Penyusun
Windarto
Departemen Matematika
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
2013
i
Kata Pengantar
Segala puji syukur bagi Alloh, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Penulis
memanjatkan syukur kepada-Nya. Atas rahmat dan karunia-Nya semata, Penulis
dapat menyelesaikan bahan ajar ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad dan ahlul bait (keluarga) beliau.
Mata kuliah Persamaan Diferensial Biasa (MAT210) merupakan salah satu
mata kuliah wajib bagi mahasiswa S1 Matematika Universitas Airlangga. Mata kuliah
ini mempunyai beban kredit 3 SKS, dan diberikan kepada mahasiswa S1 Matematika
pada semester ketiga. Melalui perkuliahan persamaan diferensial biasa, mahasiswa
diharapkan dapat menjelaskan keterkaitan antara matematika dengan bidang sains
dan rekayasa. Hal ini mengingat bahwa banyak fenomena fisis dalam bidang sains dan
rekayasa yang dapat dimodelkan ke dalam suatu model matematika yang berbentuk
persamaan diferensial biasa atau sistem persamaan diferensial biasa.
Penulis berharap semoga bahan ajar ini dapat memudahkan mahasiswa,
khususnya mahasiswa program S1 Matematika Universitas Airlangga dalam
mengikuti perkuliahan Persamaan Diferensial Biasa. Mahasiswa dapat membaca
materi perkuliahan dan berlatih memecahkan soal-soal latihan yang terdapat dalam
bahan ajar ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Fatmawati, Dr. Miswanto,
Ahmadin, M.Si. atas kerja sama yang baik dalam penyelenggaraan perkuliahan
Persamaan Diferensial Biasa di Program Studi S1 Matematika Universitas Airlangga.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan dosen di Program Studi
S1 Matematika Universitas Airlangga atas rasa kekeluargaan yang tinggi. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada isteri dan putera-puteri Penulis atas dukungan
yang diberikan kepada Penulis selama ini. Jazaakumullahu khairan katsiran. Semoga
Alloh memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda.
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………….. ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………… iii
Modul 1 Pengantar Persamaan Diferensial Dalam Bidang Sains …………………… 1
1.1 Definisi dan Klasifikasi Persamaan Diferensial ……………………………………… 1
1.2 Daerah Definisi dan Solusi Persamaan Diferensial ………………………………… 5
1.3 Persamaan Diferensial dengan Nilai Awal ……………………………………………… 7
1.4 Model Matematika Berbentuk Persamaan Diferensial dalam Bidang Sains 9
Modul 2 Persamaan Diferensial Biasa Orde Satu ………………………………………… 18
2.1 Persamaan Diferensial Variabel Terpisah ……………………………………………… 18
2.2 Persamaan Diferensial Homogen …………………………………………………………… 22
iii
iv
MODUL 1
Pengantar Persamaan Diferensial Dalam Bidang Sains
Inti suatu atom terdiri dari proton dan netron, kecuali inti atom hidrogen
𝐻11 yang hanya terdiri dari satu proton. Sebagian inti atom tersebut tidak stabil, yaitu
atom tersebut meluruh dan berubah menjadi atom lainnya. Inti atom yang tidak stabil
tersebut dinamakan bersifat radoaktif. Salah satu contoh atom radioaktif adalah
Radium-226 atau Ra-226 (𝑅𝑎226 ) yang meluruh menjadi atom Radon-222 atau Rn-222
yang berupa gas. Misalkan y(t) menyatakan banyaknya atom suatu zat radioaktif pada
saat t. Berdasarkan pengamatan empiris, nilai y(t) memenuhi persamaan
𝑑𝑦
𝑦̇ = 𝑑𝑡
= −𝑘𝑦, 𝑘 > 0. (1.1)
Bakteri berkembang biak dengan cara membelah diri. Misalkan z(t) menyatakan
banyaknya bakteri pada saat t. Ketika kondisi lingkungan masih mendukung
perkembangbiakan bakteri, laju pertumbuhan banyaknya bakteri pada saat t dapat
dihampiri dengan persamaan
𝑑𝑧
𝑧̇ = 𝑑𝑡
= 𝑘𝑧, 𝑘 > 0. (1.2)
(b) 𝑦 ′′ + 4𝑦 = 0.
𝑑𝑥 𝑑𝑦
(c) 𝑥̇ = 𝑑𝑡
= 3𝑥 − 2𝑦; 𝑦̇ = 𝑑𝑡
= 2𝑥 − 2𝑦.
Persamaan diferensial yang memuat turunan parsial satu atau lebih variabel dependen
terhadap satu atau lebih variabel independen dinamakan persamaan diferensial parsial
(partial differential equation). Berikut diberikan beberapa contoh persamaan diferensial
parsial.
Contoh 1.2. Beberapa contoh persamaan diferensial parsial
𝜕𝑢 𝜕𝑢
(a) 𝜕𝑡 + 𝜕𝑥 = 0 atau 𝑢𝑡 + 𝑢𝑥 = 0.
𝜕𝑢 𝜕2 𝑢
(b) 𝜕𝑡 = 𝜕𝑥 2 .
𝜕2 𝑢 𝜕2 𝑢
(c) 𝜕𝑡 2
= 𝜕𝑥 2 .
Klasifikasi Persamaan Diferensial Biasa (PDB): PDB Linear dan PDB Tak Linear
Persamaan diferensial dapat diklasifikasikan menjadi persamaan diferensial
linear dan persamaan diferensial tak linear. Persamaan diferensial biasa orde n dalam
(1.5) dikatakan linear jika F merupakan fungsi linear dalam 𝑦, 𝑦 ′ , 𝑦 ′′ , . . . , 𝑦 (𝑛) . Dengan
perkataan lain, persamaan diferensial biasa dalam (1.5) dikatakan persamaan
diferensial linear jika (1.5) dapat dituliskan ke dalam bentuk
𝑎𝑛 (𝑥)𝑦 𝑛 + 𝑎𝑛−1 (𝑥)𝑦 𝑛−1 +. . . +𝑎2 (𝑥)𝑦 ′′ + 𝑎1 (𝑥)𝑦 ′ + 𝑎0 (𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥). (1.7)
Persamaan diferensial biasa orde satu dan orde dua berturut-turut dapat dituliskan ke
dalam bentuk
𝑎1 (𝑥)𝑦 ′ + 𝑎0 (𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥), (1.8)
dan
𝑎2 (𝑥)𝑦 ′′ + 𝑎1 (𝑥)𝑦 ′ + 𝑎0 (𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥). (1.9)
Berdasarkan (1.7), persamaan diferensial biasa linear mempunyai ciri:
(i) Variabel dependen y dan semua turunan y yaitu 𝑦 ′ , 𝑦 ′′ , . . . , 𝑦 (𝑛) dalam bentuk linear,
yaitu y dan semua turunan y berpangkat satu.
(ii) Koefisien y dan semua turunan y, yaitu 𝑎0 (𝑥), 𝑎1 (𝑥), . . . , 𝑎𝑛 (𝑥)berupa konstanta atau
fungsi dengan variabel bebas x.
Oleh karena itu, persamaan diferensial biasa pada contoh berikut merupakan
persamaan diferensial tak linear.
Persamaan diferensial pada Contoh 1.3.a merupakan persamaan diferensial biasa tak
linear orde satu, karena ada suku perkalian antara y dan turunan y (koefisien turunan
𝑑𝑦
pertama y, yaitu koefisien 𝑑𝑥 bukan fungsi dari variabel independen x). Persamaan
diferensial pada Contoh 1.3.b merupakan persamaan diferensial tak linear orde dua,
karena ada suku sin y yang merupakan suku tak linear. Persamaan diferensial pada
Contoh 1.3.c merupakan persamaan diferensial tak linear orde empat, karena ada suku
y2 yang merupakan suku tak linear.
Latihan 1.1
Tentukan apakah persamaan diferensial berikut merupakan persamaan diferensial
linear atau persamaan diferensial tak linear. Tentukan juga orde dari persamaan
diferensial tersebut.
1) (1 − 𝑥)𝑦 ′ + 2𝑥𝑦 = sin 𝑥.
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
2) 𝑥 𝑑𝑥 2 − 𝑑𝑥 + 𝑦 2 = 0.
𝑑3 𝑦 𝑑2 𝑦
3) 𝑡 3 𝑑𝑡 3 − 𝑡 2 𝑑𝑡 2 + 6𝑦 = 0.
𝑑2 𝑢 𝑑𝑢
4) 𝑑𝑟 2
+ 𝑑𝑟 + 𝑢 = cos 𝑟.
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦 2
5) 𝑑𝑥 2
= �1 + �𝑑𝑥 � .
𝑑2 𝑅 1
6) 𝑑𝑡 2
= √1+𝜀𝑅2 , dengan ε suatu konstanta positif.
𝑑2 𝑢 𝑑𝑢
7) 𝑑𝑟 2
+ 𝑑𝑟 + 𝑢 = cos 𝑟.
𝑥̇ 2
8) 𝑥̈ − �1 − � 𝑥̇ + 𝑥 = 0.
2
𝑑𝑃 𝑃
9) 𝑑𝑡
= 𝑎𝑃 �1 − 𝐾�, dengan a dan K adalah suatu konstanta positif.
Himpunan semua nilai x sehingga persamaan diferensial biasa pada (1.9) terdefinisi
dengan baik dinamakan dengan daerah definisi persamaan diferensial biasa tersebut.
Biasanya, daerah definisi suatu persamaan diferensial biasa berupa suatu interval buka.
Berikut diberikan beberapa contoh terkait penentuan daerah definisi suatu persamaan
diferensial biasa.
Contoh 1.4. Tentukan daerah definisi (yang mungkin) pada persamaan
diferensial biasa berikut
𝑑𝑦
(a) 𝑑𝑥 − 𝑦 = 𝑥.
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
(b) 𝑥 2 𝑑𝑥 2 + 4𝑥 𝑑𝑥 + 2𝑦 = 0.
𝑑𝑦
(c) 𝑦 𝑑𝑥 + 𝑥 = 0.
Penyelesaian:
𝑑𝑦
(a) Persamaan diferensial 𝑑𝑥 − 𝑦 = 𝑥 terdefinisi dengan baik untuk setiap bilangan real
Penyelesaian:
(a) Diketahui 𝑦 = 𝑒 −𝑥 , sehingga 𝑦 ′ = −𝑒 −𝑥 . Akibatnya 𝑦 ′ + 𝑦 = 𝑒 −𝑥 + (−𝑒 −𝑥 ) = 0.
Oleh karena itu terbukti bahwa 𝑦 = 𝑒 −𝑥 merupakan penyelesaian dari
persamaan diferensial 𝑦 ′ + 𝑦 = 0.
(b) Diketahui 𝑦 = sin 2𝑥, sehingga 𝑦 ′ = 2 cos 2𝑥 dan 𝑦 ′′ = −4 sin 2𝑥. Akibatnya
𝑦 ′′ + 4𝑦 = −4 sin 2𝑥 + 4 sin 2𝑥 = 0.Oleh karena itu terbukti bahwa 𝑦 = sin 2𝑥
merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial 𝑦 ′′ + 4𝑦 = 0.
(c) Diketahui 𝑥 2 + 𝑦 2 = 9, sehingga dengan mendiferensialkan kedua ruas terhadap
𝑑𝑦 −𝑥
x diperoleh 2𝑥 + 2𝑦𝑦 ′ = 0. Akibatnya, 𝑦 ′ = 𝑑𝑥 = 𝑦
. Oleh karena itu terbukti
𝑑𝑛 𝑦
𝑑𝑥 𝑛
= 𝑓�𝑥, 𝑦, 𝑦 ′ , . . . , 𝑦 (𝑛−1) �, (1.12)
yang memenuhi
𝑦(𝑥0 ) = 𝑦0 , 𝑦 ′ (𝑥0 ) = 𝑦1 , … , 𝑦 (𝑛−1) (𝑥0 ) = 𝑦𝑛−1 , (1.13)
1 1 1 1
(a) Dengan melakukan subtitusi 𝑦(0) = 2 ke dalam 𝑦(𝑥) = 1+𝑘𝑒 −𝑥 diperoleh 1+𝑘
= 2,
1
sehingga diperoleh 𝑘 = 1 . Akibatnya, 𝑦 = 1+𝑒 −𝑥 merupakan penyelesaian dari
1
persamaan diferensial 𝑦 ′ = 𝑦 − 𝑦 2 , 𝑦(0) = 2.
(b) Dengan melakukan subtitusi 𝑥(0) = 2 ke dalam 𝑥 = 𝑎 cos 𝑡 + 𝑏 sin 𝑡, diperoleh nilai
𝑎 = 2. Dengan menurunkan kedua ruas 𝑥 = 𝑎 cos 𝑡 + 𝑏 sin 𝑡 terhadap t, diperoleh
𝑥̇ (𝑡) = −𝑎 sin 𝑡 + 𝑏 cos 𝑡 = − 2 sin 𝑡 + 𝑏 cos 𝑡 . Selanjutnya, dengan melakukan
subtitusi 𝑥̇ (0) = 1 ke dalam 𝑥̇ (0) = −2 sin 𝑡 + 𝑏 cos 𝑡 ,diperoleh nilai 𝑏 = 1. Dengan
demikian diperoleh 𝑥 = 2 cos 𝑡 + sin 𝑡 merupakan penyelesaian dari persamaan
diferensial 𝑥̈ + 𝑥 = 0 yang memenuhi syarat awal 𝑥(0) = 2, 𝑥̇ (0) = 1.
4) 𝑦 ′ + 2𝑥𝑦 2 = 0, 𝑦(1) = 1.
Pada soal berikut, tentukan nilai m dan C sehingga 𝑦 = 𝐶𝑥 𝑚 merupakan penyelesaian
dari persamaan diferensial.
5) 𝑥 2 𝑦 ′′ − 2𝑦 = 0, 𝑦(1) = 1, 𝑦 ′ (1) = 𝑚.
6) 𝑥 2 𝑦 ′′ − 7𝑥𝑦 ′ + 15𝑦 = 0, 𝑦(1) = 1, 𝑦 ′ (1) = 𝑚.
Pada soal berikut, tentukan nilai m dan C sehingga 𝑦 = 𝐶𝑒 𝑚𝑥 merupakan penyelesaian
dari persamaan diferensial.
7) 𝑦 ′ + 3𝑦 = 0, 𝑦(0) = 1.
8) 𝑦 ′′ + 2𝑦 ′ − 3𝑦 = 0, 𝑦(0) = 1, 𝑦 ′ (0) = 𝑚.
Pada soal berikut, tentukan nilai m dan C sehingga 𝑦 = 𝐶 sin 𝑚𝑥 , 𝑚 ≠ 0 merupakan
penyelesaian dari persamaan diferensial.
9) 𝑦 ′′ + 4𝑦 = 0, 𝑦(0) = 0, 𝑦 ′ (0) = 𝑚.
10)𝑦 ′′ + 16𝑦 = 0, 𝑦(0) = 0, 𝑦 ′ (0) = 𝑚.
Sebuah model matematika adalah deskripsi dari suatu sistem real menggunakan
konsep-konsep matematika. Proses pengembangan model matematika dari suatu
sistem real dinamakan dengan pemodelan matematika. Model matematika dapat
digunakan untuk memodelkan sistem real yang terkait dengan sains/ilmu alam (seperti
fisika, biologi, ilmu bumi, meteorologi), ilmu teknik/rekayasa (misalnya ilmu komputer,
kecerdasan buatan), dan ilmu-ilmu sosial (seperti ekonomi, psikologi, sosiologi dan
bahkan dapat digunakan dalam ilmu politik). Menurut Dr. Gerda de Vries dari
University of Alberta, model matematika dapat digunakan untuk:
(a) mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena dalam suatu sistem real.
aZ bZ
Z(t)
dengan 𝑘 = 𝑎 − 𝑏. Dalam hal a > b, yaitu ketika laju pertambahan populasi bakteri
akibat pembelahan diri lebih besar dari laju pengurangan karena kematian alami, maka
populasi bakteri akan meningkat. Sebaliknya, dalam hal a < b, yaitu ketika laju
pertambahan populasi bakteri akibat pembelahan diri lebih kecil dari laju pengurangan
akibat kematian alami, maka populasi bakteri akan mengalami penuruan. Model
matematika pada (1.17) tidak memperhatikan besarnya daya dukung lingkungan
terhadap perkembangan populasi bakteri. Akibatnya, model matematika pada (1.17)
hanya valid ketika kondisi lingkungan masih mendukung perkembangbiakan bakteri.
Inti suatu atom terdiri dari proton dan netron, kecuali inti atom hidrogen
𝐻11 yang hanya terdiri dari satu proton. Sebagian inti atom tersebut tidak stabil, yaitu
atom tersebut meluruh dan berubah menjadi atom lainnya. Inti atom yang tidak stabil
tersebut dinamakan bersifat radoaktif. Salah satu contoh atom radioaktif adalah
Radium-226 atau Ra-226 (𝑅𝑎226 ) yang meluruh menjadi atom Radon-222 atau Rn-222
yang berupa gas. Misalkan y(t) menyatakan banyaknya atom suatu zat radioaktif pada
saat t. Model matematika peluruhan zat radioaktif diturunkan berdasarkan asumsi
bahwa laju perubahan zat radioaktif (y(t)) terhadap waktu berbanding linear dengan
banyaknya zat radioaktif (y(t)) pada saat itu. Secara matematis, hal ini dapat dituliskan
sebagai
𝑑𝑦
𝑦̇ = 𝑑𝑡
= −𝑘𝑦, 𝑘 > 0. (1.18)
Secara empiris, laju perubahan suhu suatu benda terhadap waktu berbanding
linear dengan perbedaan suhu benda tersebut dengan suhu lingkungan di sekitar benda.
Suhu lingkungan di sekitar benda dikenal sebagai suhu lingkungan (ambient
temperature) . Misalkan T(t) menyatakan suhu benda pada saat t, dan Ts menyatakan
suhu lingkungan di sekitar benda. Ketika suhu lingkungan lebih rendah dari suhu benda,
maka suhu benda akan mengalami penurunan. Ketika suhu lingkungan lebih rendah
dari suhu benda, maka suhu benda akan mengalami penurunan. Sebaliknya, ketika suhu
lebih tinggi dari suhu benda, maka suhu benda akan mengalami kenaikan. Model
matematika untuk masalah pendinginan suatu benda dapat dirumuskan dengan
𝑑𝑇
𝑑𝑡
= −𝑘(𝑇 − 𝑇𝑠 ), 𝑘 > 0. (1.19)
Suatu penyakit dapat menular dari seorang penderita kepada orang lain melalui
kontak langsung atau kontak tidak langsung. Flu, cacar air, AIDS merupakan beberapa
contoh penyakit menular. Misalkan pada saat awal terdapat satu orang terinfeksi suatu
penyakit menular, dan terdapat sejumlah (n) orang sehat. Misalkan x(t) dan y(t)
berturut-turut menyatakan banyaknya orang yang terinfeksi penyakit dan banyaknya
orang sehat pada saat t. Dapat diasumsikan bahwa laju perubahan banyaknya orang
𝑑𝑥
terinfeksi terhadap waktu � 𝑑𝑡 � sebanding dengan banyaknya kontak antara orang-
Pada (1.20) dapat dapat diinterpretasikan sebagai rata-rata banyaknya kontak dengan
orang-orang yang sehat perindividu terinfeksi. Dengan asumsi bahwa tidak ada
pertambahan populasi dan pengurangan populasi akibat kematian, maka banyaknya
populasi adalah konstan sebesar n+1 individu. Oleh karena itu, untuk setiap saat t,
berlaku hubungan
𝐴 + 𝐵 → 𝐶. (1.23)
Persamaan reaksi pada (1.23) menyatakan bahwa satu mol zat A dan satu mol zat B
bereaksi membentuk satu mol zat C. Misalkan pada awal reaksi, belum ada senyawa C
yang terbentuk, dan banyaknya senyawa A dan B berturut-turut adalah α dan β.
Misalkan terdapat suatu sirkuit rangkaian listrik tertutup yang terdiri dari
induktor, resistor dan kapasitor seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.3. Besarnya
arus yang mengalir pada rangkaian tersebut pada saat t setelah saklar tertutup
dinotasikan dengan i(t) dan besarnya muatan listrik yang mengalir pada kapasitor
dinotasikan dengan q(t). Simbol L, R, dan C berturut-turut merupakan konstanta yang
menyatakan induktansi dari induktor, hambatan dari resistor, dan kapasitas dari
kapasitor. Berdasarkan hukum Kirchoff kedua, besarnya tegangan yang dihasilkan oleh
sumber tegangan E(t), sama dengan besarnya penurunan tegangan (voltage drop) pada
rangkaian tertutup. Besarnya penurunan tegangan yang melalui induktor kapasitor, dan
𝑑𝑖 𝑞
resistor berturut-turut sebesar 𝐿 𝑑𝑡 , 𝑖𝑅 dan 𝐶. Besarnya kuat arus i(t) dan muatan yang
𝑑𝑞 𝑑𝑖 𝑑2 𝑞
mengalir dalam kapasitor memenuhi 𝑖 = 𝑑𝑡
, sehingga 𝑑𝑡
= 𝑑𝑡 2
. Oleh karena itu,
besarnya tegangan yang dihasilkan oleh sumber tegangan E(t) memenuhi persamaan
diferensial
𝑑2 𝑞 𝑑𝑞 𝑞
𝐿 𝑑𝑡 2 + 𝑅 𝑑𝑡 + 𝐶
= 𝐸(𝑡). (1.25)
Gambar 1.3. Suatu rangkaian listrik tertutup yang terdiri dari induktor, resistor dan
kapasitor
Latihan 1.4.
8) Suatu obat diinfuskan ke dalam aliran darah seorang pasien dengan laju tetap
sebesar r gram per detik. Pada saat yang bersamaan, obat tersebut dengan laju
yang sebanding dengan banyaknya obat dalam aliran darah. Misalkan x(t)
menyatakan banyaknya obat dalam aliran darah pada saat t. Konstruksikan
model persamaan diferensial untuk x(t).
9) Suatu rangkaian listrik terdiri dari sebuah induktor dan resistor, seperti
Tentukan model persamaan diferensial untuk arus i(t), jika besarnya hambatan
resistor sebesar R dan induktansi dari induktor sebesar L.
10)Suatu rangkaian listrik terdiri dari sebuah kapasitor dan resistor, seperti
diilustrasikan pada Gambar berikut.
Pada bagian ini akan dipelajari teknik penyelesaian persamaan diferensial yang
paling sederhana, yaitu persamaan diferensial biasa orde satu dengan variabel bebas
dan variabel tak bebas dalam bentuk terpisah. Bentuk persamaan diferensial tersebut
dinamakan persamaan diferensial variabel terpisah. Prasyarat yang dibutuhkan adalah
teknik pengintegralan. Bentuk paling sederhana untuk persamaan diferensial variabel
terpisah adalah
𝑑𝑦
𝑑𝑥
= 𝑓(𝑥). (2.1)
Dengan membagi kedua persamaan diferensial variabel terpisah pada Definisi 2.1.
dengan g(y), maka persamaan diferensial tersebut dapat dituliskan menjadi
Penyelesaian:
𝑑𝑦 𝑦
a) Untuk x ≠ 1 dan y ≠ 0, maka persamaan diferensial 𝑑𝑥 = 1−𝑥 tersebut dapat
𝑑𝑦 𝑑𝑥
dituliskan menjadi bentuk 𝑦
= 1−𝑥.
1 1
ln|𝑦 − 1| − ln|𝑦 + 1| = 𝑥 + 𝑐
2 2
𝑦−1
atau 𝑙𝑛 �𝑦+1� = 2𝑥 + 𝑑, 𝑑 = 2𝑐,
𝑦−1
atau 𝑦+1
= ±𝑒 2𝑥 𝑒 𝑑 .
Latihan 2.1.
Tentukan penyelesaian persamaan diferensial berikut.
𝑑𝑦
(1) 𝑑𝑥
= 𝑒 𝑥 𝑥 2 + 1.
𝑑𝑦
(2) 𝑑𝑥
= 𝑦 − 2.
𝑑𝑦
(3) 𝑥 𝑑𝑥 = 2𝑦.
𝑑𝑦
(4) 𝑑𝑥
+ 2𝑥𝑦 2 = 0.
𝑑𝑦
(5) 𝑑𝑥
= 𝑒 𝑥+𝑦 .
𝑑𝑃
(6) 𝑑𝑡
= 𝑘𝑃.
𝑑𝑃
(7) 𝑑𝑡
= 𝑃 − 𝑃2 .
𝑑𝑃
(8) 𝑑𝑡
= 𝑘(𝑃 − 90).
𝑑𝑦 2
(9) 𝑑𝑥
= 𝑦𝑒 −𝑥 , 𝑦(2) = 1.
𝑑𝑦
(10) 𝑑𝑥
= cos(𝑥 2 ) , 𝑦(0) = 1.
Persamaan diferensial homogen orde satu terkait dengan fungsi homogen. Oleh
karena itu, sebelum pembahasan persamaan diferensial homogen, akan disajikan
pengertian (definisi) fungsi homogen.
Penyelesaian:
a) Diketahui 𝑓(𝑥, 𝑦) = 𝑥 3 + 2𝑥 2 𝑦 − 𝑥𝑦 2 + 𝑦 3 .
Dari definisi fungsi f tersebut diperoleh
𝑓(𝜆𝑥, 𝜆𝑦) = (𝜆𝑥)3 + 2(𝜆𝑥)2 (𝜆𝑦) − (𝜆𝑥)(𝜆𝑦)2 + (𝜆𝑦)3 , atau
𝑓(𝜆𝑥, 𝜆𝑦) = 𝜆3 𝑥 3 + 2𝜆3 𝑥 2 𝑦 − 𝜆3 𝑥𝑦 2 + 𝜆3 𝑦 3 .
Akibatnya, 𝑓(𝜆𝑥, 𝜆𝑦) = 𝜆3 (𝑥 3 + 𝑥 2 𝑦 − 𝑥𝑦 2 + 𝑦 3 ) = 𝜆3 𝑓(𝑥, 𝑦).
Oleh karena itu, fungsi f tersebut merupakan fungsi homogen derajat tiga.
b) Diketahui 𝑔(𝑥, 𝑦) = 2𝑥 2 + 𝑥𝑦 + 1.
Dari definisi fungsi g tersebut diperoleh
𝑔(𝜆𝑥, 𝜆𝑦) = 2(𝜆𝑥)2 + (𝜆𝑥)(𝜆𝑦) + 1, atau
𝑔(𝜆𝑥, 𝜆𝑦) = 𝜆2 (2𝑥 2 + 𝑥𝑦) + 1 ≠ 𝜆2 𝑔(𝑥, 𝑦).
Akibatnya, g bukan fungsi homogen derajat dua. Lebih jauh, g bukan fungsi
homogen orde n, untuk n sebarang bilangan bulat.
𝑥
c) Diketahui ℎ(𝑥, 𝑦) = sin �𝑦� + 1.
Oleh karena itu, untuk sebarang (x,y) dalam domain fungsi f dengan x ≠ 0, berlaku
𝑦
𝑓(𝑥, 𝑦) = 𝑥 𝑛 𝑓(1, 𝑢) = 𝑥 𝑛 𝑓 �1, 𝑥 �.
Dengan cara serupa, dapat ditunjukkan bahwa jika g merupakan fungsi dengan dua
variabel bebas dan g merupakan fungsi homogen derajat n, maka untuk sebarang (x,y)
dalam domain fungsi g dengan y ≠ 0, berlaku
𝑥
𝑔(𝑥, 𝑦) = 𝑦 𝑛 𝑔 � , 1�.
𝑦
Latihan 2.2.
Tentukan penyelesaian persamaan diferensial berikut.
(1) (𝑥 − 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑥𝑑𝑦 = 0.
(2) 𝑥 𝑑𝑥 + (𝑦 − 2𝑥)𝑑𝑦 = 0.
(3) (𝑥 + 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑥𝑑𝑦 = 0.
(4) (𝑥𝑦 + 𝑦 2 )𝑑𝑥 + 𝑥 2 𝑑𝑦 = 0.
Pada bagian ini akan dipelajari persamaan diferensial biasa orde satu dengan
bentuk umum 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0, dengan 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 merupakan
diferensial dari suatu fungsi f(x,y). Persamaan diferensial yang memenuhi kondisi
tersebut dinamakan persamaan diferensial eksak.
Untuk kurva ketinggian (level curve) 𝑧 = 𝑓(𝑥, 𝑦) = 𝐶, C konstanta, maka (2.9) berbentuk
𝜕𝑓 𝜕𝑓
𝜕𝑥
𝑑𝑥 + 𝜕𝑦 𝑑𝑦 = 0. (2.10)
• Ekspresi diferensial 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 merupakan diferensial eksak pada suatu
himpunan buka 𝐵 ⊆ 𝑅 2 jika 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 diperoleh dari suatu fungsi f(x,y).
• Persamaan diferensial 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0 disebut persamaan diferensial
eksak jika 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 merupakan suatu diferensial eksak.
Teorema berikut memberikan syarat perlu dan syarat cukup agar persamaan
diferensial 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0 merupakan persamaan diferensial eksak.
Bukti:
(⇒) Untuk penyederhanaan, misalkan M(x,y) dan N(x,y) merupakan fungsi kontinu dan
mepunyai turunan parsial kontinu pada setiap titik (x,y) ∈ R2. Diketahui bahwa
persamaan diferensial 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0 merupakan diferensial eksak.
𝜕𝑀 𝜕𝑁
Akan ditunjukkan bahwa 𝜕𝑦
= 𝜕𝑥
.
Karena 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0 merupakan diferensial eksak, maka terdapat
fungsi f(x,y) sedemikian hingga untuk setiap titik (x,y) ∈ D
𝜕𝑓 𝜕𝑓
𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 𝜕𝑥 𝑑𝑥 + 𝜕𝑦 𝑑𝑦.
𝜕𝑓 𝜕𝑓
Oleh karena itu, 𝑀(𝑥, 𝑦) = 𝜕𝑥 dan 𝑁(𝑥, 𝑦) = 𝜕𝑦.
Akibatnya,
𝜕𝑀 𝜕 𝜕𝑓 𝜕2 𝑓 𝜕𝑁 𝜕 𝜕𝑓 𝜕2 𝑓
𝜕𝑦
= 𝜕𝑦 �𝜕𝑥 � = 𝜕𝑦𝜕𝑥 dan 𝜕𝑥 = 𝜕𝑥 �𝜕𝑦� = 𝜕𝑥𝜕𝑦.
(⇐) Diketahui bahwa M(x,y) dan N(x,y) merupakan fungsi kontinu dan mepunyai
turunan parsial kontinu pada suatu daerah D = {(x,y): a < x < b, c < y < d}, dan fungsi
𝜕𝑀 𝜕𝑁
M dan N memenuhi kondisi 𝜕𝑦
= 𝜕𝑥
. Akan dikonstruksi fungsi f(x,y) sedemikian
hingga 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥 + 𝑁(𝑥, 𝑦)𝑑𝑦 = 0 merupakan diferensial dari f(x,y)=c, c konstanta.
𝜕𝑓
Pilih fungsi f, sedemikian hingga 𝜕𝑥 = 𝑀(𝑥, 𝑦). Integralkan M(x,y) terhadap x
𝜕𝑓
Dengan mengasumsikan bahwa 𝜕𝑦 = 𝑁(𝑥, 𝑦) dan menurunkan (2.12) terhadap y,
diperoleh
𝜕𝑓 𝜕
𝜕𝑦
= 𝑁(𝑥, 𝑦) = 𝜕𝑦 (∫ 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥) + 𝑔′ (𝑦).
Akibatnya,
𝜕
𝑔′ (𝑦) = 𝑁(𝑥, 𝑦) − 𝜕𝑦 (∫ 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥) (2.13)
Penyelesaian:
diperoleh
𝜕𝑓 𝜕
𝜕𝑦
= 𝜕𝑦 (∫ 𝑀(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥) + 𝑔′ (𝑦) = 𝑁(𝑥, 𝑦),
atau
𝑥 2 + 𝑔′ (𝑦) = 𝑥 2 + 1.
𝑥 2 (𝑦 − 1) + 𝑦 = 𝑐, c konstanta.
Latihan 2.3.
Tentukan apakah persamaan diferensial berikut merupakan persamaan diferensial
eksak. Jika Ya, tentukan penyelesaian persamaan diferensial tersebut.
(1) (2𝑥 + 𝑦)𝑑𝑥 + (𝑥 + 6𝑦)𝑑𝑦 = 0.
(2) (5𝑥 + 4𝑦)𝑑𝑥 + (4𝑥 − 𝑦 2 )𝑑𝑦 = 0.
(3) (𝑥 2 − 𝑦 2 )𝑑𝑥 + (𝑥 2 − 2𝑥𝑦)𝑑𝑦 = 0.
(4) (𝑥 3 + 𝑦 3 )𝑑𝑥 + 3𝑥𝑦 2 𝑑𝑦 = 0.
Tentukan penyelesaian persamaan diferensial berikut dengan syarat awal yang
diberikan
(5) (𝑥 + 𝑦)2 𝑑𝑥 + (2𝑥𝑦 + 𝑥 2 − 1)𝑑𝑦 = 0, 𝑦(1) = 1.
(6) (𝑒 𝑥 + 𝑦)𝑑𝑥 + (2 + 𝑥 + 𝑦𝑒 𝑦 )𝑑𝑦 = 0, 𝑦(0) = 1.
3𝑦 2 −𝑡 2 𝑑𝑦 𝑡
(7) � � 𝑑𝑡 + 2𝑦 4 = 0, 𝑦(1) = 1.
𝑦5
1 𝑑𝑦
(8) �1+𝑦 2 + cos 𝑥 − 2𝑥𝑦� 𝑑𝑥 = 𝑦(𝑦 + sin 𝑥), 𝑦(0) = 1.
2. 4. Faktor Integrasi
Misalkan diketahui bahwa persamaan diferensial biasa orde satu yang berbentuk
Misalkan persamaan diferensial (2.17) dikalikan dengan suatu fungsi 𝜇(𝑥, 𝑦),
sehingga diperoleh
Kondisi yang harus dipenuhi agar persamaan diferensial pada (2.18) berupa persamaan
diferensial eksak adalah
𝜕 𝜕
(𝜇𝑀) = (𝜇𝑁),
𝜕𝑦 𝜕𝑥
atau
𝜕𝜇 𝜕𝑀 𝜕𝜇 𝜕𝑁
𝑀 +𝜇 =𝑁 +𝜇 .
𝜕𝑦 𝜕𝑦 𝜕𝑥 𝜕𝑥
Akibatnya, agar 𝜇(𝑥, 𝑦) merupakan faktor integral dari persamaan diferensial pada
(2.17), maka 𝜇(𝑥, 𝑦) harus memenuhi
𝜕𝜇 𝜕𝜇 𝜕𝑀 𝜕𝑁
𝑁 𝜕𝑥 − 𝑀 𝜕𝑦 − � 𝜕𝑦 − 𝜕𝑥 � 𝜇 = 0. (2.19)
(1) Fungsi 𝜇 hanyalah bergantung pada variabel x saja, dinotasikan dengan 𝜇(𝑥). Jika 𝜇
hanyalah fungsi dari variabel x saja, maka (2.19) dapat disederhanakan menjadi
𝑑𝜇 1 𝜕𝑀 𝜕𝑁
𝑑𝑥
= 𝑁 � 𝜕𝑦 − 𝜕𝑥 � 𝜇. (2.20)
Agar faktor integral dari (2.18) hanyalah fungsi dari variabel x, maka kondisi yang
1 𝜕𝑀 𝜕𝑁
harus dipenuhi adalah bahwa ekspresi 𝑁 � 𝜕𝑦 − 𝜕𝑥 � hanyalah bergantung kepada
1 𝜕𝑀 𝜕𝑁
variabel x semata. Jika 𝑁 � 𝜕𝑦 − 𝜕𝑥 � hanya bergantung pada variabel x, maka faktor
(2) Fungsi 𝜇 hanyalah bergantung pada variabel y saja, dinotasikan dengan 𝜇(𝑦). Jika 𝜇
hanyalah fungsi dari variabel y saja, maka (2.19) dapat disederhanakan menjadi
𝑑𝜇 1 𝜕𝑁 𝜕𝑀
𝑑𝑦
= 𝑀 � 𝜕𝑥 − 𝜕𝑦
� 𝜇. (2.21)
Agar faktor integral dari (2.18) hanyalah fungsi dari variabel y, maka kondisi yang
1 𝜕𝑁 𝜕𝑀
harus dipenuhi adalah bahwa ekspresi 𝑀 � 𝜕𝑥 − 𝜕𝑦
� hanyalah bergantung kepada
1 𝜕𝑁 𝜕𝑀
variabel y semata. Jika 𝑀 � 𝜕𝑥 − 𝜕𝑦
� hanya bergantung pada variabel y, maka faktor
𝜕𝑀 𝜕𝑁
= 3𝑥 + 2𝑦, = 2𝑥 + 𝑦.
𝜕𝑦 𝜕𝑥
1 𝜕𝑀 𝜕𝑁 (𝑥+𝑦) 1
𝑁
� 𝜕𝑦 − 𝜕𝑥 � = 𝑥(𝑥+𝑦) = 𝑥, asalkan x,y ≠ 0.
Oleh karena itu, faktor integral µ(x) dari (2.22) berupa fungsi yang hanya bergantung
pada variabel x, dan memenuhi persamaan diferensial
𝑑𝜇 1 𝜕𝑀 𝜕𝑁 1
𝑑𝑥
= 𝑁 � 𝜕𝑦 − 𝜕𝑥 � 𝜇 = 𝑥 𝜇. (2.23)
Salah satu faktor integral µ(x) yang memenuhi (2.23) adalah µ(x) = x.
Latihan 2.4.
Pada soal (1) – (7) berikut, tunjukkanlah bahwa persamaan diferensial yang diberikan,
bukan persamaan diferensial eksak. Tunjukkan juga bahwa persamaan diferensial
tersebut menjadi persamaan diferensial eksak dengan mengalikannya dengan faktor
integral yang diberikan. Selanjutnya, tentukan penyelesaian persamaan diferensial
eksak tersebut.
1
(1) 𝑥 2 𝑦 3 + 𝑥(1 + 𝑦 2 )𝑦 ′ = 0, 𝜇(𝑥, 𝑦) = 𝑥𝑦 3 .
sin 𝑦 cos 𝑦+2𝑒 −𝑥 cos 𝑥
(2) � 𝑦
− 2𝑒 −𝑥 sin 𝑥� 𝑑𝑥 + � 𝑦
� 𝑑𝑦 = 0, 𝜇(𝑥, 𝑦) = 𝑦𝑒 −𝑥 .
Tentukan faktor integral pada persamaan diferensial berikut sehingga menjadi suatu
persamaan diferensial eksak. Selanjutnya, tentukan penyelesaian persamaan diferensial
eksak tersebut.
(8) (𝑥𝑦)𝑑𝑥 + (2𝑠 2 + 3𝑦 2 − 20)𝑑𝑦 = 0. Petunjuk: Faktor integral 𝜇(𝑦) hanya
bergantung pada variabel y.
(9) 𝑦(𝑥 + 𝑦 + 1)𝑑𝑥 + (𝑥 + 2𝑦)𝑑𝑦 = 0. Petunjuk: Faktor integral 𝜇(𝑥) hanya
bergantung pada variabel x.
(10) (2𝑦 2 + 3𝑥)𝑑𝑥 + (2𝑥𝑦)𝑑𝑦 = 0. Petunjuk: Faktor integral 𝜇(𝑥) hanya
bergantung pada variabel x.
2. 5. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Pada bagian ini akan dipelajari persamaan diferensial linear orde satu. Bentuk
umum persamaan diferensial linear orde satu diberikan pada definisi berikut.
Definisi 2.8. Bentuk Umum Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Persamaan diferensial biasa orde satu yang dapat dituliskan ke dalam bentuk
𝑑𝑦
𝑎(𝑥) 𝑑𝑥 + 𝑏(𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥), 𝑎(𝑥) ≠ 0. (2.25)
dinamakan persamaan diferensial linear orde satu dengan variabel tak bebas y.
Jika g(x) = 0, persamaan (2.25) dinamakan persamaan diferensial linear orde satu
homogen. Jika g(x) ≠ 0, persamaan (2.25) dinamakan persamaan diferensial linear
orde satu tak homogen.
Dengan membagi kedua ruas pada (2.25) dengan a(x), diperoleh bentuk standar
persamaan diferensial biasa linear orde satu, yaitu
𝑑𝑦
𝑑𝑥
+ 𝑃(𝑥)𝑦 = 𝑓(𝑥), (2.26)
𝑏(𝑥) 𝑔(𝑥)
dengan 𝑃(𝑥) = 𝑎(𝑥) , 𝑓(𝑥) = 𝑎(𝑥).
Persamaan diferensial biasa linear homogen orde satu pada (2.27) merupakan
persamaan diferensial variable terpisah, mengingat (2.27) dapat dituliskan ke dalam
bentuk
1
𝑦
𝑑𝑦 = −𝑃(𝑥)𝑑𝑥.
dengan u(x) akan ditentukan kemudian. Bentuk penyelesaian khusus yk pada (2.30)
serupa dengan penyelesaian homogen yh pada (2.29), kecuali konstanta integrasi C pada
(2.29) digantikan oleh fungsi u(x) pada (2.30). Dengan melakukan subtitusi (2.30) ke
(2.26), diperoleh
𝑑[𝑢𝑒 − ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ]
𝑑𝑥
+ 𝑃(𝑥)𝑢𝑒 − ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑓(𝑥), atau
𝑑𝑢 𝑑𝑢
𝑒 − ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 𝑑𝑥 = 𝑓(𝑥), sehingga 𝑑𝑥 = 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 𝑓(𝑥).
Akibatnya, 𝑢(𝑥) = ∫ 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥. Oleh karena itu, penyelesaian khusus yk
berbentuk
Dengan demikian, penyelesaian umum persamaan diferensial biasa linear orde satu
pada (2.26) diberikan oleh
Formula umum pada (2.32) tidak perlu dihafalkan oleh para mahasiswa. Proses
terpenting adalah pemahaman terhadap prosedur penyelesaian persamaan diferensial
(1) Tentukan faktor integral pada persamaan diferensial (2.26), yaitu 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 .
(2) Kalikan kedua ruas (2.26) dengan faktor integral 𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 , sehingga diperoleh
bentuk persamaan
𝑑[𝑦𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 ]
𝑑𝑥
= 𝑓(𝑥)𝑒 ∫ 𝑃(𝑥)𝑑𝑥 . (2.33)
(3) Integralkan kedua ruas persamaan diferensial pada (2.33) terhadap x, sehingga
dapat diperoleh penyelesaian umum persamaan diferensial tersebut.
(a) y ′ + 2y = 4.
Penyelesaian:
𝑑𝑦 𝑑�𝑦𝑒 2𝑥 �
𝑒 2𝑥 𝑑𝑥 + 2𝑒 2𝑥 𝑦 = 4𝑒 2𝑥 , atau 𝑑𝑥
= 4𝑒 2𝑥 .
2
Fungsi f, dengan f(x) = 𝑒 −𝑥 merupakan fungsi kontinu pada himpunan semua
bilangan real. Akan tetapi, integral fungsi f tersebut bukan fungsi elementer. Dengan
−𝑢2 �
𝑥 𝑑�𝑦𝑒 𝑥 2 2 𝑥 2
∫𝑢=0 𝑑𝑢 𝑑𝑢 = ∫𝑢=0 𝑒 −𝑢 𝑑𝑢 atau 𝑦(𝑢)𝑒 −𝑢 |0𝑥 = ∫𝑢=0 𝑒 −𝑢 𝑑𝑢.
Latihan 2.5.
Tentukan penyelesaian umum pesamaan diferensial berikut.
𝑑𝑦
(1) 𝑑𝑥
+ 3𝑦 = 0.
𝑑𝑦
(2) 𝑑𝑥
+ 2𝑦 = 𝑥 + 2.
𝑑𝑦
(3) 𝑑𝑥
+ 2𝑥𝑦 = 𝑥 2 .
𝑑𝑦
(4) 𝑥 𝑑𝑥 + 2𝑥𝑦 = 𝑥 2 + 1.
𝑑𝑦
(5) 𝑑𝑥
= 𝑦 + 𝑥 2 + 𝑥 + 1.
𝑑𝑦
(6) 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑦 + 𝑥 2 sin 𝑥 + 𝑥 2 cos 𝑥.
𝑑𝑦
(7) 𝑥 𝑑𝑥 = 𝑦 + 1.
2. 6. Persamaan Bernoulli
𝑧 = 𝑦1−𝑛 . (2.35)
dy
x + y = x2y3 .
dx
Penyelesaian:
𝑑𝑦 1
+ 𝑦 = 𝑥𝑦 3 .
𝑑𝑥 𝑥
𝑑𝑦 1 𝑑𝑧
Dengan melakukan subtitusi 𝑦 = 𝑧 −1/2 dan 𝑑𝑥
= − 2 𝑧 −3/2 𝑑𝑥 ke dalam persamaan
Bernoulli, diperoleh
1 𝑑𝑧 1 𝑑𝑧 2
− 2 𝑧 −3/2 𝑑𝑥 + 𝑥 𝑧 −1/2 = 𝑥𝑧 −3/2 , atau 𝑑𝑥 − 𝑥 𝑧 = −2𝑥.
𝑑𝑧 2 2 𝑑�𝑧𝑥 −2 � 2
𝑥 −2 𝑑𝑥 − 𝑥 3 𝑧 = − 𝑥, atau 𝑑𝑥
= − 𝑥.
Latihan 2.6.
Tentukan penyelesaian umum persamaan diferensial berikut dengan memilih subtitusi
yang tepat.
𝑑𝑦 1
(1) 𝑥 𝑑𝑥 + 𝑥𝑦 = 𝑦2
.
𝑑𝑦 1
(2) 𝑥 𝑑𝑥 − 𝑥𝑦 = 𝑦2
.
𝑑𝑦
(3) 𝑑𝑥
+ 𝑦 = 𝑒 𝑥 𝑦2.
𝑑𝑦
(4) 𝑑𝑥
+ 𝑥𝑦 = 𝑒 𝑥 𝑦 2 .
𝑑𝑦
(5) 𝑑𝑥
− 𝑦(𝑥𝑦 3 − 1) = 0.
𝑑𝑦
(6) 𝑥 𝑑𝑥 + (1 + 𝑥)𝑦 = 𝑥𝑦 2 .
𝑑𝑦
(7) 𝑑𝑥
− (1 + 𝑥)𝑦 = 𝑥𝑦 3 .
𝑑𝑦
(8) 𝑑𝑥
− 𝑦 = 𝑒 𝑥 𝑦2.
Tentukan penyelesaian persamaan diferensial berikut dengan nilai awal yang diberikan
𝑑𝑦
(9) 𝑥 2 𝑑𝑥 − 2𝑥𝑦 = 𝑦 3 , 𝑦(1) = 1.
𝑑𝑦
(10) 𝑦1/2 𝑑𝑥 + 𝑦 3/2 = 1, 𝑦(0) = 1.
Persamaan diferensial biasa orde dua disebut linear jika (3.1) dapat dituliskan ke
dalam bentuk
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
𝑎(𝑥) 𝑑𝑥 2 + 𝑏(𝑥) 𝑑𝑥 + 𝑐(𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥), 𝑎(𝑥) ≠ 0. (3.2)
Jika persamaan diferensial biasa orde dua tidak dapat dituliskan ke dalam bentuk (3.2),
maka persamaan diferensial biasa tersebut dikatakan tidak linear. Jika pada (3.2)
𝑔(𝑥) = 0, maka persamaan diferensial yang diperoleh dinamakan persamaan
diferensial linear ode dua homogen. Jika 𝑔(𝑥) ≠ 0, maka (3.2) merupakan persamaan
diferensial linear orde dua tak homogen.
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
Tentukan penyelesaian: 𝑎(𝑥) 𝑑𝑥 2 + 𝑏(𝑥) 𝑑𝑥 + 𝑐(𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥), 𝑎(𝑥) ≠ 0. (3.3)
Teorema berikut memberikan syarat cukup agar masalah nilai awal pada
persamaan diferensial linear orde dua yang diberikan dalam (3.3)-(3.4) mempunyai
penyelesaian tunggal (tepat satu penyelesaian).
dengan 𝑎(𝑥) = 1, 𝑏(𝑥) = 0, 𝑐(𝑥) = −1, 𝑔(𝑥) = 𝑥. Hipotesis Teorema 3.1 terpenuhi
karena a(x), b(x), c(x) dan g(x) merupakan fungsi kontinu pada himpunan bilangan real,
dan a(x) ≠ 0 untuk setiap bilangan real. Akibatnya, persamaan diferensial dengan nilai
awal 𝑦 ′′ − 𝑦 = 𝑥, 𝑦(0) = 2, 𝑦 ′ (0) = −1 mempunyai penyelesaian tunggal, yaitu
𝑦 = 𝑒 𝑥 + 𝑒 −𝑥 − 𝑥.
ada (terdefinisi).
Penyelesaian:
𝑑2 𝑡 𝑑𝑦
Persamaan diferensial tersebut berbentuk 𝑎(𝑡) 𝑑𝑡 2 + 𝑏(𝑡) 𝑑𝑡 + 𝑐(𝑡)𝑦 = 𝑔(𝑡) dengan
𝑎(𝑡) = (𝑡 2 − 3𝑡), 𝑏(𝑡) = 𝑡, 𝑐(𝑡) = −(𝑡 + 1), 𝑔(𝑡) = 0. Misalkan 𝐵⊆𝑅 merupakan
interval buka terpanjang sehingga persamaan diferensial tersebut mempunyai
penyelesaian. Telah diketahui bahwa 1 ∈ 𝐵, yaitu interval buka B memuat nilai t = 1.
Fungsi b(t), c(t), dan g(t) kontinu pada himpunan bilangan real R, sehingga b(t), c(t),
dan g(t) juga kontinu pada interval buka 𝐵 ⊆ 𝑅. Agar hipotesis Teorema 3.1 terpenuhi,
maka 𝑎(𝑡) = (𝑡 2 − 3𝑡) = 𝑡(𝑡 − 3) ≠ 0, atau 𝑡 ≠ 0 dan 𝑡 ≠ 3. Ada tiga kemungkinan
interval buka sehingga 𝑎(𝑡) = 𝑡(𝑡 − 3) ≠ 0, yaitu:
Interval buka yang memuat nilai t = 1 adalah interval (ii), sehingga interval buka
terpanjang yang menjamin keberadaan solusi persamaan diferensial tersebut adalah
𝐵 = (0,3) = {𝑡 ∈ 𝑅: 0 < 𝑡 < 3}.
Tipe lain yang berhubungan dengan persamaan diferensial biasa orde dua atau
orde yang lebih tinggi adalah masalah syarat batas. Berikut merupakan contoh bentuk
masalah syarat batas untuk persamaan diferensial linear orde dua.
𝑑2 𝑦 𝑑𝑦
Tentukan penyelesaian: 𝑎(𝑥) 𝑑𝑥 2 + 𝑏(𝑥) 𝑑𝑥 + 𝑐(𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥), 𝑎(𝑥) ≠ 0. (3.5)
Misalkan persamaan diferensial (3.5) tersebut terdefinisi pada suatu interval buka
𝐵 ⊆ 𝑅 . Perhatikan bahwa grafik penyelesaian persamaan diferensial pada (3.5)
diketahui melalui titik (α, y0) dan (β, y1) dengan 𝛼, 𝛽 ∈ 𝐵.
Selain (3.6), syarat batas untuk persamaan diferensial (3.5) dapat berbentuk
Meskipun kondisi pada Teorema 3.1. terpenuhi, masalah syarat batas pada
persamaan diferensial biasa mungkin mempunyai tepat satu penyelesaian,
mempunyai banyak penyelesaian, atau tidak mempunyai penyelesaian sama
sekali. Hal ini berbeda dengan masalah nilai awal pada persamaan diferensial biasa.
Contoh berikut menunjukkan bahwa masalah syarat batas pada persamaan diferensial
biasa dapat mempunyai tepat satu penyelesaian, banyak penyelesaian, atau tidak
mempunyai penyelesaian.
Contoh 3.3. Pada Modul 1 telah ditunjukkan bahwa 𝑦 = a cos 𝑡 + 𝑏 sin 𝑡 merupakan
satu-satunya penyelesaian dari persamaan diferensial 𝑦̈ + 𝑦 = 0.
(a) Misalkan ingin ditentukan penyelesaian dari persamaan diferensial dengan syarat
batas 𝑦̈ + 𝑦 = 0, 𝑦(0) = 0, 𝑦(𝜋) = 0.
(b) Misalkan ingin ditentukan penyelesaian dari persamaan diferensial dengan syarat
𝜋
batas 𝑦̈ + 𝑦 = 0, 𝑦(0) = 0, 𝑦 �2 � = 2.
dalam 𝑦(𝑡) = 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝑡, diperoleh b = 2. Oleh karena itu, masalah syarat batas
𝜋
𝑦̈ + 𝑦 = 0, 𝑦(0) = 0, 𝑦 �2 � = 2 mempunyai tepat satu penyelesaian, yaitu y = 2 sin
t.
(c) Misalkan ingin ditentukan penyelesaian dari persamaan diferensial dengan syarat
batas 𝑦̈ + 𝑦 = 0, 𝑦(0) = 0, 𝑦(𝜋) = 1.
𝑑2 𝑦1 𝑑𝑦1
𝑎(𝑥) + 𝑏(𝑥) + 𝑐(𝑥)𝑦1 = 0, (3.8)
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥
𝑑2 𝑦2 𝑑𝑦2
dan 𝑎(𝑥) + 𝑏(𝑥) + 𝑐(𝑥)𝑦2 = 0. (3.9)
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥
𝑑2 (𝛼𝑦1 ) 𝑑(𝛼𝑦1 )
𝑎(𝑥) 𝑑𝑥 2
+ 𝑏(𝑥) 𝑑𝑥
+ 𝑐(𝑥)(𝛼𝑦1 ) = 0, (3.10)
𝑑2 (𝛽𝑦2 ) 𝑑(𝛽𝑦2 )
dan 𝑎(𝑥) + 𝑏(𝑥) + 𝑐(𝑥)(𝛽𝑦2 ) = 0. (3.11)
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥
Konsep dasar lain yang terkait dengan persamaan diferensial linear adalah
konsep bebas linear dan bergantung linear.
Pada soal-soal berikut, tentukan Wronskian dari pasangan fungsi yang diberikan.
Tentukan juga apakah pasangan fungsi tersebut bebas linear atau tak bebas linear
(bergantung linear).
1) 𝑓1 (𝑡) = 𝑒 2𝑡 , 𝑓2 (𝑡) = 𝑒 3𝑡 .
2) 𝑓1 (𝑡) = cos 𝑡 , 𝑓2 (𝑡) = sin 𝑡.
3) 𝑓1 (𝑡) = 𝑒 −2𝑡 , 𝑓2 (𝑡) = 𝑡𝑒 −2𝑡 .
4) 𝑓1 (𝑡) = 𝑒 −𝑡 cos 2𝑡 , 𝑓2 (𝑡) = 𝑒 −𝑡 sin 2𝑡.
5) 𝑓1 (𝑥) = cos 2𝑥 − 1 , 𝑓2 (𝑡) = cos 2𝑥 + 1.
Pada soal (6) – (10) berikut, tentukan interval buka terpanjang sehingga persamaan
diferensial dengan nilai awal berikut mempunyai solusi yang diferensiabel (dapat
diturunkan) hingga turunan kedua. Catatan: Jangan mencari solusi dari persamaan
diferensial biasa tersebut.
6) 𝑡𝑦 ′′ + 2𝑦 = 𝑡, 𝑦(1) = 1, 𝑦 ′ (1) = 2.
7) (𝑥 − 1)𝑦 ′′ − 3𝑥𝑦 ′ + 4𝑦 = sin 𝑥 , 𝑦(−2) = 2, 𝑦 ′ (−2) = 1.
8) 𝑡(𝑡 − 4)𝑦 ′′ + 3𝑡𝑦 ′ + 4𝑦 = 1, 𝑦(3) = 0, 𝑦 ′ (3) = 1.
9) 𝑦 ′′ + (cos 𝑡) 𝑦 ′ + (ln|𝑡|)𝑦 = 0, 𝑦(1) = 1, 𝑦 ′ (1) = 0.
10) (𝑥 − 4)𝑦 ′′ + 𝑥𝑦 ′ + (ln |𝑥|) 𝑦 = 0, 𝑦(2) = 0, 𝑦 ′ (2) = 1.
11) Jika wronskian 𝑊(𝑓, 𝑔) = 3𝑒 4𝑡 , 𝑓(𝑡) = 𝑒 2𝑡 , maka tentukan g(t).
12) Jika wronskian 𝑊(𝑓, 𝑔) = 𝑡 2 𝑒 𝑡 , 𝑓(𝑡) = 𝑡, maka tentukan g(t).
Penyelesaian umum persamaan diferensial linear orde satu pada (3.14) adalah
𝑦 = 𝐶𝑒 −𝑏𝑥/𝑎 , dengan C konstanta real sebarang.
yaitu:
(1) Akar-akar m1 dan m2 real dan berbeda.
(2) Akar-akar m1 dan m2 merupakan bilangan real sama (akar kembar).
(3) Akar-akar m1 dan m2 merupakan bilangan kompleks sekawan (konjugat).
Misalkan akar-akar (3.15) merupakan bilangan real berbeda (m1 ≠ m2), maka
𝑦1 = 𝑒 𝑚1 𝑥 dan 𝑦2 = 𝑒 𝑚2 𝑥 merupakan fungsi-fungsi yang bebas linear. Wronskian dari
𝑦1 = 𝑒 𝑚1 𝑥 dan 𝑦2 = 𝑒 𝑚2 𝑥 adalah
𝑒 𝑚1 𝑥 𝑒 𝑚2 𝑥
𝑊(𝑒 𝑚1 𝑥 , 𝑒 𝑚2 𝑥 ) = � � = (𝑚2 − 𝑚2 )𝑒 (𝑚2 +𝑚2 )𝑥 .
𝑚1 𝑒 𝑚1 𝑥 𝑚2 𝑒 𝑚2 𝑥
Karena m1 ≠ m2, maka untuk setiap bilangan real x, 𝑊(𝑒 𝑚1 𝑥 , 𝑒 𝑚2 𝑥 ) ≠ 0. Akibatnya,
𝑦1 = 𝑒 𝑚1 𝑥 dan 𝑦2 = 𝑒 𝑚2 𝑥 merupakan penyelesaian persamaan diferensial (3.13) yang
bebas linear. Oleh karena itu, penyelesaian umum persamaan diferensial (3.13) adalah
𝑦 = 𝐶1 𝑒 𝑚1 𝑥 + 𝐶2 𝑒 𝑚2 𝑥 , (3.16)
dengan C1 dan C2 konstanta real sebarang.
Misalkan akar-akar (3.15) merupakan akar real kembar (m1 = m2 = α), maka
hanya diperoleh satu penyelesaian persamaan diferensial (3.13), yaitu 𝑦1 = 𝑒 𝛼𝑥 dengan
−𝑏
𝛼= 2𝑎
. Mengingat (3.13) merupakan persamaan diferensial linear, maka penyelesaian
lain persamaan diferensial (3.13) yang bebas linear dengan y1 dapat diperoleh melalui
disederhanakan menjadi
𝑢′′ (𝑥) = 0. (3.19)
Penyelesaian umum dari (3.19) adalah u(x) = A + Bx, untuk sebarang konstanta real A
dan B. Dengan memilih A = 0, B = 1 atau u(x) = x, maka diperoleh
𝑦2 = 𝑥𝑒 𝛼𝑥
sebagai penyelesaian lain dari persamaan diferensial (3.13). Wronskian dari 𝑦1 =
𝑒𝑚𝑥 dan 𝑦2=𝑥𝑒𝛼𝑥 adalah
𝑒 𝛼𝑥 𝑥𝑒 𝛼𝑥
𝑊(𝑒 𝛼𝑥 , 𝑒 𝛼𝑥 ) = � 𝛼𝑥 � = 𝑒 𝛼𝑥 ≠ 0.
𝛼𝑒 𝑒 𝛼𝑥 (1 + 𝛼𝑥)
Akibatnya, 𝑦1 = 𝑒 𝑚𝑥 dan 𝑦2 = 𝑥𝑒 𝛼𝑥 merupakan penyelesaian persamaan diferensial
(3.13) yang bebas linear. Oleh karena itu, penyelesaian umum persamaan diferensial
(3.13) adalah
𝑦 = 𝐶1 𝑒 𝛼𝑥 + 𝐶2 𝑥𝑒 𝛼𝑥 , (3.20)
dengan C1 dan C2 konstanta real sebarang.
(a) 2𝑦 ′′ + 3𝑦 ′ − 2𝑦 = 0.
(b) 𝑦 ′′ + 2𝑦 ′ + 𝑦 = 0.
(c) 𝑦 ′′ + 4𝑦 ′ + 5𝑦 = 0, 𝑦(0) = 2, 𝑦 ′ (0) = 1.
Penyelesaian:
(a) Persamaan karakteristik pada persamaan diferensial tersebut adalah
2𝑚2 + 3𝑚 − 2 = (2𝑚 − 1)(𝑚 + 2) = 0. Akar-akar persamaan karakteristik
1
adalah 𝑚1 = 2 dan 𝑚2 = −2. Oleh karena itu, penyelesaian umum persamaan
Pada soal – soal berikut, tentukan penyelesaian umum persamaan diferensial berikut.
(1) 𝑦 ′′ − 9𝑦 = 0.
(2) 𝑦 ′′ − 4𝑦 ′ + 3𝑦 = 0.
(3) 𝑦 ′′ + 4𝑦 ′ + 4𝑦 = 0.
(4) 𝑦 ′′ + 4𝑦 ′ + 5𝑦 = 0.
(5) 𝑦 ′′ + 4𝑦 = 0.
(6) 𝑦 ′′ + 2𝑦 ′ + 4𝑦 = 0.
Pada soal-soal berikut, tentukanlah penyelesaian persamaan diferensial dengan syarat
awal yang diberikan.
(7) 𝑦 ′′ + 9𝑦 = 0, 𝑦(0) = 1, 𝑦 ′ (0) = −3 .
𝑑2 𝑦 𝜋 𝜋
(8) 𝑑𝜃2 + 𝑦 = 0, 𝑦 �4 � = 2, 𝑦 ′ �4 � = 0.
Bukti:
Mengingat Y1 dan Y2 merupakan penyelesaian persamaan diferensial linear tak
homogen pada (3.21), maka
𝑌1′′ + 𝑝(𝑥)𝑌1′ + 𝑞(𝑥)𝑌1 = 𝑔(𝑥)
dan
𝑌2′′ + 𝑝(𝑥)𝑌2′ + 𝑞(𝑥)𝑌2 = 𝑔(𝑥).
Akibatnya,
(𝑌1 − 𝑌2 )′′ + 𝑝(𝑥)(𝑌1 − 𝑌2 )′ + 𝑞(𝑥)(𝑌1 − 𝑌2 ) = 0.
Oleh karena itu, 𝑌1 − 𝑌2 merupakan penyelesaian persamaan diferensial linear homogen
pada (3.23).
Selanjutnya, jika y1 dan y2 merupakan penyelesaian yang bebas linear dari
(3.23), maka setiap penyelesaian persamaan diferensial linear homogen pada (3.23)
merupakan kombinasi linear dari y1 dan y2. Oleh karena itu, terdapat konstanta c1 dan
c2 sehingga 𝑌1 − 𝑌2 = 𝑐1 𝑦1 + 𝑐2 𝑦2 . ∎
Teorema 3.7. Penyelesaian persamaan diferensial linear tak homogen
Penyelesaian umum persamaan diferensial linear tak homogen pada (3.22) dapat
ditulis ke dalam bentuk
𝑦 = 𝑐1 𝑦1 (𝑥) + 𝑐2 𝑦2 (𝑥) + 𝑌𝑝 (𝑥)
(a) 𝑦 ′′ + 3𝑦 ′ + 2𝑦 = 𝑒 −3𝑥 + 𝑥 2 + 1.
(b) 𝑦 ′′ + 2𝑦 ′ + 𝑦 = 𝑥 sin 𝑥.
(c) 𝑦 ′′ + 4𝑦 ′ + 3𝑦 = 𝑒 −3𝑥 .
Penyelesaian:
(a) Persamaan diferensial linear homogen yang bersesuaian adalah
𝑦 ′′ + 3𝑦 ′ + 2𝑦 = 0.
Oleh karena itu, penyelesaian umum persamaan diferensial linear tak homogen
pada Contoh 3.5.(b) tersebut adalah
Oleh karena itu, penyelesaian umum persamaan diferensial linear tak homogen
pada Contoh 3.5.(c) tersebut adalah
1
𝑦 = 𝑦ℎ + 𝑦𝑝 = 𝐶1 𝑒 −𝑥 + 𝐶2 𝑒 −3𝑥 − 𝑥𝑒 −3𝑥 ,
2
dengan C1 dan C2 konstanta real sebarang.
Latihan 3.3.
Pada soal – soal berikut, tentukan penyelesaian umum persamaan diferensial berikut.
(1) 𝑦 ′′ − 4𝑦 = 𝑥 − 4.
(2) 𝑦 ′′ + 4𝑦 ′ + 4𝑦 = 𝑥𝑒 −𝑥 .
(3) 𝑦 ′′ + 3𝑦 ′ = 1 + sin 𝑥 𝑒 −𝑥 .
(4) 𝑦 ′′ + 5𝑦 ′ + 6𝑦 = 𝑥 cos 𝑥.
1
(5) 𝑦 ′′ + 4𝑦 = cosh 𝑥. Catatan cosh 𝑥 = 2 (𝑒 𝑥 + 𝑒 −𝑥 ).
1
(6) 𝑦 ′′ − 𝑦 ′ − 6𝑦 = sinh 3𝑥. Catatan sinh 𝑥 = 2 (𝑒 𝑥 − 𝑒 −𝑥 ).
dan
𝑦 0
� 1′ � 𝑦1 𝑔(𝑥)
′ 𝑦1 𝑔(𝑥)
𝑢2 = 𝑦 𝑦 = .
1 2
�𝑦 ′ 𝑦 ′ � 𝑊(𝑦 1 , 𝑦2 )
1 2
Fungsi - fungsi 𝑢1 dan 𝑢2 diperoleh dengan mengintegralkan 𝑢1′ dan 𝑢2′ . Nilai Wronskian
𝑊(𝑦1 , 𝑦2 ) tidak sama dengan nol karena 𝑦1 dan 𝑦2 merupakan fungsi-fungsi yang bebas
linear.
Contoh 3.6. Tentukan penyelesaian umum persamaan diferensial
3
4𝑦 ′′ + 9𝑦 = 2 csc � 𝑥�.
2
Penyelesaian:
Persamaan homogen untuk persamaan diferensial tersebut adalah
4𝑦 ′′ + 9𝑦 = 0.
Persamaan karakteristik yang sesuai dengan persamaan diferensial homogen tersebut
3
adalah 4𝑚2 + 9 = 0, dengan akar-akar persamaan 𝑚12 = ± 2 𝑖. Akibatnya, penyelesaian
dan
3
cos �2 𝑥� 0
� 3 3 1 3
� 1 3 3
− 2 sin �2 𝑥� 2
csc �2 𝑥� csc �2 𝑥� cos �2 𝑥� 1 3
2
𝑢2′ = = 3 = cot � 𝑥�.
cos � 𝑥�
3
sin �2 𝑥�
3 3 2
2
� 3 23 3 3
�
− 2 sin �2 𝑥� 2
cos �2 𝑥�
Latihan 3.4.
Pada soal – soal berikut, tentukan penyelesaian umum persamaan diferensial berikut.
(1) 𝑦 ′′ + 2𝑦 ′ + 𝑦 = 3𝑒 −𝑥 .
(2) 𝑦 ′′ − 𝑦 ′ − 2𝑦 = 4𝑒 −𝑥 .
(3) 𝑦 ′′ + 𝑦 = tan 𝑥 + sin x.
(4) 𝑦 ′′ + 4𝑦 ′ + 4𝑦 = 𝑥 2 𝑒 −2𝑥 .
Misalkan akar-akar (3.37) merupakan bilangan real berbeda (m1 ≠ m2), maka
𝑦1 = 𝑥 𝑚1 dan 𝑦2 = 𝑥 𝑚2 merupakan fungsi-fungsi yang bebas linear. Wronskian dari
𝑦1 = 𝑥 𝑚1 dan 𝑦2 = 𝑥 𝑚2 adalah
𝑥 𝑚1 𝑥 𝑚2
𝑊(𝑥 𝑚1 , 𝑥 𝑚2 ) = � � = (𝑚2 − 𝑚2 )𝑥 𝑚2 +𝑚2 −1 .
𝑚1 𝑥 𝑚1 −1 𝑚2 𝑥 𝑚2 −1
Karena m1 ≠ m2, maka untuk setiap bilangan real x tak nol, 𝑊(𝑥 𝑚1 , 𝑥 𝑚2 ) ≠ 0. Akibatnya,
𝑦1 = 𝑥 𝑚1 dan 𝑦2 = 𝑥 𝑚2 merupakan penyelesaian persamaan Cauhy-Euler orde
homogen pada (3.36) yang bebas linear. Oleh karena itu, penyelesaian umum
persamaan Cauchy-Euler (3.36) adalah
𝑦 = 𝐶1 𝑥 𝑚1 + 𝐶2 𝑥 𝑚2 , (3.38)
dengan C1 dan C2 konstanta real sebarang.
Misalkan akar-akar (3.15) merupakan akar real kembar (m1 = m2 = α), maka
hanya diperoleh satu penyelesaian persamaan Cauchy-Euler pada (3.36), yaitu 𝑦1 = 𝑥 𝛼
𝑎−𝑏
dengan 𝛼 = 2𝑎
. Mengingat (3.36) merupakan persamaan diferensial linear, maka
penyelesaian lain persamaan diferensial (3.36) yang bebas linear dengan y1 dapat
diperoleh melalui reduksi orde persamaan diferensial. Misalkan y2 merupakan
Latihan 3.5.
Pada soal – soal berikut, tentukan penyelesaian umum persamaan diferensial berikut.
(1) 𝑥 2 𝑦 ′′ − 6𝑦 = 0.
(2) 𝑥 2 𝑦 ′′ − 𝑥𝑦′ + 𝑦 = 0.
(3) 𝑥𝑦 ′′ + 2𝑦′ = 0.
(4) 4𝑥 2 𝑦 ′′ − 8𝑥𝑦′ + 9𝑦 = 0.
(5) 𝑥 2 𝑦 ′′ − 3𝑥𝑦 ′ + 3𝑦 = 0.
(6) 𝑥 2 𝑦 ′′ + 7𝑥𝑦 ′ + 8𝑦 = 0.
(7) 𝑥𝑦 ′′ − 3𝑦′ = 𝑥 3 .
(8) 2𝑥 2 𝑦 ′′ + 5𝑥𝑦 ′ + 𝑦 = 𝑥 2 + 𝑥.
(9) 𝑥 2 𝑦 ′′ − 𝑥𝑦 ′ + 𝑦 = 4𝑥 + 1.
(10) 𝑥 2 𝑦 ′′ + 𝑥𝑦 ′ − 𝑦 = 2𝑥 + ln 𝑥.
Pada (4.1), K(t,s) merupakan kernel pada transformasi integral T tersebut. Untuk kasus
khusus dengan a = 0, b = ∞, dan 𝐾(𝑡, 𝑠) = 𝑒 −𝑠𝑡 , maka transformasi integral pada (4.1)
merupakan transformasi Laplace atas fungsi f. Dengan demikian, transformasi Laplace
atas fungsi f didefinisikan sebagai
∞
F(s) = L{f(t)} ∶= ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 . (4.2)
Jika nilai limit pada ruas kanan (4.3) ada, maka integral pada ruas kanan (4.3) dikatakan
konvergen ke suatu nilai. Jika tidak demikian, maka integral pada ruas kanan (4.3)
dikatakan divergen. Berikut sebuah contoh integral tak wajar dari suatu fungsi.
Dengan menggunakan definisi transformasi Laplace pada (4.2), dapat diperoleh hasil-
hasil seperti pada contoh berikut.
Bukti:
Diambil sebarang fungsi f dan g, dengan L{f}, L{g} terdefinisi, dan diambil sebarang
bilangan real α.
∞ ∞ ∞
(i). 𝐿{𝑓 + 𝑔} = ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 [𝑓(𝑡) + 𝑔(𝑡)]𝑑𝑡 = ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 + ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝑔(𝑡)𝑑𝑡 . Akibatnya
𝐿{𝑓 + 𝑔} = 𝐿{𝑓} + 𝐿{𝑔}.
∞ ∞
(ii). 𝐿{𝛼𝑓} = ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝛼𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝛼 ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 = 𝛼𝐿{𝑓}. ∎
Selanutnya, teorema berikut menyajikan sifat hasil transformasi Laplace dari
fungsi kontinu bagian demi bagian dan berorde eksponensial.
Bukti:
Diambil sebarang fungsi f yang kontinu bagian demi bagian dan berorde eksponensial.
Karena f berorde eksponensial, maka terdapat konstanta real b, K dan N sehingga untuk
setiap t ≥ N, |𝑓(𝑡)| ≤ 𝐾𝑒 𝑏𝑡 .
Selain itu, karena f kontinu bagian demi bagian, khususnya kontinu bagian demi bagian
pada interval [0,N], maka f fungsi terbatas pada interval [0,N]. Akibatnya, terdapat
Akibatnya,
𝑀 −𝑀 𝑀
lim |𝐹(𝑠)| ≤ lim 𝑠−𝑎 = 0, atau lim 𝑠−𝑎 ≤ lim 𝐹(𝑠) ≤ lim 𝑠−𝑎.
𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠→∞
−𝑀 𝑀 −𝑀 𝑀
Karena lim 𝑠−𝑎 = 0, lim 𝑠−𝑎 = 0 dan 0 = lim 𝑠−𝑎 ≤ lim 𝐹(𝑠) ≤ lim 𝑠−𝑎 = 0 , maka
𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠→∞
Berikut diberikan sebuah contoh penentuan transformasi Laplace dari suatu fungsi
yang kontinu bagian demi bagian pada interval [0, ∞).
Contoh 4.5. Tentukan transformasi Laplace dari fungsi f :[0,∞) → R, dengan f(t)
0, 0 ≤ 𝑡 < 2
diberikan oleh 𝑓(𝑡) = � .
1, 𝑡 ≥ 2
∞ 𝟐 𝑳
−𝒔𝒕 −𝒔𝒕
𝟏 −𝒔𝒕 𝑳 𝒆−𝟐𝒔
𝑳{𝒇} = � 𝒆 𝒇(𝒕)𝒅𝒕 = � 𝟎 𝒅𝒕 + 𝒍𝒊𝒎 � 𝒆 𝒅𝒕 = 𝒍𝒊𝒎 − 𝒆 | = .
𝑳→∞ 𝑳→∞ 𝒔 𝟐 𝒔
𝟎 𝟎 𝟐
Latihan 4.1.
Dalam bidang teknik, seringkali ditemui fungsi-fungsi dalam bentuk “off” dan “on”.
Sebagai contoh, gaya luar yang bekerja pada suatu sistem mekanik atau suatu beda
tegangan pada suatu rangkaian listrik dapat diset pada posisi “off” setelah periode
waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan bidang matematika, untuk memudahkan
penulisan, didefinisikan suatu fungsi khusus yang bernilai nol (“off”) sampai dengan
waktu tertentu dan kemudian bernilai satu (“on”) setelah waktu tertentu tersebut.
Fungsi yang demikian disebut dengan fungsi tangga satuan (unit step function) atau
fungsi Heaviside.
Definisi 4.5. Fungsi tangga satuan
Fungsi tangga satuan U(t – a) didefinisikan sebagai
0, 0 ≤ 𝑡 < 𝑎
𝑈(𝑡 − 𝑎) = �
1, 𝑡 > 𝑎.
a t
Bukti:
𝐿{𝑓(𝑡 − 𝑎)𝑈(𝑡 − 𝑎)} = � 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓(𝑡 − 𝑎)𝑑𝑡 = 𝑒 −𝑎𝑠 � 𝑒 −𝑠𝑣 𝑓(𝑣)𝑑𝑣 = 𝑒 −𝑎𝑠 𝐹(𝑠). ∎
𝑡=𝑎 𝑣=0
𝐿{𝑔(𝑡)𝑈(𝑡 − 𝑎)} = � 𝑒 −𝑠𝑡 𝑔(𝑡)𝑑𝑡 = 𝑒 −𝑎𝑠 � 𝑒 −𝑠(𝑣+𝑎) 𝑔(𝑣 + 𝑎)𝑑𝑣 = 𝑒 −𝑎𝑠 𝐿{𝑔(𝑡 + 𝑎)}.
𝑡=𝑎 𝑣=0
Akibatnya, teorema 4.6 dapat dituliskan dalam bentuk alternative seperti yang
diberikan pada teorema 4.7 berikut.
Latihan 4.2.
Bukti:
Diketahui bahwa 𝑓 ′ kontinu bagian demi bagian. Misalkan {t1, t2, …, tn} merupakan titik-
titik dimana 𝑓 ′ tak kontinu. Perhatikan integral
𝐴 𝑡 𝑡 𝐴
∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓 ′ (𝑡)𝑑𝑡 = ∫0 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓 ′ (𝑡)𝑑𝑡 + ∫𝑡 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓 ′ (𝑡)𝑑𝑡 + ⋯ + ∫𝑡 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓 ′ (𝑡)𝑑𝑡.
1 2
1 𝑛
lim � 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓 ′ (𝑡)𝑑𝑡 = 𝑠 lim � 𝑒 −𝑠𝑡 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 + lim 𝑒 −𝑠𝐴 𝑓(𝐴) − 𝑓(0),
𝐴→∞ 𝐴→∞ 𝐴→∞
0 0
atau
𝐿{𝑓 ′ } = 𝑠𝐿{𝑓} − 𝑓(0). ∎
Dengan cara serupa, dapat diperoleh teorema berikut.
Teorema 4.9. Bentuk yang lebih umum untuk transformasi Laplace dari
turunan suatu fungsi
Latihan 4.3.
(𝑠+1)3
3) 𝐿−1 � �
𝑠5
(𝑠+1)2
4) 𝐿−1 � �
𝑠4
3
5) 𝐿−1 � �
2𝑠+1
2𝑠−1
6) 𝐿−1 � �
4𝑠 2 +9
2𝑠+1
7) 𝐿−1 � �
(𝑠+1)(𝑠−1)
2
8) 𝐿−1 � �
𝑠 2 +2𝑠
𝑠+2
9) 𝐿−1 � �
𝑠 2 −4𝑠
3
10) 𝐿−1 �𝑠2 +𝑠−12�
2𝑠
11) 𝐿−1 � �
𝑠 2 +2𝑠−8
2𝑠+5
12) 𝐿−1 � �
𝑠 2 (𝑠 2 +𝑠−6)
𝑠 2 +5
13) 𝐿−1 � �
𝑠 2 (𝑠 2 +1)
𝑠+1
14) 𝐿−1 � �
(𝑠 2 +1)(𝑠+1)
s2
15) L−1 �(s2 +4)(s−1)�
Prosedur penyelesian persamaan diferensial linear dengan nilai awal pada (4.4)
menggunakan transformasi Laplace adalah sebagai berikut:
(1) Tentukan fungsi y(t) yang merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial
biasa linear pada (4.4).
(2) Lakukan transformasi Laplace pada kedua ruas (4.4), diperoleh
𝑑2𝑦 𝑑𝑦
𝐿 �𝑎 2 + 𝑏 + 𝑐𝑦� = 𝐿{𝑔(𝑡)}
𝑑𝑡 𝑑𝑡
atau
dengan Y(s) dan G(s) adalah transformasi Laplace dari y(t) dan g(t).
(3) Tentukan fungsi Y(s) penyelesaian dari persamaan aljabar untuk Y(s) pada (4.5),
yaitu
𝑮(𝒔)+ 𝒂𝒔 𝒚𝟎 +𝒂𝒚𝟏 +𝒃𝒚𝟎
𝒀(𝒔) = . (4.6)
𝒂𝒔𝟐 +𝒃𝒔+𝒄
(4) Penyelesaian persamaan diferensial linear orde dua koefisien konstan diperoleh
dari invers transformasi Laplace Y(s) pada (4.6).
Dengan menggunakan fungsi pecah rasional, fungsi transfer Y(s) dapat ditulis ke
dalam bentuk
3 1 𝑠+2 2 𝑠+2
𝑌(𝑠) = − + = + .
𝑠+2 𝑠+2 (𝑠 2 +4) 𝑠+2 (𝑠 2 +4)
Dengan menggunakan fungsi pecah rasional, fungsi transfer Y(s) dapat ditulis ke
dalam bentuk
−1 1 1 2 1 1 1
𝑌(𝑠) = + + + = + + .
𝑠 + 1 (𝑠 + 1)2 𝑠 + 2 𝑠 + 1 𝑠 + 1 (𝑠 + 1)2 𝑠 + 2
Penyelesaian persamaan diferensial diperoleh dengan mengambil invers
transformasi Laplace dari Y(s), yaitu
1 1 1
𝑦(𝑡) = 𝐿−1 {𝑌(𝑠)} = 𝐿−1 � � + 𝐿−1 � � + 𝐿−1
� �.
𝑠+1 (𝑠 + 1)2 𝑠+2
Penyelesaian persamaan diferensial yang dicari adalah
𝑦(𝑡) = 𝑒 −𝑡 + 𝑡𝑒 −𝑡 + 𝑒 −2𝑡 .
Pendahuluan
Pada bagian ini akan disajikan beberapa model matematika yang berbentuk
suatu persamaan diferensial biasa linear orde koefisien konstan dengan kondisi awal
yaitu pada saat t = 0, diketahui. Model matematika ini dapat dituliskan dengan
𝑑2𝑦 𝑑𝑦
𝑎 +𝑏 + 𝑐𝑦 = 𝑔(𝑡), 𝑦(0) = 𝑦0 , 𝑦 ′ (0) = 𝑦1 . (5.1)
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡
Pada (5.1), fungsi g(t) dinamakan fungsi input, fungsi penggerak (driving function), atau
fungsi gaya (forcing function), sedangkan penyelesaian persamaan diferensial y(t)
dinamakan output atau fungsi respon (response function) dari sistem yang dimodelkan
dalam persamaan diferensial (5.1) tersebut.
5.1. Gerak pada Sistem Massa Pegas
Gambar 5.1. Ilustrasi pegas elastis dengan beban yang dikaitkan pada ujungnya
𝐹 = −𝑘𝑠, (5.2)
dengan k merupakan konstanta pegas. Tanda minus pada (5.2) menyatakan bahwa gaya
pemulih F berlawanan arah dengan arah regangan pegas (s).
Ketika belum ada beban yang dikaitkan pada ujung pegas, pegas tersebut
mempunyai panjang sebesar 𝑙 (Gambar 5.1 bagian kiri). Setelah suatu beban dengan
massa 𝑚 dikaitkan pada ujung pegas, maka beban tersebut akan meregangkan pegas
sepanjang 𝑠 (Gambar 5.2 bagian tengah). Akibatnya, panjang pegas sebesar 𝑙 + 𝑠, dan
pegas mencapai posisi kesetimbangan baru. Posisi kesetimbangan ini tercapai karena
gaya berat 𝑊 = 𝑚𝑔 diimbangi oleh gaya pemulih pegas 𝐹𝑠 = −𝑘𝑠. Pada kondisi
setimbang,
𝑊 + 𝐹𝑠 = 𝑚𝑔 − 𝑘𝑠 = 0. (5.3)
Jika beban tersebut dipindahkan sejauh 𝑥 dari posisi setimbang (Gambar 5.1 bagian
kanan), maka besarnya gaya pemulih pada pegas sebesar 𝐹𝑠 = −𝑘(𝑠 + 𝑥). Dalam kasus
ini, arah positif didefinisikan sebagai arah ke bawah dan arah negatif merupakan
didefinisikan sebagai arah ke atas.
Dengan asumsi tidak ada gaya penghambat (biasanya berupa gaya gesek) dan
tidak ada gaya luar yang bekerja pada sistem massa-pegas tersebut, maka gaya yang
bekerja hanyalah gaya berat dan gaya pemulih (gaya pegas). Hukum Newton (hukum
yang ditemukan oleh Newton) kedua tentang gerak menyatakan bahwa total gaya
𝐹𝑡 yang bekerja pada suatu benda bermassa 𝑚 akan mengakibatkan percepatan pada
benda tersebut. Secara matematis, hukum Newton kedua tentang gerak dapat dituliskan
dalam bentuk
𝑑2𝑥
𝑚 = 𝐹𝑡 = 𝑚𝑔 − 𝑘(𝑠 + 𝑥) = 𝑚𝑔 − 𝑘𝑠 − 𝑘𝑥 = −𝑘𝑥. (5.4)
𝑑𝑡 2
𝑑2𝑥 𝑘
+ 𝑥 = 0 atau (5.5)
𝑑𝑡 2 𝑚
𝑑2 𝑥
𝑑𝑡 2
+ 𝜔2 𝑥 = 0 (5.6)
𝑘
dengan 𝜔 = �𝑚.
Syarat awal yang sesuai untuk model (5.6) adalah 𝑥(0) = 𝑥0 , 𝑥′(0) = 𝑥1 dengan 𝑥0 dan
𝑥1 berturut-turut menyatakan simpangan awal pegas dan kecepatan awal pegas.
dengan A dan B adalah konstanta yang harus ditentukan dari nilai awal, yaitu
ditentukan dari simpangan awal dan kecepatan awal pegas.
1 𝜔
𝑓= = . (5.9)
𝑇 2𝜋
Bilangan 𝜔 pada (5.6) dan (5.7) dinamakan frekuensi sirkular sistem massa-pegas
tersebut. Bilangan 𝜔 tersebut juga dinamakan frekuensi natural sistem massa-pegas.
𝜔
Sebagian buku teks menyatakan bilangan sebagai frekuensi natural sistem massa-
2𝜋
pegas.
𝐵 𝐴
cos 𝜑 = , sin 𝜑 = . (5.11)
√𝐴2 +𝐵2 √𝐴2 +𝐵2
Contoh 5.1. Suatu beban dengan massa 1 lb (dibaca 1 pound) yang dikaitkan pada
ujung suatu pegas dapat meregangkan pegas tersebut sejauh 12 inch. Pada saat t = 0,
pegas tersebut dilepaskan dari posisi 6 inch di bawah titik kesetimbangan dengan
kecepatan awal ke arah atas sebesar 2 ft/detik. Tentukan model matematika dan
persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut dalam sistem satuan lapangan.
Penyelesaian:
𝑚 = 1 𝑙𝑏.
Besarnya gaya berat 𝑊 = 1 𝑙𝑏𝑓. Gaya berat tersebut dapat meregangkan pegas sejauh
𝑠 = 12 𝑖𝑛 = 1𝑓𝑡. Akibatnya, besarnya konstanta pegas dalam satuan lapangan adalah
1 𝑙𝑏𝑓 𝑙𝑏𝑓
𝑘= =1 .
1𝑓𝑡 𝑓𝑡
Dengan mengambil arah ke bawah sebagai arah positif, diperoleh posisi awal
𝑓𝑡
𝑥(0) = 6 𝑖𝑛 = 0.5 𝑓𝑡 dan kecepatan awal 𝑥 ′ (0) = 2 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. Akibatnya, model mateamtika
𝑑2𝑥 𝑘 𝑑2𝑥
+ 𝑥 = 2 + 𝑥 = 0, 𝑥(0) = 0.5, 𝑥 ′ (0) = 2.
𝑑𝑡 2 𝑚 𝑑𝑡
Dengan demikian, persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut adalah
dengan A dan B ditentukan dari nilai awal. Dengan melakukan subtitusi syarat awal
tersebut, diperoleh 𝐴 = 0.5, 𝐵 = 2. Oleh karena itu, persamaan gerak untuk sistem
massa-pegas tersebut adalah
Grafik persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut disajikan pada Gambar 5.1.
Pada kondisi real, model matematika pada (5.5)-(5.6) merupakan model yang tidak
realistis, karena pada model tersebut diasumsikan tidak ada gaya penghambat yang
bekerja pada beban. Model matematika berbentuk persamaan diferensial pada (5.5)-
(5.6) yang menghasilkan gerak harmonik pada (5.7) dan (5.10) hanya tepat ketika
sistem massa-pegas tersebut tergantung pada ruang hampa. Ketika beban pada sistem
massa-pegas tersebut bergerak, maka ada gaya penghambat akibat gesekan beban
tersebut dengan media di sekitar sistem massa-pegas tersebut.
Gaya gesek atau gaya redaman yang bekerja pada benda diasumsikan sebanding
dengan suatu pangkat dari kecepatan benda tersebut. Dalam modul ini, besarnya gaya
gesek atau gaya redaman yang bekerja pada suatu benda diasumsikan sebanding
𝑑𝑥
dengan kecepatan benda � 𝑑𝑡 � tersebut. Dengan asumsi bahwa tidak ada gaya luar yang
bekerja pada sistem massa-pegas, maka berdasarkan hukum Newton kedua, model
matematika untuk gerak pada sistem massa-pegas tersebut dapat dituliskan sebagai
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥
𝑚 𝑑𝑡 2 = −𝑏 𝑑𝑡 − 𝑘𝑥, (5.12)
pada (5.12) menunjukkan bahwa gaya gesek bekerja berlawanan arah dengan arah
gerak benda. Dengan membagi kedua ruas (5.12) dengan m, diperoleh model
matematika untuk gerak pada sistem massa-pegas dengan adanya redaman dan tanpa
gaya luar adalah
dengan
𝑏 𝑘
𝜆 = 𝑚 , 𝜔 2 = 𝑚. (5.14)
Ada tiga kasus yang berhubungan dengan model matematika pada (5.13), yaitu:
(1) 𝜆2 − 4𝜔2 > 0. Pada keadaan ini, sistem massa-pegas dikatakan dalam kondisi
“teredam lebih” (overdamped) karena koefisien redaman b lebih besar
dibandingkan dengan konstanta pegas k. Penyelesaian persamaan diferensial
pada (5.13) untuk kasus “teredam lebih” (overdamped) adalah
2 −4𝜔2 𝑡 2 −4𝜔2 𝑡
𝑥(𝑡) = 𝑒 −𝜆𝑡 �𝐴𝑒 √𝜆 + 𝐵𝑒 −√𝜆 �. (5.15)
(2) 𝜆2 − 4𝜔2 = 0. Pada keadaan ini, sistem massa-pegas dikatakan dalam kondisi
teredam kritis (critically damped) karena bila terjadi penurunan koefisien
redaman b, maka akan menghasilkan gerakan osilasi pada sistem massa-pegas
tersebut. Penyelesaian persamaan diferensial pada (5.13) untuk kasus teredam
kritis adalah
𝑥(𝑡) = 𝐴𝑒 −𝜆𝑡 + 𝐵𝑡𝑒 −𝜆𝑡 . (5.16)
(3) 𝜆2 − 4𝜔2 < 0. Pada keadaan ini, sistem massa-pegas dikatakan dalam kondisi
“teredam kurang” (underdamped) karena koefisien redaman b lebih kecil
dibandingkan dengan konstanta pegas k. Penyelesaian persamaan diferensial
pada (5.13) untuk kasus “teredam kurang” (underdamped) adalah
2 −4𝜔2 𝑡 2 −4𝜔2 𝑡
𝑥(𝑡) = 𝑒 −𝜆𝑡 �𝐴𝑒 √𝜆 + 𝐵𝑒 −√𝜆 �. (5.17)
Gerak pada sistem massa-pegas pada (5.17) merupakan gerak osilasi. Akan
tetapi, karena adanya suku 𝑒 −𝜆𝑡 , maka amplitude vibrasi (getaran) menuju nol
untuk 𝑡 → ∞.
Contoh 5.2. Misalkan gerak pada suatu sistem massa-pegas dapat dimodelkan ke dalam
suatu persamaan diferensial
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥 𝑚
𝑑𝑡 2
+ 5 𝑑𝑡 + 4𝑥 = 0, 𝑥(0) = 0.1 𝑚, 𝑥 ′ (0) = 0.2 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. (5.18)
a) Berikan interpretasi fisis atas model matematika untuk gerak pada sistem massa-
pegas tersebut dan tentukanlah persamaan gerak yang sesuai untuk sistem tersebut.
Penyelesaian:
a) Model matematika yang berbentuk persamaan diferensial tersebut dapat
diinterpetasikan sebagai gerak “teredam lebih” dari suatu sistem massa-pegas
(suatu beban massa yang dikaitkan pada ujung pegas). Pada saat awal, beban
tersebut dilepaskan pada posisi 10 cm (0.1 di bawah titik kesetimbangan) dengan
kecepatan awal sebesar 20 cm/detik (0.2 m/detik) dengan arah kecepatan ke arah
bawah.
Persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut diperoleh dari penyelesaian
persamaan diferensial, yang berbentuk
𝑥(𝑡) = 0.2𝑒 −𝑡 − 0.1𝑒 −4𝑡 , 𝑡 ≥ 0.
b) Karena 𝑥(𝑡) = 0.2𝑒 −𝑡 − 0.1𝑒 −4𝑡 , maka 𝑥 ′ (𝑡) = −0.2𝑒 −𝑡 + 0.4𝑒 −4𝑡 .
1
Akibatnya nilai t yang memenuhi 𝑥 ′ (𝑡) = 0 adalah 𝑡 = 3 ln 2 ≈ 0.231 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. Untuk
1 1
0 < 𝑡 < 3 ln 2, 𝑥 ′ (𝑡) > 0 dan untuk 𝑡 > 3 ln 2, 𝑥 ′ (𝑡) < 0. Akibatnya simpangan
1
maksimum adalah 𝑥𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑥 �3 ln 2� ≈ 0.119 𝑚.
Grafik persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut disajikan pada Gambar
5.2.
Penyelesaian:
mengambil arah ke bawah sebagai arah positif, diperoleh posisi awal 𝑥(0) = 0 𝑚
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥 𝑚
0.2 𝑑𝑡 2 + 2 𝑑𝑡 + 5𝑥 = 0, 𝑥(0) = 0 𝑚, 𝑥 ′ (0) = 1 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘,
atau
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥 𝑚
𝑑𝑡 2
+ 10 𝑑𝑡 + 25𝑥 = 0, 𝑥(0) = 0 𝑚, 𝑥 ′ (0) = 1 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. (5.19)
𝑥(𝑡) = 𝑡𝑒 −5𝑡 .
b) Karena 𝑥(𝑡) = 𝑡𝑒 −5𝑡 , maka 𝑥 ′ (𝑡) = 𝑒 −5𝑡 (1 − 5𝑡).Akibatnya nilai t yang memenuhi
𝑥 ′ (𝑡) = 0 adalah 𝑡 = 0.2 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. Untuk 0 < 𝑡 < 0.2, 𝑥 ′ (𝑡) > 0 dan untuk 𝑡 > 0.2,
𝑥 ′ (𝑡) < 0. Akibatnya simpangan maksimum tercapai pada saat 𝑡 = 0.2 detik.
Besarnya simpangan maksimum adalah
𝑥𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑥(0.2) ≈ 0.0736 𝑚.
Grafik persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut disajikan pada Gambar
5.3.
Gambar 5.3. Grafik persamaan gerak pada sistem massa-pegas yang memenuhi
persamaan diferensial (5.19).
Contoh 5.4. Suatu beban dengan massa 0.2 kg yang dikaitkan pada ujung suatu pegas
yang mempunyai panjang 100 cm. Pada kondisi setimbang, panjang pegas setelah
mendapat beban adalah 119.6 cm. Pada saat awal, beban massa dilepaskan 10 cm di
bawah kondisi kesetimbangan dengan kecepatan awal sebesar 1 m/det dengan arah ke
bawah. Dengan mengambil percepatan gravitasi bumi sebesar g = 9.8 m/det2 dan
Penyelesaian:
Karena besarnya gaya redaman (gaya gesek) besarnya sama dengan 2 kali kecepatan
𝑁.𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
benda, maka 𝑏 = 2 𝑚
. Dengan mengambil arah ke bawah sebagai arah positif,
𝑚
diperoleh posisi awal 𝑥(0) = 0.1 𝑚 dan kecepatan awal 𝑥 ′ (0) = 1 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. Oleh karena itu,
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥 𝑚
0.2 𝑑𝑡 2 + 2 𝑑𝑡 + 10𝑥 = 0, 𝑥(0) = 0.1 𝑚, 𝑥 ′ (0) = 1 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘,
atau
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥 𝑚
𝑑𝑡 2
+ 10 𝑑𝑡 + 50𝑥 = 0, 𝑥(0) = 0.1 𝑚, 𝑥 ′ (0) = 1 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘. (5.20)
Grafik persamaan gerak untuk sistem massa-pegas tersebut disajikan pada Gambar 5.4.
Misalkan terdapat gaya luar 𝑔(𝑡) yang bekerja pada sistem massa-pegas. Gaya luar
tersebut dapat berupa gaya penggerak yang menyebabkan osilasi dalam arah vertikal
pada tumpuan pegas. Dengan memasukkan adanya gaya luar ke dalam hukum Newton
kedua, diperoleh model matematika yang berbentuk persamaan diferensial
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥
𝑚 𝑑𝑡 2 = −𝑏 𝑑𝑡 − 𝑘𝑥 + 𝑔(𝑡), (5.21)
atau
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥
𝑑𝑡 2
+ 𝜆 𝑑𝑡 + 𝜔2 𝑥 = 𝐹(𝑡), (5.22)
𝑏 𝑘 𝑔(𝑡)
dengan 𝜆 = 𝑚 , 𝜔2 = 𝑚 , 𝐹(𝑡) = 𝑚
.
Contoh 5.5. Misalkan suatu sistem massa-pegas dapat dimodelkan ke dalam persamaan
diferensial berikut
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥
𝑑𝑡 2
+ 2 𝑑𝑡 + 2𝑥 = 0.5 cos 𝑡 , 𝑥(0) = 0.1, 𝑥 ′ (0) = 0.4. (5.23)
Contoh 5.6. Tentukan penyelesaian model matematika gerak harmonik dengan adanya
gaya luar dan tanpa adanya gaya peredam berikut:
𝑑2 𝑥
a) 𝑑𝑡 2
+ 𝜔2 𝑥 = 𝐴 cos 𝛼𝑡 ; 𝐴 > 0, 𝛼 ≠ 𝜔, 𝑥(0) = 𝑥 ′ (0) = 0. (5.24)
𝑑2 𝑥
b) 𝑑𝑡 2
+ 𝜔2 𝑥 = 𝐴 cos 𝜔𝑡 ; 𝐴 > 0, 𝑥(0) = 𝑥 ′ (0) = 0. (5.25)
Penyelesaian:
adalah
𝐴
𝑥(𝑡) = (𝑐𝑜𝑠 𝛼𝑡 − cos 𝜔𝑡 ), 𝛼 ≠ 𝜔.
𝜔2 − 𝛼2
Grafik penyelesaian persamaan diferensial (5.24) untuk parameter 𝜔 = 3, 𝐴 = 𝛼 =
1 disajikan pada Gambar 5.6.
6. 1. Pendahuluan
Beberapa fenomena fisis dalam bidang sains dan rekayasa yang dapat
dimodelkan ke dalam suatu model matematika yang berbentuk sistem persamaan
diferensial biasa orde satu. Sebagai contoh, perhatikan model matematika untuk gerak
sistem massa-pegas dengan adanya gaya peredam dan gaya luar yang berbentuk:
𝑑2 𝑥 𝑑𝑥
𝑑𝑡 2
+ 𝜆 𝑑𝑡 + 𝜔2 𝑥 = 𝐹(𝑡), 𝑥(0) = 𝑎, 𝑥 ′ (0) = 𝑏, (6.1)
dengan 𝑥(𝑡) menyatakan besarnya simpangan beban pada waktu t, diukur dari titik
kesetimbangan. Pada persamaan diferensial (6.1), parameter 𝜆, 𝜔2 , 𝐹 berturut-turut
menyatakan perbandingan koefisien redaman, konstanta pegas dan gaya luar dengan
massa beban. Dengan mendefinisikan variabel-variabel
𝑑𝑥1
𝑥1 = 𝑥, 𝑥2 = 𝑥1̇ =
𝑑𝑡
maka maka model matematika (6.1) dapat dituliskan menjadi sistem persamaan
diferensial biasa orde satu yang berbentuk:
𝑑𝑥1
𝑥1̇ = = 𝑥2 , 𝑥1 (0) = 𝑎
𝑑𝑡
𝑑𝑥2
𝑥2̇ = = 𝐹(𝑡) − 𝜆𝑥1 − 𝜔2 𝑥1 , 𝑥2 (0) = 𝑏. (6.2)
𝑑𝑡
Contoh lain tentang fenomena dalam bidang sains yang dapat dimodelkan ke
dalam sistem persamaan diferensial orde satu adalah dinamika pemangsa dan mangsa
(predator-prey). Misalkan P(t) dan H(t) berturut-turut menyatakan banyaknya
pemangsa dan mangsa pada saat t. Pada tahun 1925, Lotka dan Volterra mengusulkan
model matematika untuk dinamaika pemangsa-mangsa yang berbentuk:
Pada model (6.3), a,b,c,d merupakan parameter yang bernilai positif, sedangkan m dan
n bernilai non negatif. Model pemangsa-mangsa pada (6.3) dikenal dengan nama model
pemangsa-mangsa Lotka-Volterra.
Suatu persamaan diferensial biasa orde n yang berbentuk
𝑦 (𝑛) (𝑡) = 𝐹�𝑡, 𝑦, 𝑦 ′ , … , 𝑦 (𝑛−1) � (6.4)
dapat ditransformasikan menjadi sistem persamaan diferensial biasa orde satu. Dengan
mendefinisikan variabel-variabel
𝑥1 = 𝑦, 𝑥2 = 𝑦 ′ , 𝑥3 = 𝑦 ′′ … , 𝑥𝑛 = 𝑦 (𝑛−1)
maka maka model matematika (6.4) dapat dituliskan menjadi sistem persamaan
diferensial biasa orde satu yang berbentuk:
𝑥1′ = 𝑥2
𝑥2′ = 𝑥3
⋮ (6.5)
′
𝑥𝑛−1 = 𝑥𝑛
′
𝑥𝑛 = 𝐹(𝑡, 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛−1 ).
Sistem persamaan diferensial orde satu pada (6.5) merupakan salah satu bentuk
khusus dari sistem persamaan diferensial orde satu yang mempunyai bentuk umum
Penyelesaian sistem persamaan diferensial biasa (6.6) pada interval buka 𝐵: 𝑎 < 𝑡 < 𝑏
adalah himpunan n fungsi
yang diferensiabel pada setiap titik dalam interval buka B dan memenuhi sistem
persamaan diferensial (6.6).
Sistem persamaan diferensial biasa orde satu dengan nilai awal mempunyai bentuk
umum seperti pada (6.6) dan dilengkapi dengan kondisi awal
dengan 𝑡0 ∈ 𝐵, 𝛼1 , 𝛼2 , … , 𝛼𝑛 ∈ 𝑅.
Nilai Eigen dan Vektor Eigen Suatu Matriks Persegi (Bujur Sangkar)
2 1 0
� = 𝑨 = �1 2 1�.
𝑨
0 1 2
2 1 0
Transpos matriks A adalah 𝑨𝑇 = �1 2 1�.
0 1 2
2 1 0
∗ 𝑇
𝑨 = 𝑨 = �1 2 1�.
0 1 2
1 2+𝑖 1 − 2𝑖
𝑩 =� 2−𝑖 1 2 + 𝑖 �.
1 + 2𝑖 2−𝑖 1
1 2−𝑖 1 + 2𝑖 1 2−𝑖 1 + 2𝑖
𝑩𝑇 = � 2 + 𝑖 1 � =�2+𝑖
2 − 𝑖 �,𝑩 1 2 − 𝑖 �,
1 − 2𝑖 2+𝑖 1 1 − 2𝑖 2+𝑖 1
1 2+𝑖 1 − 2𝑖
∗
𝑩 =� 2−𝑖 1 2 + 𝑖 �.
1 + 2𝑖 2−𝑖 1
𝐀𝐱 = 𝐲 (6.9)
dapat juga dipandang sebagai transformasi linear (pemetaan linear) A yang membawa
vektor 𝐱 ∈ 𝐌𝐧 𝐱 𝟏 (𝐑) ke vektor 𝐲 ∈ 𝐌𝐧 𝐱 𝟏 (𝐑) . Akan ditentukan vektor 𝐱 ∈
𝐌𝐧 𝐱 𝟏 (𝐑) sehingga
𝐀𝐱 = 𝜆𝐱, (6.10)
untuk suatu konstanta λ. Sistem persamaan linear (6.10) dapat dituliskan ke dalam
bentuk
(𝐀 − 𝜆𝐈)𝐱 = 𝟎. (6.11)
Latihan 6.1
untuk sebarang 𝛽1 , 𝛽2 ∈ 𝑅
𝒚 = 𝛽1 𝐱 (1) + 𝛽2 𝐱 (2)
juga merupakan penyelesaian dari (6.17).
Dengan menerapkan Teorema 6.3 beberapa kali, dapat disimpulkan bahwa jika
𝐱 (1) , 𝐱 (2) , … , 𝐱 (𝑛) merupakan merupakan penyelesaian dari (6.17), maka untuk
sebarang 𝛽1 , 𝛽2 , … , 𝛽𝑛 ∈ 𝑅
𝒚 = 𝛽1 𝐱 (1) + 𝛽2 𝐱 (2) + ⋯ + 𝛽𝑛 𝐱 (𝑛)
Teorema berikut menyatakan sifat nilai Wronskian 𝑊�𝐱 (1) , 𝐱 (2) , … , 𝐱 (𝑛) �, dari
suatu penyelesaian sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu homogen.
Teorema 6.4 Nilai Wronskian dari penyelesaian sistem persamaan
diferensial biasa linear orde satu homogen
Jika 𝐱 (1) , 𝐱 (2) , … , 𝐱 (𝑛) merupakan penyelesaian yang bebas linear dari sistem
persamaan diferensial biasa linear orde satu homogen (6.17) pada interval buka
𝐵 = {𝑡 ∈ 𝑅: 𝑐 < 𝑡 < 𝑑} ⊆ 𝑅, maka 𝑊�𝐱 (1) (𝑡), 𝐱 (2) (𝑡), … , 𝐱 (𝑛) (𝑡)� = 0 untuk
sebarang 𝑡 ∈ 𝐵 atau 𝑊�𝐱 (1) (𝑡), 𝐱 (2) (𝑡), … , 𝐱 (𝑛) (𝑡)� ≠ 0 untuk sebarang 𝑡 ∈ 𝐵.
Latihan 6.2
𝑚𝐜𝑒 𝑚𝑥 = 𝐀𝐜𝑒 𝑚𝑥 .
Karena 𝑒 𝑚𝑥 ≠ 0, maka haruslah dipenuhi kondisi
𝑚𝐜 = 𝐀𝐜
atau
(𝑚𝐈 − 𝑨)𝐜 = 𝟎. (6.22)
Persamaan (6.22) tidak lain adalah persamaan karakteristik (characteristic equation)
untuk matriks A. Oleh karena itu, beberapa prosedur berikut perlu diperhatikan dalam
menentukan penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu
pada (6.20), yaitu:
(1) Tentukan nilai eigen matriks A, misalkan m1 dan m2 adalah nilai eigen matriks A.
Nilai eigen m1 dan m2 berhubungan dengan fungsi eksponensial 𝑒 𝑚1 𝑡 dan 𝑒 𝑚2 𝑡 .
(2) Tentukan vektor eigen matriks A yang bersesuaian dengan nilai eigen m1 dan m2.
Untuk kasus A suatu matriks berukuran 2 x 2, maka ada tiga kemungkinan yang
berhubungan dengan nilai eigen matriks A, yaitu:
(1) Nilai eigen m1 dan m2 real dan berbeda.
Misalkan nilai eigen matriks A pada (6.20) merupakan bilangan real berbeda (m1
≠ m2), maka vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen m1 dan m2 merupakan
vektor eigen-vektor eigen yang bebas linear. Selain itu,
𝐱 (1) = 𝑐(1) 𝑒 𝑚1 𝑡 dan 𝐱 (2) = 𝑐(2) 𝑒 𝑚2 𝑡
membentuk himpunan penyelesaian fundamental (himpunan penyelesaian yang bebas
linear) dari sistem persamaan diferensial biasa linear homogen pada (6.20) dalam
interval (−∞, ∞). Akibatnya, penyelesaian umum sistem persamaan diferensial linear
homogen pada (6.20) adalah
𝐱(t) = β1 𝑐(1) 𝑒 𝑚1 𝑡 + β2 𝑐(2) 𝑒 𝑚2 𝑡 (6.23)
dengan β1 , β2 merupakan konstanta real sebarang. Pada (6.23), 𝑐(1) dan 𝑐(2) berturut-
turut adalah vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen 𝑚1 dan 𝑚2 .
Contoh 6.5. Tentukan penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa orde
𝑑𝑥1
= 𝑥1 + 𝑥2
satu 𝑑𝑥𝑑𝑡2
= 3𝑥1 − 𝑥2
𝑑𝑡
Penyelesaian:
Sistem persamaan diferensial biasa orde satu tersebut dapat dituliskan ke dalam
𝑥1 1 1
bentuk 𝐱̇ = 𝐀𝐱, dengan 𝐱 = �𝑥 � dan 𝐀 = � �. Nilai eigen matriks A tersebut
2 3 −1
memenuhi persamaan karakteristik
m−1 −1
det(𝑚𝐈 − 𝐀) = � � = m2 − 4 = (m − 2)(m + 2) = 0.
−3 m+1
Akibatnya, nilai eigen matriks A tersebut adalah m = 2 atau m = −2.
Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen m = 2 memenuhi sistem
persamaan linear
1 −1 c11 0
� � �c � = � �.
−3 3 12 0
Dengan menggunakan operasi baris elementer 𝑏2 ≔ 𝑏2 + 3𝑏1 (baris kedua yang baru
diperoleh dari baris kedua lama ditambah dengan tiga kali baris pertama), maka sistem
persamaan linear tersebut dapat disederhanakan menjadi bentuk
1 −1 c11 0
� � �c � = � �.
0 0 12 0
−2c11 𝑒 −2𝑡 + c21 𝑒 −𝑡 − 2c21 t𝑒 −𝑡 = (c12 − c11 )𝑒 −2𝑡 + (c22 − c21 )t𝑒 −2𝑡 .
Karena persamaan tersebut belaku untuk sebarang bilangan real t, maka diperoleh
sistem persamaan
c11 + c12 = c21 dan c21 + c22 = 0.
Dengan mendefinisikan c11 = r, c21 = s dengan r, s sebarang bilangan real, diperoleh
c12 = s − r, c22 = −s.
Akibatnya, penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa linear homogen
pada Contoh 6.7 adalah
1 0 1
𝐱(t) = r � � 𝑒 −2𝑡 + s �� � 𝑒 −2𝑡 + � � 𝑡𝑒 −2𝑡 � (6.42)
−1 1 −1
dengan r,s merupakan konstanta real sebarang.
Perhatikan sistem persamaan diferensial biasa linear homogen pada (6.20), yaitu
𝒙̇ = 𝑨𝒙 dengan A suatu matriks berordo 2 x 2, dan elemen-elemen matriks A
merupakan bilangan real. Misalkan nilai eigen matriks A tersebut merupakan bilangan
kompleks sekawan, yaitu 𝑚1 = 𝛼 + 𝛽𝑖, 𝑚2 = 𝛼 − 𝛽𝑖, dengan 𝛼, 𝛽 bilangan real, 𝛽 > 0.
Karena nilai eigen matriks A tersebut merupakan bilangan kompleks berbeda (m1 ≠ m2),
maka vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen m1 dan m2 merupakan vektor
eigen-vektor eigen yang bebas linear.
−1 2
Contoh 6.8. Tentukan nilai eigen dan vektor eigen dari 𝑨 = � �.
−2 −1
Penyelesaian:
Nilai eigen matriks A memenuhi persamaan karakteristik
𝜆 + 1 −2
det(𝜆𝑰 − 𝑨) = � � = (𝜆 + 1)2 + 4 = 0.
2 𝜆+1
Akibatnya, nilai eigen matriks A tersebut adalah 𝜆 = −1 + 2𝑖 dan 𝜆̅ = −1 − 2𝑖.
Vektor eigen matriks A yang bersesuaian dengan nilai eigen 𝜆 = −1 + 2𝑖 memenuhi
sistem persamaan linear
(𝜆𝑰 − 𝑨)𝒗(1) = 𝟎
atau
2𝑖 −2 𝑣11 0
� � � � = � �.
2 2𝑖 𝑣12 0
Dengan melakukan operasi baris elementer 𝑏2 ≔ 𝑏2 + 𝑖𝑏1 (baris kedua yang baru
diperoleh dari baris kedua lama ditambah i kali baris pertama), diperoleh
2𝑖 −2 𝑣11 0
� � �𝑣 � = � �.
0 0 12 0
Dari baris pertama, diperoleh v11 = 𝑟, c12 = 𝑟𝑖 dengan r sebarang bilangan real. Oleh
karena itu, penyelesaian sistem persamaan linear tersebut adalah
v11 1
�v � = r � � , 𝑟 ∈ 𝑹.
12 i
Jadi, vektor eigen matriks A yang bersesuaian dengan nilai eigen 𝜆 = −1 + 2𝑖 adalah
1
𝒗(1) = � �.
i
dan
1
𝒚(2) = 2𝑖 �𝒙(1) − 𝒙(2) � = 𝑒 𝛼𝑡 (𝒖 sin 𝛽𝑡 + 𝒘 cos 𝛽𝑡) (6.48)
Karena 𝒙(1) dan 𝒙(2) merupakan penyelesaian dari sistem persamaan diferensial biasa
linear homogen 𝒙̇ = 𝑨𝒙, maka 𝒚(1) dan 𝒚(2) pada (6.47) dan (6.48) juga merupakan
penyelesaian dari sistem persamaan diferensial biasa linear homogen 𝒙̇ = 𝑨𝒙. Selain
itu, 𝒚(1) dan 𝒚(2) merupakan vektor-vektor yang bebas linear. Akibatnya, 𝒚(1) dan 𝒚(2)
pada (6.47) dan (6.48) merupakan penyelesaian fundamental dari sistem sistem
persamaan diferensial biasa linear homogen 𝒙̇ = 𝑨𝒙. Oleh karena itu, penyelesaian
umum sistem sistem persamaan diferensial biasa linear homogen 𝒙̇ = 𝑨𝒙 pada (6.20)
untuk nilai eigen A berupa bilangan kompleks sekawan adalah
𝒙(𝑡) = 𝑐1 𝑒 𝛼𝑡 (𝒖 cos 𝛽𝑡 − 𝒘 sin 𝛽𝑡) + 𝑐2 𝑒 𝛼𝑡 (𝒖 sin 𝛽𝑡 + 𝒘 cos 𝛽𝑡) (6.49)
Berdasarkan Contoh 6.8, nilai eigen matriks A adalah 𝜆 = −1 + 2𝑖, sehingga nilai
𝛼 = −1, 𝛽 = 2. Vektor eigen matriks A yang bersesuaian dengan nilai eigen tersebut
1 1 0 1 0
adalah 𝒗(1) = � � = � � + i � �. Akibatnya, diperoleh vektor 𝒖 = � � dan 𝒘 = � � .
i 0 1 0 1
Dengan melakukan subtitusi nilai-nilai tersebut ke dalam formula (6.49), maka
penyelesaian umum sistem persamaan diferensial linear homogen pada Contoh 6.9
tersebut adalah
1 0 1 0
𝒙(𝑡) = 𝑐1 �� � 𝑒 −𝑡 cos 2𝑡 − � � 𝑒 −𝑡 sin 2𝑡� + 𝑐2 �� � 𝑒 −𝑡 sin 2𝑡 + � � 𝑒 −𝑡 cos 2𝑡�
0 1 0 1
dengan 𝑐1 , 𝑐2 konstanta real sebarang.
Penyelesaian cara lain:
Karena nilai eigen matriks A tersebut adalah 𝑚1 = −1 + 2𝑖, 𝑚2 = −1 − 2𝑖, maka
penyelesaian sistem persamaan diferensial biasa linear homogen pada Contoh 6.9
tersebut dapat dituliskan ke dalam bentuk
x (t) c11 c21
� 1 � = �c � 𝑒 −𝑡 cos 2𝑡 + �c � 𝑒 −𝑡 sin 2𝑡 (6.51)
x2 (t) 12 22
Latihan 6.3
Tentukan penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu
homogen pada soal-soal berikut.
2 1
1) 𝒙̇ = � �𝒙
2 3
−5/2 3/4
2) 𝒙̇ = � �𝒙
2 −2
−6 −3
3) 𝒙̇ = � �𝒙
2 1
3 −9
4) 𝒙̇ = � �𝒙
−1 −3
−6 −5
5) 𝒙̇ = � �𝒙
5 4
12 4
6) 𝒙̇ = � �𝒙
−9 0
Tentukan penyelesaian sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu homogen
dengan nilai awal pada soal-soal berikut.
2 3 2
7) 𝒙̇ = � � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
−1 −2 −1
1 4 3
8) 𝒙̇ =� � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
−1 1 1
1 2 3
9) 𝒙̇ =� � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
0 −1 5
2 −1 −1
10) 𝒙̇ =� � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
4 6 6
3 −1 1
11) 𝒙̇ =� � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
9 −3 2
1 4 3
12) 𝒙̇ =� � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
−4 −7 2
5 3 3
13) 𝒙̇ =� � 𝒙, 𝒙(0) = � �.
−3 −1 −1
Sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu tersebut dapat dituliskan ke dalam
𝑥 −1 2 −4𝑡
bentuk 𝒙̇ = 𝑨𝒙 + 𝒃 dengan 𝒙 = �𝑦� ∈ 𝑹𝟐 , 𝑨 = � � , 𝒃 = � −𝑡 �.
−1 −4 𝑒 + 8𝑡 + 2
(i) Pertama kali, akan ditentukan 𝒙𝒉 , yaitu penyelesaian umum sistem persamaan
diferensial biasa linear orde satu homogen 𝒙̇ (𝑡) = 𝑨𝒙(𝑡), dengan
𝑥 −1 2
𝒙 = �𝑦� ∈ 𝑹𝟐 , 𝑨=� �.
−1 −4
Nilai eigen matriks A memenuhi persamaan karakteristik
𝜆+1 −2
det(𝜆𝑰 − 𝑨) = � � = 𝜆𝟐 + 𝟓𝜆 + 6 = (𝜆 + 2)(𝜆 + 3) = 0.
1 𝜆+4
Akibatnya, nilai eigen matriks A tersebut adalah 𝜆1 = −2 dan 𝜆2 = −3.
−2c11 𝑒 −2𝑡 − 3c21 𝑒 −3𝑡 = (−c11 + 2c12 )𝑒 −2𝑡 + (−c21 + 2c22 )𝑒 −3𝑡 .
Karena persamaan tersebut belaku untuk sebarang bilangan real t, maka diperoleh
sistem persamaan
c11 = −2c12 dan c21 = −c22.
Dengan mendefinisikan c12 = r, c21 = s dengan r, s sebarang bilangan real,
diperoleh c11 = −2r, c22 = −s.
Akibatnya, penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa linear
homogen 𝒙̇ (𝑡) = 𝑨𝒙(𝑡) tersebut adalah
x(t) −2 1
� � = r � � 𝑒 −2𝑡 + 𝑠 � � 𝑒 −3𝑡 (6.55)
y(t) 1 −1
dengan r,s merupakan konstanta real sebarang.
(ii) Selanjutnya akan ditentukan 𝒙𝒑 yaitu penyelesaian khusus sistem persamaan
diferensial biasa linear orde satu non homogen 𝒙̇ (𝑡) = 𝑨𝒙(𝑡) + 𝒃, dengan
𝑥 −1 2
𝒙 = �𝑦� ∈ 𝑹𝟐 , 𝑨 = � �, dan
−1 −4
−4𝑡 0 −4 0
𝒃 = � −𝑡 � = � � 𝑒 −𝑡 + � � 𝑡 + � �.
𝑒 + 8𝑡 + 2 1 8 2
Karena vektor b memuat suku 𝑒 −𝑡 dan suku 𝑡, maka tebakan penyelesaian khusus
𝒙𝒑 mengambil bentuk
𝑑 𝑑 𝑑
𝒙𝒑 = � 1 � 𝑒 −𝑡 + � 2 � 𝑡 + � 3 � (6.56)
𝑓1 𝑓2 𝑓3
dengan 𝑑1 , 𝑓1 , 𝑑2 , 𝑓2 , 𝑑3 , 𝑓3 merupakan konstanta yang akan ditentukan nilainya.
dengan A dan b berturut-turut adalah suatu matriks berorde n × n dan matriks berordo
n × 1, dengan elemen-elemen A dan b merupakan fungsi-fungsi kontinu. Ketika kondisi
ini terpenuhi, maka sistem persamaan diferensial linear pada (6.57) tersebut
mempunyai penyelesaian.
Misalkan �𝐱 (1) , 𝐱 (2) , … , 𝐱 (𝑛) � merupakan himpunan penyelesaian yang bebas
linear dari sistem persamaan diferensial inear orde satu homogen 𝐱̇ = 𝐀𝐱. Dengan
mendefinisikan matriks
Φ(𝑡) = �𝐱 (1) (𝑡) 𝐱 (2) (𝑡) … 𝐱 (𝑛) (𝑡)� (6.58)
Maka penyelesaian sistem persamaan diferensial inear orde satu homogen 𝐱̇ = 𝐀𝐱
dapat ditulisakan ke dalam bentuk
x(t) = Φ(𝑡)𝐂 (6.59)
Sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu tersebut dapat dituliskan ke
𝑥 −1 2 −2𝑡
dalam bentuk 𝒙̇ = 𝑨𝒙 + 𝒃 dengan 𝒙 = �𝑦� ∈ 𝑹𝟐 , 𝑨 = � �, dan 𝒃 = �2𝑒 � =
−1 −4 0
2 −3𝑡
� �𝑒 .
0
x(t) −2 1
𝒙𝒉 = � � = r � � 𝑒 −2𝑡 + 𝑠 � � 𝑒 −3𝑡
y(t) 1 −1
dengan r,s merupakan konstanta real sebarang. Dari penyelesaian homogen 𝒙𝒉 tersebut,
diperoleh matriks fundamental
−2𝑡
Φ(𝑡) = �−2𝑒 𝑒 −3𝑡 �.
𝑒 −2𝑡 −𝑒 −3𝑡
Selanjutnya akan ditentukan penyelesaian khusus 𝒙𝒑 dari sistem persamaan
diferensial tersebut menggunakan metode variasi parameter. Penyelesaian khusus
𝒙𝒑 berbentuk
𝒙𝒑 = Φ(𝑡)𝑈(𝑡)
atau
′
�−2𝑒
−2𝑡
𝑒 −3𝑡 � �𝑢1 � = �2𝑒 −3𝑡 �.
𝑒 −2𝑡 −𝑒 −3𝑡 𝑢2′ 0
𝑢1 = � −2𝑒 −𝑡 𝑑𝑡 = 2𝑒 −𝑡 + 𝑘1 ; 𝑢2 = � −2 𝑑𝑡 = −2𝑡 + 𝑘3 .
𝒙𝒑 = Φ(𝑡)𝑈(𝑡) = �−2𝑒
−2𝑡
𝑒 −3𝑡 � �2𝑒 −𝑡 � = �−4� 𝑒 −3𝑡 + �−2� 𝑡𝑒 −3𝑡 .
𝑒 −2𝑡 −𝑒 −3𝑡 −2𝑡 2 2
Tentukan penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu non
homogen berikut menggunakan metode koefisien tak tentu.
2 3 2
1) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � �.
−1 −2 −5
5 9 1
2) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � �.
−1 11 3
1 3 2
3) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � 𝑡 �.
3 1 t+1
1 −4 2𝑡
4) 𝒙̇ = � � 𝒙 + �2𝑡 + 𝑒 �.
4 1 t+1
4 1 −3
5) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � � 𝑒𝑡.
3 6 10
−1 −1 sin 𝑡
6) 𝒙̇ = � �𝒙 + � �.
5 1 cos 𝑡
Tentukan penyelesaian umum sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu non
homogen berikut menggunakan metode variasi parameter.
3 −3 2
7) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � �.
2 −2 −1
2 −1 1
8) 𝒙̇ =� � 𝒙 + � �.
3 −2 2t
3 −2 1
9) 𝒙̇ =� � 𝒙 + � � 𝒆−𝒕 .
2 −1 1
3 −2 2
10) 𝒙̇ =� � 𝒙 + � �.
2 −1 1
−2 1 sin 2t
11) 𝒙̇ =� �𝒙 + � � 𝒆−𝟐𝒕 .
−4 −2 2 cos 2t
0 2 1
12) 𝒙̇ =� � 𝒙 + � � 𝒆𝒕 .
−1 3 1
0 2 1
13) 𝒙̇ =� � 𝒙 + � −𝟑𝒕 �.
−1 3 𝒆
Tentukan penyelesaian sistem persamaan diferensial biasa linear orde satu non
homogen dengan nilai awal pada soal-soal berikut.
3 1 2 1
14) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � � 𝒆−𝟐𝒕 , 𝒙(0) = � �.
1 3 1 −1
1 1 1 𝟏 −1
15) 𝒙̇ = � � 𝒙 + � � 𝒕 , 𝒙(1) = � �.
−1 −1 1 1