Anda di halaman 1dari 38

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN BORNOUT

SYNDROM PERAWAT DI UNIT KAMAR OPERASI

DAN ICU RSUD SINJAI

AHIRUDDIN
21806215

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR
2022
PROPOSAL PENELITIAN

I. JUDUL PENELITIAN

Hubungan Beban Kerja dengan Bornout Syndrom Perawat di Unit Kamar

Operasi dan ICU RSUD Sinjai

II. RUANG LINGKUP

Managamen Keperawatan

III. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karyawan yang bekerja pada sebuah rumah sakit rentan mengalami kelelahan

kerja, hal ini karena kegiatan sepanjang waktu untuk melayani pasien mulai dari pagi,

siang, sore, dan malam. Jumlah pasien yang datang banyak, kemudian jenis penyakit

bermacammacam ada yang datang dengan kondisi ringan, kondisi parah, dan kondisi

gawat semuanya membutuhkan kesabaran dan ketekunan para karyawan rumah sakit

Jenis pekerjaan melayani karakteristik pasien yang berbeda-beda dan waktu istirahat

karyawan yang mungkin kurang. Bila pekerjaan seperti ini dilakukan secara terus

menerus dapat membuat orang cepat terkena stress yang akhirnya akan menimbulkan

burnout bagi para karyawan.


Di rumah sakit, selain profesi dokter, juga terdapat perawat yang memegang

peranan penting dalam hal melayani dan merawat orang yang sakit secara langsung.

Dalam melaksanakan tugasnya sehari – hari, seorang perawat sering dihadapkan pada

suatu usaha penyelamat kelangsungan hidup atau nyawa seseorang. Berkaitan dengan

ruang lingkup kerjanya, perawat selalu berhadapan dengan hal – hal yang monoton

dan rutin, ruang kerja yang sesak dan sumpek bagi yang bertugas dibangsal, harus

berhati – hati menangani peralatan diruang operasi, serta harus dapat bertindak cepat

dan tepat dalam menangani penderita yang masuk Unit Gawat Darurat (Tawale, dkk.,

2011).

Kelelahan kerja adalah kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosional yang

muncul sebagai konsekuensi dari ketidaksesuaian antara kondisi karyawan dengan

pekerjaannya (lingkungan dan desain pekerjaan). Sejauh ini fenomena kelelahan kerja

masih belum mendapat perhatian serius dari pihak manajemen organisasi, meskipun

sudah banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa kelelahan keja

menurunkan efektivitas organisasi (Radiatul, 2018).

Petugas kesehatan memilki resiko terpapar penyakit menular, termasuk yang

ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lain dan / atau agen infeksi yang ditularkan

melalui udara (Shiao et al. 2007). . Burnout diketahui didorong oleh stres kerja yang

tinggi, tekanan waktu dan beban kerja yang tinggi, serta dukungan organisasi yang

buruk (Dugani et al, 2018).


Tingginya jumlah pasien, fasilitas rumah sakit yang kurang memadai, serta

tingginya resiko terpapar penyakit membuat pegawai kesehatan mengalami stres

akibat bekerja. Stres kerja adalah kondisi ketika stressor kerja secara sendiri atau

bersama faktor lain berinteraksi dengan karakteristik individu, menghasilkan

gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis (Sauter, 2009). Stres kerja

berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental pekerja, penurunan kinerja,

kurangnya pengembangan karir, dan kehilangan pekerjaan. Society of Critical Care

Medicine mensurvei 9492 dokter unit perawatan intensif di A.S. dan menemukan

bahwa median stres yang dilaporkan sendiri, diukur pada skala dari 0 menjadi 10,

meningkat dari 3 menjadi 8 selama pandemic (SCCM, 2020).

Dari sebuah studi di Amerika Serikat, menemukan bahwa 49% dari perawat

yang berusia dibawah 30 tahun 40% perawat berusia diatas 30 tahun yang

berpengalaman mengalami burnout. Menurut sebuah studi dalam Journal of

American Medical Association, bahwa setiap penambahan pasien per perawat,

menambah resiko terjadi tingkat kelelahan sebesar 23%, dan terjadi penurunan

sebesar 15% dalam kepuasan kerja. (“Departement for Proffesional Employees”,

2012).

Menurut Kleiber & Ensman (Prestiana, 2012), bibliografi terbaru yang

memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43% burnout dialami

pekerja kesehatan dan sosial (perawat), 32% dialami guru (pendidik), 9% dialami

pekerja administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan kepolisian,


dan 2% dialami pekerja lainnya. Dari persentase di atas dapat dilihat bahwa profesi

perawat menempati urutan tertinggi sebagai profesi yang paling banyak mengalami

burnout. Hampir setengah dari jumlah keseluruhan pekerja yang mengalami burnout

adalah perawat. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian dari berbagai pihak

terhadap profesi perawat. Padahal apabila semakin banyak perawat yang mengalami

burnout maka semakin rendah kualitas pelayanan yang diberikan. Hal ini tentu

berdampak buruk bagi masyarakat karena akan memperoleh kualitas pelayanan yang

kurang maksimal (Prestiana, 2012).

National Safety Council (NSC) tahun 2004 dalam Maharani (2012),

mengatakan bahwa kejenuhan kerja merupakan akibat stres kerja dan beban kerja

yang paling umum, gejala khusus pada kejenuhan kerja ini antara lain kebosanan,

depresi, pesimisme, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan,

keabsenan, dan kesakitan atau penyakit.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya hampir di seluruh

profesi perawat menduduki posisi tertinggi olehnya itu peneliti tertarik melakukan

study terkait dengan beban kerja dan Bornout Sydrom dengan data yang didapatkan

dari Unit Kamar Operasi Rsud Sinjai dengan jumlah kegiatan operasi selama bulan

Desember tahun 2021 mencapai angka 256 dimana kegiatan tersebut terbagi

menjadi dua yakni kegiatan operasi cito dan Efektif.


B. Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang diatas,maka penulis tertatik untuk melakukan

penelitian terkait dengan : “Hubungan Beban Kerja dengan Bornout Syndrom

Perawat di Unit Kamar Operasi dan ICU RSUD Sinjai ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengatahui Hubungan Beban Kerja dengan Bornout Syndrom Perawat di

Unit Kamar Operasi dan ICU RSUD Sinjai

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui Beban Kerja Perawat

b. Untuk mengetahui Bornout Syndrom Perawat

c. Untuk mengetahui Hubungan Beban Kerja dengan Bornout Syndrom

Perawat

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan memberi

sumbangan ilmu serta dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi

rumah sakit, puseksmas dalam melaksanakan kegiatan perencanaan,

pengembangan, dan pembinaan terhadap sumber daya keperawatan.


3. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti terutama untuk menambah

wawasan dalam hal mengetahui tentang Beban Kerja dengan Bornout Syndrom

Perawat di Unit Kamar Operasi RSUD Sinjai.

4. Manfaat Bagi Perawat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan sumber

informasi tentang Beban Kerja dengan Bornout Syndrom Perawat di Unit Kamar

Operasi RSUD Sinjai.

IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Beban Kerja

Beban kerja perawat (nursing workload/nursing intensity) didefinisikan

sebagai jumlah dari perawatan dan kerumitan perawatan yang diperlukan oleh

pasien yang dirawat di rumah sakit (Huber; 2006). Sementara itu, Marquis dan

Huston (2001) mendefinisan beban kerja dalam bidang keperawatan sebagai

jumlah hari pasien (pattient days), dalam istilah lain unit beban kerja dikaitkan

dengan jumlah, prosedur, pemeriksaan, kunjungan pasien, injeksi, dan tindakan

lainnya yang diberikan kepada pasien.

Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan

oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan

(Marquis dan Huston dalam Mastini; 2013).


Dalam literatur-literatur yang membahas beban kerja, beban kerja selalu

dijelaskan sebagai faktor yang memiliki pengaruh terhadap kinerja. Lysaght, dkk.

(dalam Damos; 1991) menegaskan hal tersebut dalam beberapa faktor yang

memengaruhi beban kerja. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Tuntutan Situasi dan Pengaruh Eksternal

a. Kebutuhan kerja dan pembagian tugas, yaitu pembagian antara fungsi

sistem dan manusia merupakan langkah awal dalam desain sistem dan

pembagian ini akhirnya akan menimbulkan tuntutan situasi pada pekerja.

Selama desain sistem dilakukan, tim yang mendesain memutuskan fungsi

mana yang diberikan pada manusia dan mana yang diberikan pada sistem.

Sekali telah dilakukan pembagian, fungsi dan juga desain dari kendali dan

display akan mengarahkan tugas dari pekerja. Tugas yang dibagi kepada

pekerja merepresentasikan pekerjaan pekerja. Teknik faktor manusia dari

analisa tugas (task analysis) berpusat pada pemahaman bagaimana tugas

ini akan memengaruhi keseluruhan kerja dari pekerja, dan sejauh mana

tugas-tugas tersebut tak dapat dikerjakan pada tingkat yang diinginkan.

Task (tugas) dapat memengaruhi beban kerja yang dirasakan oleh pekerja

melalui banyak cara. Misalnya, melalui tindakan apa yang harus

dilakukan oleh seorang pekerja dalam memenuhi tugasnya, melalui

jumlah dan tipe dari tugas yang akan ditampilkan, melalui keterbatasan
waktu yang tersedia dalam menyelesaikan tugas maupun melalui tingkat

akurasi yang dibutuhkan dalam meyelesaikan tugas. Kesemua hal di atas

menjadi faktor yang berkontribusi terhadap munculnya tuntutan situasi.

b. Konteks lingkungan, yaitu tugas yang dikerjakan oleh pekerja tidaklah

dikerjakan sendiri. Suatu tugas dilakukan di dalam suatu keadaan yang

berbeda-beda yang dapat memengaruhi tingkat kesulitan yang dialami

oleh pekerja. Bagaimana seorang pekerja berinteraksi dengan

sekelilingnya juga memberikan dampak yang penting terhadap kinerja

dan beban kerja. Beberapa faktor eksternal yang dapat mengubah tuntutan

situasi dan memengaruhi tingkat kesulitan yakni lingkungan eksternal di

mana tugas dilakukan (misalnya panas, kelembaban, suara, penerangan,

getaran, dan gaya gravitasi), desain dari unit pertukaran informasi

manusia-mesin (misalnya tipe dan ukuran dari display dan kendali, serta

bentuk susunannya), desain dari pengemasan manusia (misalnya pakaian

pelindung, posisi duduk) serta desain dari keseluruhan tempat kerja

(misalnya ukuran, pencahayaan di dalamnya, ventilasi, kendali

kelembaban dan suhu, dan pengurangan getaran).

c. Pekerja, Setiap pekerja memasuki suatu situasi dengan membawa

pengaruh-pengaruh yang dapat memengaruhi kinerja. Kondisi sementara

yaitu merujuk kepada kondisi awal misalnya kondisi kesegaran tubuh

seseorang, yang bisa saja berpengaruh kepada pelaksanaan tugas. Sifat/

bawaan menetap, yaitu tidak hanya kondisi sementara, kondisi seorang


pekerja dipengaruhi oleh beberapa karakteristik yang tidak mudah

berubah, misalnya tujuan/ motivasi, pengetahuan/ keterampilan, dan

kemampuan proses berpikir. Kemampuan proses berpikir ini akan

berinteraksi dan berintegrasi dengan pengetahuan dan keterampilan untuk

mencapai tujuan dari tugas. Individu berbeda-beda di dalam hal tujuan,

sejauh apa tujuan tersebut sudah terpuaskan hingga saat ini, dan sejauh

mana pemenuhan tugas dipandang sebagai pencapaian tujuan. Mereka

juga berbeda dalam hal persepsi mengenai kecepatan dan akurasi yang

dibutuhkan saat menyelesaikan tugas. Faktor-faktor ini akhirnya

menentukan tingkat motivasi dalam pemenuhan tugas dan sebagai

akibatnya, menentukan sejauh mana usaha yang secara sukarela diberikan

oleh individu tersebut. Kapasitas proses berpikir dari seorang individu

dibedakan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperolehnya

melalui pelatihan dan pengalaman. Pengetahuan (misalnya mengenai

fakta-fakta, peraturanperaturan, prosedur pemakaian peralatan) dapat

dianggap sebagai sumber yang dimiliki oleh individu yang dapat

dimanfaatkan oleh proses kognitif. Untuk menggunakan pengetahuan

tersebut, seorang individu harus melibatkan proses dinamis lainnya untuk

mengingat dan memanipulasi pengetahuan yang dibutuhkan dalam

menyelesaikan tugas. Kemampuan proses kognitif dibutuhkan untuk

mengumpulkan informasi yang didapat dari display dan memanipulasi

kendali yang ada. Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada


sebuah unit pasien tertentu, manajer harus mengetahui beberapa faktor

yang mempengaruhi beban kerja diantaranya (Caplan & Sadock dalam

Mastini; 2013):

1) Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau

tahun

2) Kondisi pasien di unit tersebut

3) Rata-rata pasien menginap

4) Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan

dibutuhkan oleh masing-masing pasien

5) Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus

dilakukan.

6) Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing

tindakan perawatan langsung dan tak langsung.

Menurut (Suci R.Mar’ih; 2017) Untuk mengidentifikasi hal hal didalam

dunia kerja dikenal beberapa indiaktor untuk mengetahui seberapa besar beban

kerja yang harus diemban oleh karyawan. Indiaktor tersebut antara lain :

a. Kondisi Pekerjaan

Kondisi pekerjaan yang dimaksud adalah begaimana seseorang

karyawan memahami pekerjaan tersebut dengan baik.

b. Penggunaaan Waktu Kerja


Waktu kerja yang sesuai dengan SOP tentunya akan meminimalisisr

beben kerja karyawan. Namun ada kalanya suatu organisasi tidak

memiliki SOP atau tidak konsisten dalam melaksanakan SOP,

Penggunakan kerja yang diberlakukan kepada karyawan cenderung

berlebih atau sangat sempit.

c. Target Yang Harus Dicapai

Target kerja yang ditetapkan oleh perusahaan tentunya secara langsung

akan memepengaruhi beban kerja yang diterima oleh karyawan.

Semakin sempit waktu yang disediakan untuk melaksanakan pekerjaan

tertentu atau tidak seimbangnya antara waktu penyelesaian target

pelaksanaan dan volume kerja yang diberikan, akan semakin besar

beban kerja yang diterima dan dirasakan oleh karyawan.

Metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) pertama

kali dikembangkan oleh Gary Reid dari Divisi Human Engineering pada

Armstrong Laboratory, Ohio USA digunakan analisis beban kerja yang dihadapi

oleh seseorang yang harus melakukan aktivitas baik yang merupakan beban kerja

fisik maupun mental yang bermacam-macam dan muncul akibat meningkatnya

kebutuhan akan pengukuran subjektif yang dapat digunakan dalam lingkungan

yang sebenarnya (real world environment) (Mastini; 2013).

Dalam penerapannya SWAT akan memberikan penskalaan subjektif yang

sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantitatifkan beban kerja dari

aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja. SWAT akan menggambarkan sistem
kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja, yang terdiri atas tiga

dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time load), beban mental (mental effort

load), dan beban psikologis (psychological stress load). Masingmasing terdiri

dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Sritomo dalam Mastini: 2013).

Yang dimaksud dengan dimensi secara definisi adalah sebagai berikut:

1. Time Load adalah yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia

dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas. Beban waktu

rendah, beban waktu sedang, beban waktu tinggi).

2. Mental Effort Load adalah menduga atau memperkirakan seberapa

banyak usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk

melaksanakan suatu tugas (beban usaha mental rendah, beban usaha

mental sedang, beban usaha mental tinggi).

3. Psychological Stress Load adalah mengukur jumlah resiko,

kebingungan, frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau

penampilan tugas (Beban tekanan psikologis rendah, beban tekanan

psikologis sedang, beban tekanan psikologis tinggi)

B. Tinjauan Tentang Bornout Syndrom

Istilah ini sebenarnya dikenalkan oleh Bradley pada tahun 1969, namun

tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas istilah burnout sendiri

sebenarnya adalah Herbert Freudberger yang menulis artikel tentang fenomena

bunout pada tahun 1974. Pada masa itu, Freudberger yang bekerja disebuah
klinik kecanduan obat di New York melihat bahwa banyak tenaga sukarelawan

yang mengalami penurunan motivasi dan semangat kerja, yang disertai dengan

kelelahan fisik dan mental. Ia menggambarkan orang yang mengalami sindrom

tersebut bagaikan seperti gedung yang terbakar habis. Kini hanya tinggal

kerangkanya saja. Gedung yang awalnya diramaikan dengan banyakanya

aktifitas didalamya, kini hanya tampak kerangka luarnya saja. Begitu pula bila

orang mengalami sindrom ini, dari luar masih tampak utuh, namun didalamnya

kosong dan bermasalah. (Gunarsa, 2004).

Menurut Pines dan Aronson, burnout merupakan kondisi emosional

dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai

akibat dari tuntutan pekerjaan yang meningkat. Namun, secarasingkat mereka

mendefinisikan burnout sebagai bentuk kelelahan secara fisik, mental dan

emosional, meskipun intensitas, durasi, frekuensi serta konsekuensinya beragam.

(Ulfa, 2007).

Burnout merupakan istilah yang menunjuk pada sindroma yang

merupakan kumpulan respon individu terhadap stres. Burnout merupakan respon

yang berkepanjangan terkait faktor penyebab stres yang terus-menerus terjadi

tempat kerja di mana hasilnya merupakan perpaduan antara pekerja dan

pekerjaannya (Nugroho, dkk, 2012).

Baron & Greenberg (2003) dalam Khotimah (2010), mengatakan bahwa

burnout adalah suatu sindrom kelelahan emosional, fisik, dan mental,

berhubungan dengan rendahnya perasaan harga diri, disebabkan penderitaan stres


yang intens dan berkepanjangan. Pekerja yang mengalami burnout menjadi

berkurang energi dan ketertarikannya pada pekerjaan. Mereka mengalami

kelelahan emosional, apatis, depresi, mudah tersinggung, dan merasa bosan.

Mereka menemukan kesalahan pada berbagai aspek, yakni lingkungan kerja

mereka, hubungan dengan rekan kerja, dan bereaksi secara negatif terhadap saran

yang ditunjukkan pada mereka.

Menurut Cherniss (1987) burnout merupakan perubahan sikap dan

perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan

seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis, membolos, sering

terlambat dan keinginan pindah kerja yang kuat (Limonu, 2013).

Burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan keadaan emosional

pada orang yang bekerja pada pelayanan kemanusiaan (human services), dan

bekerja erat dengan masyarakat, misalnya guru, anggota polisi, perawat di rumah

sakit, dan para pekerja sosial. Resiko terjadinya burnout pada bidang pelayanan

sosial disebabkan karena pekerja pada bidang sosial memiliki keterlibatan

langsung dengan objek kerja atau kliennya. Selama proses pemberian pelayanan,

pekerja mengalami situasi yang kompleks dan sarat beban emosional, seperti

menangani klien yang tidak kooperatif, dan berhubungan dengan penderitaan

pasien. Berhadapan terus-menerus dengan hal seperti itu dapat membuat pekerja

menjadi rentan terhadap burnout (Khotimah, 2010).

National Safety Council (NSC) tahun 2004 mengatakan bahwa kejenuhan

kerja merupakan akibat stres kerja dan beban kerja yang paling umum, gejala
khusus pada kejenuhan kerja ini antara lain kebosanan, depresi, pesimisme,

kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan, keabsenan, dan

kesakitan atau penyakit. Kejenuhan kerja merupakan sesuatu hal yang sering

dialami dalam setiap pekerjaan, perawat merupakan salah satu profesi yang

beresiko memiliki stres dan beban kerja yang tinggi (Maharani, 2012).

Ironisnya, stress di tempat kerja merupakan topik yang masih dianggap

tabu untuk dibicarakan. Pekerja mengaku bahwa mereka takut kehilangan

pekerjaannya atau tidak akan dipromosikan jika mereka secara terus terang

menyebutkan stress kerja sebagai penyebab menurunnya kinerja mereka.

Menurut ribuan pekerja, stress akibat beban kerja berlebihan dapat dianggap

sebagai tanda – tanda kelemahan, kerapuhan, dan keamanan kerja yang lemah.

Bahkan pekerja yang merasa mampu mengendalikan stresnya pun mau tidak mau

harus berhadapan dengan fenomena yang unik (National Safety Council, 2003).

Dalam keadaan burnout, perawat tidak dapat bekerja dengan baik dan hal

ini tentu saja mempengaruhi kualitas pelayanannya. Dampak bagi pasien sebagai

penerima pelayanan ialah menurunnya kualitas pelayanan yang diberikan dan

meningkatnya perilaku negatif terhadap penerima pelayanan (Prestiana, 2012).

Burnout merupakan gejala kelelahan emosional yang disebabkan oleh

tingginya tuntuntan pekerjaan, yang sering dialami individu yang bekerja pada

situasi dimana ia harus melayani kebutuhan orang banyak. Burnout memiliki tiga

dimensi, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian


diri sendiri. Kondisi ini bisa diukur dengan menggunakan kuesioner Maslach

Burnout Infentory (MBI) yang berjumlah 22 pernyataan.

Menurut Asi (2013). Burnout memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan, sinis

dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri.

a. Kelelahan Emosional (emotional exhaustion) merupakan penentu

utama kualitas burnout, dikatakan demikian karena perasaan lelah

mengakibatkan seseorang merasa kehabisan energi dalam bekerja

sehingga timbul perasaan enggan untuk melakukan pekerjaan baru dan

enggan untuk berinteraksi dengan orang lain.

b. Sinis (depersonalization), ditandai dengan kecenderungan individu

meminimalkan keterlibatannya dalam pekerjaan bahkan kehilangan

idealismenya dalam bekerja. Depersonalization adalah cara yang

dilakukan seseorang untuk mengatasi kelelahan emosional yang

dihadapinya. Perilaku tersebut merupakan upaya untuk melindungi diri

dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan meperlakukan orang

lain sebagai obyek. Proses penyeimbang antara tuntutan pekerjaan

dengan kemampuan individual. Hal ini bisa serupa sikap sinis terhadap

orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaan dan kecenderungan

untuk menarik diri serta mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja.

Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai upaya melindungi diri dari

perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa dengan


berperilaku seperti itu, maka mereka akan aman dan terhindar dari

ketidakpatian dalam pekerjaan (Hardiyanti, 2013).

c. Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (low personal

accomplishment), merupakan kecenderungan memberikan evaluasi

negatif terhadap diri sendiri. Individu merasa pesimis dengan

kemampuannya bekerja, sehingga setiap pekerjaan dianggap sebagai

beban yang berlebihan.

Biasanya ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri

sendiri, pekerjaan bahkan terhadap kehidupan. Selain itu, mereka juga merasa

belum melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya, sehingga pada

akhirnya memicu timbulnya penilaian rendah terhadap kompetensi diri dan

pencapaian keberhasilan diri. Perasaan tidak berdaya, tidak lagi mampu

melakukan tugas dan menganggap tugas-tugas yang dibebankan terlalu

berlebihan sehingga tidak sanggup lagi menerima tugas yang baru pun muncul

(Hardiyanti, 2013).

George (2005) dalam Tawale (2011) menjelaskan tentang gejala- gejala

burnout, yaitu:

a. Kelelahan fisik, yang ditunjukkan dengan adanya kekurangan energi,

merasa kelelahan dalam kurun waktu yang panjang dan menunjukkan

keluhan fisik seperti sakit kepala, mual, susah tidur, dan mengalami

perubahan kelelahan makan yang diekspresikan dengan kurang bergairah


dalam bekerja, lebih banyak melakukan kesalahan, padahal tidak terdapat

kelainan fisik.

b. Kelelahan mental, yang ditunjukkan oleh adanya sikap sinis terhadap

orang lain, bersikap negatif terhadap orang lain, cenderung merugikan

diri sendiri, pekerjaan dan organisasi, dan kehidupan pada umumnya

diekspresikan dengan mudah curiga terhadap orang lain, menunjukkan sikap

sinis terhadap orang lain, menunjukan sikap agresif baik dalam bentuk ucapan

maupun perbuatan, menunjukkan sikap masa bodoh terhadap orang lain dan

dengan sengaja menyakiti diri sendiri.

c. Kelelahan emosional, yang ditunjukkan oleh gejala-gejala seperti depresi,

perasaan tidak berdaya, dan merasa terperangkap dalam pekerjaan yang

diekspresikan dengan sering merasa cemas dalam bekerja, mudah putus

asa, merasa tersiksa dalam melaksanakan pekerjaan, mengalami

kebosanan atau kejenuhan dalam bekerja.

d. Penghargaan diri yang rendah, ditandai oleh adanya penyimpulan bahwa

dirinya tidak mampu menunaikan tugas dengan baik dimasa lalu dan

beranggapan sama untuk masa depannya yang diekspresikan dengan

merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat, menganggap

bahwa pekerjaan sudah tidak mempunyai arti bagi dirinya, menganggap

bahwa dirinya tidak mempunyai masa depan di perusahaan.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Burnout


Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya burnout

dikalangan karyawan, diantaranya :

1. Faktor Individu

a. Jenis kelamin

Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987:137) menemukan bahwa

pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan

wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

b. Usia

Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987) maupun Schaufeli dan

Buunk (Cooper, dkk, 2001) menemukan pekerja yang berusia muda

lebih tinggi mengalami burnout daripada pekerja yang berusia tua.

Namun tidak ada batasan umur dalam kriterian pekerja yang berusia

muda maupun pekerja yang berusia tua.

c. Tingkat Pendidikan

Menurut Maslach dan Jackson (dalam Nurjayadi, 2004)

menyebutkan bahwa tingkat pendidikan juga turut berperan dalam

sindrom burnout. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa stres yang

terkait dengan masalah pekerjaan seringkali dialam ioleh pekerja

dengan pendidikan yang rendah.

d. Status Perkawinan

Annual Review of Psychology (dalam Nurjayadi, 2004)

melaporkan bahwa individu yang belum menikah (khususnya laki-


laki) dilaporkan lebih rentan terhadap sindrom burnout dibandingkan

individu yang sudah menikah. Namun perlu penjelasan lebih lanjut

untuk status perkawinan. Mereka yang sudah menikah bisa saja

memiliki resiko untuk mengalami burnout jika perkawinannya kurang

harmonis atau mempunyai pasangan yang tidak dapat memberikan

dorongan social (Nurjayadi, 2004).

e. Masa Kerja

Masa kerja berhubungan erat dengan kemampuan fisik,

semakin lama seseorang bekera, maka semakin menurun kemampuan

fisiknya. Kemampuan fisik akan berangsur-angsur menurun akibat

kelelahan dari pekerjaan dan dapaat diperberat bila dalam melakukan

aktifitas fisik dapat melakukan variasi dalam bekerja. Secara tidak

langsung, masa kerja akan menyebabkan kontraksi otot-otot penguat dan

penyangga perut secara terus-menerus dalam waktu yang lama (Mayate,

2009). Pada keseluruhan keluhan yang dirasakan tenaga kerja dengan masa

kerja kurang dari 1 tahun paling banyak mengalami keluhan. Kemudian

keluhan tersebut berkurang pada tenaga kerja setelah bekerja selama 1-5

tahun. Namun, keluhan akan meningkat pada tenaga kerja setelah bekerja

pada masa kerja lebih dari 5 tahun (Tarwaka, 2004)

2. Faktor Kepribadian

Kepribadian atau personality pada dasarnya merupakan sebuah

karakteristik psikologi dan perilaku yang dimiliki individu yang bersifat


permanen yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan

induvidu yang lainnya. Adapun faktor kepribadian di bagi menjadi

beberapa bagian diantaranya :

a. Konsep Diri Rendah

Maslach (Sutjipto, 2001) menunjukkan bahwa individu yang

memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Individu

dengan konsep diri rendah mempunyai karakteristik tidak percaya

diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah.

b. Perilaku Tipe A

Friedman dan Rosenman (dalam Cherniss, 1987) menyebutkan

bahwa individu yang memiliki perilaku tipe A cenderung

menunjukkan kerja keras, kompetitif dan gaya hidup yang penuh

dengan tekanan waktu. Individu dengan perilaku tipe A lebih

memungkinkan untuk mengalami burnout daripada individu yang

lainnya.

c. Individu Introvert

Individu yang introvert akan mengalami ketegangan emosional

yang lebih besar saat menghadapi konflik, mereka cenderung

menarik diri dari kerja dan hal ini akan menghambat efektivitas

penyelesaian konflik (Kahn dalam Cherniss, 1987).

d. Locus Of Control Eksternal


Rotter (dalam Cherniss, 1987) menjelaskan bahwa individu

dengan locus of control eksternal meyakini bahwa keberhasilan

dan kegagalan yang dialami disebabkan oleh kekuatan dari luar

diri. Mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya terhadap

situasi menekan sehingga mudah menyerah dan bila berlanjut

mereka bersikap apatis terhadap pekerjaan.

e. Individu yang fleksibel

Kahn dalam Cherniss (1987:131) menemukan bahwa individu

yang fleksibel rentan terhadap konflik peran karena datang dengan

tuntutan ekstra yang dapat mempengaruhi munculnya burnout .

3. Faktor Pekerjaan

Kahn dan pekerjanya (dalam Cherniss, 1987) menemukan bahwa

konflik peran dan ambiguitas peran merupakan dua faktor dalam lingkup

pekerjaan yang memberi kontribusi terhadap stres, ketegangan dan sikap

emosional yang dihubungkan dengan burnout. Cherniss (1987)

menjelaskan bahwa peran yang berlebihan ikut memberi kontribusi

dengan bertambahnya stres dan burnout, karena itu akan berpengaruh

kuat pada koping. Kahn (dalamCherniss,1987) mengemukakan bahwa

adanya konflik peran merupakan faktor yang potensial terhadap

timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena adanya tuntutan

yang tidak sejalanatau bertentangan.


4. Faktor Organisasi

Faktor-faktor seperti gaya kepemimpinan, iklim organisasi,

kekuatan struktur (Cherniss, 1987) dapat mempengaruhi tingkat burnout

pada karyawan.

Eastburg, dkk (dalam Cooper, 2001) menjelaskan bahwa kedua

dukungan dari supervisor dan teman sebaya memberi kontribusi

bertambahnya kelelahan emosi.

Menurut Sarafino (2002) dalam Adi (2010), kelelahan kerja (burnout)

memiliki dampak yang beranekaragam dan tidak hanya merugikan diri

perawat itu sendiri. Misalnya berupa absen dari pekerjaan, komitmen yang

rendah, mempunyai masalah dengan relasi kerja dan yang lainnya. Kelelahan

kerja juga merugikan rumah sakit tempat perawat bekerja yaitu berupa

penurunan kualitas pelayanan di bidang kesehatan khususnya pelayanan

keperawatan (Windayanti, 2007 dalam Adi, 2010).

Kelelahan kerja dengan kadar yang tinggi bisa menciptkaan gangguan

hubungan interpersonal di tempat kerja atau dalam kehidupan umum. Selain

itu kelelahan kerja dengan kadar yang tinggi juga menciptakan gangguan

hubungan antara perawat dengan pekerjaan. Yang umum terjadi, kelelahan


kerja menurunkan kemampuan yang disebut “concern for the task” dan

kemampuan dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam

menyelesaikan pekerjaan. Karyawan yang mnegalami kerja dampak

minimnya menimbulkan kehambaran, kedataran, ketidaksrasian atau

ketidaktanggapan. Yang umum terjadi, kelelahan kerja melemahkan gairah

untuk metaati komitmen yang mengikat hubungan, misalnya komitmen untuk

menepati janji atau persetujuan (Ubaydillah, 2008).

Maslach mendefinisikan burnout adalah sebuah sindrom hebat yang

dibangun sebagai konsekuensi dari stress yang panjang terhadap situasi di

tempat kerja. Manifestasinya sebagai suatu sindrom dijelaskan melalui tiga

dimensi yaitu kelelehan emosional (emotional exhaustion), sinisme atau

depersonalisasi dan personal accomplishment (prestasi diri) (Ulfa, 2008).

Cherniss (1987) menjelaskan beberapa faktor yang dapat

menyebabkan burnout antara lain faktor individu, faktor kepribadian, faktor

pekerjaan dan faktor organisasi. Faktor individu terdiri atas jenis kelamin,

usia, tingkat pendidikan dan status perkawinan. Faktor kepribadian terdiri dari

konsep diri rendah, perilaku tipe A, individu yang introvert, locus of control

eksternal, individu yang fleksibel. Faktor pekerjaan terdiri dari konflik peran

dan ambiguitas peran. Faktor organisasi terdiri dari gaya kepemimpinan, iklim

organisasi dan kekuatan struktur.


Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987) menemukan bahwa pria yang

burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang

burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

Maslach dan Jackson (Cherniss, 1987) maupun Schaufelidan Buunk

(Cooper, dkk, 2001) menemukan pekerja yangberusia muda lebih tinggi

mengalami burnout daripada pekerja yang berusia tua. Namun tidak ada

batasan umur dalam kriteria pekerja yang berusia muda maupun pekerja yang

berusia tua.

Menurut Maslach dan Jackson (dalam Nurjayadi, 2004) menyebutkan

bahwa tingkat pendidikan juga turut berperandalam sindrom burnout. Hal ini

didasari oleh kenyataan bahwa stres yang terkait dengan masalah pekerjaan

seringkali dialami oleh pekerja dengan pendidikan yang rendah.

Annual Review of Psychology (dalam Nurjayadi, 2004) melaporkan

bahwa individu yang belum menikah (khususnya laki-laki) dilaporkan lebih

rentan terhadap sindrom burnout dibandingkan individu yang sudah menikah.

Namun perlu penjelasan lebih lanjut untuk status perkawinan. Mereka yang

sudah menikah bisa saja memiliki resiko untuk mengalami burnout jika

perkawinannya kurang harmonis atau mempunyai pasangan yang tidak dapat

memberikan dorongan sosial (Nurjayadi, 2004).


V. KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel yang ingin diteliti

Burnout merupakan istilah yang menunjuk pada sindroma yang

merupakan kumpulan respon individu terhadap stres. Burnout merupakan

respon yang berkepanjangan terkait faktor penyebab stres yang terus-

menerus.

Variabel Independen Variabel Dependen

Beban Kerja Bunout Sydrom

Keterangan :

: Variabel Dependen

: Variabel Independen

: Penghubung Variabel

B. Defenisi Operasional Dan Kriteria Objektif

1. Beban Kerja
Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan

oleh seorang perawat yang melebihi jam kerja dan lonjakan jumlah pasien selama

bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan.

Kriteria Objektif

Ya : Jika nilai kuesioner ≥62,5%

Tidak : Jika nilai kuesioner < 62,5%

2. Burnout

Burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan

jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat dari tuntutan pekerjaan yang

meningkat.

Kriteria Objektif

Ya : Jika nilai kuesioner ≥62,5%

Tidak : Jika nilai kuesioner < 62,5%

VI. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analtik dengan pendekatan

cross secsional, yaitu jenis penelitian yang diamati pada waktu yang sama,
penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Beban Kerja dengan Bornout

Syndrom Perawat di Unit Kamar Operasi dan ICU RSUD Sinjai

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di di Unit Kamar Operasi dan ICU RSUD

Sinjai.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus Tahun 2022

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua perawat yang

bertugas di ruangan tersebut berjumlah 52 orang.

2. Sampel

sampel dalam penelitian ini sebanyak 52 responden dengan menggunakan

metode Nonprobability Sampling dengan teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah Total sampling dengan cara pengambilan sampel pada semua

populasi.

C. Pengumpulan data

1. Sumber data

a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung oleh

individu atau perorangan melalui hasil wawancara langsung dengan perawat

yang bertugas di Unit Kamar Operasi dan ICU Rsud Sinjai

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari pihak lain seperti

Lembaga atau instansi yang secara rutin mengumpulkan data termasuk Rekam

Medik Rsud Sinjai.

2. Prosedur pengumpulan data

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu :

a. Wawancara

Wawancara merupakan metode dalam pengumpulan data dengan mewawancarai

secara langsung dari responden yang diteliti, metode ini memberikan hasil

secara langsung, dan dapat dilakukan apabila ingin tahu hal-hal dari responden

secara medalam.

b. Observasi

Merupakan cara melakukan pengumpulan data penelitian dengan penelitian

secara langsung kepada responden yang dilakukan penilitian untuk mencari

perubahan atau hal-hal yang akan diteliti.

c. Dokumentasi

Merupakan metode pengumpulan data dengan cara mengambil data yang

berasal dari dokumen asli. Dalam penelitian ini, data jumlah perawat yang

bertugas di kamar operasi Dan ICU RSUD Sinjai dan untuk memilih subjek
penelitian berdasarkan kriteria yang ditentukan, dan diperoleh dari status

pemeriksaan pasien.

d. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data pada penelitian ini

adalah lembar observasi sebelum dan sesudah tindakan yang bertujuan untuk

mengetahui Hubungan Beban Kerja dengan Bornout Syndrom Perawat di Unit

Kamar Operasi dan ICU RSUD Sinjai

F. Pengelolahan Data

Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu diolah dengan tujuan

mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh

dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan terutama, dalam pengujian

hipotesis. Dalam proses pengelolahan data terdapat langkah – langkah yang harus

ditempuh, diantaranya :

1. Penyuntingan (editing)

Proses editing dilakukan dengan memeriksa setiap lembar kuesioner yang

telah diisi mengenai kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman

data.

2. Pengkodean (coding)
Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian nilai pada opsion dari

jawaban yang telah diisi dilapangan. Selanjutnya dibuat daftar variable yang ada

dalam kuesioner. Apabila ada variabel yang tidak diperlukan dalam kuesioner

maka tidak lagi dimasukkan didalam daftar variabel. Selanjutnya untuk

mempermudah pemasukan data maka dibuat format koding, dan pada saat itu

data siap untuk dimasukkan kedalam computer.

3. Tabulating

Setelah selesai pemberian nilai dilanjutkan dengan mengelompokkan data

kedalam suatu table menurut sifat-sifat yang dimiliki yang mana sesuai dengan

tujuan penelitian. Dalam hal ini dipakai tabel distribusi frekuensi untuk

memudahkan penganalisa data yang mana dapat berupa tebel sederhana atau

tabel silang.

D. Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode statistic program

aplikasi computer dan selanjutnya dilakukan Analisa dengan cara sebagai

berikut:

1. Analisis univariat

Analisa univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi

dan frekuensi dari variabel dependen dan variabel independent. Data

disajikan bentuk distribusi frekuensi dan diinterpretasikan.

2. Analisis bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk melihat perbandingan antara

variabel independent dan variabel dependen, apakah variabel tersebut

mempunyai perbandingan terhadap variabel tersebut.

E. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dengan bentuk narasi, tabel (master tabel,tabel

frekuensi, dan tabel analisis), grafik dan foto.

F. Etika Penelitian

Etika penelitian meliputi

1. Lembar Persetujuan (Informed consent)

Diberikan kepada subyek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud

dan tujuan riset yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan

sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti, maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika responden menolak untuk

diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

2. Menjaga kerahasiaan identitas (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak boleh mencantumkan

nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi kode

pada masing-masing lembar tersebut.

3. Kerahasiaan informasi yang diberikan (Confidentiality)

Peneliti wajib menjaga kerahasiaan terhadap semua informasi yang didapat dari

responden dan kerahasiaan ini pun dimasukan dalambentuk kode.kerahasiaan


informasi responden dijamin oleh peneliti hanya kelompok data tertentu saja

akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Wicaksana, D. 2009. Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan


Transformasional Dengan Burnout Pada Karyawan PT. Polowijo Gosari
Gresik. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Muhamadiyah Surakarta

Anoraga, Pandji. 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Asi, Sri Pahalendang. 2013. “Pengaruh Iklim Organisasi dan Burnout terhadap
Kinerja Perawat RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya”. Jurnal. Jurnal
Aplikasi Manajemen Volume 11 Nomor 3 September 2013

Astriana, dkk. 2014. Hubungan Pendidikan, Masa Kerja Dan Beban Kerja dengan
Keselamatan Pasien RSUD Haji Makassar. Artikel. Manajemen Rumah Sakit
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Chakraborty, C. (2012). Internal Predictors of Burnout in Psychiatric Nurses: An


Indian Study. Industrial Psychiatry Journal, 21(2): 119-124

Caputo, J.S. 1991. Stress and Burnout in Library Service. Phoenix : Oryx Press.

Cholily, Nailur Rohmah. 2007. Perbedaan Kecenderungan Burnout Pada Terapis


Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Jenis Kelamin (Di Laboratorium
Sekolah Autism Universitas Negeri Malang). Skripsi. Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang

Cooper, C. L., Schabracq, M.J. & Winnubst, J. A. M. 2003. The Handbook of Work
and Health Psychology. Second Edition. United States : John & Wiley Ltd

Dardin. 2013. Hubungan Konflik Peran Ganda, Stress Kerja Dan Beban Kerja dengan
Burn Out Perawat Wanita Di RS Haji Makassar Tahun 2013. Tesis. Program
Studi Keperawatan Universitas Hasanuddin
Darsono & Siswandoko, Tjatjuk. 2011. Sumber Daya Manusia Abad 21. Nusantara
Consulting: Jakarta.

Puji E, dkk. 2016-2017. Pedoman Penulisan Skripsi. Edisi 17. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Makassar. Makassar

Rahmat B, 2020 Jurnal Sintax Idea Pengaruh Implementasi Kebijakan Jaminan


Kesehatan Daerah Terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Miskin Pada Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya
http://www.jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-idea/article/view/152
Kuesioner Burnout
Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Status perkawinan :

Pendidikan terakhir :

PETUNJUK :

- Pilihlah jawaban yang paling mendekati dengan apa yang anda rasakan - Jawaban
terdiri dari SS (Sangat Setuju), S (Setuju), KS (Kurang Setuju), TS (Tidak Setuju).

NO Pertanyaan SS S KS TS
saya merasakan kelelahan fisik yang
1
amat sangat
saya merasa lesu ketika bangun pagi
2 karena harus menjalani hari ditempat
kerja
saya merasa sering sakit kepala
3
disaat sedang bekerja
4 beban pekerjaan saya terlalu banyak
saya pernah absen karena kecapekan
5
bekerja
beban pekerjaan yang banyak
6
membuat saya frustasi
saya merasa seakan akan hidup dan
7
karir saya tidak akan berubah
8 beban pekerjaan yang banyak
membuat saya frustasi
saya merasa tidak berharga ditempat
9
kerja
saya tidak puas dengan hasil kerja
10
saya

Kuesioner Beban Kerja

NO Pertanyaan SS S KS TS
Saya mengerjakan banyak pekerjaan
1 setiap harinya yang harus segera
diselesaikan di Rumah Sakit
Target yang harus saya capai dalam
2
pekerjaan terlalu tinggi
Saya mampu mendapatkan dan
3 menyelesaikan pekerjaan dengan
tingkat kesulitan yang tinggi
Tugas yang selalu diberikan
4 terkadang sifatnya mendadak dengan
jangka waktu yang singkat
Pimpinan saya sering mengharuskan
5 setiap pegawai memiliki target kerja
baik di dalam maupun luar kantor
Sirkulasi udara di dalam kantor
6 sudah sesuai dengan standar
kesehatan dan lingkungan
Saya mendapat perhatian dari atasan
7 dan sesama teman terhadap
pekerjaan
Saya mendapatkan jaminan kemanan
8
dan kenyamanan dalam bekerja
Saya selalu iklas dalam mengerjakan
9 setiap pekerjaan yang di amanatkan
kepada saya
10 Saya merasa puas dan sangat bangga
dengan pekerjaan yang saya lakukan
saat ini

Anda mungkin juga menyukai