bentuk

candaan untuk mencairkan suasana dan perhatian sesama rekan kerja.

Sehingga perasaan jenuh/bosan yang dialami oleh perawat tidak mudah tinggi

yang akhirnya perawat tersebut akan menikmati setiap pekerjaannya.

D. Hubungan Karakteristik Dengan Kejadian Burnout Syndrome pada

Perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

1. Hubungan usia dengan kejadian burnout syndrome pada perawat

IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Pada tabel 5.6 didapatkan sebanyak 12 responden (44,4%) dengan

usia tua (≥ 30 tahun) menunjukkan burnout tinggi. Sebanyak 15 responden

(55,6%) dengan usia tua (≥ 30 tahun) menunjukkan burnout rendah.

Sebanyak 6 responden (50%) usia muda(< 30 tahun)menunjukkan burnout

tinggi, dan sebanyak 6 responden (50%) usia muda (<30 tahun)

menunjukkan burnout rendah.

Hasil penelitian tersebut diketahui sebanyak 12 responden (44,4%)


60

usia tua menunjukkan burnout tinggi, dan sebanyak 15 responden

(55,6%) usia tua menunjukkan burnout rendah. Peneliti menyimpulkan

bahwa usia tua cenderung mengalami burnout yang rendah. Hal ini

bertentangan dengan hasil penelitian (Fatmawati 2012 dalam Dian YS

2016) menyebutkan bahwa individu yang berusia 30 tahun keatas

memiliki tingkat burnout yang lebih tinggi dibandingkan individu yang

berusia 30 tahun ke bawah. Sebanyak 6 responden (50%) dengan usia

muda menunjukkan burnout tinggi. Sebanyak 6 responden (50%) dengan

usia muda menunjukkan burnout rendah. Peneliti menyimpulkan bahwa

usia muda cenderung mengalami burnout rendah tetapi berisiko untuk

mengalami burnout tinggi.

Hasil uji statistik ( x 2) diperoleh p-value pada Continuity Correction

adalah 1,000 dengan demikian p-value (1,000) >α (0,05) sehingga Ho

diterima yang berarti tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian

burnout pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura. Hal

ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Larasati dan Paramita

(2013) yang berjudul “Tingkat Burnout Ditinjau dari Karakteristik

Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di

Surabaya” yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara usia (pvalue = 0,760) terhadap burnout syndrome.

Oleh karena itu peneliti menyimpulkan bahwa usia tidak

menunjukkan perbedaan terhadap keinginan untukburnout perawat IGD

dan ICU, karena usia tua maupun muda sama-sama menunjukan kejadian

burnout rendah walaupun usia muda mengalami burnout rendah dan tinggi
61

yang berimbang. Hal ini karena para pekerja pemberi pelayanan di usia

muda dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan

dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia

pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh

sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis (Sutjipto, 2001). Selain

itu dikarenakan faktor lain, pada usia tua lebih dari 30 tahun mayoritas

sudah merasa nyaman terhadap pekerjaan mereka sehingga tidak ingin

kembali beradaptasi terhadap lingkungan baru, serta ingin menghabiskan

masa kerjanya/pensiun di satu tempatsaja. jadi untuk perawat dengan usia

tua tidak merasa jenuh dan tidak ada keinginan untuk meninggalkan

pekerjaan, sedangkan usia muda memiliki harapan yang tinggi namun

terkadang tidak sesuai dengan kenyataan .

2. Hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian burnout

syndromepada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura

Pada tabel 5.7 didapatkan sebanyak 2 responden (100%) dengan

tingkat pendidikan SPK menunjukkan burnout rendah. Sebanyak 0

responden (0%) dengan tingkat pendidikan SPK menunjukkan burnout

tinggi. Sedangkan sebanyak 19 responden (51,4%) tingkat pendidikan

perguruan tinggi menunjukkan burnout rendah, dan sebanyak 18

responden (48,6%) tingkat pendidikan perguruan tinggi menunjukkan

burnout tinggi.

Hasil penelitian tersebut diketahui sebanyak 19 responden (51,4%)


62

tingkat pendidikan perguruan tinggi menunjukkan burnout rendah, dan

sebanyak 18 responden (48,6%) tingkat pendidikan perguruan tinggi

menunjukkan burnout tinggi. Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat

pendidikan perguruan tinggi cenderung mengalami burnout yang

rendah.Sedangkan sebanyak 2 responden (100%) dengan tingkat

pendidikan SPK menunjukan burnout yang rendah dan tidak ada

responden (0%) dengan tingkat pendidikan SPK yang menunjukan

burnout tinggi. Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan SPK

cenderung mengalami burnout rendah.

Hasil uji statistik ( x 2) diperoleh p-value pada Fisher’s Exact Test

adalah 0,490 dengan demikian p-value (0,490) >α (0,05) sehingga Ho

diterima yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan

kejadian burnout pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha

Martapura. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian (Fatmawati 2012

dalam Dian YS 2016) yang menyebutkan bahwa seseorang dengan

pendidikan perguruan tinggi paling berisiko mengalami Burnout syndrome

dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Profesional yang berpendidikan

tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika

dihadapkan pada kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan maka muncul

kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan Burnout syndrome.

Oleh karena itu peneliti menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk terjadinya

keinginanburnout padaperawat IGD dan ICU, karena tingkat pendidikan

perguruan tinggi dan SPK sama-sama mengalami burnout rendah. Hal ini
63

dikarenakan faktor lain yaitu faktor keadilan (Fairness) dimana perawat

dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi saling menghargai dan

menerima perbedaan terhadap tingkat pendidikan SPK dengan tidak

membeda-bedakan tingkat pendidikan dalam berinteraksi di tempat

kerja.Begitu pula sebaliknya tingkat pendidikan SPK juga menghormati

terhadap tingkat pendidikan perguruan tinggi. Hal inilah yang membuat

perawat merasa nyaman dalam berinteraksi sehingga perawat tidak akan

jenuh berinteraksi dengan teman sejawat maupun dokter dan tidak ada

keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

3. Hubungan lama kerja dengan kejadian burnout syndromepada

perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Pada tabel 5.8 didapatkan sebanyak 12 responden (41,4%) dengan

lama kerja yang lama (≥ 5 tahun)menunjukkan burnout tinggi. Sebanyak

17 responden (58,6%) dengan lama kerja yang lama (≥ 5 tahun)

menunjukkan burnout rendah. Sedangkan sebanyak 6 responden (60%)

dengan lama kerja yang baru (< 5 tahun) menunjukkan burnout tinggi, dan

sebanyak 4 responden (40%) dengan lama kerja yang baru (< 5

tahun)menunjukkan burnout rendah.

Hasil penelitian tersebut diketahui sebanyak 12 responden (41,4%)

lama kerja yang lama menunjukkan burnout tinggi, dan sebanyak 17

responden (58,6%) lama kerja yang lama menunjukkan burnout rendah.

Peneliti menyimpulkan bahwa lama kerja yang lama cenderung

mengalami burnout yang rendah. Hal ini bertentangan dengan hasil


64

penelitian pangastiti (2011) Walaupun dengan masa kerja yang lama

seorang perawat mendapatkan pengalaman kerja yang banyak,

namunpola pekerjaan perawat yang monoton dan bersifat human service

justru menimbulkan kelelahan fisik, emosi dan psikologi yang mengarah

pada Burnout syndrome, sehingga semakin lama seseorang bekerja maka

semakin tinggi resiko Burnout syndrome. Sedangkan sebanyak 6

responden (60%) lama kerja yang baru menunjukan burnout tinggi, dan

sebanyak 4 responden (40%) lama kerja yang baru menunjukan burnout

rendah. Peneliti menyimpulkan bahwa lama kerja yang baru cenderung

mengalami burnout tinggi. hal ini didukung oleh penelitian Maharani

(2012) bahwa individu dengan lama kerja 1-5 tahun cenderung

mengalami kejenuhan kerja (burnout), karena individu dengan lama kerja

1-5 tahun masih membutuhkan penyesuaian dengan pekerjaannya

sehingga secara tidak langsung dapat menjadi beban dan stress yang pada

akhirnya menyebabkan terjadinya kejenuhan kerja (burnout).

Hasil uji statistik ( x 2) diperoleh p-value pada Fisher’s Exact Test

adalah 0,465 dengan demikian p-value (0,465) > α (0,05) sehingga Ho

diterima yang berarti tidak ada hubungan lama kerja dengan kejadian

burnout pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura. Hal

ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Larasati dan Paramita

(2013) yang berjudul “Tingkat Burnout Ditinjau dari Karakteristik

Demografis (Usia, Jenis Kelamin dan Masa Kerja) Guru SDN Inklusi di

Surabaya” yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara masa kerja (pvalue = 0,674) terhadap burnout syndrome.


65

Penelitian lain yang dilakukan Ana Damayanti (2017) tentang “Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Burnout Syndrome Pada Perawat

IGD dan ICU RSUD Ulin Banjarmasin” yang menunjukan hasil bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja (pvalue = 0,225)

terhadap burnout syndrome.

Oleh karena itu peneliti menyimpulkan bahwa lama kerja tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk terjadinya keinginan

untukburnout perawat IGD dan ICU, karena dari hasil uji statistic tidak

terdapat hubungan walaupun dari tabel tabulasi silang dapat dilihat

perbedaan antara lama kerja yang lama cenderung mengalami burnout

rendah dan lama kerja yang baru cenderung mengalami burnout tinggi.

Hal ini dikarenakan adanya faktor lain, misalnya faktor karakteristik

individu itu sendiri dimana persepsi seseorang terhadap lingkungannya

berbeda-beda walaupun stimulusnya sama, sehingga masa kerja yang baru

ataupun lama tergantung karakteristik individunya bagaimana mengatasi

stimulus yang dijalaninya.

Selain itu faktor lainnya adalah penghargaan, dimana perawat

dengan masa kerja yang lama diberikan penghargaan berupa gajih yang

lebih, sehingga perawat dengan masa kerja lama akan merasa nyaman,

tidak akan merasa jenuh dan tidak ada keinginan untuk meninggalkan

pekerjaan, Sedangkan lama kerja yang baru akan berusaha beradaptasi

dengan lingkungan baru, proses adaptasi inilah salah satu faktor lama

kerja yang baru cenderung mengalami burnout tinggi apabila individu itu

sulit beradaptasi.
66

E. Hubungan stres kerja dengan kejadian burnout syndrome pada perawat

IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura

Pada tabel 5.9 didapatkan sebanyak 4 responden (57,1%) dengan stres

kerja yang sedang menunjukkan burnout tinggi. Sebanyak 3 responden

(42,9%) dengan stres kerja yang sedang menunjukkanburnoutrendah.

Sedangkan sebanyak 14 responden (43,8%) dengan stres kerja yang

ringanmenunjukkan burnout tinggi, dan sebanyak 18 responden (56,3%)

dengan stres kerja yang ringanmenunjukkan burnout rendah.

Hasil penelitian tersebut diketahui sebanyak 4 responden (57,1%)

stres kerja yang sedang menunjukkan burnout tinggi, dan sebanyak 3

responden (42,9%) stres kerja yang sedang menunjukkan burnout rendah.

Peneliti menyimpulkan bahwa stres kerja yang sedang cenderung mengalami

burnout yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Novita Dian

(2012) semakin tinggi tingkat stres kerja seseorang maka semakin tinggi pula

burnoutnya, Sedangkan sebanyak 14 responden (43,8%) stres kerja yang

ringan menunjukan burnout tinggi, dan sebanyak 18 responden (56,3%) stres

kerja yang ringan menunjukan burnout rendah. Peneliti menyimpulkan

bahwa stres kerja yang ringan cenderung mengalami burnout rendah.

Hasil uji statistik ( x 2) diperoleh p-value pada Fisher’s Exact Test

adalah 0,682 dengan demikian p-value (0,682) > α (0,05) sehingga Ho

diterima yang berarti tidak ada hubungan stres kerja dengan kejadian burnout
67

pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura. Hal ini

bertentangan dengan hasil penelitian dari widodo penelitian Widodo

Hariyono (2010) bahwa ada hubungan yang signifikan antara stress kerja

dengan kelelahan kerja perawat di Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI

dengan nilai taraf signifikansi 0,026 < 0,05. Penelitian lain yang dilakukan

Novita Dian (2012) bahwa ada hubungan yang signifikan antara stress kerja

(0,000) dengan kejadian burnout syndrome pada perawat IGD dan ICU

RSUD Bekasi.

Oleh karena itu peneliti menyimpulkan bahwa stres kerja tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk terjadinya keinginanburnout

perawat IGD dan ICU, karena dari hasil uji statistic tidak terdapat hubungan

walaupun dari tabel tabulasi silang dapat dilihat perbedaan antara stres kerja

yang sedang cenderung mengalami burnout tinggi dan stres kerja yang ringan

cenderung mengalami burnout rendah. Hal ini dikarenakan stres kerja yang

ringan mampu membuat sesorang fokus dalam bekerja sehingga gejala

burnout berkurang, sedangkan stres kerja yang tinggi membuat seseorang

gelisah dan tidak tenang dalam bekerja sehingga membuat resiko burnout

meningkat.

Faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap stres kerja, misalnya

faktor dukungan sosial dari lingkungan tempat kerja yang dapat memberikan

kontribusi, terutama pada produktivitas kinerjanya. Dukungan sosial yang

diperoleh dari atasan, teman kerja, dan keluarga mempunyai andil besar untuk

meringankan beban seseorang yang mengalami burnout. Sehingga orang

yang mendapatkan dukungan sosial ini percaya bahwa mereka dicintai,


68

dipedulikan, dihormati dan dihargai, merasa menjadi bagian seperti keluarga,

dan mendapatkan bantuan fisik maupun jasaakan membantu meringankan

tingkat stresnya sehingga keinginan untuk burnout juga berkurang. Hal ini

sesuai denganpenelitian Cassel dan Cob (dalam Almasitho, 2011)

mengemukakan dukungan yang dirasakan secara lebih konsisten mampu

meningkatkan kesehatan psikis dan melindungi psikis dalam kondisi stres.

F. Keterbatan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan,

sehingga diharapkan akan ada perbaikan dan pengembangan terhadap

penelitian ini, diantaranya :

1. Alat ukur penelitian ini menggunakan kuesioner sehingga jawaban sangat

bergantung pada kejujuran responden dan ketekunan peneliti

menjelaskan item kuesioner kepada responden

2. peneliti tidak memperhatikan faktor lain yang berkaitan dengan kejadian

burnout seperti jenis kelamin, dukungan sosial, penghargaan dan lain-

lain.
BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan,

maka dapat disimpulkan :

1. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas usia responden yang terbanyak

adalah usia tua (≥ 30 tahun) yaitu sebanyak 27 orang atau sebesar

69,23%.

2. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas tingkat pendidikan responden

yang terbanyak adalah perguruan tinggi yaitu sebanyak 37 orang atau

sebesar 94,88%.

3. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas lama kerja responden yang

terbanyak adalah lama kerja yang lama (≥5 tahun) yaitu sebanyak 29

orang atau sebesar 74,35%.

4. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas stres kerja responden yang

terbanyak adalah stres kerja ringan yaitu sebanyak 32 orang atau

sebesar 82,05%.

5. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas kejadian burnout syndrome

responden yang terbanyak adalah burnout syndrome rendah yaitu

sebanyak 21 orang atau sebesar 53,95%.

6. Hasil uji statistik untuk variabel usia dengan kejadian burnout syndrome

bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian burnout pada

perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

69
70

7. Hasil uji statistik untuk variabel tingkat pendidikan dengan kejadian

burnout syndrome bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan kejadian burnout pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu

Zalecha Martapura.

8. Hasil uji statistik untuk variabel lama kerja dengan kejadian burnout

syndrome bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja dengan kejadian

burnout pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.

9. Hasil uji statistik untuk variabel stres kerja dengan kejadian burnout

syndrome bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan kejadian

burnout pada perawat IGD dan ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura.
71

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan beberapa

hal sebagai berikut :

1. Rumah sakit

Bagi pihak RSUD Ratu Zalecha Martapura, diharapkan untuk

memperhatikan stres kerja perawat terutama ruangan IGD dan ICU yang

memiliki beban kerja yang tinggi dari ruangan lain, untuk meminimalkan

terjadinya burnout pada perawat pelaksana dengan cara yaitu misalnya

mengadakan kegiatan diluar rumah sakit seperti liburan 1 bulan sekali

atau 2 bulan sekali.

2. Perawat

Bagi perawat pelaksana khususnya ruang IGD dan ICU

diharapkan untuk mempertahankan komunikasi dan sikap yang baik

dengan atasan maupun rekan kerja sehingga mampu menciptakan

suasana yang nyaman, mengurangi stressor dan kebosanan dalam bekerja

serta menjadikan stres sebagai motivasi dalam bekerja.

3. Peneliti selanjutnya

Diharapkan dapat melakukan penelitian terhadap variabel-

variabel lain yang kemungkinan memiliki hubungan dengan kejadian

burnout, seperti faktor lain (dukungan sosial, kepribadian, penghargaan,

dan lain lain). Peneliti menyarankan dalam pengembangan instrument

burnout dan stres kerja dengan menggunakan instrument selain kuesioner

misalnya observasi agar dapat dilihat secara objektif.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Turki, H.A. et al. 2010. Burnout Syndrome Among Multinational Nurses


Working in Saudi Arabia. Saudi Med Journal, 31(3): 313-316.

Almasitoh, U. H. 2011. Stres Kerja Ditinjau Dari Konflik Peran Ganda Dan
Dukungan Sosial Pada Perawat. Psiko islamika – Jurnal Psikologi Islam. No. 8
Vol.1, 63-82. Klaten :UniversitasWidya Dharma.
Azwar, S. 2011. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Cavus. 2010. “The Impacts of structural and psychological Emprowerment on


Burnout” A Research on Staff Nurse in Turkish State Hospitals. Canadian,
Social Science. Hlm. 63-72.

Damayanti, Ana 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Burnout


Syndrome Pada Perawat IGD dan ICU RSUD Ulin Banjarmasin.

Dewi, Shinta Larasati & Pramesti P Paramita, 2013. Tingkat Burnout Ditinjau dari
Karakteristik Demografis (Usia, Jenis Kelamin, dan Masa Kerja) Guru SDN
Inklusi di Surabaya. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan.

Dian Yunita Sari, Ni Luh Putu 2016. Hubungan Beban Kerja, Faktor Demografi,
Locus of Control, dan Harga diri Terhadap Burnout Syndrome Pada Perawat
Pelaksana Ruang Intermediet RSUP Sanglah. Di peroleh pada tanggal 9
November 2017 dari
http://binausadabali.ejurnal.info/index.php/kesehatan/article/view/23.

Handoko, T. Hani 2007. Mengukur Kepuasan Kerja. Jakarta: Erlangga.

Handoko, T Hani 2008. Manajemen Personalia. BPFE Yogyakarta,Yogyakarta.

Hasibuan, Melayu. 2012. Managemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Bumi
Aksara, Jakarta.

Hoetomo, 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar.

Hungu, 2007. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta: Penerbit Grasindo.

Latif Dharmahari Wibowo, 2016 Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat di Instalasi
Gawat Darurat dan Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Watas
Kulon Progo. Di peroleh tanggal 13 November dari
http://repository.stikesayaniyk.ac.id/id/eprint/583.

Mangkunegara, Anwar Prabu, 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber daya


manusia. Bandung: Refika Aditama.

72
73

Maslach, C, Jackson, S & Lieter, M. 2003. Maslach Burnout Inventory


Manual.California: CPP.

Maslach, C, 2001. “Job Burnout”. Annual Review of Psycology, diakses 8 Desember


2017, indarticles.com.

Maslach, C, 2004. Defferent Perspectives on job Burnout. Contemporary


Psychology. APA Review of Books, Hlm.168-170.

Maslach, C., & Leiter, M. P. 2008. Early predictors of job burnout and engagement.
Journal of Applied Psychology, 93, 498-512. California: CPP

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang


pedoman penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 304/MENKES/PER/III/2010 tentang


rumah sakit.

Moreira, et al. 2009. Prevalence of Burnout Syndrome in Nursing Staff In A


Large Hospital in South of Brazil. Medline Journal, 25(7):1559-68.

Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurhendar, Siti 2007. Pengaruh Stres Kerja dan Semangat Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan Bagian Produksi CV. Aneka Ilmu Semarang.

Nursalam, 2016. Metodelogi Penelitian Ilmu Keperaatan: Pendekatan Praktis Edisi


4. Jakarta : Salemba Medika.

Pangistiti, N.K. 2011. Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap


Burnout Pada Perawat Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa. Semarang Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro.

Prestiana, Novita Dian Iva & Dewanti Purbandini. 2012. Hubungan Antara Efikasi
Diri (Self Efficacy) dan Stres Kerja dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) pada
Perawat IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi.Soul 5 diperoleh tanggal 6 Juli
2018 dari http://jurnal.unismabekasi.ac.id

Robbins, et al. 2008.Perilaku Organisasi. Salemba Empat, Jakarta.

Sondang P. Siagian, 2009. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Sudarman, M. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba.

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.
74

Sutjipto. 2001. Burnout studi mengungkap psikologi dunia kerja. Semarang; GI gema
Insani off set.

Tri Haryadi, 2009. Pengalaman suami dan para istri pada perkawinan poligami (Studi
fenomenologis pada sebuah keluarga poligami). Fakultas
Psikologi:Universitas Indonesia.

Widodo. 2010. Perbedaan tingkat stress kerja antara perawat krtis dan perawat gawat
darurat di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi

Anda mungkin juga menyukai