Anda di halaman 1dari 17

JALAN KERETA API

MAKALAH TENTANG

Hubungan kenyamanan perjalanan kereta di perlintasan

Nama : DERRY TEGAR WIJAYADI (11311027)

UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG

FAKULTAS TEKNIK

TEKNIK SIPIL
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemudahan kepada hambaNya
dalam meyelesaikan makalah ini dengan penuh seksama. Tanpa pertolongan Dia mungkin
penyusun tidak akan sanggup dengan baik.
Makalah ini merupakan tugas pendahuluan yang merupakan syarat agar kami para mahasiswa/i
dapat melaksakan tugas tentang dermaga pelabuhan, mata kuliah teknik pelabuhan. Pada makalah
ini akan dibahas apa itu bahasa pemrograman yang akan dipakai oleh calon praktikan agar lebih
memahami materi yang akan diajarkan kemudian.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan tugas makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
maklah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.

Bandar Lampung, januari 2015

Penulis
ABSTRAK

Kereta api berjalan dengan roda besi, sehingga membutuhkan jalan khusus agar dapat berjalan
dengan baik. Untuk itulah dibuat jalan rel KA dengan permukaan baja, sehingga roda baja KA
beradu dengan jalan rel dari baja. Jalan baja ini memiliki karakteristik dan syarat-syarat khusus
yang berbeda dengan jalan aspal, sehingga konstruksinya lebih rumit dan melibatkan banyak
komponen. Jalan rel KA harus dibangun dengan kokoh, karena setiap rangkaian KA yang lewat
memiliki beban yang berat, apalagi setiap harinya akan dilalui berulang kali oleh beberapa
rangkaian KA. Oleh karena itu, konstruksi rel KA dibuat sebaik mungkin agar mampu menahan
beban berat atau istilahnya BEBAN GANDAR (AXLE LOAD) dari rangkaian KA yang berjalan
di atasnya, sehingga jalan baja ini dapat bertahan dalam waktu yang lama dan memungkinkan
rangkaian KA dapat berjalan dengan cepat, aman dan nyaman.

Merujuk pada bagan di atas, pada dasarnya konstruksi jalan rel KA terdiri atas 2 bagian. Bagian
bawah adalah Track Foundation atau Lapisan Landasan/Pondasi, dan bagian atas adalah Rail Track
Structure atau Struktur Trek Rel.Prinsipnya, jalan rel KA harus dapat mentransfer tekanan yang
diterimanya dengan baik yang berupa beban berat (axle load) dari rangkaian KA melintas. Dalam
arti, jalan rel KA harus tetap kokoh ketika dilewati rangkaian KA, sehingga rangkaian KA dapat
melintas dengan cepat, aman, dan nyaman. Roda-roda KA yang melintas akan memberikan
tekanan berupa beban berat (axle load) ke permukaan trek rel. Oleh batang rel (rails) tekanan
tersebut diteruskan ke bantalan (sleepers) yang ada dibawahnya. Lalu, dari bantalan akan
diteruskan ke lapisan ballast dan sub-ballast di sekitarnya. Oleh lapisan ballast, tekanan dari
bantalan ini akan disebar ke seluruh permukaan tanah disekitarnya, untuk mencegah amblesnya
trek rel.
BAB I PENDAHULUAN.

1.1 Sejarah Kereta Api

Transportasi kereta api bermula dari dikembangkannya usaha peningkatan pelayanan


transportasi yang meliputi kuantitas pengangkutan, kecepatan perjalanan dan keawetan sarana dan
prasarananya. Bermula di Inggris tahun 1630 yaitu untuk pengangkutan batu bara yang semula menggunakan
kuda. Namun karena kondisi jalan yang cepat rusak dan kapasitas angkut yang rendah. Untuk
mengatasinya dibuatkan balok - balok kayu membujur dengan maksud untuk memperkuat landasan jalan
sehingga kapasitas angkut seekor kuda yang menarik kereta bisa meningkat. Namun dalam
perkembangannnya balok kayu tersebut juga cepat rusak karena pengaruh cuaca maupun beban kereta, maka
berikutnya bagian atas balok tersebut diberi lapisan yang lebih kuat yaitu besi, tetapi roda masih sering meleset
dari batang besi yang dimaksud. Untuk menghindarnya diberi flens (1789) namun mengakibatkan
kereta dengan roda ini tidak dapat digunakan pada jalan raya biasa, sejak itulah terjadi perbedaan
antara jalan raya dan jalan rel. Pada awal abad XIX kereta di atas rel mulai ditarik oleh mesin
(Lokomotif) uap. Mulai masa ini jalan rel mulai dibangun dibeberapa negara seperti Perancis,
Jerman, Belgia,Belanda, Rusia, Austria hingga Indonesia.

Sejarah Kerata Api di Indonesia secara de facto di bangun pada lintas Kemijen - Tanggung sepanjang 26 Km oleh
NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pembangunan pertama badan jalan oleh
Gubernur Jenderal Belanda Mt. L.A.j. Baron Sloet Van de Beele pada ahri Jumat tanggal 17 Juni 1864 dan dibuka
untuk umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867.

Sedangkan Landasan de jure pembangunan jalan rel di Jawa disetujui oleh Undang - undang pembangunan
jalan rel oleh Pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 April 1875. Dengan kesuksesan pembangunan ini diteruskan
hingga ke Solo dan dilanjutkan di beberapa tempat di luar Jawa, yaitu di Sumatera dan Sulawesi.

Namun pada Masa Pendudukan Jepang sejarah Jalan Rel di Indonesia mengalami masa yang
memperhatinkan dimana beberapa Jalan Rel di Sumatera dan Sulawesi serta sebagian lintas cabang di Pulau
Jawa dibongkar untuk diangkut ke Burma (Myanmar).
Sejarah mencatat peranan kereta api dalam distribusi logistik untuk keperluan perjuangan dari
Ciroyom (Bandung) ke pedalaman Jawa Tengah, Mobilisasi Prajurit pejuang di Wilayah
Jogjakarta - Magelang - Ambarawa. Hijrahnya Pemerintah Republik Indonesia dari Jakarta ke
Jogjakarta tahun 1946 yang membawa rombongan Presiden Soekarno. Perkembangan dalam dunia kereta api di
Indonesia terus berlangsung, begitu pula dengan teknologinya . Tanggal 31 Juli 1995 diluncurkan KA Argo Bromo
(dikenal juga dengan KA JS 950) Jakarta - Surabaya dan KA Argo Gede (JB 250) Jakarta - Bandung. Peluncuran
ini menendai apresiasi perkembangan teknologi kereta api di Indonesia dan sekaligus sebagai embrio
teknologi nasional. Dalam rancang bangun, peningkatan dan perawatan kereta api tersebut dapat dilihat pada PT
Inka (Industri Kereta Api) di Madiun, dan Balai Yasa yang terdapat di beberapa daerah.

1.2 Karakteristik Transportasi Kereta Api


Keunggulan
1. Kemungkinan jangkauan pelayanan transportasi barang dan orang untuk jarak pendek, sedang, dan jauh
dengan kapasitas angkut yang besar.
2. Penggunaan energi yang relatif kecil
3. Kehandalan keselamatan perjalanan yang baik.
4. Adanya ketepatan waktu.
5. Ekonomis dalam penggunaan ruang.
6. Polusi udara, getaran dan kebisingan relatif kecil.
7. Sangat baik untuk aspek Pertahanan - Keamanan.
8. Kecepatan perjalanan lebih variatif.
9. Memiliki aksesibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan transportasi air dan udara.

Kelemahan
1. Memerlukan Sarana dan Prasarana yang khusus.
2. Membutuhkan investasi awal yang mahal, biaya perawata, operasi dan tenaga yang cukup besar.
3. Pelayanan transportasi barang dan penumpang hanya terbatas pada jalurnya.
BAB II MATERI

2.1 Struktur Jalan Rel

Struktur jalan rel adalah struktur elastis, dengan pola distribusi beban yang cukup rumit, sebagai
gambaran adalah tegangan kontak antara rel dan roda adalah sekitar 6.000 kg/cm2, dan harus
ditransfer ke tanah dasar yang berkekuatan hanya sekitar 2 kg/cm2.
Secara grafis struktur jalan rel dapat digambarkan sebagai berikut :

Struktur jalan rel yang baik harus dapat menjamin keamanan, kenyamanan, dengan biaya yang
optimal sehingga harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
Kekakuan (stiffness)
Untuk menjaga deformasi vertikal, dimana deformasi vertikal ini merupakan indikator utama dari
umur, kekuatan dan kualitas jalan rel. Deformasi vertikal yang berlebihan akan menyebabkan
geometrik jalan rel yang tidak baik dan keausan yang besar diantara komponen-komponen struktur jalan.

Elastisitas (Resilience)
Diperlukan untuk kenyamanan perjalanan kereta api, menjaga patahnya as, roda, meredam kejut, impact,
getaran vertikal. Jika jalan rel terlalu kaku, misalnya dengan pemakaian bantalan beton, maka untuk
menjamin elastisitas diperlukan alas karet (rubber pads) yang dipasang di bawah kaki rel.

Ketahanan terhadap deformasi tetap

Deformasi vertikal yang berlebihan akan cenderung menjadi deformasi tetap, sehingga geometri
jalan rel (ketidakrataan vertikal dan horizontal, puntir) menjadi tidak baik, yang pada akhirnya
kenyamanan dan keamanan menjadi terganggu.

Stabilitas

Jalan rel yang stabil adalah mampu tetap pada posisi semula (vertikal dan horizontal) setelah
pembebanan terjadi. Untuk ini dibutuhkan balas dengan mutu dan kepadatan yang baik, bantalan
dengan penambat yang selalu terikat, dan drainase yang baik.

Adjustability

Jalan rel harus bisa diatur/dipelihara untuk dikembalikan ke posisi geometri yang benar, jika
terjadi perubahan geometri karena beban yang berjalan. Struktur jalan rel, secara garis besar
dapat dibagi dua, yaitu :

Struktur bangunan atas dengan komponen-komponen, rel (rail), penambat (fastening), dan
bantalan (sleeper, tie).
Struktur bangunan bawah dengan komponen-komponen ballas (ballast), subbalas (subballast),
tanah dasar (improve subgrade) dan tanah (natural ground).

2.2 Beban Beban Yang Bekerja Pada Struktur Jalan Rel

Gaya vertikal

Gaya ini adalah beban yang paling dominan dalam struktur jaln rel. Gaya ini menyebabkan defleksi
vertikal, dan defleksi vertikal ini adalah indikator terbaik dari kualitas, kekuatan dan umur jalan
rel.

Gaya transversal (lateral)

Gaya ini disebabkan adanya gaya sentrifugal, ‘snake motion’, danketidakrataan geometrik jalan
rel, bekerja pada titik yang sama dengangaya vertikal di rel. Gaya ini menyebabkan tercabutnya
‘teppon’ dangeseran pelat landas (base plate) pada bantalan kayu, sehingga dapat mengubah
geometrik jalan rel, dan pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan loncatnya roda ke luar rel
(anjloganmderailment).

Gaya Longitudinal

Gaya ini disebabkan oleh perubahan suhu pada rel (‘thermal stress’),dan untuk konstruksi kereta
api modern, dimana dipakai rel panjang (long welded rails), gaya ini sangat memegang peranan
penting. Tambahan pada gaya longitudinal ini adalah akibat gesekan roda dan rel dan gaya akibat
pengereman kendaraan rel.

2.3 Rel

1. Umum

Rel untuk kereta api berbentuk I, dengan bagian-bagian sebagai berikut:

a. Running surface (rail thread)

b. Kepala (head)

c. Badan (web)
d. Dasar (base)

2. Penamaan rel disesuaikan dengan berat / meter, misalnya :

R –54, adalah rel dengan berat sekitar 54 kg/meter

R – 42, adalah rel dengan berat sekitar 42 kg/meter

3. Fungsi rel adalah :

a. Menerima langsung beban-beban dari kendaraan rel sebelum didistribusikan ke komponen


komponen lainnya.

b. Mengarahkan jalannya kendaraan rel.

c. Unsur pengikat dalam membentuk struktur jalan rel.

4. Komposisi Bahan

Rel dipilih dan disusun dari beberapa komposisi bahan kimia sedemikian sehingga dapat tahan
terhadap keausan akibat gesekan akibat roda dan korositas. Dalam klasifikasi UIC dikenal 3
macam rel tahan aus (wear resistance rails – WR), yaitu rel WR-A, WR-B dan WR-
C. Komposisi/kadar kimia bahan karbon (C) dan Mn diberikan dalam Tabel 5.1. Rel yang
digunakan di Indonesia (PJKA) saat ini merupakan rel WR-A, dimana termasuk jenis baja dengan
kadar yang tinggi (high steel carbon), sedangkan WR-B dan WR-C merupakan baja dengan kadar
C yang sedang dan rendah. Percobaan di laboratorium (Masutomo et al. 1982) menunjukkan
bahwa rel dengan kadar karbon yang tinggi lebih tahan aus daripada baja berkadar karbon sedang.
Tabel 5.1 Kadar C dan Mn pada rel WR dan PJKA

Jenis Rel C Mn

WR-A 0,60 – 0,75 0,80 – 1,30

WR-B 0,50 – 0,65 1,30 – 1,70

WR-C 0,45 – 0,60 1,70 – 2,10

PJKA 0,60 – 0,80 0,90 – 1,10

Ketahanan aus rel WR-A hingga mencapai 2 – 4 kali lebih baik daripada rel biasa. Keausan rel
maksimum yang diijinkan oleh PD 10 tahun 1986 diukur dalam 2 arah yaitu pada sumbu vertikal
(a) dan pada arah 45° dari sumbu vertikal (e). Gambar 5.1 menunjukkan ukuran-ukuran keausan
rel menurut PD 10 tahun 1986. Nilai-nilai maksimum tersebut ditentukan berdasarkan :

emaksimum = 0,54 h – 4

amaksimum = dibatasi oleh kedudukan kasut roda dan pelat sambungan. Nilai maksimum keausan
rel vertikal tercapai pada saat yang bersamaan dengan keausan maksimum pada roda dan sayap
kasut roda (flens) tidak sampai menumbuk pelat sambung.

2.4 Bantalan Rel

Bantalan rel (sleepers) dipasang sebagai landasan dimana batang rel diletakkan dan ditambatkan.
Berfungsi untuk (1) meletakkan dan menambat batang rel, (2) menjaga kelebaran trek (track
gauge, adalah ukuran lebar trek rel. Indonesia memiliki track gauge 1067 mm) agar selalu konstan,
dengan kata lain agar batang rel tidak meregang atau menyempit, (3) menumpu batang rel agar
tidak melengkung ke bawah saat dilewati rangkaian KA, sekaligus (4) mentransfer axle load yang
diterima dari batang rel dan plat landas untuk disebarkan ke lapisan batu ballast di bawahnya.
Oleh karena itu bantalan harus cukup kuat untuk menahan batang rel agar tidak bergesar, sekaligus
kuat untuk menahan beban rangkaian KA. Bantalan dipasang melintang dari posisi rel pada jarak
antarbantalan maksimal 60 cm. Ada tiga jenis bantalan, yakni :

(1) Bantalan Kayu (Timber Sleepers), terbuat dari batang kayu asli maupun kayu campuran, yang
dilapisi dengan creosote (minyak pelapis kayu) agar lebih awet dan tahan jamur.
(2) Bantalan Plat Besi (Steel Sleepers), merupakan bantalan generasi kedua, lebih awet dari kayu.
Bantalan besi tidak dipasang pada trek yang ter-eletrifikasi maupun pada trek yang menggunakan
persinyalan elektrik.
(3) Bantalan Beton Bertulang (Concrete Sleepers), merupakan bantalan modern saat ini, dan paling
banyak digunakan karena lebih kuat, awet, murah, dan mampu menahan beban lebih besar
daripada dua bantalan lainnya.

2.5 Plat Landas

Pada bantalan kayu maupun besi, di antara batang rel dengan bantalan dipasangi Tie Plate (plat
landas), semacam plat tipis berbahan besi tempat diletakkannya batang rel sekaligus sebagai
lubang tempat dipasangnya Penambat (Spike). Sedangkan pada bantalan beton, dipasangi Rubber
Pad, sama seperti Tie Plate, tapi berbahan plastik atau karet dan fungsinya hanya sebagai landasan
rel, sedangkan lubang/tempat dipasangnya penambat umumnya terpisah dari rubber pad karena
telah melekat pada beton.

Fungsi plat landas selain sebagai tempat perletakan batang rel dan juga lubang penambat, juga
untuk melindungi permukaan bantalan dari kerusakan karena tindihan batang rel, dan sekaligus
untuk mentransfer axle load yang diterima dari rel di atasnya ke bantalan yang ada tepat
dibawahnya.

2.6 Penambat Rel

Fungsinya untuk menambat/mengaitkan batang rel dengan bantalan yang menjadi tumpuan
batang rel tersebut, agar (1) batang rel tetap menyatu pada bantalannya, dan (2) menjaga kelebaran
trek (track gauge). Jenis penambat yang digunakan bergantung kepada jenis bantalan dan tipe
batang rel yang digunakan. Ada dua jenis penambat rel, yakni Penambat Kaku dan Penambat
elastis.

Penambat kaku misalnya paku rel, mur, baut, sekrup, atau menggunakan tarpon yang dipasang
menggunakan pelat landas. Umumnya penambat kaku ini digunakan pada jalur kereta api tua.
Karakteristik dari penambat kaku adalah selalu dipasang pada bantalan kayu atau bantalan besi.
Penambat kaku kini sudah tidak layak digunakan untuk jalan rel dengan frekuensi dan axle load
yang tinggi. Namun demikian tetap diperlukan sebagai penambat rel pada bantalan kayu yang
dipasang pada jalur wesel, jembatan, dan terowongan.

Penambat elastis dibuat untuk menghasilkan jalan rel KA yang berkualitas tinggi, yangbiasanya
digunakan pada jalan rel KA yang memiliki frekuensi dan axle load yang tinggi.Karena sifatnya
yang elastis sehingga mampu mengabsorbsi getaran pada rel saat rangkaian KA melintas, oleh
karena itu perjalan KA menjadi lebih nyaman dan dapat mengurangi resiko kerusakan pada rel
maupun bantalannya.

Selain itu penambat elastis juga dipakai pada rel yang disambungan dengan las termit (istilahnya
Continuous Welded Rails, karena sambungan rel dilas sehingga tidak punya celah pemuaian)
karena kemampuannya untuk menahan batang rel agar tidak bergerak secara horizontal saat
pemuaian. Penambat elastis inilah yang sekarang banyak digunakan, terutama pada bantalan beton,
meskipun ada juga yang digunakan pada bantalan kayu dan bantalan besi.
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan masalah

Belum hilang dari ingatan kita ketika lima belas nyawa melayang pada 16 Juni 2003 akibat
terjadinya tabrakan antara kereta api (KA) dan bus pada perlintasan KA di daerah Gemolong,
Sragen. Pasca tragedi tersebut, kecelakaan KA dengan kendaraan umum terus-menerus terjadi.
Keselamatan perkeretaapian merupakan aspek yang amat krusial dalam pengoperasian kereta api
(KA). Malfungsi terhadap pengoperasian perkeretaapian akan mengakibatkan banyak terjadinya
kecelakaan yang amat fatal dan potensial merenggut nyawa manusia.

Persimpangan antara jalan raya dengan jalan rel KA merupakan fenomena yang unik dalam
dunia transportasi, sebab masing-masing moda transportasi tersebut memiliki sistem prasarana
yang berbeda, dioperasikan dengan sistem sarana yang berbeda pula, penanggung jawab dan
pengelolanya juga berbeda. Kedua moda transportasi dengan karakteristik yang berbeda tersebut
bertemu di persimpangan/pintu perlintasan (level crossing) sehingga daerah tersebut memiliki
risiko tinggi bagi semua perkeretaapian di dunia.

Potensi terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh perkeretaapian yang operasinya tidak
dapat dikontrol merupakan "sebagian permasalahan", sedangkan "sebagian permasalahan" lainnya
yaitu kendaraan jalan raya dapat dikatakan tidak sepenuhnya mampu dikontrol oleh satu entitas.
Meskipun aturan-aturan lalu lintas dan standar desain jalan raya dianggap sudah cukup mapan,
namun pergerakan pengguna jalan raya tidak diorganisasi dan dipantau oleh satu entitas spesifik
yang sangat ketat seperti halnya pergerakan KA. Kecelakaan pada pintu perlintasan KA tidak
hanya dapat mengakibatkan tewas atau terluka serius bagi para pengguna jalan raya atau
penumpang KA. Tetapi juga memberikan beban finansial yang berat akibat kerusakan harta benda
dan armada serta terhentinya pelayanan KA dan kendaraan jalan raya.

Di Indonesia sepanjang tahun 2002, telah terjadi sejumlah 231 kali kecelakaan KA, terdiri
atas tabrakan antara KA dengan KA 6 kali, tabrakan antara KA dengan kendaraan jalan raya di
pintu perlintasan (58), KA anjlok/terguling (69), kecelakaan KA akibat banjir/longsor (12), dan
kecelakaan lain-lain (86). Kecelakaan KA tersebut telah merenggut 76 nyawa meninggal, 114
orang luka berat dan 58 orang luka ringan. Kecelakaan pada pintu perlintasan mencapai 25,11%
dari keseluruhan kecelakaan KA. Dari sejumlah 8.370 pintu perlintasan di Jawa dan Sumatera,
yang dijaga 1.128 (13,48%) dan tidak dijaga 7.242 (86,52%).

Survei yang dilakukan oleh sebuah badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) menunjukkan bahwa perkeretaapian Indonesia bersama Vietnam, Thailand, dan
Bangladesh memiliki kepadatan pintu perlintasan yang tinggi, persentase proteksi pada pintu
perlintasan masih rendah, dan tingkat kecelakaan tinggi. Sementara perkeretaapian India dan Iran
memiliki proporsi tinggi pada pintu perlintasan yang dijaga, memiliki kinerja yang baik pada aspek
keselamatan di pintu perlintasan, tingkat kecelakaan dan korban juga relatif rendah.

PT Kereta Api (PT KA) sebagai operator prasarana perkeretaapian memikul tanggung
jawab untuk menjamin bahwa operasi KA dapat terlindungi dari pelanggaran oleh pengguna jalan
raya pada pintu perlintasan. Meskipun kenyataannya di Indonesia dan banyak negara lain, undang-
undang memberikan prioritas terlebih dahulu untuk melintas kepada KA daripada pengguna jalan
raya pada perlintasan sebidang. Pemerintah (cq Departemen Perhubungan/Dephub) sebagai
regulator dan pemilik prasarana pokok, selain memikul beban finansial untuk menyediakan
proteksi pada pintu perlintasan dan bertanggung jawab dalam membuat regulasi. juga bersama
instansi terkait lainnya berkewajiban mendidik pengguna jalan raya untuk bertindak dan
menggunakan pintu perlintasan dengan aman.

3.2 Penyebab ketidaknyamanan dan keselamatan di perlintasan

Penyebab utama kecelakaan pada pintu perlintasan, dapat diidentifikasi berupa:

1. Disiplin masyarakat yang masih rendah sehingga kerap terjadi pelanggaran masal oleh
pengendara kendaraan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan tata cara penyeberangan
melalui pintu perlintasan.
2. Persepsi yang keliru dari pengendara kendaraan terhadap kondisi jalan, mekanisme operasi
KA yang mendekati pintu perlintasan (termasuk kemampuan pengereman KA), serta
kecepatan kendaraan dan kemampuan pengeremannya.
3. Malfungsi/kerusakan teknis pada kendaraan.
4. Tidak dipenuhinya standar pemeliharaan jalan raya oleh pemegang otoritas jalan raya pada
daerah di sekitar pintu perlintasan.
5. Buruknya pemeliharaan sistem proteksi dan sistem peringatan pada pintu perlintasan.
6. Human error yang dibuat oleh penjaga pintu perlintasan.

Kendala utama dalam menciptakan keselamatan di pintu perlintasan adalah etos


keselamatan yang berkembang dalam masyarakat kita secara umum masih rendah. Kepedulian
dalam komunitas yang lebih luas terhadap pentingnya hidup aman masih belum mengakar. Faktor
seperti inilah yang merupakan kendala terbesar bagi perkeretaapian untuk mengurangi insiden
yang berakibat pada terjadinya kecelakaan pada pintu perlintasan. Etos keselamatan ini perlu
diupayakan agar menjangkau masyarakat luas melalui program pendidikan keselamatan publik.
Tingkat pendidikan yang rendah mungkin merupakan kendala bagi efektivitas program
pendidikan keselamatan publik. Namun tidak ada bukti akurat yang menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan dan kepedulian terhadap keselamatan saling berkaitan.

Kendala lainnya adalah ketidakmampuan pemegang otoritas perkeretaapian untuk


mencegah pembangunan pintu perlintasan ilegal oleh masyarakat lokal.Lay-out fisik pada
sebagian besar pintu perlintasan (meskipun dijaga) masih buruk. Misalnya jarak pandang
pengendara ke sepanjang track KA sangat terbatas karena terhalang oleh bangunan atau posisi
track KA yang terlalu miring terhadap jalan raya. Akibatnya, mustahil bagi pengendara untuk
memiliki pandangan yang bebas terhadap lintasan track KA, kecuali mereka harus berada dekat
sekali dengan perlintasan.

Selain itu, penempatan papan tanda peringatan tentang keberadaan/lokasi pintu perlintasan
terlalu dekat dengan track KA. Bahkan tidak sedikit papan tanda (sideboard) yang dipasang
hanya pada salah satu sisi track KA, dan lokasi pemasangannya hanya berjarak dua meter dari
rel terdekat. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut pada pintu perlintasan yang tak terproteksi
dapat mengakibatkan terjadinya situasi yang potensial mengancam hidup.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Melihat dari banyaknya berbagai macam kecelakan dalam dunia teranportasi di Indonesia
dewasa ini memerlukan adanya pengendalian manajemen tranportasi terutama pada bagaimana
cara peran control atau pengawasan dari pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna tranportasi.
Di tambah lagi jika ditinjau dari beberapa informasi serta data-data nyata dilapangan yang ada
sekarang ini misalnya :
1. Kenyataan dilapangan ditemukannya penggunaan suku cadang pada kereta api yang selama
ini digunakan ternyata lebih banyak menggunakan barang-barang bekas, dalam artian untuk
proses penggantian suku cadang komponen kereta api, hanya mampu sampai dengan
menggunakan suku cadanga yang sudah usang kemudian diperbaik lagi dan digunakan
kembali sebagai suku cadang pengganti. contohnya:
 Data yang diperoleh dari PT KA menyebutkan bahwa untuk suku cadang roda kereta api
yang digunakan pada kereta api kelas ekonomi dan kelas bisnis rata-rata menggunakan
suku cadang roda kereta api bekas, yang dimana suku cadang ini di perbaiki dari roda
lama yang hanya kuat untuk 8 tahun diperbaiki kembali untuk pergunakan hingga puluhan
tahun.
 Kemudian beberapa gerbong kereta api yang ada sekarang ini, bahkan merambak hingga kelas
esekutif, ada beberapa gerbong kereta yang dahulunya adalah gerbong kereta api lama yang
sudah sangat usang kemudian rombak kembali dibentuk sedemikian rupa hingga berbentuk
gerbong kelas esekutif dan pada akhirnya untuk di pergunakan kembali dengan label gerbong
kereta api yang baru.

2. Kenyataan dilapangan perlu adanya peningkatan sumber daya dan peningkatan kapasitas
tranportasi secara keseluruhan dalam artian bahwa penigkatan sumber daya disini adalah
dapat meningkatkan kebutuhan transportasi dari segi jumlah armada yang ada, hingga sampai
dengan pemenuhan kapasitas suku cadang perbaikannya, dengan begitu armada tranportasi
yang digunakan merupakan armada yang paling terbaik untuk digunakan sebagai alat
transportasi dan ini akan berimbas pada penurunan tingkat resiko kecelakaan yang ada pada
alat tranportasi kereta api dan alat transportasi yang lain.
Peningkatan sumber daya juga dapat diartikan sebagai peningkatan sumber daya manusia,
misalkan sebagai berikut : pemerintah sebagai penentu kebijakan transportasi harus dapat
mengetahui secara keseluruhan bagaimana tingkat sumber daya manusia yang bekerja pada
pengolahan jasa transportasi apakah mampu bekerja dengan baik, tidak hanya sesuai dengan
prosedur pelayanan tranportasi tetapi juga mampu memahami bagaimana cara pengendalian
pencegahan timbulnya kecelakan ada dengan mengurangi tingkat kesalahan yang di lakukan
oleh manusia. Dengan melakukan diklat-diklat untuk meningkatkan etos kerja dari para
pelaku pengelola jasa transportasi. Contoh perlunya peningkatan Sumber Daya Manusia pada
sektor pengelolaan transportasi di Indonesia :

KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi). Baru-bari ini melakukan beberapa


kesalahan yang sangat fatal, misalkan memberikan izin ketempat yang berbahaya bagi para
wartawan hanya untuk mencari berita yang paling terbaru, maka dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa KNKT memerlukan peningkatan kualitas kerja dengan tidak
mengabaikan keselamatan orang-orang yang bekerja untuk meningkatkan kualitas
transportasi serta para pengguna transportasi.

3. Keyataan di lapangan masih banyak terdapat pungli-pungli (pungutan liar) pada sarana
transportasi kereta api, misalkan pada stasiun kereta api Rangkas – Belitung, penggelola jasa
PT. KA memberikan biaya tiket jurusan Rangkas ke Belitung sebesar Rp 1500-Rp 2000, akan
tetapi kenyataan yang ada di lapangan ternyata terdapat punggutan-punggutan liar selain biaya
tiket tersebut, sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh satu orang penumpang mencapai
Rp 2000-Rp 4000. Hal ini menunjukkan penggelolaan pada stasiun tersebut masih jauh dari
kesempurnaan peraturan yang ada.

Hal utama yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas pengolahan transportasi
kereta api serta mampu menguranggi tingkat kecelakaan adalah dengan melakukan “PERAN
PENGAWASAN”. Dalam hal ini peran pengawasan dapat dilakukan baik oleh pemerintah
dan masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi tersebut. Akan tetapi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia ini, maka proposi utama dalam proses
pengawasan dan penanggung jawab utama adalah pemerintah, maka oleh karena itu
pemerintahlah sebagai penentu kebijakan dalam pengawasan dan penggelolaan transportasi.

Anda mungkin juga menyukai