Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

FRAKTUR SUPRAKONDILER HUMERUS DEXTRA

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Umum Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro

disusun oleh :
Danielle Karen Widjaja
22010116220351

Pembimbing :
dr. Kamal Adib, SpOT, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO


SEMARANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tatalaksana fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat ini terutama dalam

kelompok umur tertentu. Beberapa variabel yang penting sebagai penentu keberhasilan

penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi artikulasi yang baik, fiksasi tulang yang

kokoh, penyembuhan tulang, gerakan fungsional yang normal, dan menghindari terjadinya

komplikasi. Pengertian yang baik sangat diperlukan, mengenai anatomi, morfologi fraktur,

pendekatan operatif, hingga implan yang akan digunakan, sebagai dasar untuk mengobati

fraktur jenis ini sehingga akurasi penatalaksanaan menjadi lebih baik.

Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus, tepat diatas

dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama pada

kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku pada anak-

anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa

penelitian terakhir menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondiler humerus

adalah sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni

fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).

Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak telah menjadi subjek

diskusi dan penelitian selama bertahun-tahun. Dahulu, fraktur ini dikaitkan dengan komplikasi

yang berujung pada hasil yang kurang maksimal baik dari segi kosmetik maupun fungsional.

Namun, berkat teknik operasi dan perkembangan teknologi yang semakin modern, komplikasi

ini dapat menurun.

Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus fraktur pada anak-anak secara umum

dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif. Penanganan non operatif pada anak-anak
merupakan pilihan yang utama, karena masih memiliki periosteum yang lebih aktif dan

kemampuan remodeling yang baik. Beberapa jenis deformitas yang terjadi pada anak-anak

juga masih memungkinkan untuk terjadinya koreksi yang spontan, seperti yang disebutkan

oleh Blount’s Law. Namun, tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non operatif.

Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak

memiliki hasil yang lebih baik bila ditangani secara operatif.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di bagian distal humerus,

tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini dihubungkan dengan terjadinya beberapa

1
komplikasi yaitu Volksmann iskemia, malunion, atau gangguan neurovaskuler.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada siku, sekitar 55% -

75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus lebih sering ditemukan pada

anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat rata-rata pertahun penderita fraktur suprakondiler

humerus pada anak-anak diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya fraktur

suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 8 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita

adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri atau sisi yang tidak

2,3
dominan.

2.3 ANATOMI

Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau posterior . Diafisis

humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan lateral. Troklea terbungkus oleh tulang rawan

artikuler di bagian anterior, posterior, dan inferior yang kemudian membentuk lengkungan

o
kira-kira sebesar 270 .
Gambar A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus Distal

Gambar A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus distal kiri.
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo distal dari

medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus. Brachioradialis dan

Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor

mass terdiri dari Extensor Carpi Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan

Extensor Carpi Ulnaris, dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus

4
lateralis, posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.

Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal humerus,

karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris . Pada bagian lateral dari tulang humerus, saraf

radialis bercabang menjadi tiga, yaitu medial head triceps,lower lateral brachial cutaneous

nerve, dansambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior interosseous

nervedansuperficial cutaneous nerve). Setelah bercabang,posterior interosseous nerve

4
menembus septum intermuskularis lateralis

Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstrimitas Atas


Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku

Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus, saraf ulnaris

berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior dari lengan atas dengan

menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan sepanjang batas anteromedial dari

medial head of triceps sepanjang septa intermuskular medialis

2.4 MEKANISME CIDERA

Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-kanak, hal ini

dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis. Kemudian, kolum bagian medial dan

lateral dari humerus distal dihubungkan oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada

bagian posterior dan coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko

5
terjadinya fraktur pada daerah tersebut.
Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku (95%). Jatuh

dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku, dengan olecranon

5
bertindak sebagai fulcrum pada fossa. Bagian anterior dari kapsul secara simultan

memberikan gaya regang pada humerus bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi

yang kontinyu akan mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan

terpluntir ke anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular.

Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan periosteum anterior, namun periosteum bagian

posterior tetap intak. Arah pergeseran pada suatu bidang koronal mengindikasikan risiko

terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan

berisiko sedangkan jika mengarah ke sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf

6
medianus.

Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur suprakondiler tipe fleksi, Yang

diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat menantang untuk

5
direduksi mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris.

2.5 KLASIFIKASI

Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas:

2.5.1 Tipe I

Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser atau minimal

displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang utuh dengan atau tanpa

adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya

fraktur. Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih utuh.
2.5.2 Tipe II

Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran (> 2 mm), dan korteks

bagian posterior kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto

rontgen elbow true lateral, garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum.

Secara umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen AP karena

posterior hinge masih utuh.

2.5.3 Tipe III

Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya kontak pada korteks

yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada bidangsagital dan rotasi pada frontal

dan/atau bidangtransversal. Periosteum mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan

kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular. Keterlibatan dari kolum medialis

menyebabkan malrotasi menjadi lebih signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan

sebagai tipe III. Adanya deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi

AP digolongkan pula sebagai fraktur tipe III

Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur suprakondiler

humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling banyak digunakan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk, Nilai Kappa terhadap variabilitas

intraobserver dan interobserver dari klasifikasi ini merupakan yang tertinggi dibanding

11,13
klasifikasi yang digunakan sebelumnya . Adapun tambahannya, yakni:

2.5.4 Tipe IV

Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional. Hal ini disebabkan

terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari periosteal hinge dan terjadinya instabilitas pada

fleksi dan ekstensi. Instabilitas multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi

teranestesi saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh cedera yang terjadi,
atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu pada saat kita mencoba melakukan
12
reduksi.

2.6 EVALUASI KLINIS

Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh nyeri di sekitar

bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah bahu atau gerakan aktif bahu

2,9
yang terbatas atau deformitas yang mungkin nampak.

Ekstrimitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan pembengkakan jaringan

lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan penilaian ada atau tidaknya patah pada

ekstrimitas tersebut. Kerutan pada kulit disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur

menusuk otot brachialis dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini

menandakan terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah

14,15
terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur terbuka.
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan inspeksi.Analisis terkini

dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien

dengan fraktur suprakondiler. Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada

kasus ini. Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari

(saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb interphalangeal (AIN),

thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris). Pemeriksaan sensorik meliputi area

sensorik saraf radialis (dorsal first web space), saraf medianus (palmar finger index), saraf

ulnaris (palmar little finger). Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut

bersifat sementara dan akan membaik dalam 6-12 minggu.

Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator klinis adanya

perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang normal, suhu, dan warna kulit

(pink). Status vaskular dapat dikategorikan menjadi 3 kategori: kategori I mengindikasikan


bahwa tangan mengalami perfusi yang baik, dan a. radialis teraba, kategori II

mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan

kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang sangat buruk dan tidak

terabanya a. radialis.Prevalensi terjadinya vascular compromise pada fraktur suprakondiler

humerus yang mengalami pergeseran disebutkan mencapai 20 % dari studi yang dilakukan

oleh Pirone dkk, 12 % pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang

dilakukan oleh Campbell dkk.

Selesai pemeriksaan, siku yang cidera sebaiknya distabilisasi menggunakan backslab

o
denga posisi fleksi 20-30 untuk mencegah pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan

mencapai kualitas radiologi yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.

2.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior (AP) dan Lateral.

Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal daripada siku, karena lebih akurat

dalam mengevaluasi humerus distal dan meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi

malalignment pada humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga

humeral capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler. Sudut

ini dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu humerus dengan garis yang

digambarkan sepanjang lempeng pertumbuhan kondilus lateral dari siku. Sebaiknya, sudut

Baumann pada siku kontralateral juga diambil sebagai perbandingan. Fragmen distal biasanya

o
berotasi medial atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut ini antara 9-26 .

Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan varus. Sudut Baumann

merupakan salah satu indikator keberhasilan reduksi yang telah dikerjakan dan berhubungan

dengan carrying
angle yang mungkin terjadi. Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari

2,3,5
sudut Baumann berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat

Baumann’s Angle

Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis humerus

dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle.

Web & Shermann menyatakan bahwa tingkat akurasi sudut Baumann dalam

hubungannya dengan carrying angle akan menurun pada anak yang lebih muda dan pada

remaja, sehingga sudut dari Baumann hanya digunakan jika dibandingkan dengan siku yang

normal saja. Oppenheim berpendapat bahwa humeral – ulnar – wrist angle lebih konsisten dan

akurat dalam menentukan carrying angle. Sedangkan O’brien berpendapat bahwa

metaphyseal – diaphyseal angle lebih akurat jika dibandingkan dengan sudut dari Baumann.
(kiri) Humeral Ulnar Angle; (kanan) Metaphyseal Diaphyseal Angle

Pada proyeksi lateral, sebaiknya humerus diambil sesuai posisi anatomis dan tidak

eksternal rotasi. Pada proyeksi ini, dapat dilihat anterior humeral lineyaitugaris yang

memotong pusat osifikasi capitellum dengan bagian anterior humerus. Pada fraktur

suprakondiler tipe ekstensi, capitellum terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai

suatu tanda adanya efusi intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral.
Fat Pad Sign

2.8 PENATALAKSANAAN

2.8.1 Manajemen awal

Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan penanganan awal berupa


pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi yang nyaman, yaitu 20° sampai 40°
2,5
dalam posisi fleksi dan hindari pemasangan splint yang terlalu ketat. Fleksi dan ekstensi
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya gangguan pada aliran vaskular dan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu dievaluasi lebih

lanjut oleh karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan kerusakan physis. Adapun

pertimbangan penatalaksaan fraktur suprakondiler adalah bagaimana mencegah kerusakan

seperti sindrom kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti cubitus varus dan

10
kekakuan.

Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni:

(1) side-arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting

5
with or without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.

2.8.2 Penanganan dengan Traksi

Traksi sebagai terapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan salah satu pilihan terapi

yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi, baik skin maupun skeletal traksi diantaranya

aman karena jarang terjadi iskemik Volkmann, hasil yang baik karena jarang terjadi

deformitas varus dan valgus, dapat diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun yang

10
sudah beberapa hari, baik stabil maupun tidak stabil. Namun, kelemahan penanganan ini

adalah lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.

Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang membandingkan

antara skin traction dengan skeletal traction dalam menangani fraktur supracondylar humerus,

bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal gambaran klinis, mobilitas bahu, dan

prevalensi terjadinya deformitas cubitus varus. Namun, skin traction memiliki kelebihan

19
yakni mudah dan tidak mempersiapkan peralatan seperti ruang operasi ataupun bius.

Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan aman untuk

20
dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.
2.8.3Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa Fiksasi Pinning

Perkutan

Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran minimal. Awalnya,

reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan untuk fraktur yang mengalami

pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik pada 90% pasien dan tidak ditemukan masalah

10
vaskularisasi atau malunion. Apabila ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai

adanya hematom yang terfixir dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung

akan mengakibatkan iskemik Volkmann. Menurut Rang, fiksasi casting adalah metode lampau

10
merujuk pada dua kasus kontraktur Volkmann komplit tipe lambat.

Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur suprakondiler

yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi tertutup dan fiksasi pinning pada

pasien dengan fraktur suprakondiler humerus tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland

tipe II dan III, dan fleksi displaced) dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa

penelitian yang menyokong rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa secara statistik,

penanganan dengan fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non operatif dalam hal

mencegah cubitus varus dan kehilangan gerakan, namun lebih berisiko menimbulkan infeksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Kumar, bahwa kriteria Flynn (kriteria yang dipakai untuk

menilai hasil post reduksi pada fraktur suprakondiler humerus, yakni kosmetik dan fungsional

pada penggunaan reduksi tertutupdan pinning perkutan pada fraktur suprakondiler humerus

yang mengalami pergeseran adalah sangat baik sebanyak 202 kasus, baik 68 kasus, cukup 5

kasus dan kurang sejumlah 2 kasus. Kesimpulannya, teknik closed reduction and

percutaneous pinning efektif untuk menangani fraktur suprakondiler humerus yang

21
mengalami pergeseran.

Penelitian yang dilakukan oleh Swenson, Casiano, dan Flynndengan menggunakan dua pin

menyilang. Penelitian Arino dkk merekomendasikan penggunaan duapin lateral. Penelitian

Foster dan Paterson menggunakan dua pin lateral divergen. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan oleh Skaggs dkk,menggunakan tiga pin lateral jika fraktur masih tidak stabil

dengan dua lateral pin. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Haddad dkk dan Shim

dkk, menggunakan dua pin lateral dan satu pin medial. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian

hewan yang dilakukan oleh Herzenberg dkk, yang menemukan bahwa fiksasi pin medial dan

lateral lebih stabil dibanding dengan hanya fiksasi lateral saja, namun tidak direkomendasikan

jika terdapat edema atau cidera pada saraf ulnaris. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang

dilakukan oleh Skaggs dkk, yang menemukan bahwa terdapat 4% ulnar nerve palsy dengan

penggunaan pin medial. Untuk mencegah komplikasi tersebut, penelitian yang dilakukan oleh

Royce dkk, merekomendasikan fiksasi menggunakan dua lateral pin jika fraktur stabil setelah

dilakukan reduksi tertutup. Untuk jenis kominutif atau fraktur yang tidak stabil, bisa

digunakan pin medial dan lateral. Untuk mencegah komplikasi cidera saraf pada saat

menggunakan pin medial, dilakukan insisi kecil pada epikondilus medial, pin di angulasikan

o o
kira-kira 40 kearah superior dan 10 kearah posterior. Pin harus diteruskan hingga mencapai

korteks agar fiksasinya solid.


2.8.4 Reduksi Terbuka

Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur terbuka, gagal setelah

reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan gangguan vaskularisasi. Pada masa

lalu, reduksi terbuka dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kekakuan sendi, myositis

osifikan, jaringan parut yang mengganggu kosmetik dan cedera neurovaskular iatrogenik.

Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh reduksi

terbuka. Penelitian yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan bahwa 52 fraktur yang

mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka melalui pendekatan lateral, 10%

mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat sedang, namun tidak ada infeksi, nonunion,

2,5
atau myositis osifikan.

Pendekatan anterior memiliki keuntungan, terutama jika berkaitan dengan

neurovaskular, yakni memberikan visualisasi langsung tidak hanya fragmen fraktur namun

juga arteri branchialis dan saraf medianus. Insisi kecil (5cm) sehingga baik secara kosmetik

dibandingkan pendekatan lateral, dan kontraksi jaringan parut tidak membatasi ekstensi bahu.

Apabila terdapat hematom yang biasanya terbentuk di daerah cubital, dapat dihilangkan

melalui dekompresi anterior. Keuntungan lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis

dapat dipalpasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya malposisi atau malrotasi. Pendekatan

anterior menunjukkan tingkat kekakuan dan komplikasi yang rendah, mirip dengan

penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi oleh karena

reduksi yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya cubitus varus

rendah.2,13,18,24

Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range motion dan

osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai arteri posterior menuju trochlea

2,18
humerus, sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan untuk anak kecil.

Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan kolum medialis dapat

terlihat dengan jelas dan secara kosmetik jaringan parut akan samar oleh karena terletak di
bagian dalam daripada lengan. Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat

13
setelah reduksi.

2.8.5 Penanganan Berdasarkan Tipe Fraktur

2.8.5.1 Fraktur Tipe I

Fraktur suprakondiler yang nondisplaced atau minimal displaced ( < 2 mm ) dapat dipasang

long arm cast disertai posisi siku berada dalam posisi fleksi 60 ° sampai 90 ° selama
kurang lebih tiga minggu. Sudut Baumann atau sudut epifisis epikondilus medialis harus

o
diperiksa bilateral. Jika lebih dari 10 maka diperlukan Reduksi tertutup and Percutaneous

9
Pinning (CRPP). Pemeriksaan foto rontgen lanjutan dikerjakan pada minggu pertama dan

kedua untuk menilai adanya pergeseran fragmen fraktur

2.8.5.2 Fraktur Tipe II

Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami pergeseran dari yang

sebelumnya menggunakan cast untuk imobilisasi dibanding saat ini yang lebih banyak

menggunakan intervensi operasi. Fraktur suprakondiler humerus tipe II biasanya merupakan

akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap intak atau nondisplaced. Setelah

0
dilakukan reduksi tertutup dan casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-100 . Jika

0
reduksi tertutup fleksi lebih dari 100 maka perlu percutaneous pinning, dengan imobilisasi

0
fleksi kurang dari 90

2.8.5.3 Fraktur Tipe III

Fraktur suprakondilertipe III adalah jenis fraktur yang bergeser secara komplit.

Penatalaksanaan dimulai dengan penilaian fungsi perfusi dan saraf. Masalah neurovaskular

sering terjadi dan mengakibatkan perubahan tatalaksana fraktur. Jika anak dengan fraktur pada

siku datang ke Unit Gawat Darurat dengan posisi siku fleksi atau ekstensi yang ekstrem,

posisi lengan harus dikoreksi dan dilakukan fleksi 30° untuk meminimalisasi gangguan pada

vaskular dan tekanan kompartemen. Jika tidak terdapat masalah dalam neurovascular, fraktur

tipe displaced dapat dibidai sementara menunggu penanganan lebih lanjut. Closed Reduction

Percutaneous Pinning (CRPP) merupakan pilihan penatalaksanaan untuk fraktur tipe III.

Fraktur displaced suprakondiler yang dilakukan reduksi tertutup dan casting memiliki insiden

terjadinya deformitas lebih tinggi ketimbang reduksi dan pinning. Sama halnya dengan angka

insiden terjadinya iskemik Volkmann, yang lebih tinggi pada reduksi dan casting dibanding

reduksi dan pinning.


Khusus pada fraktur kominutif kolum medial yang mungkin tidak mengalami

pergeseran yang dramatis pada fraktur tipe III, tapi pada fraktur ini memerlukan reduksi

terbuka karena kolaps yang terjadi pada kolum medial akan menyebabkan terjadinya

deformitas berupa varus pada lengan disertai terjadinya pergeseran yang minimal pada

suprakondiler. De Boeck dkk, merekomendasikan reduksi tertutup pinning perkutaneous bila

fraktur disertai kominutif pada bagian medialnya, walaupun dengan displaced yang minimal,

hal inibertujuan untuk mencegah terjadinya cubitus varus. Pada penelitian retrospektif yang

dilakukan oleh De Boeck dkk, pada 13 pasien dengan kominutif medial, cubitus varus tidak
terjadi pada 6 pasien yang mengalami fraktur kominutif yang dikerjakan reduksi terbuka dan

fiksasi dengan pinning, sedangkan pada 4 dari tujuh pasien yang tidak dilakukan reduksi

2,5
terbuka dan fiksasi dengan pinning, terjadi cubitus varus.

2.8.5.4 Fraktur Tipe IV

Fraktur tipe IV merupakan fraktur yang tidak stabil dan biasanya memerlukan penanganan

operatif, namun Leitch dkk menyatakan protokol penanganan yang menggunakan reduksi

tertutup dalam menangani 9 pasien dengan fraktur tipe IV. Teknik yang mereka

rekomendasikan adalah dengan menggunakan Kirschner wire yang ditempatkan pada bagian

distal fragmen. Karena masih jarangnya terjadi fraktur dengan tipe tesebut, perlunya tindakan

2
reduksi terbuka maupun kemungkinan komplikasi yang terjadi belum dapat diprediksi.

2.9 KOMPLIKASI

2.9.1 Cidera Saraf

Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan fraktur displaced

suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%. Pada tahun 1995, Campbell dkk,

menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52% kasus dan kerusakan saraf radialis

sebanyak 28%, namun penelitian yang dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan
bahwa yang paling sering mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus tipe

ekstension adalah saraf interosseusanterioryang ditandai dengan paralisisfleksor longus ibu

2,5
jari dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik. Kerusakan pada saraf medianus

berkaitan dengan pergeseran fragmen distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan

sensoric loss pada distribusi persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada

otot-otot yang mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6

bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu. Indikasi eksplorasi

adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur terbuka, setelah dilakukan reduksi tertutup

pinning perkutan. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Royce dkk, bahwa dari 143

pasien dengan fraktur suprakondiler, dilaporkan sejumlah 4 kasus dengan kerusakan saraf

setelah fiksasi menggunakan pinning. Sedangkan Lyon dkk melakukan penelitian terhadap 17

pasien yang diduga mengalami cedera pada nervus ulnaris yang dicurigai disebabkan oleh

pemasangan pin pada daerah medial. Hasilnya, semua pasien tersebut mengalami pemulihan

komplit dari fungsi sarafnya, walaupun banyak diantara pasien tersebut yang baru mengalami

penyembuhan setelah 4 bulan. Hanya 4 dari 17 pasien yang dilakukan pencabutan dari pinnya.

Penelitian ini menunjukan bahwa penyembuhan dari cedera pada saraf ulnar dapat terjadi

tanpa perlu melakukan pencabutan pada pin tersebut.Namun, Karakurt dkk melalui studi

ultrasonografi, dengan menghilangkan penyebab terjadinya penekanan tersebut, yaitu dengan

cara mencabut pin yang terletak di bagian medial lebih awal akan menyebabkan terjadinya

2,5
penyembuhan yang lebih awal terhadap sarafyang mengalami cedera tersebut.

2.9.2 Cidera Pembuluh Darah

Prevalensi terjadinya insufiensi pembuluh darah berkaitan dengan fraktur suprakondiler

dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri radialisterjadi pada pasien dengan

fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10% - 20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis bukan
merupakan suatu kegawatdaruratan, melainkan urgensi.Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral

masih dapat memberikan perfusi yang memadai bagi extremitas tersebut.

Bila ada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur suprakondiler yang

disertai dengan pergeseran yang berat disertai gangguan vaskular, dilakukan splinting pada

siku dengan posisi siku fleksi 20° - 40°.Shaw dkk, merekomendasikan stabilisasi fraktur

sesegera mungkin dengan reduksi tertutup dan K-wire, apabila terdapat cidera pada pembuluh

darah. Protokol penatalaksanaan ini telah mengembalikan denyutan sebanyak 13 pasien dari

total 17 pasien fraktur suprakondiler dengan cidera pembuluh darah (12% dari 143 fraktur tipe

2,5
III).

Sabharwal dkk menyatakan bahwa repair awal yang dilakukan pada arteri

dihubungkan dengan tingginya angka kejadian reoklusi simptomatis dan stenosis residual, dan

mereka merekomendasikan untuk dilakukan periode observasi dan pemeriksaan

neurovaskular secara berkala sebelum dilakukan koreksi yang bersifat invasif. Jika pulsasi

sebelum dilakukan reduksi masih teraba, dan kemudian menghilang setelah dilakukan reduksi

dan fiksasi dengan pinning, maka reduksi terbuka harus segera dilakukan. Reduksi terbuka

melalui pendekatan anterior karena melalui pendekatan tersebut, kita dapat mengevaluasi

struktur vital yang beresiko mengalami penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri

berhasil dibebaskan dari penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada arteri

akan dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine, pemanasan, dan dilakukan

2,5
observasi selama 5-15 menit.

Indikasi dilakukan rekonstuksi vaskuler adalah 1). denyutan tidak teraba setelah

reduksi, dengan tanda-tanda capillary refill time menurun, tekanan kompartemen meningkat,

atau pallor. 2) tidak ada denyutan pada pemeriksaan Doppler di daerah ekstrimitas

24,25
noniskemik.
2.9.3 Deformitas

Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien dengan fraktur

suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada humerus distal dikarenakan physis

.
bagian distal hanya berkontribusi sebesar 20% terhadap pertumbuhan tulang humerus

2,5,10
Penyebab yang paling masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur

suprakondiler adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan terjadinya growth arrest.

Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak dapat terjadi angulasi pada

bidang koronal, sehingga mengakibatkan terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus.

Deformitas cubitus varus adalah mengenai kosmetik bukan fungsional atau kecacatan,

deformitas yang terjadi adalah ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti tekniklateral

closing-wedge osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-cut lateral closing-wedge

osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun, osteotomy tersebut berkaitan

dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Seperti yang dilaporkan oleh Labelle dkk, yang

menyebutkan bahwa 33% pasien mengalami loss of correction dan atau disertai cidera saraf.

Sedangkan deformitas cubitus valgus menyebabkan kehilangan fungsional ekstensi dan


2,5
paralisis saraf tardyulnaris.

Cubitus varus dapat dicegah dengan menjaga agar garis Bauman tetap utuh saat

melakukan reduksi dan selama masa penyembuhan. Pirone dkk melaporkan terjadinya

deformitas cubitus varus pada 8 ( 8% ) dari 101 pasien yang ditangani dengan imobilisasi

dengan casting dibandingkan dengan 2 ( 2% ) dari 105 pasien yang ditangani dengan fiksasi

menggunakan pin, dengan rentang usia penderita antara 1,5 tahun sampai 14 tahun ( mean 6,4

th ). Tiga penyebab utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus valgus

adalah (1) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak acceptable pada

gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil radiologis yang

baik karena kurangnya pengetahuan terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of
reduction. Tidaklah sulit untuk menginterpretasikan hasil radiologis dari lateral view.

Interpretasi yang lebih rumit terdapat pada anterior view. Jones view merupakan pemeriksaan

radiologis dari anterior, dengan posisi siku dalam fleksi maksimal dan kaset diletakan pada

bagian posterior dari siku, dan arah sinar 90 derajat terhadap kaset.

Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya berdasarkan pada

permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa masalah yang timbul jika cubitus

varustersebut tidak ditangani, yaitu dapat berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada

condylus lateral, nyeri, tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut

merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan cara melakukan

osteotomy pada suprakondiler humerus.

2.9.4 Kekakuan dan Myositis Ossificans

Loss of motionjarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang direduksi secara

anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan fragmen distal angulasi ke arah

posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan

0
dengan kehilangan fungsi fleksi atau ekstensi mencapai 5 jika dibandingkan dengan sisi yang

tidak cidera. Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya myositis

2,5
ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.

2.9.5 Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemenpada fraktur suprakondiler diperkirakan antara 0,1 % - 0,3 %. Sindrom

kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa cidera arteri brachialis dan teraba atau

tidaknya nadi radialis. Diagnosis sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni

pain, pallor, pulselessness, paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap

gerakan pasif jari dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk menemukan bahwa

prevalensi terjadinya sindrom kompartemenpada forearm adalah 3 berbanding 33 pada kasus

fraktur suprakondiler disertai dengan fraktur pada radius. Battaglia dkk, menemukan bahwa
ambang posisi untuk dapat terjadinya peningkatan tekanan intrakompartement adalah posisi

0 0
fleksi elbow, antara 90 – 120 . Hal ini menentukan pentingnya untuk melakukan imobilisasi

23
pada siku dengan sudut fleksi kurang dari 90 Skaggs dalam penelitian yang dilakukannya

menunjukan bahwa walaupun arteri radialis masih teraba dan capillary refill time masih

normal, namun jika disertai terjadinya echimosis dan pembengkakan yang hebat, ancaman

terhadap terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap diwaspadai. Perhatian khusus

harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang disertai cedera pada nervus medianus, karena

pada pasien yang mengalami cedera pada nervus tersebut, pasien tersebut tidak dapat

merasakan terjadinya nyeri pada kompartement bagian volarnya.

2.9.6 Infeksi Pin Track

Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang ditangani dengan fiksasi

menggunakan percutaneus Kirschner wire memiliki rentang antara 1% - 21%. Rerata

terjadinya infeksi pin track yang berhubungan dengan terjadinya fraktur suprakondiler

humerus disebutkan antara 1% - 6,6%. Battle dan Carmichael melakukan penelitian terhadap

202 kasus fraktur, dimana 92,6% ( 187 ) kasus tersebut merupakan fraktur pada ektermitas

atas, dilaporkan rerata terjadinya infeksi sebesar 7,9% ( 16 dari 202 ). 12 dari 16 kasus yang

mengalami infeksi tersebut memerlukan antibiotik oral dan perawatan terhadap pin tracknya,

Satu pasien memerlukan antibiotik secara intravena, sedangkan 3 pasien sisanya memerlukan

tindakan operasi berupa insisi dan debridement. Gupta dkk melaporkan terjadinya 1 kasus pin

track infection dari 150 pasien, dan dapat ditangani dengan antibiotik oral dan melepas pin

tersebut. Pada penelitian yang lebih besar, Mehlmann dkk menemukan terjadinya 1 kasus pin

track infection pada 198 pasien dan berhasil ditangani dengan antibiotik oral sehingga dapat

26
sembuh tanpa terjadinya sequele.
BAB III

RANGKUMAN

Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus, tepat diatas

dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama pada

kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku pada anak-

anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa

penelitian terakhir menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondilar humerus

adalah sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni

fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).

Penanganan awal yang baik menjadi penting agar mencegah terjadinya gangguan

vaskular atau peningkatan tekanan kompartemen. Oleh karena itu, pada penderita fraktur

suprakondiler humerus diperlukan penangan awal berupa pemasangan splint dengan siku

diposisikan fleksi 20° - 40° . Selanjutnya penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus

fraktur pada anak-anak secara umum dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif.

Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-

arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting with or

without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.
Komplikasi yang muncul meliputi komplikasi pada soft tissue, tulang, ataupun komplikasi
reduksi. Komplikasi soft tissue meliputi cidera saraf, cidera pembuluh darah, kekakuan atau
myositis ossificans, sindrom kompartemen, dan infeksi pin track.

Komplikasi pada tulang yakni kolumnar medialis yang pecah berkeping mengakibatkan tidak
stabilnya reduksi tulang. Komplikasi yang dapat muncul oleh karena reduksi yaknideformitas
varus ataupun valgus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of Disorders &
rd
Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3 Edition. Lippincott Wiliams& Wilkins 1999
2. Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In: Beaty JH,
Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in Children, 7th Edition Vol. 3.
Philadelphia, Lippincott William and Wilkins; 2010. 487-531.
3. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2006
4. Barel DP, Hanel DP. Fractures of The Distal Humerus. In: Wolfe SW, Hotchkiss RN,
Pederson WC, Kozin SH. Green’s Operative Hand Surgery Sixth Edition. Churcill

5. Gartland JJ. Management of supracondylar fractures humerus in children. Surgery


Gynecology Obstetric. 1959;109(2):145-54
6. Murray AW, Robb J. Supracondylar Fractures Of The Humerus in Children. Elsevier.
2012. 8:119-132
7. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fractures of the Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine. 2008. 1:190-196
8. Skaggs DL. Elbow fractures in children: Diagnosis and Management. Journalof
America Academy of Orthopaedic Surgery. 1997;5(6);303-12
9. Skaggs D, Pershad J. Pediatric elbow trauma. Pediatric Emergency Care.
1997;13(6);425-34
10. Otsuka NY, Kasser JR. Supracondylar fractures of the humerus in children. Journal of
American Academy of Orthopaedic Surgery. 1997;5(1); 19-26
11. Bhuyan, BK. Closed Reduction and Percutaneous Pinning in Displaced
Supracondylar Humerus Fractures in Children. Journal of Clinical Orthopaedic and
Trauma. 2012. 89-93.

Anda mungkin juga menyukai