Anda di halaman 1dari 10

Leptospirosis

Menurut berita terbaru dari Kompas tanggal 3 Juni 2010 menyebutkan bahwa sebanyak
45 warga Bantul, DI Yogyakarta terkena leptospirosis. Lima orang diantaranya
meninggal dunia. Berdasarkan data dinas kesehatan kabupaten Bantul, kasus
leptospirosis tahun 2009 tercatat 9 kasus, satu orang diantaranya meninggal. Tahun ini
penyakit yang ditularkan lewat air kencing tikus tersebut, banyak menyerang warga di
Kecamatan .

Klasifikasi ilmiah Leptospira (1)

Filum: Spirochaetes
Kelas: Spirochaeates
Ordo: Spirochaetales
Famili: Leptospiraceae
Genus: Leptospira

Serovar [2]

• Leptospira interogans
• Lepstospira australis
• Leptospira autumnalis
• Leptospira ballum
• Leptospira icterohemorrhagica
• Leptospira canicola
• Leptospira grippotyphosa
• Leptospira pomona

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis)[3]. Leptospirosis dikenal juga dengan
nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam
pesawah (Ricefield fever), Demam Penebang tebu (Cane-cutter fever), Demam
Lumpur, Jaundisberdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola [4], penyakit kuning
non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing[3]

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan
pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia
hemolitik, radang hati dan keguguran. [2]. Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis
[5]. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit [5].
Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri
akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya [5]. Leptospirosis pada hewan
dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60
hari[5]. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia
jarang terjadi. [5].

Sejarah Penyakit

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala
panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. [6]
Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's
Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease"
disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. [6]

Etiologi

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. [3][7][5]. Bakteri Leptospira
merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil
(dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan
ketat [7]. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm[3].
Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm [7]. Jadi, ukuran bakteri ini
relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan
untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras [7]. Bakteri ini
dapat bergerak maju dan mundur [3].

Leptospira mempunyai ±175 serovar [2], bahkan ada yang mengatakan Leptospira
memiliki lebih dari 200 serovar [7]. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih
serovar sekaligus [2]. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12
hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi [3]. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh
infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans [2]. Serovar yang telah
diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L.
batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona,
dan L. tarassovi [2][5]. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang
mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah
dimatikan [2]. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa[5].
Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L.
gryppothyphosa, dan L. pomona [2]. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans,
sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae [5].

Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola
berbentuk kubah dan tipis [7]. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas
patogenik [7]. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab,
tanaman dan lumpur [8].
Distribusi Penyakit

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia,[9] [8] baik di daerah pedesaan maupun


perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis [9]. Penyakit ini terutama beresiko
terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak,
petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer [9]. Selain itu, Leptospirosis juga
beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi [6][9]. Di daerah
endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan
banjir [9].

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah
yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis [6].
Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara
beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih
berat [10]. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk
per tahun [11]. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO)
mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1
per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini
meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun [9]. Pada saat wabah,
sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang
dapat terinfeksi [9].

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera
Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Barat [12]. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi,
mencapai 2,5-16,45 persen [12]. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56
persen [12]. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 % - 54 %
persen tergantung sistem organ yang terinfeksi [13].

Cara Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis. Leptospirosis merupakan


penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease)[9][3]. Urin (air kencing)
dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik
pada manusia maupun pada hewan [5]. Kemampuan Leptospira untuk bergerak
dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi
induk semang (host) yang baru [7]. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit
ini, terutama di daerah banjir [8]. Gerakan bakteri memang tidak mempengaruhi
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang [7].

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir [14] [15].
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah
yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak [15]. Air kencing
tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang
terluka, selaput lendir mata dan hidung. [14]. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan
sekaligus penyebar utama Leptospirosis [14] karena bertindak sebagai inang alami dan
memiliki daya reproduksi tinggi [16]. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing,
domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke
manusia tidak sebesar tikus [14].

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita
dan tidak langsung melalui suatu media [3][5]. Penularan langsung terjadi melalui
kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva) [5], kontak luka di kulit,
mulut, cairan urin [9], kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) [3].
Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi [9].

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-
barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah,
makanan, minuman dan jaringan tubuh[5]. Kejadian Leptospirosis pada manusia
banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar
bakteri Leptospira[5]. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit
ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam [5].

Perjalanan Penyakit

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka
bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan [14].
Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam
darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan
hati [5].

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular
(kematian tubuli ginjal) [5]. Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus,
hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler [14]. Gangguan
hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer [14]. Pada konsisi ini
akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati [5]. Leptospira juga dapat menginvasi
otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal [14].
Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat
menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi [14].

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada
pembuluh darah [5]. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap
dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang [14]. Setelah
infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya
dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ
reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun[5].

Gejala Klinis
1. Pada hewan

Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat


subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah
terserang Leptospirosis [5]. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala
walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang
tidak pasti [2].
Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan,
karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin [3].
Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona [3].
Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh
[3], gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian [5]. Apabila penyakit ini
menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa
mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak
nafas [2].

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar [3].
Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal
interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis [2]. Dalam keadaan demikian gejala
yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak
urinasi, turun berat badan dan gejala saraf[2]. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih
parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala
demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan
kematian (Bovine Leptospirosis).[17]. Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis
pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas)
mencapai lebih dari 75 persen [3].

2. Pada Manusia
Pada manusia menyebabkan Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning. Masa inkubasi
Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari [14]. Infeksi Leptospirosis mempunyai
manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi
kesalahan diagnosa [14]. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang
ditandai dengan flu ringan sampai berat [18], Hampir 15-40 persen penderita terpapar
infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif [14]. Sekitar 90 persen penderita jaundis
ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil
[14]. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase
imun [14][5]. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik
[14]. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang
berat [14].

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri
dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh [14].
Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai
dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot [5]. Gejala lain adalah sakit
tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan
mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati [14].

Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari
darah atau cairan serebrospinalis [14]. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon
pertahanan tubuh terhadap infeksi [14]. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu
seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal [14].

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan
sakit kepala [5]. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati
(hepatomegali), dan tanda koagulopati [14]. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk
darah, dan sulit bernafas.[5] Gangguan hematologi berupa peradarahan dan
pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau
perikarditis [14]. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada
fase imun [14].

Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis [5].
Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi),
muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan [5]. Kadang-kadang
terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien,
dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien [5].

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi [14]. Sebanyak 83 persen
penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L.
pomona [14]. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem
pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang
selaput otak (meningitis) [14].

Sindrom Weil

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan [5]. Kondisi ini terjadi pada
akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu
[14]. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru
meliputi batuk, kesulitan bernafas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas [5].
Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal [14].
Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap
kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian
sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia [14].
Diagnosa

Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode


pewarnaan perak. Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan
adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang [5][19][14]. Sebagai
diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah [19].
Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri
Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu
ketiga [19]. Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah,
serebrospinal [19] tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek [14].
Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan
tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira
termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan [14].

Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis


[19]. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala
klinis [19]. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar
gelap umumnya tidak sensitif [19]. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi
Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT) [5]. Tes ini mengukur
kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup
[18]. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni
kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah [19]. Selain itu,
diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen
organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen [19].

Pengobatan dan Pengendalian

1. Pada Hewan

Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan
intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan [20].
Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau
kombinasi penisillin-streptomisin [20]. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan
pemberian antidiare, antimuntah, dan infus [20].

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira[20][3]. Vaksin


Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang
sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan
dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis [3]. Vaksin Leptospira pada
anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan
L. ichterohemorrhagiae[3]. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur
12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu [20]. Sistem kekebalan
sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap
enam bulan [20].

2. Pada Manusia

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau
amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G,
ampisillin, amoksisillin dan eritromisin [5].

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan [5]. Perilaku hidup sehat dan bersih
merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya [3]. Manusia
yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan
antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan
dimana hewan berada [5].

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini [6].
Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. [15]
Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari
sumber air [3]. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak
mencemari lingkungan terutama sumber air [3].

Daftar Pustaka
1. Anonymous. (2009). Serological classification and grouping. The Leptospirosis
Information Center. Diakses pada 12 April 2010 .

2. Subronto. "1". di dalam Nunung Prajanto (dalam bahasa Indonesia). Penyakit Infeksi
Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing (edisi ke-1). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. hal. 188-192. ISBN 979-420-611-3.

3. Dharmojono. "1" (dalam bahasa Indonesia). Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-


Sapi Gila, Waspadailah Akibatnya! (edisi ke-1). Jakarta: Pustaka Populer Obor. hal. 1-
10. ISBN 979-461 397-5.

4. Anonymous. (2008). Penyakit Dewasa Leptospirosis. (Pdf) Bahagian Pendidikan


Kesihatan Kemintrian Kesihatan Malaysia. Diakses pada 15 April 2010.

5. Yuliarti, Nurheti. "1". di dalam Agnes Heni Triyuliana (dalam bahasa Indonesia).
Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Andi Offset. hal.
243-250. ISBN 979-763-842-1.

6. Priyanto,, Agus; Soeharyo Hadisaputro, Ludfi Santoso,Hussein Gasem, Sakundarno


Adi (2008). [http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf Faktor-Faktor Risiko
Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten
Demak)]. (PDF) Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Diakses pada 15 April 2010 .

7. Anonymous. (2009). Overview of the leptospira bacterium itself. The Leptospirosis


Information Center. Diakses pada 12 April 2010 .

8. Directors of health Promotion and Education Leptospirosis. Directors of health


Promotion and Education. Diakses pada 15 April 2010.

9. WHO (2001). Water Related Diseases: Leptospirosis. World Health Organization.


Diakses pada 15 April 2010.

10. Hatta M (Maret 2002). "Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang
Leptodipstick Method". Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas
Tarumanegara 1.
11. Bovet P (1999). "Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A Population Based
Control Study in Seychelles". American Journal Tropical Medicine and Hygiene: 583-
590.

12. Widarso HS dan Wilfried (2002). "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam


Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

13. Esen Saban (2004). "Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis in
Leptospirosis". Swiss Medical Weekly: 347-352.

14. Widodo Judarwanto (Agustus 2009). "Leptospirosis pada Manusia" (PDF) Diakses
pada 18 April 2010.

15. Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I Made Djaja (2007 Juni). "Hubungan Faktor
Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di
Jakarta, 2003-2005." (PDF). Makara, kesehatan 11: 17-24 Diakses pada 17 April 2010.

16. Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. "Rapid assessment Inang Reservoir
Leptospirosis di Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah." (PDF) Diakses pada 18 April 2010.

17. Anonymous. Bovine Leptospirosis. (PDF) Texas Agriculture Extension Service.


Diakses pada 20 April 2010.

18. A. Ebrahimi, L. Alijani, G R Abdollahpour (June 2003). "Serological Survey of


Human Leptospirosis in tribal Areas of West Central Iran" (PDF). IJMS 28 Diakses pada
17 April 2010.

19. Stoddard, Robyn; Sean V. Shadomy Other Infectious Diseases Related to Travel:
Leptospirosis. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 17 April 2010.

20. Eldredge, Debra M; Eldredge, Liisa D. Carlson, Delbert G. Carlson, James M. Giffin.
"1". di dalam Beth Adelman (dalam bahasa English). Dog owner’s Home Veterinary
Handbook (edisi ke-4th). Hoboken: Willey Publishing Inc. hal. 66-67, 96. ISBN 978-0-
470-06785-7.

Anda mungkin juga menyukai