Anda di halaman 1dari 5

A.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Jiwa Perilaku Kekerasan


1. Definisi Perilaku Kekerasan
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara
agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk
perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam
atau ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku
kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan
menyerang, merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan berupa tindak
kekerasan menyerang orang lain (assault), agresivitas terhadap diri sendiri (self
aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) untuk melupakan persoalan
hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku
kekerasan atau perilaku agresi merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini, maka
perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik.
Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada
suatu perangkat perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Stuart
dan Sundeen, 1995).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Ekspresi marah yang segera
karena suatu penyebab adalah wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara
cultural ekspresi marah tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering diekspresikan
secara tidak langsung. Sedangkan menurut Depkes RI, Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Penyakit Jiwa Jilid III Edisi I, hlm 52 tahun 1996: “Marah
adalah pengalaman emosi yang kuat dari individu dimana hasi/tujuan yang harus dicapai
terhambat”. Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu, perawat harus pula
mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah. Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/kebutuhan
yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1995).
2. Teori Perilaku Agresi
a. Instinct theory, mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupak suatu insting
naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut, setiap manusia memiliki insting
kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat agresivitas pada diri sendiri maupun
orang lain. Saat ini teori ini telah banyak ditolak.
b. Drive theory, menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu oleh faktor
pencetus eksternal intuk survive dalam mempertahankan eksistensinya. Menurut
teori tersebut, tanpa agresi kita dapat punah atau dipunahkan orang lain, namun
teori ini pun banyak disangkal.
c. Social learning theory, menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil
pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang kemudian menjadi pola
perilaku (learned behavior). Dalam perkembangan konsep teori ini
mengasumsikan juga bahwa pola respon agresi seseorang memerlukan stimulus
(impuls) berupa kondisi sosial lingkungan (faktor psikososial) untuk
memunculkan perilaku agresi. Namun bentuk stimulus yang sama tidak selalu
memunculkan bentuk perilaku agresi yang sama pada setiap orang. Dengan kata
lain, pola perilakuagresi seseorang dibentuk oleh faktor pengendalian diri individu
tersebut (internal control) serta berbagai stimulus dari luar (impulses). Saat
keseimbangan antara kemampuan pengendalian diri dan besarnya stimulus
terganggu, maka akan membangkitkan perilaku agresi (Keliat, 1996).
Agresi sendiri dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu :
a. Irritable aggression merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah.
Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses
penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional tinggi
(directed against an available target).
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk mencapai suatu tujuan
politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan
terencana; seperti peristiwa penghancuran menara kembar WTC di New York,
tergolong dalam kekerasan instrumental).
c. Mass aggression adalah tindakan agresi yang dilakukan oleh massa akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat massa
berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan individualitas orang-orang
yang membentuk kelompok massa tersebut. Manakala massa tersebut telah solid,
maka bila ada seseorang memelopori tindak kekerasan, maka secara otomatis
semua akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena
saling membangkitkan. Pihak yang menginisiasikan tindak kekerasan tersebut
bisa saja melakukan agresi instrumental (sebagai provokator ) maupun agresi
permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat, 1996).
3. Rentang Respon
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri-
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus
pula mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah.
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart
dan Sundeen, 1995).
Secara umum,rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan bagian dari rentang
respon sosial,dimana pembagian adalalah sebagai berikut
1) Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat dan individu dalam
menyelesaikan masalahnya, dengan kata lain respon adaptif adalah respon atau
masalah yang masih dapat di toleransi atau masih dapat di selesaikan oleh kita sendiri
dalam batas yang normal.
2) Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam menyelesaikan
masalahnya menyimpang dari norma - norma dan kebudayaan suatu tempat atau
dengan kata lain di luar batas individu tersebut.
Adaptasi Maladaftif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/perilaku kekerasan

Menurut ( Yosep, 2007) rentang respon marah yaitu :

a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak
menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tidak reakstis
atau hambatan dalam proses percakapan tujuan.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak
pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak dapat
berupa : muka kusam , bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
e. Ngamuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri,
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

4. Penyebab Perilaku Kekerasan


Penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor antara lain.
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan faktor predisposisi, artinya
mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami
oleh individu (Keliat, 1996) adalah :
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan
ditolak, dihina, dan dianiaya., sesorang yang mengalami hambatan dalam
mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi.
Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu mengendalikan frustasi tersebut
maka dia meluapkannya dengan cara kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering melihat
kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua aspek ini memancing individu
mengadopsi perilaku kekerasan (Keliat, 1996).
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial
yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya
perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik
dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu mempunyai
kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya
individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas
tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu
tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan
ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

Anda mungkin juga menyukai