Anda di halaman 1dari 53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi umum Gunung Srandil

Gunung Srandil berada di Desa Glempang Pasir, Kecamatan

Adipala, Kabupaten Cilacap. Gunung Srandil tepatnya berada di wilayah

kadus I Desa Glempang Pasir, berlokasi di tepi Laut Selatan. Desa

Glempang Pasir memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Welahan

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Samudra Hindia

Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Adiraja

Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Pedasong dan

Desa Kepudang

Secara geografis Gunung Srandil terletak di tepi Laut Selatan, yang

meliputi area luas terdiri dari gunung, sungai, pedesaan, ladang, dan

sawah. Gunung Srandil memang memenuhi syarat sebagai tempat untuk

menenangkan diri supaya lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Gunung Srandil mempunyai tujuh petilasan sebagai berikut: Eyang Gusti

Agung Mukhriti, Kaki Semar Tunggul Sabdo Jati Among Rogo, Nini

Dewi Tanjung Sekar Sari, Sukmo Sejati atau Eyang Guru, Eyang Juragan

Dampu Awang, Eyang Langlang Buana, dan Eyang Mayang Koro.

Gunung Srandil setiap hari ramai dikunjungi oleh pesemedi, tetapi

daerah ini lebih sering dikunjungi pada saat bulan Sura. Banyak pesemedi

42
yang datang dari jauh, bahkan luar pulau Jawa. Kebanyakan orang yang

melakukan semedi di Gunung Srandil adalah orang-orang yang

mengharapkan restu dari para leluhur Srandil untuk mencalonkan diri

menjadi pejabat, baik tingkat desa ataupun pejabat daerah dan juga untuk

menjadikan usahanya lancar sehingga tumbuh pesat dan menjadi seorang

pengusaha atau pedagang yang sukses.

B. Deskripsi Informan

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan

data penelitian dari informan. Peneliti memperoleh 9 informan sebagai

narasumber dari penelitian ini. Informan-informan tersebut terdiri dari 2

orang petinggi desa, 1 orang pengelola tempat petilasan Gunung Srandil, 3

orang warga desa Glempang Pasir, 1 orang juru kunci dan 2 orang

pesemedi di Gunung Srandil. Adapun data responden penelitian yakni

sebagai berikut:

1. Bapak Sutikno

Bapak Sutikno adalah salah seorang staff pengelola tempat

petilasan Gunung Srandil. Beliau sudah menjadi penjaga loket

masuk Gunung Srandil sejak beliau masih muda. Beliau dipilih

sebagai informan kunci oleh peneliti karena beliau dianggap

mengerti benar tentang objek kajian dalam penelitian ini, yaitu

kepercayaan orang-orang yang bersemedi di Gunung Srandil, serta

alasan mereka dalam bersemedi di Gunung Srandil. Sangat mudah

43
untuk mendekati beliau untuk diajak wawancara. Beliau orangnya

sangat terbuka. Informasi yang didapatkan peneliti dari beliaupun

cukup banyak dan juga akurat.

2. Bapak Hadi Suwarto

Bapak Hadi Suwarto adalah salah satu informan yang

diperoleh peneliti melalui suatu ketidaksengajaan. Awalnya

peneliti menemui salah seorang warga yang kediamannya terletak

di sekitaran Gunung Srandil, akan tetapi warga tersebut menolak

untuk menjadi informan. Kemudian warga tersebut mengarahkan

kami untuk mewawancarai bapak Hadi Suwarto ini. Bapak hadi

Suwarto juga bertempat tinggal di Desa Glempang Pasir sama

seperti warga yang peneliti mintai kesediannya sebagai informan.

Bapak Hadi langsung bersedia untuk diwawancara dan bersedia

menjadi informan. Pak Hadi merupakan orang asli desa Glempang

Pasir. Beliau berprofesi sebagai Dalang. Selain sebagai Dalang,

ternyata beliau juga menjadi Kuncen (istilah untuk orang yang

mengantarkan seseorang ritual di Gunung Srandil).

3. Bapak Karman

Bapak Karman merupakan Ketua RT 01 Desa Glempang

Pasir. Untuk menjumpai beliau, peneliti harus menunggu terlebih

dahulu sekitar 30 menit. Ketika mendatangi kediaman beliau,

peneliti hanya bertemu dengan istri Bapak Karman, sehingga harus

menunggu terlebih dahulu. Kebetulan pada saat peneliti

44
mendatangi rumah beliau. Beliau sedang tidak berada di

kediamannya.

Peneliti sempat terkejut dengan kediaman rumah beliau

yang bersebelahan langsung dengan tempat ritual Paguyuban

Cahaya Baru. Ketika peneliti bertemu dengan pak karman peneliti

langsung diajak untuk masuk ke gedung Cahaya Baru. Pak

Karman sebenarnya merupakan anggota dari Paguyuban tersebut.

Dari sudut pandang peneliti Pak Karman mempunyai kepercayaan

Kejawen yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari pandangan beliau

mengenai agama. Peneliti tidak mengetahui secara spesifik tentang

kepercayaan yang dianut pak Karman, hanya saja ketika beliau

berbicara tentang istilah-istilah dalam agama islam, beliau seperti

merasa asing dan lupa-lupa ingat dengan istilah-istilah tersebut.

Dalam proses wawancara beliau selalu memberikan wejangan-

wejangan tentang toleransi beragama. Sepertinya beliau orang yang

bertoleransi tinggi terhadap agama manapun.

4. Bapak Sanwikarta

Bapak Sanwikarta merupakan Kepala Desa dari Desa

Glempang Pasir, Adipala, Cilacap. Pak Sanwikarta telah menjabat

sebagai kepala desa Glempang Pasir selama kurang lebih delapan

tahun. Rencana awal peneliti ingin bertemu beliau di Balai desa

Glempang Pasir, tetapi karena pak Sanwikarta tidak di Balai Desa.

Beliau sedang mengurusi proses pengukuran tanah di desanya.

45
Para pegawai Kelurahan menyarankan peneliti untuk menemui

beliau di rumahnya. Sesampainya di rumah beliau, kebetulan

beliau telah selesai mengukur tanah dan sedang beristirahat

bersama dengan rekan kerjanya.

Peneliti tidak mengalami kesulitan dalam mewawancarai

bapak Sanwikarta, beliau langsung menyetujui untuk menjadi

informan, namun dengan syarat proses wawancara tidak memakan

banyak waktu, karena beliau terburu-buru hendak makan siang.

Mungkin beliau cukup lelah seusai mengukur tanah di desanya.

Dalam menjawab pertanyaan beliau cukup santai, sesekali beliau

melemparkan pertanyaan peneliti kepada rekan kerjanya.

5. Ibu Tati

Ibu Tati merupakan warga desa Glempang Pasir yang

berjualan di sekitar area Petilasan Gunung Srandil. Ibu Tati

menjual berbagai jenis makanan dan minuman, mulai dari

makanan ringan, seperti jajanan pasar dan camilan, sampai

makanan berat seperti nasi dan lauk pauknya. Untuk

mewawancarai bu Tati, peneliti melakukan pendekatan dengan

cara menjadi pembeli di warungnya. Sambil peneliti memakan

makanan yang dijual ibu Tati, peneliti mewawancarai beliau.

Proses Wawancara berlangsung rileks dan tidak tegang, seperti

mengobrol biasa, namun peneliti memperoleh beberapa data yang

berguna untuk penelitian ini.

46
Ibu Tati merupakan orang yang meyakinkan peneliti bahwa

orang yang bersemedi di Gunung Srandil itu boleh-boleh saja

untuk diajak mengobrol (diwawancarai). Sebelum ke warung bu

Tati peneliti sempat mengelilingi Gunung Srandil untuk mencari

pesemedi yang dijadikan informan, namun karena para pesemedi

memperlihatkan wajah yang kurang bersahabat dan cenderung

menampilkan ekspresi datar kepada peneliti, maka peneliti

memutuskan untuk tidak mewawancarai orang-orang tersebut.

Setelah mendapatkan saran dari Bu Tati barulah peneliti

memberanikan diri untuk mengajak bicara pesemedi di Gunug

Srandil. Akhirnya ada salah satu orang pesemedi yang cukup

terbuka dan bersedia untuk diwawancara.

6. Bapak Tarum Hadi Suwito

Pak Tarum Hadi Suwito adalah salah satu pesemedi yang

dijumpai peneliti di Gunung Srandil. Di hari itu sebenarnya ada

dua orang pesemedi di Gunung Srandil, namun peneliti memilih

pak Tarum, karena beliau gaya berpakaiannya unik, orangnya

ramah dan bersedia untuk menjadi informan. Peneliti tidak

mengalami kesulitan dalam mewawancarai pak Tarum. Ketika

diajak berdiskusi atau wawancara, beliau cukup enak diajak

berbicara.

7. Bapak Suratno

47
Bapak Suratno adalah seorang pengurus mesjid. Sehari-hari

beliau membersihkan masjid, baik itu menyapu dan juga mengepel.

Pak Suratno, termasuk salah satu dari masyarakat tradisional. Hal

ini bisa dilihat dari gaya berpakaian beliau yang ala kadarnya dan

juga penggunaan bahasa dalam berkomunikasi menggunakan

bahasa daerah tempat beliau tinggal. Peneliti mengalami kesulitan

dalam memahami apa yang dikatakan oleh beliau. Pak Suratno

mempunyai kesulitan dalam berbicara. Jadi kata-kata yang

diucapkan beliau agak samar-samar dan kurang jelas pelafalannya.

Tidak susah mengajak beliau untuk diwawancarai. Beliau secara

sukarela menerima permintaan peneliti untuk menjadi informan.

8. Bapak Asik Syamsuri

Pak Asik Syamsuri adalah salah seorang pesemedi yang

ditemui peneliti di Gunung Srandil. Beliau baru saja tiba di

Gunung Srandil, ketika bertemu dengan peneliti. Beliau bersemedi

ditemani oleh istrinya dan juga bersama adik laki-lakinya. Beliau

dapat bekerjasama dengan baik dalam proses wawancara, tetapi

sang istri terlihat tidak suka ketika suaminya diwawancarai oleh

peneliti. Peneliti sebenarnya juga tidak yakin dengan jawaban yang

diberikan oleh Pak Asik, namun di akhir sesi wawancara Pak Asik

memberikan pernyataan yang cukup menarik bagi peneliti. Beliau

mempunyai prosesi yang unik dalam proses semedi, yaitu dengan

melakukan tawaf memutari Gunung Srandil sambil bertasbih pada

48
jam 11 malam. Hal ini sangat tidak lazim dalam ajaran agama

manapun. Akan tetapi dilihat dari segi tawaf dan bertasbihnya, itu

termasuk hal-hal yang dilakukan umat islam.

9. Bapak Charub Hadi

Bapak Charub merupakan salah satu Juru Kunci atau

Kuncen dari beberapa Juru Kunci yang ada di Gunung Srandil.

Umur beliau sekitar 50 tahunan. Kediaman beliau hanya berjarak

kurang lebih 100 meter dari tempat petilasan daerah gunung

Srandil. Penampilan beliau cukup eksentrik, hampir mirip Ki Joko

Bodho. Peneliti memberikan dua slop rokok untuk bapak Charub,

sebagai ucapan terima kasih karena bersedia untuk diwawancarai

oleh peneliti.

C. Pembahasan dan Hasil Penelitian

1. Sinkretisme yang terjadi pada orang-orang yang bersemedi di

Tempat Petilasan Sekitar Gunung Srandil.

Di dunia ini terdapat banyak sekali ragam kepercayaan yang

diyakini oleh manusia. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan

Konghucu merupakan enam agama yang diakui secara sah

keberadaannya oleh pemerintah Indonesia, namun diluar enam

kepercayaan tersebut, ternyata ada banyak kepercayaan lokal yang

diam-diam masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat. Salah

49
satu dari kepercayaan lokal tersebut adalah kepercayaan terhadap roh-

roh nenek moyang yang terdapat dalam paham kejawen.

Kejawen adalah kepercayaan atau agama yang dianut oleh suku

Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau Jawa. Kata

kejawen berasal dari bahasa jawa yang mempunyai arti, segala sesuatu

yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. Dinamakan

kejawen karena biasanya bahasa pengantar ibadahnya yang digunakan

adalah bahasa Jawa. Secara umum, kejawen termasuk bagian dari

agama lokal Indonesia (Abimanyu, 2009).

Mayoritas orang yang bersemedi di Gunung Srandil adalah

orang yang beragama Islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak

Sanwikarta bahwa kebanyakan orang yang semedi di Gunung Srandil

adalah orang-orang yang beragama islam.

“Sebagian besar itu agama islam. Ada agama yang lain, tapi
tidak banyak mas.” (Sanwikarta, wawancara Senin, 23 Februari
2015, pukul 11.35 WIB).

Adapun sekelompok orang yang berasal dari Bogor melakukan

tahlilan di Gunung Srandil. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Bapak Sanwikarta, bahwa pernah ada sekumpulan orang Bogor datang

ke Srandil untuk menggelar tahlilan.

“Itu orang dari Bogor kalau disitu malah pada Tahlilan.”


(Sanwikarta, wawancara Senin, 23 Februari 2015, pukul 11.35
WIB)

Sekelompok orang yang melakukan tahlilan tersebut

menunjukkan bahwa ada sinkretisme yang terjadi antara agama islam

50
dengan kejawen. Sinkretisme adalah suatu gerakan di bidang filsafat

dan teologi untuk mendatangkan sikap toleransi dan kompromi pada

aspek-aspek yang berbeda dan juga bertentangan (Dagobert, 1976:

308).

Tahlilan yang notabene adalah ritual keagamaan islam dengan

tujuan mendoakan orang yang sudah meninggal dapat tenang di sisi

Tuhan, akan tetapi dilakukan di Petilasan Gunung Srandil yang

merupakan tempat orang kejawen memohon kepada roh-roh nenek

moyangnya.

Kemudian ada salah satu informan orang yang bersemedi di

Srandil, yaitu Pak Asik menyatakan bahwa dirinya melakukan semedi

selain untuk mendekatkan diri atau beristiqomah kepada Allah, juga

untuk menghormati kepercayaan mendiang kakeknya (Hindu).

“Soalnya dulu kan kakek saya yang sudah meninggal itu


agamanya Hindu. Jadi untuk menghormati kakek ya saya
melakukan ritual semedi ini, tapi doanya tetap kepada Allah
SWT.” (Asik, wawancara Kamis 26 Februari 2015, pukul 14.05
WIB)

Simuh (1988) menambahkan dalam sinkretisme yang berkaitan

dalam bidang agama, tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu

agama, akan tetapi lebih fokus kepada murni tidaknya suatu agama itu.

Bagi yang menganut faham sinkretisme, semua agama itu baik dan

benar. Oleh karenanya mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang

baik dari agama-agama yang hendak mereka satukan. Selanjutnya

51
mereka menjadikannya menjadi satu aliran, sekte dan bahkan agama

(Amin, 2000).

Unsur kejawen yang terdapat pada ritual semedi di Gunung

Srandil dapat dilihat juga dari pemilihan hari dimana mereka

menjalankan ritual semedi. Hari yang mereka pilih adalah hari yang

keramat menurut kepercayaan orang Jawa (Kejawen). Sebagaimana

yang dikemukakan oleh Pak Sutikno bahwa orang-orang yang

bersemedi di Gunung Srandil kebanyakan bersemedi di hari kamis

wage malam jumat.

“Kemis Wage Malem Jumat. Mereka memilih hari tersebut


karena menurut para Orang Tua, hari tersebut adalah hari
keramat.” (Sutikno, wawancara Selasa 17 Februari 2015, pukul
12.40 WIB)

Masih mengenai pemilihan hari untuk bersemedi, Pak Hadi

Suwirta menambahkan bahwa ada tiga hari keramat yang biasanya

dipilih orang-orang untuk bersemedi di Gunung Srandil, yaitu Malam

Jumat Kliwon, Malam Selasa Kliwon dan Malam Minggu Wage.

“Malem Jumat Kliwon, malem Selasa Kliwon, Malem Minggu


Wage. Ini aturan dari Pemda itu 3 hari 3 Malam. Tapi tetap ada
yang melanggar sampai 7 hari, 40 hari. Ya terserahlah, yang
penting sudah lapor ke kantor pengelola tempat Gunung
Srandil” (Hadi Suwarto, wawancara Jumat 20 Februari 2015,
pukul 16.00 WIB).

Sedangkan menurut Pak Karman, beliau mengemukakan bahwa

semua hari itu bagus dan baik. Tidak masalah bersemedi di hari

apapun juga . Akan tetapi ada beberapa hari yang dipilih orang untuk

bersemedi di Srandil yang erat juga dengan kejawen.

52
“Ya itu tidak masalah menentukan waktu maupun hari. Jadi hari
itu semuanya bagus. Akan tetapi dengan kebessaran orang-orang
jawa, hari-hari yang disebut kliwonan. Seperti Selasa Kliwon itu
kan hari orang Jawa yakan?. Kemudian Minggu Wage. Maupun
minggu Kliwon terus Jumat Kliwon. Kaya kemaren malem itu
baru pada selesei orang-orang (semedi), baru pada pulang.”
(Karman, wawancara Jumat 20 Februari 2015, pukul 16.18
WIB)

Tidak semua orang yang bersemedi mengerti dan faham benar

mengenai hari-hari yang tepat untuk melakukan semedi. Beberapa dari

mereka ada yang hanya mengira-ira bahkan ngawur memilih hari.

Seperti yang dikemukakan oleh Pak Tarum.

“Ada hari istimewa, kadang Jum’at Kliwon, Selasa Kliwon.,


Minggu Wage. Kalau disini ada 3 versi. Ada yang Minggu
Wage itu dari aliran kejawen. Kalau Selasa Kliwon itu Umum,
Jumat Kliwon juga umum. Kalau saya ikut semua hari-hari yang
sudah saya sebutkan tadi. Karena menurutku semua hari itu
baik, tetapi ada yang terlebih baik. Tergantung tata caranya mau
urusan dunia atau urusan ghaib. Kalau orang yang gatau apa-apa
(dalam bersemedi), ya hanya mraham, mraham mas (ngawur).
Hanya ikut-kutan saja, tapi kalau ini urusan dunia, ini urusan
ghaib kan beda-beda bacaan doanya dan pemilihan harinya.
Paham kejawen Solo dan Jogja berbeda.” (Tarum, wawancara
Senin 23 Februari 2015 pukul 14.40 WIB).

Selain dilihat dari pemilihan hari dalam bersemedi. Paham

Kejawen juga nampak dalam hal kepada siapa orang yang bersemedi

memohon dan meminta agar doa orang bersemedi dikabulkan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Karman, bahwa orang yang

bersemedi berdoa dan memohon kepada Tuhan yang menciptakan

segalanya di Bumi ini. Akan tetapi melalui perantara pepunden atau

para leluhur yang mendiami Gunung Srandil.

“Orang yang bersemedi disini berdoa tetap kepada Tuhan akan


tetapi melalui perantara para pepunden atau leluhur yang ada di
53
sini (Gunung Srandil).” (Karman, wawancara Jumat 20 Februari
2015 pukul 16.04 WIB).

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh pak Karman, pak

Hadi Suwirto juga mengemukakan bahwa orang yang bersemedi di

gunung Srandil dalam meminta dan memohon itu kepada Tuhan, akan

tetapi melalui perantara para leluhur.

“Semua ya minta kepada Tuhan. Tapi lantaran para leluhur.


Saya mohon kepada leluhur atau pepunden tapi melalui
perantara para leluhur. Kan minta ke leluhur, terus leluhur
menyampaikan ke Tuhan.” (Hadi Suwarto, wawancara Jumat 20
Februaru 2015 pukul 15.45 WIB)

Fakta mengenai para pesemedi yang berdoa dan memohon

kepada Tuhan melalui perantara leluhur itu dibenarkan adanya oleh

salah satu orang yang bersmedi di Gunung Srandil, yaitu Pak Tarum.

Pak Tarum juga mengemukakan bahwa tidak ada salahnya apabila kita

mendoakan orang yang sudah meninggal. Itu merupakan hal yang baik.

Namun apabila kita meminta suatu hal kepada orang yang sudah

meninggal, maka dapat dikatakan bahwa itu merupakan suatu

kemusyrikan.

“Kalau saya langsung berdoa kepada tuhan saya. Akan tetapi


melalui perantara para leluhur yang ada disini. Jadi saya
mendoakan leluhur yang ada disini, agar supaya leluhur yang
saya doakan menyampaikan doa saya ke Tuhan.” (Tarum,
wawancara Senin, 23 Februari 2015 pukul 14.40 WIB)

“Kalau kita minta dengan orangmati berarti kita musrik. Bit’ah


kalau orang Muhamadiyah bilang. Tapi Bitah ada dua macam.
Maka orang Muhammadiyah kadang-kadang jangan
menyalahkan. Yang bagaimana yang salah? Tanya saya. Yang
khasanah atau yang ndilalak, kalau yang khasanah itu baik,
kalau yang ndilalak baru saya mundur. Kita mendoakan orang
mati kok, kenapa harus tidak saya doakan?. Kenapa pada naik
54
haji orang Muhamadiyah?. Ngapain ke Mekkah?.” (Tarum,
wawancara Senin 23 Februari 2015 pukul 14.20 WIB)

Menurut Comte sejarah umat manusia sebenarnya ditentukan

oleh pertumbuhan atau perkembangan pemikiran manusia, seharusnya

hukum tertinggi dari ilmu sosiologi adalah tentang perkembangan

intelegensi manusia (Anwar, Adang, 2013). Comte membagi

perkembangan pemikiran manusia menjadi tiga tahap, yaitu teologis,

metafisis dan positivis (Soekanto, 2005). Terkait dengan pembahasan

dalam penelitian ini, yaitu tentang manusia di zaman modern seperti

sekarang ini masih melakukan ritual semedi, dengan mempercayai

bahwa roh-roh leluhur Gunung Srandil dapat membantu meningkatkan

kemungkinan terkabulnya keinginan-keingian para pesemedi, maka

kasus ini masuk dalam ranah metafisis.

Tahap metafisis adalah tahap peralihan dari orang yang

pemkirannya masih sangat tradisional ke manusia yang benar-benar

modern dalam berpikir dan menyikapi suatu kejadian. Artinya di tahap

metafisis ini manusia masih percaya dengan adanya roh-roh yang

mendiami suatu tempat (tradisional), akan tetapi manusia tersebut juga

sudah mulai faham dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang-

orang yang bersemedi di Gunung Srandil adalah orang-orang yang

sebelumnya pernah mengenyam pendidikan (minimal SMA) dan

mereka tidak anti dengan teknologi (pada saat observasi peneliti

mendapati seorang pesemedi yang menggunakan ponsel di sela-sela

55
istirahat dari bersemedi). Orang-orang tersebut juga yakin dan percaya

bahwa roh-roh yang mendiami Gunung Srandil atau pepunden

mempunya kekuatan untuk menyampaikan permohonan para pesemedi

kepada Tuhan.

Saat manusia memohon sesuatu kepada Tuhan, maka seringkali

mereka mengucapkan dan memanjatkan doa. Doa merupakan sarana

manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhannya. Manusia berusaha

menyampaikan permintaan, permohonan dan rasa syukur kepada

Tuhannya melalui doa. Orang yang bersemedi di Gunung Srandil juga

melakukan doa dengan harapan apa yang diinginkan oleh mereka

dikabulkan Tuhan dan juga keinginannya direstui oleh para pepunden

atau roh leluhur yang ada di Srandil. Sebagaimana yang dikemukakan

oleh Sutikno bahwa orang yang bersemedi di Srandil berdoa sesuai

dengan agama yang dipeluknya selama ini.

“Bedoanya ya sesuai agamanya masing-masing mas. Kalau yang


islam ya do’a-do’a agama islam, kalau kristen ya do’a-do’a
kristen.” (Sutikno, wawancara Selasa 17 Februari 2015 pukul
12.40 WIB)

Doa-doa yang dipanjatkan oleh para pesemedi memuat unsur-

unsur atau bernafaskan kejawen. Ini terjadi karena kebanyakan orang

melakukan prosesi ritual adalah orang Jawa, serta lokasi semedi itu

sendiri yaitu di Gunung Srandil yang masuk dalam wilayah Pulau Jawa.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Karman, bahwa orang Jawa

itu kenthal dengan tradisi dan budaya yang ditinggalkan oleh nenek

moyangnya.
56
“Kemungkinan kalau orang islam dengan bismillah
hirrahmanirrahim. Karena orang jawa masih kental dengan
naluri, tradisi dan budaya. Sebelum memasuki tanah pertiwi itu,
orang Jawa punya kepercayaan. Bahwa jawa itu masih
meneruskan peninggalan dari nenek moyang. Sebelum kita lahir
itu kakek saya sudah mempunyai kepercayaan sendiri. Ibaratnya
jalan itu ada seribu jalan tapi tujuannya hanya ada satu yaitu
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah kita ritual, meditasi itu
rasanya tenang pikiran dan batinnya. Jadi kita seolah-olah
menyatu, kepercayaan kita dengan alam itu seolah seiring.”
(Karman, wawancara Jumat 20 Februari 2015 pukul 16.00).

Salah satu pesemedi di Gunung Srandil, Pak Tarum

mengemukakan bahwa berdoa itu ada banyak sekali jenisnya dan itu

bisa menggunakan bahasa apa saja. Orang yang beragama islam

diutamakan jika berdoa menggunakan bahasa arab, akan tetapi jika

tidak bisa maka menggunakan bahasa daerah (Jawa) juga

diperbolehkan.

“Wah kalau doa itu banyak sekali. Doa urusan dunia, atau
urusan apa yang lain. Semua masing-masing mas, tergantung.
Yang dzikir. ga ada yang bagus, yang tinggi yang rendah, semua
itu sama, tergantung tata cara mendalaminya. Ya doa Jawa ya
bisa, kalau arab tidak bisa ya pakai Jawa. Kalau saya kadang
Arab. Kalau yang bahasa arabnya saya tidak tahu, ya saya pakai
Jawa. Ngga papa, Allah Maha Tahu, yang penting kita sebagai
muslim, sholat tetep pakai bahasa Islam. Masalah doa
(memohon), ya nggak papa pakai Jawa. Bahasa Jawa pakai Ya
Gusti. Itu aslinya para Wali yang mengaji Islam, kemudian di
kerajaan-kerajaan bahasanya jadi Jawa (sejarahnya). Agar
mudah dipahami oleh orang-orang Jawa pada zaman dahulu.”
(Tarum, wawancara Senin 23 Februari 2015 pukul 14.17 WIB)

Untuk melakukan suatu ritual, biasanya ada syarat-syarat

tertentu yang harus dipenuhi agar ritual tersebut dianggap sah dan

berjalan lancar. Seperti misalnya syarat sahnya sholat. Seseorang harus

berwudlu terlebih dahulu sebelum ia menjalankan sholat. Apabila orang

57
tersebut tidak wudlu, maka sholatnya dianggap tidak sah. Sama halnya

dengan ritual semedi yang ada di Gunung Srandil. Seseorang harus

memenuhi syarat-syarat tertentu agar ritual tersebut dapat berjalan

dengan baik.

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang

bersemedi di Gunung Srandil. Syarat pertama adalah kembang dan

yang kedua adalah kemenyan (sejenis dupa). Seperti yang dikemukakan

oleh Bapak Karman bahwa syarat yang khusus dan utama untuk

bersemedi di Gunung Srandil adalah kembang dan kemenyan. Kedua

barang tersebut di ibaratkan sebagai amplop dan perangko. Kembang

sebagai amplopnya, dan kemenyan sebagai perangkonya. Amplop yang

berisi surat butuh perangko agar amplop dapat dikirim oleh pak Pos ke

tempat surat dituju. Maka agar doa dapat disampaikan ke Tuhan oleh

pepunden, pesemedi harus menyiapkan kembang dan kemenyan

persyaratannya.

“Ini khusus dan paling utama itu kembang menyan. Maupun


minyak wangi (syarat utama). Kembang itu ibarat surat,
kemenyan itu adalah perangkonya, apa yang dimohon supaya
bisa tercapai.” (Karman, wawancara Jumat 20 Februari 2015
pukul 16.08 WIB)

Peneliti sempat melakukan obseravasi pada tanggal 17 Februari

pukul 13.00 WIB di petilasan-petilasan Gunung Srandil. Peneliti

menemukan bekas-bekas atau sisa dari kembang dan dupa yang telah

padam. Pada saat itu memang sepi orang yang bersemedi, ada hanya

58
satu atau dua orang saja, sehingga yang ditemukan hanya kembang

yang sudah layu dan dupa yang sudah tidak beraroma.

Di hari terakhir peneliti melakukan pengambilan data, yaitu

pada tanggal 26 Februari 2015 pukul 15.05 WIB. Peneliti sempat

memutari dan berkeliling Gunung Srandil, untuk mengamati para

pesemedi yang ada di petilasan-petilasan. Peneliti mendapati kembang

(bunga) yang masih baru dan juga aroma kemenyan yang sangat kuat.

Berarti benar adanya bahwa syarat orang bersemedi pada umumnya

adalah kembang dan kemenyan. Pada hari itu memang lumayan banyak

orang yang bersemedi, namun sebagian besar ada yang meninggalkan

lokasi petilasan untuk makan dan juga ada yang tidur di dalam petilasan

tersebut.

Pada prakteknya tidak semua pesemedi menyiapkan syarat

berupa kembang dan kemenyan tersebut untuk menjalankan semedinya.

Seperti yang dilakukan oleh Pak Tarum. Beliau hanya membawa buku

yang berisikan doa-doa islami, yang senantiasa ia baca di waktu siang

dan sore hari, namun menurut penuturan beliau, orang yang bersemedi

di Gunung Srandil pada umumnya memang membawa kembang dan

kemenyan.

“Kalau saya sih gak bawa apa-apa. Hanya membawa buku yang
isinya doa-doa islami. Tapi kalau umumnya orang semedi disini
ya membawa kembang menyan mas.” (Tarum, wawancara Senin
23 Februari 2015 pukul 14.21 WIB)

Kembali lagi bahwa Srandil merupakan gerbangnya agama.

Semua agama boleh masuk dan juga boleh menjalankan ritual dengan
59
tatacara agama dan kepercayaan masing-masing. Sah-sah saja Pak

Tarum bersemedi dengan tidak membawa kembang dan kemenyan

sebagai syaratnya. Beliau mempunyai prinsip dan tatacara tersendiri

dalam menjalankan ritual di Gunung Srandil.

Pembahasan lainnya mengenai kejawen yaitu tentang tindakan

simbolis orang Jawa dalam hal religi. Ada beberapa tindakan simbolis

orang Jawa dalam hal religi, salah satunya adalah usaha untuk

menambah kekuatannya sendiri, agar dapat mempengaruhi kekuatan

alam semesta atau jagad gedhe. Usaha ini ditempuh dengan jalan

prihatin atau merasakan perihing batin dengan cara cegah dahar lawan

guling, artinya mencegah makan dan mengurangi tidur., mutih : hanya

makan makanan yang serba putih, seperti nasi dan minum air putih atau

air tawar (Herusatoto, 1987).

Mati geni salah satu jenis usaha untuk menambah kekuatan diri.

Tindakan ini juga masuk dalam tindakan simbolis orang Jawa.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Sutikno bahwa orang yang

semedi di Gunug Srandil ada yang menerapkan Mati Geni dan Nganyeb

dalam melakukan semedi.

“Oh iya. Misalnya MATI GENI. Makanan yang mereka makan


adalah makanan yang tidak matang menggunakan api. Seperti
buah-buahan, kan tidak perlu dibakar atau direbus bisa langsung
diamakan.Pepaya, jambu misalnya. Kemudian nganyeb juga,
artinya ia hanya memakan makanan yang rasanya hambar. Tidak
ada rasa asin, pedas, manis dan semacamnya.” (Sutikno,
wawancara Selasa 17 Februari 2015 pukul 12.50)

60
Berbeda dengan penuturan Pak Sutikno, dalam buku Karangan

Herusatoto yang berjudul Simbolisme dalam Budaya Jawa, istilah pati

geni berarti tidak makan dan tidak minum dan tidak melihat sinar

apapun selama 40 hari 40 malam. Pati geni merupakan jenis usaha yang

paling berat dalam tindakan simbolis orang Jawa.

Peneliti sempat memintai tanggapan kepada beberapa informan

tentang apakah bersemedi itu merupakan penyimpangan agama atau

tidak. Ada beberapa informan yang menyatakan bahwa itu adalah suatu

kemusyrikan namun ada juga yang menganggap hal tersebut sah-sah

saja dilakukan, karena beberapa orang melakukannya hanya untuk

menjalankan tradisi.

Sebagaimana yang dikemukakan Pak Hadi bahwa ritual semedi

itu bukan tentang benar atau salah dari sudut pandang agama. Orang-

orang melakukan semedi di Gunung Srandil hanya untuk meneruskan

tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya.

“Ya bagaimana lagi mas, saya tidak bisa menyimpulkan itu


penyimpangan atau tidak. Yang jelas itu kan sudah menjadi tradisi bagi
sebagian orang.” (Hadi, wawancara Jumat 20 Februari 2015 pukul
14.39 WIB)

Suatu waktu pernah ada yang memprotes digunakannya Gunung

Srandil untuk menggelar ritual semedi. Namun karena Semedi juga

merupakan ritual yang dilindungi oleh hukum. Jadi tidak boleh ada

yang mengganggu gugat maupun melarangnya. Sebagaimana yang

dikemukakan Pak Hadi Suwarto.

61
“Pernah ada dari orang-orang agama (pemuka agama)
memprotes. Kepercayaan itu ya dari nenek moyang, semedi itu
sudah seperti menjadi tradisi dan dia dilindungi oleh hukum. Ya
tidak boleh diganggu gugat kan?.” (Hadi, wawancara Jumat 20
Februari 2015 pukul 14.50 WIB)

Digunakannya petilasan gunung Srandil sebagai tempat ritual

berbagai macam agama dan kepercayaan sejatinya tetap mendapatkan

respon yang baik dari masyarakat sekitar Gunung Srandil. Sudah sejak

lama Gunung Srandil digunakan sebagai tempat bersemedi membuat

masyarakat menjadi terbiasa dan tidak melihatnya sebagai hal yang

aneh. Masyarakat juga menghargai segala bentuk ritual yang digelar,

dengan catatan itu tidak mengganggu masyarakat yang bermukim di

sekitaran gunung Srandil.

Warga yang rumahnya berdampingan persis dengan Gunung

Srandil, memanfaatkan keberadaan dan eksistensi Gunung Srandil

dengan cara membuka warung yang menjual makanan dan minuman

untuk para pengunjung Gunung Srandil. Hal tersebut bisa

meningkatkan pendapatan masyarakat dan membantu perekonomian

masyarakat sekitaran Gunung Srandil.

2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang bersemedi di

tempat Petilasan Gunung Srandil

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang memilih

tindakan untuk bersemedi di Gunung Srandil. Sebelum kita melihat

apa saja faktor-faktor yang melatar belakanginya, alangkah lebih baik

62
jika kita mengenal terlebih dahulu dari daerah mana saja orang-orang

yang bersemedi di Srandil itu berasal.

Orang yang bersemedi di Gunung Srandil berasal dari berbagai

daerah di seluruh Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

pengelola tempat petilasan Gunung Srandil, bahwa orang-orang yang

datang untuk bersemedi di Gunung Srandil berasal dari Jambi, Jakarta,

Sumatra, bahkan dari seluruh penjuru Indonesia.

“Jambi, Bali, Medan, dari Sumatra. Pokoknya dari berbagai


daerah di Indonesia lah.” (Sutikno, wawancara Selasa 17
Februari 2015 pukul 13.07)

Selain dari berbagai penjuru Indonesia, ternyata beberapa orang

dari negara-negara Asia Tenggara juga pernah menyambangi Srandil.

Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Hadi Suwarto, bahwa

kepopuleran Gunung Srandil ini bukan hanya terkenal seantero

Indonesia, bahkan sampai Asia pun mengetahui keberadaan Gunung

Srandil ini.

“Ya bukan hanya sepulau Jawa, hampir se-Indonesia. Malah


bisa saja se-Asia. Orang Malaysia saja pernah ada yang kesini”
(Hadi Suwarto, wawancara Jumat 20 Februari 2015 pukul 16.00
WIB.

Hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Pak Hadi, Ibu

Tati yang merupakan penjajak makanan disekitar area Gunung Srandil

juga mengemukakan bahwa orang yang bersemedi di Gunung Srandil

datang dari seluruh penjuru negeri, bahkan oraang Singapura pernah

datang ke Srandil dengan diantarkan seorang Tour Guide.

63
“Wah ya dari seluruh penjuru Indonesia mas. Bapak saya kan
Juru Kunci Gunung Srandil mas. Nah dulu pernah mengantarkan
orang dari Singapura mas. Hanya saja orang Singapura itu
dibawa sama Tour Guide dulu mas, sebelum diserahkan ke
Bapak saya.” (Tati, wawancara Senin 23 Februari 2015, pukul
12.05 WIB.

Pada saat malakukan wawancara dengan bapak Sutikno (Selasa,

17 Februari 2015 pukul 12.56 WIB) selaku penjaga pos dan pengelola

Gunung Srandil, peneliti ditunjukkan dokumen buku pengunjung

Gunung Srandil. Dalam buku pengunjung terdapat informasi nama

orang, asal daerah, lama waktu menjalankan ritual dan alamat lengkap

orang yang berkunjung. Dilihat dari buku tersebut, peneliti

mendapatkan fakta ternyata kebanyakan orang yang ke Gunung

Srandil berasal dalam lingkup pulau Jawa. Sebagai catatan, orang-

orang yang berkunjung ke Gunung Srandil tidak hanya melakukan

semedi, namun ada juga yang hanya berziarah, berdoa, bahkan ada

yang hanya untuk rekreasi.

Orang yang bersemedi di Gunung Srandil mempunyai berbagai

macam latar belakang profesi dan pekerjaan, namun kebanyakan dari

mereka adalah berasal dari kalangan pengusaha seperti pedagang,

pekerja kantoran atau pegawai, dan orang-orang yang hendak

mencalonkan diri sebagai kepala desa dan jabatan pemerintahan lain.

“Pegawai, pedagang, orang tani, atau yang mau mencalonkan


kepala Desa atau DPR.” (Hadi Suwarto, wawancara Jumat 20
Februari 2015 pukul 15.20 WIB)

Pakaian merupakan sarana untuk menutupi tubuh seseorang.

Namun dalam sudut pandang sosial pakaian juga berfungsi sebagai alat
64
untuk menunjukkan identitas seseorang. Misalnya seorang anak SMA

mengenakan seragam Putih Abu-abu untuk menunjukan identitasnya

sebagai seorang pelajar Sekolah Menengah Atas. Orang yang

bersemedi juga ada beberapa yang mengenkan pakaian khusus.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Hadi bahwa orang yang

bersemedi di Guung Srandil memang kebanyakan mengenakan

pakaian biasa yang dikenakan orang sehari-hari. Akan tetapi ada

beberapa orang yang datang secara berkelompok memakai pakaian

khusus. Ada orang yang memakai pakaian adat orang Jawa, seperti

mengenakan blangkon, pakaian lerek-lerek hitam khas Jogja.

“Ya bisa saja, kadang pakai pakaian khusus. Kadang juga tidak.
Ya kaya kejawen, pakai blangkon, baju hitam, apa lerek-lerek ya
kaya jogjaan itu lah. Kalau Muharram, satu Sura itu ada yang
memimpin. Yang memimpin adalah Sarwodadi Ngadiono.
Datang ke Srandil, terus ke Laut. Tetapi sekarang udah
meninggal orangnya. Sekarang yang memimpin istrinya. Dia itu
terkenal orang pintar mas, banyak muridnya.” (Hadi Suwarto,
wawancara Jumat 20 Februri 2015 pukul 15.32 WIB)

Sebenarnya ada banyak tempat untuk seseorang melakukan

semedi. Namun Gunung Srandil mempunyai daya tarik tersendiri yang

membuat tempat tersebut masih eksis digunakan sebagai tempat

bersemedi dari zaman dahulu sampai masa sekarang ini. Sebagaimana

yang dikemukakan oleh Pak Sutikno bahwa orang yang mendengar

kata Srandil itu akan tertarik fikirannya,sehingga ia merasa ingin dan

terpangggil untuk datang. Srandil juga merupakan tempat yang

terkenal sampai kemana-mana.

65
“Ya karena orang mendengar kata Srandil menjadi tertarik
fikirannya. Juga dari petilasan orang-orang sakti dan penting ini
mas. Ibaratnya Srandil ini udah terkenal kemana mana mas, jadi
banyak orang dateng kesini untuk berdoa.” (Sutikno, wawancara
Selasa 17 Februari 2015 pukul 12.45 WIB)

Sudah dibangunnya petilasan-petilasan sebagai tempat ritual

semedi, menjadikan orang yang bersemedi lebih betah dan merasa

nyaman. Ini merupakan satu keunggulan tempat petilasan daerah

Gunung Srandil ketimbang tempat semedi lain yang masih natural atau

bentukan alam langsung, seperti gua-gua dan sejenisnya.Sebagaimana

yang dikemukakan oleh bapak Sanwikarta bahwa:

“Yang jelas waktu dulu itu kan masih belum ada bangunan.
Setelah banyak orang ritual disitu, ada yang menjadi orang
mampu, kemudian tempat petilasan gunung Srandil di bangun
tembok keliling. Tempatnya menjadi bagus dan nyaman untuk
melakukan ritual.” (Sanwikarta, wawancara Senin 23 Februari
2015, puku 11.35 WIB)

Ada beberapa alasan seseorang memilih Gunung Srandil sebagai

tempat bersemedi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu

orang yang bersemedi di Gunung Srandil, yaitu Pak Asik bahwa di

Gunung Srandil itu tempatnya enak, medan yang ditempuh menuju

Gunung Srandil tidak sulit, suasananya tenang, sejuk, banyak

pepohonan.

“Tempatnya tenang aja mas, sejuk, banyak pepohonan, terus


disini juga banyak petilasan mas. Jalanan buat nyampe kesini
juga enak mas, nggak naik turun gunung. Menuju ke tempat ini
jalanannya aspal dan datar.” (Asik, wawancara Kamis 26
Februari, pukul 14.05 WIB)

Pesemedi lain yaitu pak Tarum mengemukakan pendapatnya

bahwa ia memilih Gunung Srandil karena sebuah sugesti atau


66
kepercayaan. Paling penting bagi beliau adalah disitu ada makamnya.

Kemudian ada panggilan hati untuk menuju makam tersebut.

“Ya gini, kadang kala suatu sugesti. Sugesti adalah kepercayaan.


Suatu tempat mana saja yang penting ada makam, akan tetapi
jangan meminta kepada orang mati.” (Tarum, wawancara Senin
23 Februari 2015 pukul 14.45 WIB)

Apa yang dilakukan oleh Pak Tarum tersebut tergolong wisata

spiritual. Sebagai perwujudan rasa bakti kepada para pendahulu,

penganut mistik kejawen juga sering melakukan wisata spiritual

(pilgimrage), dengan ziarah di makam para pujangga dan leluhur-

leluhur Jawa. Wisata spiritual minimal dalam satu tahun dilakukan dua

kali, khususnya pada bulan Sapar dan bulan Sura. Di tempat keramat

itu, mereka secara bersama-sama melakukan wisata budaya spiritual

dengan jalan semedi atau tirakat di pasareyan (makam), seperti

berkunjung ke Makam Sunan Kalijaga di Kalidangu, makam Ki Hajar

Dewantara di Taman Wijaya Brata, di Parangkusuma tempat

pertemuan Panembahan Senapati dengan Ratu Kidul, dan petilasan-

petilasan yang ada di sekitar Gunung Srandil ini (Endraswara, 2006:

28).

Atas dasar wisata spiritual itu, para penganut kejawen jelas

sangat menghargai dan sangat percaya pada roh-roh para leluhur. Para

roh-roh leluhur yang ada di Srandil, dinamakan pepunden oleh

masyarakat sekitar. Roh leluhur itu harus dihormati dan didoakan,

sebab dimungkinkan akan memberikan sawab (berkah) kepada

penerusnya. Wisata spiritual juga dilakukan untuk memperoleh


67
wangsit. Wangsit (tanda-tanda gaib) ini biasanya ditanggapi oleh

penganut kejawen sebagai suatu petunjuk yang perlu segera

ditindaklanjuti dengan laku spiritual (Endraswara, 2006: 28-29).

Orang melakukan sesuatu pasti diawali dengan sebuah niat.

Selain diawali dari niat pribadi, terkadang orang melakukan sesuatu itu

karena adanya dorongan dari orang lain. Sama halnya dengan orang

yang melakukan semedi di Gunung Srandil ada yang melakukannya

karena niat pribadi dan ada yang karena dorongan dari orang lain.

Dorongan dari orang lain yang sifatnya mengikat dan memaksa kepada

seseorang untuk melakukan semedi inilah yang masuk dalam salah

satu indikator adanya norma sosial yang berlaku

Pak Tarum mengemukakan bahwa ia melakuakan semedi itu

karena keinginan dan niatan dari dalam hatinya sendiri. Beliau

mempunyai prinsip tersendiri yang beliau selalu pegang dalam

melakukan segala hal.

“Saya karena keinginan pribadi mas. Saya punya prinsip sendiri


dan punya aturan, tidak mau untuk berbelok dan ikut orang lain.
Saya tahu ajaran agama saya.” (Tarum, wawancara Senin 23
Februari 2015 pukul 14.45 WIB)

Pesemedi lain yang bernama Pak Asik, mengawali

keikutsertaannya dalam dunia semedi di kala dia masih muda.

Awalnya beliau pergi keluar dari rumah untuk melakukan napak tilas,

yaitu mengembara mencari petilasan-petilasan orang sakti atau orang

penting dan melakukan ritual di petilasan tersebut. Ia juga mengaku

sebagai keturunan Kesepuhan. Ia dikeluarkan dari rumah untuk


68
mencari pengalaman di luar, sedangkan saudar Pak Asik yang

perempuan dipingit di dalam rumah.

“Karena keinginan sendiri mas. Dulu saya aslinya Cirebon terus


pindah ke Karawang. Saya itu masih keturunan Kesepuhan. Jadi
saya itu dikeluarkan dari rumah untuk mencari pengalaman di
luar. Kecuali anak perempuan itu dipingit. Kalo anak laki-laki
ya udah di suruh berkelana dari tempat ke tempat. Paling enak
tapi tempat disini.” (Asik, wawancara Kamus 26 Februari 2015
pukul 13.54 WIB)

Pada saat diwawancarai memang informan (Pak Asik) mengaku

bahwa ia melakukan semedi karena keinginan pribadi. Namun awalnya

ia menemukan Gunung Srandil dengan cara melakukan napak tilas.

Napak tilas yang ia lakukan merupakan dorongan dari orang tua

informan. Orang tua sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah

keluarga berhak memberikan perintah langsung kepada anggota

keluarga. Jika anggota mengabaikan perintah tersebut, maka anggota

keluarga tersebut bisa dikenai sanksi. Sama halnya dengan Pak Asik, ia

akan mendapatkan sanksi dari orang tuanya jika ia tidak mengiyakan

perintah orang tuanya untuk pergi keluar, berkelana untuk mencari

pengalaman di luar.

Orang-orang yang bersemedi di Gunung Srandil mempunyai

latar belakang masalah yang menyebabkan ia melakukan ritual semedi

tersebut. Beberapa dari mereka berasal dari keadaan perekonomian

yang lemah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu Tati bahwa

orang yang bersemedi di Gunung Srandil kebanyakan adalah orang-

orang yang sedang dililit hutang.

69
“Orang yang ritual disini orang-orangnya banyak yang karena
dililit utang mas. Kebanyakan orang susah.” (Tati, wawancara
Senin 23 Februari 2015 pukul 12.35)

Ada lagi menurut Pak Sanwikarta bahwa kaitannya dengan

profesi yang sudah disebutkan oleh beliau, yaitu pengusaha dan dukun.

Dua kalangan profesi tersebut berangkat dari keadaan yang kurang.

Pengusaha adalah ia yang berdagang masih sunyi senyap, dan untuk

dukun, mereka adalah dukun yang kurang tinggi ilmunya.

“Yang jelas ya pengusaha, dukun, kaitannya dengan ritual itu


sih. Kalo orang datang ke Srandil itu semuanya orang kurang.
Kurang dalam artian dukun ya dukun kurang mampu. Kemudian
sowan kesitu minta petunjuk dengan apa yang dipercayai si
dukun. Terus pengusaha, kurang mampu, mohon petunjuk dari
sana. Agar usahanya lancar.” (Sanwikarta, wawancara Jumat 20
Februari 2015 pukul 11.35)

Untuk mereka yang bekerja sebagai pegawai atau karyawan

perkantoran. Mereka bersemedi karena mempunyai masalah tidak di

naik-naikannya jabatan mereka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Pak Sutikno bahwa tujuan orang bersemedi tergantung dari profesi apa

yang digeluti oleh pesemedi tersebut. Apabila ia seorang pedagang

maka tujuannya ingin dagangannya laris dan ramai. Apabila ia seorang

pegawai kantor maka ia ingin segera mendapatkan kenaikan jabatan

atau mendapat promosi jabatan yang lebih tinggi.

“Tergantung dari profesi yang mereka geluti. Misalnya seorang


pedagang melakukan semedi agar supaya dagangannya yang
tadinya sepi kemudian menjadi laris ramai. Tujuan orang
bersemedi, nomer satu adalah waras, sehat, selamet di dunia.
Lalu apabila berdagang diberikan laris dan kelancaran. Belinya
barang murah , terus dijualnya agak mahal dan laris. Ibaratnya
barangnya belum ditawarkan saja langsung banyak pembeli
yang menghampiri dan memborong dagangannya habis.
70
Kemudian mereka yang bekerja di perkantoran, mereka
mempunyai keinginan untuk bisa naik jabatan. Sebagai contoh
bapak Wagino sudah lama sekali bekerja, akan tetapi ia tidak
dipercaya oleh atasannya untuk naik posisi atau jabatan.
Kemudian pak Sagino meliburkan diri atau membolos bekerja
selama tiga hari untuk melakukan semedi di Gunung Srandil.
Bos yang tadinya tidak mengenal dan peduli kepada Sagino,
tiba-tiba mencari-cari Sagino dan bertanya-tanya di dalam
hatinya. “Kenapa Sagino tidak berangkat ngantor beberapa hari
ini” Keesokan harinya Sagino berangkat, ditanyailah ia oleh
bosnya. “Sagino kenapa kamu tiga hari ini tidak berangkat
ngantor?”. Sagino pun menjawab, “Aduh saya tiga hari ini
pusing pak, kepala saya sakit sekali. Ya saya istirahat saja di
rumah, maaf pak”. Merasa kasihan dengan Sagino, dan tersadar
kalau Sagino tidak naik-naik jabatan sejak lama, maka si bos
menaikan jabatan Sagino. Begitulah ceritanya.” (Sutikno,
wawancara Selasa 17 Februari 2015 pukul 13.05 WIB)

Dari penuturan informan yang bernama Asik, beliau

mengemukakan bahwa sebelum ia memutuskan untuk bersemedi

Srandil, beliau dalam kondisi cukup frustasi karena dagangannya sepi,

sedangkan kebutuhan keluarga semakin banyak.

“Dulu saya kesini itu pas sedang stres-stresnya mas. Dagangan


sepi, kebutuhan keluarga banyak.” (Asik, wawancara Kamis 26
Februari 2015 pukul 14.05 WIB)

Sebagaimana yang diungkapkan bapak Karman bahwa orang

bersemedi juga disebabkan oleh kurang puas jika hanya menjalankan

sholat lima waktu, sholat tahajud, kemudian wirid. Mereka ingin

melakukan sesuatu yang lebih, seperti semedi.

“Ada beberapa dari mereka ada yang sudah menjalankan sholat


lima waktu, menjalankan sholatnya lebih dari lima waktu,
sampai sholat tahajud dijalankan tengah malam, masih terasa
kurang. Usahanya masih tersendat sendat, dan perekonomiannya
tidak kunjung membaik akhirnya memilih untuk bersemedi.”
(Karman, wawancara Jumat 20 Februari 2015 pukul 16:18 WIB)

71
Orang yang bersemedi di Gunung Srandil mempunyai tujuan

untuk sukses di bidangnya masing-masing. Banyak dari mereka yang

telah meraih sukses namun tetap rajin mengunjungi Srandil untuk

sekedar ziarah atau bersemedi lagi. Sebagaimana yang dikemukakan

oleh bapak Karman, bahwa ketika orang yang selepas semedi dari

Gunung Srandil terjadi perubahan atau perkembangan dari bisnis

mereka, maka secara berkala mereka bolak-balik ke Srandil.

“Orang kalau ga sukses dari Srandil, mereka gak mungkin


bolak-balik mengunjungi Srandil. Orang sudah mulai merasa
ada perubahan pada bisnisnya setalah kunjungan pertama.
Setelah kunjungan kedua, lebih pesat lagi bisnisnya. Maka dari
itu mereka-mereka yang sukses secara berkelanjutan datang ke
Srandil. Ibaratnya sowan kepada leluhur yang ada di Srandil,
karena telah diberi kesuksesan.(Karman, wawancara Jumat 20
Februari 2015, pukul 16.18 WIB)

Kebetulan peneliti mendapatkan dua informan pesemedi. Salah

satu informan bersemedi memang agar usahanya terus dilancarkan

oleh Tuhan. Lalu salah satunya lagi bersemedi untuk mendoakan

keselamatan dan kebahagiaan kelurganya tercinta.

“Kalo saya ya sebenernya keinginannya banyak. Menciptakan


anak yang sholeh, yang sejahtera, bisa ngibadah, bisa berguna
bagi orang-orang banyak, gitu. Untuk keluarga, untuk tetangga
dan untuk orang lain. Manusia memang mintanya hanya ke
Allah saja.” (Tarum, wawancara Senin 23 Februari 2015 pukul
14.45 WIB)

“Ya kepengen bisa fokus istiqomah disini mas. Keinginannya


supaya segala urusan saya terus dilancarkan oleh Tuhan. Seperti
misal urusan berdagang saya mas, biar dilancarkan terus. Juga
mendapatkan ketenangan dalam hidup..” (Asik, Kamis 26
Februari 2015 pukul 14.00)

72
Orang yang bersemedi di Gunung Srandil pasti mempunyai

keluarga tersendiri. Keluarga tersebut bisa saja mengetahui bahwa ada

anggota keluarganya yang bersemedi dan juga ada yang tidak

mengetahui kenyataan bahwa ada anggota keluarganya yang

bersemedi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Tarum bahwa

sebelum ia berangkat berkelana sekaligus bersemedi, ia sempat

meminta izin kepada sang istri. Pada awalnya sang istri menolak untuk

mengizinkan Pak tarum pergi. Namun karena tekad Pak Tarum sudah

bulat, maka tidak ada orang yang bisa menghalangi niatnya untuk

pergi. Pergilah ia dengan meninggalkan harta bendanya kepada

istrinya.

“Awalnya sempat melarang mas, tapi saya sudah membulatkan


tekad dan bersikukuh untuk berkelana. Semua harta benda saya
sudah saya tinggalkan untuk istri dan anak saya. Saya sudah
berikan semua hak-hak mereka.” (Tarum, wawancara Senin 23
Februari 2015, pukul 14.45 WIB)

Lain kasus dengan Pak Tarum, informan pesemedi yang satunya

dalam penetian ini (Pak Asik) justru mensertakan istrinya untuk ikut

bersama-sama bersemedi di Gunung Srandil. Sebagaimana yang

dikemukakan Pak Asik bahwa anggota keluarga harus mempercayai

segala tindakan kepala keluarga.

“Ya manut-manut saja. Kan saya kepala keliuarganya, jadi istri


dan anak harusnya percaya dengan apa yang saya lakukan.”
(Asik, wawancara Kamis 26 Februari 2015, pukul 14.05 WIB)

Dengan melakukan semedi belum tentu orang-orang tersebut

bakal menuai sukses sesuai dengan yang diinginkan. Ada beberapa

73
yang sukses, namun ada juga beberapa dari mereka yang gagal.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Suratno bahwa tidak semua

orang yang selepas bersemedi di Gunung Srandil akan sukses. Namun

beberapa juga ada yang gagal, seperti orang-orang Jakarta yang

beberapa waktu yang lalu sempat beremedi di tempat ini.

“Beberapa ada yang sukses. Tapi yang enggak sukses juga ada.
Nggak mesti jadi sukses mas kalau selepas semedi dari sini.
Banyak orang Jakarta kesini ya ngaeng (gak sukses).” (Suratno,
wawancara Kamis 26 Februari pukul 13.03 WIB)

Kesuksesan orang yang telah selesai bersemedi di Gunung

Srandil tidak langsung di dapat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Pak Karman bahwa datangnya kesuksesan kepada orang-orang yang

bersemedi di Gunung Srandil tidak secara tiba-tiba, akan tetapi sedikit

demi sedikit tetapi sifatnya continues (terus-menerus). Harapan usai

semedi juga sebuah kelancaran, baik itu kelancaran dalam segi

perekonomian, maupun kelancaran dalam urusan keluarga.

“Ya sebenarnya segala sesuatu itu dilakukan kan demi


kelancaran. Setelah kelancaran dari usaha maupun bekerja,
biarpun kecil atau sedikit larisnya tapi seperti air mengalir mas.
terus menerus usahanya lancar maka uashanya menjadi sukses.
Kalau kita sepulangnya dari Srandil itu langsung jadi kaya raya
itu gak ada mas. Kalau sesuatu dalam permohonan. Kalau kita
yakin dan tekun maka apa yang kita inginkan pasti dapat
tercapai. Seperti misal saya jual bakso. Hari ini saya laku satu
mangkok. Besok saya laku dua mangkok. Besoknya saya laku
tiga mangkok, tapi selalu laku terus menerus. Maka menjadi
sukses. Kelancaran dalam perekonomian maupun dengan
keluarga. Adem ayem, pikirannya tidak kemrungsung. Akhirnya
rejeki itu akan datang. Secara bertahap tapi terus lancar.”
(Karman, wawancara Jumat 20 Februari 2015 pukul 16.30 WIB)

74
Sementara itu menurut pandangan Ibu Tati, kesuksesan dari

orang-orang yang bersemedi hanya bisa didapat oleh orang-orang yang

yakin pada kekuatan yang ada di Gunung Srandil. Setelah yakin,

meereka kemungkinan besar akan sukses dalam bidangnya, sesuai

dengan apa yang mereka cita-citakan.

“Wah ya ndak mesti mas. Kalau dijamin kaya didunia ya saya


yang rumahnya deket harusnya sudah kaya dari dulu. Untuk
yang percaya sekali pada kekuatan Gunung Srandil mungkin
jadi sukses. Jalanan dalam Gunung Srandil di paving kan itu
yang maving orang yang sudah sukses pasca semedi disini.”
(Tati, wawancara Senin 23 Februari 2015, pukul 12.55)

Namun salah satu pesemedi mengalami perubahan dalam usaha

bisnisnya. Pak Asik bersemedi, kemudian mendapatkan ketenangan

sehingga usaha dalam bisnisnya bisa menjadi lancar. Bahkan dulu ia

berangkat ke Srandil hanya menggunakan kendaraan umum kemudian

jalan kaki ke Srandil, sekarang sudah mempunyai mobil dan

menaikinya ke Srandil.

“Ya ada mas. Lumayan lah, dagang jadi dilancarin. Ya karena


dilancarin itu mas saya balik lagi kesini. Ziarah mas sebagai
ucapan terima kasih karena usaha dagangnya udah berkembang.
Dulu saya kesini itu pas sedang stres-stresnya mas. Dagangan
sepi, kebutuhan keluarga banyak. Tapi setelah bersemedi dari
sini, dapet ketenangan batin, alhamdulillah apa-apanya jadi
dilancarin gitu mas. Dulu saya kesini (Srandil) hanya naik
kendaran umum terus jalan kaki. Sekarang ya alhamdulillah
sudah bawa mobil, bawa istri sama saudara kesini.” (Asik,
wawancara Kamis 26 Februari 2015 pukul 14.05 WIB)

Orang yang sukses di Srandil ada yang mengadakan kenduri

atau slametan sebagai rasa syukur karena telah diberikan keberhasilan

dalam karirnya. Namun dalam mengadakan slametan itu sistemnya

75
rombongan. Jadi beberapa orang patungan untuk menggelar slametan

tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Charub:

“Yang saya tahu jika beberapa dari mereka ada yang berhasil,
mereka melakukan selametan besar-besaran. Biasanya
rombongan slametannya, misal slametan habis 100 juta
dirombong oleh sejumlah orang. Kan yang berhasil dan tdak
berhasil ikut selametan.” (Charub, wawancara Selasa 15 April
2015 pukul 14.30 WIB)

Bukti dari suksesnya orang-orang yang bersemedi di Gunung

Srandil, terlihat pada lokasi gunung Srandil yang sekarang sudah

dibangun paving dan tembok tinggi memutari Gunung Srandil. Hal ini

membuat kawasan Gunung Srandil lebih sedap di pandang dan juga

nyaman untuk melakukan ritual semedi.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti sempat mendengar

desas-desus bahwa pernah ada bahkan sampai sekarang ini pejabat

negara atau petinggi negeri melakukan ritual semedi di Gunung

Srandil. Untuk mengklarifikasikan hal tersebut, peneliti mencoba

mencari informasi melalui salah satu warga desa Glempang Pasir yaitu

Pak Hadi Suwarto dan salah satu informan pesemedi di Gunung

Srandil, yaitu Pak Tarum. Di satu sisi Pak Hadi menepis isu tersebut

dengan tegas, namun disisi lain Pak Tarum membenarkan.

“Saya belum pernah tahu. Itu berita bohong. Yang saya tahu
yang pernah kesini ya hanya artis Tukul Arwana. Buat acara
syuting yang uji nyalian itu.” (Hadi, wawancara Jumat 20
Februari 2015 pukul 16.00 WIB)

“Oh ya benar, banyak malahan. Pejabat disini mah banyak.


Orang kaya-kaya. Bukan orang miskin. Wong yang kesini pada
bawa mobil. Secara logika ngapain orang udah bawa Fortuner
masih mau kesini?. Yang mereka cari ya itu derajat, Untuk
76
usaha ya itu biar lancar. Maju lagi tambah ningkat lagi. Ya kaya
panjenengan sekarang sekolah lulus, mungkin kepengen jadi apa
lagi, mungkin pengen lanjut S2. Yang penting jangan musrik lah
mas.” (Tarum, wawancara Senin 23 Februari 2015 pukul 14.30
WIB)

Peneliti juga mengajukan pertanyaan wawancara tentang isu

pejabat negara kepada Kepala Desa Glempang Pasir, namun bapak

Kades lebih memilih aksi diam dan tidak menjawab pertanyaan yang

diajukan peneliti tersebut.

Dari beberapa uraian pembahasan di atas, maka didapati

beberapa faktor yang melatarbelakangi orang-orang bersemedi di

tempat petilasan Gunung Srandil. Faktor tersebut dibagi menjadi dua,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal orang

melakukan semedi di Srandil yaitu, mencari tempat yang sepi, agar

lebih mudah dan fokus untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Faktor

internal lainnya yaitu, keinginan untuk melakukan ibadah yang lebih

dari sholat lima waktu, sholat sunnah dan sholat tahajud.

Faktor eksternal orang-orang bersemedi di Srandil yaitu; adanya

tekanan yang muncul akibat permasalahan ekonomi membuat orang-

orang yang bersemedi di Srandil merasa frustasi. Kemudian mereka

memilih melakukan semedi di petilasan Srandil dengan tujuan untuk

mendapatkan ketenangan batin yang dapat membantu menemukan

solusi permasalahan hidupnya. Faktor lainnya yaitu adanya tekanan

dari orang tua salah satu informan pesemedi Srandil, untuk pergi

keluardari rumah, mencari pengalaman, malakukan napak tilas sampai

77
bersemedi di petilasan-petilasan yang dijumpainya. Salah satu

petilasan tersebut adalah petilasan Gunung Srandil itu sendiri.

Jika melihat di antara faktor internal dan faktor eksternal yang

melatarbelakangi orang bersemedi di Srandil, maka jawabannya adalah

lebih dominan pada faktor eksternal. Kondisi ekonomi yang terpuruk

membuat orang-orang merasa frustasi dan tertekan. Kemudian mereka

mencari ketenangan batin dengan jalan bersemedi di petilasan sekitar

Srandil. Setelah memperoleh ketenangan tersebut mereka diberikan

kelancaran dalam usahanya, baik itu usaha berdagang, maupun

usahanya untuk tetap menjaga hubungan harmonis dalam keluarganya.

3. Keterkaitan Pembahasan dengan Teori Sosial

a. Teori Pertukaran Sosial

Teori-teori pertukaran sosial dilandaskan pada prinsip

transaksi ekonomis yang elementer: orang menyediakan barang

atau jasa dan sebagai imbalannya berharap memperoleh barang

atau jasa yang diinginkan. Ahli teori pertukaran memiliki asumsi

sederhana bahwa interalksi sosial itu mirip dengan transaksi

ekonomi. Akan tetapi mereka mengakui bahwa pertukaran sosial

tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai

transaksi sosial nilai yang ditukarkan juga ada yang nyata dan juga

ada yang tidak nyata. Model timbal balik akan tetap ada selama ada

78
orang yang memberi dan berharap memperoleh imbalan barang

atau jasa itu sendiri (Poloma, 2013)

Homans merupakan tokoh sosiologi yang mencetuskan teori

pertukaran sosial. Homans memulai teorinya ini dengan ilmu

ekonomi. Teori pertukaran Homans itu bertumpu pada asumsi

bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran

atau untuk menghindari hukum. Pertukaran perilaku untuk

memperoleh ganjaran adalah prinsip dasar dari transaksi ekonomi

sederhana. Homans melihat semua perilaku sosial, ia tidak hanya

melihat perilaku ekonomis. Misalnya, pekerjaan tidak hanya

menghasilkan ganjaran ekstrinsik berupa upah, tetapi juga

menyediakan ganjaran intrinsik berupa persahabatan, kepuasan dan

mempertinggi harga diri (Poloma, 2013).

Orang-orang melakukan semedi di Gunung Srandil berharap

mendapatkan ganjaran ekstrinsik berupa kekayaan. Selain

mendapatkan ganjaran ekstrinsik, mereka juga akan mendapatkan

ganjaran intrinsik, berupa harga diri yang naik dan juga kehormatan

di mata masyarakat sekitarnya. Jika dilihat dari perilaku sosialnya

maka akan terlihat pada interaksi antara pelaku semedi dengan juru

kunci Gunung Srandil. Pelaku semedi mendapatkan bimbingan dan

arahan bagaimana cara bersemedi yang benar, sehingga peluang

memperoleh kekayaan menjadi tinggi. Di sisi lain juru kunci juga

mendapatkan imbalan dari pelaku semedi yang ia bantu. Imbalan

79
tersebut berupa ganjaran ekstrinsik, berupa sejumlah uang, dan bisa

juga ganjaran intrinsik berupa persahabatan dengan pelaku semedi

tersebut.

Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan

lewat lima pernyataan proposisional yang saling berhubungan dan

berasal dari psikologi Skinnerian. Proposisi itu adalah proposisi

sukses, stimulus, nilai, (deprivasi-satiasi) dan restu-agresi

(approval-aggresion). Melalui proposisi tersebut banyak perilaku

sosial yang dapat dijelaskan.

Proposisi Sukses:

Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan

tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan

tindakan itu (Homans, 1974: 16).

Dalam proposisi ini Homans menyatakan bahwa bilamana

seseorang berhasil memperoleh ganjaran (atau menghindari

hukuman), maka ia akan cenderung mengulangi tindakan tersebut.

(Poloma, 2013). Setelah pelaku semedi bersemedi di Srandil

kemudian mendapatkan apa yang ia mau (kesuksesan), maka ia

akan secara berkelanjutan melakukan semedi di Gunung Srandil.

Mereka akan sering pergi ke Srandil baik untuk sesaji maupun

semedi. Sebab dengan tindakan itu mereka berharap imbalannya

adalah kesuksesan dan kekayaan yang mereka miliki akan terus

bertahan, atau bisa juga semakin bertambah. Biasanya setelah

80
mereka sukses, mereka secara rutin (setahun dua kali) melakukan

semedi di Srandil.

b. Teori Pilihan Rasional

Prinsip dasar teori pilihan rasional berasal dari ekonomi

neoklasik. Berdasarkan berbagai jenis model yang berbeda,

Friedman dan Hechter (1988) menghimpun apa yang mereka sebut

sebagai model “kerangka” teori pilihan rasional (Ritzer, 2012)

Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor.

Aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau

mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan

tujuannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor juga

dipandang mempunyai pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan

rasional tak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang

menjadi sumber pilihan aktor. Yang penting adalah kenyataan

bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai

dengan tingkatan pilihan aktor (Ritzer, 2012)

Meski teori pilihan rasional berawal dari tujuan atau maksud

aktor, namun teori ini memperhatikan sekurang-kurangnya dua

pemaksa utama tindakan. Pertama adalah keterbatasan sumber.

Aktor mempunyai sumber yang berbeda maupun akses yang

berbeda terhadap sumber daya yang lain. Bagi aktor yang

mempunyai sumber daya yang besar, pencapaian tujuan mungkin

relatif mudah. Tetapi bagi aktor yang mempunyai sumber daya

81
yang sedikit, pencapaian tujuan mungkin sukar atau mustahil sama

sekali (Ritzer, 2012)

Kaitan antara teori pilihan rasional dengan perilaku orang

bersemedi di Srandil terlihat dari pelaku semedi memilih untuk

melakukan semedi di petilasan Gunung Srandil untuk mencapai

tujuan mereka yaitu mendapatkan kesuksesan, kekayaan dan

kenaikan jabatan. Meskipun tindakan bersemedi yang mereka

lakukan merupakan suatu tindakan yang tidak rasional, aneh dan

janggal, akan tetapi tujuan mereka melakukan hal tersebut tetaplah

rasional, yaitu jelas, uang, kesuksesan dalam berkarir. Kemudian

mereka memilih jalan bersemedi karena menganggap tindakan

bersemedi sudah sesuai dengan tingkatan menurut si aktor untuk

mencapai tujuan.

4. Beberapa Temuan-temuan Pokok Penelitian

Temuan pokok dalam penelitian ini terkait dengan fenomena

bersemedi di tempat petilasan sekitar Gunung Srandil, Adipala,

Cilacap adalah sebagai berikut:

a) Gunung Srandil bisa diibaratkan sebagai pintu gerbangnya

agama. Seluruh agama bebas masuk ke Gunung Srandil, dan

bebas melakukan ritual keagamaannya masing-masing.

b) Mayoritas orang yang bersemedi di Gunung Srandil adalah

orang yang memeluk agama islam.

82
c) Terjadinya Sinkretisme di Gunung Srandil, terlihat dari

kejadian adanya sekelompok orang yang melakukan Tahlilan di

Gunung Srandil, kemudian adanya pelaku semedi bersemedi

selain dengan tujuan untuk lebih fokus beristiqomah dengan

tuhan, juga untuk menghormati keyakinan kakeknya.

d) Orang yang bersemedi di Gunung Srandil melakukan ritual

semedi pada hari-hari yang keramat menurut Kepercayaan

orang Jawa (Kejawen). Hari-hari tersebut adalah Malam Selasa

Kliwon, Malam Jumat Kliwon dan Malam Minggu Wage.

e) Orang yang bersemedi di Gunung Srandil, umumnya meminta

dan memohon tetap kepada Tuhan, akan tetapi melalui

perantara para pepunden (roh nenek moyang yang ada di

Srandil).

f) Dalam tahap pemikiran manusia menurut Auguste Comte,

masyarakat yang bersemedi di Gunung Srandil masuk dalam

tahap metafisis.

g) Pesemedi di Gunung Srandil ada yang melakukan tindakan

simbolis orang Jawa, seperti mati geni dan nganyeb.

h) Terjadi pro dan kontra diantara para masyarakat desa

Glempang Pasir, mengenai Srandil yang digunakan sebagai

tempat penembahan dan pesugihan. Ada warga desa Glempang

Pasir yang menganggap bahwa bersemedi itu musyrik atau

menyekutukan Allah. Namun ada yang membiarkannya karena

83
semedi dianggap suatu tradisi yang sudah dilakukan secara

turun temurun.

i) Warga yang rumahnya berdampingan persis dengan Gunung

Srandil, memanfaatkan keberadaan dan eksistensi Gunung

Srandil dengan cara membuka warung yang menjual makanan

dan minuman untuk para pengunjung Gunung Srandil. Hal

tersebut dapat membantu mendongkrak perekonomian warga.

j) Orang yang bersemedi di Gunung Srandil berasal dari berbagai

daerah di seluruh Indonesia. Bahkan orang-orang dari negara

tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga datang ke

Gunung Srandil.

k) Orang yang bersemedi di Gunung Srandil mempunyai berbagai

macam latarbelakang profesi dan pekerjaan, namun

kebanyakan dari mereka adalah pelaku ekonomi, seperti

pengusaha dan pedagang.

l) Orang yang bersemedi di Guung Srandil kebanyakan

mengenakan pakaian biasa yang dikenakan orang sehari-hari.

Akan tetapi ada beberapa orang yang datang secara

berkelompok memakai pakaian khusus. Ada orang yang

memakai pakaian adat orang Jawa, seperti mengenakan

blangkon, pakaian lerek-lerek hitam khas Jogja.

84
m) Gunung Srandil mempunyai beberapa daya tarik yang

membuat orang-orang suka bersemedi di Gunung srandil. Daya

tarik tersebut meliputi:

1. Sudah dibangunnya petilasan-petilasan sebagai tempat

ritual semedi, menjadikan orang yang bersemedi lebih

kerasan dan merasa nyaman.

2. Medan yang ditempuh menuju Gunung Srandil tidak

sulit, suasananya tenang, sejuk, banyak pepohonan.

3. Mitos Srandil kuat, sehingga ketika orang mendengar

kata Srandil maka akan menjadi tertarik fikirannya.

n) Pilihan pesemedi di Gunung Srandil untuk bersemedi di

Gunung Srandil masuk dalam ranah teori pertukaran sosial dan

teori pilihan rasional.

o) Kebanyakan orang yang bersemedi di Gunung Srandil berasal

dari keadaan ekonomi yang lemah.

p) Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang

bersemedi di Srandil. Di antara faktor intern dan ekstern, faktor

eksternlah yang lebih dominan.

q) Orang yang bersemedi di Gunung Srandil juga mempunyai

tujuan untuk sukses di bidang atau profesinya masing-masing.

Ingin hidupnya tenang, tentram dan tidak dirundung masalah.

r) Orang yang bersemedi di Gunung Srandil tidak dijamin sukses

dalam karirnya masing-masing, akan tetapi bagi mereka yang

85
benar-benar percaya dengan kekuatan para pepunden (roh-roh

nenek moyang di Srandil), maka setelah mereka diberikan

ketenangan batin atau kedamaian hati, mereka bisa diberikan

kelancaran untuk meraih kesuksesan dalam karirnya.

s) Orang yang meraih kesuksesan pasca bersemedi di Srandil,

mereka secara berkala (misal satuh tahun tiga atau empat kali)

mengunjungi Srandil sebagai ucapan terima kasih karena telah

diberikan kesuksesan.

t) Ada beberapa orang yang sukses pasca bersemedi di Srandil,

kemudian menggelar slametan atau kenduri di tempat Juru

Kunci, sebagai ucapan terima kasih.

u) Dibangunnya tempat petilasan kawasan Gunung Srandil

menjadi lebih megah oleh Para Pesemedi yang telah sukses

menjadi bukti bahwa orang bersemedi di Gunung Srandil bisa

menjadi orang sukses dan menjadi orang dengan kekuatan

ekonomi yang kuat.

86
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sinkretisme yang terjadi di Gunung Srandil, lebih banyak adalah

percampuran atau penggabungan antara Islam dengan Kejawen. Dalam

kepercayaan orang Jawa (Kejawen), mereka percaya bahwa roh-roh nenek

moyang mempunyai kekuatan untuk mengabulkan permintaan individu

(animisme). Dalam ajaran Kejawen juga percaya bahwa ada benda-benda

yang dianggap keramat dan mempunyai kekuatan untuk mengubah nasib

individu, seperti jimat, keris dan benda keramat lainnya.

Individu maupun kelompok yang bersemedi di Gunung Srandil

percaya bahwa dengan mereka bersemedi, memohon kepada Tuhan

melalui perantara pepunden (roh-roh nenek moyang penghuni Gunung

Srandil), maka apa yang mereka inginkan dapat tekabulkan. Mereka yakin

dengan memberikan kembang dan kemenyan sebagai sesajen kepada roh-

roh yang mendiami Gunung Srandil, pepunden akan membantu

menyampaikan permohonan para pesemedi tersebut supaya bisa sampai

kepada Tuhan.

Salah satu bentuk sinkretisme yang muncul di Gunung Srandil

adalah adanya sekelompok orang yang melakukan tahlilan di Gunung

Srandil. Tahlilan yang umumnya dilakukan di rumah keluarga orang yang

telah meninggal, akan tetapi dilakukan di petilasan Gunung Srandil.

87
Makna tahlilan yang sesungguhnya adalah mendoakan arwah orang yang

telah meninggal agar tenang di sisi Allah. Akan tetapi dalam kasus semedi

ini orang melakukan tahlilan selain mendoakan roh-roh nenek moyang

penghuni Srandil juga sembari meminta bantuan agar para pepunden

bersedia untuk menyampaikan permohonan pesemedi kepada Tuhan.

Sehingga permohonannya cepat terkabul.

Ada pesemedi yang menghormati kepercayaan mendiang

kakeknya, yaitu Hindu, dengan cara melakukan semedi di petilasan

Gunung Srandil sambil beristiqomah kepada Allah SWT.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi sejumlah orang

melakukan semedi di Gunung Srandil. Memang alasan orang bersemedi di

Srandil kebanyakan adalah karena mempunyai masalah ekonomi, seperti

punya banyak hutang dan dagangan kurang laris atau sepi. Mereka percaya

dengan mereka bersemedi di Srandil, mereka akan diberikan ketenangan

batin yang dapat membuat bisnis mereka lancar. Faktor eksternal lebih

dominan dari pada faktor internal yang melatarbelakangi orang bersemedi

di petilasan sekitar Gunung Srandil ini.

Teori Sosial yang digunakan pada penelitian ini adalah teori

pertukaran sosial dan teori pilihan rasional. Teori pertukaran sosial dipilih

karena orang yang melakukan semedi melakukan interaksi sosial dengan

juru kunci tempat sosial dengan orientasi untuk memperoleh ganjaran

ekstrinsik, berupa uang yang merupakan sumber kekayaan. Ganjaran

ektrinsik tersebut dapat diperoleh jika semedi yang ia lakukan berhasil.

88
Keberhasilan tersebut tidak akan bisa dicapai tanpa saran, masukan dan

bimbingan dari juru kunci tempat petilasan Gunung Srandil.

Teori pilihan rasional terletak pada aktor yang memilih melakukan

tindakan, dimana yang tingkat keberhasilan tindakan tersebut tergolong

tinggi untuk mencapai tujuan rasional si aktor tersebut Dalam hal ini,

pelaku semedi percaya bahwa dengan jalan semedi maka tujuan rasional

dari pelaku semedi di Srandil tersebut akan mampu dicapai. Meskipun

tindakan bersemedi yang dilakukan si aktor merupaka tindakan yang

irrasional, karena aneh, janggal, tidak masuk akal. Tetapi tujuan pelaku

semedi tersebut sangatlah rasional, yaitu kekayaan, kesuksesan dalam

pekerjaan dan keharmonisan keluarga.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian tentang fenomena bersemedi di

tempat petilasan daerah Gunung Srandil, Adipala, Cilacap, Jawa Tengah,

adapun beberapa saran yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Pemerintah

a. Perlunya pengawasan lebih ekstra dari pemerintah terhadap

tempat-tempat ritual kepercayaan-kepercayaan lokal.

Jangan sampai masyarakat menganggap bahwa ritual

semedi merupakan penyimpangan agama, sehinnggga bisa

membuat kelompok agama tertentu marah dan

menimbulkan konflik antar kelompok.

89
b. Perlunya menambah asupan dana kepada pengelola Gunung

Srandil, dimana dana tersebut bisa digunakan pengelola

untuk merawat petilasan-petilasan dan juga untuk

membayar tenaga kebersihan untuk membersihkan area

Gunung Srandil.

2. Bagi Pengelola Tempat Petilasan Srandil

a. Perlunya pengelola meningkatkan sistem pendataan para

pengunjung Gunung Srandil. Seperti ditambahkan kolom

jenis ritual yang akan dilakukan, kolom jenis pekerjaan,

kolom agama dan kolom rencana beberapa hari akan

melakukan ritual.

b. Perlunya pegelola rutin berkeliling untuk mengontrol

kondisi fisik para pesemedi tiap harinya, untuk berjaga-jaga

bila ada pesemedi yang sakit maka bisa segera diberikan

pertolongan.

3. Bagi Masyarakat

a. Perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa negara Indonesia

terdiri dari berbagi macam suku bangsa, berbagai macam

budaya, agama dan tradisi. Masyarakat seharusnya bisa

menghargai dan menghormati orang-orang yang

menjalankan tradisinya, seperti bersemedi. Meskipun orang

lain tersebut berbeda dari segi kepercayaan, bahasa dan juga

suku bangsa.

90
b. Perlunya menambah wawasan tentang berbagai macam

agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Dengan

menambah wawasan tersebut masyarakat bisa mengurangi

prasangka-prasangka buruk terhadap agama lain. Karena

masyarakat menjadi tahu bahwa semua agama itu baik.

Baik dalam artian selalu mengajarkan manusia untuk selalu

berbuat kebaikan.

91
DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Petir. (2009). Mistik Kejawen Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa.
Yogyakarta: Banyu Media

Amin, Darori. (2000). Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media

Anwar, Yesmil & Adang. (2013). Sosiologi untuk Universitas. Bandung: Refika
Aditama

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta

Bento, Ted & Craib (2009). Filsafat Ilmu Sosial Pendasaran Filosofis Bagi
Pemikiran Sosial. Yogyakarta: Ledalero

Chakim, S. (2009). Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen?. Jurnal


Dakwah dan Komunikasi. 3(1): 1

Endraswara, Suwardi. (2006). Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan


Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi

Herusatoto, Budiono. (1987). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.


Hanindita Graha Widya

Johnson, Doyle Paul. (1988). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT.
Gramedia

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2015). Fenomena. Tersedia di


http://kbbi.web.id/fenomena. Diakses pada 4 Juni 2015

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2015). Petilasan. Tersedia di


http://kbbi.web.id/tilas. Diakses pada 4 Juni 2015

Koentjaraningrat. (1982). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:


PT. Gramedia

---------------------. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

---------------------. (1994). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

--------------------. (2009). Pengantat Ilmu Antropologi Edisi Revisi. Jakarta:


Rineka Cipta
92
Maharsiwara, Sunaryadi. (2006). Moslem in The Javanese Culture Pluralism and
The Palace Art Performance. Staff Pengajar Fakultas Seni Pertunjukan.
Diterbitkan. ISI Yogyakarta

Mangunpranoto, Sarino. (1961). Kepribadian Nasional. Yogyakarta: Majelis


Luhur Taman Siswa

Megaluh, S. (2012). Makna ritual semedi dalam budaya Jawa : studi kasus
Pandan Kuning petanahan Kebumen. Skripsi S1. Tidak Diterbitkan.
Universitas Indonesia

Moleong Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:


Remaja Persada .Karya.

Mulder, Niels. (1984). Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka

Nasution, S.. (2011). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara

Pitaloka, D, . (2008). Semedi dalam Kebudayaan Jawa: Studi Kasus di Tempuran


Gadog Sebuah Tinjauan Semiotik. Skripsi S1. Tidak Diterbitkan.
Universitas Indonesia

Poloma, Margaret M.. (2013). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Ritzer, George & Goodman, Douglas J. (2011). Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post
Modern. Bantul: Kreasi Wacana

Simuh. (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI


Pers

Sixteen, Muzakki (2010). Ritual Malem Minggu Wage Paguyuban Tunggul Sabdo
Jati di Gunung Srandil, Desa Glempang Pasir, Kecamatan Adipala,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi S1. Tidak Diterbitkan.
Universitas Negeri Yogyakarta

Soeharto, Irawan. (2004). Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian


bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja
Rosdakarya

Soekanto, Soerjono. (2005). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta
93
Sutiyono. (2010). Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta:
Kompas

94

Anda mungkin juga menyukai