Anda di halaman 1dari 14

LITERATURE REVIEW

FAKTOR INTERNAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLAKU CARING

PERAWAT TERHADAP PASIEN DENGAN KEADAAN TERMINAL

Ni Made Ayu Priyastini

17.321.2658

Abstrak

Inti dari pelayanan keperawatan adalah caring. Caring merupakan fenomena universal
yang berkaitan dengan cara seseorang berpikir, berperasaan dan bersikap ketika berhubungan
dengan orang lain. Caring diberikan perawat kepada pasien dalam konteks holistik. Bagi perawat
ICU yang seringkali terlibat dalam proses keperawatan pasien terminal, leibh mudah tergoda
untuk tidak berperilaku caring dan holistic, karena terganggunyaa respon verbal dari pasien
selain karena tidak hadirnya keluarga pasien terus-menerus disi pasien.
Paradigma holistic bukan saja memandang pasien sebagai kesatuan dari body, mind dan
spirit, dan menempatkan pasien sebagai pusat dari aktifitas keperawatan (doing) tetapi juga
membawa perawat menjadi bagian dari holistic care itu sendiri (doing and being ). Untuk
menjadi seorang holistic care, langkah pertama adalah self care. Untuk melakukan self care
perawat perlu mengerti faktor internal yang ia miliki, mengambil langkah untuk menjadi
individu yang lebih baik.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisa/mensintesa data empirik yang berkaitan dengan
faktor internal yang berhubungan dengan perilaku caring dalam artikel yang memenuhi kriteria
inklusi. Dari 32 artikel yang diperoleh dengan memasukkan kata kunci kedalam database/search
engine, didapatkan bahwa faktor internal yang berhubungan dengan perilaku caring perawat ICU
terhadap pasien terminal adalah usia, pengalaman kerja, pendidikan dan pelatihan, moral
distress, cultural competence, emotional intelligence. Beberapa rekomendasi diberikan untuk
mendukung perawat melakukan holistic care yang paripurna.

Kata kunci : faktor internal, perilaku caring, perawat ICU, pasien terminal

Latar belakang

Salah satu dampak yang diakibatkan oleh era globalisasi dan dibukanya pasar bebas

adalah persaingan di sektor kesehatan yang semakin kompetitif. Lebih lagi dengan cara berpikir
masyarakat yang semakin kritis seiring dengan pesatnya perkembangan tehnologi informasi,

menuntut institusi pelayanan kesehatan untuk memberikan pelayanan berkualitas tinggi agar

tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Bila dibandingkan dengan profesi lain di sektor

kesehatan, perawat menduduki proporsi paling besar, perawat berdiri di barisan terdepan dalam

proses kesembuhan seorang pasien, berada paling dekat dan memiliki jam interaksi dengan

pasien lebih lama. Sehingga mutu pelayanan keperawatan sangat mempengaruhi kualitas

pelayanan kesehatan, bahkan menjadi salah satu faktor penentu citra institusi pelayanan

kesehatan (rumah sakit) (Fridh, Forsberg & Bergbom , 2007; Roberti & Fitzpatrick , 2010).

Inti dari pelayanan keperawatan adalah caring. Caring merupakan fenomena universal

yang berkaitan dengan cara seseorang berpikir, berperasaan dan bersikap ketika berhubungan

dengan orang lain. Caring dalam keperawatan dipelajari dari berbagai macam filosofi dan

perspektif etik . Teori keperawatan berdasarkan pada konsep caring turut pula dikembangkan

oleh beberapa ahli keperawatan diantaranya Jean Watson, Meyeroff, Marriner dan Tomey

(Dwiyanti, 2010; Cara ,2009; Muchlisin & Ichsan, 2008).

Menurut Roch (dalam Oskuie, Rafii, & Nikravesh, 2006) caring mengandung unsur 5C

yaitu Compassion, Competence, Confidence, Conscience dan Commitmen, kemudian Puri

(dalam Chang & Daly, 2007) menambahkan tiga unsur penting lainnya yaitu Courage, Culture

dan Communication. Konsep caring dan holistik dalam keperawatan tidak dapat dipisahkan. Saat

melakukan caring yang mengandung delapan unsur penting diatas, perawat melakukannya dalam

konteks holistik, hal ini yang disebut dengan holistic care.

Bagi perawat ICU yang dalam kesehariannya sering terlibat dalam perawatan pasien

terminal, akan lebih mudah “tergoda” untuk tidak melakukan holistic care karena terganggunya

kemampuan pasien memberikan respon verbal. Ketidakhadiran anggota keluarga selama 24 jam
disisi pasien dapat juga menjadi trigger bagi perawat untuk tidak tidak memberkan pelayana

paripurna. Pasien dengan mudah dianggap seperti robot yang hidupnya tergantung pada

ventilator, monitor dan alat canggih lainnya. Hasil dari beberapa penelitiaan menunjukkan

peilaku caring perawat ICU masih belum maksimal, walaupun hasil penelitian ini tidak bisa

disamaratakan disemua tempat (Alspach, 2009; Roberti & Fitzpatric, 2010; Wysong & Driver,

2009; Widar, Ana-Christina & Ahlstrom, 2007). Hal ini tentu sangat disayangkan karena

seharusnya kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan tidak menggerus peran perawat sebagai

instrument of healing and a facilitator in the healing process (Frisch, 2001; Barnard, 2001;

Crocker & Timmons, 2008)

Paradigama keperawatan holistik tidak hanya memandang pasien dan keluarganya

sebagai satu kesatuan dari dimensi body, mind dan spirit serta menempatkan pasien menjadi

pusat dari aktifitas keperawatan (doing) tetapi perawat turut menjadi bagian dari keperawatan

holistik itu sendiri (doing and being). Saat melakukan doing and being perawat dipengaruhi

berbagai faktor, baik faktor internal perawat maupun faktor eksternal (Oskouie, Rafii &

Nikravesh, 2006; Supriatin, 2009). Dossey, et al ( 2005) dalam bukunya Holistic Nursing, a

Handbook for Practice, mengatakan bahwa a wounded healer cannot be a wound healer. Banyak

perawat yang memendam masalah-masalahnya dan merasa cukup kuat untuk terus membawa

beban pribadinya dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari yang penuh tekanan, tanpa

menyadari hal ini berpengaruh terhadap mutu asuhan keperawatan yang diberikannya. Pada

ambang batas yang tidak dapat ia toleransi, perawat dapat mengalami burnout, mudah lelah,

mudah tersinggung, penurunan kinerja dan mutu asuhan keperawatan yang ia lakukan terhadap

pasien kelolaannya (Peery, 2006)


Sehingga dapat dikatakan sebelum perawat melakukan holsistic care terhadapa pasien-

pasiennya ia harus dulu melakukan self healing, ia perlu mengambil waktu untuk mengeksplor

faktor internal seperti kekurangan dan kelebihannya serta masalah-masalah yang belum

terselesaikan. Kemudian mengambil langkah untuk menjadi individu yang lebih baik bagi orang

lain serta lingkungannya. Sehingga sebagai perawatpun siap dan mampu menunjukkan perilaku

caring paripurna terhadap pasien serta keluarganya dengan berbagai kondisi dan latar belakang

(Taylor, 2000)

Tujuan

Tujuan dari dari penulisan artikel ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor internal

yang berhubungan dengan caring perawat ICU terhadap pasien terminal.

Metode

Pencarian literatur dilakukan pada search enigne, electronic database CINAHL,

PubMed, EBSCOHOST, Proquest, ScienceDirect juga pada berbagai jurnal keperawatan seperti

CriticalCareNurse, JAN (Journal of Advanced Nursing), ICNN (Intensive and Critical Care

Nursing), AJCC (American Journal of Critical Care), British Journal of Nursing. Artikel terkait

dengan topik yang terdapat di daftar pustaka juga diunduh dari internet dan dianalisa. Pencarian

hasil penelitian yang berkaitan juga dilakukan terhadap digital library database fakultas

keperawatan/universitas dalam maupun luar negeri dengan menambahkan kata eprints di akhir

kata kunci untuk mendapatkan hasil penelitian (tesis/desertasi yang tidak dipublikasikan) dalam

bentuk full paper.


Kata kunci yang dimasukkan ke dalam search engine atau database antara lain ”internal

factors” AND ”ICU nurse” AND ”caring behavior”, ”caring behavior” AND ”end of life care”,

”caring behavior OR critical nurse” OR ”dying patient”, ”faktor internal” AND ”perawat” AND

”pasien terminal”. Dilakukan juga pencarian terhadap artikel maupun penelitian yang tidak

dipublikasikan seperti tesis atau desertasi. Kriteria inklusi dari pencarian yang telah dilakukan

adalah sebagai berikut: (1) Publikasi dalam bahasa Inggris dan bahasa Indoenesia, (2) Penelitian

atau kajian berkaitan dengan faktor internal yang berhubungan dengan caring perawat ICU pada

pasien termina dalam bentuk full paper format pdf atau doc. atau html, (3) Tahun publikasi

antara tahun 2000 – 2011.

Sebanyak sekitar 150 artikel muncul dengan memasukkan kata kunci ke dalam database.

Setelah membaca abstrak serta menerapkan kriteria inklusi pencarian artikel, didapatkan 33 yang

relevan dengan topik dan memenuhi kriteria. Artikel mula-mula dipilah menurut jenisnya (telaah

konsep teori atau laporan penelitian/research), aritkel penelitian diberi tanda hurup R. Kemudian

semua artikel bertanda R dipilah kembali menurut desain penelitan yang digunakan (kualitatif

atau kuantitatif), untuk desain penelitian kualitatif diberi tanda huruf QL sedangkan untuk desain

kuantitatif diberi tanda huruf QT. Selanjutnya data penting dimasukkan kedalam tabel untuk

analisa selanjutnya (Lampiran) (Cronin & Coughlan, 2008).

Hasil dan diskusi

Faktor-faktor termasuk kedalam faktor internal adalah usia, pengalaman kerja, tingkat

pendidikan dan pelatihan, , cultural competence, moral ditress dan kecerdasan emosional.

Usia
Bertambahnya usia dikaitkan dengan kematangan seorang perawat dalam bersikap,

mengambil keputusan dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Beberapa

penelitian juga menyimpulkan bahwa dengan bertambahnya usia bertambah pula tanggung jawab

seorang perawat terhadap pekerjaannya (Hansen, Goodell & DeHaven, 2009; Supriatin , 2009;

Oskuie, Rafii & Nikravesh, 2006; Dunn, Otten & Stephen, 2005). Tetapi hal ini sebenarnya

belum bisa dikatakan mutlak, sebab penelitian lain yang dilakukan dengan sampel dan tempat

berbeda menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bertambahnya usia

dengan perilaku caring seorang perawat terhadap pasien yang dirawatnya (Izzudin, 2006).

Pengalaman kerja

Pengalaman kerja sangat penting bagi seluruh profesi termasuk perawat. Pengalaman

kerja dikaitkan dengan bertambahnya ekspertisi seseorang dalam melakukan pekerjaannya.

Penelitian yang dilakukan dengan berbagai desain peniitan, menyimpulkan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara pengalaman kerja dengan perilaku caring perawat ICU terhadap pasien

terminal. Seorang perawat senior dengan pengalaman kerja lebih banyak diiringi dngan

pertambahan usia disimpulkan memiliki perilaku caring yang lebih baik dari pada seorang

perawat yang baru mulai berkarir sebagai perawat (Otten & Stephen, 2005; Izzudin, 2006,

Hansen, Goodell, DeHaven & Smith ,2009, Supriatin, 2009).

Pendidikan dan pelatihan

Pendidikan adalah salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan. Semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang maka cara bepikirinya lebih sistematik dan logis, dan

kemampuannya untuk menggali pengetahuan dari berbagai sumber juga lebih baik dibandingkan
dengan seseorang yang berpendidikan lebih rendah (O’Connel, 2008, Hansen, Goodell,

DeHaven, & Smith, 2009 & Supriatin, 2009). Perawat yang berpendidikan lebih tinggi memiliki

kemampuan untuk memulai dan mempertahankan komunikasi terapeutik dengan pasien dan

keluarganya (Watson, 2008). Penelitian yang dilakukan dalam lingkup perawatan pasien terminal

mengemukakan data bahwa perawat yang berpendidikan lebih tinggi, lebih mampu menjelaskan

keadaan pasien kepada keluarganya (Dunn, Otten & Stephen, 2005) Pendidikan tidak hanya

didapat dari jenjang pendidikan formal, namun dapat diperoleh dari pelatihan/kursus. Sangat

penting bagi perawat pada umumnya dan perawat ICU khususnya untuk terus membekali dirinya

dengan pendidikan melalui jalur formal ataupun pelatihan-pelatihan tidak hanya berkaitan

dengan penggunaan alat medis yang canggih sperti ventilator, tetapi juga mengenai keperawatan

holistik, keperawatan paliative dan lainnya. Penelitian mengenai dampak dari pelatihan yang

diberikan kepada perawat menunjukkan hubungan yang positif terhadap perilaku perawat

(Russel, 2000, Dunn, Otten & Stephen, 2005; Sutriyanti, 2009)

Cultural competence

Perawatan adalah profesi yang dinamik, terus-menerus berubah dan beradaptasi terhadap

stimulus dari berbagai aspek. Salah satunya adalah perkembangan iptek dan masyarakat yang

semakin multikultural, menuntut perawat untuk tidak hanya menguasai teknologi terbaru dalam

dunia keperawatan tetapi dituntut pula untuk memiliki culutral competence. Khususnya bagi

perawat ICU yang sering terlibat dalam perawatan pasien terminal, seringkali anggota keluarga

menginginkan dilakukannya ritual khusus yang diyakini sangat penting untuk dilakukan sebelum

anggota keluarganya meniggal dunia. Bila perawat tidak paham mengenai perbedaan budaya,
kemudian bersikap antipati atau apriori, keluarga pasien akan menginterpretasikan sikap tersebut

sebagai perilaku uncaring.

Cultural competence didefinisikan oleh Flowe D (2004) sebagai berikut, ”developing an

awareness of one’s own existense, sensations, thoughts, and environment without letting it have

an undue influence on those from other backgrounds; demonstrating knowledge and

understanding of the client’s culture; accepting and respecting cultural differences; adapting

care to be congruent with the client’s culture”. Lebih lanjut Flower, D mengutip penjelasan

Campinha-Bacote & Munoz, yang menguraikan bahwa ada 5 komponen penting dari cultural

compentence itu sendiri yaitu (1) cultural awareness yang didahului dengan self examination

mengenai budaya dan latar belakang perawat sendiri (2) cultural knowledge yang meliputi proses

untuk mencari tahu/informasi mengenai budaya orang lain (3) cultural skill yaitu kemampuan

untuk menggunakan pengetahuan/informasi yang dimiliki untuk memberikan asyhan

keperawatan kepada pasien dengan latar belakang budaya yang berbeda (4) cultural encounter

dijelaskan sebagai proses yang membawa perawat untuk terus terlibat langsung dengan pasien

dari berbagai budaya dan yang terakhir (5) culutral desire adalah motivasi perawat untuk peka

atay sensitif terhadap perbedaan budaya disekitarnya. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan

bahwa seorang perawat perlu memiliki sensistivitas terhadap budayanya sendiri dan budaya

orang disekitarnya dengan menghargai berbagai budaya dan memiliki pengetahuan yang adekuat

untuk menerapkannya kedalam proses keperawatan (Andrew & Boyle, 2008; Faribors &

Fatemeh, 2010).

Beberapa penelitan menyimpulkan bahwa ada hubungan antara cultural competence

dengan perilaku caring perawat, semakin baik cultural competence seorang perawat, maka

semakin baik pula perilaku caring perawat tersebut (Oskouie, Rafii & Nikravesh, 2006;
Supriatin, 2009). Hasil dari eksperimen yang dilakukan di berbagai institusi kesehatan

menunjukkan pula pengaruh positif dari pelatihan/kursus cultural competence dan penerapan

model caring dalam asuhan keperawatan terhadap perilaku caring perawat. (Russel, 2000;

Soldwisch & Lockhart, 2003 & Yanti, 2009).

Masih perlu dilakukan penelitian dengan berbagai desain, sample di tempat dengan latar

belakang budaya untuk mendapat gambaran yang lebih dalam dan luas mengenai pengaruhnya

terhadap perilaku caring. Paling tidak dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa culutral

competence berpengaruh terhadap perilaku caring perawat. Sangat diharapkan bagi perawat

untuk menguasainya dengan harapan dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan yang

diberikan kepada setiap pasien dengan berbagai latar belakang budaya.

Moral distress

Moral distress dapat diartikan sebagai dilema atau konflik yang dialami seorang perawat

saat ia mengetahui dari aspek etika apa yang ia seharusnya lakukan, tetapi tidak dapat melakukan

hal tersebut karena adanya batasan-batasan tertentu (Elpern, Covert & Kleinpell, 2005). Moral

distress adalah masalah serius dalam profesi keperawatan, khususnya bagi perawat ICU. Konflik

peran/kewenangan, konflik antara perawat dan dokter, pengambilan keputusan pada pasien

terminal, dan masih banyak hal lainnya yang diketahui sebagai sumber dari timbulnya moral

distress perawata ICU dalam memberikan perawatan terhadap pasien terminal.

Data menunjukkan moral distress berpengaruh terhadap kepuasan kerja, bahkan adanya

perawat yang mengalami burnout sehingga berpengaruh terhadap mutu asuhan keperawatan

yang dilakukannya. Bahkan ada perawat yang mengundurkan diri dari profesi keperawatan
karena beratnya beban moral yang ditanggung (Elpern, Covert & Kleinpell, 2005; Kain, 2007;

Oskuie, Rafii & Nikravesh, 2006).

Penelitian yang mengkaji mengenai hubungan moral distress terhadapa perilaku caring

perawat khususnya perawat ICU masih sangat terbatas, tetapi dari beberapa penelitian yang telah

dilakukan menunjukan data bahwa moral dsitress bepengaruh terhadap mutu asuhan

keperawatan yang dilakukan perawat terhadap pasien. Didapatkan pula data bahwa beberapa

merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, dibatasi untuk beperilaku

caring, sehingga tidak menunjukkan perlaku caring yang sebenarnya ia ingin berikan kepada

pasien. Lebih lanjut moral distress berkaitan dengan terganggunya kemampuan untuk membina

komunikasi yang efektif dengan pasien dan keluarga pasien. Perawat yang mengalami moral

distress dapat mengakibatkan penolakan untuk merawat pasien tertentu dan menjaga jarak

dengan pasien dan keluarganya. Hal ini dapat saja diartikan oleh pasien atau keluarga sebagai

perilaku uncaring (Elpern, Covert & Kleinpell, 2005)

Kecerdasan emosional

Menurut Citra dalam Erwin (2010) perawat merupakan profesi yang bersifat

kemanusiaan yang dilandasi rasa tanggung jawab dan pengabdian. Dalam melakukan tugasnya

perawat dituntut untuk selalu siap memberikan pelayana prima kapanpun dalam situasi yang

menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Kadangkala beban fisik maupun psikis sangat

berat, sehingga sangat diperlukan untuk mengelola emosi secara cerdas oleh perawat.

Pengelolaan emosi dimaksudkan agar perawat tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik

dengan demikian berkontribusi pada meningkatnya perilaku caring yang dilakukan terhadap

pasien.
Lebih lanjut menurut Rego (2010) mengatakan aspek yang termasuk kedalam kecedasan

emosional adalah ; memahami emosi diri sendiri, penguasaan diri terhadap kritik, merubah

situasi tidak kondusif menjadi hal yang dapat memotivasi diri (self-encouragement), penguasaan

diri dalam berbagai situasi, empati dan mengerti perasaan orang lain. Sumber lain mengatakan

aspek penting dalam kecerdasan emosional adalah self-awareness, self-regulation, self-

motivation, social-awareness, social skills.

Penelitian yang dilakukan Erwin (2010) dan Rego (2007) menujukkan adanya hubungan

yang positif antara kecerdasan emosional dan perilaku caring perawat secara umum. Penelitian

yang dilakukan terhadap dokter dan perawat ICU juga menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku caring terhadap pasien terminal (Hu-Ching

Weng, Shu-Ching Chi & Han-Jung Chen, 2008). Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah suatu hal yang sangat kompleks tetapi sangat penting bagi seorang perawat

untuk menguasainya untuk menunjukkan perilaku caring yang maksimal dalam melakukan

pekerjaannya.

Kesimpulan

Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal perawat ICU terhadap pasien

dalam keadaan terminal. Sangat penting bagi seorang perawat yang bekerja di tatanan perawatan

intensif untuk memahami kelebihan dan kekurangannya kemudian mengambil satu keputusan

untuk memperbaiki kekurangannya serta masalah-masalah pribadinya dan mempertahankan atau

memaksimalkan kelebihannya agar menjadi individu sekaligus perawat yang lebih baik bagi

semuara orang disekitarnya (pasien, keluarga pasien, rekan kerja).


Hasil penelitian yang telah dilakukan di atas, belum dapat dipakai sebagai suatu

pandangan umum. Penelitian yang dilakukan di tempat berbeda, dengan sampel serta desain

penelitian yang berbeda bisa saja memberikan hasil yang tidak sama.

Rekomendasi

Mengupayakan asuhan keperawatan holistik yang paripurna pada pasien terminal

tidaklah mudah, dukungan oleh berbagai sangat dibutuhkan. Penulis telah menyimpulkan

beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk tercapainya mutu asuhan keperawatan yang

diinginkan :

Praktek keperawatan

Mengumpulkan informasi mengenai progam/model keperawatan yang telah terbukti

secara empiric telah memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan perilaku caring perawat

terutama terhadap pasien dalam keadaan terminal dengan mempertimbangkan kearifan budaya

lokal dalam mengimplementasikannya (Russe, 2000; Curtis & Rubenfel, 2005; Kain, 2007;

Becstrand R, et al, 2008; Hansen, Goodell & DeHaven, 2009 & Sutriyanti, 2009)

Pendidikan

Mengintegrasikan mengenai holsitic care kedalam kurikulum pendidikan maupun

pelatihan perawat.
Peneliti

Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengkaji lebihdalam hubungan masing-

masing faktor internal dengan perilaku caring. Meneliti faktor-faktor lain yang turut

berkontribusi terhadap perilaku caring perawat khususnya perawat ICU terhadap pasien dalam

keadaan terminal.
Daftar pustaka

Alspach, G (2009) Incompetence among critical care nurses : a survey report, CriticalCareNurse,
vol. 29, No. 1, February 2009
Andrews M, Boyle J (2008) Transcultural concepts in Nursing Care 5th Edition, Lippincot,
William & Wilkins, USA
Anonym (..) Emotional Intelligence for Nurses
Barnard A, (2000) Technology and humane nursing care: (ir)reconcilable or invented difference
Becksrand R, et al, (2008) Providing a good death: Critical Care Nurses Suggestion for
Improving EOL, American Journal of Critical Care, January 2006, Volume 13, No. 1
Cara C (2009) A Pragmatic View of Jean Watson’s Caring Theory, , Université de Montréal,
Faculty of Nursing,
Catalano, J (2006) Nursing Now, Todays issue, tomorrow trends
Cronin P, Ryan F, Coughlan M (Undertaking a literature review: a step-by-step approach, British
Journal of Nursing, 2008, Vol. 17, No.1
Curtis J, Rubenfeld G (2008) Improving palliative care for patients in the intensive care unit,
Journal of Palliative medicine, Volume 8, Number 4, 2005, Mary Libert Inc.
Curtis R, Rubenfeld G (2008) Improving Palliative Care For Patients In The ICU, Journal of
Palliative Medicine, Volume 8, Number 4, 2008

Anda mungkin juga menyukai