3 Fix
3 Fix
PERCOBAAN III
STANDARISASI EKSTRAK
I. Tujuan
Mengetahui parameter ekstrak terstandar.
II. Landasan Teori
Standarisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode
analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan
mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu
ekstrak alam (Saifudin et al., 2011).
Standarisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian
parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-
unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi
syarat standar (kimia, biologi dan farmasi) termasuk jaminan (batas-batas)
stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian
standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa prosuk akhir obat (obat,
ekstrak atau prosuk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan
dan ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi mutu
ekstrak yaitu fakator biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor
kandungan kimia bahan obat tersebut. Standarisasi ekstrak terdiri dari
parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Depkes RI,
2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga dapat memenuhi baku
yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ada beberapa jenis ekstrak yakni
ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jka hasil ekstraksi
masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika
memiliki kadar air antara 5-30%. Esktrak kering jika mengandung kadar air
kurang dari 5% (Voight, 1994).
Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia.
Faktor biologi meliputi : spesies tumbuhan, lokasi tumbuhan, waktu
pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang
digunakan. Sedangkan faktor kimia yaitu faktor internal (jenis senyawa aktif
dalam bahan), komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa
aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif dan faktor ekstrernal (metode
ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan, dan
kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam
berat, kandungan pestisida (Depkes RI, 2000).
Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan
teknologi dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk
yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat
bahan alam. Obat tradisional dibuat dalam bentuk ekstrak karena tanaman
obat tidak lagi praktis jika digunakan dalam bentuk bahan utuh (simplisia).
Ekstrak tersebut bisa dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental dan ekstrak
cair yang proses pembuatannya disesuaikan dengan bahan aktif yang
dikandung serta maksud dalam penggunaanya, apakah dibuat dalam bentuk
kapsul, pil, tablet, cairan obat dalam dan lain-lain. Ekstrak tersebur harus pula
terstandarisasi untuk menjamin mutu dan keamanannya (Anam et al., 2013).
Kandungan senyawa aktif dan mutu ekstrak dari tanaman obat tidak
dapat dijamin akan selalu berada dalam : jumlah yang konstan karena adanya
variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen serta
proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa aktif
dalam produk ekstrak dapat disebabkan oleh aspek berikut : genetic (bibit),
lingkungan (tempat tumbuh, iklim), rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan
selama masa tumbuh), panen (waktu dan pasca panen). Oleh karena itu,
standarisasi ekstrak sangat diperlukan untuk menghasilkan ekstrak yang
berkualitas baik sebelum diproduksi dalam skala industri. Standarisasi bahan
baku obat dari bahan alam seperti ekstrak tanaman obat adalah serangkaian
parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-
unsur terkait paradigma mutu kefarmasian. Mutu artinya memenuhi syarat
standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas
sebagai produk kefarmasian pada umumnya (Ratnani et al., 2015).
Suatu ekstrak yang memiliki potensi aktivitas biologi yang tinggi, agar
memperoleh ekstrak yang berkualitas perlu dilakukan penetapan parameter
standarisasi ekstrak meliputi parameter non spesifik dan spesifik, yaitu kadar
ar, kadar abu total kadar abu tidak larut asam, uji cemaran mikroba,
organoleptik ekstrak, uji kualitatif serta kuantitatif kandungan senyawa dalam
ekstrak. Hasil penelitian penetapan parameter standarisasi esktrak diharapkan
dapat menjadi acuan sebagai parameter standar mutu ekstrak dalam hal
menunjang kesehatan karena belum tercantum dalam buku Materia Medika
Indonesia dan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat (Zainab et al., 2016).
Menurut Saifuddin et al. (2011), standarisasi adalah rangkaian proses
yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data
farmakologi, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria
33
umum dari keamanan (toksikologi) terhadap ekstrak alam. Standarisasi secara
normative ditujukan untuk memberikan efikasi yang terukur secara
farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standarisasi obat herbal
meliputi dua aspek:
1) Aspek parameter spesifik : berfokus pada senyawa atau golongan
senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis.
Analisi kimia yang dilibatkan bertujuan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif terhadap senaywa aktif.
2) Aspek parameter non spesifik : berfokus pada aspek kimia mikrobiologi
dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas
misalnya kadar logam berat, kadar air, aflatoksin dan lain-lain.
Menurut Depkes RI (2000) penentuan parameter spesifik adalah aspek
kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang
bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu.
Parameter spesifik meliputi:
1) Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi deskripsi tata nama,
nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan
(sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun,
dan sebagainya) dan nama Indonesia tumbuhan.
2) Organoleptis : parameter organoleptis meliputi penggunaan panca indera
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa, guna pengenalan awal yang
disederhanakan seobjektif mungkin.
3) Senyawa terlarut dalam larutan tertentu : melarutkan ekstrak dengan
pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah dari larutan yang identic
dengan sejumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal
tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya
heksana, diklorometan dan methanol. Tujuannya untuk memberikan
gambaran awal sejumlah senyawa.
4) Uji kandungan kimia esktrak
a. Pola Kromatogram
Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis secara
kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas.
Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi dalam
kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT, KCKT).
b. Kadar Kromatogram Kimia Tertentu
Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa kimia atau
senyawa identitas utama ataupun kadungan kimia lannya, maka
secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penentapan kadar
34
kandungan kimia tersebut. Instrument yang dapat digunakan adalah
densitometri, kromatografi gas, KCKT, atau instrument yang sesuai.
Tujuannya adalah untuk memberikan data kadar kandungan kimia
tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga
bertanggung jawab pada efek farmakologis.
35
III. Prosedur Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
a. Alat
1. Timbangan analitik
2. Botol timbang
3. Piknometer
4. Desikator
5. Oven
6. Furnace
7. Krus porselin
8. Cawan penguap
9. Water bath
10. Cawan petri
11. Tang krus
12. Botol maserasi
13. Rotary evaporator
14. Corong kaca
15. Kaca arloji
16. Spektrofotometer
17. pH meter
18. Blender
19. Colony counter
20. Pipet ukur
21. Tabung durham
22. LAF
23. Lampu UV
24. Mikropipet 10 µl
25. Pipet tetes
b. Bahan
1. Simplisia
2. Asam sulfat encer
3. Pb (NO3)2
4. Asam nitrat
5. Aquades
6. Asam asetat 1 N
7. Media PCA (Plate Count Agar)
8. PDF (Pepton Dilution Fluid)
9. FCDSLP (Fluid Casein Digest Soy Lecithin Polysorbate)
36
10. Minyak mineral (Parafin cair)
11. Tween 80 dan 20
12. MCB (Mac Conkey Broth)
13. BGLB (Briliant Green Lactose Bile Broth)
14. EMBA (Eosin Methylene Blue Agar)
15. VRBA (Violet Red Bile Agar)
16. Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP) Medium
17. Simmon’s Citrate Agar
18. Trypton Broth
19. Nutrient Agar
20. PDA (Potato Dekstrose Agar)
21. Malt Agar
22. ASA 0,05% (Air Suling Agar)
23. Kloramfenikol
24. Media Yeast Extract Sucrose Broth (YES)
25. Plat KLT
26. Baku aflatoksin
27. Benzene
28. Acetonitril
29. Kloroform
30. Aseton
31. n-Heksan
32. Alkohol
33. Diklormetan
34. Metanol
37
3.2 Skema Kerja
a. Parameter Non Spesifik
1. Parameter Susut Pengeringan dan Bobot Jenis
Susut Pengeringan
Ekstrak
Hasil
Bobot Jenis
Ekstrak
Dimasukkan kedalam piknometer dengan pengaturan T ±
20°C
Diatur kembali suhu piknometer hingga 25°C
Dibuang kelebihan ekstrak cair
Ditimbang
Dihitung bobot jenis
Hasil
38
2. Penetapan Kadar air
Penetapan Kadar air dengan titrasi
Ekstrak
Dimasukkan kedalam labu melalui pipa mengalir
nitrogen
Diaduk dengan mengalirkan gas nitrogen yang telah
dikeringkan
Diatur tekanan yang dihubungka ndengan baterai
bening 1.5 volt atau 2 volt yang menjadi petunjuk
Hasil
Ekstrak
Hasil
39
Penetapan Kadar abu yang tidak larut asam
Abu
Hasil
b. Parameter Spesifik
1. Senyawa yang terlarut dalam pelarut tertentu
Kadar senyawa larut dalam air
Ekstrak
Hasil
40
Kadar senyawa larut dalam etanol
Ekstrak
Hasil
2. Identitas
Ekstrak
Hasil
3. Organoleptis
Ekstrak
Hasil
41
IV. Hasil dan Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan proses standardisasi ekstrak daun
Merkubung (Macaranga gigantea). Tujuannya untuk mengetahui parameter
ekstrak terstandar atau memiliki parameter tertentu yang konstan dan
ditetapkan (dirancang formula) terlebih dahulu. Menurut Saifudin et al (2011),
standarisasi adalah rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis
kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan
mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu
ekstrak alam. Standarisasi obat herbal meliputi dua aspek :
1. Aspek parameter spesifik : berfokus pada senyawa atau golongan
senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis.
Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan
kuantitatif terhadap senyawa aktif.
2. Aspek parameter non spesifik : berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi
dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas
missal kadar logam berat, afiatoksin, kadar air dan lain-lain.
Pada saat praktikum, pengujian standarisasi ekstrak meliputi pengujian
parameter spesifik dan parameter non spesifik. Parameter spesifik yang diuji
yaitu susut pengeringan dan bobot jenis dan parameter non spesifik yang diuji
yaitu suatu senyawa yang larut pada pelarut tertentu dan uji senyawa yang
larut dalam pelarut etanol.
Pengujian parameter non spesifik :
1. Susut Pengeringan
Menurut Depkes RI (2000), susut pengeringan merupakan salah satu
parameter non spesifik yang tujuannya memberikan batasan maksimal
(rentang) tentang besarmya senyawa yang hilang pada proses pengeringan.
Parameter susut pengeringan pada dasarnya adalah pengukuran sisa zat
setelah pengeringan pada temperatur 105ºC sampai berat konstan yang
dinyatakan sebagai nilai persen.
Tabel 1. Perlakuan susut pengeringan
Perlakuan Hasil
Ditimbang bobot awal (ekstrak + cawan) 96,13 gram
Ditimbang bobot akhir (ekstrak + cawan) 96,04 gram
Susut pengeringan 0,09 % < 10 %
Berdasarkan perhitungan susut pengeringan yang telah dilakukan,
didapatkan persentase susut pengeringan sebesar 0,09%. Berdasarkan Depkes
RI (1995), persyaratan susut pengeringan ekstrak yaitu <10%. Jika dikaitkan
hasil persentase susut pengeringan ekstrak daun merkubung dengan
persentase susut pengeringan standar menurut Depkes RI (1995), dapat
42
dinyatakan bahwa persentase susut pengeringan ekstrak daun merkubung
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pada literatur Depkes RI (1995).
Susut pengeringan berbeda dengan penetapan kadar air. Didalam
penetapan kadar susut pengeringan yang dihitung adalah zat-zat yang menguap
adalah minyak atsiri, minyak dan lain-lain. Jadi secara teoritis angka susut
pengeringan bias lebih besar dari kadar air. Hasil perhitungan susut
pengeringan ditunjukan dalam tabel 1.
2. Bobot Jenis
Menurut Depkes RI (2000), bobot jenis didefinisikan sebagai
pembandingan kerapatan suatu zat terhadap kerapan air dengan nilai massa
persatuan volume. Penentuan bobot jenis ini bertujuan untuk memberikan
gambaran kandungan kimia yang terlarut pada suatu ekstrak.
Prosedur perhitungan bobot jenis yaitu ditimbang piknometer kering dan
bersih, kemudian dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot
air yang baru didihkan pada suhu 25ºC kemudian ditimbang (W 1). Ekstrak cair
diatur suhunya kurang lebih 20ºC lalu dimasukkan ke dalam piknometer
kosong, buang kelebihan ekstrak, diatur suhu piknometer yang telah diisi
hingga suhu 25ºC kemudian ditimbang (W2) (Depkes RI, 2000).
Hasil perhitungan bobot jenis ekstrak daun merkubung ditunjukkan
dalam tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Perhitungan Bobot Jenis
Perlakuan Hasil
Ditimbang bobot piknometer kosong 20,1405 gram
Ditimbang piknometer + aquadest 44,5952 gram
Ditimbang piknometer + ekstrak 41,4485 gram
Volume piknometer kosong 25 mL
Bobot jenis air (𝜌) 1
Bobot aquadest 24,4547 gram
Bobot ekstrak daun merkubung 21,308 gram
Volume aquadest 24,4547 mL
Bobot jenis ekstrak daun 0,871 gram/ml
merkubung
Keterangan : bedasarkan perhitungan bobot jenis yang telah dilakukan
didapatkan nilai bobot jenis ekstrak daun merkubung 0,871 gr/ml. Menurut
Depkes RI (2000), penentuan bobot jenis ini bertujuan untuk memberikan
gambaran kandungan kimia yang terlarut dalam suatu ekstrak. Menurut Ansel
(2006), zat yang memiliki bobot jenis lebih besar dari 1,00 lebih berat dari pada
air. Dalam bidang farmasi bobot jenis dan rapat jenis suatu zat atau cairan
yang digunakan sebagai salah satu metode analisis yang berperan dalam
menentukan senyawa cair, digunakan pula untuk uji identitas dan kemurnian
43
senyawa obat terutama dalam bentuk cairan serta dapat pula diketahui tingkat
kelarutan atau daya larut suatu zat.
44
gravimetric, metode MEA (Metoda Moinsture Evolution Analysis) dan metoda
KFT (Karl Fischer Titration). Metode KFT pada mulanya menggunakan piridin
sebagai larutan titrasi untuk menganalisis kadar H2O dalam suatu zat. Dengan
adanya perkembangan dan dampak negative dari piridin maka dilakukan
pengembangan metode KFT oleh Euqen Scohlz pada tahun 1979 mengganti
fungsi piridin dengan imidazol. Metode baru ini dikenal dengan nama Karl
Fischer tanpa piridin. Pereaksi atau zat baru produknya dipatenkan dengan
nama Hidranal yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis kadar H2O
dalam bentuk cairan maupun padatan, cara analisis :
1) Menentukan kesetaraan air dengan komposit hidranal 5 (WE)
menggunakan rumus 3 : pipet 20 mL methanol kemudian dimasukkan
kedalam gelas beaker, titrasi sampai elektodanya tercelup, lalu methanol
kemudian dititrasi dengan komposit hidranal 5 sampai bebas air.
Ditambahkan 10-20 mg H2O untuk mencari kesetaraan H2O dengan
komposit hidranal dan titrasi dengan komposit hidranal 5 sampai titik
akhir (250 mv) dan dicatat hasilnya dalam mg/mL.
Menurut Ibrahim (2009), Karl Fischer menggunakan metode volumetric
berdasarkan prinsip titrasi. Titran yang digunakan adalah pereaksi Karl Fischer
(campuran iodine, sulfur, dioksida dan piridin dalam larutan methanol).
Pereaksi Karl Fischer pada metode ini sangat tidak stabil dan peka terhadap
uap air oleh karena itu sebelum digunakan pereaksi harus selalu distandarisasi.
Selama proses titran terjadi reaksi reduksi idoin oleh sulfur dioksida dengan
adanya air. Reaksi reduksi iodine akan berlangsung sampai air habis yang
ditunjukkan dengan munculnya warna coklat akibat kelebihan iodine. Metode
ini diaplikasikan untuk analisis kadar air bahan pangan dengan kanungan air
sangat rendah. Menurut Depkes RI (1995), penentuan kadar air bertujuan
untuk memberikan gambaran tingkat kelembaban ekstrak, syarat kadar air
suatu ekstrak yaitu <10%.
5. Sisa Pelarut
Menurut Depkes RI (2000), parameter sisa pelarut adalah penentuan
kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak.
Tujuannya memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa
pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.
Menurut Ibrahim (2009), penentuan sisa pelrut ada 2 metode :
a. Cara Destilasi
Penetapan kadar untuk cairan yang diperkirakan mengandung
30% etanol atau kurang. Prosedur : suhu destilat diatur sama dengan
duhu pemipetan. Pipet ± 25 mL cairan uji ke alat destilat, destilat dicatat
45
hingga diperoleh distilat kurang dari 2 mL lebih dari volume cairan uji
yang dipipet. Air ditambahkan secukupnya pada destilat hingga
volumenya sama dengan volume cairan uji, bobot jenis cairan ditetapkan
pada suhu 25ºC.
Penetapan kadar untuk cairan yang diperkirakan mengandung
30% etanol atau lebih. Prosedur : cairan uji dipipet 25 mL, lalu
dimasukkan ke corong pisah, ditambahkan air dengan volume yang
sama. Campuran dijenuhkan dengan NaCl(p), ditambahkan 25 mL
heksana(p), dan dikocok. Lapisan bawah dipisahkan dengan corong
pisah. Diulangi ekstraksi 2 kali, tiap kali dengan 25 mL heksana.
Dikumpulkan filtrate diekstraksi dengan heksana tida kali dengan 10 mL
larutan NaCl. Kumpulkan larutan destilasi hingga volume mendekati
volume uji semula, dihitung bobot jenis destilat.
b. Kromatografi Gas-Cair
Alat kromatografi gas dilengkapi detector ionisasi nyala dan
kolom kaca 1,8 m x 4 mm. fase diam S3 dengan ukuran partikel 100-120
mesh. Gas pembawa : Nitrogen atau Helium. Sebelum digunakan
dikondisikan kolom semalaman pada suhu 235ºC, dialirkan gas
pembawa dengan laju lambat. Diatur laju aliran sehingga baku internal
asetonitri terelusi 5-10 menit pada suhu 120ºC.
Tidak terdapat batasan sisa pelarut dalam suatu ekstrak karena
menurut Depkes RI (2000) sisa pelarut memang seharunya tidak boleh
ada.
6. Cemara Peptisida
Menurut Mutiatikum et al (2000), pengujian cemaran peptisida
dilakukan untuk mengetahui dan menentukan adanya peptisida dalam sampel
telah ditetapkan waktu retensi masing-masing baku pembanding pestisida
maupun campuran menggunakan metode dan kondisi yang sama dengan yang
digunakan untuk pengujian contoh. Dalam pengujian residu peptisida, nilai
perolehan kembali pada kisaran 70-110% dengan rata-rata diatas 80%
menunjukkan bahwa metode pengujian memiliki kinerja yang baik. Prosedur :
larutan baku pembanding, larutan uji, larutan spiked sampel dan larutan
blanko yang diperlakukan sama seperti larutan uji masing-masing disuntikkan
sejumlah 1 µL kedalam kromatografi gas, diamati waktu retensi.
7. Cemaran Logam Berat
Menurut Depkes RI (2000), parameter cemaran logam berat adalah
penentuan kandungan logam berat dalam suatu ekstrak, sehingga dapat
memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu
46
(Mg, Pb, Cd, dan sebagainya) melebihi batas yang telah ditetapkan karena
berbahay bagi kesehatan. Menurut Saifudin et al (2011), penetapan kadar arsen
(As), timbal (Pb), dan cadmium (Cd) dengan menggunakan alat atomic
absorption spechtrophotometer. Penetapan kadar ketiga logam berat dilakukan
dengan cara digesti bahan. Ditimbang 1 gram ekstrak dan ditambahkan 10 mL
HNO3 pekat, kemudian dipanaskan dengan heating mantel hingga kental atau
kering. Ekstrak yang kental dan dingin ditambahkan aquadest 10 mL dan asam
perkolat 5 mL, kemudian dipanaskan hingga kental lalu disaring ke labu ukur
50 mL. sampel diukur dengan alat atomic absorption spectrophoto meter.
Maksimal residu Pb tidak melebihi 10 mg/kg ekstrak, residu Cd tidak melebihi
0,3 mg/kg ekstrak dan as tidak melebihi 5 mg/kg.
8. Cemaran Mikroba
Menurut Depkes RI (2000), parameter cemaran mikroba adalah
penentuan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologi.
Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh
mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen
melebihi batas yang ditetapkan Karen berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan
berbahaya (toksik) bagi kesehatan. Pada penyiapan sampel ditimbang 1 gram
ekstrak sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 1 mL ditambahkan aquadest
sampai 10 mL, sehingga diperoleh pengeceran 10-1 dan dikocok hingga larut
atau dengan bantuan vortex dilanjutkan dengan pengenceran 10-2 dan 10-3.
Menurut BPOM (2014), untuk cemaran mikroba persyaratan angka lempeng
total adalah ≤ 106 koloni/gram, angka kapang khamir ≤ 104 koloni/gram, serta
untuk bakteri Escherischia coli, Salmonella Spp, Pseudomonas aureginosa dan
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram negatif.
9. Cemaran Aflatoksin
Menurut Khoirani (2013) aflatoksin merupakan suatu metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh jamur. Aflatoksin sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenic (mutasi
gen), teratogenik (penghambatan pada pertumbuhan janin) dan karsinogenik
(menimbulkan kanker pada jaringan). Jika ekstrak positif mengandung
aflatoksin, maka pada media pertumbuhan akan menghasilkan koloni bewarna
hijau kekuningan sangat cerah.
47
yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetric. Dalam hal
tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana,
diklorometana, methanol, tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah
senyawa kandungan. Pengujian senyawa terlarut dalam pelarut tertentu dalam
ekstrak terdiri dari kadar senyawa yang terlarut dalam air dan kadar senyawa
yang terlarut dalam etanol.
a. Kadar Senyawa Yang Larut Air
Hasil perhitungan kadar senyawa larut pada pelarut kloroform air
ditunjukkan pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Kadar Senyawa Larut Kloroform
Perlakuan Hasil
Ditimbang bobot awal ekstrak 33,7359 gram
Dipanaskan pada suhu 105ºC 33,7271 gram
Ditimbang bobot akhir ekstrak 33,7271 gram
Ditimbang bobot cawan 32,4101 gram
Dihitung senyawa terlarut 99,97%
Berdasarkan perhitungan kadar sari atau senyawa larut air yang telah
dilakukan didapatkan persentase kadar sari larut air sebesar 99,97%.
Berdasarkan Depkes RI (1978), persyaratan kadar sari larut air ekstrak >12%.
Jadi, dapat dinyatakan bahwa persentase kadar sari larut air esktrak daun
merkubung memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pada Depkes RI
(1978).
Kloroform digunakan karena merupakan pelarut yang sifatnya lebih non
polar (semi polar), sehingga ketika ekstrak daun merkubung yang mengandung
berbagai senyawa dari polar hingga non polar, akan kembali tersari untuk
senyawa non polar saja karena digunakan pelarut non polar (kloroform) sesuai
dengan prinsip like dissolve like. Kemudian ketika didaring, filtrate mengandung
kloforom bersama senyawa non polar, sedangkan residu mengandung senyawa
polar yang tidak tersari saat maserasi dengan kloroform.
b. Kadar Senyawa Larut Etanol
Hasil perhitungan kadar senyawa larut pada pelarut kloroform air
ditunjukkan pada tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Kadar Sari Larut Etanol
Perlakuan Hasil
Ditimbang bobot awal ekstrak 34,2378gram
Dipanaskan pada suhu 105ºC 34,2213 gram
Ditimbang bobot akhir ekstrak 34,2213 gram
Ditimbang bobot cawan 32,8311 gram
Dihitung senyawa terlarut 99,95%
Berdasarkan perhitungan kadar sari atau senyawa larut etanol yang
telah dilakukan didapatkan persentase kadar sari larut air sebesar 99,95%.
48
Berdasarkan Depkes RI (1978), persyaratan kadar sari larut etanol ekstrak >8%.
Jadi, dapat dinyatakan bahwa persentase kadar sari larut etanol esktrak daun
merkubung memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pada Depkes RI
(1978).
2. Uji Identitas
Menurut Depkes RI (2000), parameter identitas meliputi pendeskripsian
tata nama yaitu nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang
digunakan dan nama Indonesia tumbuhan.
Menurut Chong et al (2009), klasifikasi tanaman Merkubung
(Macarangan gigantea) yaitu :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Eudicots
Ordo : Malpighiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Macaranga
Spesies : M. gigantea
Common Names : Mahang
Status : Biasa (Common)
Nama Indonesia tanaman Macaranga gigantea diantaranya tanaman
merkubung, tanaman tutup gede. Bagian tumbuhan yang digunakan pada saat
praktikum adalah bagian daun (folium).
3. Uji Organoleptis
Menurut Depkes RI (2000), penetapan organoleptik yaitu dengan
pengenalan secara fisik dengan menggunakan panca indera dalam
mendeskripsikan bentuk, warna, baud an rasa.
Pemeriksaan organoleptis ekstrak daun merkubung berdasarkan
pengamatan praktikan ditunjukkan pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Uji Organoleptis Ekstrak Daun Merkubung
Parameter Uji Hasil
a. Bentuk Cair
b. Warna Hijau Pekat
c. Bau Aroma Khas Daun Merkubung
49
V. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
bahwa parameter ekstrak tersantar daun merkubung yaitu :
Parameter Non Spesifik :
1. Susut Pengeringan
Susut pengeringan daun merkubung 0,09%, susut pengeringan standar
menurut Depkes RI (1995) yaitu <10%.
2. Bobot Jenis
Bobot jenis daun merkubung 0,871, bobot jenis daun merkubung kecil dari
bobot jenis air. Menurut Ansel (2006), zat yang memiliki bobot jenis lebih
kecil dari 1,00 lebih ringan dari air.
3. Kadar Abu
Persyaratan standar kadar abu total menurut Voight (1994), 3-4%,
persyaratan standar kadar abu tidak larut asam menurut Depkes RI (1987)
yaitu <0,9%.
4. Penentuan Kadar Air
Persyaratan standar kadar air menurut Depkes RI (1995) yaitu <10%.
5. Sisa Pelarut
Persyaratan standar sisa pelarut menurut Depkes RI (2000) tidak boleh ada
sisa pelarut.
6. Cemaran Peptisida
Menurut Mutiatikum et al (2002), nilai perolehan kembali residu pada
kisaran 70-110% dengan rata-rata diatas 80% menunjukkan bahwa metode
pengujian residu peptisida memiliki kinerja baik.
7. Cemaran Logam Berat
Menurut Depkes RI (2000), maksimal residu Pb <10 mg/kg ekstrak, residu
Cd <0,3 mg/kg ekstrak dan As <5 mg/kg.
8. Cemaran Mikroba
menurut Depkes RI (2000), ekstrak tidak boleh mengandung mikroba
patogen dan non patogen.
Parameter Spesifik :
1. Sari Larut Air
Sari larut air daun merkubung 99,97%, sari larut standar menurut Depkes
RI (1978) yaitu >12%.
2. Sari Larut Etanol
Sari larut etanol daun merkubung 99,95%, sari larut standar menurut
Depkes RI (1978) yaitu >8%.
3. Identitas
50
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Eudicots
Ordo : Malpighiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Macaranga
Spesies : M. gigantea
Common Names : Mahang
Status : Biasa (Common)
4. Uji Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis ekstrak daun merkubung yang diamati yaitu :
a. Bentuk : Cair
b. Warna : Hijau pekat
c. Bau : Aroma khas daun merkubung
51
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN
A. Perhitungan
1. Susut pengeringan
Ditimbang bobot awal (ekstrak + cawan) = 96,13 gram
Ditimbang bobot akhir (ekstrak + cawan)= 96,04 gram
Susut pengeringan
(𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟)
= x 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
(96,13 𝑔𝑟−96,04 𝑔𝑟
= 𝑥 100%
96,13 𝑔𝑟
0,09 𝑔𝑟
= 𝑥 100%
96,13 𝑔𝑟
2. Bobot jenis
= 24,4547 gram
= 21,308 gram
= 24,4527 / 1
= 24,4547 mL
53
BJ ekstrak daun merkubung = bobot eks / V. aq
=21,308 / 24,4547
= 0,871 gram/ml
Keterangan :
W0 = bobot cawan kosong (gram)
W1 = bobot ekstrak awal (gram)
W2 = bobot + ekstrak setelah diabukan (gram)
𝑊2−(𝑐 𝑥 0,0076)− 𝑊0
% kadar abu tidak larut asam = 𝑥 100%
𝑊1
Keterangan :
W0 = bobot cawan kosong (gram)
C = bobot kertas saring (gram)
W1 = bobot ekstrak awal (gram)
W2 = bobot cawan + abu tidak larut asam (gram)
𝑊2−𝑊0
Kadar senyawa larut air = 𝑥 100%
𝑊1
Keterangan :
54
[𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 +𝑒𝑥𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟]− [𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔]
Dihitung senyawa terlarut = x 100%
[𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙]
33,7271
= 𝑥 100%
33,7359
= 99,97%
34,2213
= 𝑥 100%
34,2378
= 99,95%
55
B. Dokumentasi
56