Anda di halaman 1dari 12

Bagaimana Cara Memilih Pemimpin Menurut

Islam
Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara. Jika pemimpin negara itu
sederhana, jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika
pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.

Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik. Dalam Al
Qur’an, Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk memilih pemimpin yang baik dan
beriman:

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang
pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. “ (An
Nisaa 4:138-139)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada oarng-orang yang zalim ” (QS. Al-Maidah: 51)

“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka
mereka itulah orang2 yang zalim” (At Taubah:23)

“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang2 kafir menjadi wali (teman atau
pelindung)” (An Nisaa:144)

“Janganlah orang2 mukmin mengambil orang2 kafir jadi pemimpin, bukan orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun…” (Ali Imran:28)

Selain beriman, seorang pemimpin juga harus adil:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “ada tujuh golongan
manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi
naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):

1. Imam/pemimpin yang adil

2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah

3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid

4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun
karena Allah
5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia
menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”

6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya

7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air
matanya.

(HR. Bukhari dan Muslim)

“Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan
janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu
lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 5: 8)

Keadilan yang diserukan al-Qur’an pada dasarnya mencakup keadilan di bidang ekonomi,
sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah
selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama
di depan hukum, tanpa pandang bulu. Hal inilah yang telah diperintahkan al-Qur’an dan
dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad untuk menegakkan hukum (dalam konteks
pencurian), walaupun pelakunya adalah putri beliau sendiri, Fatimah, misalnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-
Nisa; 4: 135)

Dalam sebuah kesempatan, ketika seorang perempuan dari suku Makhzun dipotong tangannya
lantaran mencuri, kemudian keluarga perempuan itu meminta Usama bin Zaid supaya
memohon kepada Rasulullah untuk membebaskannya, Rasulullah pun marah. Beliau bahkan
mengingatkan bahwa, kehancuran masyarakat sebelum kita disebabkan oleh ketidakadilan
dalam supremasi hukum seperti itu.

Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: adakah patut engkau memintakan
kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah?
Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: ‘Hai para manusia! Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu itu rusak/binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia
diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri,
mereka berikan kepadanya hukum’. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud,
Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah)

Dari hadits di atas, tidak pantas jika kita mengangkat seorang koruptor/pencuri sebagai
pemimpin. Sebaliknya, koruptor harus dihukum agar kita tidak binasa.

“Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia


kafir, dan tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim”.
(Mutiara I dr Ali ibn Abi Thalib)

Pilihlah pemimpin yang jujur:


Dari Ma’qil ra. Berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadist yang saya dengar dari
Rasulullah saw. Dan saya telah mendengar beliau bersabda: “seseorang yang telah ditugaskan
Tuhan untuk memerintah rakyat (pejabat), kalau ia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya
dia tidak akan memperoleh bau surga”. (HR. Bukhari)

Pilih pemimpin yang Ahli/Amanah sebab jika tak ahli kita semua akan hancur/binasa:

“Apabila perkara (urusan) diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah


kiamat/kehancuran.” [HR Bukhari]

“..janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..” [Al Baqarah:195]

Pilih pemimpin yang mau mencegah dan memberantas kemungkaran seperti korupsi,
nepotisme, manipulasi, dll:

“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya,


jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka
dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Pilih pemimpin yang bisa mempersatukan ummat, bukan yang fanatik terhadap kelompoknya
sendiri:

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam Al Qur’an :

“ … Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian, orang-orang Muslim, dari dahulu … .” (QS. Al
Hajj : 78)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :

“Barangsiapa menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah maka sesungguhnya dia menyeru ke


pintu jahanam.” Berkata seseorang : “Ya Rasulullah, walaupun dia puasa dan shalat?” “Ya,
walaupun dia puasa dan shalat, walaupun dia mengaku Muslim. Maka menyerulah kalian
dengan seruan yang Allah telah memberikan nama atas kalian, yaitu : Al Muslimin, Al
Mukminin, Hamba-Hamba Allah.” (HR. Ahmad jilid 4/130, 202 dan jilid 5/344)

Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat dipercaya),
Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta tabligh (berkomunikasi dgn baik dgn
rakyatnya). Sifat di atas juga harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.

Pilih pemimpin yang amanah, sehingga dia benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya.
Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan
pribadi dan kelompoknya.

Pilih pemimpin yang cerdas, sehingga dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok
lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk
memajukan rakyatnya.

Terkadang kita begitu apatis dengan pemimpin yang korup, sehingga memilih Golput. Sikap
golput atau tidak memilih pemimpin merupakan sikap yang kurang baik. Dalam Islam,
kepemimpinan itu penting, sehingga Nabi pernah berkata, jika kalian bepergian, pilihlah satu
orang jadi pemimpin. Jika hanya berdua, maka salah satunya jadi pemimpin. Sholat wajib pun
yang paling baik adalah yang ada pemimpinnya (imam).

Pilih pemimpin yang hidup sederhana. Tidak menumpuk harta, tapi mensedekahkan sebagian
besar hartanya untuk rakyatnya.

Karena pemboros itu menurut Allah adalah temannya Setan:

”Berikanlah hartamu kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
hartamu secara boros.

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu


adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Al Israa’:26-27]

Pemimpin yang boros misalnya jam tangan puluhan juta, baju puluhan juta, demikian pula
sepatu dsb sehingga yang melekat di badan saja bisa Rp 1 milyar lebih, kemudian mobilnya
banyak dan mahal seperti Alphard sehingga total bisa Rp 5 milyar lebih dan rumah bisa Rp 10
milyar dan bukan cuma 1, kemungkinan besar dia akan jadi koruptor atau penerima “Hibah”
(gratifikasi/suap). Karena gaji anggota DPR itu paling Rp 60 juta / bulan. Setahun Rp 720 juta
dan dalam 5 tahun cuma Rp 3,6 milyar. Bahkan kalau menjabat selama 10 tahun pun cuma
terkumpul Rp 7,2 milyar padahal dia harus keluar uang untuk belanja keluarganya. Jadi kalau
hartanya Rp 16 milyar, dari mana selisih Rp 8,8 milyar kalau tidak dari korupsi / hibah?

Kriteria Pemimpin yg baik: Berani Menasionalisasi perusahaan2 yg mengelola tambang (migas,


emas, batubara, dsb), Memberantas korupsi dgn membersihkan jajaran pimpinan Polri, Hakim,
dan Jaksa dari koruptor, memberdayakan rakyat dgn Pasar2 murah (BUMN, BUMD),
membangun Industri nasional, membangun pertanian, peternakan, dan perikanan, dsb.
Hidup sederhana, jujur, adil, dan amanah serta rela menderita demi kesejahteraan rakyatnya.

PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN

Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan,


berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut
mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat
dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati
dan dihargai masyarakat.

Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai
sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada
keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya.
Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota
dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari
kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan
sampai kepada artis.

Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya,


bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan)
tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar
tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah
keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas.
Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan
yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal
bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab
(2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang
pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia
dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim
melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan
engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga
(dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak)
diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi
dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang
yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab
melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai
peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan
upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan
kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi
saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab
kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap
yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada
beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada
salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi
Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang
menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan,


penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan.
Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak
yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang
agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud,
Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia
dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian
pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang
sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam
ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang
mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada
pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin
(yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah
itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan
masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah
seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk
mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria pemimpin

Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada
empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi
pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul
sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam
bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah
bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan
menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang
yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah,
yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu
penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang
diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi
(kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat
pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-
Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran
dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q.
S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam
mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada
dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir
kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan
kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-
Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin
dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang
kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan,
tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian
mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai
kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama
sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali
menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-
Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan
zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila
kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan
ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang


dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat
syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah).
Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga,
memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial
dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Memilih pemimpin

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat
apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih
pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.

Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada
Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian
dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan
agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban
atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang
mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif
dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal
ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian,
demikian terangkat pemimpin kalian".

Sikap rakyat terhadap pemimpin

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak


lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat.
Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai,
menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa
yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan
mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak
diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan


penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang
mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka.
Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan
bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu
lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang
kepada kaum mukmin.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih


dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama
pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)

Enam Dalil Memilih Pemimpin dalam


Islam
KEPEMPINAN adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam
Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini. Hal ini bisa dimengerti. Karena
pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan suatu masyarakat.
Dalam agama Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat
manusia telah ada aturannya yang sangat jelas dan detail. Sebagai contoh
adalah aturan (syariat) tentang bagaimana tata cara bersuci (istinja’) dari najis
saat buang air besar/kecil dan bersuci dari hadats (kentut, mandi junub).
Demikian juga tata krama (‘adab) saat bersin, makan, minum, tidur, buang air
dan seterusnya.
Padahal ini menyangkut hal yang dampaknya bersifat sangat individual. Karena
itu sangat logis jika dalam persoalan yang lebih besar dan luas dampaknya,
Islam juga sangat peduli. Contohnya soal kepemimpinan ini. Hal ini karena aspek
kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi kehidupan seluruh
rakyat (ummat) di suatu negeri.
Hadits Nabi berikut ini sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam
memandang persoalan kepemimpinan ini. Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassallam bersabda:
‫إِذَا َكانَ ثَالَثَةٌ فِي َسف ٍَر فَ ْلي َُؤ ِم ُروا أ َ َح َد ُه ْم‬
“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang
di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Hadits ini secara jelas memberikan gambaran betapa Islam sangat memandang
penting persoalan memilih pemimpin. Hadits ini memperlihatkan bagaimana
dalam sebuah kelompok Muslim yang sangat sedikit (kecil) pun, Nabi
memerintahkan seorang Muslim agar memilih dan mengangkat salah seorang di
antara mereka sebagai pemimpin.
Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah sesaat pasca wafatnya
Rasulullah adalah bukti lain betapa pentingnya arti kepemimpinan ini dalam
Islam. Saat jasad Nabi yang belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih
mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi daripada menyelenggarakan
jenazah beliau yang agung dan mulia.
Salah satu bagian dari topik kepemimpinan yang banyak dibahas dalam al-
Quran adalah soal memilih non Muslim bagi kaum Muslimin. Al-Quran telah
memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk bagi kaum Muslimin agar
tepat dalam memilih figur seorang pemimpin. Al-Quran dengan sangat
benderang saat menjelaskan larangan memilih pemimpin non Muslim ini.
Tidak cukup dengan kalimat bernada anjuran, ayat-ayat yang menjelaskan soal
ini bahkan disampaikan dengan bahasa perintah dan larangan yang sangat
tegas. Tidak hanya sampai di sana, beberapa ayat bahkan disertai dengan
ancaman yang sangat serius bagi yang melanggarnya.
Kesepakatan para ulama salaf dalam memahami ayat-ayat tersebut juga
menunjukkan bahwa ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non Muslim
bagi kaum Muslimin telah menunjukkan derajat mutawattir (disepakati), sehingga
tidak muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan mereka. Jikapun ada
beberapa pendapat yang berbeda yang membolehkan memilih pemimpin non
Muslim, itu umumnya difatwakan oleh generasimuta’akhirin saat ini, bukan dari
kalangan ulama salaf. Karena itu, pemahaman demikian biasanya hanya
dipandang sebagai pemahaman yang nyeleneh (syadz) di kalangan para
ulama ahli fiqh, bahkan batil.
Fakta-fakta ini sekali lagi, memperlihatkan bahwa persoalan memilih pemimpin
itu merupakan salah satu persoalan yang dipandang sangat penting dalam
pandangan Islam. Karena memilih pemimpin itu tidak hanya mencakup dimensi
duniawi, lebih dari itu juga memiliki dimensi akidah (ukhrowi). Karenanya, tidak
selayaknya seorang Muslim masih menggunakan dasar dan acuan lain selain
yang telah jelas dan tegas disebutkan dalam kitab sucinya al-Quran, jika mereka
benar-benar mengaku orang yang beriman.
Definisi Pemimpin
Banyak definisi pemimpin yang sering dipakai di dalam kehidupan sehari-hari.
Jika merujuk pada ayat-ayat yang berbicara tentang larangan memilih pemimpin
kafir/non Muslim, kata pemimpin yang digunakan dalam ayat-ayat tersebut
merujuk pada pengertian seseorang yang memegang dan menguasai suatu
wilayah kaum Muslimin. Dengan kata lain pemimpin yang dimaksud di sini
bermakna pemimpin yang kekuasaannya bersifat kewilayahan dan memiliki
wewenang penuh atas wilayah kaum Muslimin secara penuh.
Bisa juga jika dijabarkan lebih jauh, maka definisi pemimpin di sini dapat juga
bermakna seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam
menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi
kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu, wilayah-wilayah
yang dikuasai oleh mayoritas non Muslim tidak masuk dalam pengertian/definisi
ini. Selain itu, sifat kewilayahan ini juga bermakna bahwa boleh memilih non
Muslim dalam aspek-aspek yang tidak menguasai wilayah kaum Muslimin atau
tidak menguasai dan menyangkut urusan yang sangat besar dampaknya dan
strategis bagi ummat Islam.
Dalil-dalil al-Quran
Berikut ini ayat- ayat al-Quran yang menunjukkan dengan jelas larangan
memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya
Muslim. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:
Pertama;

‫ّللاِ فِي‬ َ ‫الَّ يَت َّ ِخ ِذ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِليَاء ِمن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو َمن يَ ْفعَ ْل ذَ ِل َك فَلَي‬
‫ْس ِمنَ ه‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ ِ ‫ّللاِ ْال َم‬
‫سهُ َو ِإلَى ه‬ ‫ش ْيءٍ ِإالَّ أَن تَتَّقُواْ ِم ْن ُه ْم تُقَاة ً َويُ َحذه ُِر ُك ُم ه‬
َ ‫ّللاُ نَ ْف‬ َ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI
(waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya
kepada Allah kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28)
Kedua;

َ ِ‫ُون ْال ُمؤْ ِمنِينَ أَت ُ ِريدُونَ أَن تَ ْج َعلُواْ ِ هلِل‬


‫ع َل ْي ُك ْم‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَت َّ ِخذُواْ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِليَاء ِمن د‬
َ ‫س ْل‬
ً ‫طانا ً ُّم ِبينا‬ ُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir
menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah
kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” (QS: An Nisa’ [4]: 144)
Ketiga;
َ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَت َّ ِخذُواْ الَّذِينَ ات َّ َخذُواْ دِينَ ُك ْم ُه ُزوا ً َولَ ِعبا ً ِ همنَ الَّذِينَ أُوتُواْ ا ْل ِكت‬
‫اب ِمن‬
‫ار أ َ ْو ِليَاء َواتَّقُواْ ه‬
َ‫ّللاَ إِن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِين‬ َ َّ‫قَ ْب ِل ُك ْم َو ْال ُكف‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah kepada
Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Ma’aidah [5]:
57)
Keempat;

‫ان‬ ِ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَت َّ ِخذُواْ آ َباء ُك ْم َو ِإ ْخ َوانَ ُك ْم أ َ ْو ِل َياء إ َ ِن ا ْست َ َحبُّواْ ْال ُك ْف َر َعلَى‬
ِ ‫اإلي َم‬
َّ ‫َو َمن َيت َ َولَّ ُهم ِ همن ُك ْم فَأ ُ ْولَـ ِئ َك ُه ُم‬
َ‫الظا ِل ُمون‬
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-
saudaramu menjadi WALI (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih
mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS:
At-Taubah [9]: 23)
Lima;

‫سولَهُ َولَ ْو َكانُوا آ َباءهُ ْم‬ َّ َّ‫الِلِ َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر يُ َوادُّونَ َم ْن َحاد‬
ُ ‫ّللاَ َو َر‬ َّ ‫َال ت َ ِجد ُ َق ْوما ً يُؤْ ِمنُونَ ِب‬
ُ‫اإلي َمانَ َوأَيَّدَهُم ِب ُروحٍ ِ هم ْنه‬ َ َ ‫ِيرت َ ُه ْم أ ُ ْولَ ِئ َك َكت‬
ِ ْ ‫ب ِفي قُلُو ِب ِه ُم‬ َ ‫أ َ ْو أ َ ْبنَاءهُ ْم أ َ ْو ِإ ْخ َوانَ ُه ْم أ َ ْو َعش‬
ُ‫ع ْنه‬ َ ‫ضوا‬ ُ ‫ع ْن ُه ْم َو َر‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ار خَا ِلدِينَ فِي َها َر‬ ُ ‫ت ت َ ْج ِري ِمن ت َ ْحتِ َها ْاْل َ ْن َه‬ ٍ ‫َويُ ْد ِخلُ ُه ْم َجنَّا‬
َ‫ّللاِ هُ ُم ْال ُم ْف ِل ُحون‬ َّ ‫ب‬َ ‫ّللاِ أ َ َال إِ َّن ِح ْز‬
َّ ‫ب‬ ُ ‫أ ُ ْولَئِ َك ِح ْز‬
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-
Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-
saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya
hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS: Al Mujaadalah [58] : 22)
Enam;

َ‫ُون ْال ُمؤْ ِمنِين‬


ِ ‫ش ِِر ْال ُمنَافِ ِقينَ ِبأ َ َّن لَ ُه ْم َعذَابا ً أ َ ِليما ً الَّذِينَ َيت َّ ِخذُونَ ْال َكافِ ِرينَ أ َ ْو ِل َياء ِمن د‬ ‫َب ه‬
ً ‫أ َ َي ْبتَغُونَ ِعندَ ُه ُم ْال ِع َّزة َ فَإ ِ َّن ال ِع َّزة َ ِ هلِلِ َج ِميعا‬
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat
siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka
sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)
Masih ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menegaskan larangan memilih
non Muslim (kafir) sebagai bagi kaum Muslimin yang juga menggunakan pilihan
kata WALI sebagaimana ayat di atas. Di antara ayat-ayat tersebut adalah : QS.
Al Maidah: 51, QS Al-Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1 dsb.
Dari beberapa ayat di atas, Allah Subhanahu Wata’ala menggunakan pilihan
kata pemimpin dengan kata WALI. Padahal ada begitu banyak padanan kata
pemimpin dalam bahasa arab selain kata wali. Misalnya kata Aamir, Raa’in,
Haakim, Qowwam, Sayyid dsb. Mengapa Allah gunakan pilihan kata pemimpin
dalam tersebut dengan kata WALI?
Jawabnya adalah karena barangkali secara bahasa, kata Waliy (WALI) ini
memiliki akar kata yang sama dengan kata wilaayatan (wilayah/daerah). Karena
itu, penggunakan kata waliydalam berbagai ayat di atas mengindikasikan bahwa
definisi pemimpin yang dimaksud ayat-ayat di atas adalah pemimpin yang
bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim yang dilarang umat Islam
memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin yang menguasai suatu wilayah
milik kaum Muslimin.
Dari penjelasan ini maka batasan pemimpin non Muslim (kafir) yang seorang
Muslim haram memilihnya adalah yang bersifat memangku/menguasai wilayah
kaum Muslimin. Semisal lurah, camat, bupati, gubernur maupun presiden.

Anda mungkin juga menyukai