Bagaimana Cara Memilih Pemimpin Menurut Islam
Bagaimana Cara Memilih Pemimpin Menurut Islam
Islam
Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara. Jika pemimpin negara itu
sederhana, jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika
pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.
Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik. Dalam Al
Qur’an, Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk memilih pemimpin yang baik dan
beriman:
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang
pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. “ (An
Nisaa 4:138-139)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada oarng-orang yang zalim ” (QS. Al-Maidah: 51)
“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka
mereka itulah orang2 yang zalim” (At Taubah:23)
“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang2 kafir menjadi wali (teman atau
pelindung)” (An Nisaa:144)
“Janganlah orang2 mukmin mengambil orang2 kafir jadi pemimpin, bukan orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun…” (Ali Imran:28)
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “ada tujuh golongan
manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi
naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):
4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun
karena Allah
5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia
menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”
6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya
7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air
matanya.
“Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan
janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu
lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 5: 8)
Keadilan yang diserukan al-Qur’an pada dasarnya mencakup keadilan di bidang ekonomi,
sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah
selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama
di depan hukum, tanpa pandang bulu. Hal inilah yang telah diperintahkan al-Qur’an dan
dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad untuk menegakkan hukum (dalam konteks
pencurian), walaupun pelakunya adalah putri beliau sendiri, Fatimah, misalnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-
Nisa; 4: 135)
Dalam sebuah kesempatan, ketika seorang perempuan dari suku Makhzun dipotong tangannya
lantaran mencuri, kemudian keluarga perempuan itu meminta Usama bin Zaid supaya
memohon kepada Rasulullah untuk membebaskannya, Rasulullah pun marah. Beliau bahkan
mengingatkan bahwa, kehancuran masyarakat sebelum kita disebabkan oleh ketidakadilan
dalam supremasi hukum seperti itu.
Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: adakah patut engkau memintakan
kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah?
Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: ‘Hai para manusia! Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu itu rusak/binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia
diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri,
mereka berikan kepadanya hukum’. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud,
Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah)
Dari hadits di atas, tidak pantas jika kita mengangkat seorang koruptor/pencuri sebagai
pemimpin. Sebaliknya, koruptor harus dihukum agar kita tidak binasa.
Pilih pemimpin yang Ahli/Amanah sebab jika tak ahli kita semua akan hancur/binasa:
Pilih pemimpin yang mau mencegah dan memberantas kemungkaran seperti korupsi,
nepotisme, manipulasi, dll:
Pilih pemimpin yang bisa mempersatukan ummat, bukan yang fanatik terhadap kelompoknya
sendiri:
“ … Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian, orang-orang Muslim, dari dahulu … .” (QS. Al
Hajj : 78)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :
Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat dipercaya),
Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta tabligh (berkomunikasi dgn baik dgn
rakyatnya). Sifat di atas juga harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.
Pilih pemimpin yang amanah, sehingga dia benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya.
Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya.
Pilih pemimpin yang cerdas, sehingga dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok
lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk
memajukan rakyatnya.
Terkadang kita begitu apatis dengan pemimpin yang korup, sehingga memilih Golput. Sikap
golput atau tidak memilih pemimpin merupakan sikap yang kurang baik. Dalam Islam,
kepemimpinan itu penting, sehingga Nabi pernah berkata, jika kalian bepergian, pilihlah satu
orang jadi pemimpin. Jika hanya berdua, maka salah satunya jadi pemimpin. Sholat wajib pun
yang paling baik adalah yang ada pemimpinnya (imam).
Pilih pemimpin yang hidup sederhana. Tidak menumpuk harta, tapi mensedekahkan sebagian
besar hartanya untuk rakyatnya.
”Berikanlah hartamu kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
hartamu secara boros.
Pemimpin yang boros misalnya jam tangan puluhan juta, baju puluhan juta, demikian pula
sepatu dsb sehingga yang melekat di badan saja bisa Rp 1 milyar lebih, kemudian mobilnya
banyak dan mahal seperti Alphard sehingga total bisa Rp 5 milyar lebih dan rumah bisa Rp 10
milyar dan bukan cuma 1, kemungkinan besar dia akan jadi koruptor atau penerima “Hibah”
(gratifikasi/suap). Karena gaji anggota DPR itu paling Rp 60 juta / bulan. Setahun Rp 720 juta
dan dalam 5 tahun cuma Rp 3,6 milyar. Bahkan kalau menjabat selama 10 tahun pun cuma
terkumpul Rp 7,2 milyar padahal dia harus keluar uang untuk belanja keluarganya. Jadi kalau
hartanya Rp 16 milyar, dari mana selisih Rp 8,8 milyar kalau tidak dari korupsi / hibah?
Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai
sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada
keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya.
Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota
dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari
kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan
sampai kepada artis.
Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal
bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab
(2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang
pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia
dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim
melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan
engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga
(dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak)
diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi
dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang
yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab
melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai
peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan
upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan
kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi
saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab
kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap
yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada
beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada
salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi
Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang
menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian
pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang
sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam
ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang
mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada
pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin
(yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah
itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan
masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah
seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk
mengurus dan melayani umat/masyarakat.
Kriteria pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada
empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi
pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul
sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam
bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah
bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan
menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang
yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah,
yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu
penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang
diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi
(kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat
pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-
Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran
dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q.
S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam
mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada
dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir
kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan
kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-
Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin
dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang
kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan,
tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian
mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai
kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama
sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali
menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-
Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan
zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila
kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan
ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
Memilih pemimpin
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat
apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih
pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada
Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian
dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan
agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban
atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang
mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif
dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal
ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian,
demikian terangkat pemimpin kalian".
ّللاِ فِي َ الَّ يَت َّ ِخ ِذ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِليَاء ِمن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو َمن يَ ْفعَ ْل ذَ ِل َك فَلَي
ْس ِمنَ ه
ير
ُ ص ِ ّللاِ ْال َم
سهُ َو ِإلَى ه ش ْيءٍ ِإالَّ أَن تَتَّقُواْ ِم ْن ُه ْم تُقَاة ً َويُ َحذه ُِر ُك ُم ه
َ ّللاُ نَ ْف َ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI
(waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya
kepada Allah kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)
Kedua;
ان ِ َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَت َّ ِخذُواْ آ َباء ُك ْم َو ِإ ْخ َوانَ ُك ْم أ َ ْو ِل َياء إ َ ِن ا ْست َ َحبُّواْ ْال ُك ْف َر َعلَى
ِ اإلي َم
َّ َو َمن َيت َ َولَّ ُهم ِ همن ُك ْم فَأ ُ ْولَـ ِئ َك ُه ُم
َالظا ِل ُمون
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu menjadi WALI (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS:
At-Taubah [9]: 23)
Lima;
سولَهُ َولَ ْو َكانُوا آ َباءهُ ْم َّ َّالِلِ َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر يُ َوادُّونَ َم ْن َحاد
ُ ّللاَ َو َر َّ َال ت َ ِجد ُ َق ْوما ً يُؤْ ِمنُونَ ِب
ُاإلي َمانَ َوأَيَّدَهُم ِب ُروحٍ ِ هم ْنه َ َ ِيرت َ ُه ْم أ ُ ْولَ ِئ َك َكت
ِ ْ ب ِفي قُلُو ِب ِه ُم َ أ َ ْو أ َ ْبنَاءهُ ْم أ َ ْو ِإ ْخ َوانَ ُه ْم أ َ ْو َعش
ُع ْنه َ ضوا ُ ع ْن ُه ْم َو َر َّ ي
َ ُّللا َ ض ِ ار خَا ِلدِينَ فِي َها َر ُ ت ت َ ْج ِري ِمن ت َ ْحتِ َها ْاْل َ ْن َه ٍ َويُ ْد ِخلُ ُه ْم َجنَّا
َّللاِ هُ ُم ْال ُم ْف ِل ُحون َّ بَ ّللاِ أ َ َال إِ َّن ِح ْز
َّ ب ُ أ ُ ْولَئِ َك ِح ْز
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-
Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-
saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya
hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS: Al Mujaadalah [58] : 22)
Enam;