Referat Fraktur Suprakondiler Humerus
Referat Fraktur Suprakondiler Humerus
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Umum Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
disusun oleh :
Danielle Karen Widjaja
22010116220351
Pembimbing :
dr. Kamal Adib, SpOT, M.Kes
PENDAHULUAN
Tatalaksana fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat ini terutama dalam
kelompok umur tertentu. Beberapa variabel yang penting sebagai penentu keberhasilan
penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi artikulasi yang baik, fiksasi tulang yang
kokoh, penyembuhan tulang, gerakan fungsional yang normal, dan menghindari terjadinya
komplikasi. Pengertian yang baik sangat diperlukan, mengenai anatomi, morfologi fraktur,
pendekatan operatif, hingga implan yang akan digunakan, sebagai dasar untuk mengobati
Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus, tepat diatas
dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama pada
kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku pada anak-
anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa
penelitian terakhir menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondiler humerus
adalah sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni
fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).
diskusi dan penelitian selama bertahun-tahun. Dahulu, fraktur ini dikaitkan dengan komplikasi
yang berujung pada hasil yang kurang maksimal baik dari segi kosmetik maupun fungsional.
Namun, berkat teknik operasi dan perkembangan teknologi yang semakin modern, komplikasi
dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif. Penanganan non operatif pada anak-anak
merupakan pilihan yang utama, karena masih memiliki periosteum yang lebih aktif dan
kemampuan remodeling yang baik. Beberapa jenis deformitas yang terjadi pada anak-anak
juga masih memungkinkan untuk terjadinya koreksi yang spontan, seperti yang disebutkan
oleh Blount’s Law. Namun, tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non operatif.
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di bagian distal humerus,
tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini dihubungkan dengan terjadinya beberapa
1
komplikasi yaitu Volksmann iskemia, malunion, atau gangguan neurovaskuler.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada siku, sekitar 55% -
75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus lebih sering ditemukan pada
humerus pada anak-anak diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya fraktur
suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 8 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita
adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri atau sisi yang tidak
2,3
dominan.
2.3 ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau posterior . Diafisis
humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan lateral. Troklea terbungkus oleh tulang rawan
artikuler di bagian anterior, posterior, dan inferior yang kemudian membentuk lengkungan
o
kira-kira sebesar 270 .
Gambar A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus Distal
Gambar A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus distal kiri.
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo distal dari
medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus. Brachioradialis dan
mass terdiri dari Extensor Carpi Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan
Extensor Carpi Ulnaris, dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus
4
lateralis, posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.
karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris . Pada bagian lateral dari tulang humerus, saraf
radialis bercabang menjadi tiga, yaitu medial head triceps,lower lateral brachial cutaneous
4
menembus septum intermuskularis lateralis
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus, saraf ulnaris
berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior dari lengan atas dengan
menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan sepanjang batas anteromedial dari
Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-kanak, hal ini
dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis. Kemudian, kolum bagian medial dan
lateral dari humerus distal dihubungkan oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada
bagian posterior dan coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko
5
terjadinya fraktur pada daerah tersebut.
Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku (95%). Jatuh
dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku, dengan olecranon
5
bertindak sebagai fulcrum pada fossa. Bagian anterior dari kapsul secara simultan
memberikan gaya regang pada humerus bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi
yang kontinyu akan mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan
posterior tetap intak. Arah pergeseran pada suatu bidang koronal mengindikasikan risiko
terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan
berisiko sedangkan jika mengarah ke sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf
6
medianus.
Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur suprakondiler tipe fleksi, Yang
diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat menantang untuk
5
direduksi mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris.
2.5 KLASIFIKASI
2.5.1 Tipe I
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser atau minimal
displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang utuh dengan atau tanpa
adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya
fraktur. Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih utuh.
2.5.2 Tipe II
Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran (> 2 mm), dan korteks
bagian posterior kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto
rontgen elbow true lateral, garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum.
Secara umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen AP karena
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya kontak pada korteks
yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada bidangsagital dan rotasi pada frontal
dan/atau bidangtransversal. Periosteum mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan
kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular. Keterlibatan dari kolum medialis
menyebabkan malrotasi menjadi lebih signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan
sebagai tipe III. Adanya deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi
Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur suprakondiler
humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling banyak digunakan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk, Nilai Kappa terhadap variabilitas
intraobserver dan interobserver dari klasifikasi ini merupakan yang tertinggi dibanding
11,13
klasifikasi yang digunakan sebelumnya . Adapun tambahannya, yakni:
2.5.4 Tipe IV
Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional. Hal ini disebabkan
terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari periosteal hinge dan terjadinya instabilitas pada
fleksi dan ekstensi. Instabilitas multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi
teranestesi saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh cedera yang terjadi,
atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu pada saat kita mencoba melakukan
12
reduksi.
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh nyeri di sekitar
bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah bahu atau gerakan aktif bahu
2,9
yang terbatas atau deformitas yang mungkin nampak.
lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan penilaian ada atau tidaknya patah pada
ekstrimitas tersebut. Kerutan pada kulit disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur
menusuk otot brachialis dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini
menandakan terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah
14,15
terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur terbuka.
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan inspeksi.Analisis terkini
dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien
dengan fraktur suprakondiler. Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada
kasus ini. Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari
(saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb interphalangeal (AIN),
thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris). Pemeriksaan sensorik meliputi area
sensorik saraf radialis (dorsal first web space), saraf medianus (palmar finger index), saraf
ulnaris (palmar little finger). Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator klinis adanya
perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang normal, suhu, dan warna kulit
mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan
kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang sangat buruk dan tidak
humerus yang mengalami pergeseran disebutkan mencapai 20 % dari studi yang dilakukan
oleh Pirone dkk, 12 % pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang
o
denga posisi fleksi 20-30 untuk mencegah pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan
mencapai kualitas radiologi yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.
Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior (AP) dan Lateral.
Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal daripada siku, karena lebih akurat
dalam mengevaluasi humerus distal dan meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi
malalignment pada humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga
humeral capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler. Sudut
ini dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu humerus dengan garis yang
digambarkan sepanjang lempeng pertumbuhan kondilus lateral dari siku. Sebaiknya, sudut
Baumann pada siku kontralateral juga diambil sebagai perbandingan. Fragmen distal biasanya
o
berotasi medial atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut ini antara 9-26 .
Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan varus. Sudut Baumann
merupakan salah satu indikator keberhasilan reduksi yang telah dikerjakan dan berhubungan
dengan carrying
angle yang mungkin terjadi. Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari
2,3,5
sudut Baumann berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat
Baumann’s Angle
Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis humerus
Web & Shermann menyatakan bahwa tingkat akurasi sudut Baumann dalam
hubungannya dengan carrying angle akan menurun pada anak yang lebih muda dan pada
remaja, sehingga sudut dari Baumann hanya digunakan jika dibandingkan dengan siku yang
normal saja. Oppenheim berpendapat bahwa humeral – ulnar – wrist angle lebih konsisten dan
metaphyseal – diaphyseal angle lebih akurat jika dibandingkan dengan sudut dari Baumann.
(kiri) Humeral Ulnar Angle; (kanan) Metaphyseal Diaphyseal Angle
Pada proyeksi lateral, sebaiknya humerus diambil sesuai posisi anatomis dan tidak
eksternal rotasi. Pada proyeksi ini, dapat dilihat anterior humeral lineyaitugaris yang
memotong pusat osifikasi capitellum dengan bagian anterior humerus. Pada fraktur
suprakondiler tipe ekstensi, capitellum terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai
suatu tanda adanya efusi intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral.
Fat Pad Sign
2.8 PENATALAKSANAAN
lanjut oleh karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan kerusakan physis. Adapun
seperti sindrom kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti cubitus varus dan
10
kekakuan.
(1) side-arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting
5
with or without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.
Traksi sebagai terapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan salah satu pilihan terapi
yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi, baik skin maupun skeletal traksi diantaranya
aman karena jarang terjadi iskemik Volkmann, hasil yang baik karena jarang terjadi
deformitas varus dan valgus, dapat diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun yang
10
sudah beberapa hari, baik stabil maupun tidak stabil. Namun, kelemahan penanganan ini
adalah lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.
Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang membandingkan
antara skin traction dengan skeletal traction dalam menangani fraktur supracondylar humerus,
bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal gambaran klinis, mobilitas bahu, dan
prevalensi terjadinya deformitas cubitus varus. Namun, skin traction memiliki kelebihan
19
yakni mudah dan tidak mempersiapkan peralatan seperti ruang operasi ataupun bius.
Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan aman untuk
20
dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.
2.8.3Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa Fiksasi Pinning
Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran minimal. Awalnya,
reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan untuk fraktur yang mengalami
pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik pada 90% pasien dan tidak ditemukan masalah
10
vaskularisasi atau malunion. Apabila ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai
adanya hematom yang terfixir dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung
akan mengakibatkan iskemik Volkmann. Menurut Rang, fiksasi casting adalah metode lampau
10
merujuk pada dua kasus kontraktur Volkmann komplit tipe lambat.
Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur suprakondiler
yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi tertutup dan fiksasi pinning pada
pasien dengan fraktur suprakondiler humerus tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland
tipe II dan III, dan fleksi displaced) dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa
penanganan dengan fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non operatif dalam hal
mencegah cubitus varus dan kehilangan gerakan, namun lebih berisiko menimbulkan infeksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Kumar, bahwa kriteria Flynn (kriteria yang dipakai untuk
menilai hasil post reduksi pada fraktur suprakondiler humerus, yakni kosmetik dan fungsional
pada penggunaan reduksi tertutupdan pinning perkutan pada fraktur suprakondiler humerus
yang mengalami pergeseran adalah sangat baik sebanyak 202 kasus, baik 68 kasus, cukup 5
kasus dan kurang sejumlah 2 kasus. Kesimpulannya, teknik closed reduction and
21
mengalami pergeseran.
Penelitian yang dilakukan oleh Swenson, Casiano, dan Flynndengan menggunakan dua pin
Foster dan Paterson menggunakan dua pin lateral divergen. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan oleh Skaggs dkk,menggunakan tiga pin lateral jika fraktur masih tidak stabil
dengan dua lateral pin. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Haddad dkk dan Shim
dkk, menggunakan dua pin lateral dan satu pin medial. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
hewan yang dilakukan oleh Herzenberg dkk, yang menemukan bahwa fiksasi pin medial dan
lateral lebih stabil dibanding dengan hanya fiksasi lateral saja, namun tidak direkomendasikan
jika terdapat edema atau cidera pada saraf ulnaris. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Skaggs dkk, yang menemukan bahwa terdapat 4% ulnar nerve palsy dengan
penggunaan pin medial. Untuk mencegah komplikasi tersebut, penelitian yang dilakukan oleh
Royce dkk, merekomendasikan fiksasi menggunakan dua lateral pin jika fraktur stabil setelah
dilakukan reduksi tertutup. Untuk jenis kominutif atau fraktur yang tidak stabil, bisa
digunakan pin medial dan lateral. Untuk mencegah komplikasi cidera saraf pada saat
menggunakan pin medial, dilakukan insisi kecil pada epikondilus medial, pin di angulasikan
o o
kira-kira 40 kearah superior dan 10 kearah posterior. Pin harus diteruskan hingga mencapai
Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur terbuka, gagal setelah
reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan gangguan vaskularisasi. Pada masa
osifikan, jaringan parut yang mengganggu kosmetik dan cedera neurovaskular iatrogenik.
Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh reduksi
terbuka. Penelitian yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan bahwa 52 fraktur yang
mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka melalui pendekatan lateral, 10%
mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat sedang, namun tidak ada infeksi, nonunion,
2,5
atau myositis osifikan.
neurovaskular, yakni memberikan visualisasi langsung tidak hanya fragmen fraktur namun
juga arteri branchialis dan saraf medianus. Insisi kecil (5cm) sehingga baik secara kosmetik
dibandingkan pendekatan lateral, dan kontraksi jaringan parut tidak membatasi ekstensi bahu.
Apabila terdapat hematom yang biasanya terbentuk di daerah cubital, dapat dihilangkan
melalui dekompresi anterior. Keuntungan lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis
dapat dipalpasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya malposisi atau malrotasi. Pendekatan
anterior menunjukkan tingkat kekakuan dan komplikasi yang rendah, mirip dengan
penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi oleh karena
reduksi yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya cubitus varus
rendah.2,13,18,24
osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai arteri posterior menuju trochlea
2,18
humerus, sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan untuk anak kecil.
Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan kolum medialis dapat
terlihat dengan jelas dan secara kosmetik jaringan parut akan samar oleh karena terletak di
bagian dalam daripada lengan. Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat
13
setelah reduksi.
Fraktur suprakondiler yang nondisplaced atau minimal displaced ( < 2 mm ) dapat dipasang
long arm cast disertai posisi siku berada dalam posisi fleksi 60 ° sampai 90 ° selama
kurang lebih tiga minggu. Sudut Baumann atau sudut epifisis epikondilus medialis harus
o
diperiksa bilateral. Jika lebih dari 10 maka diperlukan Reduksi tertutup and Percutaneous
9
Pinning (CRPP). Pemeriksaan foto rontgen lanjutan dikerjakan pada minggu pertama dan
Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami pergeseran dari yang
sebelumnya menggunakan cast untuk imobilisasi dibanding saat ini yang lebih banyak
akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap intak atau nondisplaced. Setelah
0
dilakukan reduksi tertutup dan casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-100 . Jika
0
reduksi tertutup fleksi lebih dari 100 maka perlu percutaneous pinning, dengan imobilisasi
0
fleksi kurang dari 90
Fraktur suprakondilertipe III adalah jenis fraktur yang bergeser secara komplit.
Penatalaksanaan dimulai dengan penilaian fungsi perfusi dan saraf. Masalah neurovaskular
sering terjadi dan mengakibatkan perubahan tatalaksana fraktur. Jika anak dengan fraktur pada
siku datang ke Unit Gawat Darurat dengan posisi siku fleksi atau ekstensi yang ekstrem,
posisi lengan harus dikoreksi dan dilakukan fleksi 30° untuk meminimalisasi gangguan pada
vaskular dan tekanan kompartemen. Jika tidak terdapat masalah dalam neurovascular, fraktur
tipe displaced dapat dibidai sementara menunggu penanganan lebih lanjut. Closed Reduction
Percutaneous Pinning (CRPP) merupakan pilihan penatalaksanaan untuk fraktur tipe III.
Fraktur displaced suprakondiler yang dilakukan reduksi tertutup dan casting memiliki insiden
terjadinya deformitas lebih tinggi ketimbang reduksi dan pinning. Sama halnya dengan angka
insiden terjadinya iskemik Volkmann, yang lebih tinggi pada reduksi dan casting dibanding
pergeseran yang dramatis pada fraktur tipe III, tapi pada fraktur ini memerlukan reduksi
terbuka karena kolaps yang terjadi pada kolum medial akan menyebabkan terjadinya
deformitas berupa varus pada lengan disertai terjadinya pergeseran yang minimal pada
fraktur disertai kominutif pada bagian medialnya, walaupun dengan displaced yang minimal,
hal inibertujuan untuk mencegah terjadinya cubitus varus. Pada penelitian retrospektif yang
dilakukan oleh De Boeck dkk, pada 13 pasien dengan kominutif medial, cubitus varus tidak
terjadi pada 6 pasien yang mengalami fraktur kominutif yang dikerjakan reduksi terbuka dan
fiksasi dengan pinning, sedangkan pada 4 dari tujuh pasien yang tidak dilakukan reduksi
2,5
terbuka dan fiksasi dengan pinning, terjadi cubitus varus.
Fraktur tipe IV merupakan fraktur yang tidak stabil dan biasanya memerlukan penanganan
operatif, namun Leitch dkk menyatakan protokol penanganan yang menggunakan reduksi
tertutup dalam menangani 9 pasien dengan fraktur tipe IV. Teknik yang mereka
rekomendasikan adalah dengan menggunakan Kirschner wire yang ditempatkan pada bagian
distal fragmen. Karena masih jarangnya terjadi fraktur dengan tipe tesebut, perlunya tindakan
2
reduksi terbuka maupun kemungkinan komplikasi yang terjadi belum dapat diprediksi.
2.9 KOMPLIKASI
Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan fraktur displaced
suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%. Pada tahun 1995, Campbell dkk,
menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52% kasus dan kerusakan saraf radialis
sebanyak 28%, namun penelitian yang dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan
bahwa yang paling sering mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus tipe
2,5
jari dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik. Kerusakan pada saraf medianus
berkaitan dengan pergeseran fragmen distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan
sensoric loss pada distribusi persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada
otot-otot yang mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6
bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu. Indikasi eksplorasi
adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur terbuka, setelah dilakukan reduksi tertutup
pinning perkutan. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Royce dkk, bahwa dari 143
pasien dengan fraktur suprakondiler, dilaporkan sejumlah 4 kasus dengan kerusakan saraf
setelah fiksasi menggunakan pinning. Sedangkan Lyon dkk melakukan penelitian terhadap 17
pasien yang diduga mengalami cedera pada nervus ulnaris yang dicurigai disebabkan oleh
pemasangan pin pada daerah medial. Hasilnya, semua pasien tersebut mengalami pemulihan
komplit dari fungsi sarafnya, walaupun banyak diantara pasien tersebut yang baru mengalami
penyembuhan setelah 4 bulan. Hanya 4 dari 17 pasien yang dilakukan pencabutan dari pinnya.
Penelitian ini menunjukan bahwa penyembuhan dari cedera pada saraf ulnar dapat terjadi
tanpa perlu melakukan pencabutan pada pin tersebut.Namun, Karakurt dkk melalui studi
cara mencabut pin yang terletak di bagian medial lebih awal akan menyebabkan terjadinya
2,5
penyembuhan yang lebih awal terhadap sarafyang mengalami cedera tersebut.
dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri radialisterjadi pada pasien dengan
fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10% - 20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis bukan
merupakan suatu kegawatdaruratan, melainkan urgensi.Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral
Bila ada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur suprakondiler yang
disertai dengan pergeseran yang berat disertai gangguan vaskular, dilakukan splinting pada
siku dengan posisi siku fleksi 20° - 40°.Shaw dkk, merekomendasikan stabilisasi fraktur
sesegera mungkin dengan reduksi tertutup dan K-wire, apabila terdapat cidera pada pembuluh
darah. Protokol penatalaksanaan ini telah mengembalikan denyutan sebanyak 13 pasien dari
total 17 pasien fraktur suprakondiler dengan cidera pembuluh darah (12% dari 143 fraktur tipe
2,5
III).
Sabharwal dkk menyatakan bahwa repair awal yang dilakukan pada arteri
dihubungkan dengan tingginya angka kejadian reoklusi simptomatis dan stenosis residual, dan
neurovaskular secara berkala sebelum dilakukan koreksi yang bersifat invasif. Jika pulsasi
sebelum dilakukan reduksi masih teraba, dan kemudian menghilang setelah dilakukan reduksi
dan fiksasi dengan pinning, maka reduksi terbuka harus segera dilakukan. Reduksi terbuka
melalui pendekatan anterior karena melalui pendekatan tersebut, kita dapat mengevaluasi
struktur vital yang beresiko mengalami penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri
berhasil dibebaskan dari penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada arteri
akan dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine, pemanasan, dan dilakukan
2,5
observasi selama 5-15 menit.
Indikasi dilakukan rekonstuksi vaskuler adalah 1). denyutan tidak teraba setelah
reduksi, dengan tanda-tanda capillary refill time menurun, tekanan kompartemen meningkat,
atau pallor. 2) tidak ada denyutan pada pemeriksaan Doppler di daerah ekstrimitas
24,25
noniskemik.
2.9.3 Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien dengan fraktur
suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada humerus distal dikarenakan physis
.
bagian distal hanya berkontribusi sebesar 20% terhadap pertumbuhan tulang humerus
2,5,10
Penyebab yang paling masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur
Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak dapat terjadi angulasi pada
bidang koronal, sehingga mengakibatkan terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus.
Deformitas cubitus varus adalah mengenai kosmetik bukan fungsional atau kecacatan,
deformitas yang terjadi adalah ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti tekniklateral
osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun, osteotomy tersebut berkaitan
dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Seperti yang dilaporkan oleh Labelle dkk, yang
menyebutkan bahwa 33% pasien mengalami loss of correction dan atau disertai cidera saraf.
Cubitus varus dapat dicegah dengan menjaga agar garis Bauman tetap utuh saat
melakukan reduksi dan selama masa penyembuhan. Pirone dkk melaporkan terjadinya
deformitas cubitus varus pada 8 ( 8% ) dari 101 pasien yang ditangani dengan imobilisasi
dengan casting dibandingkan dengan 2 ( 2% ) dari 105 pasien yang ditangani dengan fiksasi
menggunakan pin, dengan rentang usia penderita antara 1,5 tahun sampai 14 tahun ( mean 6,4
th ). Tiga penyebab utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus valgus
adalah (1) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak acceptable pada
baik karena kurangnya pengetahuan terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of
reduction. Tidaklah sulit untuk menginterpretasikan hasil radiologis dari lateral view.
Interpretasi yang lebih rumit terdapat pada anterior view. Jones view merupakan pemeriksaan
radiologis dari anterior, dengan posisi siku dalam fleksi maksimal dan kaset diletakan pada
bagian posterior dari siku, dan arah sinar 90 derajat terhadap kaset.
Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya berdasarkan pada
permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa masalah yang timbul jika cubitus
varustersebut tidak ditangani, yaitu dapat berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada
condylus lateral, nyeri, tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut
merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan cara melakukan
Loss of motionjarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang direduksi secara
anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan fragmen distal angulasi ke arah
posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan
0
dengan kehilangan fungsi fleksi atau ekstensi mencapai 5 jika dibandingkan dengan sisi yang
tidak cidera. Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya myositis
2,5
ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.
kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa cidera arteri brachialis dan teraba atau
tidaknya nadi radialis. Diagnosis sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni
pain, pallor, pulselessness, paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap
gerakan pasif jari dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk menemukan bahwa
fraktur suprakondiler disertai dengan fraktur pada radius. Battaglia dkk, menemukan bahwa
ambang posisi untuk dapat terjadinya peningkatan tekanan intrakompartement adalah posisi
0 0
fleksi elbow, antara 90 – 120 . Hal ini menentukan pentingnya untuk melakukan imobilisasi
23
pada siku dengan sudut fleksi kurang dari 90 Skaggs dalam penelitian yang dilakukannya
menunjukan bahwa walaupun arteri radialis masih teraba dan capillary refill time masih
normal, namun jika disertai terjadinya echimosis dan pembengkakan yang hebat, ancaman
terhadap terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap diwaspadai. Perhatian khusus
harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang disertai cedera pada nervus medianus, karena
pada pasien yang mengalami cedera pada nervus tersebut, pasien tersebut tidak dapat
Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang ditangani dengan fiksasi
terjadinya infeksi pin track yang berhubungan dengan terjadinya fraktur suprakondiler
humerus disebutkan antara 1% - 6,6%. Battle dan Carmichael melakukan penelitian terhadap
202 kasus fraktur, dimana 92,6% ( 187 ) kasus tersebut merupakan fraktur pada ektermitas
atas, dilaporkan rerata terjadinya infeksi sebesar 7,9% ( 16 dari 202 ). 12 dari 16 kasus yang
mengalami infeksi tersebut memerlukan antibiotik oral dan perawatan terhadap pin tracknya,
Satu pasien memerlukan antibiotik secara intravena, sedangkan 3 pasien sisanya memerlukan
tindakan operasi berupa insisi dan debridement. Gupta dkk melaporkan terjadinya 1 kasus pin
track infection dari 150 pasien, dan dapat ditangani dengan antibiotik oral dan melepas pin
tersebut. Pada penelitian yang lebih besar, Mehlmann dkk menemukan terjadinya 1 kasus pin
track infection pada 198 pasien dan berhasil ditangani dengan antibiotik oral sehingga dapat
26
sembuh tanpa terjadinya sequele.
BAB III
RANGKUMAN
Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus, tepat diatas
dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama pada
kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku pada anak-
anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa
penelitian terakhir menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondilar humerus
adalah sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni
fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).
Penanganan awal yang baik menjadi penting agar mencegah terjadinya gangguan
vaskular atau peningkatan tekanan kompartemen. Oleh karena itu, pada penderita fraktur
suprakondiler humerus diperlukan penangan awal berupa pemasangan splint dengan siku
fraktur pada anak-anak secara umum dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif.
Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-
arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting with or
without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.
Komplikasi yang muncul meliputi komplikasi pada soft tissue, tulang, ataupun komplikasi
reduksi. Komplikasi soft tissue meliputi cidera saraf, cidera pembuluh darah, kekakuan atau
myositis ossificans, sindrom kompartemen, dan infeksi pin track.
Komplikasi pada tulang yakni kolumnar medialis yang pecah berkeping mengakibatkan tidak
stabilnya reduksi tulang. Komplikasi yang dapat muncul oleh karena reduksi yaknideformitas
varus ataupun valgus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of Disorders &
rd
Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3 Edition. Lippincott Wiliams& Wilkins 1999
2. Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In: Beaty JH,
Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in Children, 7th Edition Vol. 3.
Philadelphia, Lippincott William and Wilkins; 2010. 487-531.
3. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2006
4. Barel DP, Hanel DP. Fractures of The Distal Humerus. In: Wolfe SW, Hotchkiss RN,
Pederson WC, Kozin SH. Green’s Operative Hand Surgery Sixth Edition. Churcill