Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PERBANDINGAN POLITIK

PERBANDINGAN PARTAI POLITIK ERA ORDE LAMA

DAN ORDE BARU

Dosen :

Prof. Dr. Sri Zulchairiyah, M.A.

DISUSUN OLEH:

Rino Adi Prasetyo (1710832007)

ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS 2018


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Politik dalam Bahasa Arabnya disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini
kemudian diterjemahkan menjadi siasat, atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut Politics.
Politik itu sendiri memang berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-
hari kita seakan-akan mengartikan sebagai suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan
tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit sekali memberikan
definisi politik. Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti
negara kota. Menurut Syafiie (2010) dalam buku Ilmu Politik menjelaskan bahwa
politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi politik juga
seni, karena sudah banyak kita melihat para politikus yang tanpa pendidikan ilmu
politik, tetapi mampu berkiat dalam hal politik karena memiliki bakat yang dibawa
sejak lahir dari naluri sanubarinya sebagai seniman politik, sehingga dengan
kharismatik menjalankan roda politik praktis.1
Pada dasarnya politik memiliki ruang lingkup negara, oleh karena itu dalam
konteks politik, sistem politik suatu negara tidak akan luput dari pembahasan politik.
Sistem politik adalah suatu rangkaian yang kait mengkait satu sama lain, anak rangkaian
merupakan sub sistem dari rangkaian yang lebih besar, rangkaian tersebut merupakan
suatu keutuhan yang apabila salah satu terganggu akan berpengaruh pada bagian yang
lain .2
Dalam suatu negara, kehadiran suatu partai politik dalam sebuah sistem politik
adalah sesuatu yang menjadi suatu keharusan untuk dikaji. Hal ini dikarenakan partai
politik merupakan sebuah sub sistem dari sistem politik suatu negara dan perannya cukup
besar dan berpengaruh. Di Indonesia sendiri partai politik pertama kali lahir pada zaman
kolonial sebagai penggerak bangkitnya kesadaran nasional untuk meraih kemerdekaan.
Partai politik secara umum adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara
konstitusional untuk melaksanakan programnya.3

Sistem kepartaian di Indonesia sendiri mengalami berbagai perubahan-perubahan,


biasanya setiap perubahan pemimpin atau presiden disertai perubahan sistem kepartaian.

1
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik.. (Jakarta: Rineka Cipta,2010), halaman 10.
2
Ibid halaman 16
3
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008 halaman 407-408.
Akan tetapi, dalam makalah ini penulis akan membandingkan perbedaan sistem partai
politik antara era orde lama dengan orde baru.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu perbandingan politik?
b. Apa itu partai politik?
c. Bagaimana partai politik pada era orde lama?
d. Bagaimana partai politik pada era orde baru?

1.3 Tujuan Penelitian


a. Untuk mengetahui apa itu perbandingan politik.

b. Untuk mengetahui apa itu partai politik.

c. Untuk mengetahui keadaan partai politik pada era orde lama.

d. Untuk mengetahui keadaan partai politik pada era orde baru.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perbandingan Politik
Perbandingan politik atau Muqdranatul Siyasah dalam Bahasa Arab atau
comparative of politics dalam Bahasa Inggris, yaitu membandingkan berbagai
perbedaan dan persamaan hal-hal yang berkenaan dengan perebutan kekuasaan dalam
berebagai negara. Hal tersebut antara lain biasanya berbicara tentang pergolakan
pemerintahannya, sejarah kelahirannya, serta peraturan perubahan kekuasaan4.
2.2 Pengertian Partai Politik
Menurut Miriam Budiardjo (2008), partai politik adalah Partai politik secara
umum adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara
konstitusional untuk melaksanakan programnya5.
Menurut Sigmund Neumann (1963), mengatakan bahwa partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan
atau golongan-golongan lainnya yang mempunyai pandangan yang berbeda6.
Carl J. Friedrich menuliskan dalam bukunya yang berjudul Constitutional
Govermnet and Democracy bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini,
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materil7.
Roger Soltau (1961) menerangkan yang dimaksud partai politik adalah
sekelompok warganegara yang terorganisasi yang bertindak sebagai suatu kesatuan
politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai
pemerintah dan melakukan kebijakan mereka sendiri8.
Inu Kencana Syafiie menyimpulkan bahwa partai politik adalah sekelompok
orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat merebut dan mempertahankan

4
Inu Kencana Syafiie. Ilmu Politik. Penerbit Rineka Cipta Jakarta 2010 halaman 153.

5
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2008 halaman 407-
408

6
Ibid
7
Ibid
8
DDIP halaman 325.
kekuasaan (yang menurut pendapat mereka pribadi paling idealis) dengan tujuan untuk
memperjuangkan kebenaran dalam suatu level tingkat negara9.

2.3 Partai Politik Pada Era Orde Lama


Di Indonesia partai politik merupakan bagian dari kehidupan politik selama
kurang lebih seratus tahun. Di Eropa Barat, terutama di Inggris, partai politik telah
muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok
masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa.
Saat ini partai politik ditemukan di hamper semua negara di dunia.
Di Indonesia kita terutama mengenal sistem sistem multi-partai, sekalipun
gejala partai-tunggal dan dwi-partai tidak asing dalam sejarah kita. Sistem yang
kemudian berlaku berdasarkan sistem tiga orsospol dapat dikategorikan sebagai sistem
multi-partai dengan dominasi satu partai. Tahun 1998 mula masa Reformasi, Indonesia
kembali ke sistem multi-partai (tanpa dominasi satu partai)
Di era orde lama, sejarah tentang partai politik dibagi dalam tiga masa, yaitu:
 Masa Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
Menyerahnya tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang, yang disusul
dengan kalahnya tentara Jepang, membulatkan tekad bangsa Indonesia untuk
melepaskan diri dari kolonialisme dan fasisme, dan bertekad mendirikan suatu
negara modern yang demokratis.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 keadaan ini
berubah total. Pada tanggal 18 Agustus, Soekarno dan Moh. Hatta dipilih sebagai
Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI dan pada tanggal 22 Agustus, PPKI dalam
sidang terakhirnya menetapkan Aturan Peralihan UUD 1945 selama UUD 1945
belum dapat dibentuk secara sempurna. Selain itu, PPKI menetapkan berdirinya
Badan Keamanan Rakyat (BKR yang kemudian menjadi TNI) dan Komite Nasional
Indonesia (KNI kemudian dikembangkan menjadi Komite Nasional Indonesia
Pusat). KNIP menjadi presiden sebelum MPR dan DPR dapat didirikan, seperti yang
disebutkan dalam Pasal IV Aturan Tambahan dan Peralihan UUD 1945 yang
berbunyi :
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar umum
segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional. Bersamaan dengan itum dubentuk pula suatu partai politik sebagai alat
perjuangan, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), dimana oleh Presiden
Soekarno diharapkan menjadi “motor perjuangan rakyat10.
BKR dan KNIP segera dibentuk dan langsung memainkan peran yang
penting. Keanggotan KNIP diambil dari pemuka masyarakat dari berbagai golongan

9
Ibid.
10
DDIP halaman 425.
dan daerah agar seluruh Indonesia terwakili, ditambah dengan anggota PPKI yang
tidak diangkat menjadi menteri. KNI Daerah juga dibentuk di daerah-daerah. Karena
kesibukan membentuk KNI di daerah, pembentukan PNI sementara tertunda.
KNIP kemudian memberikan usulan baru tentang partai politik, yaitu
mengusulkan gagasan membentuk suatu partai tunggal atau partai negara. Gagasan
ini oleh beberapa kalangan dicurigai, dianggap otoriter sebagai sisa pengaruh
fasisme Jepang11.

Dalam rangka demokratisasi, muncullah Badan Pekerja yang kemudian


mengusulkan agar dibuka kesempatan untuk mendirikan partai-partai politik, dan
usulan tersebut disetujui oleh pemerintah. Dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3
November dikemukakan bahwa: “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur
segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Diharapkan bahwa partai-partai
telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan umum pada bulan Januari 1946.”12
Ditentukan juga pembatasan (restriksi) bahwa partai-partai politik itu hendaknya
memperkuat perjuangan untuk mempertahankan dan menjamin keamanan
masyarakat. Dengan adanya partai-partai ini, lebih mudah bagi pemerintah untuk
minta pertanggungjawaban dari pimpinan organisasi-organisasi perjuangan.
Pengumuman ini serta merta disambut masyarakat dengan gembira karena
selama tiga tahun pendudukan Jepang setiap kegiatan politik dilarang sama sekali.
Semangat nasionalisme serta patriotisme meluap-luap dan tidak dapat dibendung
lagi. Semua golongan masyarakat ingin berpartisipasi dan mendirikan bermacam-
macam organisasi dan partai. Dengan adanya bermacam-macam partai, maka
berakhirlah usaha mendirikan partai-tunggal dan berkembanglah sistem multi-partai
dengan koalisi.
Pada awal revolusi fisik, partai-partai politik memainkan peran penting dalam
proses membuat keputusan-keputusan yang menentukan nasib masyarakat Indonesia.
Wakil-wakil partai duduk dalam kabinet. Akan tetapi ternyata stabilitas politik tidak
tercapai. Tidak adanya partai dengan mayoritas yang jelas (Masyumi dan PNI sama
kuatnya) menyebabkan pemerintah harus selalu berdasarkan koalisi antara partai
besar dengan partai-partai kecil. Koalisi ini ternyata tidak langgeng dan pemerintah
rata-rata hanya bertahan selama kira-kira satu tahun. Dengan demikian, tidak ada
satu kabinet pun yang berhasil melaksanakan program yang telah dicanangkan.
Wakil presiden, serta beberapa menteri ditangkap oleh pihak Belanda, sudah terjadi
delapan kali pergantian kabinet.

11
John D. Legge, Soekarno : Sebuah Biografi Politik, Halaman 231.
12
Osman Raliby, Documenta Historica : Sejarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perjuangan
Negara Republik Indonesia (Jakarta : Bulan Bintang, 1953), halaman 74 dan 529.
Masyumi yang merupakan satu-satunya organisasi yang dalam masa rezim
Jepang dibolehkan mengadakan kegiatan sosial telah memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk berorganisasi secara efektif. Hal ini menyebabkan Masyumi muncul
sebagai partai yang paling besar pada awal revolusi. Beberapa organisasi dari zaman
kolonial yang bergabung misalnya Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.
Selain Masyumi, Partai Nasional Indonesia dapat dianggap sebagai salah satu
partai besar pula. Partai-partai lama seperti Pertindo, Gerindo, dan Parindra
bergabung di dalam PNI. Akan tetapi Parindra, pada bulan November 1949 keluar
dari PNI. Setahun sebelumnya, tahun 1948 beberapa tokoh yang visi politiknya lebih
konservatif dari pimpinan PNI mendirikan Partai Indonesia Raya (PIR).
Di samping partai-partai besar tersebut, partai yang memiliki peran besar pada
awal revolusi adalah golongan sosialis. Pada awalnya, Partai Sosialis yang diketuai
oleh Sjahrir menyetujui penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Akan tetapi partai
itu pecah menjadi dua, yaitu Partai Sosialis, diketuai oleh oleh Amir Sjarifudin, dan
Partai Sosialis Indonesia, yang dipimpin oleh Sjahrir. Alasan perpecahan ini ialah
karena Amir dengan sebagian besar anggota Partai Sosialis lebih bergerak ke sikap
radikal, mendekati komunisme, sedangkan Sjahrir tetap pada ideologi demokrat-
sosial yang moderat.
Partai besar lain yang memainkan peran penting dalam dunia politik
Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia. Partai itu berhasil menguasai kirian.
Akan tetapi Partai itu memperoleh pukulan berat sebagai akibat dari Pemberontakan
Madiun tahun 1948. Begitu pula suara kelompok-kelompok oposisi yang telah
bergabung dengan Partai Komunis Indonesia seperti Partai Buruh.
Dalam revolusi fisik (1945-1949) partai-partai politik memainkan peran yang
penting dalam proses pembuatan keputusan. Wakil-wakil yang duduk dalam KNIP,
dan orang-orang yang duduk dalam kabinet kebanyakan adalah wakil partai. Dalam
masa ini berbagai kabinet menghadapi bermacam-macam tantangan baik dari luar
maupun dari dalam, misalnya dua Aksi Militer Belanda pada tahun 1947 dan1948,
dan pemberontakan PKI pada tahun 1948. Partai-partai tidak selalu sepakat
mengenai strategi perjuangan dan masalah-masalah lain. Setiap kali kabinet jatuh,
komposisi partai dalam kabinet koalisi pun berubah.
Sikap partai-partai besar terhadap perundingan dengan pihak Belanda tidak
terlalu jelas. Masyumi, meski enam menteri dalam Kabinet Sjahrir yang
menandatangani Perjanjian Linggarjati, memilih untuk abstain ketika KNIP
melalkukan voting tentaf Perjanjian tersebur di Malang pada tahun 1947. Partai
Nasionalis Indonesia, dengan empat menteri dalam Kabinet Shahrir, juga demikian.
Namun, tak satu pun dari kedua partai ini menarik kembali menteri-menterinya,
karena diasumsikan bahwa keberadaan para menteri ini merupakan tanggung jawab
pribadinya. Penarikan kembali menteri baru terjadi saat penandatanganan Perjanjian
Renville oleh Amir Sjarifuddin pada tanggal 23 Januari 1948. Sebagai tanda
penolakannya Masyumi menarik empat menterinya dari kabinet sebelum
penandatanganan, sedangkan Partai Nasional Indonesia setekah penandatanganan.
Sikap partai-partai mengenai Perjanjian Meja Bundar agak lebih jelas. Baik
Masyumi maupun PNI mendukung perjanjian itu ketika dilakukan voting pada
sidang pleno KNIP yang keenam tanggal 14 Desember 1949. PKI yang telah
kehilangan banyak pengikut sebagai akibat Pemberontakan Madiun 1948,
menentang perjanjian itu. Karena itu sikap PKI tidak berpengaruh. Begitu pula suara
kelompok-kelompok oposisi yang telah bergabung dengan PKI, seperti Partai Buruh.
Dapat dikatakan bahwa “Pemberontak Madiun” merupakan titik balik dalam
konstelasi politik di Indonesia. Mulai saat itu, partai-partai seperti PNI dan Masyumi
mendominasi panorama politik Indonesia. Peran mereka ini tercermin dalam KNIP
dan Badan Pekerja.

 Masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)


Dalam masa ini partai-partai politik secara aktif mendukung usaha
menggabungkan negara-negara bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Konstelasi partai politik tidak banyak berubah.

 Masa Pengakuan Kedaulatan


Sesudah kedaulatan de jure pada bulan Desember 1949 kita akhirnya diakui
oleh dunia luar, dan sesudah berlakunya UUDS pada bulan Agustus 1950, pola
kabinet koalisi berjalan terus. Semua koalisi melibatkan kedua partai besar yaitu
Masyumi dan PNI, masing-masing dengan partai-partai pengikutnya. Koalisi partai-
partai besar ini menyebabkan kabinet terus silih berganti.
Akan tetapi stabilitas politik yang sangat didambakan tidak tercapai. Tidak
adanya partai dengan mayoritas yang jelas (Masyumi dan PNI kira kira sama
kuatnya) menyebabkan pemerintah harus selalu berdasarokan koalisi antara partai-
partai besar dengan partai-partai kecil. Koalisi-koalisi ini ternyata tidak langgeng dan
pemerintah rata-rata hanya bertahan selama kira-kira satu tahun.
Dengan terbentuknya kabinet pertama yang dipimpin oleh Masyumi (dengan
Natsir sebagai pemimpinnya) bangsa Indonesia mulai membangun suatu negara
modern (nation building). Salah satu usaha ialah menyusun suatu UU Pemilihan
Umum sebagai simbol persepsi bangsa Indonesia mengenai demokrasi. Meskipun
UUD tidak menyebut pemilihan umum sebagai cara untuk memilih wakil rakyat atau
pemimpin negara, ikhtiar ke arah itu sudah dimulai sejak 1946. Namun baru pada
1955 Kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi berhasil melaksanakan Pemilu
untuk anggota DPR serta anggota Konstituante. Pada waktu itu persepsi masyarakat
Indonesia ialah bahwa pemilihan umum merupakan wahana demokrasi yang sangat
krusial. Diharapkan pemilihan umum akan mengakhiri pertikaian antara partai dan di
dalam partai masing-masing yang pada akhirnya membawa stabilitas politik.
Kabinet pertama hasil pemilihan umum merupakan koalisi dari dua partai
besar, PNI dan Masyumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (II) dari PNI. PKI tetap di luar kabinet, sesuatu
hal yang sangat disesalkan oleh Presiden Soekarno. Kabinet ini merupakan kabinet
yang mendapat dukungan paling besar yang pernah diperoleh suatu kabinet dalam
DPR. Akan tetapi ternyata bahwa pemilihan umum pun tidak dapat membawa
stabilitas yang sudah lama didambakan. Kabinet Ali II ini hanya bertahan selama dua
belas bulan (Maret 1956-April 1957) dan selama itu dihadapkan pada bermacam-
macam masalah seperti Konsepsi Presiden dan pergolakan di daerah.
Kabinet Ali II diganti oleh Kabinet Djuanda yang memimpin kabinet ini
sebagai orang non-partai. Kabinetnya disebut “Kabinet Kerja” atau Zakenkabinet
Ekstra-Parlementer, Kabinet Djuanda berhasil bertahan selama dua tahun tiga bulan
(25 April 1957- Juli 1959).
Dengan begitu karakteristik periode ini berupa suatu seri krisis kabinet yang
tiada henti-hentinya, sehingga sering disebut sebagai an uninterupted series crises.
Pada umumnya yang disalahkan adalah partai politik. Salaj satu sebab adalah
keuataan bahwa dua partai yang bersaing tidak dapat memperoleh mayoritas di
parlemen. Untuk keperluan itu setiap partai baru membentuk koalisi dengan partai-
partai kecil. Akan tetapo tidak ada loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai
yang menyatakan tidak setuju dengan kebijakan kabinet menarik kembali
dukungannya, sehingga kabinet jatuh karena kehilangan mayoritas dalam parlemen
dan terjadi krisis kabinet. Untuk mengisi kekosongan dibentuk suatu kabinet baru
dengan koalisi baru yang komposisinya berbeda pula. Dalam keadaan seperti ini
sikap partai-partai tidak selalu konsisten; adakalanya tidak menarik kembali dengan
dalil kedudukan menteri dalam kabinet bersifat pribadi. Dengan demikian umur
setiap kabinet pendek dan stabilitas politik terganggu.
Selain itu ada sejumlah persoalan dalam partai masing-masing. Salah satu
persoalan tersebut adalah loyalitas anggota terhadap partainya ternyata sangat tipis,
sedangkan kekuatan-kekiatan sentrifugal sangat kuat. Tokoh-tokoh partai politik
tidak segan-segan keluar dari partai induknya begitu timbul konflik probadi dan
mendirikan partai baru. Jal ini terjadi biasanya pada saat-saat menjelang
pembentukan atau sesudah pembentukan suatu kabinet baru, ketika satu atau dua
orang tokoh partai tidak berhasil memperoleh kedudukan sebagai menteri dalam
kabinet baru. Perilaku-perilaku ini menimbulkan fragmentasi partai.
Sebagai contoh dapat kita lihat perpecahan yang terjadi di beberapa partai
politik. Di kalangan Masyumi, PSSI memisahkan diri dalri Masyumi pada tahun
1947, sedangkan NU keluar dari Masumi pada tahun 952. Fragmentasi juga dialami
PNI pada 1949 waktu Parindra keluar dari PNI, dan pada tahun 1950 waktu beberapa
tokoh keluar dan mendirikan Partai Rakyat Nasional (PRN). Disusul dengan
pendirian Partai Indonesia Raya (PIR). PIR pada 1954 pecah menjadi dua PIR, satu
dipimpin oleh Wongsonegoro, dan yang lain dipimpin oleh Hazairin. Hal ini
menyebabkan badan eksekutif lemah dalam menghadapi masalah baik nasional
maupun internasional. Menanggapi hal ini, Presiden Soekarno memperlihatkan
kekesalannya dengan menyerukan agar semua partai politik dikuburkan saja.
Sementara itu, sesudah dua setengah tahun bersidang, Konstituante yang pada
10 November 1956 kembali, tetapi tidak berhasil merumuskan suatu UUD baru.
Sekalipun telah tercapai kesepakatan mengenai banyak masalah antara lain wilayah,
sistem pemerintahan, dan hak-hak asasi manusia, satu masalah tetap tidak dapat
dirumuskan yaitu mengenai UUD.
Dalam perdebatan mengenai UUD, konstelasi politik dalam Konstituante
terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu golongan nasionalis—dengan anggota
antara lain PNI, PKI, IPKI—yang terdiri atas 274 anggota dan golongan agama—
dengan anggota Masyumi dan NU—yang terdiri atas 230 anggota. Di luar kedua
kelompok besar ini terdapat sebuah kelompok kecil sosial-ekonomi yang terdiri dari
10 anggota yang juga meramaikan perdebatan tersebut.
Karena perbedaan antara dua golongan besar itu tampaknya tidak dapat
diatasi, Presiden Soekarno pada tanggal 22 April 1959 mengajukan usul dalam
sidang Konstituante untuk kembali ke UUD 1945, suatu ide yang beberapa waktu
sebelumnya telah dikemukakan oleh Jenderal Nasution dalam sidang Dewan
Nasional pada tahun 1958. Ucapan Jenderal Nasution ini mencerminkan kekecewaan
di kalangan masyarakat karena sudah empat tahun berunding tetapi belum juga ada
kesepakatan mengenai UUD baru. Rasa tidak sabar terutama terdapat di kalangan
tentara yang mengharapkan suatu eksekutif yang kuat untuk menghadapi hadangan
dari partai dan mengonsentrasikan pada pembangunan. Memang peran tentara di
gelanggang politik telah berkembang dengan diumumkannya OB pada tahun 19957
sesudah jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo, kabinet terakhir di zaman Demokrasi
Parlementer.
Sesudah pembicaraan panjang, kelompok nasionalis dan kelompok agama
akhirnya dapat menerima usulan untuk kembali ke UUD 1945. Bagi kelompok
agama, penerimaan ini dengan syarat yaitu diterima dengan sesuatu amandemen di
mana perumusam Piagam Jakarta dicantumkan di dalam UUD 1945. Dalam sidang
pleno amandemen yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1959, K.H. Masykur
sebagai pengusul, kalah suara.
Setelah kekalahan tersebur, diadakan pemunggutan suara mengenai usul
Presiden Soekarano tanpa amandemen sampai tiga kali, yang hasilnya kira-kira
sama. Dalam sidang pemunggutan suara terakhir yang diselenggarakan pada tanggal
2 Juni 1959 dihadiri oleh 468 anggota menghasilkan 263 suara setuju (yang
diperlukan 312 setuju) dan 203 tidak setuju. Hal ini berarti bahwa golongan
nasionalis memperoleh mayoritas meskipun belum mencapai mayoritas 2/3 dari
anggota yang hadir seperti yang disyaratkan dalam pasal 137 UUD Sementara.
Sesudah kekalahan pemerintah itu, Konstituante direseskan. Kedau pimpinan
Konstituante, Ketua Wilopo (PNI) dan wakil ketua Prawoto Mangkusasmito
(Masumi) dikabarkan akan bertemu dan mencoba untuk ‘menyelamatkan’
konstituante, sementara itu muncul dasas-desus bahwa sebagian besar anggora
Konstituante antara lain PKI, PNI, dan IPKI akan memboikot sidang Konstituante.
Setelah munculnya desas-desus tersebut, muncul pula berita bahwa Suwirjo, Ketua
Umum PNI, telah mengirimkan kawat ke Presiden Sukarno di Jepang bahwa
partainya setuju UUD 1945 didekritkan dan Konstituante dibubarkan saja.
Presiden Soekarno yang mendukung pemikiran kembali ke UUD 1945, pada
tanggal 5 Juli mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 45 sekembalinyadari
perjalanan ke Jepang. Sebagai kompromi antara kedua golongan dibuatlah sebuah
konsiderans yang menyatakan bahwa :”Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah suatu rangkaian kesatuan
dengan situasi tersebut”. Tindakan tersebut mengakhiri periode berlakunya sistem
demokrasi parlementer, sekaligus menghentikan perjuangan untuk menggapai
demokrasi dan usaha mencapai suatu sistem politik yang demokratis.
Rangkaian kejadian tersebut memperlihatkan bahwa usaha mendirikan dasar
demokrasi di negara kita dianggap gagal. Pada awalnya memang ada keinginan yang
tulus untuk mendirikan negara demokrasi. Kelemahan usaha ini ialah bahwa kita
belum pernah melihat atau mengklaim democracy in action. Lagi pula tidak disadari
bahwa demokrasi tidak hanya berarti kebebasan, tetapi jiga menuntut etos dan
perilaku yang bertanggung jawab. Herbert Feith pernah menamakan masa demokrasi
ini sebagai demokrasi tak terkendalikan.
Banyak pihak yang menyalahkan perilaku partai-partai politik sebagai sumber
dari kegagalan berjalannya demokrasi parlementer. Sekalipun sistem politik
Indonesia di masa Demokrasi Parlemter dianggap gagal, akan tetapi perlu diakui
bahwa periode ini juga banyak jasanya. Di bidang legislasi, misalnya, partai-partai
melalui badan legeslatif, baik dalam Parlemen Sementera maupun Parlemen hasil
Pemilu 1955, berhasil mencapai rekokr dalam pembuatan undang-undang per tahun.
Hasil ini sangat mengesankan apabila dibandingkan dengan DPR hasil pemilu
1971yang output-nya hanya 8 undang-undang per tahun.

 Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)


Zaman ini ditandai pertama dengan diperkuatnya kedudukan presiden, antara
lain dengan ditetapkannya sebagai Presiden seumur hidup melalui TAP MPR No
III/1962. Kedua, pengurangan peranan partai politik, kecuali PKI yang malahan
mendapat kesempatan untuk berkembang. Ketiga, peningkatan peranan militer
sebagai kekuatan sosial politik. Kadang-kadang masa ini dinamakan periode segi
tiga Soekarno, TNI, dan PKI (dengan Presiden Soekarno di sudut paling atas) karena
merupakan perebutan kekuasaan antara tiga kekuatan itu.
Dalam rangka melaksanakan konsep Demokrasi Terpimpin berdasarkan UUD
1945 Presiden Soekarno membentuk alat-alat kenagaraan seperti MPR dan DPA.
Selain itu juga dibentuk suatau Dewan Nasional yang terdiri atas 40 anggota yang
separuhnya terdiri atas golongan fungsional, seperti golongan buruh, tani,
pengusaha, wanita, pemuda, wakil-wakil berbagai agama, wakil daerah, dan wakil
ABRI. Komposisi Dewan Nasional mencermikan pemikiran bahwa di luar partai
politik beberapa kelompok masyarakat (termasuk ABRI) perlu didengan suaranya
dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Dalam rangka memperkuat badan eksekutif dimulailah beberapa ikhtiar untuk
menyederahanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai melalui Penpres
No. 7/1959. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan
pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang kemudian dinyatakan
memenuhi syarat adalh PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai
Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, sedangkan beberapa partai lain
dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada
tahun 1960 yang tersisa tinggal sepuluh partai politik saja.
Disamping itu, pemerintah mencari wadah untuk memobilisasi semua
kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah yang mendasarkan pada
NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front Nasional. Semua partai,
termasuk PKI terwakili di dalamnya. Begitu juga kelompok-kelompok yang
sebelumnya kurang mendapat kesempatan unruk berpartisipasi dalam proses
membuat keputusan seperti golongan fungsional dan ABRI. Melalui kehadirannya
dalam Front Nasional yang berdasarkan NASAKOM, PKI berhasil mengembangkan
sayapnya dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan politik. Secara umum
dianggap bahwa Front Nasional ditujukan untuk melemahkan kedudukan partai-
partai politik.
2.4 Partai Politik pada Era Orde Baru (1965-1998)
Salah satu tindakan MPRS ialah mencabut kembali ketapan NO III/1963
tentang penetapan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Tindakan lain yang
dilakukan oleh Orde Baru adalah pembubaran PKI melalui TAP MPRS No. XXV/1966,
sedangkan Partindo yang telah menjalin hubungna erat dengan PKI, dibekukan pada
tahun yang sama.
Sementara itu terjadi perdebatan melalui berbagai seminar dan media massa,
antara lain mengenai perlunya mendirikan demokrasi dan membentuk suatu sistem
politik yang demokrasi dengan merombak struktur politik yang ada. Partai politik yang
menjadi sasaran utama dari kecaman masyarakat dianggap telah beritndak memecah
belah karena terlalu mementingkan ideologi serta kepentingan masing-masing.
Keterlibatan ini sedemikian dalamnya sehingga mereka tidak sampai menyusun
program kerja yang dapat dilaksanakan.
Salah satu instansi yang pada masa itu menarik perhatian adalah Seskoad,
Bandung, lembaga yang sedikit banyak bertindak sebagai pusat pemikir untuk Orde
Baru. Salah satu peristiwa yang penting adalah diadakannya Seminar Angkatan Darat II
di Bandung pada tahun 1966. Beberapa perwira ABRI dan bebrapa tokoh sipil diundang
untuk membicarakan masalah-masalah yang menyangkut penegakan Orde Baru.
Beberapa cindekiawan dari kalangan universitas diundang untuk memberikan makalah
dan berpartisipasi dalam diskusi. Salah satu makalah yang berjudul Pemilihan Umum
dan Orde Baru membahas tentang dua sistem pemilihan, yaitu sistem perwakilan
berimbang (atau sistem proporsional) dan sistem distrik.
Mengingat keadaan di Indonesia, seandainya sistem distrik diselenggarakan di
Indonesia sebagi pengganti sistem proporsional yang telah dipakai dalam Pemilu 1955,
ada kemungkinan terjadinya penyederhanaan partai secara alamiah (tanpa paksaan)
karena jumlah partai kecil mungkin akan berkurang, sekurang-kurangnya mereka akan
terdorong untuk bekerja sama satu sama lain. Hal ini diharapkan sedikit banyak
meningkatkan stabilitas politik yang kadarnya masih lemah.
Sebagai hasil perdebatan, baik dalam Seminar Angkatan Darat maupun diluar,
akhirnya sistem distrik dituangkan dalam rancangan undang-undang pemilu yang
diajukan kepada parlemen pada awal tahun 1967 bersama dua RUU lain. Akan tetapi
ternyata RUU ini sangat dikecam oleh partai-partai politik, karena dianggap dapat
merugikan mereka dan juga karena mencakup beberapa ide baru seperti duduknya wakil
ABRI sebagai anggota parlemen.
Akhirnya pada tanggal 27 Juli 1967 pemerintah dan partai-partai mencapai
suatu kesepakatan dimana kedua belah pihak memberi konsesi. Pemerintah mengalah
dengan menyetujui sistem pemilu proporsional, tetapi dengan beberapa modifikasi
antara lain tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehingga
perwakilan dari daerah di luar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa. Di
pihak lain, partai-partai mengalah dengan diterimanya ketentuan bahwa 100 anggota
parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongna ABRI (75) dan non ABRI
(25) dengan ketentuan bahwa golongan militer tidak aka menggunakan haknya untuk
memilih dan dipilih. Berdasarkan kosensus itu pada tanggal 8 Desember 1967 RUU
diterima baik oleh parlemen dan pemilu Orde Baru yang diikuti oleh 10 partai politik
diselenggarakan tahun 1971.
Akan tetapi ada berbagai kelompok dalam masyarakat dan dikalangan militer
yang sangat kecewa dengan Konsensus yang diccapai dalam tahun 1967 karena
dianggap sebagai kekalahan bagi kekuatan-kekuatan yang ingin merombak struktur
politik. Kelompok-kelompok ini tidak sabar melihat lambannya pembaharuan.
Salah satu kelompok yang vokal adalah beberapa kaum cindekiawan dan
beberapa kalangan militer di Jawa Barat, terutama dari kalangan Divisi Siliwangi dan
Kostrad. Mereka merasa terusik melihat partai-partai bertindak atas dasar memenangkan
ideoleginya tanpa mengajukan suatu program konkret yang dapat dilaksanakan.
Diharapkan bahwa masalah ini dapat diselesaikan lewat pembubaran partai dan
penyusunan suatu sistem dwi-partai di mana kedua partai berorientasi pada program
pembangunan, dan hanya berbeda dalam persepsi mengenai cara untuk melakukan
pembangunan itu.
Pemikiran yang sangat baru ini mendapat dukungan kuat dari panglima Divis
Siliwangi Jenderal Dharsono. Ketika pemikiran inni untuk pertama kali muncul di Jawa
Barat, langsung mendapat sorotan yang tajam dalam diskusi dan media massa. Karena
itu diadakan modifikasi sehingga konsep dwi-partai diubah menjadi konsep dwi-grup.
Perubahan ini mencakup ketentuan bahwa partai politik tidak dibubarkan, akan tetapi
akan dikelompokkan dalam dua grup.
Akan tetapi sewaktu dicobadilaksanakan di beberapa kabupaten di Jawa Barat
pada tahun 1968 dan awal 1969, ternyata tindakan ini mengundang banyak kecaman
dan menimbulkan keresahan. Keresahan itu baru reda waktu usaha dan kegiatan ke arah
terbentuknya dwi-grup dihentikan tahun itu juga, dan partai politik merasa yakin bahwa
eksistensi mereka sudah aman kembali. Dengan demikian berakhirlah eksperimen
dengan sistem dwi-partai dan dwi-grup.
Eksperimen dengan sistem dwi-partai gagal dikarenakan beberapa hal, pertama
sistem ini sama sekali baru dalam kehidupan politik di Indonesia. Tidak ada satupun
presiden dalam sejarah bangsa kita yang dianggap terlalu radikal. Mungkin ide itu
bekum dipiirkan secara matang, apalagi langkah-langkah pelaksanaannya. Lagi pula
rencana ini kurang dimasyarakatkan sebelum diselenggarakan di beberapa tempat di
Indonesia.
Mungkin eksperimen dengan dwi-partai terpengaruh oleh pengalaman di
beberapa negara Barat seperti Inggris dan Amerika yang telah berhasil menghasilkan—
tentu bersamaan dengan beberapa faktor lain—stabilitas yang cukup mantap dan
langgeng. Akan tetapi mengenai tujuan negara dan cara untuk mencapainya, perubahan
ini mungkin dianggap terlalu radikal dan mengalami banyak kesulitan serta tantangan
sehingga pada tahun 1969 ditinggalkan sama sekali.
Sementara itu peranan golongan militer bertambah kuat uang menimbulkan
sebuah rezim otoriter. Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang
sedikit banyak radikal. Di mjuka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto
mengemukakakn sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah
kampanye pemilu tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan
sama sekali. Pengelompokan ini mencakup tiga kelompok besar, yaitu Golongan
Nasional, Golongan Spiritual, dam Golongan Karya. Usaha ini, yang sebenarnya ingin
dilaksanakan sebelum pemilu 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan pada waktunya dan
pemilu 1971 diadakan dengan sembilan partai politik dan Golkar.
Pengelompokan dalam tiga golongan baru terjadi pada tahun 1973. Empat partai
Islam, yaitu NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan.
Selain itu, PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Dengan demikian mulai pemilu 1977 hanya tiga orsospol, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.
Langkah berikutnya untuk menata sistem kepartaian adalah konsep Pancasila
sebagai satu-satunya asas. Hal itu merupakan pelaksanaan dari gagasan yang telah
dikemukakan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya di depan sidang paripurna DPR
16 Agustus 1982. Maksudnya agar tidak terjadi lagi penyimpangan seperti masa lalu
atau persaingan antara partai karena tiap partai cenderung menonjolkan dan
memperjuangkan asas mereka masing-masing.
Dengan demikian proses penyederhanaan partai yang telah dimulai pada zaman
Demokrasi Terpimpin, akhirnya terlaksana secar efektif pada zaman Pancasila dengan
tiga partai yang berasas Pancasila. Mulai dengan Pemilu 1982 sampai pemilu 19987
Golkar selalu menunjukkan kenaikan. Hanya pada pemiu 1992 Golkar mengalami
kemunduran. Akan tetapi pada pemilu 1997 Golkar menang besar-besaran.
Kemenangan ini antara lain karena diberlakukan massa mengambang serta intervensi
aparatur negara secar berlebihan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya penyederhanaan partai menjadi tiga
sangat disesalkan masyarakat, karena ada unsut paksaan yang dianggap sebagai
tindakan represif. Di pihak lain dapat disesalkan pula bahwa tiga partai besar itu kurang
memanfaatkan peluang untuk mempersatukan berbagai unsur di bandannya sendiri
sehingga, sesudah rezim Soeharto jatuh, tiga kelompok terutama PPP dan PDI kembali
pecah.
Di pihak lain ada pendapat bahwa penyederhanaan partai telah mengakibatkan
bahwa untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia telah—tentu dibarengi dengan
beberapa faktor lain—telah menghasilkan suatu kekuatan politik yang bersifat
mayoritas dalam suasana politik yang semi-kompetitif. Kehadiran suatu mayoritas dapat
menunjang kesinambungan pembangunan secara mantap, sekaligus ada kejelasan pihak
mana yang memikul tanggung jawab atas kebijakan-kebijakan umum. Dalam hubungan
ini patut disebut pendapat seorang ahli ilmu politik, Dr. Alfian, bahwa adanya partai
mayoritas adalah “baik” karena diperkirakan kestabiilan mudah diperoleh dan dengan
demikian demokrasi seharusnya dapat berkembang dengan baik.
Dalam enam pemilu Orde Baru lebih dari 90% dari mereka yang berhak
memilih, memakai hak pilihnya, naja dapat kiranya disimpulkan bahwa menurut ukuran
formal vukup banyak anggota masyarakat yang merasa terwakili melalui saah satu tiga
partai ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Perbandingan politik Muqdranatul Siyasah dalam Bahasa Arab atau comparative of
politics dalam Bahasa Inggris, yaitu membandingkan berbagai perbedaan dan
persamaan hal-hal yang berkenaan dengan perebutan kekuasaan dalam berebagai
negara.
 Partai politik adalah sekelompok orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat
merebut dan mempertahankan kekuasaan (yang menurut pendapat mereka pribadi
paling idealis) dengan tujuan untuk memperjuangkan kebenaran dalam suatu level
tingkat negara,
 Partai politik memulai sejarahnya di orde lama dengan dikeluarkannya maklumat
pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol,
sejak saat itu berdirilah puluhan partai politik. Maklumat ini ditandatangani oleh
Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-
luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Kemudian terjadi penyederhanaan partai
politik. Jumlah partai yang semula puluhan banyaknya, terseleksi sehingga hingga
menjadi belasan saja. Jumlah yang mengecil itu bertahan sampai dengan berubahnya
iklim politik dari alam demokrasi liberal ke dalam demokrasi terpimpin. Proses
penyederhanaan partai berlangsung terus-menerus. Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden
Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan,
pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden
Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang
lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji,
dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti.

 Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI, adalah dengan


dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik
yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya
Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri
pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru.

Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha
menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru berusaha
menciptakan politik dengan format baru. Artinya menggunakan sistem politik yang
lebih sederhana dengan memberi peranan ABRI lewat fungsi sosialnya. Kristalisasi
Parpol Suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah
partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik,
tetapi pada politik pembangunan. Presiden Suharto juga bersikeras melaksanakan
perombakan tersebut.
Khawatir menghadapi perombakan dari atas, partai-partai yang berhaluan Islam
meleburkan diri dalam partai-partai non Islam berfungsi menjadi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Dengan demikian semenjak itu di Indonesia hanya terdapat tiga buah
organisasi sosial politik, yaitu PPP, Golkar, dan PDI.

Anda mungkin juga menyukai